Pertanyaan
1. Bagaimana pandangan Islam menyikapi bentuk negara bangsa?
2. Bagaimana dengan status non-Muslim dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara?
3. Bagaimana pandangan Islam tentangproduk perundangan atau kebijakan
negara yang dihasilkan oleh proses politik modern?
4. Bagaimana sikap kita terhadap konflik-konflik diberbagai belahan dunia
yang melibatkan kalangan Islam, baik di antara sesam muslim maupun
dengan non-muslim?
قال ابن عقيل السياسة ما كان فعال يكون معه الناس أقرب إلى الصالح وأبعد
عن الفساد وإن لم يضعه الرسول صلى هللا عليه و سلم وال نزل به وحي (ابن
) الطرق الحكمية،قيم الجوزية
2. Status non-Muslim dalam negara bangsa adalah warga negara (muwathin/
non-muslim silmi) yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan
warga negara yang lain. Mereka tidak masuk dalam kategori-kategori kafir
yang ada dalam fikih klasik, yakni mu’ahad, musta`man, dzimmi, dan harbi.
أن اإلسالم أسس عالقة المسلمين بغيرهم على المسالمة ال على الحرب
)159 . ص،24 ، ج، تكملة المجموع،والقتال (بخيط المطيعي
إن األصل هو إبقاء الكفار وتقريرهم ألن هللا تعالى ما أراد:قال ابن الصالح
إفناء الخلق وال خلقهم ليقتلوا وإنما أبيح قتلهم لعارض ضرر وجد منهم ال أن
ذلك جزاء على كفرهم فإن دار الدنيا ليست دار جزاء بل الجزاء فى األخرة
) أثار الحرب،(انظر وهبة الزحيلي
3. Produk UU atau kebijakan negara yang lahir dari proses politik moderen
adalah bagian dari kesepakatan anak bangsa, jika produk tersebut tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka bersifat mengikat (mulzim syar’i)
dan wajib ditaati. Sebaliknya jika bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka
umat Islam perlu meluruskannya dengan cara-cara konstitusional. Dan tidak
boleh dijadikan alasan untuk melawan pemerintah yang sah.
4. Merujuk rekomendasi Muktamar NU ke-32 di Makassar sikap NU adalah
memperjuangkan perdamaiaan.
SOAL KEDUA
ISLAM NUSATARA
1. Apa pengertian Islam Nusantara?
2. Dan Bagaimana Islam didakwahkan di Nusantara?
3. Bagaimana Islam dipahami oleh Ulama Nusantara?
4. Bagaimana Islam diamalkan atau dipraktekkan kaum muslimin Nusantara?
رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك التجره على عرف بلدك واسأله
عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به من دون عرف بلدك والمقرر
“Janganlah anda terpaku pada apa yang tertulis dalam kitab-kitab sepanjang umurmu.
Jika datang kepadamu seorang laki-laki dari luar daerah untuk meminta fatwa, maka
jangan terapkan sebuah hukum menurut tradisi yang berlaku di daerahmu. Tanyakanlah
kepadanya tentang tradisi yang berjalan di daerahnya, lalu berilah fatwa berdasarkan
tradisi di daerahnya bukan berdasarkan tradisi yang ada di daerahmu dan bukan
berdasarkan keputusan yang tercantum dalam kitab-kitabmu. Ini adalah kebenaran yang
nyata. Sungguh terpaku pada teks semata merupakan kesesatan yang nyata selamanya.
Itu menunjukkan ketidak-tahuan untuk menangkap maksud-maksud para ulama salaf-
terdahulu”.1
والشافعى لما هبط إلى مصر غير بعض األحكام التى كان قد ذهب
1
Syihad al-Din Ahmad Ibn Idris al-Qarafi, al-Furuq, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1994,
Juz II, hlm. 176-177.
“Oleh karena itu para ulama berkata: al-`adat syari`ah muhakkamah (adat adalah syariat
yang dijadikan hukum). Dan adat kebiasaan (`urf) dalam syara` harus dipertimbangkan.
Imam Malik membangun banyak hukum dengan bertumpu pada perilaku penduduk
Madinah. Imam Abu Hanifah dan para ulama pendukungnya berbeda pendapat dalam
soal hukum yang diakibatkan perbedaan adat kebiasaan mereka. Setelah berdiam diri di
Mesir, Imam Syafii mengubah sebagian pendapat hukumnya yang ditetapkan ketika dia
berada Baghdad. Ini karena perbedaan tradisi (dua negeri itu). Karena itu, ia mempunyai
dua pandangan hukum, yang lama (qaul qadim) dan yang baru (qaul jadid). Dan dalam
fikih Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan. …. Karena itu ada
ungkapan-ungkapan populer, “al-ma`rufu `urfan ka al-masyruthi syarthan” (yang baik
menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi); “al
tsabit bi al-nash ka al-tsabiti bi al-nash” (apa yang ditetapkan oleh tradisi sama nilanya
dengan apa yang ditetapkan berdasarkan nash (Qur`an atau Hadits).2
2
Abdul Wahab Khallaf, `Ilm Ushul al-Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da`wah al-Islamiyah, 1968,
hlm. 90.
Dengan penjelasan itu, maka diketahui bahwa Islam Nusantara lebih
banyak bergerak pada aspek fikih dakwah ()فقه الدعوة, yaitu bagaimana Islam
didakwahkan bukan bagaimana bagaimana mengistinbathkan hukum dari al-
Qur’an dan al-Sunnah. Dengan perkataan lain, Islam Nusantara tak banyak
masuk pada wilayah takhrij al-manath melainkan pada wilayah tahqiq al-
manath. Dalam konteks itu berlaku kaidah fikih, “taghayyur al-ahkam bi
taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-`adat” (perubahan
hukum mengikuti perubahan situasi, kondisi, dan tradisi).
Dengan demikian, jelas bahwa Islam Nusantara tak memasuki wilayah
ibadah mahdhah dan wilayah aqidah. Sebab, dua wilayah tak mengalami
perubahan di setiap ruang zaman. Bangunan shalat orang Islam Nusantara
misalnya sama saja dengan bangunan shalat orang Islam di tempat-tempat lain.
Begitu juga dalam bidang aqidah. Nabi yang menjadi rujukan umat Islam
Nusantara adalah nabi yang juga menjadi rujukan umat Islam di negeri-negeri
lain, yaitu Nabi Muhammad SAW. Begitu juga, kitab suci yang menjadi acuan
umat Islam Nusantara adalah kitab suci yang juga menjadi acuan umat Islam di
wilayah-wilayah lain, yaitu kitab al-Qur’an al-Karim.