Anda di halaman 1dari 11

BAB 3

PEMBAHASAN

A. Pengertian Proses dan Tahap Proses Konseling Keluarga

Proses adalah peristiwa yang sedang berlangsung. Sedangkan tahapan adalah


langkah-langkah yang berkesinambungan dalam suatu peristiwa/kejadian. Tahapan
proses konseling adalah urutan atau fase yang digunakan dalam proses konseling yang
bukan Client-Centered atau konseling yang difokuskan kepada klien saja, tahapan atau
proses konseling ini digunakan oleh konseli atau biasa kita sebut klien dan juga konselor
sehingga keduanya sama-sama aktif dalam kegiatan konseling. Tidak hanya konselor
ataupun sebaliknya.1

Proses konseling terlaksana karena hubungan konseling berjalan dengan baik. Menurut
Brammer (1979) dalam bukunya “konseling individual” oleh Sofyan S. Willis, proses
konseling adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi para
peserta konseling tersebut (konselor dan klien).

Setiap tahapan proses konseling membutuhkan ketrampilan-ketrampilan khusus. Namun


ketrampilan-ketrampilan tersebut bukanlah yang utama jika hubungan konseling tidak
mencapai raport. Dinamika hubungan konseling ditentukan oleh penggunaan ketrampilan
yang bervariatif, sehingga dalam proses konseling tidak merasa membosankan, akan
tetapi sangat bermakna dan berguna.2

B. Proses dan Tahapan Konseling Secara Umum

Secara umum proses konseling individual terbagi atas tiga tahapan yaitu sebagai
berikut:

A. Tahap Awal Konseling

1 Prof.Dr.Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Bandung:Alfabeta, 2013. hal 50

2 bid, Prof .Dr. Sofyan S. Willis, hal 50


Tahap awal ini terjadi sejak klien bertemu konselor hingga berjalan proses konseling dan
menemukan definisi masalah klien. Tahap awal ini Cavanagh (1982) menyebutkan
dengan istilah introduction and environmental support.

Adapun yang dilakukan oleh konselor dalam proses konseling tahap awal ini adalah
sebagai berikut:

1) Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien yang mengalami masalah.


Pada tahap ini konselor berusaha untuk membangun hubungan dengan cara melibatkan
klien dan berdiskusi dengan klien. Hubungan tersebut dinamakana working relationship,
yaitu hubungan yang berfungsi, bermakna, dan berguna. Kunci keberhasilan tahap ini
diantaranya ditentukan oleh keterbukaan konselor dan klien untuk mengungkapkan isi
hati, perasaan dan harapan sehubungan dengan masalah ini akan sangat bergantung
terhadap kepercayaan klien terhadap konselor. Pada tahap ini konselor hendaknya
mampu melibatkan klien secara terus menerus dalam proses konseling.

2) Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin


dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu
memperjelas masalah klien, karena sering kali klien tidak mudah menjelaskan
masalahnya hanya saja mengetahui gejala-gejala masalah yang dialaminya.

3) Membuat penjajakan alternatif bantuan untuk mengatasi masalah. Konselor


berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang
mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan
lingkungannya yang tepat untuk mengatasi masalah klien.

4) Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien,


berisi: (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien
dan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor
dan klien; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan
tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian
kegiatan konseling.

B. Tahap Pertengahan Konseling


Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya adalah
memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus
dilakukan, diantaranya :

1) Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah serta keperdulian klien. Penjelajahan


masalah dimaksudkan agar klien mempunyai pemahaman dan alternatif pemecahan baru
terhadap masalah yang sedang dialaminya. Konselor mengadakan penilaian kembali
dengan melibatkan klien. Jika klien bersemangat, berarti klien sudah begitu terlibat dan
terbuka dalam proses konseling.

2) Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara. Hal ini bisa terjadi jika :

i. Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta
menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah
yang dihadapinya.

ii. Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi


dan memelihara keramahan, empati, kejujuran, serta keihlasan dalam memberikan
bantuan konseling.

3) Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun
pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien. Karena kontrak
dinegosiasikan agar betul-betul memperlancar proses konseling.3

C. Tahap Akhir Konseling

Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu:

i. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses


konseling.
ii. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan
yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.

3) Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).

3 Prof .Dr. Sofyan S. Willis, hal.51.


Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya Adapun tujuan-tujuan pada tahap akhir
ini diantaranya :

1) Memutuskan perubahan sikap dan perilaku yang memadai Klien dapat melakukan
keputusan tersebut karena dia sejak awal sudah menciptakan berbagai alternative dan
mendiskusikannya dengan konselor, lalu dia putuskan alternative mana yang terbaik.
Pertimbangan keputusan tersebut tentunya berdasarkan kondisi objektif yang ada pada
diri dan diluar diri.

2) Terjadinya transfer of learning pada diri klien Klien belajar dari proses konseling
mengenai perilakunya dan hal-hal yang membuatnya terbuka untuk mengubah
perilakunya diluar proses konseling. Artinya klien mengambil makna dari hubungan
konseling untuk kebutuhan akan suatu perubahan.

3) Melaksanakan perubahan perilaku Pada akhir konseling klien sadar akan perubahan
sikap dan perilakunya. Sebab ia datang minta bantuan adalah atas kesadaran akan
perlunya perubahan pada dirinya.

4) Mengakhiri hubungan konseling Mengakhiri konseling harus atas persetujuan klien.


Sebelum ditutup ada beberapa tugas klien yaitu : membuat kesimpulan-kesimpulan
mengenai hasil proses konseling, mengevaluasi jalannya proses konseling,
membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya.4

Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ;

1) Menurunnya kecemasan klien. Hal ini diketahui setelah konselor menanyakan


keadaan kecemasannya.

2) Adanya perubahan perilaku klien kearah yang lebih positif, sehat dan dinamik.

3) Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.

4 Prof .Dr. Sofyan S. Willis, hal 52


4) Terjadinya perubahan sikap positif, yaitu mulai dapat mengoreksi diri dan
meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, guru, teman,
keadaan tidak menguntungkan dan sebagainya.5

C. Proses dan Tahapan Konseling Keluarga

Kehadiran klien untuk pertama kalinya kepada konselor pada awalnya hanya
untuk mengkonsultasikan masalah pribadinya dan biasanya dilakukan klien sendiri tanpa
kehadiran anggota keluarga. Setelah konselor merasa bahwa permasalahan klien lebih
sesuai ditangani dengan konseling kelurga, maka pada tahap penanganan (treatment),
konselor dapat meminta persetujuan klien agar melibatkan anggota keluarganya. Sebelum
melakukan tahapan penanganan tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
konselor, yaitu:

1) Mempersiapkan anggota keluarga Konselor harus meminta persetujuan dari klien


siapakah anggota keluarga yang dapat dilibatkan untuk menjalani proses konseling. hal
ini perlu dilkaukan karena tidak semua klien yang menjalani konseling
bersedia permasalahannya diketahui oleh semua anggota keluarga.

2) Menciptakan sekutu Konselor juga perlu membangun persekutuan yang konstruktif


dengan anggota keluarga yang mungkin saja adalah sumber permasalahan klien. Melalui
persekutuan ini, konselor dapat menggali permasalahan dan memahami klien. Selain itu,
anggota keluarga akan merasa dilibatkan secara utuh sehingga dapat bekerja sama dengan
konselor untuk mengatasi permasalahan klien.

3) Gunakan rasa takut/ancaman dengan tepat Apabila permasalahan klien terlalu berat
sementara anggota keluarga menolak untuk menjalani proses konsleing, maka konselor
dapat memberikan ancaman yang tepat dan logis untuk menenkankan bahwa
permasalahan klienbenar-benar serius dan membutuhkn bantuan mereka. Dengan tujuan

5 ibid, Prof .Dr. Sofyan S. Willis, hal.53.


bahwa anggota keluarga dapat bekerjasama dengan konselor dalam memahami dan
mengatasi masalah klien.6

Secara umum, proses konseling keluarga berbeda dengan proses konseling


individual dilaksanakan dengan cara orang perorang. Sedangkan dalam proses konseling
keluarga bisa dilakukan terhadap anggota keluarga bisa dilakukan terhadap anggota
keluarga, artinya bisa lebih dari seorang.7

Proses konseling keluarga bisa dilaksanakan melalui beberapa tahapan berikut :

A.Pengembangan Rapport

Pengemangan rapport sangat penting dan sangat menentukan bagi


keberlangsungan proses-proses konseling selanjutnya. Menciptakan hubungan konseling
pada proses tahap awal memang gampang-gampang susah. Yang perlu diperhatikan oleh
seorang konselor adalah mengupayakan dapat terciptanya rapport atau suasana hubungan
yang kondusif, akrab, jujur, saling percaya, sehingga hal tersebut dapta mengantarkan
kepada keterbukaan klien.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan rapport yang baik
yakni diawal pertemuan ketika klien memasuki ruangan konseling dengan
memperhatikan beberapa aspek berikut:

1.Kontak Mata

Kontak mata sebaiknya dilakukan secara wajar dan professional. Wajar


mengandung arti bahwa seorang konselor tidak sepantasnya melakukan pandangan mata
genit, mata nakal, mata menyelidik, dan curiga. Professional, hal ini karena profesi
konseling selalu harus ditegakkan dan dipedomani oleh seorang konselor
saat menjalankan tugasnya.

2.Perilaku Non Verbal

6 Mamat Supriatna, Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2011.hal 233-235.

7 Mahmudah, Bimbingan & Konseling Keluarga, Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015.hal. 135
Perilaku non verbal adalah perilaku yang dimunculkan melalui bahasa
tubuh, misalnya, menunjukkan perilaku attending, bersahabat/akrab, hangat, luwes,
keramahan, senyum, menerima, jujur/asli, penuh perhatian dan terbuka yang kesemua
perilaku tersebut ditunjukkan melalui bahsa tubuh, anggukkan, ekspresi wajah/muka,
dan sebagainya. Dengan menunjukkan perilaku non verbal yang baik, maka akan
mengantarkan pada klien merasa nyaman, dengan demikian klien akan merasa
diperhatikan.

3.Bahasa Lisan/Verbal

Bahasa lisan/verbal yaitu bahsa yang disampaikan kepada klien melalui


kata-kata lisan. Seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan komunikasi lisan
yang baik, mudah pahami oleh klien.

Perlu diketahui bahwa tujuan dari penciptaan rapport adalah dalam rangka
membangun suasana yang baik, memberikan keberanian dan kepercayaan diri klien agar
menyampaikan isi hati, perasaan, kesulitan, dan bahkan kerahasiaan kepada konselor.
Dan hal ini tidak akan tercapai jika konselor tidak bias membangun rapport yang baik
dengan klien.

Dalam hal ini, Perez mengungkapkan kesulitan-kesulitan dalam menciptakan


rapport bisa timbul karena berasal dari konselor maupun dari klien itu sendiri, adapun
kesulitan dari factor konselor seperti ;

a. Konselor kurang mampu menstabilkan emosinya karena latar belakang


kehidupannya yang banyak masalah, misalnya karena masalah keluarga, iklim suasana
kerja, posisinya sebagai guru yang mengharuskan dirinya senang mengatur bahkan
mendikte siswa. Perilaku seperti ini, akan menyebabkan konselor sulit menciptakan
rapport.

b. Konselor yang terikat dengan nilai-nilai yang dianutnya secara sadar atau tidak
mampu mempengaruhi system nilai klien. Oleh karena itu, konselor hendaknya hati-hati
sebab jika ia menilai, maka hubungan konseling tidak akan memberikan hasil yang
efektif.
c. Konselor dihantui oleh kelemahan teori dan teknik konselingnya terutama bagi
konselor pemula.

Sedangkan kesulitan lain juga bisa muncul dari pihak klien, yaitu:

a. Jika ada anggota keluarga (seorang ataupun beberapa orang) tidak mempunyai
motivasi untuk mengikuti konseling.

b. Ada klien yang enggan disebabkan dipaksa oleh orang tua, suami/istri, polisi,
ataupun pihak lainnya.

c. Klien yang sudah berpengalaman dan dating berkali-kali ke konselor dalam rangka
melakukan konseling, akan tetapi justru karena pengalamannya tersebut seakan-akan dia
merasa kecanduan untuk mengobrol bukan untuk meminta bantuan konseling.

B. Pengembangan Apresiasi Emosional

Dalam proses konseling keluarga dibutuhkan kemampuan menghargai perasaan masing-


masing anggota keluarga. Hal ini sangat diperlukan karena, tidak jarang konselor akan
menghadapi gejolak yang mungkin terjadi dalam interaksi yang dinamik diantara anggota
keluarga hingga keinginan untuk memecahkan masalah mereka. Kemampuan ini akan
didapatkan pada konselor yang memahami kemampuan dan teknik dan penguasaan ilmu
serta kepribadian yang handal.

Terdapat dua teknik konseling keluarga yang efektif yaitu sculpting dan role playing.
Kedua teknik ini memberikan peluang bagi pernyataan-pernyataan emosional tertekan,
dan penghargaan terhadap luapan emosi anggota keluarga. Dengan demikian segala
kecemasan dan ketegagan psikis akan dapat mereda, sehingga memudahkan untuk
treatment konselor serta rencana anggota keluarga.

C. Pengembangan Alternatif Modus Perilaku

Pengambangan alternative modus perilaku dalam proses konseling dapat


dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Misalnya, akan selalu makan bersama
pada waktu makan siang atau makan malam. Hal ini tidak mudah dilakukan bagi anggota
keluarga yang sibuk. Maka dalam rangka kebersamaan dan kebahagiaan keluarga,
konselor menciptakan dan mengubah modus perilaku yang disampaikan melalui proses
konseling keluarga. Aplikasi tersebut dilakukan melalui praktik dirumah. Mungkin
konselor memberi suatu daftar perilaku baru yang akan dipraktikan selama satu minggu,
kemudian melaporkannya pada sesi konseling berikutnya. Praktik ini juga dapat
dilakukan kepada anak yang suka menginap dirumah temannya, atau anak yang suka
pulang malam-malam.

Proses konseling ini, berjalan seperti konseling individual, akan tetapi konselor
berusaha memberi ketahanan kepada klien agar dengan perilaku barunya itu ia dapat
memberikan dampak positif bagi interaksi di dalam keluarga.

D. Fase Membina Hubungan Konseling

Dalam membina hubungan konselng, seorang konselor dapat mengembangkan sikap-


sikap berikut ini;

1. Acceptance, yaitu menerima klien apa adanya dengan tanpa mempertimbangkan


jenis kelamin, derajat, status social, maupun agama.

2. Unconditional positive regard, yakni menghargai klien tanpa syarat, tidak


mmeberikan penilaian, mengejek taupun mengkritik.

3. Understanding, yakni konselor dapat memahami keadaan klien sebagaimana


adanya.

4. Genuine, yakni konselor menunjukkan sikap yang asli dan jujur dengan dirinya
sendiri, wajar dalam ucapan dan perbuatan.

5. Empati, yakni seorang konselor dapat merasakan apa yang dirasakan klien.

E. Memperlancar Tindakan Positif

Biasanya kesulitan terjadi pada tahap awal konseling, hal ini terutama bagi para konselor
pemula. Di samping itu, penggunaan respon yang tepat sesuai dengan isi pernyataan klien
juga merupakan masalah yang merepotakn konselor pemula. Untuk itu, usaha menuju
pemantapan ketrampilan konseling bisa merupakan hal yang sebaiknya dilakukan dengan
sungguh-sungguh.8

IV. KESIMPULAN

Proses konseling adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi
para peserta konseling tersebut (konselor dan klien). Setiap tahapan proses konseling
membutuhkan ketrampilan-ketrampilan khusus. Namun ketrampilan-ketrampilan tersebut
bukanlah yang utama jika hubungan konseling tidak mencapai raport. Dinamika
hubungan konseling ditentukan oleh penggunaan ketrampilan yang bervariatif, sehingga
dalam proses konseling tidak merasa membosankan, akan tetapi sangat bermakna dan
berguna. Tahapan proses konseling keluarga itu sendiri terdiri dari pengembangan
rapport, pengembangan apresiasi emosional, pengembangan alternative modus perilaku,
fase membina hubungan konseling, memperlancar tindakan positif.

8 Mahmudah, Bimbingan & Konseling Keluarga, Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015.hal. 135-140
DAFTAR PUSTAKA

S. Willis, Sofyan, Konseling Individual, Bandung: Alfabeta, 2013.

Mahmudah, Bimbingan & Konseling Keluarga, Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015.

Supriatna, Mamat, Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada. 2011.

Anda mungkin juga menyukai