Anda di halaman 1dari 13

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Polemik Miskonsepsi RUU P-KS: Saatnya Luruskan Sesat Pikir


Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FH UI 2019

Kekerasan seksual merupakan suatu permasalahan yang kembali marak


diperbincangkan. Hal ini salah satunya dikarenakan oleh naiknya perhatian publik
terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau biasa
juga dikenal sebagai RUU P-KS. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU)
Komnas Perempuan, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018. Jumlah ini naik sebesar 14 persen dan
di dalamnya termasuk kekerasan seksual. Sesuai dengan catatan Komnas
perempuan, angka kekerasan seksual terhadap perempuan mencapai jumlah 5.191
kasus selama dua tahun terakhir.1 Terdiri dari 16 Bab dan 184 Pasal dan berfokus
pada korban, RUU P-KS ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan
seksual, menindak pelaku, serta memberikan perlindungan serta pemulihan bagi
korban.2 Setelah bertengger dan masuk dalam Prolegnas 2014-2019 sejak 2016 dan
kurang lebih sudah 7 tahun sejak penggagasannya, RUU P-KS belum juga
disahkan.3 Padahal seperti apa yang kita semua ketahui, sisa waktu menjabat Dewan
Perawakilan Rakyat (DPR) kita periode ini sebentar lagi akan segera berakhir.
Timbul banyak pendesakan yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat untuk
disahkannya RUU P-KS seperti contohnya melalui aksi damai, pembentukan
aliansi-aliansi, hingga tagar #SahkanRUUPKS yang berkeliaran di berbagai
platform media sosial.
Namun selain pendesakan-pendesakan yang dilakukan oleh berbagai
kalangan tersebut, terdapat pula penolakan dari masyarakat yang sesungguhnya

1
Komnas Perempuan, “Siaran Pers dan Lembar Fakta CATAHU 2019”,
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-dan-lembar-fakta-catahu-2019,
diakses pada 10 Maret 2019.
2
Widia Primastika, “RUU PKS Dianggap RUU Pro-Zina, Masuk Akalkah?”,
https://tirto.id/ruu-pks-dianggap-ruu-pro-zina-masuk-akalkah-dfqE, diakses pada 9 Maret 2019.
3
Nurani Perempuan, “Kronologi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”,
http://nuraniperempuan.org/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual/kronologi-ruu-penghapusan-
kekerasan-seksual/, diakses pada tanggal 9 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

banyak disebabkan oleh miskonsepsi mengenai tujuan maupun isi yang terkandung
di dalam RUU P-KS. Salah satu contoh miskonsepsi yang beredar adalah petisi
“AWAS RUU Pro Zina akan disahkan!! BACA dan renungi.” yang dibuat oleh
Maimon Herawati. Setelah membuat petisi di platform Change.org untuk
memboikot iklan Shopee BLACKPINK, Maimon kembali membuat petisi lagi.
Kali ini, mengenai penolakannya terhadap RUU P-KS. Menurutnya, RUU ini
melanggengkan zina, LGBT, hingga aborsi.4 Selain itu, Aliansi Cinta Keluarga
(AILA) melalui akun instagramnya juga sempat menarik perhatian masyarakat atas
pernyataan yang turut mengandung miskonsepsi atas RUU P-KS. Menurut AILA,
RUU P-KS pantas untuk ditolak atas dasar sebab konsep seksualitas barat yang
liberal, tidak terkait dengan sistem keluarga, tidak sesuai dengan norma agama,
budaya, dan norma masyarakat Indonesia, merupakan sebuah produk kering agama,
dan tersirat konsep yang diyakini oleh feminis radikal mengenai kedaulatan tubuh.
Miskonsepsi-miskonsepsi yang tumbuh di masyarakat mengenai RUU P-KS ini
merupakan faktor yang memengaruhi terhambatnya pengesahan RUU P-KS itu
sendiri. Maka dari itu, penting untuk kita membahas mengenai miskonsepsi terkait
RUU P-KS untuk meluruskan persepsi dan pemahaman mengenai isi maupun
tujuan dari RUU P-KS yang sebenarnya.
RUU P-KS terkesan diskriminatif karena lebih dominan melindungi
perempuan dari kekerasan seksual?
Pakar Bidang Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Keluarga Institut
Pertanian Bogor, Prof. Euis Sunarti, mengatakan bahwa RUU P-KS masih lebih
dominan dan fokus terhadap perempuan sehingga cenderung diskriminatif.5 Hal ini
kurang tepat karena RUU P-KS justru memperluas ruang lingkup kekerasan
seksual, hal ini terbukti di dalam pasal 1 RUU P-KS yang menjelaskan tentang

4
CNN Indonesia, “Inayah Wahid: RUU PKS Bukan Berarti Pro Zina dan LGBT”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190206131735-12-366806/inayah-wahid-ruu-pks-
bukan-berarti-pro-zina-dan-lgbt, diakses pada 11 Maret 2019.
5
Andy Abdul Hamid, “Masih Ada Diskriminatif dalam RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual,” https://www.aktual.com/pakar-masih-ada-diskriminatif-dalam-ruu-penghapusan-
kekerasan-seksual/2/ diakses pada 9 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

definisi kekerasan seksual yang salah-satunya terjadi akibat ketimpangan relasi


kuasa dan/relasi gender.6 Definisi tersebut tidak memberikan spesialisasi terhadap
satu gender tertentu sehingga membuka peluang untuk laki-laki juga bisa melapor
sebagai korban kekerasan seksual karena konotasi relasi gender bukan berarti
perempuan yang selalu menjadi pihak korban. Sedangkan peraturan yang ada saat
ini menyatakan bahwa korban kekerasan seksual hanyalah perempuan. Padahal,
laki-laki juga dapat menjadi korban atas kekerasan seksual. Seperti apa yang tertulis
di dalam KUHP pasal 285, korban kekerasan seksual perkosaan hanya spesifik
sebagai perempuan karena definisi perkosaan menurut KUHP adalah pemaksaan
bersetubuh terhadap wanita di luar pernikahan, tidak ada pasal yang melindungi
laki-laki yang juga memiliki kemungkinan sebagai korban perkosaan.
Ketua Komnas Perempuan, Azriana, dalam sidang di Gedung Mahkamah
Konstitusi sepakat tentang kemungkinan perkosaan terhadap laki-laki. Azrina
mengatakan bahwa perkosaan bukan gairah tapi tindakan kejahatan dan kekerasan
dengan maksud menyakiti atau merendahkan dengan seks akibat relasi tak
seimbang. Azriana juga setuju bahwa laki-laki bisa jadi korban perkosaan.7
Hukum Indonesia yang diskriminatif juga dapat dilihat melalui kasus
penggerebekan seorang artis berinisial VA dengan model AV di hotel Surabaya
yang akhirnya keduanya dikenakan pasal 506 KUHP. Pasal 506 KUHP hanya
melakukan kriminalisasi terhadap orang yang menarik keuntungan dari perbuatan
cabul seorang perempuan dan mereka yang menjadikannya sebagai pencarian
sedangkan penggunanya bebas dari hukuman sehingga terkesan pengungkapan
kasus ini hanya mengeksploitasi perempuan sebagai pelaku utama (VA dan AV)
sedangkan penggunanya tidak tersentuh hukum sama sekali.
Selain itu, RUU P-KS juga memberikan perlindungan hukum terhadap
korban kekerasan seksual anak dan orang dengan disabilitas.8 Bentuk kejahatan

6
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Ps. 1.
7
Detiknews, “Komnas Perempuan: Laki-Laki Bisa Jadi Korban Perkosaan”,
https://news.detik.com/berita/3286747/komnas-perempuan-laki-laki-bisa-jadi-korban-perkosaan
diakses pada 22 Maret 2019.
8
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Ps. 108 ayat
(2) dan (3).
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

seksual terhadap berstatus anak-anak ataupun orang dewasa bervariasi. Dapat


berupa pelecehan seksual dalam segala bentuknya, pemaksaan berhubungan seks,
dieksploitasi untuk keperluan pornografi, diperdagangkan, ditipu, diperdaya
(human trafficking) dalam bisnis prostitusi, dan lain sebagainya. Perlindungan
terhadap korban kekerasan seksual anak dan orang dengan disabilitas tidak melihat
apa gender mereka. Oleh karena itu, pernyataan bahwa RUU P-KS diskriminatif
kurang tepat.
Berdasarkan dari pernyataan-pernyataan di atas telah kita ketahui bahwa
RUU P-KS tidak melakukan diskriminasi gender akan tetapi tidak dapat dipungkiri
jika data yang ada perempuan tetap menempati risiko yang lebih tinggi untuk
menjadi korban. Jika merujuk kepada data dari Badan Pusat Statistik, perempuan
memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami kekerasan seksual maupun
fisik untuk rentang 15-64 tahun.9 Paling tidak satu dari tiga perempuan di usia
tersebut pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual selama rentang
hidupnya baik yang pernah dilaporkan maupun tidak. Oleh karena itu, dengan
adanya RUU P-KS akan melindungi perempuan yang memiliki risiko lebih tinggi
dan juga laki-laki sebagai korban.
Persetujuan (consent) dalam RUU P-KS menunjukkan kebebasan
berkehendak sehingga mendorong terjadinya seks bebas?
Masih ada beberapa kesalahpahaman mengenai consent di dalam RUU P-
KS, misalnya, kesukarelaan yang menjadi unsur utamanya dianggap melancarkan
praktik-praktik seks bebas ataupun perzinahan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Ketua Bidang Jaringan Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Dr Sabriati Azis dalam
acara Kongres Muslimah II, 18 Desember 2018: “Jadi misalnya begini. Jika
seseorang melakukan zina suka sama suka, atau suami mensodomi istrinya dan

9
Badan Pusat Statistik, ”Satu dari Tiga Perempuan Usia 15–64 Tahun Pernah Mengalami
Kekerasan Fisik dan/atau Seksual Selama Hidupnya,”
https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/03/30/1375/satu-dari-tiga-perempuan-usia-15---64-tahun-
pernah-mengalami-kekerasan-fisik-dan-atau-seksual-selama-hidupnya.html diakses pada 9 Maret
2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

istrinya senang-senang aja, itu bukan kekerasan seksual (menurut RUU itu)”.10 Hal
ini tentu bertentangan dengan makna dan tujuan dari consent yang sebenarnya.
Unsur kesukarelaan dari consent yang dimaksud dalam RUU P-KS sebenarnya
bukan tentang pilihan untuk melakukan hubungan seks dengan siapa saja,
melainkan penekanan pada sisi perlindungan dari tindakan-tindakan seksual yang
tidak diinginkan.
Sejatinya, consent adalah pemberian izin atau persetujuan dalam melakukan
sesuatu. Dalam konteks aktivitas seksual, consent merupakan persetujuan untuk
melakukan suatu aktivitas seksual.11 Consent ini sangat diperlukan dalam
memutuskan apakah tindakan seksual itu dapat digolongkan sebagai kekerasan.
Misalkan, apabila diketahui bahwa seseorang diperkosa dalam keadaan mabuk,
namun pelaku mengaku bahwa hubungan tersebut bersifat suka sama suka, maka
seharusnya tindakan tersebut harus tetap dianggap sebagai tindak pemerkosaan,
sebab dalam keadaan mabuk, tidak jelas pemberian consent dari korban sebab tidak
dilakukan dalam keadaan sadar penuh. Begitu pula apabila consent diberikan dalam
keadaaan tertekan yang biasanya terjadi karena adanya relasi kuasa yang
merugikan. Misalnya, seseorang diancam akan dipecat apabila tidak mau
berhubungan seksual dengan atasannya. 12
Oleh karenanya, pemberian consent memiliki ukuran-ukuran tertentu yang
dapat membuktikan adanya persetujuan tersebut. Seperti kejelasan sebagaimana
yang telah diutarakan di paragraf sebelumnya; consent harus dikemukakan sejelas
pernyataan “ya”, tidak dapat diasumsikan, dan apabila ada sedikit saja keberatan
dari pihak lainnya, maka tidak dapat dianggap sebagai consent. Dalam beberapa

10
Admin Hidcom, “AILA Kritik RUU Penghapusan KS di Kongres Muslimah”,
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2018/12/19/156715/aila-kritik-ruu-
penghapusan-ks-di-kongres-muslimah.html,diakses pada 9 Maret 2019.
11
NSVRC, “What Is Healthy Sexuality And Consent”,
https://www.nsvrc.org/sites/default/files/saam_2015_what-is-healthy-sexuality-and-consent.pdf,
diakses pada 8 Maret 2019.
12
Public Legal Education and Information Service of New Brunswick, Understanding
Consent to Sexual Activity, (Fredericton: Public Legal Education and Information Service of New
Brunswick, 2017).
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

kasus, seseorang dapat menganggap bahwa pasangannya telah memberikan consent


sebagai bentuk pembelaan diri dari tuduhan kekerasan seksual, meski pada
kenyataannya tidak demikian. Namun, perlu digarisbawahi apabila seseorang itu
secara sengaja maupun tidak sengaja mengabaikan pernyataan penolakan terhadap
aktivitas seksual tersebut atau pelaku dan korban sama-sama berada dalam keadaan
tidak sadar seperti mabuk, maka pembelaan tersebut tidaklah valid. Kemudian,
consent harus bersifat sukarela dan seseorang tidak boleh membuatnya dalam
keadaan terpaksa atau tertekan sebab dalam keadaan terancam, seseorang
cenderung membuat pernyataan-pernyataan yang membahayakan diri hanya agar
dapat keluar dari situasi tersebut meski tidak benar-benar melakukannya secara
sukarela. Selain itu, consent juga bersifat reversibel atau dapat diubah. Semisal
seseorang merasa tidak nyaman di tengah suatu aktivitas seksual, ia dapat
membatalkannya dan pasangannya pun harus menyetujuinya.13
Maka, pengertian consent di dalam RUU P-KS bukannya mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan seksual secara bebas, melainkan lebih untuk
melindungi orang tersebut dari tindakan kekerasan seksual karena ia bisa memilih
dan memutuskan apa yang akan dilakukan kepada tubuhnya secara seksual. Perlu
diingat bahwa RUU P-KS ini adalah rancangan undang-undang yang bertujuan
untuk memberantas tindakan kekerasan seksual dan urgensi dari RUU ini adalah
untuk melindungi siapa saja dari tindakan kekerasan seksual, terlepas dari gender
maupun pengkategorian sosial lainnya. Adapun pilihan untuk melakukan hubungan
seks maupun tidak adalah pilihan yang dapat diputuskan secara bijak oleh diri
masing-masing.
RUU P-KS berpotensi memperbesar konflik dan kekerasan seksual di rumah
tangga?
Berdasarkan miskonsepsi yang tersebar di masyarakat, RUU P-KS
memfasilitasi ruang konflik yang lebih besar di rumah tangga. Nyatanya, kekerasan
seksual yang dimaksud dalam RUU P-KS bukanlah setiap konflik kecil yang terjadi

13
NSVRC, “What Is Healthy Sexuality And Consent”, diakses pada 8 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

dalam rumah tangga. Kekerasan seksual di sini terdiri dari pelecehan seksual,
eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan
seksual. 14 Ruang lingkup daripada kekerasan seksual salah satunya yang dimaksud
dalam lingkup rumah tangga.15 Salah satu bentuk adanya kekerasan dan penindasan
yang berbasis seksual di dalam rumah tangga seperti marital rape. Sistem patriarkis
adalah sistem yang menempatkan peran laki-laki sebagai kontrol utama dalam
masyarakat dan sudah mendominasi kebudayaan masyarakat.16 Dengan adanya
sistem patriarkis, marital rape merupakan fenomena asli yang kerap terjadi tidak
hanya di Indonesia. Marital rape adalah hal yang serius, tetapi masih banyak orang
belum banyak mengetahuinya. Marital rape adalah terminologi yang digunakan
dalam menjelaskan perlakuan seksual tanpa adanya persetujuan dari salah satu
pasangan dengan menggunakan paksaan fisik, ancaman, yang membuat pasangan
tersebut takut jika menolaknya.17 Perlakuan ini masih banyak dilakukan di dalam
perkawinan. Terbukti melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional
(SPHPN) tahun 2016 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bersama
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan United
Nations Population Fund (UNFPA) menunjukkan bahwa dari sekitar 9.000
responden, seperempatnya pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh
suami.18
Efek dari korban marital rape juga lebih rentan daripada sesama orang asing
karena perbuatan dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi orang yang
dipercaya dapat melindungi korban. Korban dari marital rape menderita secara
fisik maupun psikologi. Biasanya korban dalam marital rape takut akan adanya

14
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Ps. 11 ayat
(1)
15
Ibid, Ps. 11 ayat (2)
16
Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah Siti A, “Menyoroti Budaya Patriarki di
Indonesia”,Social Work Journal Vol. 7 No.1, hlm. 73
17
RAINN, “Marital Rape Brochure”, https://www.rainn.org/pdf-files-and-other-
documents/Public-Policy/Issues/Marital_Rape.pdf, diakses pada 8 Maret 2019
18
Femina, “Marital Rape, Sebuah Fenomena Gunung Es”, https://www.femina.co.id/sex-
relationship/marital-rape-sebuah-fenomena-gunung-es, diakses pada 8 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

kekerasan yang berkelanjutan serta kehilangan dukungan finansial, sehingga masih


saja bertahan dalam hubungan ‘toxic’ dengan tidak melaporkannya kepada pihak
otoritas.19 Sebenarnya, Marital rape memang sudah dilarang dalam salah satu
Undang-Undang yang sudah diratifikasi. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang
No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, setiap
orang dilarang melakukan kekerasan seksual.20 Kekerasan seksual yang dimaksud
adalah pemaksaan hubungan seksual. 21
Berdasarkan RUU P-KS, sudah menjadi kewajiban negara dalam
pemenuhan hak korban yaitu meliputi hak atas penanganan, perlindungan, dan
pemulihan.22 Hak korban yang dimaksud, yaitu (1) hak atas informasi terhadap
seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan; (2) hak
mendapatkan dokumen penanganan; (3) hak atas pendampingan dan bantuan
hukum; (4) hak atas penguatan psikologis; (5) hak atas pelayanan kesehatan; dan
(6) hak atas fasilitas sesuai kebutuhan korban.23 Dapat disimpulkan bahwa, RUU
P-KS seharusnya lebih dapat melanggengkan hubungan keluarga yang lebih
harmonis tanpa konflik. Dengan adanya kesempatan semua pihak untuk
memutuskan persetujuan, maka hubungan dalam pernikahan akan menjadi dua
arah, di mana setiap anggota keluarga diperlakukan setara dengan segala keputusan
yang didasari akan pilihan sadar bukannya paksaan. Selain itu, orang tua juga
bertanggung jawab dan wajib akan perlindungan anaknya, sehingga dengan
menyetujui konsep dari RUU P-KS juga sebagai bentuk perlindungan yang
diberikan baik anak perempuan maupun laki-laki. Maka dari itu, selain dapat
melindungi seluruh anggota keluarga, juga memperbaiki komunikasi pada
hubungan, sehingga terciptanya keluarga harmonis.

19
Ibid.
20
Indonesia, Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU No. 23 Tahun 2004,
LN No. 95 Tahun 2004, TLN No. 4419 ,Ps. 5
21
Ibid. Ps. 8
22
Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Ps. 22
23
Ibid, Ps. 24 ayat (1)
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

RUU P-KS tidak mengatur norma penyimpangan seksual?


Berdasarkan pemahaman Prof. Euis Sunarti yang tersampaikan melalui
wawancara eksklusifnya, ia menyatakan bahwa RUU PKS ini tidak memenuhi
harapan dari masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak dipisahkannya
penyimpangan seksual dengan kekerasan seksual. Pada hakikatnya, RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual lebih menekankan pada perlindungan pada unsur
“kekerasan” dan konteks kekerasan tidak dapat disandingkan dengan konteks
norma dan nilai. Pengertian “kekerasan” maknanya lebih pada tindakan
(pemaksaan, intimidasi, kekuatan emosi yang tidak menyenangkan, dan merusak
seseorang, contoh: tindakan untuk mengintimidasi orang lain melalui kekuatan,
kewenangan, dan kekuasaan yang dimiliki pada orang lain).24
Mengenai penyimpangan seksual yang sering diisukan oleh masyarakat,
secara umum penyimpangan seksual dapat diartikan sebagai segala bentuk
penyimpangan tingkah laku seksual baik arah minat maupun orientasi seksual pada
seseorang. Penyimpangan seksual itu sendiri memang merupakan salah satu bentuk
perilaku yang menyimpang dan bertabrakan dengan nilai dan norma dalam
masyarakat.25 Mengenai jenis penyimpangan seksual itu sendiri, di masyarakat
dikenal beberapa jenis penyimpangan seksual diantaranya; Ekshibionisme;
Voyeurisme; Froteurisme; Paedofillia; Sadomasokis; Sadisme; Transvetitisme;
Nekrofilia; Zoofilia; dan Beastiality.26
Namun, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih menekankan
mengenai aturan yang menjerat siapapun yang melakukan tindakan-tindakan
kekerasan seksual tanpa dibatasi oleh jenis kelamin maupun orientasi seksual
apapun. Sesuai dengan aturan yang tercantum di dalam Pasal 1 RUU PKS yang

24
Komnas Perempuan, “Miskonsepsi Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,
Perspektif Gender, dan Feminisme”, diakses pada 8 Maret 2019.
25
Psychology Mania, “Pengertian Penyimpangan Seksual”,
https://www.psychologymania.com/2012/09/pengertian-penyimpangan-seksual.html, diakses pada
11 Maret 2019.
26
Michael Metheoky, “Mengenal 10 Jenis Penyimpangan Seksual”,
https://lifestyle.kompas.com/read/2016/09/19/211500823/mengenal.10.jenis.penyimpangan.seksua
l, diakses pada 11 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

menyatakan bahwa “setiap orang adalah orang perseorangan secara individual,


orang secara kelompok yang terorganisir atau tidak terorganisir, atau korporasi.”
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual secara kontekstual memang tidak dirancang untuk mengatur
mengenai penyimpangan seksual karena pada RUU ini difokuskan untuk
melindungi korban kekerasan seksual di mana kekerasan tersebut dapat dilakukan
oleh siapapun tanpa melihat status, peran, maupun orientasi seksual yang dimiliki
pelaku kekerasan seksual.
Terminologi “Kekerasan Seksual” tidak tepat?
Menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui Ketua Bidang
Kepemudaan DPP PKS Mardani Ali Sera, RUU P-KS seharusnya diganti menjadi
RUU Penghapusan Kejahatan Seksual, bukan Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal
ini didasarkan pada anggapan bahwa realitanya, masyarakat Indonesia kerap
menghadapi masalah kejahatan seksual.27 Padahal menurut Sri Nurherwati dari
Komnas Perempuan, pihak yang menentang RUU PKS ini salah memahami definisi
yang ada pada naskah RUU tersebut.
"Mengapa yang digunakan terminologi kekerasan, bukan kejahatan. Karena
Indonesia sudah ada komitmen terhadap konvensi yang dianut seluruh dunia," kata
Sri Nurherwati. Selain Konvesi tersebut, Indonesia juga sudah menggunakan
terminologi "kekerasan" dalam peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. "Terminologi kekerasan bukanlah bahasa pergaulan sehari-hari,
tetapi bahasa hukum dan bahasa komitmen negara," tuturnya.28
Konvensi yang dimaksud diatas adalah Konvensi Khusus Utama tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau yang bisa
disebut CEDAW. CEDAW yang diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984

27
Partai Keadilan Sejahtera, “Dihadapan Persaudaraan Alumni 212, Mardani Tegaskan
Tolak RUU P-KS”, http://pks.id/content/dihadapan-persaudaraan-alumni-212-mardani-tegaskan-
tolak-ruu-p-ks, diakses pada 20 Maret 2019.
28
Christoforus Ristianto, "Komnas Perempuan: Ada yang Salah Memahami Definisi RUU
PKS", https://nasional.kompas.com/read/2019/03/14/15474071/komnas-perempuan-ada-yang-
salah-memahami-definisi-ruu-pks, diakses 22 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

mengartikan kekerasan terhadap perempuan dengan makna yang lebih luas


dibanding istilah “kejahatan”, dan juga “kejahatan” itu sendiri merupakan salah satu
unsur dalam “kekerasan”. Selain itu, istilah “Kesusilaan” lebih bermakna pada nilai,
norma, dan kesopanan sehingga secara linguistik tidak memiliki asosiasi dengan
kejahatan maupun kekerasan. Kesusilaan juga diartikan dengan perihal susila; yang
berkaitan dengan adab dan sopan santun.29
Kekerasan seksual dengan tindak asusila merupakan hal yang berbeda,
berpikir bahwa itu hal yang sama merupakan suatu kesalahan berpikir yang krusial.
Sebab, dalam tindakan asusila masih ada kemungkinan terdapat consent dalam
tindakan tersebut, sedangkan pelecehan/kekerasan seksual mensyaratkan adanya
paksaan. Makna “kekerasan” dalam hal seksual adalah suatu tindakan yang keji:
memaksa, menganiaya, menguasai, intimidatif, dan sewenang-wenang --secara
seksual--, bukan dalam konteks “boleh dan tidak boleh atau suka sama suka” dan
bukan dalam arti “tidak boleh atau boleh-boleh saja” dan bahkan lebih dari sekedar
standar kesopanan atau ketidaksopanan, atau kesusilaan, karena kekerasan
mengandung tujuan menjatuhkan harga diri seseorang, bahkan masa depan
seseorang. 30
Selain itu perlu diketahui bahwa dalam KUHP, kekerasan seksual seperti
misalnya perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan.
Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat tindak pidana yang dilakukan,
namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan
moralitas semata.31 Perkosaan di KUHP juga masuknya kedalam bab mengenai
kesusilaan bukan tindak kejahatan, padahal kekerasan seksual merupakan suatu
tindak kejahatan.

29
Ebta Setiawa,. "Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)." Arti Kata Kesusilaan - Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, https://kbbi.web.id/asusila, diakses 8 Maret 2019.
30
Komnas Perempuan, “Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,
Perspektif Gender, dan Feminisme”, diakses 8 Maret 2019.
31
Ratna Batara Munti, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan, Agenda Politik Perempuan
untuk Demokrasi dan Kesetaraan, Jakarta: PSKW UI dan Yayasan TIFA, 2008.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Sedangkan dalam Naskah akademik RUU P-KS, kekerasan seksual


didefinisikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang,
dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau
fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender dan/atau sebab
lainnya, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara
fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.32
Dengan definisi tersebut maka kata “Kekerasan” justru memberi arti yang lebih luas
dibanding dengan kata “kejahatan” dan “kesusilaan”.
RUU P-KS Pro LGBT?
Menanggapi salah satu miskonsepsi yang kerap beredar mengenai RUU P-
KS yang mendukung serta melegalkan LGBT, tidak ada pernyataan apapun
mengenai LGBT dalam Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ditekankan lagi, RUU ini membahas mengenai kekerasan seksual terutama
pemulihan dan perlindungan bagi korban. Komnas Perempuan dalam Naskah
Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyajikan fakta kekerasan
seksual yang dialami warga negara Indonesia yang didasari orientasi seksual
tertentu.33
Selama terdapat korban kekerasan seksual dalam hubungan maupun
orientasi seksual apapun, maka mereka akan dilindungi di bawah payung hukum
yang disajikan oleh RUU P-KS. Ketika di sana terjadi pemaksaan, ketidaksetujuan,
serta terdapatnya korban dan kekerasan, maka RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual merupakan jawaban atas permasalahan tersebut.34 Berdasarkan Survei

32
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan, 2017), hlm. 148
33
Komnas Perempuan, “Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,
Perspektif Gender, dan Feminisme”, diakses pada 8 Maret 2019.
34
Gilang Ramadhan, “Dalil Kenapa RUU PKS Tak Cantumkan Pasal Perzinaan dan
Aborsi”, https://tirto.id/dalil-kenapa-ruu-pks-tak-cantumkan-pasal-perzinaan-dan-aborsi-dfve,
diakses pada 8 Maret 2019.
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Kampus Depok, Depok 16424
e-mail bem.hukum.ui@gmail.com website bem.law.ui.ac.id

Saiful Mujani Research Center terkait LGBT di Indonesia, terdapat 46,2% dari
responden yang menganggap LGBT cukup mengancam, dilanjutkan dengan
sebanyak 41,4% responden lainnya menganggap LGBT sangat mengancam.
Miskonsepsi ini muncul cenderung disebabkan oleh stigma negatif yang berada di
masyarakat terhadap LGBT yang dikaitkan dengan moral dan agama.35 Perlu
diingat bahwa setiap warga negara berhak untuk terbebas dari segala bentuk
kekerasan atas dasar apapun.
Untuk meluruskan disinformasi serta miskonsepsi yang ada, sudah
selayaknya kita semua membaca serta memahami isi RUU P-KS dan tujuan dari
pembuatannya yaitu perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
Naskah Akademik maupun Draft RUU P-KS disusun berdasarkan fakta-fakta yang
ada berdasarkan pengalaman para korban maupun pengalaman pendampingan
korban.36 Selain itu, apabila dirasa bahwa RUU ini justru mendukung apa yang
tidak diatur serta tercakup dalam rancangan, perlu diingat bahwa RUU ini fokus
terhadap kekerasan seksual dan apa yang tidak ada di dalamnya bukan berarti
menunjukkan suatu dukungan atas apapun. Apabila dirasa bahwa RUU P-KS ini
justru menyimpang dalam beberapa hal, mari kita ingat bahwa ada korban-korban
di luar sana yang membutuhkan perlindungan serta keadilan. Dengan disahkannya
RUU P-KS ini, hak-hak korban kekerasan seksual akan lebih terakomodasi dan
korban bisa mendapatkan perlindungan hukum serta pemulihan yang mereka
butuhkan.

35
M Faisal, “LGBT Indonesia: Hidup Kami Seperti Tidak Ada”, https://tirto.id/lgbt-
indonesia-hidup-kami-seperti-tidak-ada-cNLA, diakses pada 23 Maret 2019.
36
Rio Tuasikal, “Betulkah RUU P-KS Bertentangan dengan Nilai-Nilai Indonesia?”,
https://www.voaindonesia.com/a/betulkah-ruu-p-ks-bertentangan-dengan-nilai-nilai-indonesia-
/4812919.html, diakses pada 10 Maret 2019.

Anda mungkin juga menyukai