Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Anemia Terkait Kanker

Kondisi anemia banyak ditemui pada penderita kanker, dimana hampir 40%

penderita kanker dengan kondisi anemia. Kondisi anemia ini akan menyebabkan

penurunan yang signifikan terhadap kondisi kesehatan dan mempengaruhi harapan

hidup penderita kanker (Janis M, 2012). Data ECAS pada tahun 2004 menunjukan

menunjukkan 39% pasien kanker dengan kondisi anemia sebelum memulai terapi.

Prevalensi data anemia pada pasien kanker bervariasi tergantung pada banyak

faktor, termasuk jenis kanker, nilai Hb yang diambil sebagai batas terbawah untuk

menyatakan anemia, stadium penyakit, apakah pasien sedang menjalani pengobatan

dan keadaan lain yang menyertai yang dapat menyebabkan anemia. Berdasarkan

data tahun 2004, prevalensi anemia pada pasien kanker antara 30-90%. Harrison

dkk. telah mengkaji data secara retrospektif acak dari 202 pasien kanker yang

menjalani terapi radioterapi, didapatkan 45% pasien adalah dengan kondisi anemia

sebelum pengobatan dan meningkat menjadi 57% setelah mendapat pengobatan

(Jeffrey A dkk., 2014).

Berdasarkan ACAS studi, kondisi anemia terkait kanker banyak ditemui

pada pasien dengan kanker ginekologi, kanker urogenital , kanker paru dan kanker

kolorektal. Studi ini juga menunjukan lamanya pasien mendapat kemoterapi akan

meningkatkan resiko terjadinya anemia. Dalam penelitian di Amerika Serikat,

sekitar 1,3 juta pasien kanker yang tidak dengan kondisi anemia saat awal

8
terdiagnosis kanker akan berkembang menjadi kondisi anemia dalam perjalanan

penyakitnya (Janis M, 2012; Suega K, 2015).

ECAS mengumpulkan data dari 15.367 pasien dari 748 pusat kanker di 24

negara Eropa, ditemukan 72% dari 2780 pasien kanker hematologi dan 66% dari

10.067 pasien dengan kanker padat adalah pasien anemia. Bila pasien-pasien

tersebut kemudian menjalani pengobatan penyakitnya, seperti tindakan bedah,

kemoterapi, radioterapi, angka anemia akan meningkat lagi (LeeP dkk., 2005).

2.2 Etiologi dan Patogenesis Anemia Terkait Kanker

Kondisi anemia merupakan kondisi yang banyak ditemui pada penderita

kanker. Penyebab kondisi anemia pada penderita kanker adalah multifaktorial

seperti akibat kondisi defisiensi besi, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12,

gangguan ginjal, keterlibatan sumsum tulang, perdarahan, efek dari terapi kanker

baik kemoterapi maupun radioterapi, kondisi inflamasi atau aktivasi dari sistem

imun dan akibat terjadinya hemolisis. Jenis anemia ini pada waktu yang lalu selalu

dihubungkan dengan anemia karena penyakit kronik. Namun sekarang disebut

sebagai anemia yang berhubungan dengan kanker atau cancer related anemia

(CRA) (Janis M, 2012; Rodgers GM dkk., 2012).

Penyebab anemia pada pasien kanker yang multifaktorial ini akan

menambah kompleksitas dalam evaluasi kondisi anemia. Meskipun pasien kanker

memiliki beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya anemia, etiologi

anemia dapat dibagi menjadi tiga yaitu gangguan produksi sel darah merah,

peningkatan destruksi sel darah merah dan akibat perdarahan (Jeffrey A dkk.,

2014).

9
Anemia pada pasien kanker terjadi karena adanya aktivasi sistem imun dan

inflamasi oleh keganasan tersebut. Beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sistem

imun dan inflamasi seperti interferon (INF), tumor necrosing factor (TNF) dan

interleukin-1 (IL-1) merupakan bahan-bahan yang merangsang untuk terjadinya

anemia. Di samping itu, kanker tersebut juga dapat mempunyai efek langsung

untuk terjadinya anemia (LeeP dkk., 2005; Janis M, 2012; Jeffrey A dkk., 2014).

IL-1, seperti juga TNF, adalah sitokin yang mempunyai kerja yang luas di

dalam proses respon imun dan inflamasi yang berhubungan dengan anemia karena

penyakit kronik. Mekanisme patogenesis berikut telah dirumuskan sebagai yang

bertanggung jawab terhadap terjadinya anemia yang diperantarai oleh IL-1, INF

dan TNF, yaitu gangguan pemakaian zat besi, penekanan terhadap sel progenitor

eritrosit, produksi eritropoetin tidak memadai, pemendekan umur sel darah merah

(LeeP dkk., 2005; Janis M, 2012; Jeffrey A dkk., 2014).

Menurunnya produksi sel darah merah pada penderita kanker akibat

gangguan proses eritropoisis yang disebabkan berbagai faktor. Ini termasuk

berkurangnya produksi eritropoitin akibat dari gangguan ginjal, kekurangan zat

besi, folat dan vitamin B12 atau akibat penekanan susmsum tulang oleh proses

metastase, mielodisplasia atau akibat efek mielosupresif dari kemoterapi. Efek tidak

langsung tambahan meliputi defisiensi nutrisi yang disebabkan oleh hilangnya

nafsu makan pada pasien kanker (Aapro M dkk., 2012; Jeffrey A dkk., 2014).

Kebanyakan kanker adalah kanker ganas padat, seperti kanker payudara dan

prostat yang kemudian dapat menginvasi sumsum tulang. Hal ini sering terabaikan

sebagai faktor yang menyebabkan anemia, bahwa kanker ini juga menyebabkan

10
reaksi desmoid atau reaksi fibrotik yaitu terjadinya peningkatan proses fibrosis di

dalam sumsum tulang yang akan mengurangi volume rongga sumsum tulang dan

matrik sinusoid. Proses ini dapat menyebabkan gangguan pelepasan sel darah yang

matang dari sumsum tulang, sehingga dapat menghasilkan gambar leuko-

eritroblastik dengan sel darah merah dan sel-sel mieloid yang belum matang yang

dapat terlihat pada pemeriksaan darah tepi (LeeP dkk., 2005; Werner dkk., 2007).

Masa sel darah merah secara normal ditentukan oleh umur dari sel darah

merah itu dan dari kecepatan produksinya. Anemia terjadi karena adanya

ketidakseimbangan antara kedua faktor tersebut. Pada anemia karena kanker, kedua

faktor tersebut sangat menentukan. Yang paling penting adalah adanya kegagalan

relatif dari sumsum tulang dalam meningkatkan produksi sel darah merah guna

mengimbangi pendeknya umur sel darah merah tersebut (LeeP dkk., 2005).

Penghancuran sel darah yang meningkat pada penderita kanker dapat

diakibatkan oleh proses konsumtif seperti kondisi anemia hemolitik autoimun

yang sering terjadi pada leukemia limfositik kronis atau proses mikroangiopati.

Kondisi hipersplenisme juga sering terjadi pada neoplasma mieloproliferatif,

keganasan limfoid atau pada kanker yang menginvasi lien atau yang meyebabkan

terjadinya hipertensi portal (Werner dkk., 2007; Jeffrey A dkk., 2014).

Pada penderita dengan anemia karena penyakit kronik, umur sel darah

merah yang biasanya selama 60-90 hari, lebih pendek dari umur sel darah merah

pada orang normal dimana sekitar 120 hari. Bila darah orang normal ditransfusikan

kepada pasien penderita kanker, umur sel darah merah ini akan memendek sekitar

50-60 hari dan mungkin akan lebih pendek jika terdapat faktor-faktor yang

11
mempengaruhi dalam memendeknya umur sel darah merah. Secara klinis maupun

secara eksperimental data ini menunjukkan bahwa efek ini diperantarai IL-1 dan

TNF. Percobaan pemberian TNF berulang pada tikus menyebabkan diseritropoesis,

akan menyebabkan turunnya sintesis sel darah merah serta akan menurunkan umur

sel darah merah yang bersirkulasi sehingga pada akhirnya akan menyebabkan

anemia. Selain itu TNF dapat menginduksi diseritropoesis dan eritrofagositosis

pada mencit. Efek TNF tersebut mungkin dapat menurunkan eritropoesis dan

memendekkan umur sel darah merah pada pasien kanker dengan anemia (LeeP

dkk., 2005; Werner dkk., 2007; Liumbruno G dkk., 2009; Jeffrey A dkk., 2014).

Gambar 2.1 Patofisiologi Anemia pada Kanker (Aapro M dkk., 2012).

Kehilangan darah pada pasien kanker biasa terjadi akibat perdarahan yang

berasal dari tumor yang sering terjadi pada kanker gastrointestinal atau kanker

ginekologi. Perdarahan juga dapat terjadi akibat perdarahan saat prosedur

12
pembedahan atau akibat proses plebotomi untuk keperluan pemeriksaan

laboratorium (Jeffrey A dkk., 2014).

Penyebab langsung dari anemia pada pasien kanker disebabkan oleh

substansi atau protein yang dihasilkan oleh kanker sendiri. Deposit dari amiloid

pada mieloma dan amiloidosis dapat secara ekstensif menggantikan sumsum

tulang. Terbentuknya antibodi pada leukemia limfositik kronik, limfoma dan

kadang-kadang kanker padat yang akan menyebabkan timbulnya anemia hemolitik

imun. Terjadinya anemia hemolitik mikroangioati yang dapat dilihat pada sebagian

kanker padat, dapat menghasilkan prokoagulans pada kanker (Suega K., 2015).

Efek mielosupresif kemoterapi merupaka faktor yang secara signifikan

berkontribusi terhadap anemia pada pasien yang menjalani pengobatan sitotoksik.

Kemoterapi dengan regimen berbasis platinum seperti yang biasa digunakan dalam

kasus kanker paru-paru, ovarium dan kanker di daerah kepala dan leher akan dapat

menyebabkan gangguan pada ginjal dan penekanan sumsum tulang sehingga akan

meningkatkan terjadinya anemia. Efek mielosupresi dari kemoterapi akan

terakumulasi, yang berarti tingkat resiko terjadinya anemia akan meningkat seiring

dengan makin banyaknya pasien menerima pengobatan kemoterapi. Hal ini dapat

terlihat dari studi ECAS dimana prevalensi anemia terlihat meningkat dari 19,5%

pada siklus pertama kemoterapi menjadi 46,7% pada siklus kemoterapi yang kelima

(Barret dkk., 2006; Aapro M dkk., 2012; Janis M, 2012).

Terapi radiasi pada tulang juga berkaitan dengan terjadinya toksisitas

hematologi. Pada analisis retrospektif, sekitar sepertiga dari 210 pasien menjalani

radioterapi pada tulang cranium dan atau tulang belakang untuk mengobati kanker

13
primer pada central nervous system (CNS) menghasilkan efek samping anemia

(Aapro M dkk., 2012).

2.3 Defisiensi Besi pada Penderita Kanker

Defisiensi besi dan anemia merupakan komplikasi yang sering ditemukan

pada pasien kanker. Kondisi defisiensi besi jika tidak diobati akan menyebabkan

terjadinya anemia. Sehingga adanya kondisi defisiensi besi pada pasien kanker

tidak boleh dianggap remeh. Insiden defisiensi besi banyak ditemui pada kasus

kanker kolorektal. Hal ini mungkin disebabkan adanya perdarahan kronis pada

pasien dengan kanker kolorektal (Aapro M dkk., 2012; Peerschke E dkk., 2014).

Pada data tahun 2012 melaporkan berdasarkan 5 studi yang berbeda

menggunakan batasan defisiensi besi yang berbeda-beda, prevalensi defisiensi besi

pada pasien kanker sebesar 26-60%. Pada pasien kanker yang mengalami anemia

sekitar 63% pasien memiliki nilai saturasi trasferin dan serum feritin dibawah nilai

yang direkomendasikan untuk mencegah terjadinya iron restricted erythropoiesis.

Oleh karena itu, karena tingginya prevalensi defisiensi besi, perlu dinilai status besi

(saturasi transferrin, serum feritin) pada pasien kanker dengan gejala pada anemia

ringan (Hb 10-12 gr/dl) dan pada seluruh pasien kanker dengan anemia berat

(Hb <10 gr/dl) (Henry D dan Dahl N, 2007; Aapro M dkk., 2012).

Kondisi defisiensi besi pada penderita kanker dapat berupa defisiensi besi

absolut atau defisiensi besi fungsional. Defisiensi besi absolut terjadi dimana

cadangan besi menurun dan transport besi juga mengalami penurunan. Defisiensi

besi absolut pada penderita kanker adalah bila didapatkan saturasi transferin < 20%

dan serum feritin < 100 ng/ml. hal ini menunjukkan kondisi cadangan besi dan

14
transport besi mengalami penurunan. Beberapa penyebab yang dapat menyebabkan

kondisi defisiensi besi absolut adalah buruknya bioavabilitas yang disebabkan oleh

faktor diet dan adanya terapi yang mungkin menggangu penyerapan besi. Sebagai

tambahan, pada pasien kanker juga sering terjadi perdarahan dari saluran

gastrointestinal atau melalui sistem urogenital (Janis M, 2012; Ludwig dkk., 2015).

Defisiensi besi fungsional terjadi oleh karena hambatan mobilisasi dan

transport besi walaupun sebenarnya cadangan besi dalam tubuh dalam jumlah yang

cukup. Sebagai konsekuensi dari akumulasi besi intraseluler, saturasi transferin

akan mengalami penurunan, meskipun besi intraseluler dalam keadaan cukup.

Defisiensi besi fungsional didefinisikan jika saturasi transferin <20% dan nilai

serum feritin > 100 ng/ml. Patofisilogi defisiensi besi fungsional disebabkan

berbagai mekanisme termasuk pemendekan masa hidup sel darah merah, hambatan

eritropoisis, menurunnya produksi eritropoitin dari ginjal, hambatan transport besi

akibat peningkatan hepsidin (Janis M, 2012; Steinmetz HT, 2012; Jeffrey A dkk.,

2014; Ludwig dkk., 2015)

Defisiensi besi fungsional pada kanker disebabkan oleh sel tumor yang

berinteraksi dengan sistem imun yang menyebabkana kondisi inflamasi dan

melepaskan sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Dalam praktek klinis

derajat inflamasi dapat diukur dengan pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

dimana ini terkait dengan serum IL-6. Sitokin proinflamsi menyebabkan

peningkatan hepsidin yang merupakan hormon peptida yang memegang peran

penting dalam regulasi homeostasis besi (Janis M, 2012; Steinmetz HT, 2012;

Jeffrey A dkk., 2014).

15
2.4 Pemeriksaan Petanda Besi pada Pasien Kanker dengan Anemia

Masalah anemia pada kanker adalah kompleks dan harus dilakukan evaluasi

secara cermat dan menyeluruh. Berdasarkan pedoman NCCN, pada pasien yang

dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dicurigai mengalami anemia, pemeriksaan

awal yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah

tepi. Selain itu pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab anemia lain seperti

defisiensi besi, defisiensi vitamin B12, asam folat, perdarahan, hemolisis dan

gangguan ginjal (NCCN, 2014).

Penilain satus besi pada pasien kanker perlu dilakukan, namun penilaian

berdasarkan nilai mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular

haemoglobin (MCH) dan red cell distribution width (RDW) tidak dapat mendeteksi

secara dini onset dari defisiensi besi. Pemeriksaan serum feritin, besi serum, TIBC,

dan saturasi transferin diperlukan untuk menentukan pasien dalam kondisi

defisiensi besi absolut atau defisiensi besi fungsional (Janis M, 2012; Peerschke E

dkk., 2014).

Feritin adalah protein cadangan besi yang paling penting yang larut dalam

air. Feritin yang dapat terdeteksi dalam darah sebanding dengan cadangan besi

dalam tubuh, sehingga dapat mewakili suatu indeks dari jumlah cadangan besi.

Feritin terdapat hampir pada semua sel dan jaringan dimana konsentrasi yang

tinggi khususnya ditemukan di hati, limpa dan sumsum tulang. Feritin dalam

lisososm akan dikonversikan menjadi hemosiderin oleh enzim lisosom melalui

degradasi pada protein cangkangnya. Sebaliknya feritin yang didegradasi di sitosol

akan melepaskan kandungan besinya secara komplit. Ditemukan hubungan

16
langsung untuk orang dewasa sehat antara konsentrasi feritin plasma dengan jumlah

cadangan besi yang tersedia dalam tubuh (Bull 2010; Suega K, 2015).

Secara umum feritin berasal dari sintesis, pelepasan dari sel, serta bersihan

(clearance) dari plasma. Feritin diproduksi dan disekresi oleh hepatosit. Selain itu,

feritin juga disekresi sel lain termasuk makrofag. Sebagian besar feritin disintesis

di dalam sel dan kemudian melepaskan besi dalam rangka mengatur homeostasis

intraseluler. Feritin disintesis di poliribosom dan sebagian kecil disintesis di

retikulum endoplasma kasar. Selain berada di dalam sitosol sel, feritin juga

ditemukan dalam plasma. Feritin dapat masuk ke sirkulasi melalui sekresi feritin

oleh sel atau berasal dari pelepasan sel yang rusak. Kedua hal ini mempengaruhi

kadar feritin dalam plasma menopause (Cohen dkk.,, 2010; Kell dan Pretorius,

2014).

Studi komparatif dengan plebotomi dan pemeriksaan histokimia terhadap

aspirasi susmsum tulang menunjukkan bahwa pada defisiensi besi dan pada

timbunan besi primer dan sekunder, feritin memberi informasi akurat mengenai

cadangan besi yang tersedia bagi tubuh untuk sintesis hemoglobin. Jika lebih

banyak besi yang disuplai dibanding besi yang dapat disimpan sebagai feritin, besi

akan disimpan sebagai hemosiderin didalam sel sistem retikuloendotelial. Tidak

seperti feritin, hemosiderin tidak larut air dan sangat sulit untuk memobilisasi

kandungan besinya. Feritin merupakan protein penyimpan yang besi dibentuk di

dalam sel sebagai respon terhadap konsentrasi besi intrasel. Jika konsentrasi besi

intrasel tinggi, feritin akan disintesis dalam jumlah yang besar. Jika konsentrasi

besi intrasel rendah, maka feritin yang disintesis juga sedikit (Suega K, 2015).

17
Feritin merupaka indikator yang baik untuk cadangan besi, namun tidak

memberi informasi mengenai kompartemen fungsional, yaitu jumlah besi yang

sebenarnya tersedia untuk eritropoisis. Kadar feritin yang rendah hanya

menunjukkan bahwa pasien beresiko mengalami defisiensi besi. Kadar feritin yang

meningkat dapat dijumpai pada penyakit hati akut maupun kronik, inflamasi,

alkoholisme, kanker, hipertiroidisme, infark jantung, hemokromatosis. Kadar

feritin serum yang normal atau meningkat dapat ditemukan pada pasien dengan

defisiensi besi apabila kondisi tersebut disertai dengan inflamsi atau keganasan. Hal

ini dikarenakan feritin merupakan protein fase akut, dimana sintesisnya akan

meningkat apabila terdapat kondisi seperti inflamsi atau pada penderita kanker.

Akibatya adalah peningkatan kadar feritin tidak sesuai dengan jumlah cadangan

besi yang tersedia. Pada pasien dengan feritin yang normal yang disertai dengan

peningkatan CRP, kondisi defisiensi cadangan besi belum dapat disingkirkan

sepenuhnya Kadar feritin yang rendah didapatkan pada beberapa kondisi seperti

anemia defisiensi besi, defisiensi vitamin C, serta celiac disease. Pada remaja dan

dewasa muda, kadar feritin yang rendah dapat menimbulkan gejala restless legs

syndrome. Sekitar 40 % vegetarian juga ditemukan dengan kadar feritin yang

rendah (Rosario dkk., 2013; Suega K, 2015).

Serum besi digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan defisiensi zat

besi, terutama dalam kombinasi dengan kapasitas mengikat besi (iron binding

capacity), yaitu transferin dan saturasi tarnsferin. Banyaknya besi yang beredar

dalam darah yang terikat dengan transferin direfleksikan oleh kadar serum besi.

Serum besi sendiri tidak signifikan mengingat variasi fisiologis yang ada. Banyak

18
subyek normal menunjukkan variasi harian dengan nilai tertinggi pada pagi hari

dan nilai terendah pada malam hari. Nilai serum besi pada individu dapat bervariasi

10-40% dalam satu hari atau dari hari ke hari karena perubahan penyerapan zat besi,

serapan sumsum tulang terhadap besi atau pengeluaran cadangan besi. Untuk itu

serum besi harus diiterpretasikan bersama dengan pemeriksaan lainnya. Variasi

diurnal dari besi serum bisa mencapai 45µg/L. karena besi menunjukkan irama

sikardian yang berbeda dan bervariasi dari hari ke hari sehingga pengambilan

sampel harus distandarisasi sesuai dengam waktu (Suega K, 2015).

Besi serum adalah salah satu trace elemen, dengan konsentrasi dalam serum

mirip dengan tembaga dan seng sehingga terjadinya kontaminasi harus dihindari

saat pengambilan dan saat preparasi sampel. Serum dan plasma yang diheparinisasi

cukup memadai untuk digunakan sebagai sampel. Kondisi hemolisis akan

mengganggu interpretasi hasil. Serum besi dipengaruhi obat-obatan yang

mengandung besi, karena itu pengambilan serum besi harus bebas dari senyawa

yang mengandung besi minimal selama 24 jam (Beutler E, 2010; Suega K, 2015).

Transferin merupakan plasma protein untuk transportasi besi. Transferin

berperan untuk mengikat dan menyalurkan zat besi ke jaringan. Setiap molekul

transferin dapat mengangkut 2 molekul besi (Fe3+). Indeks dari senyawa transferin

yang ditemukan dalam darah adalah kapasitas pengikatan besinya yaitu ukuran

untuk menyatakan kapasitas transferin untuk mengikat besi di dalam darah.

Kapasitas total dari transferin dalam mengikat besi (TIBC) adalah metode

pemeriksaan kadar transferin secara tidak langsung. Konsentrasi transferin

berkorelasi dengan kapasitas pengikat total serum besi. Dalam keadaan normal

19
sekitar sepertiga dari transferin akan tersaturasi besi. Sebagian transferin dalam

tubuh terdapat dalam serum/plasma, sedangkan sisanya terdapat di ekstravaskuler.

Protein tersebut mampu mengangkut dua ion trivalent permolekul. Sebesar 30-40%

kapasitas ikatan maksimalnya digunakan pada kondisi fisiologis (Suega K, 2015).

Transferin disintesis terutama di hati. Pada individu yang sehat dengan

defisiensi zat besi, kadar transferin dalam serum meningkat akibat adanya

peningkatan sintesis. Hasil yang tinggi dapat dilihat pada kehamilan dan selama

pemberian hormon estrogen dan kontrasepsi oral. Penurunan serum transferin dapat

dilihat pada penyakit hati kronis, malnutrisi, kehilangan protein, keganasan,

peradangan akut dan kronis. Pemeriksaan transferin dapat digunakan untuk menilai

status nutrisi dan hasil tes ini dapat dipengaruhi oleh transfusi (Suega K, 2015).

TIBC adalah pengukuran tidak langsung dari konsentrasi transferin dan

kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian. Saturasi transferin biasanya

dilaporkan sebagai kejenuhan persen (100 x serum besi/TIBC). Satursi transferin <

20% merupaka indikasi dari defisiensi besi, baik berupa defisiensi besi absolut

maupun defisiensi besi fungsional. Saturasi transferin > 45% menggambarkan

penyakit keturunan hemokromatosis dan atau karena akibat transfusi berulang atau

keracunan besi. Kenaikan sementara pada saturasi transferin terlihat setelah

pemberian zat besi intravena. Jika terjadi inflamsi, penyakit infeksi atau kanker

akan menyebabkan konsentrasi transferin dan saturasi transferin yang rendah yang

menandakan terjadi gangguan distribusi besi. Konsentrasi transferin dan saturasi

transferin merupakan temuan bermakna untuk membantu menentukan diagnosis

banding pada kasus-kasus dengan peningkatan feritin. Kelebihan besi yang

20
sebenarnya disertai dengan peningkatn transferin. Peningkatan feritin palsu

ditunjukkan dengan rendahnya saturasi transferin dan rendahnya konsentrasi

transferin (Brugnara, 2006; Suega K, 2015).

Walaupun pemeriksaan sumsum tulang merupakan baku emas dalam

menilai status besi, namun pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan secara rutin.

Saturasi transferin merupakan penanda yang berguna dalam menentukan status

besi, karena dapat mencerminkan hubungan antara cadangan besi sumsum tulang,

absorbsi besi dan ketersediaan besi dalam sirkulasi (Janis M, 2012; Peerschke E

dkk., 2014).

Sejak diketahui bahwa feritin merupakan protein fase akut dimana nilainya

meningkat pada kondisi inflamasi dan kerusakan hati. Nilai normal atau

peningkatan nilai feritin tidak dapat menggambarkan secara tepat kecukupan

cadangan besi terutama pada pasien kanker. Hal ini menyebabkan penentuan kadar

feritin sebagai indikator cadangan besi tubuh dalam kondisi pasien dengan

keganasan dan inflamasi akan mengalami kesulitan (Janis M, 2012; Peerschke E

dkk., 2014).

Serum feritin < 100 ng/ml diduga menandakan kondisi menurunnya

cadangan besi. Penelitian cohort pada pasien kanker menunjukkan 22% pasien

dengan serum feritin 100-800 ng/ml dan 24 % dengan serum feritin > 800 ng/ml

didapatkan dengan kondisi anemia defisiensi besi (saturasi trasferin < 20% dan Hb

< 12 gr/dl) (Aapro M dkk., 2012).

Beberapa studi mencoba membandingkan keakuratan dari serum feritin dan

saturasi transferin. Serum feritin sekitar 35-41% memiliki kemungkinan keakuratan

21
dalam mengidentifikasi defisiensi besi dibandingkan saturasi transferin (59-88%).

Hasil ini menunjukkan jika serum feritin digunakan sebagai petunjuk tunggal, akan

menyebabkan diagnosis yang kurang tepat dalam memprediksi defisiensi besi.

WHO menyarankan dalam menilai status besi tidak baik menggunakan parameter

serum feritin dengan adanya kondisi inflamai (Janis M, 2012; Peerschke E dkk.,

2014).

Batas nilai sebagai indikator serum feritin yang menandakan defisiensi besi

absolut menjadi tidak jelas. Menurut penelitian Aurbeach dkk. menyebutkan batas

serum feritin yang dipakai batas untuk defisiensi besi absolut adalah < 100 ng/ml,

ini didasarkan atas percobaan dengan penggunaan terapi besi yang memberikan

hasil yang optimal. Kombinasi nilai serum feritin, CRP, sTfR, Ret-He

memungkinkan untuk menentukan anemia defisiensi besi meskipun nilai serum

feritin > 100 ng/ml (Steinmetz HT, 2012).

Beberapa keterbatasan tes biokimia lain bila digunakan dalam mendiagnosis

defisiensi besi adalah (Suega K, 2015) :

1. TIBC yang mengukur secara tidak langsung kadar transferin dimana akan

meningkat bila kadar besi serum dan cadangan besi menurun. TIBC ternyata

juga dipengaruhi oleh inflamasi, malnutrisi, infeksi kronis dan kanker yang

akan menyebabkan penurunan kadar.

2. Besi serum dapat diukur secara langsung dan kadarnya menurun bila cadangan

besi berkurang. Namun pemeriksaan ini tidak dapat mencerminkan secara

langsung cadangan besi karena dapat dipengaruhi oleh variasi diurnal dimana

konsentrasinya lebih tinggi pada siang hari, jenis diet dan suplementasi besi,

22
kondisi inflamasi serta infeksi juga ikut mempengaruhi perubahan kadar besi

serum.

3. Saturasi transferin merefleksikan jumlah besi yang terikat oleh protein

transport dan proses transport besi tersebut. Nilai saturasi transferin didapatkan

berdasarkan pembagian besi serum dengan TIBC dan dengan demikian juga

dipengaruhi oleh inflamasi dan variasi diurnal tetapi berkebalikan dengan

feritin, kadar saturasi transferin akan menurun pada kondisi inflamasi.

4. Feritin merupakan indikator yang baik untuk cadangan besi. Kadar feritin yang

meningkat dapat dijumpai pada penyakit hati akut maupun kronik, infeksi dan

inflamasi, alkoholisme, keganasan, hipertiroid, infark jantung,

hemokromatosis.

2.5. Reticulocyte Hemoglobin Equivalent (Ret-He)

Retikulosit adalah sel darah merah yang masih muda yang tidak berinti dan

berasal dari proses pematangan normoblast di sumsum tulang. Sel ini mempunyai

jaringan organela basofilik yang terdiri dari RNA dan protoforpirin yang dapat

berupa endapan dan berwarna biru apabila dicat dengan pengecatan biru metilin.

Retikulosit akan masuk ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebih selama

satu sampai dua hari sebelum akhirnya mengalami pematangan menjadi eritrosit

dengan melepas sisa RNA (Bakta, 2006; Suega dan Bakta, 2010; Karagulle dkk.,

2013).

Selama proses eritropoiesis sel induk eritrosit yang paling tua atau late-

stage erytroblasts akan mengalami pematangan dengan menghilangnya inti

sehingga menjadi retikulosit. Dalam periode beberapa hari proses pematangan ini

23
ditandai dengan: (1) penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya

seperti halnya eritrosit yang matang; (2) adanya perubahan bentuk dari besar ke

yang lebih kecil, unifom dan berbentuk biconcave discoid; dan (3) terjadinya

degradasi protein plasma dan organel internal serta residual protein lainnya.

Bersamaan dengan adanya perubahan intrinsik ini retikulosit akan bermigrasi

kesirkulasi darah tepi. Namun demikian populasi retikulosit ini bukanlah sesuatu

yang homogen oleh karena adanya tingkatan maturasi yang berbeda dari retikulosit

tersebut. Dengan meningkatnya rangsangan eritropoisis seperti misalnya adanya

proses perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsi dari sel retikulosit muda

akan meningkat baik didalam sumsum tulang maupun didarah tepi. Ada perbedaan

masa hidup antara retikulosit normal dan retikulosit muda yaitu membran

retikulosit imatur akan lebih kaku dan tidak stabil, disamping itu retikulosit muda

ini masih mempunyai reseptor untuk protein adesif sedangkan retikulosit normal

telah kehilangan reseptor ini begitu sel ini bermigrasi ke perifer (Suega dan Bakta,

2010).

Suatu studi memperkirakan lama waktu tinggal retikulosit disumsum tulang

sebelum memasuki sirkulasi darah tepi bervariasi antara 17 jam pada tikus normal

sampai 6,5 jam pada tikus yang menderita anemia. Pada pasien tanpa anemia hitung

retikulositnya berkisar antara 1% sampai dengan 2%. Jumlah ini penting karena

dapat digunakan sebagai indikator produktivitas dan aktivitas eritropoiesis di

sumsum tulang dan membantu untuk menentukan klasifikasi anemia sebagai

hiperproliferatif, normoproliferatif, atau hipoproliferatif. Penghitungan jumlah

24
retikulosit ini bisa dilakukan dengan metode manual menggunakan pengecatan

supravital dan bisa dengan analisa otomatis flowcytometer (Suega dan Bakta, 2010).

Saat ini blood cell analyzer telah memiliki kemampuan untuk menganalisis

karakteristik sel darah secara individual, seperti: kadar Hb dalam retikulosit, kadar

Hb dalam eritrosit matur, persentase dari mikrositik eritrosit dan hipokromik

eritrosit. Parameter ini sudah mulai digunakan untuk mendiagnosis anemia

defisiensi besi dan anemia pada penyakit kronis, kedua kondisi klinis ini memiliki

karakteristik tersendiri. Retikulosit sebagai sel darah dengan rentang hidup yang

pendek sampai dengan 2 hari, memiliki kelebihan dalam hal informasi yang

terkandung didalam hemoglobinnya yaitu mampu menggambarkan kadar besi

terkini yang tersedia di sumsum tulang dan mampu menjadi penanda awal adanya

eritropoisis dengan kondisi defisiensi besi, jika dibandingkan dengan pemeriksaan

besi pada eritrosit matur yang mampu dilakukan oleh automated hematology

analyzer akan memberikan hasil yang tidak sensitif sebagai penanda awal proses

eritropoeisis dengan kondisi defisiensi besi karena turnover eritrosit yang lama dan

variabilitas masing-masing individu yang luas (Mast dkk., 2008; Torino dkk.,

2014).

Pemeriksaan Ret-He diperkenalkan pada tahun 2005 sebagai salah satu

parameter penilaian kadar hemoglobin dari retikulosit sehingga dapat memberikan

penilaian langsung tentang ketersediaan cadangan besi adekuat untuk proses

eritropoesis. Pengukuran langsung terhadap kadar hemoglobin pada prekursor sel

darah merah memungkinkan upaya identifikasi lebih dini terhadap status besi, jika

dibandingkan dengan pemeriksaan biokimia konvensional yang memiliki risiko

25
bias pada kondisi tertentu. Pemeriksaan kadar hemoglobin dalam retikulosit adalah

teknik pemeriksaan untuk menilai jumlah besi yang terinkorporasi kedalam

hemoglobin eritrosit sehingga memungkinkan penilaian terhadap kadar besi

fungsional didalam eritron atau jumlah besi yang tersedia untuk pembentukan

hemoglobin di sumsum tulang (Brugnara dkk., 2006; Karagulle dkk., 2013).

Besi digunakan untuk mensintesis hemoglobin oleh sel induk eritroid di

sumsum tulang pada proses eritropoiesis yang pada akhirnya bermuara dengan

pelepasan retikulosit ke sirkulasi, dan akan memberi sinyal untuk aktivitas

eritropoiesis 3-4 hari setelah besi terpakai untuk membuat hemoglobin. Oleh karena

itu Ret-He dianggap dapat merefleksikan ketersediaan besi selama pembentukan

sel darah merah dan parameter retikulosit ini menggambarkan keseimbangan antara

besi dan eritropoiesis dalam 28 jam terakhir (Suega dan Bakta, 2010).

Karena masa hidup retikulosit yang singkat maka pemeriksaan ini merupakan

indikator yang sensitif terhadap kondisi iron deficient erythropoiesis bahkan pada

stadium awal karena pemeriksaan ini mencerminkan ketersediaan besi untuk proses

eritropoesis dalam jangka waktu 2-4 hari kedepan sehingga pemeriksaan ini dapat

dipakai untuk mendiagnosis defisiensi besi (Brugnara dkk., 2006; Mast dkk., 2008;

Urrechaga dkk., 2009).

Pada tahap awal defisiensi besi, sebelum berkembang menjadi anemia,

gangguan pasokan besi untuk eritron menghasilkan transien eritropoiesis defisiensi

besi, yang menyebabkan pergeseran distribusi Ret-He ke nilai yang lebih rendah

dan terlihatnya sel-sel hipokromik. Perubahan ini kemudian diikuti oleh

perkembangan mikrositosis yang jelas dan hipokromia dan karena itu membantu

26
dalam mengidentifikasi tahap awal defisiensi besi. Retikulosit adalah eritrosit

paling awal yang dilepaskan ke sirkulasi darah sehingga Ret-He memberikan

pengukuran awal kekurangan zat besi ketika perubahan dalam sel darah merah atau

parameter biokimia lainnya tidak jelas. Ini berarti bahwa defisiensi besi dapat

dideteksi pada tahap awal, ketika indikator eritrosit masih normal tetapi simpanan

besi habis pada titik yang mempengaruhi hematopoiesis dan merangsang produksi

retikulosit pada persentase tertentu dari penurunan konten hemoglobin (Bakr dan

Sarette, 2006).

Beberapa studi dapat megevaluasi penggunaan pemeriksaan Ret-He

bersama serum feritin dan saturasi transferin dalam memprediksi respon terhadap

pemberian besi intravena. Ini menunjukan bahawa Ret-He memiliki variasi yang

lebih kecil dan lebih akurat daripada serum feritin dan saturasi transferin. Rentang

referensi Ret-He adalah 26-32 pg/cell. Nilai Ret-He < 26 pg/cell konsisten dengan

defisiensi zat besi untuk eritropoesis. Ret-He memiliki sensitivitas dan spesitifitas

yang baik untuk mendiagnosis defisiensi zat besi fungsional pada kondisi klinik

yang kompleks dibandingkan dengan pengukuran zat besi secara tradisional seperti

feritin, besi serum, TIBC dan saturasi transferin. Ret-He memberikan respon

terhadap pemberian agen yang dapat merangsang eritropoesis atau pemberian zat

besi intravena selama 48-96 jam. Ret-He mungkin dapat digunakan sebagai

prediktor yang lebih baik untuk cadangan besi sumsum tulang bila dibandingkan

dengan parameter besi lainnya (Suega K, 2015).

Studi Ret-He dengan batas < 32 pg/cell untuk menentukan status defisiensi

besi pada penderita kanker berdasarkan nilai saturasi transferin < 20%, besi serum

27
< 40 µg/dl dan serum feritin < 100 ng/ml. Dengan batas 32 pg/cell, Ret-He dapat

digunakan untuk menentukan status besi pada penderita kanker dengan negative

predictive value (NVP) 98,5% dibandingkan dengan menggunakan parameter

hemoglobin < 11 gr/d, MCV < 80 fL dengan NPV sebesar 88,5% (Peerschke E

dkk., 2014).

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan Ret-He dengan petanda besi.

Penelitian Ervasti menunjukkan hubungan postif Ret-He dengan saturasi dengan

r=0,37; p<0,001, penelitian Ferniawanti dengan r=0,36; p<0,001. Kedua penelitian

tersebut menggunakan subyek wanita hamil. Penelitian Hackeng CM dkk. yang

menggunakan subyek pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, Ret-He

menunjukkan korelasi positif dengan saturasi transferin dengan r= 0,26; p<0,05.

Karagulle dkk. dengan subyek wanita defisiensi besi dan anemia defisiensi besi

mendapatkan korelasi Ret-He dan saturasi transferin sebesar r=0,764; p<0,05.

Demikian halnya pada penelitian oleh Ageeli dkk. yang hanya menggunakan

subyek pada tahap anemia defisiensi besi mendapatkan korelasi Ret-He dan saturasi

transferin sebesar r=0,936; p<0,001 (Hackeng CM dkk., 2004; Ervasti M, 2008;

Ageeli dkk., 2013; Ferniawanti D, 2015).

Penelitian Ervasti dengan subyek populasi ibu hamil menunjukkan korelasi

Ret-He dengan feritin dengan r=0,57; p<0,01. Penelitian Farniawanti

menunjukkan korelasi Ret-He dengan feritin didapatkan r=0,381; p<0,001.

Penelitian Ageeli dkk. di Saudi Arabia yang menggunakan 100 subyek anemia

defisiensi besi, didapatkan korelasi Ret-He dengan feritin yang lebih tinggi yaitu

r=0,938; p<0,001. Hasil berbeda didapatkan pada penelitian Hackeng CM dkk.

28
yang menggunakan subyek pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa

diamana didapatkan hubungan negatif antara Ret-He dengan feritin namun tidak

signifikan (Hackeng CM dkk., 2004; Ervasti M, 2008; Ageeli dkk., 2013;

Ferniawanti D, 2015).

Walaupun anemia defisiensi besi merupakan penyebab terbanyak kasus

anemia di dunia, anemia karena penyakit kronik lebih banyak ditemui pada

penderita kanker. Berbeda dengan anemia defisiensi besi yang disebabkan

cadangan besi yang tidak adequate, pada anemia karena penyakit kronik

berhubungan dengan penurunan transport besi untuk eritropoisis dimana

sebenarnya cadangan besi dalam jumlah yang cukup. Ret-He dapat membantu

membedakan antara bentuk anemia tersebut dan menunjukan variasi yang lebih

rendah dibandikan indikator status besi lainnya (Peerschke E dkk., 2014).

Aplikasi klinis pemeriksaan Ret-He terutama untuk menentukan kebutuhan

pemberian suplementasi besi pada pasien dengan defisiensi besi fungsional.

Misalnya pada pasien hemodialisis regular atau pasien kanker dengan anemia yang

menggunakan eritropoetin karena eritropoetin akan menyebabkan kondisi iron

deficient erythropoiesis. Ret-He juga digunakan pada skrining kondisi defisiensi

besi pada bayi dan anak-anak dan telah terbukti sebagai prediktor yang paling kuat

terhadap kondisi defisiensi besi dengan atau tanpa anemia (Mast dkk., 2008).

Ret-He juga dapat digunakan sebagai prediktor keberhasilan terapi besi.

Berdasarkan kriteria Kerlin, keberhasilan terapi besi pada ADB ditandai dengan

peningkatan kadar Hb sebanyak 2 gr/dl setelah diberikan terapi selama 4 minggu.

Studi yang dilakukan oleh Brugnara menemukan bahwa terdapat kenaikan kadar

29
Ret-He dengan rata-rata 3,2 pg/cell setelah diberikan terapi besi oral dan kenaikan

tersebut telah terjadi dalam waktu 1-2 minggu. Pada pemberian terapi besi

intravena, Ret-He merupakan indikator awal terhadap respons terapi dimana kadar

Ret-He mulai meningkat dalam 2-4 hari sejak pemberian terapi (Brugnara dkk.,

2006; Mast dkk., 2008; Sanyoto A. 2016).

Keterbatasan pemeriksaan Ret-He adalah tidak dapat digunakan pada pasien

dengan thalassemia dan kelainan hemoglobin lainnya karena angka Ret-He

tergantung dari MCV dimana pada kondisi tersebut telah terjadi anemia mikrositer

karena gangguan dari struktur pembentuk hemoglobin. Demikian pula halnya pada

kondisi anemia megaloblastik. Pada pasien dengan riwayat pemberian transfusi,

terapi besi, defisiensi B12 dan folat serta adanya kelainan dari analisis hemoglobin

maka hasil pemeriksaan Ret-He kurang memberikan hasil yang maksimal (Mast

dkk., 2008).

30

Anda mungkin juga menyukai