Anda di halaman 1dari 118

BAHAN TAYANG

MATERI PERKULIAHAN
POLITIK HUKUM AGRARIA

Disusun oleh :
ABDUL MUTOLIB, S.Sos, S.IP, MH
POKOK BAHASAN/
SUB POKOK BAHASAN
 Istilah dan Pengertian
 Ketentuan sebelum UUPA
 Politik Hukum pada masa Pemerintahan Belanda
 Asas Domein
 Hak-Hak Atas Tanah menurut BW
 Hak Atas Tanah menurut Hukum Adat
 Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
 Perbandingan Politik Hukum Agraria Belanda dengan Hukum Agraria
Nasional
 Ketentuan-Ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku setelah
diundangkannya UUPA
 Macam-macam Hak Atas Tanah menurut UUPA
 Diskusi
 Konversi Hak Atas Tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hak Atas
Tanah berdasarkan Hukum Adat
 Penanganan Masalah Pertanahan
Buku Literatur
 A. Siti Soetami, SH, 1995, Pengantar Tata Hukum
Indonesia, PT Eresco, Bandung;
 Bachsan Mustafa, SH, 2001, Sistem Hukum
Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung;
 Bachsan Mustafa, SH, 2003, Sistem Hukum
Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung;
 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 1987, Pokok-
Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta
 Sudargo Gautama, 1981, Tafsiran Undang-Undang
Pokok Agraria, Alumni, Bandung;
Buku Literatur
 Prof. Ir. Jakub Rais, M.Sc, 1978, Ilmu Ukur Tanah
Jilid 2, Diktat Kuliah FT Undip
 Prof. Dr. C. F. G. Sunaryati Hartono, S.H, 1991,
Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung
 Prof. Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria
Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1
Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan,
Jakarta
 Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H, 2013, Politik Hukum
Agraria, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta
Buku Literatur
 Prof. Dr. Mhd. Yamin Lubis, SH, MS, CN, 2012,
Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung
 Erman Rajagukguk, 1995, Hukum Agraria, Pola
Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra
Pratama, Jakarta
 Muhammad Ilham Arisaputra, 2015, Reforma
Agraria di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
 Dr. H. Halim HS, S.H, M.S, 2016, Teknik Pembuatan
Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Rajawali
Pers, Jakarta
 Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S.H, S.IP, M.Hum,
2016, Politik Hukum, Studi Perbandingan dalam
Praktik Ketatanegaraan Islam dan Sistem Hukum
Barat, Prenadamedia Group, Jakarta
Buku Literatur
 Eddy Ruchiyat, S.H, 1999, Politik Pertanahan
Nasional, Alumni, Bandung
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Tidak sedikit dari para mahasiswa (hukum)
yang heran dan masygul ketika melihat bahwa
hukum ternyata tidak seperti yang dipahami
dan dibayangkan ketika di bangku kuliah.
Mereka heran ketika melihat bahwa hukum
tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin
kepastian hukum, penegak hak-hak
masyarakat, atau penjamin keadilan.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak
mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak
mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus
diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang
seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan
banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai
oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang
kekuasaan dominan.
Mereka lantas bertanya : Mengapa hal itu terjadi?
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Ternyata hukum tidak steril dari sub sistem
kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali
melakukan intervensi atas pembuatan dan
pelaksanaan hukum, sehingga muncul juga
pertanyaan berikutnya tentang sub sistem mana
antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya
lebih subrematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain
yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti,
bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum,
mengapa politik banyak mengintervensi hukum,
jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat
melahirkan produk hukum yang berkarakter seperti
apa.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Upaya untuk memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan
upaya yang sudah memasuki wilayah politik
hukum.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Menurut Abdul Manan (2016:8), latar belakang
ilmiah yang menjadi raison d’entre kehadiran disiplin
politik hukum adalah rasa ketidakpuasan para
teoritisi hukum terhadap model pembentukan
hukum dan pengembangannya selama ini. Adanya
pasang surut perkembangan dan pergeseran studi
hukum ini disebabkan karena terjadinya perubahan
struktur sosial akibat modernisasi dan
industrialisasi politik, ekonomi dan pertumbuhan
piranti lunak ilmu pengetahuan.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Selanjutnya Abdul Manan (2016:8)
menyebutkan bahwa tidak dapat dipastikan
kapan disiplin politik hukum ini muncul dan
siapa penggagasnya. Menurut Bambang
Purnomo, Apeldorn dalam bukunya Ing Eiding
Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht
secara samar-samar sudah menyebut istilah
politik hukum. Tetapi belum dijelaskan secara
terperinci tentang arti dari politik hukum itu.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Secara etimologis, politik hukum merupakan
terjemahan dari Bahasa Belanda, rechtpolitiek, yang
berarti politik hukum. Politik berarti beleid atau
dalam Bahasa Indonesia berarti kebijakan,
sedangkan kata kebijakan menurut para ahli hukum
merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan
dan kesempatan terhadap pelaksana usulan
kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Menurut Padmo Wahyono, politik hukum adalah kebijakan
penyelenggaraan negara yang bersifat mendasar dalam
menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu berkaitan dengan hukum yang akan
datang.

Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy


atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan, baik dalam pembuatan hukum baru maupun
dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai
tujuan negara. Politik Hukum merupakan pilihan tentang
hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Selanjutnya menurut Sudarto, Politik Hukum
sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan
negara yang berwenang untuk menetapkan
peratram yang dikehendaki, yang diperkirakan akan
digunakan untuk mengekspresikan apa yang
dikandung dalam masyarakat dan mencapainya
apa-apa yang dicita-citakan.
Satjipto Rahardjo, menjelaskan bahwa politik hukum
adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan
hukum tertentu dalam masyarakat (lebih
menitikberatkan pada pendekatan sosiologis).
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Terhadap pengertian ini terdapat beberapa
pandangan yang sangat mendasar dalam studi politik
hukum, yaitu :
1. Apa yang ingin dicapai dengan sistem hukum
yang ada;
2. Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling
baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut;
3. Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan
melalui cara-cara bagaimana perubahan itu
sebaiknya dilakukan;
4. Dapatkan dirumuskan suatu pola yang baku dan
mapan, yang bisa membantu memutuskan suatu
proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut secara baik.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Menurut Abdul Manan (2016:10) wilayah kerja dan kegiatan
politik hukum meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara
negara yang berwenang meneruskan politik hukum;
2. Proses pendekatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi
yang tersebut dalam poin pertama di atas ke dalam
bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan
oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan
dan menetapkan hukum;
3. Fakta-fakta yang mempengaruhi dan menentukan suatu
politik hukum, baik yang akan datang maupun yang sudah
ditetapkan;
4. Pelaksanaan dari peraturan yang merupakan
implementasi dari politik hukum suatu negara.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Selanjutnya Abdul Manan (2016:10), tugas politik
hukum adalah :
1. Menerima masukan mengenai nilai-nilai atas
tujuan-hasil yang didapat dari hasil olahan filsafat
hukum dan memilih nilai-nilai atau tindakan
terbaik yang hendak dicapai dari nilai-nilai yang
telah dipilih tersebut yang selanjutnya dirumuskan
menjadi alat untuk mencapai tujuan nasional,
yang kemudian dijabarkan lagi dalam bidang-
bidang lain seperti bidang ekonomi, sosial,
pendidikan, politik dan hamkamnas;
2. Dirumuskan pula tentang cara-cara untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan itu
dengan menerangkannya dalam peraturan
perundang-undangan sebagai hukum positif.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai kebijaksanaan (legal policy) yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah,
mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang
pembuatan dan penegakkan hukum itu. Di sini hukum
tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal
yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan
yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang
sebagai sub sistem yang dalam kenyataan (das sein)
bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik,
baik dalam perumusan materi dan pasal-pasal
maupun dalam implementasi dan penegakkannya.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Hubungan kausalitas antara hukum dan politik
atau pertanyaan tentang apakah hukum yang
mempengaruhi politik ataukah politik yang
mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada
tiga macam jawaban dalam menjelaskannya.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti
bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus
tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum
merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-
kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan)
saling bersaingan.
Ketiga, politik dan hukum sebagai sub sistem
kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan
yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk
keputusan politik, tetapi begitu hukum ada, maka
semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-
aturan hukum.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Jawaban tentang hubungan kausalitas antara
hukum dan politik dapat berbeda, tergantung
dari perspektif yang dipakai untuk memberikan
jawaban tersebut.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Politik Hukum adalah legal policy yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh
Pemerintah Indonesia yang meliputi, pertama
pembangunan hukum yang berintikan
pembuatan dan pembaruan terhadap materi-
materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan
hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Politik hukum mencakup proses pembuatan
dan pelaksanaan hukum yang dapat
menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum
akan dibangun dan ditegakkan.
Pembaruan hukum harus pula diartikan
sebagai seleksi terhadap produk hukum yang
lama untuk tetap mengambil nilai-nilai yang
sesuai dengan idealita dan realita negara
Indonesia atau karena sifatnya yang universal.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Menurut Bachsan Mustafa, SH (2003 : 52),
Politik Hukum mempunyai arti abstrak, sebab
tidak menyebut hukum apanya, apakah hukum
agraria, hukum perburuhan, atau hukum pajak,
atau pula hukum perkawinan dan seterusnya.
Maka politik hukum mengandung 2 (dua)
pengertian, yaitu politik dan hukum.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Selanjutnya Bachsan Mustafa (2003:53),
menegaskan bahwa “yang dimaksud dengan
sarana dari kebijakan pemerintah itu adalah
norma-norma hukum.”
Pertanyaannya, pertama bagaimana hubungan
antara politik dan kebijakan, dan kedua,
hubungan antara politik dan hukum?
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Pertama, hubungan antara politik dengan
kebijakan, bahwa kebijakan itu bagian dari
politik.
Kedua, hubungan antara politik dengan hukum,
bahwa hakikat hukum itu adalah pernyataan
politik dari pemerintah, seperti Undang-Undang
Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 adalah
pernyataan politik pemerintah di bidang agraria.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Jadi norma hukum itu merupakan salah satu
sarana politik. Kesimpulan mengenai
hubungan antara politik dan hukum adalah
bahwa hukum itu merupakan pernyataan
politik pemerintah, yang dinyatakan dalam
bentuk undang-undang peraturan tertulis yang
dibuat pemerintah.
Istilah dan Pengertian
 Politik Hukum
Menurut C. F. G Sunaryati Hartono (1991 : 1),
politik hukum itu tidak terlepas daripada realita
sosial dan tradisional yang terdapat di negara
kita, dan di lain fihak, sebagai salah satu
anggota masyarakat dunia, politik hukum
Indonesia tidak terlepas pula dari realita dan
politik hukum internasional.
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria
Menurut A. Siti Sutami, SH (1995:116), Hukum
Agraria ialah keseluruhan kaidah-kaidah
hukum, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis
yang mengatur agraria. Pengertian agraria
meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
Istilah dan Pengertian
Hukum Agraria

Menurut Boedi Harsono (2008 : 4), sebutan agraria tidak selalu
dipakai dalam arti yang sama. Dalam bahasa latin “ager” berarti
tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan,
persawahan, pertanian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria berarti urusan
pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.
Di Indonesia, sebutan agraria di lingkungan administrasi
pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian
maupun non pertanian.
Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan
administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan
perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi
penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang
pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian
Hukum Administrasi Negara.
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria
Setelah kita merdeka, bidang agraria masih
diatur oleh peraturan-peraturan yang berasal
dari zaman kolonial Belanda melalui pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945. Namun sejak
tanggal 24 September 1960 telah diundangkan
di Jakarta, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, yang diundangkan melalui Lembaran
Negara Nomor 104 Tahun 1960.
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria

Asas-Asas yang terkandung di dalam UUPA Nomor 5


Tahun 1960 :
- Hak menguasai ada pada negara;
- Dasarnya adalah hukum adat;
- Pengakuan terhadap hak ulayat;
- Adanya fungsi sosial hak atas tanah;
- Tidak membedakan sesama warga negara
Indonesia, juga tidak membedakan laki-laki dengan
perempuan, dalam hal pemilikan tanah;
- Tanah pada dasarnya harus dikerjakan secara aktif;
- Pemegang hak wajib memelihara tanah.
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria

Menurut A. P. Parlindungan dalam SF Marbun


dan Moh. Mahfud MD (1987:154), perlu
ditekankan di sini bahwa masalah agraria
menurut UUPA bukan masalah tanah semata-
mata tetapi mencakup masalah bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan yang ada di dalamnya.
Tangkapan kita tentang hukum tanah sebagai
hukum agraria, dengan demikian tidak
sepenuhnya benar sebab hukum agraria yang
hanya dikaitkan dengan tanah adalah hukum
agraria dalam arti sempit.
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria

Ini berarti kita mengenal hukum agraria dalam


pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam
arti sempit hukum agraria adalah hukum
pertanahan seperti banyak diatur dalam UUPA
Pasal 19 dan seterusnya; sedangkan dalam
artinya yang luas hukum agraria kita itu
mencakup tanah, bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang ada di dalamnya.
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria

Pengertian yang demikian didasarkan pada


rumusan Pasal 2 ayat (1) UUPA yang berbunyi :
“Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi seluruh rakyat.”
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria

Rumusan Pasal 2 tersebut sangat relevan


dengan (bahkan menurut Prof. Dr. A. P.
Parlindungan merupakan tafsiran yang tepat
sekali dari berbagai istilah yang terdapat dalam
Pasal 33 ayat ayat (3) UUD 1945 yang
menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara.
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria
Diagram
Sebelum abad ke-19

HUKUM

HUKUM HUKUM
PUBLIK PRIVAT

HTN DALAM ARTI HUKUM HUKUM HUKUM DAGANG


LUAS PIDANA PERDATA HUKUM BISNIS

HTN DALAM HUKUM (Dikutip dari Buku Sistem Hukum Administrasi Negara
ADMINISTRASI Indonesia, penulis Bahcsan Mustafa, Tahun 2001, hal 49)
ARTI SEMPIT NEGARA
Istilah dan Pengertian
 Hukum Agraria
Diagram
Sesudah abad ke-19
HUKUM

HUKUM HUKUM
PUBLIK PRIVAT

HTN DALAM ARTI HUKUM HUKUM HUKUM DAGANG


LUAS HUKUM BISNIS
PIDANA PERDATA

HTUN
HTN HAN
HUKUM PIDANA

HK. ADM. PERTANAHAN


HK. ADMINISTRASI KEUANGAN NEGARA
HK. ADM. LOGISTIK
HK. ADM. KPEGAWAIAN (Dikutip dari Buku Sistem Hukum
HK. ADM. KEARSIPAN
Administrasi Negara Indonesia,
penulis Bahcsan Mustafa, Tahun
HK. ADM. SEKRETARIS 2001, hal 49)
HK. ADM. BISNIS
Ketentuan sebelum UUPA
1. Agrarische Wet (S 1870-55)
2. Agrarische Besluit (S
1870-118)
3. Buku II KUH Perdata
4. Hukum Adat Atas Tanah
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Menurut SF. Marbun dan Moh.


Mahfud MD (1987 :150), Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960
menggantikan UU yang ada
sebelumnya yakni Agrarische
Wet 1870 atau UU De Waal.
Disebut UU De Waal karena
Undang-Undang tersebut semula
dirumuskan oleh De Waal.
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Perubahan Agrarische Wet


1870 ke UUPA tersebut
dilatarbelakangi oleh ideologi
yang berbeda sehingga juga
mempunyai sifat-sifat yang
berbeda.
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Perbedaannya bisa digambarkan sebagai berikut :


UU De Waal UUPA
1. Ideologi : Demokrasi Liberal kapitalis 1. Ideologi : Pancasila
2. Bersifat kolonial sehingga lebih 2. Bersifat nasional yang
mementingkan kolonialisme mengutamakan kepentingan
Belanda bangsa Indonesia
3. Tidak menjamin kepastian hukum 3. Menjamin kepastian hukum bagi
bagi bangsa Indonesia asli bangsa Indonesia
4. Menganut dualisme dalam hukum 4. Menganut unifikasi dalam hukum
tanah tanah
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Penganutan yang dualisme dalam UU De


Waal ini terlihat dari adanya pengaturan
yang berbeda tentang keagrariaan bagi
tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk,
yakni berlakunya hukum Barat bagi
golongan Eropa dan berlakunya hukum
Adat bagi golongan Bumi Putera dan
Golongan Timur Asing.
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Hukum Barat yang berlaku pada pertanahan,


misalnya, hak-hak atas tanah seperti yang
dicantumkan dalam buku II-BW, yaitu RVE,
RVO, Erpacht dan Servitut.
RVE : Recht Van Eigendom (hak Eigendom)
RVO : Recht Van Opstal (hak guna bangunan)
Erfpacht : hak guna usaha
Servitut : hak numpang karang.
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Hukum adat yang berlaku berdasar sifat


dualisme UU De Waal menyangkut soal hak atas
tanah adalah :
1. Hak handarbeni : hak milik
2. Hak hanggaduh : mengurusi tanah orang lain
3. Hak magersari : ngindung
4. Tanah titisara : tanah kas desa
5. Tanah pakuncen : tanah yang dikuasakan
kepada pengurus kuburan di tanah milik raja
6. Tanah perdikan : tanah bebas pajak
7. Tanah kuburan, tanah penggembalaan dan
sebagainya.
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

UUPA tidak menggunakan lagi perbedaan hak-hak atas tanah berdasar


hukum Barat dan hukum Adat (BW dan AW 1870). Semua hak-hak yang
disebutkan di atas hanya dinyatakan dihapus dan dilebur ke dalam hak-
hak yang ditentukan dalam UUPA sebagai berikut :
1. Hak milik
2. Hak pakai
3. Hak guna bangunan
4. Hak guna usaha
5. Hak sewa
6. Hak membuka tanah
7. Hak memungut hasil hutan
8. Hak-hak lain yang tidak masuk dalam 7 macam di atas yang sifatnya
sementara :
a. Hak gadai
b. Hak usaha bagi hasil
c. Hak menumpang
d. Hak menyewa tanah
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Di dalam diktum pertama UUPA disebutkan juga


bahwa dengan berlakunya UUPA maka beberapa
peraturan yang menyangkut keagrariaan
dinyatakan dicabut :
1. Agrarische Wet 1870;
2. Domein Verkelaring
3. Koninklijk Besluit dan peraturan
pelaksanaannya
4. Buku II BW sepanjang mengenai bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai hipotik yang masih berlaku pada
masa mulai berlakunya UU ini.
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Selain itu juga dicabut beberapa peraturan


yang juga dinyatakan secara tegas dalam
diktum dan pasal-pasal UUPA.
Peraturan yang dicabut secara tidak langsung
ialah semua peraturan keagrariaan yang
bertentangan jiwanya dengan prinsip-prinsip
UUPA. Konstatasi ini didasarkan pada
pernyataan pasal 58 yang menyatakan bahwa :
“Segala peraturan yang ada tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa
dari ketentuan-ketentuan dalam UU ini serta
diberi tafsiran yang sesuai dengan ini.”
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Berdasar Pasal 58 tersebut, maka ada


peraturan yang harus dinyatakan tidak
berlaku meskipun UUPA sendiri tidak
menyebutkan secara eksplisit. Diantara
peraturan yang harus dicabut dengan
sendirinya ialah Staatblad 179 tahun 1875
tentang Larangan Pengasingan Tanah.
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Peraturan (staatsblad) ini dinyatakan dicabut karena


bertentangan dengan UUPA dalam hal :
1. Staatsblad tersebut didasarkan pada
penggolongan penduduk Indonesia seperti yang
dianut BW; yakni golongan penduduk ada 3 macam :
a. Golongan Bumi Putera
b. Golongan Eropa
c. Golongan Timur Asing
1. UUPA tidak mengenal adanya penggolongan
penduduk seperti itu, yang dikenal dalam UUPA
adalah :
a. Warga Negara Indonesia (WNI)
b. Orang Asing
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Orang-orang asing (bukan pribumi) dapat


menjadi WNI jika memenuhi persyaratan
perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga perbedaannya bukan pada pribumi
dan non pribumi; tetapi perbedaan yang
dianut oleh UUPA adalah “apakah sudah
WNI atau belum.”
Orang-orang non pribumi dapat menjadi
WNI menurut peraturan perundangan yang
ada.
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Staatsblad tentang larangan pengasingan


tanah itu dikatakan berdasarkan
penggolongan penduduk seperti di anut
BW dan AW 1870 dikarenakan ia mengatur
bahwa : “golongan bumi putera dilarang
menjual tanahnya kepada golongan lain.”
Politik Hukum pada Pemerintahan Belanda

Karena ketentuan yang demikian tidak


sesuai dengan UUPA maka dengan
sendirinya ketentuan tersebut dinyatakan
dicabut. Sebab UUPA tidak menganut
penggolongan-penggolongan warga
negara seperti BW. Di Indonesia hanya ada
WNI dan orang asing. Golongan Eropa atau
Timur Asing bisa mendapatkan hak milik
atas tanah jika sudah menjadi WNI.
Asas Domein

Hubungan antara hak negara dan hak-hak


perorangan
Menurut Sudargo Gautama (1981 : 55),
Salah satu yang penting dalam hubungan ini
adalah pendirian baru tentang apa yang
terkenal dalam alam hukum agraria
sediakala sebagai “domein theorie”. Dalam
sistem hukum agraria Hindia Belanda “azas
domein” (domeinbeginsel, domeinleer)
dijadikan pegangan resmi oleh penguasa.
Asas Domein
Menurut asas domein ini, maka semua tanah yang oleh
pihak lain tidak dibuktikan hak eigendom adalah
domein (milik) negara.

Hak eigendom menurut Pasal 579 Buku II KUH Perdata


adalah hak untuk menikmati kegunaan dengan leluasa,
dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu
dengan kedalaman sepenuhnya, asal tidak bersalahan
dengan UU atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan
tidak mengganggu hak-hak orang lain. Kesemuanya itu
dengan tidak mengurangi kemungkinan akan
pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar
atas ketentuan UU dan pembayar ganti rugi.
Asas Domein

Dalam UUPA secara tegas ditentukan,


bahwa teori domein dilepaskan. Azas
domein ini dipandang sebagai dasar
daripada perundang-undangan agraria
pemerintahan jajahan. Yang dimaksud
dengan “azas domein” ini ialah semua tanah
yang pihak lainnya tidak dapat membuktikan,
bahwa tanah itu tanah eigendom(nya)
adalah domein negara. Sekarang azas
domein ini tidak dikenal lagi dalam UUPA.
Asas Domein

Dikemukakan bahwa azas domein ini


adalah bertentangan dengan kesadaran
hukum rakyat Indonesia. Azas ini
dipandang tidak sesuai dengan azas
negara yang merdeka dan modern.
Asas Domein

Alasan-alasan pencabutan azas ini :


Azas ini tidak sesuai dengan kesadaran
hukum rakyat Indonesia dan azas dari negara
yang merdeka dan modern.
Lain daripada itu azas domein ini juga tidak
perlu dan tidak pada tempatnya. Dalam Pasal
33 ayat (3) UUD telah ditentukan bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Asas Domein

Untuk mencapai apa yang tercantum di sini


maka tidak perlu kita bekerja dengan konstruksi
sebagai pemilik tanah.
Adalah lebih tepat jika negara ini kita pandang
sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh
rakyat (bangsa). Berdasarkan kualitasnya itu,
negara bertindak selaku Badan penguasa.
Pikiran yang serupa dapat kita saksikan dari
susunan kata-kata dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
tersebut. Dan susunan kata-kata yang serupa
dapat kita saksikan diulangi pula dalam Pasal 2
UUPA.
Asas Domein

Ayat (1) dari pasal 2 ini pun mengemukakan


bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
Dengan adanya pendirian semacam ini
tidaklah diperlukan oleh negara untuk bekerja
dengan pengertian milik, seperti halnya
dengan teori domein.
Asas Domein
Istilah “dikuasai” dalam ayat ini bukan berarti
“dimiliki”. Istilah “dikuasai ini berarti bahwa negara
sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia,
diberikan wewenang untuk mengatur sesuatu yang
berkenaan dengan tanah.
Dalam UUPA ditegaskan bahwa hak menguasai
dari negara ini memberi wewenang untuk
melakukan berbagai persediaan berkenaan dengan
tanah. Pemerintah sebagai wakil negara dapat
mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Juga
penyelenggaraan sesuatu ini termasuk kekuasaan
pemerintah (ayat 2 sub a dari pasal 2 UUPA)
Asas Domein

Dalam pasal 8 UUPA ditentukan lebih jauh


bahwa berdasarkan kekuasaan negara
yang disebut dalam pasal 2 akan diatur
pengambilan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi, air dan ruang
angkasa. Tentang ini oleh penguasa
diadakan peraturan-peraturan sendiri.
Hak Atas Tanah Menurut BW
Jenis-jenis hak-hak atas tanah
berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek voor Indonesia), yaitu :
1. Hak Eigendom

2. Hak Opstal

3. Hak Erfpacht
Hak Atas Tanah Menurut BW
Hak Eigendom
Hak Eigendom diatur berdasarkan Pasal 570, adalah hak
untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan
leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan
itu dengan kedalaman sepenuhnya, asal tidak
bersalahan dengan undang-undang atau peraturan
umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang
berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak
orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi
kemungkinan akan pencabutan hak itu demi
kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-
undang dan pembayaran ganti rugi.
Hak Atas Tanah Menurut BW
Hak Opstal
Hak opstal diatur berdasarkan Pasal
771 yang berbunyi “Hak Opstal
adalah sesuatu hak kebendaan untuk
mempunyai gedung-gedung,
bangunan-bangunan dan penanaman
di atas pekarangan orang lain.”
Hak Atas Tanah Menurut BW
Hak Erfpacht
Hak Erfpacht diatur berdasarkan Pasal
720 yang berbunyi “Hak Erfpacht adalah
suatu hak kebendaan untuk menikmati
sepenuhnya akan kegunaan suatu
barang tak bergerak milik orang lain,
dengan kewajiban akan membayar upeti
tahunan kepada si pemilik sebagai
pengakuan akan kepemilikannya, baik
berupa uang, baik berupa hasil atau
pendapatan.”
Status Tanah Lainnya
1. Tanah Partikelir
2. Tanah Perdikan
3. Tanah Swapraja
4. Tanah Hak Ulayat
5. Tanah-Tanah Hak Adat
Status Tanah Lainnya
Tanah Partikelir
Tanah Partikelir adalah tanah eigendom di atas nama
pemiliknya mempunyai hak-hak pertuanan. Hak-hak
pertuanan adalah :
1) Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan
serta memberhentikan pemilihan kepala-kepala
kampung atau desa atau kepala-kepala umum;
2) Hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang
pengganti kerja paksa dari penduduk;
3) Hak mengadakan pungutan-pungutan baik yang
berupa uang atau hasil tanah dari penduduk;
4) Hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya
pemakaian jalan dan penyebrangan;
5) Hak-hak yang menurut peraturan-peraturan lain dan/
atau adat setempat, sederajat dengan yang disebut
dalam sub b1 sampai dengan b4 tersebut di atas,
sebagaimana yang diatur dalam S.1912-442.
Status Tanah Lainnya
Tanah Perdikan
Tanah perdikan adalah tanah beserta fasilitas yang
diberikan kepada pendiri desa yang karena jasa-jasa
tertentu kepada raja atau sultan yang berkuasa
sebelum atau selama masa awal penjajahan
Belanda. Pendiri Desa diangkat sebagai Kepala
Desa, dengan jabatan yang bersifat turun temurun.
Desa Perdikan biasanya mempunyai hak istimewa,
yang berupa pembebasan dari pembai yaran pajak
tanah, dan menguasai tanah yang sangat luas, yang
dikerjakan oleh para warga desa sebagai penyekap
ataupenggarap bagi hasil. Desa Perdikan ini
terdapat di daerah Banyumas Provinsi Jawa Tengah.
Status Tanah Lainnya
Tanah Swapraja
Swapraja adalah suatu wilayah
pemerintahan yang merupakan bagian dari
daerah Hindia Belanda, dan kepala
wilayahnya dengan sebutan Sultan, Sunan
atau nama adat lainnya, berdasarkan
perjanjian dengan pemerintahan Hindia
belanda, menyelenggarakan pemerintahan
sendiri di wilayah yang bersangkutan
masing-masing, berdasarkan isi perjanjian
tersebut serta adat istiadat daerah
masing-masing yang beraneka ragam.
Status Tanah Lainnya
Tanah Hak Ulayat
Tanah Hak Ulayat adalah tanah yang
merupakan kepunyaan bersama, yang diyakini
sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau
peninggalan nenek moyang kepada kelompok
yang merupakan masyarakat hukum adat,
sebagai unsur pendukung utama bagi
kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa.
Kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat
hukum adat yang teritorial (desa, marga, nagari,
huta). Bisa juga merupakan masyarakat hukum
adat genealogis atau keluarga, seperti suku dan
kaum di Minangkabau.
Status Tanah Lainnya
Tanah-Tanah Hak Adat
Hak atas tanah menurut hukum adat
pada dasarnya dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :
1. Hak milik perseorangan yang
turun temurun, atau dengan
singkat hak milik (erfelijk
individueel bezit);
2. Hak Milik Komunal, atau dengan
singkat disebut hak kommunal
(communal bezit).
Hak Atas Tanah menurut Hukum
Adat

Hak atas tanah menurut hukum adat,


pada dasarnya dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :
1. Hak milik perseorangan yang turun
temurun, atau dengan singkat hak
milik (erfelijk individueel bezit);
2. Hak Milik Komunal, atau dengan
singkat disebut hak kommunal
(communal bezit).
Hak Atas Tanah menurut Hukum
Adat
Menurut Muhammad Ilham Arisaputra
(2015:2), Hukum adat merupakan
sumber utama dalam pembangunan
Hukum Tanah Nasional dilandasi
konsepsi hukum adat yang
mengandung prinsip komunalistik
religious yang memungkinkan adanya
penguasaan tanah secara individual
dengan hak atas tanah yang bersifat
pribadi sekaligus mengandung
kebersamaan.
Hak Atas Tanah menurut Hukum
Adat
Selanjutnya menurut Muhammad Ilham
Arisaputra (2015:2), Sifat komunalistik
religious konsepsi Hukum Tanah Nasional
termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA
yang menjelaskan bahwa : “seluruh bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah
bumi, air, dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional.”
Hak Atas Tanah menurut Hukum
Adat

Apabila yang memegang hak milik


itu perseorangan, maka hak itu
disebut hak milik perseorangan
yang turun temurun, sedang jika
yang memegang hak itu
persekutuan hukum, seperti Desa
atau sebagainya, dinamakan hak
milik kommunal.
Hak Atas Tanah menurut Hukum
Adat

Hak milik kommunal dibagi menjadi


dua bagian :
1. Hak milik kommunal dengan
bagian-bagian tetap (communal
bezit met vaste aandelen);
2. Hak kommunal dengan bagian-
bagian yang pada waktu-waktu
tertentu berganti-ganti (communal
bezit met vaste aandelen)
Hak Atas Tanah menurut Hukum
Adat
Berdasarkan Pasal II ayat (1) Bagian Kedua,
Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang
Pokok Agraria, hak atas tanah yang
dipersamakan dengan hak milik perseorangan
yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yayasan,
andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe
desa, pesini, grant sultan, landerinbezitrecht,
altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas
tanah partikelir.
Sedangkan tanah milik kommunal antara lain
hak gogolan, pekulen atau sanggan, bengkok,
lungguh, pituas dan anggaduh.
Hak Atas Tanah menurut Hukum
Adat
Selanjutnya S.F Marbun dan Mahfud MD (1987:151),
hukum adat yang berlaku berdasar sifat dualisme UU
De Waal menyangkut soal hak atas tanah adalah :
a. Hak Hadarbeni : hak milik;
b. Hak Hanggaduh : mengurusi tanah orang lain;
c. Hak Magersari : ngindung;
d. Tanah Titisara : tanah kas desa;
e. Tanah Pekuncen : tanah yang dikuasakan kepada
pengurus kuburan di tanah milik raja;
f. Tanah Perdikan : tanah bebas pajak;
g. Tanah kuburan, tanah penggembalaan dan
sebagainya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Menurut Bachsan Mustafa (2001:131),


sebelum Tahun 1960, yaitu sebelum
berlakunya UUPA, terdapat pluralisme hukum
agraria, artinya berlaku bermacam-macam
hukum agraria di Indonesia, yaitu berlaku
Hukum Agraria Eropa yang tercantum dalam
Buku ke II KUHS. Kemudian berlaku juga
Hukum Agraria yang dibuat Gubernur
Jenderal Hindia Belanda dalam bentuk
undang-undang dan peraturan-peraturan
tertulis serta pelbagai keputusan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Kemudian berlaku juga Hukum Agraria


Adat yang bentuknya tidak tertulis, berlaku
untuk bidang-bidang tanah yang belum
terdaftar di kantor-kantor pertanahan
setempat.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Tujuan Pembentukan UUPA : untuk


melakukan unifikasi hukum agraria, artinya
keseragaman hukum agraria, artinya pula
untuk menyatakan “hanya berlaku 1 (satu)
macam hukum agraria”, yaitu UUPA Nomor 5
Tahun 1960, bagi seluruh penduduk
Indonesia. Jadi setelah tanggal 24
September 1960, hanya berlaku 1 (satu)
hukum agraria, baik bagi WNI maupun WNA
atau Badan Hukum Asing yang melakukan
kegiatan ekonomi di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Asas Nasionalisme
Asas Nasionalisme dalam hukum agraria
diikuti oleh sebagian besar negara-negara di
dunia, khususnya oleh negara-negara yang
sedang berkembang. Jadi, tanah itu hanya
disediakan untuk warga negara dari negara-
negara yang bersangkutan. Seperti di
Indonesia asas nasionalisme ini terdapat
dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA Nomor 5
Tahun 1960 : “Hanya warga negara Indonesia
dapat mempunyai hak milik.”
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Menurut Muhammad Ilham Arisaputra (2015:1), UUPA disusun


berdasarkan delapan prinsip dasar sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Umum atas UUPA, yaitu :
1. Asas kenasionalan (Pasal 1 jo. Pasal 9 ayat (1) UUPA);
2. Asas hak menguasai negara dan penghapusan pernyataan
domain (Pasal 2 UUPA);
3. Asas pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan dasar
pengakuan hukum adat sebagai dasar hukum agraria
nasional (Pasal 5 UUPA);
4. Asas fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6 UUPA);
5. Asas bahwa hanya WNI saja yang dapat mempunyai hak milik
(Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA);
6. Asas persamaan derajat antara laki-laki dan wanita (Pasal 9
ayat (2) UUPA);
7. Asas agrarian reform dan landreform (Pasal 7, 10 dan 17
UUPA);
8. Asas perencanaan atas tanah (Pasal 14 UUPA).
PERBANDINGAN POLITIK HUKUM AGRARIA BELANDA DENGAN
POLITIK HUKUM AGRARIA NASIONAL
Menurut Eddy Ruchiyat (1999 : 5), Politik Pertanahan sebelum berlakunya UUPA :
1. Hukum Agraria Lama Bersifat Dualistis
Pada zaman kolonial ada tanah-tanah dengan hak-hak barat, misalnya
tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah opstal dan lain-lain, tetapi ada pula
tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia, misalnya tanah-tanah
ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok, tanah
agrarische eigendom, dan lain-lain.
2. Hukum Agraria Barat berjiwa Liberal Individualistis
Ketentuan-ketentuan hukum agraria berpangkal dan berpusat pada individu
serta pengertian hak eigendom sebagai hak atas benda, yaitu tanah yang
penuh dan mutlak.
Sesuai dengan jiwa liberalisme dan individualisme yang meliputi seluruh isi
KUH Perdata, pembatasan-pembatasan yang diadakan dengan UU dan
peraturan-peraturan lainnya terhadap hak eigendom itu tidak seberapa
banyaknya. Sedang pembatasan oleh hak-hak orang lain juga ditafsirkan
sangat sempit dan legalistis.
PERBANDINGAN POLITIK HUKUM AGRARIA BELANDA DENGAN
POLITIK HUKUM AGRARIA NASIONAL
Menurut Eddy Ruchiyat (1999 : 10), Politik Pertanahan sesudah berlakunya UUPA :
1. Hak Menguasai Dari Negara
Memori Penjelasan angka II/2 menegaskan bahwa perkataan dikuasai dalam Pasal
2 bukanlah berarti dimiliki, tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada
negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia, sebelumnya disebut
sebagai Badan Penguasa pada tingkatan tertinggi untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi dan lain-lainnya itu (dengan perkataan lain, menentukan dan
mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi dan lain-lainnya itu);
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
2. Instansi Pelaksana Dari Hak Menguasai Tersebut
Yang melaksanakan hak ulayat adalah penguasa adat. Mengenai hal-hal legislatif
wewenang itu dijalankan oleh badan-badan perundang-perundangan, yaitu
Pemerintah bersama DPR (pembentuk undang-undang). Pemerintah atas dasar
Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 22 UUD 1945 mungkin juga seorang Menteri atas dasar
delegasi kekuasaan perundang-undangan. Mengenai hal-hal yang terletak dalam
bidang eksekutif, wewenang negara itu dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau
Menteri.
PERBANDINGAN POLITIK HUKUM AGRARIA BELANDA DENGAN
POLITIK HUKUM AGRARIA NASIONAL

Perbedaannya bisa digambarkan sebagai berikut :

UU De Waal UUPA
1. Ideologi : Demokrasi Liberal kapitalis 1. Ideologi : Pancasila
2. Bersifat kolonial sehingga lebih 2. Bersifat nasional yang
mementingkan kolonialisme mengutamakan kepentingan
Belanda bangsa Indonesia
3. Tidak menjamin kepastian hukum 3. Menjamin kepastian hukum bagi
bagi bangsa Indonesia asli bangsa Indonesia
4. Menganut dualisme dalam hukum 4. Menganut unifikasi dalam hukum
tanah tanah
KETENTUAN-KETENTUAN
YANG DINYATAKAN TIDAK BERLAKU SETELAH
DIUNDANGKANNYA UUPA
Di dalam diktum pertama UUPA disebutkan bahwa dengan
berlakunya UUPA, maka beberapa peraturan yang menyangkut
keagrariaan dinyatakan dicabut :
a. Agrarische Wet 1870;
b. Domein Verkelaring;
c. Koninklijk Besluit dan peraturan pelaksanaannya;
d. Buku II BW sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai hipotik yang masih berlaku pada masa mulai
berlakunya UU ini.
Selain itu ada juga beberapa peraturan yang juga dinyatakan tidak
berlaku (dicabut), tetapi pencabutannya tidak dinyatakan secara
tegas dalam diktum dan pasal-pasal UUPA.
Peraturan yang dicabut secara tidak langsung ialah semua
peraturan keagrariaan yang bertentangan dengan jiwanya dengan
prinsip-prinsip UUPA.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Menurut Salim HS (2016 : 20), Hak atas tanah,


yang dalam Bahasa Inggris, disebut dengan land
rights, sedangkan dalam Bahasa Belanda,
disebut dengan grondrechten merupakan
kekuasaan yang melekat pada subjek hukum
untuk mempergunakan tanah. Secara sederhana
dapat diartikan bahwa hak atas tanah adalah
kekuasaan atau kewenangan yang diberikan
kepada seseorang atau badan hukum atas
permukaan bumi. Pengertian hak atas tanah
dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA
Menurut Maria S.W. Sumardjono dalam Salim HS (2016 : 20), unsur-
unsur hak atas tanah yang tercantum dalam Pasal 4 UUPA, meliputi :
a. Adanya subyek hukum;
b. Adanya kewenangan;
c. Adanya obyek;
d. Harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Subyek hukum yang diberikan hak untuk menggunakan hak atas tanah,
yaitu orang-orang dan badan hukum. Obyek hak atas tanah, meliputi :
1. Tubuh bumi;
2. Air; serta
3. Ruang yang ada di atasnya.
Walaupun pemegang hak atas tanah diberikan kewenangan untuk
mempergunakan hak atas tanah, namun pemegang hak, juga dibatasi
haknya oleh undang-undang, pembatasan itu meliputi :
1. Harus memperhatikan fungsi sosial;
2. Kepemilikan hak atas tanah tidak boleh melebihi maksimum;
3. Yang dapat mempunyai hak milik hanya WNI saja.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA, hak-hak atas tanah, ialah :


a. Hak milik;
b. Hak guna usaha;
c. Hak guna bangunan;
d. Hak pakai;
e. Hak sewa;
f. Hak membuka tanah;
g. Hak memungut hasil hutan;
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Menurut S.F Marbun dan Mahfud MD (1987:152), hak-hak lain yang tidak masuk
dalam 7 macam di atas yang sifatnya sementara, yaitu :
a. Hak gadai;
b. Hak usaha bagi hasil
c. Hak menumpang
d. Hak menyewa tanah.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) UUPA, hak-hak


atas air dan ruang angkasa, ialah :
a. Hak guna air;

b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan;

c. Hak guna-ruang-angkasa.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA, hak milik


adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat ketentuan dalam pasal 6.
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain.
Hanya WNI dapat mempunyai hak milik.
Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-
syaratnya.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Hak guna usaha adalah hak untuk


mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan.
Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :
a. Warga negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan


dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun.
Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Yang dapat mempunyau hak guna bangunan :
a. Warga negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Hak Pakai ialah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau dalam perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UU ini.
Hak pakai dapat diberikan :
a. Selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan yang tertentu;
b. Dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran,atau pemberian jasa
berupa apapun.
Yang dapat mempunyai hak pakai adalah :
a. Warga negara Indonesia;
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Hak sewa untuk bangunan


Seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa
atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik
orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
Yang dapat mempunyai hak pakai adalah :
a. Warga negara Indonesia;
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia;
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

Hak membuka tanah dan memungut hasil


hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara
Indonesia dan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dengan mempergunakan hak memungut hasil
hutan secara sah tidak dengan sendirinya
diperoleh hak milik atas tanah itu.
Konversi Hak Atas Tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hak Atas
Tanah berdasarkan Hukum Adat

Menurut AP. Parlindungan dalam Mhd. Yamin Lubis dan Abd.


Rahim Lubis (2012 : 212), pengertian konversi hak atas
tanah adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak tanah
yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam
sistem dari UUPA, yakni kegiatan menyesuaikan (bukan
memperbaharui) hak-hak lama menjadi hak-hak baru yang
dikenal dalam UUPA, baik hak itu bersifat publik maupun
hak privat yang dimiliki oleh orang seorang dan atau badan
hukum privat atau publik. Kemudian dalam sistem
pendaftaran tanah menurut PP Nomor 24 Tahun 1997,
pelaksanaan konversi tersebut masuk dalam bagian
pembuktian hak dan pembukuannya, dalam hal ini tentunya
pembuktian hak lama.
Konversi Hak Atas Tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hak Atas
Tanah berdasarkan Hukum Adat

Latar belakang pemberlakuan konversi ini didasarkan pada pemikiran


bahwa hukum agraria di Indonesia didasarkan pada Hukum Adat, hal ini
diartikan bahwa hukum agraria harus sesuai dengan kesadaran hukum
dari rakyat banyak yang hidup dan berkembang dinamis sesuai tuntutan
zaman. Hukum Adat sesuai dengan Penjelasan Umum angka III ayat (1)
UUPA adalah hukum asli dari rakyat Indonesia yang disempurnakan dan
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang
modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, atau
sebagaimana diartikan oleh AP. Parlindungan adalah Hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan
diberi sifat nasional serta yang disana sini mengandung unsur agama.
Konversi Hak Atas Tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hak Atas
Tanah berdasarkan Hukum Adat

Penyesuaian hak-hak lama yang bersifat tradisional atau


kedaerahan ke dalam hak-hak atas tanah yang bersifat
unifikasi yang telah diatur dalam UUPA dikenal dengan
istilah “konversi”.
Konversi juga diperlakukan terhadap tanah-tanah bekas Hak
Barat, seperti Hak Eigendom kepunyaan WNI dikonversi
menjadi Hak Milik, sedangkan menurut Pasal 55 UUPA, hak-
hak asing (pemegang haknya adalah WNA kendati hak
tanahnya mungkin saja bekas Hak Barat dan juga bekas Hak
Adat) seperti Hak Eigendom, hak-hak yang mirip dengan
hak milik, hak Opstal dan Hak Erpacht, hak Concessie dan
hak Sewa (untuk perkebunan besar) dikonversi menjadi
HGU, yang jangka waktunya masing-masing paling lama 20
tahun sejak UUPA tersebut.
Konversi Hak Atas Tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hak Atas
Tanah berdasarkan Hukum Adat

Pemberlakuan konversi terhadap Hak-hak Barat dengan


pemberian batas jangka waktu relatif lama yaitu 20 tahun
sejak pemberlakuan UUPA, dimaksudkan untuk mengakhiri
sisa-sisa Hak-hak Barat atas tanah di Indonesia dengan
segala sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945, dengan tetap berprinsip keadilan, yaitu
memperhatikan kepentingan-kepentingan penduduk/
penggarap, penguasa dan bekas pemegang hak, sehingga
kepentingan masyarakat yang lebih luas tetap harus
diutamakan.
Konversi Hak Atas Tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hak Atas
Tanah berdasarkan Hukum Adat

Dengan pemberlakuan ketentuan


konversi, berarti sudah merupakan
pengakuan dan penegasan
terhadap hak-hak lama, juga
merupakan penyederhanaan hukum
dan upaya untuk menciptakan
kepastian hukum.
Konversi Hak Atas Tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hak Atas
Tanah berdasarkan Hukum Adat

Penyederhanaan hukum tampak pada penyesuaian


semua hak-hak atas tanah yang ada di seluruh
Indonesia yang selama ini bersifat pluralisme (ada
yang tunduk pada hukum Barat, Hukum Adat dan
Hukum Agama) dengan hanya memberikan ruang
kepada suatu aturan yang menyebutkan hanya ada
suatu sistem hak-hak atas tanah yang tunduk pada
UUPA. Sedangkan kepastian hukum dapat dilihat
dari pelaksanaan konversi tersebut yang
merupakan bagian dari kegiatan pendaftaran
tersebut bertujuan untuk menciptakan kepastian
hukum.
Konversi Hak Atas Tanah yang berasal dari Hukum Barat dan Hak Atas
Tanah berdasarkan Hukum Adat

Pengakuan dan penegasan hak tersebut


merupakan bagian dari kegiatan konversi hak atas
tanah atau pembuktian hak lama, namun hanya
untuk bekas Hak Milik Adat, sedangkan untuk
bekas Hak-hak Barat setelah tanggal 24 September
1980 (sesuai Kepres Nomor 32 Tahun 1979), tidak
dapat dilaksanakan konversi atasnya, kendati
masih ditemukan adanya bukti-bukti lama dan
hanya dapat dilakukan melaui pemberian hak atas
tanah. Pihak yang menguasai tanah tersebut
diharuskan mengajukan permohonan ke Kantor
Pertanahan untuk memproses haknya kembali.
Penanganan Masalah Pertanahan
Menurut Erman Rajagukguk (1995: 1) setidaknya ada dua
masalah yang mendasar dalam hukum tanah sejak
Indonesia mencapai kemerdekaannya tahun 1945. Pertama,
meliputi masalah kepemilikan tanah yang tidak
proporsional dan kebutuhan tanah yang semakin
meningkat di pulau Jawa yang kecil dengan penduduknya
yang terus bertambah. Soal-soal tersebut memunculkan
masalah land reform, distribusi tanah, bagi hasil, dan
hubungan sewa menyewa antara pemilik tanah dan
penggarap. Kedua, masalah-masalah di atas melahirkan
ide perlunya pembaruan dalam hukum tanah tanah itu
sendiri.
Penanganan Masalah Pertanahan
Menurut Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH (2013:
59), sebab-sebab sengketa :
1. Karena kebijaksanaan negara masa lalu;
2. Masalah kesenjangan sosial;
3. Lemahnya penegakan hukum;
4. Karena tanah terlantar;
5. “Reclaiming” sebagai tanah adat.
Sekilas Kasus Pertanahan
 Salah satu kegiatan dalam program strategis
BPN RI lainnya adalah percepatan penyelesaian
kasus pertanahan. Berdasarkan Peraturan Kepala
BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus
Pertanahan, kasus pertanahan adalah sengketa,
konflik dan perkara pertanahan yang
disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia untuk mendapatkan
penanganan, penyelesaian sesuai peraturan
perundang-undangan dan/atau kebijakan
pertanahan nasional.
Sengketa Pertanahan
 Sengketa pertanahan adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, badan
hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas
secara sosio-politis. Penekanan yang tidak
berdampak luas inilah yang membedakan
definisi sengketa pertanahan dengan definisi
konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa
sengketa administratif, sengketa perdata,
sengketa pidana terkait dengan pemilikan,
transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan,
penguasaan dan sengketa hak ulayat.
Konflik Pertanahan

Konflik pertanahan merupakan


perselisihan pertanahan antara
orang perseorangan, kelompok,
golongan, organisasi, badan hukum
atau lembaga yang mempunyai
kecenderungan atau sudah
berdampak luas secara sosio-politis.
Perkara Pertanahan
Perkara pertanahan adalah
perselisihan pertanahan yang
penyelesaiannya dilaksanakan
oleh lembaga peradilan atau
putusan lembaga peradilan yang
masih dimintakan penanganan
perselisihannya di BPN RI.
Tipologi Kasus Pertanahan
Tipologi kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan
atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, secara garis besar dikelompokkan menjadi :
• Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status
penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah
dilekati hak oleh pihak tertentu.
 Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah
yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun
yang masih dalam proses penetapan batas.
 Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di
atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.
 Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di
atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
 Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah
tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1.
 Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu
bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti.
 Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang
tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.
 Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas
bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah.
 Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah
yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.
 Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan
peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan
hak atas tanah tertentu.
Kriteria Penyelesaian Kasus Pertanahan

Kasus pertanahan yang terdapat dalam basis data BPN RI merupakan


kasus-kasus lama maupun kasus-kasus baru yang timbul sebagai
implikasi kasus-kasus lama. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kasus-
kasus tersebut, diperoleh informasi bahwa tipologi kasus kasus tersebut
tidak dapat dilakukan generalisasi dalam melakukan upaya penanganan
kasusnya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya penyelesaiannya
dikategorikan dalam beberapa kriteria sebagai berikut:
 Kriteria 1 (K1) : penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus
pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa.
 Kriteria 2 (K2) : penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas
tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku
tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan
Penyelesaian Kasus Pertanahan.
 Kriteria 3 (K3) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang
ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai
atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang bersengketa.
 Kriteria 4 (K4) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang
intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui
proses perkara di pengadilan.
 Kriteria 5 (K5) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang
menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah
ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk
diselesaikan melalui instansi lain.
Solusi Penyelesaian Kasus Pertanahan
 Terhadap suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional,
solusi penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus
 Pengaduan disampaikan melalui Loket pengaduan.
 Dilakukan Register terhadap pengaduan yang diterima.
 Penyampaian informasi, digolongkan menjadi :
 Informasi rahasia : Perlu ijin Kepala BPN RI atau Pejabat yang ditunjuk.
 Informasi Terbatas : Diberikan pada pihak yang memenuhi syarat.
 Informasi Terbuka untuk umum : Diberikan pada pihak yang membutuhkan.
2. Pengkajian Kasus
 Untuk mengetahui faktor penyebab.
 Menganalisis data yang ada.
 Menyusun suatu rekomendasi penyelesaian kasus.
3. PenangananKasus
Penanganan suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional RI
dilakukan dengan tahapan :
 Pengolahan data pengaduan, penelitian lapangan/koordinasi/investigasi.
 Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita acara.
 Analisis/Penyusunan Risalah Pengolahan Data/surat keputusan.
 Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan kasus.
 Untuk suatu kasus pertanahan tertentu yang dianggap strategis, dilaksanakan pembentukan tim penanganan kasus
potensi konflik strategis.
4. PenyelesaianKasus
Penyelesaian suatu kasus pertanahan dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
 Penyelesaian melalui jalur hukum/pengadilan.
 Penyelesaian melalui proses mediasi.
Data Kasus Pertanahan

 Sebagai sebuah program prioritas, penyelesaian


kasus-kasus pertanahan senantiasa menjadi
perhatian seluruh jajaran Badan Pertanahan Nasional
RI di tingkat Pusat, Kantor Wilayah Propinsi maupun
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota seluruh
Indonesia. Sampai dengan bulan September 2013,
jumlah kasus pertanahan mencapai 4.223 kasus
yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012 sebanyak
1.888 kasus dan kasus baru sebanyak 2.335 kasus.
Jumlah kasus yang telah selesai mencapai 2.014
kasus atau 47,69% yang tersebar di 33 Propinsi
seluruh Indonesia
Penanganan Masalah Pertanahan

Tugas :

Buatlah Makalah tentang Penanganan


Masalah Pertanahan yang terjadi.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
SEMOGA BERMANFAAT

Anda mungkin juga menyukai