Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini

dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak

memandang usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di

setiap negara berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun

2006 (National Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa

17,6% dari responden wanita dan 3% dari responden pria pernah mengalami

kekerasan seksual, beberapa di antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang

hidup mereka. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat

laporan polisi.1

Data WHO bersama dengan London School of Hygiene and Tropical

Medicine and the medical Research of Council mengenai kasus kejahatan

seksual terhadap wanita yang terjadi di 80 negara menyatakan bahwa hampir

30 % dari semua perempuan pernah mengalami kekerasan baik kekerasan fisik

maupun seksual. Prevalensi terjadinya tindak kekerasan ini menurut WHO

sebesar 23,2% pada negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan

sebanyak 24,2 % terjadi pada negara pasifik timur dan sebanyak 37,7 %

terjadi di Asia Tenggara.3 Di Indonesia yang rawan menjadi korban kejahatan

seksual adalah kaum perempuan dan anak dibawah umur.2

Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap

Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat

1
2

93.960 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di seluruh Indonesia.

Dengan demikian rata-rata ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan

seksual tiap harinya. Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut

merupakan fenomena gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh

lebih sedikit daripada jumlah kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak

korban enggan melapor, mungkin karena malu, takut disalahkan, mengalami

trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melapor ke mana. Seiring dengan

meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual

yang dilaporkan pun mengalami peningkatan.1,3

Pelaporan tentu hanya merupakan langkah awal dari rangkaian panjang

dalam mengungkap suatu kasus kekerasan seksual. Salah satu komponen

penting dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah Visum et

Repertum yang dapat memperjelas perkara dengan pemaparan dan interpretasi

bukti-bukti fisik kekerasan seksual. Dokter, sebagai pihak yang dianggap ahli

mengenai tubuh manusia, tentunya memiliki peran yang besar dalam

pembuatan Visum et Repertum dan membuat terang suatu perkara bagi aparat

penegak hukum. Karena itu, hendaknya setiap dokter memiliki pengetahuan

dan keterampilan yang mumpuni dalam melakukan pemeriksaan dan

penatalaksanaan korban kekerasan seksual.1

Peranan tenaga kedokteran forensik terhadap Kekerasan seksual

merupakan sarana bagi para korban untuk mendapatkan hak mereka yaitu

keadilan. Peranan dokter forensik dalam kekerasan ialah untuk mengetahui

dan menyelidiki tanda-tanda kekerasan sesuai fungsi dokter forensik di


3

lapangan menurut UU No.23 tahun 2004.4 Maka dalam hal ini Ilmu

Kedokteran Forensik sangat berperan dalam melakukan pemeriksaan dan

untuk memperoleh penjelasan atas peristiwa yang terjadi secara medis.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis terdorong untuk mengadakan

penelitian terkait mengenai Pola Perlukaan pada kasus kekerasan seksual.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat judul Pola Perlukaan Pada

Kasus Kekerasan Seksual di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kendari tahun

2018.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Pola Perlukaan Pada Kasus Kekerasan Seksual di Rumah

Sakit Bhayangkara Kota Kendari tahun 2018 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui Pola Perlukaan Pada Kasus Kekerasan Seksual di

Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kendari tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui Arah Robekan selaput dara Pada Kasus Kekerasan

Seksual di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kendari tahun 2018.

b. Mengetahui Jenis Robekan selaput dara Pada Kasus Kekerasan

Seksual di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kendari tahun 2018.


4

c. Mengetahui Lokasi terbanyak robekan selaput dara Pada Kasus

Kekerasan Seksual di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kendari tahun

2018.

d. Mengetahui Dampak Pada Kasus Kekerasan Seksual di Rumah Sakit

Bhayangkara Kota Kendari tahun 2018.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah referensi yang menunjang ilmu pengetahuan dan

memperluas wawasan pembaca tentang Pola Perlukaan Pada Kasus

Kekerasan Seksual.

2. Manfaat Aplikatif

Sebagai dasar pengetahuan bidang forensik dalam mengamati Pola

Perlukaan Pada Kasus Kekerasan Seksual.

3. Manfaat Metodologis

Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam bidang kedokteran

forensik sehingga dapat dikembangkan dan dijadikan dasar penelitian

selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai