Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Demam rematik (DR) dan atau Penyakit jantung rematik (PJR) eksaserbasi akut adalah
suatu sindroma klinik penyakit akibat reaksi autoimun yang dapat terjadi pada sebagian orang
yang mendapat infeksi kuman Streptokokus Beta hemolitik grup A pada tenggorokan yang
terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis
migrans akut, karditis, korea Syndenham, nodul subkutan dan eritema marginatum.[1],[2],[3].
Penyakit Jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa
(sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung.Sindroma ini diberi nama
“rematik” karena kemiripan gejala klinisnya dengan artritis rematik. Demam rematik terjadi
sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung,
susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi.[1],[2]
Sejak awal abad ke 17 telah dilaporkan mengenai gejala penyakit tersebut. Epidemiologis
dari Perancis de Baillou adalah yang pertama menjelaskan rheumatism artikuler akut dan
membedakannya dari gout dan kemudian Sydenham dari London menjelaskan korea, tetapi
keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761
Morgagni, seorang patolog dari Itali menjelaskan adanya kelainan katup pada penderita penyakit
tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan setelah didapatinya stetoskop pada tahun 1819 oleh
Laennec.
Pada tahun 1886 dan 1889 Walter Butletcheadle mengemukakan “rheumatic fever
syndrome” yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit jantung, korea dan belakangan
termasuk manifestasi yang jarang ditemui yaitu eritema marginatum dan nodul subkutan sebagai
komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn mengusulkan hubungan infeksi
Streptokokus grup A dengan demam rematik dan secara perlahanlahan diterima oleh Jones dan
peneliti lainnya 1. Pada tahun 1944 Jones mengemukakan suatu kriteria untuk menegakkan
diagnosis demam rematik. Kriteria ini masih digunakan sampai saat ini untuk menegakkan
diagnosis dan telah beberapa mengalami modifikasi dan revisi sehingga yang terbaru dari WHO
pada tahun 2002-2003 yang tetap menerapkan criteria gejala klinis mayor dan minor dari Jones.
Saat ini banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang kardiologi, tetapi demam
rematik dan penyakit jantung rematik belum dapat dihapuskan, walaupun kemajuan dalam
penelitian dan penggunaan antibiotika terhadap penyakit infeksi begitu maju.Demam rematik
1
dan pernyakit jantung rematik dikatakan sebagai penyakit yang lebih sering terjadi pada populasi
negara yang miskin,terutamanya pada daerah Afrika Sub-Sahara,India dan Asia timur dan
tenggara sehingga ianya masih merupakan penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan
didunia, termasuk Indonesia. Dinegara maju dalam lima tahun terakhir ini terlihat insidens
demam rematik dan prevalens penyakit jantung rematik menurun, tetapi sampai permulaan abad
ke-21 ini masih tetap merupakan problem medik dan public health didunia karena mengenai
anak-anak dan dewasa muda pada usia yang produktif.
Sekuele demam rematik pada katup jantung yang menimbulkan kerusakan katup jantung
menghabiskan biaya yang sangat besar. Untuk penanganannya harus di utamakan pencegahan
karena pada pasien yang telah dikenal menderita demam rematik,profilaksis primer atau
sekunder harus diteruskan untuk waktu yang sangat lama dan pada penderita kelainan katub
jantung,terapi medikamentosa dan operatif perlu biaya yang besar,keterampilan medik yang
tinggi. Penanganan yang tidak sempurna menyebabkan beban penyakit dan mortalitas yang
tinggi, dan penanganan yang sempurna memerlukan biaya yang besar dan waktu yang terus
menerus sepanjang usia penderitanya.[2],[3]

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM REMATIK
2.1. Definisi
Demam Rematik adalah suatu sindroma klinik penyakit multisistem inflamsi non
suppuratif akibat infeksi kuman Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan yang terjadi
secara akut dan dapat juga sering berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis
migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.[1],[2],[3]
Demam rematik terjadi sebagai sekuele lambat yang dapat melibatkan sendi, jantung,
susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit pada waktu dan frekuensi yang bervariasi.Gejala
daripada demam rematik dapat mengalami resolusi sepenuhnya setelah dirawat kecuali gejala
yang timbul akibat kerusakan pada katub jantung.[1],[2]

2.2 Anatomi Jantung

Hampir seluruh penyakit katup jantung didapat adalah akibat demam rematik. Keterlibatan katup
mitral ditemukan pada sekitar ¾ dan keterlibatan katup aorta ditemukan sekitar ¼ dari seluruh
kasus penyakit jantung rematik. Penyebab paling banyak dari Mitral Stenosis (MS) adalah
demam rematik, dengan perubahan rematik 99% adalah MS dari seluruh kelainan katup mitral.
Sekitar 25 % dari seluruh pasien penyakit jantung rematik terdapat MS terisolasi, dan ± 40 %
terdapat kombinasi antara MS dan Mitral Regurgitasi (MR). Kelainan Multikatup terjadi pada 38
% dari pasien dengan MS, dengan kelainan pada aorta sekitar 35 % dan katup tricuspid 6 %.
katup pulmonal hampir tidak pernah ditemukan. Oleh karena itu, hanya MS, MR, AS, dan AR
yang akan dibicarakan

3
4
2.3 Etiologi
Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman
Stre3ptokokus β hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit
mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptokokus β hemolitik
dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang
terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang
bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan
dengan etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman Streptokokus β hemolitik grup A sebagai
penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh
dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan
bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptokokus β hemolitik grup A,
terutama serotipe M1,3,5,6,14,18,19 dan 24 2,4,6,7,.Infeksi dapat terjadi secara subklinis
sehingga sekurang-kurangnya sepertiga penderita menyangkal riwayat infeksi saluran nafas
karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus tenggorokan terhadap

5
Streptokokus β hemolitik grup A sering negatif pada saat serangan DR.Respons antibodi
terhadap produk ekstraseluler streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan
serangan akut DR sangat berhubungan dengan besarnya respons antibody. Diperkirakan banyak
anak yang mengalami episode faringits setiap tahunnya dan 15-20 persen disebabkan oleh
Streptokokus grup A dan 80 persen lainnya disebabkan infeksi virus.[1],[2],[3]
Insidens infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan bervariasi diantara
berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak usia 5
-15 tahun. Beberapa factor predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah keadaan
sosio ekonomi yang rendah, penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor genetik,
golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan perubahan suhu
yang mendadak. [1],[2],[3]
2.3 Epidemiologi
Demam rematik (DR) telah hampir tidak ada di negara-negara terindustrialisasi sejak
abad ke 20,karena pembaikan dari kondisi hidup termasuk sanitasi dan lingkungan dan
availabilitas tinggi dari antibiotika dan rawatan. Sayangnya trend positif yang mengarah ke
eradikasi penyakit ini tidak terjadi di negara berkembang sehingga masih didapatkan sebagai
penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting pada anak-anak dan dewasa.Perhitungan baru-
baru ini mendapatkan bahwa antara 15-19 juta orang diseluruh dunia menderita Penyakit Jantung
Rematik,dengan hamper seperempat juta kematian terjadi setiap tahun.Angka ini meningkat dari
12 juta penderita DR dan PJR yang didapatkan pada tahun 1944 dan sekitar 3 juta mengalami
gagal jantung dan memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Prevalensinya dinegara
sedang berkembang berkisar antara 1-8 penderita tergantung daerah dari 1000 anak antara 5-14
tahun dan relatif stabil. Data terakhir mengenai prevalensi demam rematik di Indonesia untuk
tahun 1981 – 1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding
negara berkembang lainnya 5,13. Statistik rumah sakit di negara sedang berkembang
menunjukkan sekitar 10 – 35 persen dari penderita penyakit jantung yang masuk kerumah sakit
adalah penderita DR dan PJR. Data yang berasal dari negara berkembang memperlihatkan
mortalitas karena DR dan PJR masih merupakan problem dan kematian karena DR akut terdapat
pada anak dan dewasa muda.
Di negara maju insiden DR dan prevalensi PJR sudah jauh berkurang dan bahkan sudah
tidak dijumpai lagi, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan memperlihatkan peningkatan dibeberapa

6
negara maju. Dilaporkan dibeberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir
tahun 1980an telah terjadi peningkatan insidens DR, demikian juga pada populasi aborigin di
Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini. Di Norwegia, demam rematik
hanya lima kasus dilaporkan Sistem Pemberitahuan Nasional Norwegia untuk Penyakit Infeksi
pada 1990-an. Namun, selama periode 1990-1992, 99 pasien dipulangkan dari rumah sakit
Norwegia dengan diagnosis akut demam rematik.Di beberapa negara berkembang, tidak hanya
merupakan kejadian rematik akut demam tidak menurun, maka jika ada peningkatan. Di Turki,
pada tahun 1990,terjadi peningkatan frekuensi penyakit, dibandingkan dengan tahun 1980-an.
Antara 1990-1992 saja, ada 228 pasien dengan rematik akut demam yang dirawat di sebuah
Rumah Sakit Pediatri di Ankara. Tidak semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan
infeksi Streptokokus β hemolitik grup A menderita DR. Sekitar 3 persen dari penderita infeksi
saluran nafas atas terhadap Streptokokus β hemolitik grup A di barak militer pada masa epidemi
yang menderita DR dan hanya 0,4 persen didapati pada anak yang tidak diobati setelah epidemi
infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada populasi masyarakat sipil. [1],[2]

Dalam laporan WHO Expert consultation Geneva, 29 October–1 November 2001 yang
diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju
hingga 8,2 per 100.000 penduduk dinegara berkembang dan didaerah Asia Tenggara diperkirakan
7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar 2000 – 332.000 yang meninggal diseluruh dunia karena
penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The disability-adjusted life years (DALYs)1 lost)
akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 dinegara maju hingga 173,4 per 100.000
dinegara berkembang yang secara ekonomis sangat merugikan. Data insidens DR yang dapat
dipercaya sangat sedikit sekali dan data daripada efektivitas obat profilaksis dan angka
penyembuhan dan mortalitas dikatakan tidak tepercaya. Pada beberapa negara data yang
diperoleh hanya berupa data local yang terdapat pada anak sekolah. Insidens per tahunnya
cenderung menurun dinegara maju, tetapi dinegara berkembang tercatat berkisar antara 1 di
Amerika Tengah – 150 per 100.000 di Cina.
Sayangnya dalam laporan WHO yang diterbitkan tahun 2004 data mengenai DR dan PJR
Indonesia tidak dinyatakan. [1],[2]

2.4 Patogenesis

7
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokus β hemolitik grup A dengan terjadinya DR
telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respons auto immune terhadap infeksi
Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat
penyakit yang timbul ditentukan oleh factor genetic dari host, keganasan organisme dan
lingkungan serta rawatan yang didapatkan. Kira-kira 3-6% dari semua populasi rentan terhadap
terjadinya DR.Penelitian terhadap kembar monozigotik mendapatkan kepastian bahawa
suspectibilitas terhadap DR adalah karena factor genetic keturunan dan perbedaan antara derajat
kerentanan tidak hamper konsisten pada semua populasi,berarti tidak ada predisposisi yang
berdasarkan ras.Peran antigen histokompatibiliti mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan
antibodi yang berkembang serta jumlah mannose binding lectin dalam sirkulasi segera telah
diteliti sebagai faktor resiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit
T memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptokkokus
grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul,
berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan M protein. M-protein adalah salah satu
determinan virulensi bakteri, strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-
helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein
ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari
struktur katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18,
19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya DR.[2]
Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus
yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan
nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian
yang difokuskan pada peranan superantigen-like activity dari fragmen M protein dan juga
streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis DR.
Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimmune terhadap antigen streptokokkus
memegang peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 – 3 persen
individu yang rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data
terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen streptokokkus
berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi streptokokkus dimulai
dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses
spesifik seperti pelekatan, kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan

8
reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan
oleh streptococcal fibronectin-binding proteins.
Antibodi yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh terhadap protein M bisa
menyeberang bereaksi dengan protein myosin jantung myofiber , glikogen otot jantung dan sel-
sel otot polos arteri , menginduksi pelepasan sitokin dan kerusakan jaringan . Badan Aschoff
karakteristik , terdiri dari kolagen eosinophilic bengkak dikelilingi oleh limfosit dan makrofag
dapat dilihat pada mikroskop cahaya dari penampilan fisik tissue.Perikardium dari kantung
pericardial mengambil penampilan khas roti dan mentega disebabkan oleh eksudat perikardial
serofibrinous yang biasanya sembuh tanpa gejala sisa. Makrofag yang lebih besar dapat menjadi
sel Anitschkow atau sel raksasa Aschoff . Lesi dapat ditemukan di setiap lapisan jantung dan
karenanya disebut pancarditis . Keterlibatan endokardium biasanya menghasilkan nekrosis
fibrinoid dan pembentukan verrucae sepanjang garis penutupan katup jantung sisi kiri,
sedangkan lesi subendocardial dapat menyebabkan thickenings tidak teratur disebut MacCallum
plaques.Acute lesi katup rematik juga dapat melibatkan reaksi imunitas seluler sebagai lesi ini
terutama mengandung sel-sel T -helper dan makrofag .

2.4.1 Patogenesis Penyakit Jantung Rematik


Penyakit ini masih merupakan penyebab kecacatan pada katup jantung yang terbanyak.
Kecacatan pada katup jantung tidak dapat terlihat secara kasat mata seperti cacat fisik lainnya,
tetapi menyebabkan gangguan kardiovaskuler mulai dari bentuk ringan sampai berat sehingga
mengurangi produktivitas dan kualitas hidup.

STENOSIS MITRAL
Mitral Stenosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah dari atrium
kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral
ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada
saat diastolik. Mitral stenosis merupakan konsekuensi lanjut tersering setelah karditis reumatik.
Periode laten selama 20 tahun antara infeksi akut dan disfungsi katup simptomatik tidak jarang
terjadi dengan pasien datang pada decade keempat atau kelima. Abnormalitas patologis stenosis

9
mitral antara lain fusi komisura, skar fibrosa, dan obliterasi arsitektur katup yang normalnya
berlapis sebagai akibat dari penyembuhan valvulitis dan fibrosis yang disuperposisi. Jembatan
fibrosa progresif melalui komisura katup dapat menghasilkan deformitas ‘mulut ikan’ yang kaku
sehingga menyebabkan orifisium kaku, yang mengalami stenosis dan regurgitasi. Daun katup
menjadi terkalsifikasi dan korda tendinae menebal, mengalami fusi, serta memendek.Mayoritas
morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan demam rematik disebabkan oleh efek destruktif
pada jaringan katup jantung . Perubahan anatomi katup meliputi penebalan leaflet ,fusi
commissura , dan pemendekan dan penebalan pita tendinous . Hal ini disebabkan oleh reaksi
autoimun terhadap Grup A β - hemolitik streptokokus ( GAS ) yang mengakibatkan kerusakan
katup . Endotelium katup adalah situs terkenal kerusakan yang diinduksi limfosit. sel CD4 + T
adalah efektor utama jaringan reaksi autoimun jantung pada RHD [ 17 ] Biasanya , aktivasi sel T
dipicu oleh presentasi antigen GAS. Dalam PJR , hasil mimikri molekuler dalam aktivasi sel T
yang salah , dan ini limfosit T bisa melanjutkan untuk mengaktifkan sel-sel B , yang akan mulai
memproduksi antibodi sendiri yang spesifik antigen . Hal ini menyebabkan serangan respon
kekebalan dipasang terhadap jaringan di jantung yang telah salah diidentifikasi sebagai patogen .
Fibrosis dan jaringan parut dari katup leaflet , commissures dan katup menyebabkan kelainan
yang dapat mengakibatkan stenosis katup atau regurgitasi . Peradangan yang disebabkan oleh
demam rematik , biasanya selama masa kanak-kanak , disebut sebagai valvulitis rematik . Sekitar
setengah dari pasien dengan demam rematik akut mengalami radang melibatkan endotelium
katup .

REGURGITASI MITRAL
Mitral regurgitasi adalah suatu keadaan dimana terdapat aliran darah balik dari ventrikel kiri
ke dalam atrium kiri pada saat systole, akibat tidak dapat menutupnya katup mitral secara
sempurna apabila satu atau lebih dari apparatus mitral (dinding atrium kiri annulus mitralis,daun
katup,korda tendinae,M.papilaris,dinidng ventrikel kiri) disfungsi karena penyakit jantung
rematik. Dengan demikian aliran darah saat systole akan terbagi dua, disamping ke aorta yang
seterusnya ke aliran darah sistemik, sebagai fungsi utama, juga akan masuk ke atrium kiri. Akan

10
tetapi daya pompa jantung jadi tidak efisien dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai dari yang
asimtomatis sampai gagal jantung berat. MR menyebabkan volume overload dari ventrikel kiri,
atrium kiri yang dalam perjalanan waktu menjadi dilatasi berat dan hipertrofi ringan ventrikel
kiri. Pada saat systole, atrium kiri akan mengalami pengisian yang berlebihan, disamping aliran
darah yang biasa dari vena-vena pulmonalis, juga mendapat aliran tambahan dari ventrikel kiri
akibat regurgitasi tadi. Sebaliknya pada saat diastole, volume darah yang masuk ke ventrikel kiri
akan mengalami peningkatan yang berasal dari atrium kiri yang mengalami volume overload
tadi. Volume overload karena regurgitasi mitral mengarah ke dilatasi atrium kiri dan ventrikel
kiri. Ketika beratnya regurgitasi mitral akut meningkat, tekanan di kecil, "normal" meninggalkan
atrium tiba-tiba naik, menyebabkan peningkatan tekanan vena pulmonal, dengan edema paru.
Sebaliknya, ketika memperburuk regurgitasi mitral secara bertahap, dengan dilatasi atrium kiri
(mengakomodasi volume yang lebih besar dengan sedikit peningkatan tekanan atrium kiri),
predisposisi pasien yang terkena dampak untuk fibrillasi atrium. Untuk mempertahankan volume
maju-stroke yang normal dengan adanya aliran regurgitasi, ventrikel kiri peningkatan volume,
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) biasanya normal ke tinggi. Namun, remodeling ventrikel
kiri progresif dapat berakibat pada menurunnya fungsi ventrikel kiri.Dinding ventrikel kiri cukup
tebal sehingga akan terdilatasi ringan kemudian pasien masuk dalam keadaan dekompensasi
jantung kiri akut. Derajat kelainan klinis akibat MR ditentukan oleh derajat kebocorannya dan
kecepatan terjadinya.

STENOSIS AORTA
Etiologi stenosis aorta adalah kalsifikasi senilis, variasi congenital, penyakit jantung rematik.
Di Negara maju, etiologi terutama oleh kalsifikasi degenerative dan siring dengan prevalensi
penyakit jantung koroner dengan factor resiko yang sama. Sedang di negara kurang maju
didominasi oleh penyakit jantung rematik. Hambatan aliran darah di kautp aorta (progressive
pressure overload of left ventricle akibat stenosis aorta) akan merangsang mekanisme RAA
(Renin-Angiotensin-Aldosteron) beserta mekanisme lainnya agar miokard hipertrofi.
Penambahan massa otot ventrikel kiri ini akan meningkatkan tekanan intraventrikel agar dapat
melampaui tahanan stenosis aorta tersebut dan mempertahankan wall stress berdasarkan rumus
laplace: stress = (pressure x radius) : 2x thickness. Namun bila tahanan aorta bertambah, maka

11
hipertrofi akan berkembang menjadi patologik dengan gejala sinkop, iskemia sub-endokard yang
menghasilkan angina dan berakhir dengan gagal miokard (gagal jantung kongestif)

REGURGITASI AORTA
Dilatasi ventrikel merupakan kompensasi utama pada regurgitasi aorta, bertujuan untuk
mempertahankan curah jantung disertai peninggian tekanan artificial ventrikel kiri. Pada saat
aktivitas, denyut jantung dan resistensi vascular perifer menurun sehingga curah jantung bisa
terpenuhi. Pada tahap lanjut, tekanan atrium kiri, pulmonary wedge pressure, arteri pulmonal,
ventrikel kanan dan atrium kanan meningkat sedangkan curah jantung menurun walaupun saat
istirahat

GAGAL JANTUNG
Pada keadaan mitral stenosis, darah sedikit dapat melewati katup yang sempit dari atrium kiri
ke ventrikel kiri(restriksi&obstruksi pengisisan ventrikel)darah banyak terkumpul di atrium
menyebabkan atrium dilatasi dan hipertrofi. Tekanan di atrium meningkat sehingga ia bergerak
pasif menyebabkan tekanan di pulmo meningkat edema pulmonal dispnea,orthopnea dan
PND.apabila terjadi regurgitasi mitral, darah yang mengalir ke ventrikel kiri balik lagi ke atrium
kiri. Pada masa yang sama, atrium kiri turut menerima darah dari v.pulmonalis banyak darah
dari atrium akan masuk ke ventrikel kiri,kerja ventrikel bertambah hipertrofi ventrikel kiri. oleh
karena ventrikel gagal berfungsi dengan baik untuk memompa darah ke aorta, darah kurang
melewati aorta untuk ke seluruh tubuh sehingga perfusi ke jaringan berkurang darah ke organ
berkurang, dan fungsi organ berkurang

2.5 Manifestasi Klinis


2.5.1 Manifestasi Demam Rematik
1.Carditis
Manifestasi paling serius, satu satunya penyebab kematian pada serangan akut, atau bila
melampaui fase akut akan meninggalkan cacat jantung dan penyebab kematian fase
akhir.Karditis yang asimtomatik didiagnosis dari pemeriksaan fisik pada waktu penderita berobat
dengan keluhan non kardiak, yaitu poliartritis migrant maupun chorea.Pada karditis berat, datang
karena gagal jantungnya seperti dispnea(DOE, ortopnea/PND), udema tungkai dan hepatomegali.

12
Karditis ringan apabila pada pemeriksaan fisik dengan auskultasi didapati bising
organic(fungsional) dan kadang-kadang pericardial friction rub.

2.Poliartritis
Poliartitis(radang sendi dibeberapa bagian tubuh) adalah gejala umum dan merupakan
manifestasi awal dari demam reumatik (70 – 75 %). Umumnya artritis dimulai pada sendi-sendi
besar di ekstremitas bawah (lutut dan engkel) lalu bermigrasi ke sendi-sendi besar lain di
ekstremitas atas atau bawah (siku dan pergelangan tangan).Sendi yang terkena akan terasa sakit,
bengkak, terasahangat, kemerahan dan gerakan terbatas dan mencapai puncaknya pada waktu 12
– 24 jam dan bertahan dalam waktu 2 – 6 hari (jarang terjadi lebih dari 3 minggu) dan berespon
sangat baik dengan pemberian aspirin. Poliartritis lebih umum dijumpai pada remaja dan orang
dewasa muda dibandingkan pada anak-anak.

2. Khorea Sydenham,
korea minor atau tarian St. Vitus mengenai hampir 15% penderita demam reumatik.
Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem syaraf sentral pada proses radang. Periode
laten antara mulainya infeksi streptokokus dan mulainya gejala-gejala khorea lebih lama
daripada periode laten yang diperlukan untuk arthritis maupun karditis. Periode laten khorea ini
sekitar 3 bulan atau lebih, sedangkan periode laten untuk arthritis dan karditis hanya 3 minggu.
Penderita dengan khorea ini datang dengan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tidak
bertujuan dan emosi labil. Manifestasi ini lebih nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan
stres. Penderita tampak selalu gugup dan seringkali menyeringai. Bicaranya tertahan- tahan dan
meledak-ledak. Koordinasi otot-otot halus sukar. Tulisan tangannya jelek dan ditandai oleh
coretan ke atas yang tidak mantap dengan garis yang ragu-ragu. Pada saat puncak gejalanya
tulisannya tidak dapat dibaca sama sekali.

3.Erithema marginatum
Ruam (kemerahan) yang khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit
lain. Karena kekhasannya tanda ini dimasukkan dalam manifestasi mayor.Keadaan ini paling
sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai yang jauh dari badan, tidak melibatkan muka.

13
Ruam makin tampak jelas bila ditutup dengan handuk basah hangat atau mandi air hangat,
sementara pada penderita berkulit hitam sukar ditemukan.

4.Nodul subkutan.
Frekuensi manifestasi ini menurun sejak beberapa decade terakhir, dan kini hanya ditemukan
pada penderita penyakit jantung rematik kronik. Nodulus ini biasanya terletak pada permukaan
ekstensor sendi, terutama ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang-kadang nodulus ini
ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vertebralis.

2.5.2 Manifestasi Klinis Penyakit Jantung Rematik

1. Stenosis mitral
- Berkurangnya aliran darah selama diastolic melewati katup mitral akibat penyempitan
katup
- Katup mitral sempit akibat fusi pada komisura,daun katup kaku,menebal dan mengalami
kalsifikasi,korda tendiane mengalami kontraktur melekat satu sama lain akibat jaringan parut.
Proses ini ditambah pemendekan dari korda yang menyebabkan daun katup tertarik ke bawah
sehingga membentuk struktur berbentuk corong sempit.
- Dispnea: disebabkan tekanan tinggi pada atrium kiri dan pembuluh kapiler sehingga
terjadi bendungan paru kronik disertai episode edema alveolus
- Dispnea on effort: keluhan sesak napas apabila ada beban fisik di mana HR meningkat]
- Orthopnea:tanpa beban fisik sekalipun sudah bendungan. Terjadi beberapa menit dalam
keadaan baring dan penderita tidak tidur. Pada posisi baring, terjadi berkurangnya ‘pooling’
cairan di ekstremitas bawah dan abdomen, cairan dari ekstra vaskuler ke intra vaskuler sehingga
venous return meningkat..darah beralih dr ekstrathoracic ke intrathoracic, ventrikel kiri dalam
keadaan gagal di mana ventrikel kanan masih kompeten ventrikel kiri tidak dapat menerima
venous return dilatasi dan meningkatnya tekanan v.pulmonalis dgn akibat edema
intersisial,resistensi jln napas dan dispnea.
- PND: terjadi setelah 2-4 jam,cairan ekstravaskular masuk ke dalam intravascular dengan
akibat venous return meningkat. Pada keadaan gagal jantung kiri di mana ventrikel kanan masih
kompeten menyebabkan tekanan v.pulmonalis dan cabang-cabangnya meningkat,terjadi edema

14
alveoli,mukosa bronchial dan intersisial.udema menekan bronkus kecil dgn akibat menambah
kesukaran napas dan berkurangnya ventilasi.

- Keluhan tergantung dari derajat MS


1. MS ringan:MVA 1,6-2 cm2 – mungkin terjadi sesak napas pd beban fisik yg sedang,
tetapi pd umumnya dapat mengerjakan aktivitas sehari2
2. MS sedang berat: MVA 1-1,5 cm2 – sesak napas mengganggu aktivitas seharian, mula
timbul bila jalan cepat atau menanjak.batuk, sesak napas, wheezing
3. MS berat: MVA<1 cm2 – keluhan sudah timbul pada aktivitas ringan,dispnea
berat,palpitasi, lelah yg berat,batuk,hemomptisis,suara serak,udema,orthopnea dan PND. Cardiac
output menurun, edema paru dan tanda2 gagal jantung kanan yg berat.

2. Regurgitasi mitral

- Dispnea:tekanan pd atrium kiri naik,terjadi backward failuretekanan hidrostatik pd


v.pulmonalis tinggi(hipertensi pulmonal)transudasi ke dalam alveoliedema paru
- EKG:gelomboang R meninggi dan melebar, dilatasi dan hipertrofi LAP mitrale(P
melebar dan bifasik)
- Foto toraks: MR ringan-sedangkardiomegali dengan apeks bergeser ke lateral kaudal,
pembesaran LA tampak double contour, mungkin terlihat Kerley B lines(udema paru)

Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya adalah gagal
jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung), pneumonitis reumatik
(infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian sel
jantung).

2.6 Diagnosa [1],[2],[3],[4]

15
Gambaran klinis demam rematik bergantung pada sistem organ yang terlibat dan
manifestasi klinis yang tampak bisa tunggal atau merupakan gabungan sistem organ yang
terlibat. Diagnosis pada demam rematik memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti. Biasanya pasien datang dengan tanda-tanda Karditis, disebabkan karena gejala-gejala
poliartritis akan sembuh dengan sempurna dalam beberapa minggu. Anamnesis harus termasuk
riwayat infeksi tenggorokan.Harus di Tanya apakah ada keluhan nyeri menelan sebelumnya?
Apakah disertai gejala batuk dan mata merah? Adakah keluhan demam? Adakah nyeri tekan
pada kelenjar leher? Anamnesis harus juga menanyakan riwayat polyarthritis.Apakah ada
bengkak yang terjadi tiba-tiba pada sendi-sendi besar(lutut, pergelangan kaki atau tangan,
paha,lengan, siku dan bahu) sebelumnya? Apakah bengkak pada sendi asimetris dan berpindah?
Apakah bengkak tersebut disertai nyeri? Hal yang paling penting harus di dapatkan dari
anamnesis adalah riwayat karditis.Gejala karditis termasuk dyspnea pada aktivitas, sesak pada
malam hari (dispnea paroximal nocturnal).Ortopneu.Adakah sesak yang terjadi pada posisi
berbaring dan hilang pada posisi duduk? Adakah nyeri dada? Bagaimanakah sifat nyeri? Gejala
yang jarang didapatkan tapi termasuk kriteria mayor adalah korea Sydenham atau tarian St Vitus.
Korea ini ditandai gerakan tidak disadari dan kelemahan otot. Harus di tanyakan juga apakah
pernah ada tanda-tanda dari Eritema marginatum yaitu bercak kemerahan pada torax dan
abdomen yang tidak gatal dan berkembang dan berpindah menjauhi pusat lingkaran sehingga
akhirnya berbentuk serpiginous.Pada sebagian dari penderita DR didapatkan juga nodul subkutan
yaitu massa teraba padat yang tidak nyeri dan mudah digerakan

Tabel 1. Kriteria Jones (Updated 1992) [2],[7]


Manifestasi mayor Manifestasi minor
Karditis Klinis
Poliartritis - Artralgia
Korea - Demam
Eritema marginatum Laboratorium
Nodulus subkutan Peninggian reaksi fase akut

16
(LED meningkat dan atau C reactive protein)
Interval PR memanjang
Ditambah
Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus
tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO
yang meningkat.
Jika disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya, adanya 2 manifestasi
mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor
menunjukkan kemungkinan besar adanya demam rematik.

Pada 2002–2003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan
kriteria Jones yang telah direvisi). Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk:
— Episode demam rematik pertama.
— Episode DR berulang pada pasien tanpa PJR
— Episode DR berulang pada pasien dengan PJR
— Corea Rematik
— Onset karditis rematik perlahan
— PJR Kronis.

Tabel 2. Kriteria WHO 2002-2003 untuk diagnosis DR dan PJR


(berdasarkan criteria Jones yang telah direvisi) [2],[3]

17
2.6.1 Diagnosis pada Penyakit Jantung Rematik

a) Mitral Stenosis

• EKG pada MS seringkali menunjukkan hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kanan. LAH
ditunjukkan oleh adanya gelombang “broad-notched P” yang disebut P mitral nampak pada
sandapan standar I, II, dan sandapan dada (chest leads). Sebelum terjadi AF seringkali didahului
oleh SVES (Supra Ventricle Extra Sistole).
18
• Foto thorax didapatkan kardiomegali dengan CTR > 50 %. Edem paru yang nampak
sebagai perpadatan pericardial terbentuk seperti sayap kupu-kupu atau batwing.

• Echocardiografi

b) Mitral Regurgitasi

19
GAMBAR . Mitral Regurgitasi
Tanda yang didapatkan:
 Pada MR berat, apeks bergeser ke kiri dan bawah, lokasi dari apeks iictus cordis
dapat terlihat. Sistolik thrill dapat juga teraba di apeks
 Bising sistolik derajat III-IV biasanya holo sistolik disebut juga pansistolik,
meliputi seluruh fase systole. Punctum maksimum di apeks, menjalar ke lateral
kiri, aksila dan ke punggung pada MR berat
 JVP meningkat apabila MR disertai gagal jantung kanan sebagai konsekuensi dari
hipertensi pulmonal pada MR, hepatojugular refluks positif apabila terdapat gagal
jantung kanan

20
Pemeriksaan Penunjang
 Pada MR ringan EKG normal, pada MR sedang – berat, EKG menunjukkan
perubahan voltage akibat hipertrofi LV. Segmen ST menunjukkan depresi pada
V4, V5, V6, terjadi dilatasi dan hipertrofi LA disebut “P Mitral”, gelombang P
lebar dan bifasik, aritmia ventrikel dapat terjadi (VES), atrial fibrilasi (AF) timbul
pada LA yang besar, apabila MR diakibatkan oleh infark miokard, EKG akan
menunjukkan gelombang Q patologis.
 Foto Thorax dapat normal pada MR ringan. Sedangkan pada MR sedang – berat
foto thorax menunjukkan kardiomegali dengan apeks bergeser ke lateral dan
kaudal, pembesaran LA tampak pada foto thoraks sebagai double contour.
c) Aortic Stenosis

GAMBAR . Aorta Stenosis


Tanda yang didapatkan:
 Pulsus tardus et parvus pada a. Carotis (a. brakialis)
 Thrill pada a. Carotis
 Murmur ejeksi (ejection systolic murmur)
Pemeriksaan Penunjang

21
 EKG tidak didapatkan perubahan pada AS ringan. Pada AS sedang terdapat tanda-
tanda LVH atau disebut sistolik overload pada LV, dapat juga disertai LAH. Irama
sinus mungkin berubah menjadi AF
 Pada foto thorax didapatkan dilatasi dari aorta ascendens akibat suatu “ jet lesion”
(semprotan darah) yang sangat keras melewati katup aorta yang sempit,
membentur dinding aorta. CTR tidak selalu bertambah. Apabila disertai gagal
jantung AR atau MR maka CTR akan besar dan tampak dilatasi vena – vena
pulmonalis pada gagal jantung
d) Aortic Regurgitasi

GAMBAR . Aorta Regurgitasi

Tanda yang didapatkan:


 Pulsus Corrigan (“collapsing pulse”)
 De Musset’ sign (kepala bergoyang akibat pulsus Corrigan)
 Quinke’ sign (kapiler pada kuku nampak berdenyut)
 Traube’ sign atau pistol shot sound pada arteri – arteri besar
 Bising Duroziez (double tone)
 Hill’ sign (tekanan darah pada tungkai naik lebih tinggi disbanding pada lengan

22
 Tekanan nadi yang meningkat
 EDM (early diastolic murmur)
Pemeriksaan Penunjang
 EKG menunjukkan LVH, LAH, mungkin disertai aritmia, SVES, VES atau AF
 Foto thorax tampak dilatasi ventrikel kiri. Kalsifikasi katup aorta atau aorta
mungkin kelihatan

2.6 Terapi [1],[2],[3],[4],[7]

Pengobatan terhadap DR adalah ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer pada
saat serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang menyertainya,
seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi, penatalaksanaan gagal jantung dan korea.
Pencegahan primordial biasanya membutuhkan perbaikan yang signifikan dalam faktor penentu
sosial dari kesehatan seperti perbaikan perumahan, infrastruktur kesehatan dan akses ke
perawatan kesehatan. Pencegahan demam rematik membutuhkan terapi yang memadai untuk
faringitis GAS. Pencegahan primer didefinisikan sebagai terapi antibiotik yang memadai untuk
infeksi pernapasan bagian atas Streptococcus Beta Hemolitikus grup A.Pengobatan pencegahan
primer hanya diberikan jika terbukti adanya infeksi GAS.Pencegahan primer telah terbukti
efektif dalam mengurangi frekuensi kasus berikutnya dari DR karena andalan dari pencegahan
primer adalah pengobatan tepat waktu dan lengkap Penyakit faringitis Streptococcus Grup A
dengan antibiotik . Jika dimulai dalam waktu 9 hari dari onset sakit tenggorokan , suatu program
10 hari dengan penisilin V 500mg pada orang dewasa atau suntikan IM tunggal 1,2 juta unit
benzethine penisilin G akan mencegah hampir semua kasus demam rematik . Strategi ini
bergantung pada individu yang datang untuk perawatan medis ketika mereka memiliki sakit
tenggorokan dan ketersediaan tenaga medis dan infrastruktur dengan kemampuan untuk
mengambil cairan tenggorokan dan pasokan yang dapat diandalkan penicillin.Namun begitu
sebagaimana dijelaskan dalam WHO makalah diskusi dari tahun 2005 , skrining sistematis dan
pengobatan sakit tenggorokan belum terbukti efektif biaya .

Andalan mengendalikan DR dan PJR adalah pencegahan sekunder . Karena pasien


dengan Demam rematik akut beresiko secara dramatis lebih tinggi daripada populasi umum
mengembangkan episode lebih lanjut dari Demam Rematik Akut setelah infeksi , mereka harus
23
menerima penisilin profilaksis jangka panjang untuk mencegah infeksi ulang. Pencegahan
sekunder demam rematik didefinisikan sebagai administrasi terus menerus antibiotik khusus
untuk pasien dengan serangan DR sebelumnya, atau penyakit jantung rematik yang
terdokumentasi . Tujuannya adalah untuk mencegah kolonisasi atau infeksi saluran pernapasan
atas dengan streptokokus grup A beta - hemolitik dan pengembangan serangan berulang dari DR
Antibiotik yang terbaik untuk profilaksis sekunder adalah benzatin penisilin G ( 1,2 juta unit atau
600000 unit jika < 30kg ) disampaikan setiap empat minggu atau setiap 3 minggu atau bahkan 2
minggu untuk orang dianggap berisiko tinggi . Oral penisilin V ( 250mg ) dapat diberikan dua
kali sehari bukan tetapi kurang efektif dibandingkan benzethine penisilin . Pasien dengan alergi
penisilin dapat menerima eritromisin ( 250 mg ) dua kali daily.the WHO makalah diskusi dari
tahun 2005 menguraikan bahwa strategi kontrol yang tersedia , profilaksis sekunder adalah satu-
satunya yang telah terbukti efektif dan hemat biaya di masyarakat / penduduk tingkat dan karena
itu, pada populasi dengan prevalensi tinggi RHD , pengiriman profilaksis sekunder harus
menjadi prioritas utama bagi pengendalian penyakit GAS . Durasi profilaksis sekunder
ditentukan oleh banyak faktor , khususnya durasi sejak episode terakhir Demam rematik akut ,
dan beratnya. Pasien tanpa karditis terbukti harus menerima antibiotik selama 5 tahun setelah
serangan terakhir sampai 18 tahun ( mana yang lebih lama ) . Pasien tanpa karditis terbukti harus
menerima antibiotik selama 10 tahun setelah serangan terakhir sampai 25 tahun ( mana yang
lebih lama ) . Pasien dengan penyakit katup yang berat atau membutuhkan operasi katup harus
menerima antibiotik seumur hidup .

Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau
korea. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu diberikan pada
penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan artritis. Pada penderita DR dengan gagal
jantung perlu diberikan diuretika, dan diterapkan restriksi cairan dan garam. Penggunaan
digoksin pada penderita DR masih kontroversi karena resiko intoksikasi dan aritmia.
Penggunaan anti inflamasi untuk mengatasi korea masih kontroversi. Untuk kasus korea
yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan valproic
acid, chlorpromazin dan diazepam. Penderita PJR tanpa gejala tidak memerlukan terapi.
Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik untuk mengatasi
keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgikal atau intervensi invasif. Tetapi

24
terapi surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang relatif
mahal dan memerlukan follow up jangka panjang.

2.6.1 Tatalaksana Mitral Regurgitasi

Digoksin sebagai inotropik pada gagal jantung dan mengontrol respon AF.
ACE inhibitor, angiotensin reseptor blocker, alpha blocker sebagai vasodilator untuk
mengurangi regurgitasi ke atrium kiri.
Profilaksis terhadap Infective Endocarditis, menghilangkan sumber infeksi dengan perawatan
gigi.Profilaksis sekunder bila penyebab MR nya demam rematik.1,8

2.6.2 Tatalaksana Mitral Stenosis

Obat-obat seperti beta blocker (seperti Acebutolol, Metaprolol, Propanolol,Metoprolol


Suksinat,Atenolol,Bisoprolol),Digoxin,Amiodarone,Diltiazem,Heparin, dan Verapamil dapat
memperlambat denyut jantung dan membantu mengendalikan fibrilasi atrium.8
Jika terjadi gagal jantung digoxin juga akan memperkuat denyut jantung.8
Diuretik (Furosemid) dapat mengurangi tekanan darah dalam paru-paru dengan cara mengurangi
volume sirkulasi darah.8
Jika terapi tidak dapat mengurangi gejala secara memuaskan,mungkin perlu dilakukan perbaikan
atau pengantian katup.Pada prosedur valvuloplasti balon,lubang katup diregangkan.Kateter yang
pada ujungnya terpasang balon,dimasukkan melalui vena menuju ke jantung.Ketika berada di
dalam katup.balon digelembungkan dan akan memisahkan daun katup yang menyatu juga bisa
dilakukan melalui pembedahan.8
Jika kerusakan katupnya terlalu parah,bisa diganti dengan katup mekanik.8
Sebelum menjalani berbagai tindakan gigi atau pembedahan kepada penderita diberikan
antibiotic untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi katup jantung.8

2.6.3 Tatalaksana Aortic Stenosis

25
Bila penderita dewasa mengalami angina,pingsan dan sesak nafas ketika melakukan aktivitas
akibat stenosis katup aorta,maka dilakukan pembedahan untuk mengganti katup, yang sebaiknya
dilakukan sebelum terjadinya kerusakan ventrikel kiri menetap,8
Katup penganti dapat berupa katup mekanik.Untuk mencegah infeksi katup jantung,setiap
penderita dengan katup pengganti harus mengkonsumsi antibiotic sebelum menjalani tindakan
gigi atau pembedahan.Pada anak-anak ,jika stenosisnya berat,pembedahan dapat dilakukan
bahkan sebelum gejala-gejalanya timbul.
Pengobatan dini sangat penting kerana kematian mendadak bisa terjadi sebelum timbulnya
gejala.Untuk anak-anak,pilihan yang aman dan efektif untuk menganti katup adalah perbaikan
katup melaluipembedahan dan valvuloplasti balon.
Pada valvuloplasti balon,suatu kateter yang pada ujungnya terpasang balon,dimasukkan ke dalam
katup dan balon digelembungkan untuk melebarkan lubang katup.
Valvuloplasti juga dilakukanpada pasien yang lebih tua yang tidak dapat menjalani
pembedahan ,meskipun stenosisnya cenderung berulang.Tetapi penggantian katup biasanya
merupakan pengobatan yang terbaik untuk orang dewasa yang memiliki prognosis sangat baik.

2.6.4 Tatalaksana Aortic Regurgitasi

Untuk mencegah infeksis pada katup jantung yang rusak,setiap sebelum menjalani tindakan gigi
atau pembedahan, kepada penderita diberi antibiotikTindakan tersebut juga dilakukan pada
regurgitasi katup aorta yang ringan .Jika timbul gejala gagal jantung,harus dilakukan
pembedahan sebelum ventrikel kiri mengalami kerusakan yang menetap.Sebelum pembedahan
dilakukan ,gagal jantung diobati dengan digoksindan penhambat ACE,atau obat lainyang
melebarkan pembuluh darah dan mengurangi kerja jantung.Biasanya katup akan diganti dengan
katup mekanik.8

BAB IV
KESIMPULAN

1. Demam Rematik adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman
Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun

26
berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis,
korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.

2. Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer pada saat
serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang
menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi, penatalaksanaan gagal
jantung dan korea.
3. Penyakit Jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa
(sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Demam rematik
terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan
sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit dengan frekuensi yang
bervariasi.

4. Hampir seluruh penyakit katup jantung didapat adalah akibat demam rematik.
Keterlibatan katup mitral ditemukan pada sekitar ¾ dan keterlibatan katup aorta
ditemukan sekitar ¼ dari seluruh kasus penyakit jantung rematik.

5. Penyebab paling banyak dari Mitral Stenosis (MS) adalah demam rematik.

6. Dengan perubahan rematik 99% adalah MS dari seluruh kelainan katup mitral. Sekitar 25
% dari seluruh pasien penyakit jantung rematik terdapat MS terisolasi, dan ± 40 %
terdapat kombinasi antara MS dan Mitral Regurgitasi (MR). Kelainan Multikatup terjadi
pada 38 % dari pasien dengan MS, dengan kelainan pada aorta sekitar 35 % dan katup
tricuspid 6 %. katup pulmonal hampir tidak pernah ditemukan.

7. Penggunaan anti inflamasi untuk mengatasi korea masih kontroversi. Untuk kasus korea
yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan
valproic acid, chlorpromazin dan diazepam. Penderita PJR tanpa gejala tidak memerlukan
terapi. Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik
untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgikal atau
intervensi invasif. Tetapi terapi surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta
memerlukan biaya yang relatif mahal dan memerlukan follow up jangka panjang.
TINJAUAN PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, Juni 2006, Jilid III, hal
1560 – 1580.

27
2. Siregar, Abdullah Afif. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan Di
Indonesia. Dalam : Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas
Kedokteran, Medan April 2008.
3. Palupi S.E.E, dr. Sp.JP. Kumpulan Kuliah Kardiologi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Trisakti, Jakarta, hal 61-64.
4. Gray Huon H, Keith DD, John MM, et al. Lecture Notes Kardiologi, Edisi Keempat.
Penerbit: Erlangga, Jakarta, 2003. Hal 200-216.
5. ESC Comimittee for Practice Guidelines. ESC Guidelines Desk Reference. Compendium
of ESC Guidelines, 2007. p. 175-190.
6. Park, Myung K.The Pediatric Cardiology Handbook, third edition. Mosby Handbook,
USA, 2003. p. 147-157.
7. Libby P, Bonow RO, Mann DL, et al. Braunwald’s Heart Disease: a textbook of
cardiovascular medicine, 8th edition. Saunders Elsevier, Philadelphia, vol. 1, chapter 62.
8. Buku Saku Dokter | Referensi Praktis Kedokteran,www.bukusakudokter.org

28

Anda mungkin juga menyukai