Anda di halaman 1dari 50

PORTOFOLIO

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Disusun Oleh :

Nama : Nurlina Nasution


NIM : 0301171331
Sem/ Jur : III (tiga)/ PAI-3

Dosen Pengampu Prof. Dr. Al Rasyidin, M. Ag.

Prodi Pendidikan Agama Islam


Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara
Medan
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya saya
dapat menyelesaikan portofolio Filsafat Pendidikan Islam. Portofolio ini diajukan sebagai salah
satu syarat dalam meyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
Terima kasih kepada dosen yang telah membimbing saya dalam penyusunan portofolio
ini sehingga saya dapat menyelesaikan portofolio ini tepat pada waktunya. Tidak lupa pula saya
ucapkan terima kasih kepada teman-teman kampus yang telah memberikan masukan atau saran
terbaik bagi saya, sehingga portofolio ini dapat terselesaikan dengan baik walau jauh dari kata
sempurna.
Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan portofolio ini dengan sebaik-baiknya.
Namun demikian, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan, tata
bahasa, struktur maupun isinya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak guna penyempurnaan portofolio ini.
Semoga portofolio ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga dengan adanya
portofolio ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Amiin ya rabbal ‘alamin.

Medan, Januari 2018


Penulis,

Nurlina Nasution

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................... ii
Bab 1 Pendahuluan .................................................................................................... 1
Bab 2 Pembahasan ..................................................................................................... 2
2.1 Makalah Kelompok .....................................................................................
2.2 Resume........................................................................................................ 15
2.3 Jawaban Ujian Takehome ........................................................................... 24
Bab 3 Penutup ........................................................................................................... 29

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Portofolio merupakan salah satu metode penelitian yang berkesinambungan, dengan
mengumpulkan informasi atau data secara sistematik atas hasil pekerjaan seseorang (Pomham,
1984). Portofolio dapat diartikan juga sebagai suatu kumpulan pekerjaan atau tugas-tugas
mahasiswa dengan maksud tertentu. Salah satu matakuliah yang menggunakan portofolio adalah
mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam sebagai tugas akhir dari mata kuliah tersebut pada prodi
Pendidikan Agama Islam tepatnya di semester tiga ini.
Di dalam portofolio ini, sudah tersusun secara rapi tugas- tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam dari mulai pertemuan pertama hingga menjelang Ujian Akhir Semester berupa
resume- resume, makalah kelompok, dan ujian takehome. Dalam rangka untuk penghematan,
maka di sini penulis membuat line spacing atau jarak antara baris hanya 1.0 spasi untuk
penghematan biaya.

i
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Makalah Kelompok

HAKIKAT PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Al Rasyidin, M.Ag.


Disusun Oleh : Kelompok VIII

Fairuz Haura (0301173486)


Nisa Rahmawati (0301171274)
Nurlina Nasution (0301171331)

Jurusan Pendidikan Agama Islam


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara
Medan
2018
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hakikat Peserta
Didik dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam” untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam.
Shalawat berangkaikan salam kami hadiahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad
SAW, keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita kelak mendapat syafa’atnya di hari
kemudian. Aamiin.
Selanjutnya kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof.
Dr. Al Rasyidin yang telah membimbing serta mengarahkan dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik dan
saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan
selanjutnya. Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat dan memperluas wawasan bagi kita semua. Allahumma aamiin.

Medan, November 2018


Penulis,

Kelompok XI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………….. 1
B. Rumusan masalah ............................................................................................ 2
C. Tujuan ............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
1. Esensi peserta didik dalam falsafah pendidikan Islam .................................... 3
2. Pengertian peserta didik ................................................................................... 4
3. Sifat yang harus dimiliki peserta didik ............................................................ 5
4. Tugas dan tanggung jawab peserta didik ......................................................... 5

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ...................................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara sederhana, pendidikan Islam dapat difahami sebagai suatu usaha untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. M. Arifin
menuliskan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa Muslim yang bertakwa
secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah
(kemampuan dasar) peserta didik melalui ajaran islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan
perkembangannya. Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian memberi makan jiwa
peserta didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan
menumbuhkan kemampuan dasar manusia.
Dalam dunia pendidikan ada beberapa pandangan yang berkembang berkaitan dengan
peserta didik. Ada yang mendefenisikan peserta didik sebagai manusia belum dewasa, dan
karenanya ia membutuhkan pengajaran, latihan, dan bimbingan dari orang dewasa atau pendidik
untuk mengantarkannya menuju pada kedewasaan. Ada pula yang berpendapat bahwa peserta
didik adalah manusia yang memiliki fitrah atau potensi untuk mengembangkan diri. Fitrah atau
potensi tersebut mencakup akal, hati, dan jiwa yang mana kala diberdayakan secara baik akan
menghantarkan seseorang bertauhid kepada Allah Swt. Kemudian, adapula yang berpendapat
bahwa peserta didik adalah setiap manusia yang menerima pengaruh positif dari orang dewasa
atau pendidik. Dalam arti teknis, bahkan ada yang menyatakan bahwa peserta didik adalah setiap
anak yang belajar disekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal.
Peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia
akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak
hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan
tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus
dalam upaya pengembangan keilmuannya.
Eksistensi peserta didik sebagai salah satu sub sistem pendidikan Islam sangatlah
menentukan. Karena tidak mungkin pelaksanaan pendidikan Islam tidak bersentuhan dengan
individu-individu yang berkedudukan sebagai peserta didik. Pendidik tidak mempunyai arti apa-
apa tanpa kehadiran peserta didik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peserta didik adalah
kunci yang menentukan terjadinya interaksi edukatif, yang pada gilirannya sangat menentukan
kualitas pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana esensi peserta didik dalam falsafah pendidikan Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan peserta didik?
3. Apa saja sifat-sifat yang harus dimiliki peserta didik?
4. Apa saja tugas dan kewajiban peserta didik?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui esensi peserta didik dalam falsafah pendidikan Islam.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan peserta didik.
3. Untuk mengetahui sifat yang harus dimiliki peserta didik.
4. Untuk mengetahui tugas dan tanggung jawab yang harus dipenuhi peserta didik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Hakikat Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam


Banyak sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid,
siswa, santri, anak didik, dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat
diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangi guru.
sedangkan dlam pendidikan islam, ketika dihadapkan pada orang yang berguru kepada seorang
guru. maka melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik lebih
pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti patuh pada sang guru.1
Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan
komponen peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen) siswa
baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang kualitas output peserta didik
yang diinginkan, akan dibawa kemana anak didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.
Kemudian yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta didik yang
diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan yang dimiliki oleh
suatu lembaga pendidikan Islam. Tak kalah pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik
itu mengenai pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat, bakat
dan lainnya.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa
dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perkembangan pada bagian-
bagian lainnya. Dari segi ruhaniah, ia memiliki bakat, memeiliki kehendak, perasaan dan pikiran
yang dinamis dan perlu dikembangkan.
1. Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam
Anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka
usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak
bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih
anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap
maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran
pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara
melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.

1
Usiono, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Ciptapustaka Media, cet II, 2016) hlm.110

3
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan,
ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah,
sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu
berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan
diri kepada Allah atau menghiasai diri dengan akhlak yang mulia yang disukai Allah, dan
sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga
muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut
ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupan anugerah Allah. Ini menunjukkan
pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, disamping pendidikan sendiri adalah upaya untuk
membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh
alam.

B. Pengertian peserta didik


Dalam paradigma pendidikan islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa
dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini,
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-
bagian lainnya. Dari segi ruhaniah, ia memiliki bakat, memilikikehendak, perasaan dan pikiran
yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Berikut ini akan diuraikan pengertian peserta didik dari sudut pandang pendidikan Islam,
yaitu:
a. Muta’alim
Muta’alim adalah orang yang sedang diajar atau orang yang sedang belajar.Muta’alim
erat kaitannya dengan mu’alim karena mualim adalah orang yang mengajar sedangkan
Muta’alim adalah orang yang diajar. Kewajiban menuntut ilmu atau belajar sesuai dengan
dengan firman Allah Swt. : “Dan bertanyalah kepada orang-orang yg berilmu jika kalian tdk
mengetahui.” dan sabda Rasulullah SAW : “menuntut ilmu adalah wajib bagi laki-laki dan
perempuan.
b. Mutarabbi
Mutarabbi adalah orang yang dididik dan orang yang diasuh dan orang yang dipelihara.
Defenisi Mutarabbi adalah lawan dari defenisi murabbi yaitu murabbi adalah mendidik,
mengasuh sedangkan mutarabbi adalah yang dididik dan diasuh.
c. Muta’addib
Muta’addib adalah orang yang yang diberi tata cara sopan santun atau orang yang dididik
untuk menjadi orang yang baik dan berbudi.Muta’addi juga berasal dari muaddib yang artinya
mendidik dalam hal tingkah laku peserta didik jadi Mutaaddi adalah orang yang diberi
pendidikan tentang tingkah laku.

C. Sifat yang harus dimiliki peserta didik


Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam, peserta hendaknya memiliki dan
menanamkan sifat –sifat yang baik dalam diri dan kepribadiannya.

4
Berkenaan dengan sifat Imam al- Ghazali merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus
dimiliki peserta didik :
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah.
2. Mengurangi kecendrungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi sebalinya.
3. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
4. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum maupun agama.
5. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.

D. Tugas dan tanggung jawab peserta didik


Tujuan pendidikan salah satunya ialah menciptakan generasi yang berakhlak mulia
bahkan hal ini menjadi tujuan penting dalam pengutusan Rasulullah Saw ke muka bumi ini. Oleh
sebab itu, pembahasan mengenai kode etik seseorang siswa amatlah penting dalam pendidikan
Islam.
Menurut Imam Nawawi bahwa ada adab-adab dan kode etik penuntut ilmu sama dengan
kode etik seorang guru. Hal tersebut dirincikan sebagai berikut:2
1. Murid harus membersihkan hatinya dari segala kotoran agar hatinya siap untuk menerima
ilmu dan menghafalnya serta mengambil manfaat darinya. Di dalam kitab sahihain
diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau bersabda:
“sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika ia sehat maka sehat dan benarlah
seluruh jasad jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasad ia itulah hati. Menurut ulama
membenahi hati untuk menerima ilmu sama halnya menyuburkan tanah untuk ditanami.
2. Hendaknya penuntut ilmu memutuskan hubungan dengaan segala sesuatu yang
menyibukkannya dari penyempurnaan upaya dalam mencari ilmu. Ridha terhadap rezeki
yang sedikit dan bersabar dalam menghadapi kesulitan hidup. Imam Syafi’I pernah berkata:
Jika seseorang ini menuntut ilmu dengan harta kepemilikan yang banyak juga dengan
kesombongan diri maka dia tidak akan beruntung namun jika seseorang menuntut ilmu
dengan kerendahan hati, kesulitan hidup, melayani para ulama maka ia akan beruntung.
Beliau juga berkata: Tidaklah ilmu diperoleh melainkan dengan kesabaran atas segala
kehinaan. Beliau juga berkata: Tidaklah layak menuntut ilmu kecuali bagi orang yang
bangkrut. Ditanyakan baginya: bagaimana dengan ornag-orang yang kaya yang serba cukup.
Ia berkata: Begitu juga orang yang kaya yang cukup tidak bisa menuntut ilmu. Imam Malik
bin Anas berkata: seseorang tidak akan mampu memperoleh dan menguasai ilmu ini
sebanyak yang ia inginkan sehingga kefakiran menyulitkan dirinya dan sehingga ia lebih
mengutamakan kefakiran atas selainnya. Imam Abu Hanifah berkata: Hal yang membantu
dalam memahami ilmu adalah menyatukan kemauan dan hal yang membantu menghapuskan
hubungan dengan berbagai penghalang dalam menuntut ilmu adalah menerima rezeky yang
sedikit ketika dibutuhkan dan tidak mengambil selebuhnya. Ibrahim al-Ajiri mengatakan:
Barangsiapa yang menuntut ilmu dalam keadaan fakir maka dia akan diberikan pemahaman
terhadap ilmu tersebut. Al Khatib al-Baghdadi berkkata dalam bukuny al-Jami’ Li adabi ar-

2
An Nawawi, ‘Adabul ‘Aalim wal Muta’alim (Tanta: Mkaktabah as-Sahabah, 1987) hlm. 29-33

5
rawi was-Sami’: Dianjurkan bagi penuntut ilmu untuk tidakmdnikah semampunya sehingga
ia tidak disibukkand engan memenuhi hak-hak isteri dan perhatian terhadap reseky
penghidupan keluarga dan dari penyempurnaan menuntut ilmu. Beliau mendasarkan
pernyataannya pada hadits Rasulullah Saw yang berbunyi:
“sebaik-baik kamu setelah tahun 200 adalah orang yang sedikit kebutuhannya yaitu orang
yang tidak ada keluarganya dan anaknya.
Diriwayatkan dari Ibrahimbin Adham bahwasannya ia berkata: Barangsiapa yang terbiasa
dengan paha-paha wanita maka dai tidak akan beruntung maksdunya disibukkand engan
mereka. Hal ini maksdunya adalah orang yang awam bukan orang yang khawas yang
memiliki kelebihan tersendiri. Diriwayatkan dari Sufyan as-Tsauri: Jika seorang yang faqih
menikah maka dia telah berlayar mengarungi lautan dan jjika ia amemiliki seorang anak
maka kapalnya telah karam. Sufyan berkata kepada seorang pemuda: apakah kamu sudah
menikah? Ia menjawab: belum. Ia berkata: kamu tidak mengetahui manfaat apa yang kamu
peroleh daam keadaan ini. Diriwayatkan oleh Bisyir al-Hafi: Barangsiapa yang tidak butuh
kepada wanita maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah Swt dan jangan terbiasa menyukai
paha-paha wanita. Imam Nawawi juga sejalan dan sefaham dengan pendapat mereka, beliau
menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak membutuhkan kepada pernikahan maka
disunnahkan baginya untuk meninggalkannya. Begitu juga jika ia membutuhkannya namun
ia tidak mampu untuk menanggung beban memberi nafkah bagi keluarganya dianjurkan
baginya untuk tidak menikah. Di dalam kitab sahihain diriwayatkan dari Usamah bin Zaid ra
dari nabi Muhammad Saw bahwasanya beliau pernah bersabda:
“tidaklah ada kutinggalkan setelahku ujian yang paling berbahaya bagi laki-laki selain
perempuan” Di dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri radari Nabi
Muhammad Saw beliau bersabda:
“sesungguhnya dunia ini manis dan hijau dan sesungguhnya kamu dijadikan khalifah di
dunia ini agar Allah Swt melihat apa yang kamu perbuat di dalamnya maka berhati-hatilah
kamu terhadap dunia, berhati-hatilah kamu terhadap wanita karena sesungguhnya fitnah
pertama yang menimpa bani Israel adalah wanita”.
3. Hendaklah seorang penuntut ilmu merendahkan hatinya kepada ilmu dan kepada gurunya
karena dengan kerendahan hatinyalah ia dapat memperoleh ilmu. Kita jua telah
diperintahkan untuk bersikap rendah hati secara mutlak. Para ulama berkata: Ilmu menjadi
musuh orang yang sombong sebagaimana air banjir yang lari dari tempat yang tinggi.
Hendaknya jua penuntut ilmu tunduk patuh kepada gurunya dan bermusyawarah kepadanya
dalam berbagai urusannya, melakssanakan perintahnya sebagaimana halnya orang yang sakit
patuh terhadap nasehat dokter yang bijak. Bahkan patuh kepada guru lebih layak karena
martabat guru lebih tinggi dari seorang dokter.
4. Janganlah ia menimba ilmu melainkan dari seorang yang sempurna keahlian ilmunya, jelas
keta‘atan beragamanya, benar ma‘rifamya dan terkenal memelihara dirinya dan
kepeloporannya dalam keilmuan. Ibnu Sirin Imam Malik dan selain mereka mengatakan
bahwa ilmu adalah agama oleh sebab itu perhatikanlah benar-benar dari siapa engkau
mengambil agamamu. Tidaklah cukup dalam keahlian mengajar seorang itu dalam satu
disiplin ilmu hanya memiliki ilmu yang banyak mengenai disiplin ilmu tersebut namun ia
juga harus mengetahui secara menyeluruh segala bidang ilmu syara' karena semuanya saling
terkait. Ia juga harus memiliki agama, akhlak yang baik, pemikiran yang cerdas, ingatan
yang kuat, kajian yang luas dan sempurna serta terlatih.

6
5. Para ulama juga berpendapat dan menganjurkan untuk tidak mengambil ilmu dari orang
yang hanya belajar dan membaca buku-buku saja tanpa membacakan buku tersebut di
hadapan beberapa orang syaikh atau di hadapan syaikh yang cerdas. Jika ia hanya
mengambil ilmunya dari buku-buku saja maka ia akan terjerumus dalam kesalahan dan akan
banyak perubahan dan kesalahan yang akan dialaminya.
6. Hendaknya jua seorang penuntut ilmu memandang kepada gurunya dengan penuh hormat
dan meyakininya memiliki kesempurnaan kelayakan dan kelebihan di atas kebanyakan
ulama yang sebaya dengannya. Hal ini membuamya dapat lebih banyak mengambil manfaat
dari gurunya dan mengukuhkan apa yang dia dengar dari gurunya di benaknya. Salah
seorang penuntut ilmu zaman dahulu jika ia pergi menghadap kepada gurunya ia bersedekah
dengan sesuatu yang ia miliki kemudian ia berkata: “WahaiAllah tutuplah cacat guruku
dariku dan janganlah engkau hilangkan berkah ilmunya dariku”. Imam Syafi‘i
rahimahullah berkata: saya membolak balik lembaran buku di hadapan Imam Malik
rahimahullah dengan lembut karena menghormati beliau agar beliau tidak mendengar suara
kertas tersebut dibalik. Ar-Rabi' berkata: demi Allah saya tidak berani meminum air pada
saat imam Syafi'i melihat kepada saya karena kewibawaannya. Hamdan al-Ashfahani
berkata: pada saat saya duduk bersma Syarik rahimahullah maka iapun dikunjungi oleh anak
khalifah al-Mahdi, lantas iapun bersandar ke dinding, si anak tadi bertanya kepadanya
mengenai hadis namun Syarik tidak berpaling kepadanya namun justru ia berbalik
menghadap kami, kemudian si anak kembali melakukan hal yang sama, iapun berbalik
merespon dengan sikap yang sama. Lantas si anak berkata: apakah kamu meremehkan anak-
anak khalifah Syarik berkata: tidak, namun ilmu itu sangat agung di sisi Allah untuk
diletakkan kepada orang yang sembarangan. Lantas si anak tadi berlutut maka Syarik
tersebut berkata: beginilah ilmu ini selayaknya dituntut. Diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi
Thalib ra bahwasanya ia berkata: diantara hak orang yang berilmu atasmu adalah hendaknya
kaum mengucap salam kepada seluruh kaum secara umum dan kepada seorang alim tersebut
secara khusus. Hendaklah kamu duduk dihadapannya, janganlah kamu menunjuk kepada
sesuatu dengan tanganmu, janganlah pula kamu mengalihkan pandanganmu kepada
selainnya, janganlah kamu mengatakan si fulan berkata ini kebalikan dari pernyataannya,
janganlah kamu menggibah di hadapannya, janganlah kamu berjalanjalan di majlisnya,
janganlah kamu menarik pakainnya, janganlah kamu memaksanya jika ia enggan, janganlah
kamu bosan duduk bersamanya, karena guru seperti pohon kurma dimana kamu menanti
sesuatu yang jatuh dari pohon tersebut.
7. Hendaklah si penuntu ilmu mencari keridhoan gurunya meskipun ia menentang pendapat
pribadinya, janganlah ia menggunjingnya, atau membeberkan rahasianya. Hendaknya ia
menolak gunjingan mengenainya dan jika ia tidak mampu hendaklah ia meninggalkan majlis
tersebut.
8. Janganlah ia masuk menemuinya tanpa izin, jika mereka menemuinya secara berjama'ah
maka hendaklah mendahulukan orang yang paling mulia dan paling tua.
9. Hendaklah juga ia masuk menemuinya dengan menjaga wibawanya dan mengosongkan
hatinya dari segala kesibukan mensucikan dirinya dan bersiwak, memotong kumisnya dan
kukunya serta menghilangkan bau yang tidak sedap.
10. Hendaknya pula ia mengucap salam kepada seluruh orang yang hadir dengan suara yang
dapat didengar dan mengkhususkan gurunya dengan melebihkan pemuliaan kepadanya.
Hendaknya pula ia juga mengucap salam ketika dia berpaling meninggalkan majlis tersebut.
Di dalam hadis telah diperintahkan mengenai hal tersebut.

7
11. Janganlah ia melangkahi orang banyak sehingga ia dapat duduk di majlis yang terdepan
kecuali jika dibolehkan oleh syaikhnya atau para hadirin untuk melangakahi dan melewati
mereka atau dia mengetahui mereka mengizinkan hal tersebut baginya.
12. Janganlah ia menyuruh bangkit seseorang dari tempat duduknya, jika seorang lebih
mengutamakan dan mempersilahkan dirinya untuk duduk di tempat seseorang tersebut
janganlah ia mengambilnya kecuali jika hal tersebut mendatangkan maslahat bagi yang hadir
seperti mendekat kepada syeikh dan bermuzakarah kepadanya sehingga kaum hadirin dapat
mengambil manfaat darinya.
13. Janganlah dia duduk di tengah lingkaran majlis kecuali dalam kondisi darurat. Juga tidak di
antara dua orang yang bersahabat kecuali atas restu mereka. Jika dilapangkan baginya
tempat duduk dia dapat duduk dengan seperlunya. Dianjurkan jua ia mendekat duduk
kepada syeikhnya agar ia dapat memahami perkataan gurunya tanpa kesulitan dengan syarat
janganlah ia mendahulukan dirinya atas orang yang lebih utama darinya dalam hal ini.
14. Hendaklah ia memelihara adabnya kepada teman-temannya dan orang-orang yang hadir di
majlis tersebut. Karena jika ia menjaga adabnya bersama mereka ini berarti ia menjaga
adabnya terhadap syeikhnya dan menghormati majlisnya. Hendaklah ia duduk seperti duduk
orang yang belajar dan tidak duduk seperti orang yang mengajar.
15. Janganlah ia mengangkat suaranya dengan cara berlebihan tanpa dibutuhkan dan jangan pula
tertawa dan banyak bicara tanpa diperlukan.
16. Janganlah ia bermain-main dengan tangannya atau lainnya dan jangan pula menoleh tanpa
diperlukan namun hendaklah ia menghadap syeikh dan mendengar kepadanya.
17. Janganlah ia mendahului syeikh dalam menjelaskan sebuah masalah atau menjawab
pertanyaan kecuali dia mengetahui dari perihal syeikh mengutamakannya untuk melakukan
hal tersebut untuk menunjukkan akan kelebihan orang yang belajar. Janganlah ia
membacakan ldtabnya ketika hari syeikh sedang sibuk atau bosan atau sedih, atau ngantuk
dan lain sebagainya yang menyulitkannya, atau menghalanginya untuk menggenapkan
penjelasannya. Janganlah pula ia bertanya mengenai sesuatu tidak pada tempatnya kecuali
jika si murid mengetahui bahwa syeikh tidak membenci keadaannya tersebut. Janganlah ia
memaksa dalam bertanya sehingga membuat gurunya murka. Hendaklah ia bertanya dengan
memperhatikan waktu yang luang dan senggang.
18. Hendaklah ia berbicara lembut dalam bertanya dan membenahi ucapannya. Janganlah pula
ia malu dalam bertanya mengenai hal yang rumit baginya bahkan ia dapat meminta kepada
syeikh untk menjelaskan kepadanya sejelas-jelasnya. Karena barang siapa yang malu
bertanya maka ilmunya pun akan sedikit, barang siapa yang malu bertanya maka akan
tampaklah kekurangan ilmunya di pertemuan para pemuka ulama.
19. Jika Syekh berkata kepadanya: apakah kamu sudah faham: janganlah ia berkata: ya,
sehingga jelas baginya maksud yang dia pelajari dengan sangat jelas, agar ia tidak berdusta
dengan pernyataannya bahwa ia sudah faham.
20. Janganlah ia malu untuk berkata saya tidak faham. Karena mengklarifikasi pemahamannya
adalah hal yang sangat penting yang dapat mewujudkan maslahatnya di dunia dan akhirat.
Di antara maslahatnya di dunia selamatnya ia dari kedustaan dan kemunafikan dengan
menampilkan pernyataan memahami apa yang belum ia fahami.
21. Diantaranya juga syeikh menganggapnya sebagai orang yang memiliki perhatian dan
kemaun, kesempurnaan akal, wara’ dan tidak munafik. Manfaatnya di akhirat kukuhnya
kebenaran di dalam harinya dan terbiasa melakukan cara yang diridhoi serta bersifat dengan

8
akhlak yang baik. Diriwayatkan dari Khalil bin Ahmad rahimahullah: kedudukan kebodohan
di antara malu dan sombong.
22. Hendaknya pula jika ia mendengar gurunya menjelaskan mengenai satu masalah atau
menceritakan sebuah cerita meskipun ia sudah menghafalnya ia harus mendengamya seolah-
olah ia belum menghafalnya.
23. Hendaknya pula ia benar-benar giat dalam belajar senantiasa melakukannya diseluruh
waktunya siang dan malam, baik dalam keadaan musafir maupun muqim, janganlah ia
menyia-nyiakan waktunya sedikitpun tanpa menimba ilmu kecuali dalam beberapa waktu
darurat untuk makan, minum dan waktu kebutuhan lainnya. Seperti istirahat sebentar untuk
menghilangkan rasa bosan dan lain sebagainya. Tidaklah berakal orang yang memungkinkan
baginya untuk memperoleh derajat pewaris para nabi kemudian ia mengabaikannya. Imam
Syafii berkata: mestilah bagi setiap pencari ilmu untuk mengerahkan kemampuannya sampai
pada puncaknya untuk memperoleh ilmu yang banyak dan bersabar dalam berbagi kesulitan
yang dihadapinya dalam menuntutnya serta mengikhlashkan niat untuk Allah Swt untuk
memperoleh ilmunya baik dengan menulis maupun menyimpulkan serta mengharap
pertolongan dari Allah Swt dalam melakukannya. Dijelaskan pula dalam kitab sahih Muslim
dari Yahya bin Ibnu Katsir bahwasanya ia berkata: ilmu tidak dapat diperoleh dengan
mengistirahatkan jasad. Hal ini ia sebutkan dalam awal-awal fasal waktu-waktu shalat.
Khatib al-Baghdadi pernah berkata: sebaik-baik waktu untuk menghafal adalah pertengahan
malam kemudian pertengahan siang. Menghafal pada malam han lebih bermanfa'at dari
menghafal di siang hari. Waktu lapar lebih bermanfaat dari waktu kenyang. Ia juga berkata:
tempat yang baik untuk menghafal adalah kamar-kamar, jua segala tempat yang jauh dari
tempat bermain. Ia juga berkata: tidaklah baik menghafal di hadapan tumbuhan yang hijau
atau sungai-sungai atau persimpangan jalan karena pada umumnya keadaan ini menghalangi
seorang untuk konsentrasi.
24. Hendaklah ia bersabar dalam menghadapi sikap keras syeikhnya dan buruknya akhlaknya
janganlah hal tersebut mengahalanginya untuk senantiasa melazimi syeikh dan menganggap
kesempumaanya, hendaklah ia menta‘wilkzm perbuatan-perbuatan syeikh yang lainnya
kerusakan namun pada hakikatnya baik. Jika syekhnya bersikap kasar kepadanya hendaklah
ia memaafkannya, menampilkan bahwa dialah yang telah berdosa, serta hal itu teguran
baginya maka hal tersebut jauh lebih barmanfaat bagi agamanya dan dunianya. Para ulama
berkata: barang siapa tidak berasabar kesulitan dalam belajar maka sisa hidupnya berada
dalam kebutaan dan kebodohan. Barang siapa yan bersabar dalam menuntutnya maka dia
akan memperoleh kemulian di akhirat dan di dunia. Juga ada perkataan yang masyhur
diriwayatkan dari Ibnu Abbas: jika kamu menghadapi segala kesulitan ketika menuntut ilmu
maka kamu akan memperoleh kemulian pada saat kamu mengajar.
25. Diantara adabnya juga adalah bersabar, berhati-hati, hendaknya pula memiliki tekad
kemauan yang kuat, janganlah ia merasa cukup dengan ilmu yang seidikitjikalau ia mampu
untuk memperoleh banyak ilmu. Janganlah ia menunda-nunda waktunya dalam mencarinya
jangan pula ia menangguhkan waktu untuk memperoleh suatu yang bennanfa'at.
Diriwayatkan dari Rabi' bahwa ia berkata: saya tidak pernah melihatimam Syafl‘I makan di
waktu siang juga u'dut pada malam hari karena perhatiannya yang besar dalam menuliS
buku. Ia tidaklah membebani dirinya untuk melakukan apa yang tidak sanggup baginya
untuk melakukannya karena takut bosam hal ini berbeda dalam setiap manusia.
26. Jika ia datang kepada majlis syaikh kemudian ia tidak menemukan syeikhnya hendaklah ia
menunggunya, janganlah ia melewatkan pelajarannya. Jika ia sudah menetapkan waktu

9
untuk membaca buku di hadapan syeikhnya janganlah la memberatkan gurunya tersebut
dengan mengalihkan kepada waktu lain. Al-Khatib berkata: jika ia menemukan sykeh dalam
keadaan tidur Janganlah ia meminta izin kepadanya namun hendaklah ia bersabar hingga
gurunya bangun atau dia berpaling meninggalkan gurunya. Namun kebanyakan ulama
terdahulu memilih untuk bersabar menunggu gurunya bangun.
27. Hendaklah ia memanfaatkan waktu luang, semangat, muda, kuatnya badan, konsentrasi
dalam menimba ilmu jangan menanti waktu yang sibuk. Diriwayatkan dari Umar ra
bahwasnya ia berkata: belajarlah kamu sebelum menjadi pemimpin. Imam Syam juga pernah
berkata: belajarlah kamu sebelum menjadi pemimpinjika kamu sudah memimpin maka tidak
ada jalan untuk belajar.
28. Hendaklah ia memberkian perhatian besar dalam membenahi pelajarannya dan memastikan
kebenaranya di hadapan gurunya, kemudian dihafalnya dengan sebenar-benarnya. Kemudian
diulanginya berkali-kaii sehingga menjadi terhujam kokoh di dalam benaknya kemudian
memeliharanya sehingga dia terus menghafalnya dengan baik.
29. Hendaklah ia memulai pelajarannya dengan memuji Allah Swt kemudian berselawat atas
Rasulullah Saw serta berdoa untuk para ulama dan para guru-gurunya begitu jua kedua
orang tuanya dan seluruh kaum muslimin, juga besegera pada pagi hari untuk menuntut
ilmua berdasarkan hadis Rasulullah Saw: Wahai Allah berkatilah ummatku pada pagi hari
mereka.
30. Hendaklah ia senantiasa mengulang-ulangi hafalannya, janganlah ia memulai hafalannya
daribuku. Namun dia harus membenahi hafalannya di hadapan syeikh sebagaimana yang
kita sebutkan sebelumnya. Karena mencukupkan hafalan dari buku adalah kerusakan yang
paling berbahaya. Dalam hal ini Imam Syam mengisyaratkan: barang siapa yang belajar
fiqih dari buku maka dia akan banyak mengabaikan hukum-hukum.
31. Hendaknya pula ia mengkaji ulang hafalannya, memildrkannya dan memperhatikan manfaat
yang dia peroleh darinya, hendaknya juga ia mengkaji ulang pelajaran bersama orang yang
hadir dalam halaqah majlis gurunya. Al-Khatib berkata: sebaik-baik mengkaji adalah pada
malam hari. Jama'ah kaum salaf melakukan hal tersebut. Sebagain mereka memulainya
setelah Isya dan bahkan mereka tidak bankit dari kajiannya sehingga mendengar azan subuh.
32. Hendaklah ia memualai mempelajari ilmu di hadapan guru dengan yang paling penting.
Ilmu yang paling awal yang harus dipelajarinya adalah menghafal al-Quran al-Karim karena
ia adalah ilmu yang paling penting. Kaum salaf tidaklah mereka mengajarkan hadits, fiqih,
kecuali kepada orang yang sudah menghafal al-Quran. Apalah ia sudah menghafalnya maka
hendaklah ia mewaspadai untuk tidak menyibukkan dirinya dengan hadis dan fiqih dan
mengabaikan al. Quran sehingga ia melupakan sesuatu darinya atau menyebabkan ia
melupakan al-Quran. Setelah dia menghafal al-Quran dia dapat menghafal dari berbagai
disiplin ilmu secara ringkas dimulai dari yang paling penting. Diantaranya yang paling
penting adalah fiqih, nahu kemudian hadis kemudian ilmu ushul kemudian seterusnya apa
yang mudah baginya. Kemudian ia menyibukkan dirinya dengan penjelasan-penjelasan apa
yang dihafalnya. Ia bergantung kepada guru-gurunya dalam setiap disiplin ilmu. Jika
memungkinkan baginya untuk menjelaskan berbagai pelajaran di setiap hari ia dapat
melalaikan jika tidak dia dapat mencukupkan untuk dua atau tiga pelajaran, jika ia sudah
menguasai ringksan-ringkasan ilmu ini maka ia harus beralih kepada rinciannya yang lebih
gamblang.
33. Janganlah ia meremehkan manfaat sekecil apapun dari disiplin ilmu yang dia pelajari bahkan
dia bersegera untuk menulisnya kemudian senantiasa menela‘ah apa yang ia tulis.

10
Hendaknya juga ia melazimi halaqah gunmya juga memperhatikan seluruh pelajaran dan
mengomentarinya jika ia mampu. Jika tidak ia harus memperhatikan yang paling penting.
34. Hendaknya pula ia menunjuki teman-temannya sesama pelajar untuk menyibukkan diri
dengan ilmu dan mengambil manfaat darinya Menyebutkan kepada mereka apa yang ia
peroleh dengan tujuan untuk menasehati atau mengkaji. Dengan sikapnya menunjuki mereka
maka Allah memberkati ilmunya dan menerangi hatinya, sehingga ilmu tersebut kokoh di
dalam hatinya. Barang siapa yang bakhil dengan ilmu'maka tidak ada ilmu yang melekat
pada dirinya jikapun itu melekat, tidaklah berbuah.
35. Janganlah ia mendengki kepada seseorangpun dan jangan pula menghinanya dan jangan
merasa bangga dengan pemahamannya.
Menurut Asma Hasan Fahmi, di antara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta
didik adalah:
a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan.
c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
d. Setiap peserta didik wajib menhormati pendidiknya.
e. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh – sungguh dan tabah dalam belajar.3
Selanjutnya ditambahkan Al- Abrasyi, bahwa diantara tugas peserta didik dalam
Pendidikan Islan adalah :
1. Sebelum belajar ia hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang
buruk.
2. Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadhilah.
3. Hendaknya bersedia meninggalkan keluarga dan anah air untuk mencari ilmu ke tempat
yang jauh sekalipun.
4. Memaafkan guru apabila mereka bersalah, terutama dalam menggunakan lidahnya.
5. Peserta wajib saling mengasihi dan menyayangi di antara sesamanya, sebagai wujud
memperkuat rasa persaudaraan.
Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral
dalam proses belajar mengajar. Didalam proses belajar-mengajar, peserta didik sebagai pihak
yang ingin meraih cita-cita dan memiliki tujuan dan kemudia ingin mencapainya secara optimal.
Jadi dalam proses belajar mengajar yang perlu diperhatikan pertama kali adalah peserta didik,
bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponenyang
lain. Apa bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat dan fasilitas
apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik
peserta didik. Itulah sebabnya peserta didik merupakan subjek belajar.
Ada beberapa tugas peserta didik dalam Pendidikan Islam yaitu: 4
1. Mememahami dan menerima keadaan jasmani.
2. Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya.
3. Mencapai hubungan yang lebih “matang” dengan orang dewasa.

3
Samsul Nizar , Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta :Ciputat Pers, 2002), h. 171
4
Abu Ahmadi , Ilmu Pendidikan, rina Cipta, Semarang : 1975

11
4. Mencapai kematangan Emosional.
5. Menuju kepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan finansial.
6. Mencapai kematangan intelektual.
7. Membentuk pandangan hidup.
Menurut Imam Al-Ghazali peserta didik memiliki sepuluh poin kewajiban, atau
wazhifah5 :
a. Pertama, memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk,sebab ilmu itu
bentuk peribadatan hati, shalat ruhani dan pendekatan batin kepada Allah.
b. Kedua, peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi danseyogyanya
berkelana jauh dari tempat tinggalnya.
c. Ketiga, tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkanbersedia patuh
dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya.
d. Keempat, bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri darimengkaji variasi
pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
e. Kelima, penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yangterpuji, melainkan
bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu tersebut.
f. Keenam, penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidakdilakukan secara
sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
g. Ketujuh, penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnyahingga ia benar-
benar menguasai tahap ilmu sebelumnya.
h. Kedelapan, penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yangmenyebabkan dapat
memperoleh ilmu yang paling mulia.
i. Kesembilan, tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan
keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya.
j. Kesepuluh, penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang
dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan.

5
Al Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin (Beirut: Darul Fikr, 1993), hlm. 27, lihat pula Al-Ghazali,
Ayyuhal Walad ; terj. Gazi Saloom (Jakarta: IIman, 2003), hlm. 5.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi
(kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.
Beberapa sifat yang harus dimilik peserta didik diantaranya ialah belajar dengan niat
ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, mengurangi kecendrungan pada kehidupan duniawi
dibanding ukhrawi sebaliknya, menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari
berbagai aliran, mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum maupun agama,
memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
Adapun tugas dan tanggung jawab yang mesti dimiliki oleh peserta didik menurut imam
al-Ghazzali ialah Mememahami dan menerima keadaan jasmani, memperoleh hubungan yang
memuaskan dengan teman-teman sebayanya, mencapai hubungan yang lebih “matang” dengan
orang dewasa, mencapai kematangan Emosional, menuju kepada keadaan berdiri sendiri dalam
lapangan financial, mencapai kematangan intelektual.Membentuk pandangan hidup.

B. Saran
Setelah mempelajari dan mengkaji materi tentang peserta didik ini, hendaklah kita
mengamalkan ilmunya. Karena kita sekarang pun masih dikatakan peserta didik karena kita
masih memerlukan dan sedang dalam proses menuntut ilmu. Baik dalam ranah sifat seorang
peserta didik, kemudian tugas dan tanggung jawab peserta didik hendaklah diamalkan ataupun
diaplikasikan sebagaimana para ulama-ulama terdahulu dalam menuntut ilmu.

13
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu. 1975. Ilmu Pendidikan. Rina Cipta: Semarang.
Ghazali, Al. 1993. Mukhtashar Ihya Ulumuddin. Beirut: Darul Fikr
__________ 2003. Ayyuhal Walad ; terj. Gazi Saloom. Jakarta: IIman.
Nawawi, An. 1987. ‘Adabul ‘Aalim wal Muta’alim. Tanta: Maktabah as-Sahabah.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta :Ciputat.
Usiono. 2016. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Ciptapustaka .

14
2.2 Resume
Resume pertama
Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Arifin menyatakan bahwa pengertian Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah
“konsep berfikir tentang pendidikan yang bersumber pada ajaran Islam tentang hakikat
kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia
muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran agama Islam”.6
Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan sebagai
filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Jadi, ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana
di jumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Tujuan Filsafat Pendidikan Islam
Al-Abrasy dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan lima tujuan
yang asasi bagi pendidikan Islam, yaitu:
a) Untuk membentuk pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan
akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
b) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya
menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja tetapi
dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
c) Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu, tetapi juga agar menumbuhkan
minat pada sains, sastra, kesenian, dan dalam berbagai jenis lainnya.
d) Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai
profesi tertentu, teknis tertentu, dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rezeki dalam
hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
e) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam
tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak atau spritual semata-mata, tetapi menaruh
perhatian pada segi-segi kemanfaatan dan tujuan.

Fungsi Filsafat Pendidikan Islam


M. Arifin menjelaskan bahwa filsafat pendidikan Islam bertugas dalam tiga dimensi
yakni:
1. Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan
yang berdasarkan Islam.
2. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan pendidikan tersebut.
3. Melakukan evaluasi terhadap metode yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut.7
Sanusi Uwes mengatakan bahwa fungsi filsafat pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

6
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm 28
7
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,2005) hlm 6

1
Pertama, sebagai infrastruktur bagi perilaku guru saat melaksanakan tugas pendidikan.
Kedua, mendisplinkan perilaku pendidik dan terdidik.
Ketiga, kritis terhadap lingkungan pendidikan.
Keempat, selektif atas alternatif yang ada.
Kelima, kritis terhadap istilah-istilah.
Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Jalaludin dan Usman Said menjelaskan bahwa secara makro apa yang menjadi objek
filsafat yaitu ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta,
dan manusia merupakan objek pemikiran filsafat pendidikan. Secara makro yang menjadi objek
pemikiran atau ruang lingkup filsafat pendidikan sebagai berikut:
1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan
2. Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan
3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agam dan kebudayaan.
4. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori pendidikan.
5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara, filsafat pendidikan, dan politik pendidikan.
6. Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan
pendidikan.8
Dengan demikian, ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang
terdapat dalam kegiatan pendidikan Islam, seperti masalah tujuan pendidikan Islam, masalah
guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.

Resume Kedua
Metode Studi Dalam Filsafat Pendidikan Islam
Pengertian Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang
digunakan kata al-Thariqah, manhaj, atau al-Wasilah. Al-Thariqoh berarti jalan, manhaj berarti
sistem sedangkan al-Wasilah berarti perantara atau mediator. Jadi kata dalam bahasa Arab yang
lebih dekat dengan metode adalah al-Thariqoh yang berarti langkah-langkah strategis yang
dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Dalam konteks pendidikan Islam, metode dapat dipahami sebagai cara atau jalan yang
ditempuh oleh pendidik dalam mendidik peserta didiknya dengan seperangkat pengalaman
belajar sehingga tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan
efisien. Al-Syaibany berpendapat bahwa metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang
terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang
diajarkan, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan

8
Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada,1994) hlm 17

2
menolong muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan Islam
Pada filsafat pendidikan yang bercorak kritis, maka dalam hal ini di samping
mengginakan metode-metode filsafat pendidikan Islam juga menggunakan metode filsafat
pendidikan yang berkembang pada dunia filsafat umumnya.
Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan
empat hal sebagai berikut:
1.Bahan-bahan yang akan digunakan dalam pngembangan filsafat pendidikan.
2.Metode pencarian bahan.
3.Metode pembahasan.
4.Pendekatan
Filsafat Islam dalam memecahkan problema pendidikan Islam dapat menggunakan
metode metode antara lain:
Pertama, metode spekulatif dan kontemlatif yang merupakan metode utama dalam setiap
cabang filsafat. Dalam istilah filsafat Islam diebut tafakkur. Baik kontemlatif maupun tafakkur
adalah berfikir secara mendalam dan dalam situasi yang tenang, sunyi, untuk mendapatkan
kebenaran tentang hakikat sesuatu yang dipikarkan.
Kedua, pendekatan normatif. Norma artinya nilai juga berarti aturan atau hukum-hukum.
Norma menunjukkan keteraturan suatu sistem. Nilai juga menunjukkan baik buruk, berguna
tidak bergunanya sesuatu. Norma juga akan menunjukkan arah gerak suatu aktivitas. Menurut
filsafat Islam sumber nilai adalah Tuhan dan bentuk norma akan mengarahkan manusia kepAda
Islam.
Ketiga, analisis konsep yang juga disebut sebagai analisis bahasa. konsep berarti
tangkapan atau pengertian seseorang terhadap sesuatu objek. Pengertian seseorang selalu
berkaitan dengan bahasa, sebagai alat untuk mengungkapkan pengertian tersebut.
Keempat, pendekatan historis atau sejarah. Yaitu mengambil pelajaran dari peristiwa dan
kejadian masa lalu. Suatu peristiwa atau kejadian dalam pandangan kesejarahan terjadi karena
hubungan sebab akibat, dan terjadi dalam suatu setting situasi kondisi dan waktunya sendiri-
sendiri. Peristiwa sejarah berguna untuk memberikan petunjuk dalam membina masa depan
dengan demikian peristiwa sejarah banyak manfaatnya untuk dunia pendidikan.
Kelima, pendekatan ilmiah terhadap masalah aktual, yang pada hakikatnya merupakan
pengembangan dan penyempurnaan dari pola berfikir rasional, empiris, dan eksperimental yang
telah berkembang pada masa jayanya filsafat dalam Islam.
Keenam, dalam sistem filsafat Islam pernah pula berkembang pendekatan yang sifatnya
komprehensif dan terpadu antara sumber-sumber aqli, naqli, dan imami sebagaimana yang
nampak dikembangkan oleh al-Ghazali.

3
Menurut al-Ghazali kebenaran yang sebenarnya yaitu kebenaran yang diyakini betul-
betul merupaka kebenaran. Kebenaran yang mendatangkan keamanan dalam jiwa, bukan
kebenaran yang mendatangkan keragu-raguan. Untuk mencapai kebenaran yang benar-benar
diyakini, harus melalui pengalaman dan merasakan. Pemikiran ini lebih mendekati pemikiran
yang pola berpikir yang empiris dan intuitif.

Resume ketiga
Hakikat Manusia Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Dalam Islam
Konsep Al-Nas, Al-Bashar, Dan Bani Adam
Ada beberapa pendapat tetntang hakikat manusia. Di antaranya seperti yang diajukan
oleh Syaibany yang menyatakan bahwa manusia memiliki tiga dimensi persisi seperti “segi tiga”
yang sama panjang sisi-sisinya, yaitu badan (jasmani), akal, dan ruh (jiwa).
Pendapat Syaibany di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki tiga
kategori, yaitu: pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al basyar) yang pada hakikatnya
sama dengan makhluk-makhluk yang lain walau struktur organnya berbeda karena manusia
merupakan makhluk yang paling sempurna. Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al- insan)
yang memiliki potensi rohani seperti fitrah, qalb, akal potensi-potensi tersebut mengangkat
martabat manusia ke tempat yang lebih tinggi di bandingkan dengan makhluk-makhluk yang
lain. Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial (al- nas) yang bertugas melestarikan alam semesta.
Proses, Tujuan, Dan Fungsi Penciptaan Manusia
1. Proses penciptaan manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt. Yang diciptakan dalam bentuk sebaik-
baiknya. Sebagaimana Allah Swt berfirman:
‫لقد خلقنا الد خلقنا اإلنسن في أحسن تقو يم‬
Artinya “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
(Q.S At Tin: 4)
Adapun proses penciptaan manusia ada sembilan fase yaitu sebagai berikut:
Pertama, fase tanah.
‫و لقدخلقنااإلنسان من سللة من طين‬
Artinya “ dan sungguh kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah”
Dalam Q.S Al-Mukminun ayat 12 dijelaskan bahwa manusia itu diciptakan dari saripati
yang berasal dari tanah. Ulama berbeda pendapat mengenai kata insan yang dimaksud. Banyak
yang berpendapat bahwa yang dimaksud insan adalah Adam. Ada juga yang berpendapat bahwa
kata insan tersebut bermakna manusia.
Kedua, fase nutfah. Nutfah adalah fase kedua setelah tanah, hal ini sebagaimana disebutkan oleh
Al-Maraghi bahwa nutfah/ air mani yang dijadikan dari tanah yang bersasal dari makanan

4
seorang ayah dimana makanan itu tadi bersumber dari tanah. Dalam Q.S Al Qiyamah ayat 37
dijelaskan bahwa manusia dahulunya adalah setetes mani yang ditumpahkan dalam rahim.
Artinya manusia itu diciptakan dari air mani yang lemah dan hina yang dipancarkan dari tulang-
tulang sulbi kemudian menembus kedalam rahim.
‫الم يك نطفة من مني يمنى‬
Artinya “bukankah dia mulanya hanya setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)”
Ketiga, fase Alaqoh. Alaqoh adalah tahap kejadian manusia setelah adanya nutfah. Kata ‫علقة‬
terambil dari kata ‫علق‬. Menurut Jalalain ia adalah darah yang membeku. Hal ini juga diperkuat
oleh Al-Maraghi bahwa alaqoh adalah darah tebal yang membeku. Dalam tafsir showi pun
dijelaskan ketika nutfah berada di rahim, dan Allah hendak menjadikannya makhluk maka
setelah empat pulu hari ia akan menjadi darah di dalam rahim, kemudian berkumpul dan inilah
masa terjadinya Alaqoh.
Keempat, fase mudgah. Kata ‫ مضغه‬terambil dari kata ‫ مضغ‬yang berarti mengunyah. Mudghah
adalah sesuatu yang kadarnya kecil sehingga dapat di kunyah. Hal ini juga senada dengan
pendapat Al Maraghi, bahwa mudghah adalah sepotong daging yang besarnya kira-kira sebesar
kunyahan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa mudgah adalah sepotong daging tempat
pembentukan janin.
Kelima, fase tulang dan daging. Setelah proses pembentukan mudghah, Allah membentuk dan
merancangnya mrnjadi bentuk yang memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang, syaraf
dan urat-uratnya.
Keenam, fase penciptaan makhluk yang berbentuk lain. Firman Allah Swt ‫ثم أنشأناه خلقا أخر‬
kholqan akhara/ makhluk lain mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang dianugerahkan kepada
makhluk yang di bicarakan ini yang menjadikan ia berbeda dengan makhluk-makhluk lain.
Gorilla atau orang utan memiliki organ yang sama dengan manusia, tetapi ia berbeda dengan
manusia karena Allah telah menganugerahkan makhluk ini ruh ciptaanNya yang tidak Dia
anugerahkan kepada siapapun kendati kepada malaikat.
Ketujuh, masa kanak-kanak. Firman Allah Swt ‫ ثم نخر جكم طفال‬ditafsiri oleh Al-Maraghi sebagai
tahap dimana dari rahim ibu kalian tatkala sampai kepada masa yang telah ditentukan untuk
kelahirannya yaitu bayi yang kecil yang masih dalam buaian. Adapun dalam tafsir Ibn Katsir
kalimat tersebut dimaknai sebagai keadaan yang lemah baik badannya, pendengarannya,
penglihatan, panca indera, amarah, dan akalnya.
Kedelapan, masa dewasa. Firman Allah Swt ‫ لتبلغو أشدكمثم‬dalam hal ini Al-Maraghi menjelaskan
bahwa dimana tahap manusia dipanjangkan usianya dan dimudahkan dalam pendidikannya
sehingga sampailah pada kesempurnaan akal dan puncaknya kekuatan (masa terkuat). Hal ini
senada dengan yang dijelaskan oleh tafsir Ibn Katsir yaitu kesempurnaan kekuatan yang semakin
bertambah dan mencapai permulaan usia muda dan bagusnya penglihatan.
Kesembilan, masa tua. Kata ‫ ارذل‬terambil dari kata ‫ رذل‬artinya sesuatu yang hina atau nilainya
rendah. Yang dimaksud disini adalah usia yang sangat tua yang menjadikan seseorag tidak
memiliki lagi produktifitas karena daya fisik dan ingatannya sudah sangat berkurang.

5
2. Tujuan penciptaan manusia
Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Seperti ditegaskan
Allah dalam firman-Nya
‫وماخلقت الجن واالنس إالليعبدون‬
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah.
Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam yaitu ibadah primer dan ibadah sekunder.
Ibadah primer adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah sekunder adalah ibadah yang
tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah primer maka akan diberi siksaan oleh
Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya maka akan langsung diberikan ganjaran oleh
Allah. Ibadah primer antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah sekunder
adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah primer tersebut, antara lain: bekerja,
masak, makan, dan menuntut ilmu.
3. Fungsi penciptaan manusia
Fungsi manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Quran Surah al-Baqarah ayat 30:
ِ ْ ‫ض َخ ل ِ ي ف َ ة ً ۖ ق َ ا ل ُ وا أ َت َ ْج ع َ ُل ف ِ ي هَ ا َم ْن ي ُ ف‬
ُ ِ ‫س د ُ ف ِ ي هَ ا َو ي َ سْ ف‬
َ‫ك الد ِ َم ا ء‬ ْ ‫ك ل ِ ل ْ َم َال ئ ِ ك َ ةِ إ ِ ن ِ ي َج ا ِع ٌل ف ِ ي‬
ِ ‫اْل َ ْر‬ َ ُّ ‫َو إ ِ ذ ْ ق َ ا َل َر ب‬
‫ك ۖ ق َ ا َل إ ِ ن ِ ي أ َ عْ ل َ م ُ َم ا َال ت َع ْ ل َ ُم و َن‬
َ َ‫س ل‬
ُ ِ ‫ك َو ن ُ ق َ د‬
َ ‫ح ْم ِد‬
َ ِ‫ح ب‬ ُ ِ ‫َو ن َ ْح ُن ن ُ س َ ب‬

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang
telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas
tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di
bumi sebagai khalifatullah.

Implikasinya Terhadap Pendidikan Dalam Islam

Hakikat penciptaan manusia adalah agar manusia menjadi pengabdi (ontology). Agar
dapat menempatkan dirinya sebagai pengabdi yang setia, maka manusia dianugerahi berbagai
potensi baik jasmani, ruh, maupun rohani.

Pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat menumbuhkembangkan potensi-


potensi yang ada dalam diri manusia sesuai dengan fitrah penciptaannya, sehingga mampu
berperan dan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan.

6
Resume keempat
Hakikat Masyarakat Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Dalam Islam
A. Makna Masyarakat (al- ummah)
Secara sederhana, masyarakat didefinisikan sebagai kumpulan individu atau kelompok
yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama.
Masyarakat menurut Islam mempunyai sikap dan ciri tertentu yang dapat
membedakannya dari masyarakat lain. Masyarakat Islam tersebut adalah masyarakat yang teratur
rapi, aman, makmur, adil dan bahagia yang meliputi seluruh ummat. Kehidupan komunitas
masyarakat dalam Islam menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan seperti dalam
bidang akidah, ibadah, akhlak, undang-undang dan sitem pemerintahan.9
Dalam Al-Quran ada beberapa istilah yang digunakan dalam menjelaskan makna
masyarakat, diantaranya adalah kata ummah yang terdapat pada QS. Ali Imran ayat 110 yang
artinya:
“Kamu umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia karena kamu menyeru
berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
ahli kitab beriman tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman,
namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”
Di dalam Al-Quran terdapat 49 kata ummah yang memiliki makna di antaranya yaitu: 1)
kelompok yang menyueuh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran (QS. Ali Imran
ayat 104), 2) agama Tauhid (QS Al Mu’minun ayat 52), 3) kaum (QS. Hud ayat 8), 4) jalan, cara
atau gaya hidup (QS.Az Zhuhruf ayat 22) dan seterusnya.
Dalam Islam pembentukan masyarakat memang sudah merupakan ciptaan Allah,
sebagaimana firmsn Allah SWT dalam surat Al-Hujaraat ayat 13: Artinya” hai manusia
sesungguhnya Kami menjadikan kamu berasal dari laki-laki dan perempuan (bapak dan ibu), dan
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu berkenalan antara satu
dengan yang lain”.10
B. Karakteristik Masyarakat Muslim
Secara umum karakteristik masyarakat Islam mempunyai tiga ciri, yaitu kembali kepada
Allah, mengutamakan ketaqwaan, dan saling menghormati sesama anggota masyarakat.
Karakteristik masyarakat yang diinginkan Islam terlihat dari dua buah piagam yaitu Piagam
Madinah dan Deklarasi Kairo.
1. Piagam Madinah
Adalah yang dideklarasikan oleh Rasulullah tahun 622 M, merupakan kesepakatan-
kesepakatan tentang aturan yang berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi
Muhammad.
2. Terdapat dua landasan pokok dalam Piagam Madinah yaitu:
Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku dan bangsa.
3. Hubungan antara komunitas Muslim dan non-Muslim didasarkan pada prinsip-prinsip:
berintegrasi secara baik dengan sesama tetangga, saling membantu dalam menghadapi musuh

9
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 65-66.
10
Ibid...hlm. 66-67

7
bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan
beragama.
4. Deklarasi Kairo
Deklarasi Kairo memuat 15 pasal yang kesemuanya berdasarkan ayat Al-quran. Umpanya
pasal 1 mengenai Hak Persamaan dan Kebebasan berdasarkan surat Al-Israa ayat 70, Surat
An-Nisaa ayat 58’105, 107, 135, surat Al-Mumtahanah ayat 8.

C. Peran, Tugas, dan Tanggung Jawab Masyarakat Terhadap Pendidikan Islam


Tugas-tugas edukatif yang harus dilaksanakan masyarakat antara lain adalah:
1. mengarahkan diri dan seluruh anggota masyarakatnuntuk bertauhid dan bertaqwa kepada
Allah
2. masyarakat berkewajiban menta’lim, menta’dib, dan mentarbiyah syari’at Allah Swt,
sebagaimana dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Di antara muatan yang harus dididikkan
tersebut adalah agar membacakan ayat-ayat Allah, menyeru agar manusia menyembah Allah
dan menjauhu thagut, memberi putusan yang adil, membawa berita gembira dan memberi
peringatan, dan menjadi saksi bagi sesama umat.
3. masyarakat berkewajiban menyeru ke jalan Allah dan mengajurkan kepada yang ma’ruf dan
mencegah kemungkaran.
4. masyarakat harus mendidik sesamanya untuk selalu berlomba-lomba dalam meletakkan
kebajikan, sebab di antara rahasia mengapa Allah Swt, mengapa manusia itu berkelompok-
kelompok, tidak satu umat saja adalah untuk menguji dan melihat bagaimana manusia
berkompetisi dalam melakukan kebajikan.
5. Dan lain-lainnya.
Secara rinci fungsi pendidikan Islam terhadap masyarakat adalah untuk memperbaiki
(islah) kehidupan masyarakat yang meliputi:
1. Ishlah al-Aqidah
Yaitu memperbaiki akidah umat.Islam telah mampu memperbaiki akidah dari masyarakat
yang menyembah berhalakepada agama tauhid.
2. Ishlah al-Ibadah
Yaitu memperbaiki cara beribadah.Rasulullah SAW telah memberi contoh bagaimana cara
shalat, cara puasa, haji dan sebagainya.
3. Ishlah al-Ailah
Yaitu perbaikan berkeluarga.Pernikahan diatur dengan secermat-cermatnya. Hak dan
kewajiban suami isteri dijelaskan.
4. Ishlah al-‘Adah
Yaitu memperbaiki adat bangsa Arab jahiliyah yang terkenal buas dan kejam.
5. Ishlah al-Mujtama’ yaitu memperbaiki ummat manusia.
Yaitu pada umumnya masyarakat Islam tidak hanya bergaul dengan sesamanya saja, akan
tetapi juga bergaul dengan yang bukan muslim.

Resume kelima
Konsep Alam Semesta Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Dalam Islam
A. Makna Alam Semesta
Dalam perspektif islam, alam semesta adalah segala sesuatu selain Allah SWT.
Karenanya, alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi segala sesuatu yang ada

8
dan berada di antara keduanya. Tidak hanya itu, dalam perspektif Islam , alam semesta tidak
hanya mencakup hal-hal yang konkrit atau dapat diamati melalui penginderaan manusia, tetapi
mencakup juga segala sesuatu yang tidak dapat diamati oleh penginderaan manusia.
Dalam al-Qur’an, terma ‘alam hanya ditemukan dalam bentuk plural, yaitu ‘alamin. Kata ini
terulang 73 kali dan tersebar pada 30 surah. Penggunaan bentuk plural mengindikasikan bahwa
alam semesta ini banyak atau beraneka ragam. Pemaknaan ini konsisten dengan konsepsi Islam
bahwa hanya Allah SWT yang Ahad, Maha Tunggal dan tidak bisa dibagi-bagi.
Di kalangan masyarakat Muslim, terdapat pemahaman bahwa alam semesta adalah segala
sesuatu selain Allah SWT, tetapi dengan mengecualikan manusia. Pengecualian itu setidaknya
disebabkan oleh pemikiran bahwa : (a) kepada manusia Allah SWT megamanahkan alam
semesta ini untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan seluruh makhluk, (b) untuk
berkemampuan mengelola dan memanfaatkan alam semesta kepada manusia, Alah SWT
anugerahkan ‘aql dan ‘aql ini tidak diberikan-Nya, kecuali hanya kepada manusia. Karena itu,
manusia dikeluarkan dari defenisi alam semesta.
Dalam al-Qur’an, pengertian alam semesta dalam arti jagat raya bisa dipahami dari terma al-
samawat wal-ardi wa ma baynahuma. Ungkapan ini berulang sebanyak 20 kali dan tersebar pada
15 surah. Berkenaan dengan terma ini, Sirajuddin Zar menyatakan bahwa makna al-samawat
wal al-ardl wa ma baynahuma tidak hanya menunjuk pada pengertian kumpulan alam fisik
maupun non fisik. Namun, penggunaan terma tersebut lebih memadai untuk diparalelkan dengan
pengertian alam semesta atau universe.
Shihab menyatakan bahwa semua yang maujud selain Allah SWT, baik yang telah diketahui
maupun yang belum diketahui manusia, disebut alam. Kata ‘alam terambil dari akar kata yang
sama dengan ‘ilm dan ‘alamah, yaitu sesuatu yang menjelaskan sesuatu selainnya. Karenanya,
dalam konteks ini, alam semesta adalah alamat, lat atau sarana yang sangat jelas untuk
mengetahui wujud Tuhan, Pencipta Yang Maha Esa, Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui.
Tujuan Penciptaan Alam Semesta
Dalam perspektif Islam, tujuan penciptaan alam semesta ini pada dasarnya adalah sarana
untuk menghantarkan manusia pada pengetahuan dan pembuktian tentang keberadaan dan
kemahakuasaan Allah SWT. Secara ontologis, adanya alam semesta ini mewajibkan adanya Zat
yang mewujudkannya. Keberadaan langit dan bumi mewajibkan adanya sang pencipta yang
menciptakan keduanya. Dalam konteks ini, keberadaan alam semesta merupakan petunjuk yang
sangat jelas tentang keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan Maha Pencipta.
Disamping sebagai sarana untuk menghantarkan manusia akan keberadaan dan
Kemahakuasaan Allah SWT, dalam perspektif Islam, alam semesta beserta segala sesuatu yang
ada di dalamnya diciptakan untuk manusia. Alam semesta beserta segala sesuatu yang ada di
dalamnya lebih dahulu ada sebelum keberadaan manusia. Setelah alam semesta ini sempurna
penciptaannya, baru kemudian Allah SWT menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di
dalamnya.

9
Peran Manusia Dalam Alam Semesta
Peran manusia dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni sebagai Khalifah dan
‘Abdullah, meskipun pada akhirnya akan bermuara pada konsep ketakwaan terhadap Allah SWT.
Sebagai khalifah, M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata Khalifah mencakup dua
pengertian : orang yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
Khalifah memiliki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan
kekeliruan. Manusia diberi tanggungjawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat
manusia, karena alam semesta memang diciptakan Allah SWT untuk manusia. Meskipun alam
semesta ini diciptakan untuk manusia, namun bukan berarti manusia dapat berbuat sekehendak
hati di dalamnya. Hal ini bermakna bahwa kekuasaan manusia pada alam semesta ini bersifat
terbatas. Manusia hanya boleh mengolah dan memanfaatkan alam semesta ini sesuai dengan
iradah atau keinginan Tuhan yang telah mengamanahkan alam semesta ini kepada manusia.
Allah SWT memberikan mandat kepada manusia untuk mengatur bumi dan segala isinya.
Sebagai Abdullah, yakni hamba yang senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Esensi
dari ‘Abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan, yang hanya layak diberikan kepada
Allah SWT. Dalam konteks Abdullah manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi.
Hal ini berarti bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat
kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu Allah SWT.
D. Fungsi Alam Semesta
a. Sebagai Institusi Pendidikan
Proses pendidikan menurut al-Syaibany adalah menyampaikan sesuatu kepada titik
kesempurnaannya secara berangsur-angsur. Karena, implikasi filosofi terhadap pendidikan islami
adalah bahwa, pendidikan Islam itu merupakan suatu proses atau taahapan dimana pesertadidik
diberi bantuan kemudahan untuk mengembangkan potensi jismiyah dan ruhaniyah sehingga
fungsional untuk melaksanakan fungsi dan tugas-tugasnya dalam kehidupan di alam semesta.
Meskipun telah ditundukkan untuk manusia dan dirancang sesuai dengan hukum-hukum
Allah sehingga memungkinkan untuk diketahui manusia, namun Allah SWT tetap
memerintahkan manusia untuk mempelajari alam semesta dengan sesuai fenomena dan
noumenanya. Alam semesta harus dipelajari sebagai objek studi atau ilmu pengetahuan. Untuk
itu, pendidikan Islami merupakan instrument kunci guna menemukan, menangkap, dan
memahami alam dengan seluruh fenomena dan noumenanya. Dalam perpektif Islam, manusia
harus merealisasikan tujuan kemanusiannya di alam semesta, baik sebagai syahid Allah, ‘abd
Allah, maupun khalifa Allah. dalam konteks ini, Allah SWT menjadikan alam semesta sebagai
wahana bagi manusia untuk bersyahadah akan Keberadaan dan Kemahakuasaan-Nya/ Wujud
nyata yang menandai syahadah itu adalah penuaian fungsi sebagai makhluk ibadah dan
pelaksanaan tugas-tugas sebagai khalifah.
Dalam hal ini, alam semesta merupakan institusi pendidikan, yakni tempat dimana
manusia dididik, dibina, dilatih, dan dibimbing agar berkemampuan merealisasikan atau
mewujudkan fungsi dan tugasnya sebagai ‘abd Allah dan khalifah.
b. Sebagai Sumber Pendidikan Islam
Dalam perspektif filsafah pendidikan Islam, alam adalah guru manusia. Kita semua wajib
belajar dari sikap alam semesta yang tunduk mutlak pada hukum-hukum yang telah ditetapkan

10
Allah. Tidak terbayangkan oleh kita semua manakala alam berprilaku di luar hukum-hukum
Allah. Tidak terbayangkan oleh kita semua manakala alam berperilaku diluar hukum-hukum
Allah. Alam melanggar sunnah-Nya, gunung meletus menyemburkan api, matahari terbit dan
turun kebumi, bintang-bintang berjatuhan, pohon-pohon tumbang, lautan meluap, ombak
menghantam, terjadi badai dan bumi berhenti berputar.
Alam semesta ini dapat dijadikan guru yang bijaksana, misal seperti ombak dilautan
menjadi energi bagi para peselancar, angin dimanfaatkan untuk terjun payung, air deras yang
dibendung untuk energi pembangkit listrik, dan banyak lagi manfaat dan pelajaran yang bisa
diambil oleh manusia dan alam.

Resume keenam
Konsep Dasar Pendidikan Dalam Islam
Pengertian Al-Ta’lim Al-Ta’dib dan Al-Tarbiyah
Ada tiga term untuk menyebutkan kata pendidikan dalam Islam, yaitu kata Tarbiyah,
berasal dari kata kerja rabba. Di samping kata rabba terdapat pula kata ta’lim, berasal dari kata
kerja allama. Selain itu ada kata ta’dib yang berasal dari kata addaba.
Kata tarbiyah merupakan bentuk mashdar dari dari rabba yurabbi tarbiyatan. Dalam Al
Qur’an surat Al Isra ayat 24 yang artinya “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berduan
dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua,
sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil”
Ta’lim, kata allama mengandung pengertian memberi tahu atau memberi pengetahuan,
tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan membina
kepribadian nabi Adam as.
Al-ta’lim merupakan bagian kecil dari al-tarbiyah al-aqliyah yang bertujuan memperoleh
pengetahuan dan keahlian berpikir yang sifatnya mengacu kepada domain kognitif. Hal ini dapat
dipahami dalam dari pemakaian kata allama dalam QS Al Baqarah ayat 31. Kata ‘allama
dikaitkan dengan kata ‘aradha yang berimplikasikan bahwa pengajaran Adam tersebut pada
akhirnya diakhiri dengan tahap evaluasi.
Ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan
kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya. Pengertian ini
berdasarkan hadits Nabi saw: “Tuhanku telah mendidikku dan telah membaguskan
pendidikanku”
Dasar Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam dapat dibedakan kepada dasar ideal dan dasar operasional. Dasar
ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam iru sendiri. Keduanya berasal dari
sumber yang sama yaitu Quran dan Hadits. Kemudian dasar tadi di kembangkan dalam
pemahaman para Ulamadan cendekiawan sebagai dasar operasional. Al Quran dan Sunnah telah
menguraikan dengan jelas dasar-dasar pendidikan Islam sebagai berikut:

11
1. Dasar Tauhid, seluruh kegiatan pendidikan Islam dijiwai oleh norma-norma Ilahiyah dan
sekaligus dimotivasi sebagai ibadah..
2. Dasar kemanusiaan, yaitau pengakuan akan hakikat dan dan martabat manusia.
3. Dasar kesatuan ummat manusia, yang dimaksud dengan dasar ini adalah pandangan yang
melihat bahwa perbedaan suku bangsa, warna kulit, bahasa dan sebagainya bukanlah halangan
untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan.
4. Dasar keseimbangan, yaitu primdip yang melihat antara urusan dunia dan akhirat, jasmani dan
rohani, individu dan sosial, ilmu dan amal, dan seterusnya adalah dasar yang antara dasar satu
dengan dasar yang laing saling berkaitan, berhungungan dan membutuhkan.
5. Dasar Rahmatan Lil ‘Alamin, maksud dari dasar ini adalah melihat bahwa seluruh karya dari
umat muslim adalah termasuk dalam bidang pendidikan adalah berorientasi pada terwujudnya
rahmat bagi seluruh alam.
Tujuan Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab istilah “tujuan”brpadanan dengan kata maqashid yang menunjukkan
kepada jalan yang lurus kata ini merupakan kata jadian dari qashada yang tersebar dalam Al
Quran yang memberi arti pokok. Berdasarkan berbagai istilah tersebut di atas, maka tujuan
pendidikan dalam Islam mengacu pada tujuan umum yang mengarah kepada tujuan akhir melalui
tujuan antara. Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai
khalifah dan fitrah manusia. Manusia dalam Al Quran menempati posisi yang sangat istimewa,
karena ia diciptakan oleh Allah swt sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan
fungsi untuk ibadah hanya kepadaNya.
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu
untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepadaNya dan dapat
mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.

Resume ketujuh
Hakikat Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Pengertian Mu’allim, Mu’addib Dan Murabbi
Mu’allim berasal dari al-fi’al al-madhi ‘allama, mudhari’nya yu’allimu dan mashdarnya
al-ta’lim. Artinya telah mengajar, sedang mengajar dan pengajaran. Kata mu’allim sebagai
pendidik dalam hadits rasulullah adalah kata yang paling umum dikenal dan banyak ditemukan.
Mu’allim merupakan al-ism al-fa’il dari ‘allama yang artinya orang yang mengajar. Dalam
bentuk tsulasi mujarrad, mashdar dari ‘alima adalah ‘ilmun, yang sering dipakai dalam bahasa
indonesia disebut ilmu.
Firman allah swt: “sebagaimana kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu)
kami telah mengutus rasul kepadamu di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada
kamu dan kami mensucikan kamu mengajarkan kepada kamu apa yang telah belum kamu
ketahui.” (qs a-baqarah: 251)
Berdasarkan ayat di atas maka mu’allim adalah orang yang mampu untuk mengkontruksi
bangunan ilmu secara sistematis dalam pemikiran peserta didik dalam bentuk ide, wawasan,
kecakapannya, dan sebagainya.

12
Mu’allim merupakan orang yang menguasa ilmu dan mampu mengembangkannya serta
menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus
melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi.
Mu’addib, merupakan al-ism al-fa’il dari madhinya addaba. Addaba artinya mendidik,
sementara mu’addib artinya orang yang mendidik atau pendidik. Dalam wazan fi’il tsulasi
mujarrad mashdar addaba adalah adaban artinya sopan, berbudi baik. Al-adabu artinya
kesopanan, adapun mashdar dari addaba adalah ta’dib yang artinya pendidikan.
Secara bahasa mu’addib merupakan bentuk mashdar dari kata addaba yang berarti
memberi adab, mendidik. Adab dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan tata krama, sopan
santun, akhlak, budi pekerti. Mu’addib merupakan orang yang mampu menyiapkan peserta didik
untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
Murabbi, istilah ini merupakan bentuk al-ism al-fa’il yang berakar dari tiga kata.
Pertama berasal dari kata raba, yarbu yang artinya zad dan nama (bertambah dan tumbuh). Krdua
berasal dari kata rabiya, yarba yang mempunyai makna tumbuh dan menjadi besar. Ketiga
berasal dari kata rabba, yarubbu yang artinya memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga,
memelihara. Jadi murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak
menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyartakat, dan alam sekitarnya.
Tugas Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Kadar Muhammad Yusuf menjelaskan bahwa ada beberapa tugas yang diemban oleh
para guru yaitu:
a. seorang guru dituntut agar dapat menyikapi fenomena kebesaran Allah yang terdapat dalam
materi yang diajarkannya, hingga para peserta didik dapat memahaminya dan mengikuti pesan-
pesan yang terkandung di dalamnya.
b. guru mengajarkan kepada para peserta didik pesan-pesan normatif yang terkandung dalam
kitab suci Al-Quran, yang meliputi keimanan, akhlak, dan hukum yang mesti dipatuhi untuk
kepentingan manusia dalam menjalani hidup di dunia dan akhirat.
c. pendidik tidak hanya berkewajiban menambahkan ilmu pengetahuan tetapi harus membangun
moral dan membersihkan peserta didiknya dari sifat dan perilaku tercela.
Karakteristik Pendidik Muslim
Muhammad Athiyah al-Abrasy menjelaskan karakteristik ideal yang harus dimiliki
seorang pendidik yaitu: yang pertama, seorang guru harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak
mengutamakan mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharap ridho Allah
semata. Kedua, seorang guru harus memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang uruk.
Ketiga, seorang guru harus ikhlas dalam, melaksanakan tugasnya. Keempat, seorang guru harus
bersifat pemaaf terhadap muridnya, dan seterusnya.

Resume kedelapan
Hakikat Peserta Didik Dalam Pendidkan Islam

13
Pengertian Peserta Didik
Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab disebut tilmidz jamaknya adalah
talamidz, yang artinya adalah murid, maksudnya adalah orang-orang yang mengingini
pendidikan.
Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami
perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam
membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural pendidikan.
Dalam pendidikan islam peserta didik adalah disebut dengan istilah muta’allim,
mutarabbi, dan muta’addib. Muta’allim adalah orang yang sedang diajar atau orang yang sedang
belajar. Muta’allim erat kaitannya dengan mua’allim karena mua’allim adalah orang yang
mengajar sedangkan muta’allim adalah orang yang diajar. Mutarabbi adalah orang yang dididik
dan orang yang diasuh dan orang yang dipelihara. Sedangkan muta’addib adalah orang yang
diberi tata cara sopan santun atau orang yang dididik untu menjadi orang baik dan berbudi.
Tugas Dan Kewajiban Peserta Didik
Al-Ghazali mengungkapkan tugas peserta didik antara lain:
1. Mensucikan diri dari akhlak dan sifat tercela
2. Keikhlasan menjadi seorang murid untuk belajar kepada seorang guru
3. Memiliki tanggung jawab untuk berkonsentrasi, serius dalam belajar
4. Tidak memiliki sifat sombong terhadap guru dan ilmu
5. Tidak mempelajari suatu ilmu secara keseluruhan sekaligus, melainkan memerhatikan
sistematis mulai dari yang mudah
6. Mempelajari ilmu disesuaikan dengan kebutuhan, tingkat, tahap perkembangan murid
7. Dan seterusnya.
Syarat/ Kriteria Yang Harus Dimiliki
Menurut Al-Rasyidin sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki setiap penuntut ilmu antara lain
adalah:
1. Mentauhidkan Allah Swt
2. Menyiapkan dan mensucikan diri baik jasmani maupun rohani
3. Peserta didik harus senantiasa mengharapkan keridhoaan Allah Swt dalam aktivitasnya
menuntut ilmu pengetahuan
4. Peserta didik harus senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar dalam dirinya senantiasa
ditambahkan ilmu pengetahuan
5. Setelah ilmu pengetahuan diraih, maka pengamalannya merupakan bentuk konkrit dari
akhlak peserta didik terhadap Allah Swt
Resume kesembilan
Hakikat Kurikulum Dalam Pendidikan Islam
Pengertian Manhaj Sebagai Esensi Kurikulum

14
Pengetahuan terus berkembang dan pendidikan semakin kompleks untuk memenuhi
keperluan masyarakat dan negara. Kemajuan yang senantiasa dicapai dalam bidang pendidikan
telah menyebabkan berubahnya konsep pendidikan dalam sebuah negara dari masa ke masa.
Untuk mengimbangi perubahan konsep pendidikan, maka apa yang berlaku di dalam proses
pendidikan jugaperlu diubah agar pelajar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain,perubahan kurikulum bagi setiap sekolah, universitas dan perguruan
tinggi lainnya sejalan dengan perkembangan perubahan ini, maka definisi kurikulum juga ikut
berubah.
Istilah kurikulum telah dikenal dalam dunia pendidikan dan merupakan istilah yang tidak
asing lagi. Secara etimologis, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu “curir” yang artinya
pelari dan “curere” yang berarti tempat berpacu. Jadi istilah kurikulum berasal dari dunia
olahraga pada zaman Romawi Kuno yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus
ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish. Dari kata ini kurikulum dalam dunia
pendidikan diartikan secara sederhana sebagai jumlah mata pelajaran yang harus diselesaikan
anak didik untuk memperoleh ijazah.
Dalam bahasa Arab, kata kurikulum bisa diungkapkan dengan manhaj yang berarti jalan
terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan. Sedangkan arti manhaj
kurikulum dalam pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat dalam Kamus al-Tarbiyah adalah
seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam
mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Kurikulum dirumuskan sebagai sejumlah kegiatan yang mencakup berbagai rencana
strategi belajar mengajar, pengaturan-pengaturan program agar dapat diterapkan, dan hal-hal
yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan. Atau dengan
kata lain kurikulum berarti perencanaan pendidikan untuk memberikan sejumlah pengalaman
belajar kepada peserta didik dan proses interaksi pembelajarannya berlangsung dalam bentuk
pengajaran sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Dari uraian di atas jelas bahwa kurikulum memiliki peranan penting dalam proses
kegiatan belajar mengajar dan mencapai tujuan pendidikan. Apalagi tujuan pendidikan yang
begitu kompleks, seorang anak didik tidak hanya memiliki kemampuan secara afektif, kognitif
maupun psikomotor, tetapi dalam dirinya harus tertanam sikap dan pribadi yang berakhlakul
karimah.
Ruang Lingkup Kurikulum Pendidikan Islam
Secara umum cakupan kurikulum pendidikan Islam meliputi seluruh kawasan kehidupan
manusia muslim, baik dalam ruang lingkup wilayah kekhilafahan maupun pengabdiannya
kepada Allah Swt sebagai makhluk ibadah. Karena itu dalam konteks wilayah kekhilafahan
manusia, maka kurikulum pendidikan Islam harus memuat tentang:
1. Hakikat manusia sebagai (a) kreasi atau makhluk yang diciptakan Allah Swt, (b) makhluk
yang dianugerahi potensi jasmaniyah dan ruhaniyah sehingga berkemampuan membelanjakan
diri, dan (c) makhluk yang dipilih sebagai khalifah dimuka bumi yang diberi tugas untuk
memimpin dan memakmurkan kehidupan di dalamnya.

15
2. Kapasitas atau kemampuan manusia dalam meneladani da mengembangkan sifat-sifat
ketuhanan yang tersimpul dalam al-Asmaul al-Husna ke dalam dirinya.
3. Adab atau akhlak al-karimah yakni nilai-nilai universal untuk menata kehidupan diri sendiri,
masyarakat, dan alam semesta yang sejahtera, anggun, dan mulia.
4. Al-ilm, yaitu ilmu pengetahuan yang dibutuhkan manusia untuk mampu menjalankan tugas ke
khilafahannya
5. Sunnah Allah, yaitu perubahan dan perkembangan alam serta kehidupan manusia dimana
mereka dipersyaratkan untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan, keterampilan dan
kepribadian agar mampu menyiasati dan mewarnai perubahan tersebut kearah yang lebih baik.
Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam
Secara umum karakteristik kurikulum pendidikan Islam adalah pencerminan nilai-nilai
Islami yang dihasilkan dari pemikiran yang kefilsafatan dan termanifestasi dalam seluruh
aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam prakteknya.
Menurut al-syaibany di antara ciri-ciri kurikulum pendidikan islam itu adalah:
1. Mementingkan tujuan akhlak dan agama dalam berbagai hal seperti tujuan dan kandungan,
kaidah, alat, dan tehniknya.
2. Meluaskan perhatian dan kandungan hingga mencakup perhatian, pengembangan, serta
bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan
spritual.
3. Adanya prinsip keseimbangan antara kandungan kurikulum tentang ilmu dan seni,
pengalaman dan kegiatan pengajaran yang bermacam-macam.
4. Menekankan konsep menyeluruh dan keseimbangan pada kandungannya yang tidak hanya
terbatas pada ilmu-ilmu teoritis, baik yang bersifat aqli maupun naqli tetapi meliputi seni halus,
kativitas pendidikan jasmani, latihan militer, dan bahasa asing.
5. Keterkaitan antara kurikulum pendidikan islam dengan minat, kemampuanm keperluan, dan
perbedaan individu antar siswa
Kurikulum tersebut tidak akan bermakna apapun apabila tidak dilaksanakan dalam
situasi dan kondisi dimana tercipta interaksi edukatif yang timbal balik antara pendidik di satu
sisi dengan peserta didik di sisi lain.

Resume kesepuluh
Hakikat Metode Dalam Pendidikan Islam
Pengertian Metode Dalam Pendidikan Islam
Untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam, diperlukan cara penyampaian tertentu agar
sampai kepada tujuan yang dinginkan. Dalam hal ini, penggunaan metode dalam proses
pembelajaran merupakan salah satu proses terpenting dalam pencapaian tujuan. Dalam hal ini,

16
metode pendidikan Islam diartikan sebagai prosedur umum dalam penyampaian materi untuk
mencapai tujuan pendidikan didasarkan atas asumsi tertentu tentang hakikat Islam sebagai
suprasistem. Metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan,
sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar
metode pendidikan te rsebut. Dasar metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah dasar
agamis, biologis, psikologos, dan sosiologis.
Metode pembelajaran diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan
mengarahkan perkembangan seseorang khususnya proses belajar mengajar. Metode merupakan
suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa Arab metode disebut “thariqot”.
Dalam kamus besar bahasa indonesia metode adalah cara yang teratur dan berpikir baik untuk
mencapai maksud, sehingga dapat dipahami bahwa metode adalah suatu cara yang harus dilalui
untuk menyajikan bahan pelajaran agar mencapai tujuan pembelajaran.
Karakteristik Metode Pendidikan Dalam Islam
Karakteristik metode pendidikan Islam tentunya sesuai dengan karakteristik pendidikan
Islam itu sendiri. Karakteristik yang paling menonjol adalah pendidikan Islam berdasarkan
kepada al-Qur’an dan Sunnah serta pendidikan Islam sarat nilai bukan bebas nilai. Maka metode
pendidikan yang diterapkan dan dikembangkan harus berdasarkan kepada semangat al-Qur’an
dan Sunnah serta sarat nilai yang sesuai dengan sumber Islam itu sendiri. Lebih lanjut, Samsul
Nizar dan al-Rasyidin merumuskan ada delapan yang menjadi karakteristik metode pendidikan
islam, yaitu:
1. Keseluruhan proses penerapan metode pendidikan Islam didasrkan nilai-nilai asasi Islam.
2. Proses pembentukan, penerapan, dan pengembangannya tetap tidak dapat dipisahkan dengan
konsep al-akhlak al-karimah sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.
3. Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel.
4. Metode pendidikan Islam berusaha bersungguh-sungguh untuk menyeimbangklan antara teori
dan praktek.
5. Metode pendidikan Islam dalam penerapannya membebaskan peserta didik untuk berkreasi
dalam batas-batas kesopanan.
6. Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan kepada nilai-nilai keteladanan
pendidik.
7. Metode pendidikan Islam dan penerapannya berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan terciptanya interaksi edukatif.
8. Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahk an proses pengajaran dalam
mencapai tujuannya secara efektif dan efisien.

Jenis Metode
Berikut beberapa metode pembelajaran yang bisa diterapkan dalam pendidikan antara
lain:

17
1. Metode Hiwar ( Percakapan atau dialog)
Ialah metode percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik
dan dengan sengaja diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang hendak dicapai oleh guru,
biasanya bahan yang dibicarakan tidak dibatasi baik mengenai sains, filsafat, seni maupun
agama.
Metode dialog ini memberikan pengaruh yang dalam terhadap proses pembinaan pribadi
disebabkan beberapa hal yaitu: 1) dialog berlangsung secara dinamis karena melibatkan kedua
belah pihak dalam dialog dan tidak membosankan. Saling memperhatikan dan menjalani jalan
pikiran orang lain.
2. Metode kisah Qurani dan Nabawi
Dalam keseluruhan proses pendidikan agama Islam, kedudukan kisah sangat penting
sebagai metode yang juga berpengaruh. Hal itu disebabkan beberapa faktor, yaitu: 1) kisah selalu
memikat hati dan mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya dan
merenungkan maknanya, sehingga timbul kesan di dalam jiwa, 2) kisah Qurani dan Nabwai
dapat menyentuh hati manusia, sebab kisah biasanya menyentuh kehidupan yang mneyeluruh
yang ditampilkan tokoh sentral dalam kisah itu, 3) kisah Qurani mendidik perasaan keimanan
dengan cara membangkitkan perasaan takut (khauf), ridha dan cinta melibatkan emosional
keagamaan pendengar ke dalam kisah tersebut.
3. Metode Amtsal (perumpamaan)
Perumpamaan yang banyak dalam Quran ( QS 2: 17, QS 29: 41) dapat dan sering
digunakan ustaz, penceramah pengajian-pengajian dan majelis taklim. Pengungkapannya hamper
sama dengan metode kisah yaitu dengan berceramah atau membaca taks. Kebaikan metode ini
dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: 1) memperkuat peserta didik memahami konsep yang
abstrak, 2) dapat merangsang kesan terhadap makna yang dipakai dalam pengajaran, 3) biasanya
perumpamaan yang digunakan bersifat logis agar mudah untuk dipahami, 4) perumpamaan
Qurani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengar untuk berbuat amal baik dan
menjauhi kejahatan.ini hal yang penting dalam pendidikan Islam.
4. Metode Keteladanan
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak cenderung suka dan senang
meniru tingkah laku guru/pendidik. Bahwa setiap pribadi secarapsikologis akan mencari tokoh
untuk diteladani. Bahkan bagi anak-anak,sikap meniru tidak hanya yang baik, bahkan yang
jelekpun bisa saja ditirunya. Itulah sebabnya untuk keberhasilan pendidikan Islam, formal,
informal maupun nonformal keberadaan metode keteladanan itu penting sekali.
5. Metode Pembiasaan
Dalam pembentukan sikap, metode pembiasaan sebenarnya cukup efektif. Orang yang
terbiasa bersih akan memilih hidup bersih, tidak saja bersih fisik, tetapi bisa berdampak terhadap
bersih fikiran dan hatinya. Perlu diingat bahwa, pembiasaan berintikan pengulangan, maka
metode metode pembiasaan juga berguna untuk menguatkan hafalan. Rasulullah berulang-ulang

18
berdo’a dengan doa yang sama. Akibatnya, dia hafal benar doa itu dan sahabtnya yang
mendengarkan doa yang berulang-ulang iru juga turut menjadi hafal.
6. Metode Ibrah dan Mauzi’ah
Metode Ibrah yang sering digunakan dalam pendidikan Islam ialah pembentukan suatu
kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang
dihadapi dengan mneggunakan nalar yang menyebabkan hatinya mengikuti dan mengakuinya.
Sedangkan metode mau’idzhah ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara
menjelaskan pahala atau ancaman.
7. Metode Targhib dan Tarhib
Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujuan. Tarhib
ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Metode targhib bertujuan agar orang mematuhi
aturan Allah. Demikian pula metode tarhib namun penekanannya untuk meninggalkan kejahatan
sedangkan targhib agar seseorang melakukan kebaikan.

Dasar Pertimbangan Dan Prosedur Implementasi


Ada tiga aspek tujuan pendidikan islam yang harus diperhatikan pendidik supaya dapat
memilih dan menemukan metode yang akan dipakai, yaitu:
1. Membentuk manusia didik yang mengabdi kepada Allah Swt.
2. Bernilai edukatif yang mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an dan Hadits.
3. Berkaitan dengan motivasi dan kedisplinan sesuai dengan ajaran Islam.

Resume kesebelas
Hakikat Ganjaran Dalam Pendidikan Islam
Pengertian Ganjaran Dalam Pendidikan Islam
Ganjaran merupakan tindakan yang menggembirakan diambil oleh pendidik untuk
mendorong atau memotivasi anak agar belajar atau melakukan hal-hal yang lebih baik dan
berprestasi. Jadi ganjaran adalah pemberian hadiah terhadap hasil-hasil yang dicapai oleh
anaknkarena tindakan anak yang positif.
Ganjaran secara etimologi berasal dari kata ganjar yang berarti memberi hadiah atau
upah. Karenanya berdasarkan pengertian ini, maka dasarnya ganjaran adalah perlakuan yang
menyenangkan yang diterima seseorang sebagai konsekuensi logis dari perbuatan baik atau
prestasi terbaik yang berhasil ditampilkan atau diraihnya. Dalam bahasa Arab kata ganjaran
dikenal dengan istilah “tsawab”. Al- Quran menunjukkan apa yang diperbuat oleh seseorang
dalam kehidupan akan mendapat ganjaran di akhirat kelak karena amal perbuatan yang baik.
Allah berfirman yang Artinya: “sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala
dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala

19
akhirat, kami berikan pula kepadanya pahala akhirat. Dan kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tsawab identik dengan ganjaran yang baik.
Seiring dengan hal ini maka yang dimaksud dengan kata tsawab dalam kaitannya dengan
pendidikan Islam adalah pemberian ganjaran yang baik terhadap perilaku yang baik dari anak
didik.
Jadi yang dimaksud dengan ganjaran yaitu suatu pemberian yang diberikan pendidik
karena anak didik telah melakukan kebaikan dan juga merupakan pembinaan yang dipandang
sebagai proses sosial dapat melahirkan anak yang berwatak sosial, yang dapat meraih watak
kemanusiaannya yang memiliki bekal nilai-nilai dan yang memenuhi perintah serta larangan
moral dan sosial yang merupakan syarat bagi tercapainya kehidupan anak yang baik dan stabil.
Bentuk-Bentuk Ganjaran Dalam Pendidikan Islam
Untuk menentukan ganjaran apakah yang layak dan baik diberikan kepada anak
merupakan suatu hl yang sangat sulit. Karena ganjaran sebagai alat pendidikan banyak sekali
macamnya, ganjaran pada dasarnya dapat berupa materi seperti barang dan non materi seperti
sanjungan dan pujian.
Maka ada beberapa ganjaran yang dapat diberikan kepada peserta didik, diantaranya
1. Pujian yang baik (memberi kata-kata yang menggembirakan)
2. Berdo’a
3. Menepuk pundak
4. Memberi pesan
5. Menjadi pendengar yang baik
6. Mencium buah hati dengan penuh cinta dan kasih sayang
7. Ganjaran dapat juga berupa barang yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak seperti:
pensil, buku tulis, makanan ringan, permainan, dan lain sebagainya.
Resume keduabelas
Hakikat Hukuman Dalam Pendidikan Islam
Pengertian Hukuman Dalam Pendidikan Islam
Istilah hukuman dalam bahasa Inggris disebut punish-ment, dan dalam bahasa Arab
diistilahkan dengan ‘iqab, jaza, dan ‘uqubah. Kata iqab bisa berarti juga balasan. Al quran
memakai kata iqab sebanyak 20 kali, salah satunya terdapat pada surah Ali-Imran ayat 11 yang
artinya “keadaan mereka adalah sebagai keadaan kaum fir’aun dan orang-orang yang
sebelumnya; mereka mendustakan ayat- ayat kami, karena itu Allah menyiksa mereka
disebabkan dosa-dosa mereka. Dan Allah sangat keras siksanya.”

20
Hukuman adalah tindakan paling akhir diambil apabila teguran dan peringatan belum
mampu untuk mencegah anak melakukan pelanggaran-pelanggaran. Maka dalam hal ini
diberikan hukuman kepada anak. Hukuman merupakan imbalan dari perbuatan tidak baik atau
pelanggaran yang mengganggu jalannya proses pendidikan.
Hukuman adalah penilaian terhadap penilaian anak yang negatif agar tidak diulanginya
lagi. Dengan begitu akan muncul kesadaran atau penyesalan untuk tidak mengulangi kejahatan
dan kemudian anak berbuat baik di masa depan.
Hukuman dalam hubungannya dengan pendidikan, khususnya pendidikan islam berarti:
1. Alat pendidikan preventif dan represif yang paling tidak menyenangkan
2. Imbalan dari perbuatan yang tidak baik dari peserta didik
Menurut Indrakusuma (1973) hukuman dalam pendidikan memiliki beberapa persyaratan, yaitu:
1. Pemberian hukuman harus tetap berada dalam jalinan cinta kasih. Hukuman bukan ingin
menyakiti anak, atau melampiaskan dendam, tetapi demi kepentingan dan kebaikan masa
depan anak.
2. Pemberian hukuman harus didasarkan kepada alasan keharusan atau sudah tidak ada alat
pendidikan lain yang akan digunakan. Itu artinya, pemberitahuan, peringatan dan teguran
sudah dilaksanakan.
3. Pemberian hukuman harus memberikan kesan dalam hati anak yang mendorong anak kepada
kesadaran dan keinsyafan, artinya bukan kesan negatif seperti putus asa, rasa rendah diri dan
hilang harapan.
4. Pemberian hukuman diikuti dengan keampunan yang disertai harapan dan pemberian
kepercayaan. Itu artinya setelah hukuman anak diberikan kepercayaan bahwa dia mampu
berbuat baik sesuai dengan harapan bersama.
Berdasarkan pengertian di atas, adanya hukuman disebabkan oleh adanya pelanggaran
yang dilakukan oleh seseorang, jadi yang dimaksud menghukum adalah memberikan suatu
hukuman yang tidak menyenangkan atau pembalasan dengan sengaja pada anak didik dengan
maksud supaya anak tersebut jera. Hukuman memiliki tujuan perbaikan, bukan menjatuhkan
hukuman pada anak didik dengan alasan balas dendam maka dari itu seorang pendidik dan orang
tua dalam menjatuhkan hubungan haruslah secara seksama dan bijaksana.
Bentuk-Bentuk Hukuman Dalam Pendidikan Islam
Imam al-Ghazali (w. 1111 M) mengemukakan bahwa pemberian hukuman, termasuk
menegur dengan keras pun dapat merusak perkembangan jiwa peserta didik. Bahkan lebih jauh,
dapat menyebabkan peserta didik menjadi pembohong, bersifat kasar dan menjadi orang yang
suka melawan, sebagai pelampiasan ketidaksenangannya karena telah diperlakukan dengan keras
dan kasar. Al-Ghazali menghimbau kepada pendidik agar tidak memberikan hukuman kecuali
jika terpaksa.

21
Ibn Khaldun (1332-1406) juga tidak sependapat dengan pemberian hukuman dengan
kekerasan, karena berdampak pada kesehatan jiwa dan perkembangan mental (malakah) peserta
didik, yang secara tergas dinyatakannya sebagai berikut:
“pemberian hukuman dalam pendidikan berbahaya bagi peserta didik karena dapat
menimbulkan malakah yang buruk. Bersifat kasar dank eras baik yang dilakukan oleh pendidik
kepada peserta didik, maupun oleh seorang raja terhadap pelayannya, atau majikan kepada
pekerjanya dapat menghambat perkembangan kepribadian. Kekerasan membuka peluang
terhadap arah kemalasan, kebohongan dan kelicikan. Perilaku dan ucapannya menjadi berbeda
dengan yang ada dalam pikirannya, hanya karena takut mendapati hukuman bila mereka
melakukan yang sebenarnya. Dengan cara itu, sebenarnya secara tidak langsung mereka telah
diajari untuk berbuat licik.
Beberapa hukuman yang dapat diterapkan pada anak dapat dibedakan menjadi beberapa pokok
bagian yaitu:
1. Hukuman yang bersifat fisik, seperti menjewer telinga, mencubit, dan memukul.
2. Hukuman verbal seperti memarahi, maksudnya mengingatkan anak dengan bijaksana dan
bila para pendidik atau orang tua memarahinya maka pelankanlah suara.
3. Isyarat nonverbal seperti, menunjukkan mimik atau raut wajah tidak suka.
4. Hukuman sosial seperti, mengisolasi dari lingkungan pergaulan agar kesalahan tidak
terulang lagi dan tidak banyak bicara dan meninggalkannya agar terhindar dari ucapan
buruk.
Dasar Pertimbangan dan Prosedur Implementasi
Para pakar pendidikan islam sepakat bahwa hukuman tidak diperlukan manakala masih
ada instrumen lain yang bisa digunakan untuk memelihara fitrah peserta didik agar tetap beriman
kepada Allah Swt. Hukuman baru diperlukan dan bisa dilaksanakan ketika diyakini bahwa
hampir tidak ada lagi instrumen lain yang bisa digunakan untuk memelihara, membina,
mendidik, dan membimbing atau menyadarkan anak didik dari kesalahan yang telah
dilakukannya.
Seorang pendidik harus memeperhatikan beberapa kaidah berikut ini:
1. Jangan sekali-kali menghukum sebelum pendidik berusaha sungguh-sungguh melatih,
mendidik dan membimbing anak didiknya dengan pengertahuan, keterampilan, dan sikap
mental yang baik.
2. Hukuman tidak boleh dijalankan sebelum pendidik menginformasikan atau menjelaskan
konsekuensi logis dari suatu perbuatan.
3. Anak tidak boleh dihukum sebelum pendidik memebrikan peringatan pada mereka.
4. Tidak dibenarkan menghukum anak sebelum pendidik berusaha sungguh-sungguh
membiasakan mereka dengan perilaku terpuji.
5. Hukuman belum boleh digunakan sebelum pendidik memberikan kesempatan pada anak
didiknya untuk memperbaiki diri dari kesalahan yang telah dilakukannya.

22
6. Sebelum memutuskan untuk menghukum, pendidik hendaknya berupaya menggunakan
mediator untuk menasehati atau merubah perilaku peserta didik.
7. Setelah semua hal diatas dipenuhi, maka seorang pendidik baru boleh menghukum peserta
didik.

Resume ketigabelas
Hakikat Evaluasi Dalam Pendidikan Islam
Pengertian Evaluasi
Evaluasi berasal dari bahasa Inggris: evaluation; yang dalam bahasa Arab diistilahkan
dengan taqyim atau taqwim yang berasal dari kata al-qimah yang berarti nilai (value). Jadi secara
harfiah, evaluasi pendidikan yang disebut taqwim al-tarbiyah, dapat diterjemahkan sebagai
penilaian dalam bidang kependidikan, atau penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar.
Evaluasi pendidikan Islam dapat diartikan sebagai kegiatan penilaian tingkah laku peserta
didik dari keseluruhan aspek mental-psikologis dan spritual religius dalam pendidikan Islam,
dalam hal ini tentunya yang menjadi tolak ukur adalah al-Qur’an dan al-Hadits
Tujuan Evaluasi
Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikat (afektif
dan psikomotor) ketimbang aspek kognitif. Penekanan ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan peserta didik yang secara besarnya meliputi empat hal, yaitu:
1. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.
4. Sikap dan pengalaman terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta
khalifah Allah Swt.
Fungsi Evaluasi
Adapun fungsi evaluasi (Mahmud, 1989: 254) yaitu:
1 . Sebagai insentif untuk meningkatkan belajar.
2. Sebagai umpan balik bagi peserta didik.
3. Sebagai umpan balik bagi pendidik.
4. Sebagai informasi bagi orang tua.
5. Sebagai informasi untuk keperluan seleksi.
Rahmayulis mengatakan, bahwa seorang pendidik melakukan evaluais disekolah
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peserta didik mana yang terpandai da terbodoh.
2. Untuk mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki peserta didik atau belum
3. Untuk mendorong persaingan yang sehat antara peserta didik

23
Sistem Evaluasi
Secara umum sistem evaluasi pendidikan sebagai berikut:
1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema
kehidupan yang di hadapi (Q.S Al-Baqarah: 155).
2. Untuk mengetahui sejauh mana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah
diaplikan Rasulullah saw kepada umatnya (Q.S An-Naml: 40).
3. Untuk mengetahui klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang seperti
pengevaluasian Allah terhadap nabi ibrahim dan Ismail (Q.S Ash-Shaffat: 103-107)
4. Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah diberikan kepadanya,
seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam tentang asma-asma yang diajarkan Allah (Q.S Al-
Baqarah: 31)
5. Memberikan semacam berita gembira bagi yang beraktifitas baik dan sebaliknya (Q.S Al-
Zalzalah: 7-8)
6. Allah Swt mengevaluasi hamba-Nya tanpa memandang formalitas tetapi memndang substansi
dibalik tindakan hamba-hamba tersebut (Q.S Al-Hajj: 37)
7. Allah Swt memerintahkan agar berlaku adil dalam megevaluasi sesuatu (QS. Al-Maidah:8)

2.3 UAS take home


1. Hakikat, tugas, dan kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam
pendidikan Islam.

a. Hakikat seorang pendidik dalam pendidikan Islam


Dalam perspektif pendidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu'allim,
murabbi, mursyid, mudarris, dan mu'addib. Ahmad Tafsir (2006) menjelaskan, sebagai ustadz, ia
dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya yaitu
menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya dimasa depan. Sebagai mu'allim
ia dituntut mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan hikmah atau kebijakan dan
kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang mendatangkan manfaat
dan semaksimal mungkin menjauhi mudarat. Sebagai murabbi, guru dituntut menyiapkan peserta
didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya agar tidak
menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Guru sebagai mursyid
dituntut menularkan penghayatan (transintemalisasi) akhlaq dan kepribadiannya pada peserta
didik, baik itu berupa etos ibadah, etos kerja, etos belajar, maupun dedikasinya. Sementara
sebagai mudarris guru bertugas mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan
atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai bakat,
minat, dan kemampuannya. Sebagai mu’addib, seorang guru memiliki peran dan fungsi untuk
membangun peradaban (civilization) yang berkualitas dimasa yang akan datang.
Pendidik dalam konsep Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap
perkembangan peserta didik dengan mengupayakan mengembangkan seluruh potensi yang

24
dimiliki peserta didik, baik potensi afektif, kognitif dan psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam.

b. Tugas dan kepribadian seorang pendidik dalam pendidikan Islam


Usiono (2016) menjelaskan beberapa point tugas dan kepribadian seorang pendidik
dalam pendidikan Islam antara lain sebagai berikut:
1) Seorang guru berkewajiban bertujuan untuk mengharap ridho Allah Swt. Dalam mengajar,
janganlah ia menjadikan hal tersebut sarana baginya untuk memperoleh keuntungan duniawi.
Hendaknya seorang guru menghadirkan di dalam benaknya bahwa pendidikan dan pembelajaran
merupakan ibadah yang paling muakkad agar hal tersebut menjadi pendoronganya untuk
membenahi niatnya.
3. Hendaknya juga ia mendidik peserta didiknya dengan cara bertahap dalam menjalankan adab-
adab sunnah Rasulullah Saw, juga sifat. sifat yang baik. Hendaknya juga ia memotivasinya
muridnya untuk menyintai ilmu, mengingatkan kepadanya mengenai keutamaan ilmu dan
keutamaan-keutamaan orang yang alim bahwa mereka adalah pewaris dari Nabi Saw. Tidak ada
keududkan yang lebih tinggi dari kedudukan ini di alam ini.
4. Hendaklah ia juga memberikan perhatian kepada muridnya, memperhatikan berbagai
kebutuhan maslahat mereka sebagaimana ia melakukannya terhadap dirinya sendiri dan anak-
anaknya. Memberlakukan murid-muridnya seperti anak-anaknya sendiri dalam hal kasih sayang
dan memperhatikan maslahat mereka. 5. Bersabar dalam menghadapi prilaku kasar mereka atau
buruknya adab mereka. Mema‘afkan mereka ketika beradab buruk atau kasar dalam berbagai
kesempatan. Karena manusia memiliki peluang untuk melakukan kesalahan-kesalahan.
6. Hendaknya jua ia bersikap dermawan mendermakan dan mengajarkan apa yang ia peroleh dari
berbagai macam ilmu dengan mudah kepada orang yang menginginkannya bersikap lembut
dalam penyampaiannya.
7. Janganlah ia menyimpan ilmu dan menyembunyikannya dari muridnya dimana mereka butuh
kepada ilmu tersebut jikalau si murid ini memang sudah layak untuk menerimanya.
8. Hendaknya pula ia bersemangat dalam mengajar mereka dan memberikan perhatian besar
kepada mereka, mengutamakan memenuhi kebutuhan mereka daripada kebutuhannya sendiri
terkecuali dalam kondisi darurat.
9. Hendaknya ia mengerahkan segala kemampuannya untuk membuat mereka memahami
pelajaran kepada setiap mereka sesuai dengan kemampuan pemahamannya.
10. Menyebutkan berbagai hukum dengan menjelaskannya melalui berbagai contoh tanpa dalil
jika orang tersebut sukar untuk menghafal dalil namun jika ia tidak mengatahui dalilnya ia harus
menyebutkannya. Ia juga harus menyebutkan berbagai dalil dengan berbagai kemungkinannya,
hendaknya juga ia menyebutkan inilah yang dapat kami jelaskan mengenai masalah ini dan
masalah yang semisal dengannya begitu juga hukumnya dan hukum yang mendekatinya, syair-
syair dan bahasa… bahasa juga menjelaskan kepada mereka, dan seterusnya.

2. Hakikat peserta didik dan syarat-syarat kepribadian yang harus dimilikinya dalam
menuntut ilmu pengetahuan.
Banyak sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid,
siswa, santri, anak didik, dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat
diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangi guru.
sedangkan dalam pendidikan islam, ketika dihadapkan pada orang yang berguru kepada seorang
guru. maka melahirkan konsep “santri kelana”.

25
Beberapa nama peserta didik dalam pendidikan islam antara lain:
a. Muta’alim adalah orang yang sedang diajar atau orang yang sedang belajar. Muta’alim erat
kaitannya dengan mu’alim karena mualim adalah orang yang mengajar sedangkan Muta’alim
adalah orang yang diajar.
b. Mutarabbi
Mutarabbi adalah orang yang dididik dan orang yang diasuh dan orang yang dipelihara.
Defenisi Mutarabbi adalah lawan dari defenisi murabbi yaitu murabbi adalah mendidik,
mengasuh sedangkan mutarabbi adalah yang dididik dan diasuh.
c. Muta’addib
Muta’addib adalah orang yang yang diberi tata cara sopan santun atau orang yang dididik
untuk menjadi orang yang baik dan berbudi.Muta’addi juga berasal dari muaddib yang
artinya mendidik dalam hal tingkah laku peserta didik jadi Mutaaddi adalah orang yang
diberi pendidikan tentang tingkah laku.
Berkenaan dengan sifat Imam al- Ghazali merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus
dimiliki peserta didik :
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah.
2. Mengurangi kecendrungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi sebalinya.
3. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
4. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum maupun agama.
5. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
Tujuan pendidikan salah satunya ialah menciptakan generasi yang berakhlak mulia
bahkan hal ini menjadi tujuan penting dalam pengutusan Rasulullah Saw ke muka bumi ini.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa ada adab-adab dan kode etik penuntut ilmu sama
dengan kode etik seorang guru. Hal tersebut dirincikan sebagai berikut:
a) Murid harus membersihkan hatinya dari segala kotoran agar hatinya siap untuk menerima
ilmu dan menghafalnya serta mengambil manfaat darinya.
b) Hendaknya penuntut ilmu memutuskan hubungan dengaan segala sesuatu yang
menyibukkannya dari penyempurnaan upaya dalam mencari ilmu. Ridha terhadap rezeki yang
sedikit dan bersabar dalam menghadapi kesulitan hidup.
c) Hendaklah seorang penuntut ilmu merendahkan hatinya kepada ilmu dan kepada gurunya
karena dengan kerendahan hatinyalah ia dapat memperoleh ilmu. Kita jua telah diperintahkan
untuk bersikap rendah hati secara mutlak. Para ulama berkata: Ilmu menjadi musuh orang
yang sombong sebagaimana air banjir yang lari dari tempat yang tinggi.
d) Hendaknya jua penuntut ilmu tunduk patuh kepada gurunya dan bermusyawarah kepadanya
dalam berbagai urusannya, melaksanakan perintahnya sebagaimana halnya orang yang sakit
patuh terhadap nasehat dokter yang bijak. Janganlah ia menimba ilmu melainkan dari seorang
yang sempurna keahlian ilmunya, jelas keta‘atan beragamanya, benar ma‘rifamya dan terkenal
memelihara dirinya dan kepeloporannya dalam keilmuan.

26
3. Dasar-dasar filosofi penerapan hukuman dan ganjaran serta kriteria pelaksanaannya.
a. Hukuman
Hukuman adalah penilaian terhadap kegiatan anak yang negatif agar tidak diulanginya
lagi. Dengan begitu akan muncul kesadaran atau penyesalan untuk tidak mengulangi kejahatan
dan kemudian anak berbuat baik di masa depan.
Indrakusuma (1973) mengatakan bahwa hukuman dalam pendidikan memiliki beberapa
persyaratan, yaitu: (1) pemberian hukuman harus tetap berada dalam jalinan cinta kasih.
Hukuman bukan ingin menyakiti anak, atau melampiaskan dendam, tetapi demi kepentingan,
kebaikan dan masa depan anak, (2) pemberian hukuman harus didasarkan kepada alasan
keharusan, atau sudah tidak ada alat pendidikan lain yang akan digunakan”, (3) pemberian
hukuman hams memberikan kesan dalam hati anak yang mendorong anak kepada kesadaran dan
keinsyafan, (4) pemberian hukuman menimbulkan keinsyafan dan penyesalan dalam diri anak.
Dengan hukuman anak merasa insyaf dan berjanji dalam dirinya untuk tidak akan mengulangi
kesalahan, (5) pemberian hukuman diikuti dengan keampunan yang disertai harapan dan
pemberian kepercayaan”.
Adapun Purwanto (1993) hukuman dalam perspektif pendidikan hendaklah: (1)
merupakan jawaban atas suatu pelanggaran, (2) sedikit banyaknya selalu bersifat tidak
menyenangkan, (3) selalu bertujuan ke arah perbaikan, hukuman itu hendaklah diberikan untuk
kepentingan anak itu sendiri”. Karena itu hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan,
disesuaikan dengan kepribadian anak, diberikan dengan adil, dan guru sanggup memberikan
maaf kepada anak setelah menjalankan hkuman.
b. Ganjaran
Ganjaran merupakan tindakan yang menggembirakan diambil oleh pendidik untuk
mendorong atau memotivasi anak agar belajar atau melakukan hal-hal yang lebih baik dan
berprestasi. Jadi ganjaran adalah pemberian hadiah terhadap hasil-hasil yang dicapai oleh anak
karena tindakan anak yang positif.
Seperti yang diungkapkan oleh Purwanto, ganjaran dapat bebas diberikan oleh seseorang
kepada orang lain. Memberikan ganjaranSelanjutnya menurut Indrakusuma (1973) dalam
konteks pendidikan, ada empat amcam ganjaran, yaitu: (1) pujian kata-kata seperti: bagus, baik,
bagus sekali dan sebagainya. Pujian sebagai bentuk ganjaran merupakan tindakan yang paling
mudah dilaksanakan. Demikian pula pujian dapat berupa menunjukkan ibu jari jempol),
menepuk bahu sambil diiringi kata-kata pujian, dan tepuk tangan”, (2)penghormatan kepada
anak yang berhasil. Bentuk penghormatan ini ada yang berupa penobatan anak di depan teman-
temannya sebagai pelajar teladan atau yang berprestasi di akhir tahun pelajaran. Selain itu,
penghormatan dapat pula pemberian kekuasaan kepada anak yang baik dan berprestasi untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan bidang apa yang disenangi dan pencapaian prestasi anak”, (3)
hadiah atau pemberian berupa barang. Pemberian ganjaran ini disebut juga ganjaran materil.
Tentu saja sebaiknya disesuaikan dengan keperluan anak di sekolah agar mempermudahnya
meningkatkan prestasi dan dapat dilihat anak lainnya.

4. Hakikat evaluasi dan pelaksanaannya dalam praktik pendidikan Islam.


Salah satu kegiatan yang pokok dalam pendidikan adalah mengevaluasi yang merupakan
penilaian terhadap hasil pendidikan. Kegiatan evaluasi ini sangat dianjurkan dalam agama yang
dikenal dengan muhasabah.
Menurut bahasa, evaluasi berasal dan bahasa inggris dari kata evaluation yang berarti
penilaian. Sementara secara istilah evaluasi adalah memberikan suatu nilai, harga terhadap

27
sesuatu dengan menggunakan kriteria tertentu. Kriteria yang di maksud adalah kriteria yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Menurut pendapat Suharsirni Arikunto evaluasi adalah
kegiatan menilai dalam kegiatan pendidikan yangberorentasi pada proses perkembangan yang
telah di capai anak didik setelah mengalami proses pendidikan dalam waktu tertentu. Ngalim
Purwanto mendefenisikan evaluasi sebagai penafsiran terhadap pertumbuhan kemajuan siswa
kearah tujuan atau nilai yang ditetapkan dalam kurikulum. Adapun menurut S. Nasution bahwa
evaluasi adalah mengumpulkan keterangan secara sestematis tentang pengaruh usaha kita
dinalisis agar dapat diketahui apakah dan hingga manakah tujuan pengajaran telah di capai, serta
masih banyak pendapat para ahli lainnya.
Dari berbagai pengertian yang telah diungkapkan oleh para ahli tersebut di atas, maka
yang di maksud evaluasi adalah suatu proses sestematik untuk memperoleh imformasi tentang
kemajuan siswa dalam rangka memberikan penilain serta untuk mengetahui sejauh mana siswa
dapat mencapai tujuan pengajaran.
Sedangkan dalam bahasa Arab evaluasi disebut dengan at-taqwim atau at-taqdir:
Maksudnya adalah pengukuran dan penilaian. Evaluasi dalam pendidikan Islam adalah
pengambilan sejumlah yang berkaitan dengan pendidikan Islam guna melihat sejauh mana
keberhasilan pendidikan yang selaras dengan nilai-nllal sebagai tujuan dari pendidikan itu
sendiri.
Menurut Suharsimi Arikunto, bahwa dalam evalusi ada dua kegiatan:
1. Pengukuran
Mengukur adalah membandingkan sesuatu dangan ukuran tertentu dan bersifat kuantitatif.
Sedangkan penialaian memutuskan atau menetapkan sesuatu keputusan terhadap sesuatu yang
diukur dan bersifat kualitatif.
2. Penilaian
Penilaian dan pengukuran merupakan sutu proses yang terjadi dalam kegitan evaluasi. Hasil
pengulqnan belum banyak memiliki arti sebelmn diinterpretasi dengan jalan membandingkan
hasil pengukuran dengan standar atau patokan yang telah dittentukan sebelumnya. Misalnya
batas minimum lulus adalah 6 dan rata-rata nilai kelompok 8 sedangkan nilai yang dicapai siswa
hanya 7. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa yang bersangkutan berada lebih tinggi dari
standar lulus dan lebih rendah dari rata-rata nilai kelompok.

28
BAB 3
PENUTUP

Dari penjelasan portofolio tersebut di atas, penulis dapat menarik kesimpulan


bahwasannya portofolio itu sendiri merupakan tugas akhir yang diberikan oleh dosen mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam dengan cara pengumpulan tugas-tugas sebelumnya dengan tujuan agar
mahasiswa selalu mengingat tugas-tugas yang diberi pada saat sebelumnya dan dapat senantiasa
mengulang pembelajaran yang telah dibahas selama satu semester ini agar kelak dapat
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

29

Anda mungkin juga menyukai