FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
1
Komnas Perempuan, “Siaran Pers dan Lembar Fakta CATAHU 2019”,
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-dan-lembar-fakta-catahu-2019,
diakses pada 10 Maret 2019.
2
Widia Primastika, “RUU PKS Dianggap RUU Pro-Zina, Masuk Akalkah?”,
https://tirto.id/ruu-pks-dianggap-ruu-pro-zina-masuk-akalkah-dfqE, diakses pada 9 Maret 2019.
3
Nurani Perempuan, “Kronologi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”,
http://nuraniperempuan.org/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/kronologi-ruu-penghapusan-
kekerasan-seksual/, diakses pada tanggal 9 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
banyak disebabkan oleh miskonsepsi mengenai tujuan maupun isi yang terkandung
di dalam RUU P-KS. Salah satu contoh miskonsepsi yang beredar adalah petisi
“AWAS RUU Pro Zina akan disahkan!! BACA dan renungi.” yang dibuat oleh
Maimon Herawati. Setelah membuat petisi di platform Change.org untuk
memboikot iklan Shopee BLACKPINK, Maimon kembali membuat petisi lagi.
Kali ini, mengenai penolakannya terhadap RUU P-KS. Menurutnya, RUU ini
melanggengkan zina, LGBT, hingga aborsi.4 Selain itu, Aliansi Cinta Keluarga
(AILA) melalui akun instagramnya juga sempat menarik perhatian masyarakat atas
pernyataan yang turut mengandung miskonsepsi atas RUU P-KS. Menurut AILA,
RUU P-KS pantas untuk ditolak atas dasar sebab konsep seksualitas barat yang
liberal, tidak terkait dengan sistem keluarga, tidak sesuai dengan norma agama,
budaya, dan norma masyarakat Indonesia, merupakan sebuah produk kering agama,
dan tersirat konsep yang diyakini oleh feminis radikal mengenai kedaulatan tubuh.
Miskonsepsi-miskonsepsi yang tumbuh di masyarakat mengenai RUU P-KS ini
merupakan faktor yang memengaruhi terhambatnya pengesahan RUU P-KS itu
sendiri. Maka dari itu, penting untuk kita membahas mengenai miskonsepsi terkait
RUU P-KS untuk meluruskan persepsi dan pemahaman mengenai isi maupun
tujuan dari RUU P-KS yang sebenarnya.
RUU P-KS terkesan diskriminatif karena lebih dominan melindungi
perempuan dari kekerasan seksual?
Pakar Bidang Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Keluarga Institut
Pertanian Bogor, Prof. Euis Sunarti, mengatakan bahwa RUU P-KS masih lebih
dominan dan fokus terhadap perempuan sehingga cenderung diskriminatif.5 Hal ini
kurang tepat karena RUU P-KS justru memperluas ruang lingkup kekerasan
seksual, hal ini terbukti di dalam pasal 1 RUU P-KS yang menjelaskan tentang
4
CNN Indonesia, “Inayah Wahid: RUU PKS Bukan Berarti Pro Zina dan LGBT”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190206131735-12-366806/inayah-wahid-ruu-pks-
bukan-berarti-pro-zina-dan-lgbt, diakses pada 11 Maret 2019.
5
Andy Abdul Hamid, “Masih Ada Diskriminatif dalam RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual,” https://www.aktual.com/pakar-masih-ada-diskriminatif-dalam-ruu-penghapusan-
kekerasan-seksual/2/ diakses pada 9 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
6
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Ps. 1.
7
Detiknews, “Komnas Perempuan: Laki-Laki Bisa Jadi Korban Perkosaan”,
https://news.detik.com/berita/3286747/komnas-perempuan-laki-laki-bisa-jadi-korban-perkosaan
diakses pada 22 Maret 2019.
8
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Ps. 108 ayat
(2) dan (3).
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
9
Badan Pusat Statistik, ”Satu dari Tiga Perempuan Usia 15–64 Tahun Pernah Mengalami
Kekerasan Fisik dan/atau Seksual Selama Hidupnya,”
https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/03/30/1375/satu-dari-tiga-perempuan-usia-15---64-tahun-
pernah-mengalami-kekerasan-fisik-dan-atau-seksual-selama-hidupnya.html diakses pada 9 Maret
2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
istrinya senang-senang aja, itu bukan kekerasan seksual (menurut RUU itu)”.10 Hal
ini tentu bertentangan dengan makna dan tujuan dari consent yang sebenarnya.
Unsur kesukarelaan dari consent yang dimaksud dalam RUU P-KS sebenarnya
bukan tentang pilihan untuk melakukan hubungan seks dengan siapa saja,
melainkan penekanan pada sisi perlindungan dari tindakan-tindakan seksual yang
tidak diinginkan.
Sejatinya, consent adalah pemberian izin atau persetujuan dalam melakukan
sesuatu. Dalam konteks aktivitas seksual, consent merupakan persetujuan untuk
melakukan suatu aktivitas seksual.11 Consent ini sangat diperlukan dalam
memutuskan apakah tindakan seksual itu dapat digolongkan sebagai kekerasan.
Misalkan, apabila diketahui bahwa seseorang diperkosa dalam keadaan mabuk,
namun pelaku mengaku bahwa hubungan tersebut bersifat suka sama suka, maka
seharusnya tindakan tersebut harus tetap dianggap sebagai tindak pemerkosaan,
sebab dalam keadaan mabuk, tidak jelas pemberian consent dari korban sebab tidak
dilakukan dalam keadaan sadar penuh. Begitu pula apabila consent diberikan dalam
keadaaan tertekan yang biasanya terjadi karena adanya relasi kuasa yang
merugikan. Misalnya, seseorang diancam akan dipecat apabila tidak mau
berhubungan seksual dengan atasannya. 12
Oleh karenanya, pemberian consent memiliki ukuran-ukuran tertentu yang
dapat membuktikan adanya persetujuan tersebut. Seperti kejelasan sebagaimana
yang telah diutarakan di paragraf sebelumnya; consent harus dikemukakan sejelas
pernyataan “ya”, tidak dapat diasumsikan, dan apabila ada sedikit saja keberatan
dari pihak lainnya, maka tidak dapat dianggap sebagai consent. Dalam beberapa
10
Admin Hidcom, “AILA Kritik RUU Penghapusan KS di Kongres Muslimah”,
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2018/12/19/156715/aila-kritik-ruu-
penghapusan-ks-di-kongres-muslimah.html,diakses pada 9 Maret 2019.
11
NSVRC, “What Is Healthy Sexuality And Consent”,
https://www.nsvrc.org/sites/default/files/saam_2015_what-is-healthy-sexuality-and-consent.pdf,
diakses pada 8 Maret 2019.
12
Public Legal Education and Information Service of New Brunswick, Understanding
Consent to Sexual Activity, (Fredericton: Public Legal Education and Information Service of New
Brunswick, 2017).
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
13
NSVRC, “What Is Healthy Sexuality And Consent”, diakses pada 8 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
dalam rumah tangga. Kekerasan seksual di sini terdiri dari pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan
seksual. 14 Ruang lingkup daripada kekerasan seksual salah satunya yang dimaksud
dalam lingkup rumah tangga.15 Salah satu bentuk adanya kekerasan dan penindasan
yang berbasis seksual di dalam rumah tangga seperti marital rape. Sistem patriarkis
adalah sistem yang menempatkan peran laki-laki sebagai kontrol utama dalam
masyarakat dan sudah mendominasi kebudayaan masyarakat.16 Dengan adanya
sistem patriarkis, marital rape merupakan fenomena asli yang kerap terjadi tidak
hanya di Indonesia. Marital rape adalah hal yang serius, tetapi masih banyak orang
belum banyak mengetahuinya. Marital rape adalah terminologi yang digunakan
dalam menjelaskan perlakuan seksual tanpa adanya persetujuan dari salah satu
pasangan dengan menggunakan paksaan fisik, ancaman, yang membuat pasangan
tersebut takut jika menolaknya.17 Perlakuan ini masih banyak dilakukan di dalam
perkawinan. Terbukti melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional
(SPHPN) tahun 2016 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bersama
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan United
Nations Population Fund (UNFPA) menunjukkan bahwa dari sekitar 9.000
responden, seperempatnya pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh
suami.18
Efek dari korban marital rape juga lebih rentan daripada sesama orang asing
karena perbuatan dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi orang yang
dipercaya dapat melindungi korban. Korban dari marital rape menderita secara
fisik maupun psikologi. Biasanya korban dalam marital rape takut akan adanya
14
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Ps. 11 ayat
(1)
15
Ibid, Ps. 11 ayat (2)
16
Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah Siti A, “Menyoroti Budaya Patriarki di
Indonesia”,Social Work Journal Vol. 7 No.1, hlm. 73
17
RAINN, “Marital Rape Brochure”, https://www.rainn.org/pdf-files-and-other-
documents/Public-Policy/Issues/Marital_Rape.pdf, diakses pada 8 Maret 2019
18
Femina, “Marital Rape, Sebuah Fenomena Gunung Es”, https://www.femina.co.id/sex-
relationship/marital-rape-sebuah-fenomena-gunung-es, diakses pada 8 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
19
Ibid.
20
Indonesia, Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 23 Tahun 2004,
LN No. 95 Tahun 2004, TLN No. 4419 ,Ps. 5
21
Ibid. Ps. 8
22
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Ps. 22
23
Ibid, Ps. 24 ayat (1)
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
24
Komnas Perempuan, “Miskonsepsi Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,
Perspektif Gender, dan Feminisme”, diakses pada 8 Maret 2019.
25
Psychology Mania, “Pengertian Penyimpangan Seksual”,
https://www.psychologymania.com/2012/09/pengertian-penyimpangan-seksual.html, diakses pada
11 Maret 2019.
26
Michael Metheoky, “Mengenal 10 Jenis Penyimpangan Seksual”,
https://lifestyle.kompas.com/read/2016/09/19/211500823/mengenal.10.jenis.penyimpangan.seksua
l, diakses pada 11 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
27
Partai Keadilan Sejahtera, “Dihadapan Persaudaraan Alumni 212, Mardani Tegaskan
Tolak RUU P-KS”, http://pks.id/content/dihadapan-persaudaraan-alumni-212-mardani-tegaskan-
tolak-ruu-p-ks, diakses pada 20 Maret 2019.
28
Christoforus Ristianto, "Komnas Perempuan: Ada yang Salah Memahami Definisi RUU
PKS", https://nasional.kompas.com/read/2019/03/14/15474071/komnas-perempuan-ada-yang-
salah-memahami-definisi-ruu-pks, diakses 22 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
29
Ebta Setiawa,. "Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)." Arti Kata Kesusilaan - Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, https://kbbi.web.id/asusila, diakses 8 Maret 2019.
30
Komnas Perempuan, “Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,
Perspektif Gender, dan Feminisme”, diakses 8 Maret 2019.
31
Ratna Batara Munti, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan, Agenda Politik Perempuan
untuk Demokrasi dan Kesetaraan, Jakarta: PSKW UI dan Yayasan TIFA, 2008.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
32
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan, 2017), hlm. 148
33
Komnas Perempuan, “Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,
Perspektif Gender, dan Feminisme”, diakses pada 8 Maret 2019.
34
Gilang Ramadhan, “Dalil Kenapa RUU PKS Tak Cantumkan Pasal Perzinaan dan
Aborsi”, https://tirto.id/dalil-kenapa-ruu-pks-tak-cantumkan-pasal-perzinaan-dan-aborsi-dfve,
diakses pada 8 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id
Saiful Mujani Research Center terkait LGBT di Indonesia, terdapat 46,2% dari
responden yang menganggap LGBT cukup mengancam, dilanjutkan dengan
sebanyak 41,4% responden lainnya menganggap LGBT sangat mengancam.
Miskonsepsi ini muncul cenderung disebabkan oleh stigma negatif yang berada di
masyarakat terhadap LGBT yang dikaitkan dengan moral dan agama.35 Perlu
diingat bahwa setiap warga negara berhak untuk terbebas dari segala bentuk
kekerasan atas dasar apapun.
Untuk meluruskan disinformasi serta miskonsepsi yang ada, sudah
selayaknya kita semua membaca serta memahami isi RUU P-KS dan tujuan dari
pembuatannya yaitu perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
Naskah Akademik maupun Draft RUU P-KS disusun berdasarkan fakta-fakta yang
ada berdasarkan pengalaman para korban maupun pengalaman pendampingan
korban.36 Selain itu, apabila dirasa bahwa RUU ini justru mendukung apa yang
tidak diatur serta tercakup dalam rancangan, perlu diingat bahwa RUU ini fokus
terhadap kekerasan seksual dan apa yang tidak ada di dalamnya bukan berarti
menunjukkan suatu dukungan atas apapun. Apabila dirasa bahwa RUU P-KS ini
justru menyimpang dalam beberapa hal, mari kita ingat bahwa ada korban-korban
di luar sana yang membutuhkan perlindungan serta keadilan. Dengan disahkannya
RUU P-KS ini, hak-hak korban kekerasan seksual akan lebih terakomodasi dan
korban bisa mendapatkan perlindungan hukum serta pemulihan yang mereka
butuhkan.
35
M Faisal, “LGBT Indonesia: Hidup Kami Seperti Tidak Ada”, https://tirto.id/lgbt-
indonesia-hidup-kami-seperti-tidak-ada-cNLA, diakses pada 23 Maret 2019.
36
Rio Tuasikal, “Betulkah RUU P-KS Bertentangan dengan Nilai-Nilai Indonesia?”,
https://www.voaindonesia.com/a/betulkah-ruu-p-ks-bertentangan-dengan-nilai-nilai-indonesia-
/4812919.html, diakses pada 10 Maret 2019.