Anda di halaman 1dari 63

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SKLERITIS
2.1.1 Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis (Khurana, 2007).
2.1.2 Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat
insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien
yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya
adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit
ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau
mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan (Khurana,
2007).
Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras.
Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden
skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun
(Khurana, 2007).
2.1.3 Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah
katarak (Khurana, 2007).
Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu:
1. Penyakit Autoimun
Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid, Poliartritis nodosa,
Polikondritis berulang, Granulomatosis Wegener, Lupus eritematosus

3
4

sistemik, Pioderma gangrenosum, Kolitis ulserativa, Nefropati IgA,


Artritis psoriatic
2. Penyakit Granulomatosa
Tuberkulosis, Sifilis, Sarkoidosis, Lepra, Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
(jarang)
3. Gangguan metabolik Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung rematik aktif
Infeksi Onkoserkiasis, Toksoplasmosis, Herpes Zoster, Herpes Simpleks,
Infeksi oleh Pseudomonas,Aspergillus, Streptococcus, Staphylococcus
4. Lain-lain
Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia (luka bakar asam atau basa),
Mekanis (cedera tembus), Limfoma, Rosasea, Pasca ekstraksi katarak
Tidak diketahui (Khurana, 2007).
2.1.4 Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi
sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis.
Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan
menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata (Khurana, 2007).
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit
imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit
auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses
inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan
kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik
granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian
dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat
deposisi kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang
menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel
perantara. (Khurana, 2007).
2.1.5 Klasifikasi
Skleritis diklasifikasikan menjadi 3:
1. Episkleritis
a. Simple
5

Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda
yang berpotensi mengalami rekurensi. Gejala klinis yang muncul berupa rasa
tidak nyaman pada mata, disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia.
Terdapat pelebaran pembuluh darah baik difus maupun segmental. Wanita lebih
banyak terkena daripada pria dan sering mengenai usia dekade 40-an (Khurana,
2007).
b. Nodular
Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk simple
scleritis. Sekitar 30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan dengan
penyakit sistemik, 5% dihubungkan dengan penyakit kolagen vaskular seperti
artritis rematoid, 7% dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3%
dihubungkan dengan gout (Khurana, 2007).
2. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior
sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya.
Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik
dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus,
walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi.
Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih
nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati (Bolumleri, 2008).
a. Difus
Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout (Khurana, 2007).
b. Nodular
Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus (Khurana, 2007).
c. Necrotizing
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus.
29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Bentuk skleritis
nekrotik terbagi 2 yaitu:
i. Dengan inflamasi
ii. Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)
6

3. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan
skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan
penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya
perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina,
perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli
anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi
kelopak mata bawah (Bolumleri, 2008).
2.1.6 Diagnosis
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.
ANAMNESIS
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun
riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh
(Khurana, 2007).
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan
penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri
adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf
akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat,
nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang
malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan
penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai
sekret mukopurulen (Khurana, 2007).
Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari
skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis,
uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal (Bolumleri, 2008).
7

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya


penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat
menyebabkan skleritis seperti :
 Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
 Penyakit infeksi
 Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
 Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
 Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid
dan ibandronate.
 Post pembedahan pada mata
 Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
 Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung
dan responnya terhadap pengobatan (Khurana, 2007).
PEMERIKSAAN FISIK SKLERA
1. Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah
serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan translusen
juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan
coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya
proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi
avaskular yang menghasilkan sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran
coklat kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan
jaringan granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari
konjungtiva (Khurana, 2007).
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera
dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior
dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan sclera
edema. Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan
superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam
episklera (Khurana, 2007).
8

3. Pemeriksaan Red-free Light


Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai
kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan
juga area yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada
mata meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan
fundus (Khurana, 2007).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan pemeriksaan
fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau menyingkirkan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis. Adapun pemeriksaan
laboratorium tersebut meliputi :
 Hitung darah lengkap dan laju endap darah
 Kadar komplemen serum (C3)
 Kompleks imun serum
 Faktor rematoid serum
 Antibodi antinukleus serum
 Antibodi antineutrofil sitoplasmik
 Imunoglobulin E
 Kadar asam urat serum
 Urinalisis
 Rata-rata Sedimen Eritrosit
 Tes serologis
 HBs Ag (Khurana, 2007)
PEMERIKSAAN RADIOLOGI.
Berbagai macam pemeriksaan radiologis yang diperlukan dalam
menentukan penyebab dari skleritis adalah sebagai berikut :
 Foto thorax
 Rontgen sinus paranasal
 Foto lumbosacral
 Foto sendi tulang panjang
 Ultrasonography ( Scan A dan B)
 CT-Scan
9

 MRI (Khurana, 2007)


Pemeriksaan lain yang diperlukan antara lain :
 Skin Test
 Tes usapan dan kultur
 PCR
 Histopatologi (Khurana, 2007)
2.1.7 Diagnosis Banding
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis:
 Konjunctivitis alergika
 Episkleritis
 Gout
 Herpes zoster
 Rosasea okular
 Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
 Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
 Uveitis anterior nongranulomatosa (Khurana, 2007)
2.1.8 Penatalaksanaan
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis
adalah obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin
100 mg perhari atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri
cepat mereda diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon
dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera
dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral
yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu
sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang
berat mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g
setiap minggu (Khurana, 2007).
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. 2 Siklofosfamid
sangat bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi
steroid topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan
untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan
terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat
10

proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon


hipersensitif atau efek dari invasi langsung mikroba (Khurana, 2007).
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi
sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi
kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis
Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea
(Khurana, 2007).
Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang
menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma
langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah
digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur
semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberian
kemoterapi (Khurana, 2007).
Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila
terapi diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium inijarang
timbul gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit
(Khurana, 2007).
2.1.9 Komplikasi
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,
ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis
bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau
vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda
buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai
oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut
terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid (Khurana, 2007).
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti
uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sclera
atau skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea
dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat
peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang
terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan
susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi
11

neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu


berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian
sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan (Khurana, 2007).
2.1.10 Prognosis
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata.
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan
buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada
mata (Khurana, 2007).
Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus,
nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau
autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan
lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe
yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang
telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk (Khurana,
2007).

2.2 Episkleritis
2.2.1 Definisi
Episkleritis didefinisikan sebagai peradangan lokal sklera yang relatif
sering dijumpai. Kelainan ini bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus, dan
insidens pada kedua jenis kelamin wanita tiga kali lebih sering dibanding pria.
Episklera dapat tumbuh di tempat yang sama atau di dekatnya di jaringan
palpebra. Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang
terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera. Perjalanan penyakit mulai
dengan episode akut dan terdapat riwayat berulang dan dapat berminggu-minggu
atau beberapa bulan. Ada dua jenis episkleritis :
1. Episkleritis simple. Ini adalah jenis yang paling umum dari episkleritis.
Peradangan biasanya ringan dan terjadi dengan cepat. Hanya berlangsung
selama sekitar tujuh sampai 10 hari dan akan hilang sepenuhnya setelah
12

dua sampai tiga minggu. Pasien dapat mengalami serangan dari kondisi
tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan. Penyebabnya seringkali
tidak diketahui.
2. Episkleritis nodular. Hal ini sering lebih menyakitkan daripada episkleritis
simple dan berlangsung lebih lama. Peradangan biasanya terbatas pada
satu bagian mata saja dan mungkin terdapat suatu daerah penonjolan atau
benjolan pada permukaan mata. Ini sering berkaitan dengan kondisi
kesehatan, seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus (Khurana, 2007).

A. Episkleritis nodular

B. Episkleritis simple

2.2.2 Etiologi
Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui penyebab
pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang selalu
berhubungan dengan terjadinya episkleritis. Kondisi-kondisi tersebut adalah
penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan, tendon atau jaringan ikat lain
dari tubuh, seperti:
1. Rheumatoid arthritis
2. Ankylosing spondylitis
3. Lupus (systemic lupus erythematosus)
4. Inflammatory bowel diseases seperti crohn’s disease and ulcerative colitis
5. Gout
13

6. Bacterial atau viral infection seperti lyme disease, syphilis atau herpes
zoster
7. Beberapa penyakit lain yang kurang umum, penyebab episkleritis
termasuk jenis kanker tertentu, penyakit kulit, gangguan defisiensi imun
dan, yang paling jarang berhubungan adalah gigitan serangga (Khurana,
2007).
2.2.3 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya episkleritis diduga disebabkan oleh prose autoimun.
Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan
kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa
kronik (hipersensitivitas tipe IV) (Khurana, 2007).
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala episkleritis meliputi:
1. Sakit mata dengan rasa nyeri ringan
2. Mata kering
3. Mata merah pada bagian putih mata
4. Kepekaan terhadap cahaya
5. Tidak mempengaruhi visus (Khurana, 2007)
Tanda objektif pada episkleritis:
1. Kelopak mata bengkak
2. Konjungtiva bulbi kemosis disertai dengan pelebaran pembuluh darah
episklera dan konjungtiva.
3. Bila sudah sembuh, warna sklera berubah menjadi kebiru-biruan
4. Pemeriksaan mata memperlihatkan hiperemia lokal sehingga bola mata
tampak berwarna merah atau keunguan yang menunjukkan pembuluh
darah episklera yang melebar
5. Pembuluh darah episklera dapat mengecil bila diberikan fenilefrin 2,5%
(Khurana, 2007).
Bentuk radang yang terjadi pada episklerisis nodular mempunyai gambaran
khusus, yaitu berupa benjolan setempat dengan batas tegas dan warna putih di
bawah konjungtiva. Bila benjolan itu ditekan dengan kapas atau ditekan pada
kelopak di atas benkolan, akan memberikan rasa sakit, rasa sakit akan menjalar ke
14

sekitar mata. Pada episkleritis bila dilakukan pengangkatan konjungtiva di


atasnya, maka akan mudah terangkat atau dilepas dari pembuluh darah yang
meradang (Khurana, 2007).
2.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosa didapatkan dari anamnesis untuk menanyakan
beberapa gejala-gejala yang dialami pasien, menanyakan riwayat penyakit
sistemik sebelumnya pada pasien, melakukan pemeriksaan pada mata pasien, serta
dilakukan pemeriksaan fisik pasien bila dicurigai penyebabnya terkait penyakit
sistemik. Pemeriksaan lebih lanjut seperti melakukan beberapa tes lebih lanjut,
seperti tes darah, untuk mengetahui apakah episkleritis terkait dengan penyakit
sistemik lain yang mendasarinya (Khurana, 2007).
2.2.6 Diagnosis Banding
Mata merah dengan visus normal:
a.Merah tidak merata
1. Episkleritis dan skleritis
2. Perdarahan subkonjungtiva
3. Pterigium
4. Pseudopterigium
5. Konjungtivitis flikten
6. Pinguekula iritans (Khurana, 2007)
b. Merah merata
1. Konjungtivitis akut
2. Konjungtivitis kronis (Khurana, 2007)
2.2.7 Penatalaksanaan
Episkleritis adalah penyakit self-limiting menyebabkan kerusakan yang
sedikit permanen atau sembuh total pada mata. Oleh karena itu, sebagian besar
pasien dengan episkleritis tidak akan memerlukan pengobatan apapun. Namun,
beberapa pasien dengan gejala ringan menuntut pengobatan (Khurana, 2007).
1. Terapi pada mata
Episkleritis simpel sering membutuhkan pengobatan. Air mata buatan
berguna untuk pasien dengan gejala ringan sampai sedang. Selain itu dapat
juga diberikan vasokonstriktor. Pasien dengan gejala lebih parah atau
15

berkepanjangan mungkin memerlukan air mata buatan (misalnya


hypromellose) dan atau kortikosteroid topikal. Episkleritis nodular lebih
lama sembuh dan mungkin memerlukan obat tetes kortikosteroid lokal
atau agen anti-inflamasi. Topikal oftalmik prednisolon 0,5%,
deksametason 0,1%, atau 0,1% betametason harian dapat digunakan
(Khurana, 2007).
2. Terapi sistemik Jika episkleritis nodular yang tidak responsif terhadap
terapi topikal, sistemik agen antiinflamasi mungkin berguna. Flurbiprofen
(100 mg) biasanya efektif sampai peradangan ditekan. Jika tidak ada
respon terhadap flurbiprofen, indometasin harus digunakan, 100 mg setiap
hari dan menurun menjadi 75 mg bila ada respon. Banyak pasien yang
tidak merespon satu agen nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID) tetapi
dapat berespon terhadap NSAID lain. Untuk aktivitas sehari-hari,
sunglasses berguna untuk pasien dengan sensitivitas terhadap cahaya
(Khurana, 2007).
2.2.8 Komplikasi
Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar
satu dari 10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis ringan.
Selain iritis, bila peradangan lebih dalam pada sklera dapat menimbulkan skleritis
(Khurana, 2007).
2.2.9 Prognosis
Prognosis umunya baik, dapat sembuh sempurna tetapi dapat bersifat residif yang
dapat menyerang tempat yang sama ataupun berbeda-beda dengan lama sakit
umunya 4-5 minggu (Khurana, 2007).

2.3 PTERIGIUM
2.3.1 Definisi Pterigium
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas. Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu
16

proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga


(sayap) yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi
permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman (Dzunic,
2010).
2.3.1 Epidemiologi dan Insiden
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian
dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang
kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis
lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa 'sabuk pterigium (Dzunic, 2010).
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit
hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 ° utara
khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan
tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne,
Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40
tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang
lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%)
yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya,
kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados (Dzunic, 2010).
Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera
meningkat seiring bertambahnya usia.9 Hal yang jarang terjadi untuk seseorang
menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari 40 tahun
memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium, sementara pasien berusia
20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi terjadinya pterigium. Hal yang
berbeda dengan beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada
laki-laki (Dzunic, 2010).
Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % - 52 %.
Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1 % pada penderita
dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Hal ini sesuai dengan
penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan pasca transplantasi
17

limbal sel sebesar 14 % dan kekambuhan pasca bare sclera sebesar 40-75 % serta
conjungtival graft sebesar 3-5% (Dzunic, 2010).
2.3.2 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi
permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama
konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena
fakta bahwa ia menhubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari
pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut
sakus konjungtiva yang terbuka di depan fisura palpebral (Dzunic, 2010).
Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian
1. Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata
dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva
marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak
mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni
sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan
konjungtiva lebuih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak
mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata
atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.
Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks (Dzunic, 2010).
2. Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat
pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.
Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul
Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar
kornea disebut
konjungtiva limbal (Dzunic, 2010).
3. Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat
pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan
struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix
dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi
(Dzunic, 2010).
18

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan
adenoid, dan lapisan fibrosa.
1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing
daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal
memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2
lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam
terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis
epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari
sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva
memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng
(Dzunic, 2010).
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan
ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukan
ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal
ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak
menghasilkan reaksi folikuler (Dzunic, 2010).
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva
tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh
dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul
Tenon di daerah konjungtiva bulbar (Dzunic, 2010).
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar
uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva
tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-
kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan
konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat
pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8
buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas
tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior) (Dzunic, 2010).
19

Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks, konjungtiva


palpebralis.

Vaskularisasi Konjungtiva
Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah
muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya
berbentuk cekung. Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di
canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan
modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar
keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut (Dzunic, 2010).
20

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni


arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri
ciliaris anterior. Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-
cabang dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar
diperdarahi oleh dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang
merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang
merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva
posterior membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan
membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena
pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena
ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni
superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus
preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus.
Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit (Dzunic, 2010).
2.3.3 Etiologi Pterigium
Etiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering
pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling
mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar
sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini,
beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin
(Dzunic, 2010).
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada
kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan
faktor pertumbuhan jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.
Radiasi cahaya UV tipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam
patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan
human papillomavirus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium (Dzunic,
2010).
21

2.3.4 Klasifikasi Pterigium


Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:
 Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering
mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat (Dzunic, 2010).
 Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai
4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan menimbulkan astigmat (Dzunic, 2010).
 Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona
optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai
kornea >4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya
pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata serta kebutaan (Dzunic, 2010).
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:7,13
 Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan
tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada
limbus kornea (Dzunic, 2010).
 Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan
menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil (Dzunic, 2010).
 Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil,
vaskularisasi yang jelas (Dzunic, 2010).
 Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil (Dzunic, 2010).
22

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


 Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium) (Dzunic,
2010).
 Pterigium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang (Dzunic, 2010).
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slitlamppterigium dibagi 3 yaitu:
 T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat (Dzunic, 2010).
 T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat (Dzunic,
2010).
 T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas (Dzunic, 2010).
2.3.5 Patofisiologi Pterigium
Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama,
patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus, mekanisme
imunologi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin,
antiapoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah terlibat
dalam pathogenesis. Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen
dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel.4, 5 Radiasi sinar UV
dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga
berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium.
Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi
bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks
metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir
pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling,
dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium, serta perusakan lapisan Bowman
dan invasi pterigium ke dalam kornea. Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene
suppressor tumor TP53 di sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel
limbal. Karen kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga
terjadi pada gen lainnya. Hal ini menyebabkan multistep perkembangan pterigium
dan tumor sel limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel limbal (Dzunic, 2010).
23

Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga
menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-Rb-TGF-
β. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-β. Banyaknya
sekresi TGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan
jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium
(sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP,
dan MT2-MMP, yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom.
Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju
ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena
produksi TGF-β oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di
atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak
kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus
berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke
kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan
berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea. Sebagai
tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan peningkatan
monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma. Kemudian,
sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di
depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF-β-bFGF
untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam
penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi
fibroblast untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang
memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman
(Dzunic, 2010).
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell. Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi
conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan
membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium
dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
24

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.

A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV memicu


migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal stem cell
menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah

Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti


sejumlah besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di
substantia propria spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme
imunologi, mungkin dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada
patogenesis pterigium (Dzunic, 2010).
2.3.6 Gambaran Klinis Pterigium
Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di
luar rumah. Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini
muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di
sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang
terlihat pada epitel kornea anterior disebut garis Stocker. Pterigium terdiri dari
tiga bagian
 Apeks (bagian apikal pada kornea),
25

 Collum (bagian limbal), dan


 Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthus
(Dzunic, 2010).
Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi
bagian tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat
menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar
pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas
okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia
(Dzunic, 2010).

Pterigium

2.3.7 Diagnosis Pterigium


Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan
adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada
daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya (Dzunic, 2010).
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada
permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan tebal
tetapi ada juga pterigium yangb avaskuler dan flat. Pterigium paling sering
26

ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. (Dzunic, 2010).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang di sebabkan oleh pterigium (Dzunic, 2010).
2.3.8 Penatalaksanaan Pterigium
Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan,
penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati
dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk
menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium
yang meradang atau iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi
antihistamin dan atau kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari (Dzunic,
2010).
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang
dapat diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang
mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil, tunggu
sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di gerakan okular
(Dzunic, 2010).
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah yang
digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium.
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat
rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
27

5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari


konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan (Dzunic, 2010).
Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar
30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:
1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi
2. Post poerasi beta iradiasi
3. Conjungtival autograft
4. Limbal and limbal–conjunctival transplantation
5. Amniotic membrane transplantation
6. Cultivated conjunctival transplantation
7. Lamellar keratoplasty
8. Fibrin glue (Dzunic, 2010).
2.3.9 Diagnosis Banding Pterigium
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk
karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marginal. Hal ini
biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata (Dzunic, 2010).
Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun
karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetpi
pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topical (Dzunic, 2010).
2.3.10 Komplikasi Pterigium
Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi
penurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus medial.
Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan
parut. Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun
jarang terjadi (Dzunic, 2010).
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi:
Scleral dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun
28

atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit
untuk ditangani (Dzunic, 2010).
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi.
Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat
rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts
konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada
kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah
pterigium yang ada dapat terjadi (Dzunic, 2010).
2.3.11 Prognosis Pterigium
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakn
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan
pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto
graft atau transpalantasi membrane amnion (Dzunic, 2010).

2.4 Pseudopterigium
2.4.1 Definisi Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadai pada proses penyembuhan tukak
kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Letak pseudopterygium ini pada
daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya.
Pseudopterygium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit
peradangan pada kornea (Raju, 2008).
Pseudopterygium kadang-kadang disebut sebagai cicatricial
pterygium. Sebuah pterygium benar memiliki tepi yang bisa diangkat dengan
forceps dan lipatan konjungtiva yang telah melekat pada kornea akibat cedra
didekat limbus, keadaan apabila terdapat suatu ulkus kornea atau kerusakan
permukaan kornea, dan dalam proses penyembuhannya konjungtiva menutupi
luka tersebut sehingga terlihat seolah - olah konjungtiva menutupi kornea (Raju,
2008).
2.4.2 Etiologi Pseudopterigium
Pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrik, trauma bedah,
29

ulkus perifer kornea atau juga dapat terjadi sekunder untuk iritasi mekanis kronis
dari gerakan lensa kontak yang terkait dengan pelumasan yang tidak memadai dari
permukaan kornea. Sebuah pseudopterygium muncul dari kehancuran marjinal,
epitel kornea melalui trauma, misalnya caustic, luka bakar atau konjungtiva
inflammation. perpindah dari daerah luka dan menjadi tetap ditempat tersebut.
Sebuah pseudopterygium tidak menunjukkan kecenderungan untuk kemajuan. Hal
ini dapat berkembang pada setiap titik lingkar kornea (Raju, 2008).
2.4.3 Perbedaan Pseudo-pterigium dengan pterigium :
1. puncak pterigium menunjukan pulau - pulau Fuchs pada kornea sedangkan
pseudopterigium tidak
2. pseudoptergium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea, sedangkan
pterigium tidak
3. pembuluh darah konjungtiva lebih menonjol pada pterigium daripada
pseudopterigium
4. pada pseudopterigium dapat dimasukan sonde di bawahnya, sedangkan
pterigium tidak (Raju, 2008).
Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan, kecuali
sangat mengganggu visus, atau untuk alasan kosmetik (Raju, 2008)..
2.4.4 Gambaran klinis Pseudopterigium :
1. Adhesi dari konjungtiva ke kornea perifer.
2. Dapat terjadi pada setiap kuadran kornea.
3. Tidak memiliki adhesi perusahaan di seluruh struktur yang mendasari, dan
kadang-kadang memiliki terdepan luas pada permukaan kornea.
4. Temuan ini membedakannya dari pterygium (Raju, 2008).
Pseudopterygium dapat ditemukan di bagian apapun pada kornea dan biasanya
berbentuk obliq. Sedangkan pterygium ditemukan secara horizontal pada posisi
jam 3 atau jam 9 (Raju, 2008).
2.4.5 Ciri-ciri dari Pseudopterygium yaitu :
1. Lokasi pada : Pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea
sebelumnya
2. Progresifitas : selalu stasioner
3. Riwayat penyakitnya : Ulkus kornea (+)
30

4. Tes sondase : Positif


5. Warna : putih kekuningan
6. Perbandingan antara Laki-laki dan perempuan sama
7. Reaksi kerusakan permukaan kornea sebelumnya : Ada
8. Puncak : Tidak ada (tidak ada head, cap, body)
9. Histopatologi : Perlengketan (Raju, 2008).

2.5 Konjungtivitis flikten


2.5.1 Pengertian Konjungtivitis flikten
Konjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan
konjungtiva bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV
terhadap bakteri atau antigen tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap
tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit,
dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Pada konjungtiva akan terlihat adanya
tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel limfoid dibawah sel epitel
yang disebut flikten (Witcher, 2007).
Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan
gizi kurang atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian
yang dilakukan di India menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab
tersering terjadinya konjungtivitis flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan
infeksi stafilokokus. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tuberkulosis
menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi kurang dan dapat
juga terjadi pada orang dewasa (Witcher, 2007).
Pada konjungtivitis flikten ditemukan bintik putih yang dikelilingi daerah
hiperemi, hal ini dapat terjadi unilateral ataupun mengenai kedua bola mata.
Sedangkan secara histopatologis akan terlihat kumpulan sel leukosit neutrofil
yang dikelilingi oleh sel limfosit, makrofag, dan sel datia berinti banyak (Witcher,
2007).
Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien adalah keluar air mata
berlebih, iritasi dengan rasa sakit, rasa silau ringan hingga berat, dan bila
mengenai kornea maka akan dikeluhan adanya blefarospasme. Sedangkan gejala
obyektif yang umum ditemukan adalah: mata merah dan terlihat kumpulan
31

pembuluh darah yang mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning
kelabu seperti seperti mikroabses di sekitar limbus (Witcher, 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh reaksi antigen ini dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan dalam 2 minggu, namun tetap ada kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Pengobatan konjungtivitis flikten meliputi pemberian
steroid topikal, midriatika bila terjadi penyulit kornea, kacamata hitam untuk
menghindari silau yang sakit, antibiotik salep mata terutama saat sebelum tidur,
dan air mata buatan. Namun, pengobatan yang paling tepat adalah mencari
penyebab dari konjungtivitis, seperti: tuberkulosis, blefaritis stafilokokus kronik,
dan limfogranuloma venerea. Pengobatan tambahan untuk perbaikan gizi terutama
pada anak-anak seperti vitamin dan asupan makanan tambahan juga berperan
penting dalam proses penyembuhan. Penyulit dalam kasus ini adalah
menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya reaksi sekunder sehingga
timbul abses (Witcher, 2007).
Referat ini akan membahas konjungtivitis flikten secara menyeluruh.
Adapun referat ini dibuat guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik ilmu penyakit
mata Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto (Witcher, 2007).
2.5.2 Anatomi dan Fisiologi
Konjungtiva merupakan selaput lendir atau disebut juga sebagai lapisan
mukosa. Konjungtiva terdiri atas epitel sel kolumnar bertingkat yang melapisi
bagian sklera bola mata dan kelopak mata bagian dalam. Pada epitel kolumnar
bertingkat terdapat sel goblet yang berfungsi untuk menghasilkan musin dan air
mata sehingga dapat melembabkan bola mata dan mempermudah kelopak mata
untuk membuka ataupun menutup. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Konjungtiva tarsal atau palpebra berada di bagian posterior kelopak mata
dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva tarsal superior dan inferior
akan menutupi jaringan episklera disepanjang bola mata sampai
berbatasan dengan konjungtiva bulbar.
2. Konjungtiva bulbar menempel secara longgar pada septum orbital di
bagian forniks dan dapat dilipat berkali-kali, hal ini untuk mempermudah
pergerakan mata dan pembesaran kelenjar air mata. Konjungtiva bulbar
juga secara longgar kapsul tenon dan seluruh permukaan sklera.
32

3. Konjungtiva fornises atau forniks merupakan tempat peralihan antara


konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar (Witcher, 2007).

Gambar 1: Anatomi konjungtiva


Konjungtiva diperdarahi oleh arteri siliaris anterior yang berasal dari arteri
oftalmikus serta diperdarahi oleh arteri palpebra dimana kedua arteri ini
beranastomosis. Arteri siliaris anterior berjalan mengikuti otot rektus penggerak
bola mata kecuali otot rektus lateralis. Konjungtiva mendapat persarafan dari saraf
oftalmikus cabang trigeminus. Sedangkan kelenjar getah bening lapisan-lapisan
kelopak mata berasal dari pleksus kelenjar getah bening (Witcher, 2007).
Histologis lapisan konjungtiva adalah epitel konjungtiva yang terdiri atas 2
sampai 5 lapis sel kolumnar, superfisial, dan basal. Epitel konjungtiva disekitar
limbus, karunkel, dan perbatasan kelopak mata terdapat sel epitel gepeng. Sel
epitel superfisial terdiri atas sel bulat atau sel goblet yang menghasilkan musin
dan air mata sehingga dapat melembabkan bola mata serta mempermudah kelopak
mata untuk membuka atau menutup. Sel epitel basal yang berada lebih dalam dari
pada sel epitel superfisial dan berada di sekitar limbus memiliki pigmen yang
memberi warna (Witcher, 2007).
Stroma konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid di bagian superfisial dan
lapisan fibrosa di bagian dalam. Lapisan adenoid merupakan jaringan limfoid dan
dibeberapa area mata dapat memiliki bentuk follicle-like tanpa sentral
germinatikum. Lapisan adenoid ini baru akan berkembang saat usia beranjak 2-3
bulan. Sedangkan lapisan fibrosa merupakan jaringan ikat yang melekat pada
33

tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva juga terdapat kelenjar aksesoris
(kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan fungsi dan struktur
kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks superior dari
pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus
bagian atas (Witcher, 2007).
2.5.3 Patofisiologi Konjungtivitis flikten
Flikten adalah tonjolan sebesar jarum pentul yang terutama terletak di
daerah limbus, berwarna kemerah-merahan. Flikten konjungtiva mulai berupa lesi
kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah, menonjol dan dikelilingi zona
hiperemi1. Flikten umumnya bersifat unilateral dan terjadi di limbus, namun ada
juga yang terjadi di kornea, bulbus dan tarsus. Pada limbus sering berbentuk
segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Di daerah ini terbentuk pusat putih
kelabu yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Secara
histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit,
makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak (Witcher, 2007).

Gambar 2. Flikten pada konjungtiva tarsal


Timbulnya flikten adalah manifestasi hipersensitivitas tipe IV terhadap
terhadap patogen yang biasanya adalah m. tuberkulosis, stafilokokus,
coccidioidomikosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari
moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi fokal pada
gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital (Witcher, 2007).
Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen.
Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama
juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan
IL17 berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya
34

adalah proses inflamasi10. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1
akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel Th17 akan didominasi oleh
neutrophil (Witcher, 2007).

Gambar 3: Skema reaksi hipersensitivitas tipe IV


Reaksi yang terjadi pada hipersensitivitas ini dibagi menjadi 2 tahap utama:
a. Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+. Sel ini mengenali susunan peptida
yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan menyekresikan IL2 yang berfungsi
sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-
responsived sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan Th1 atau
Th17 terlihat pada produksi sitokin oleh APC (sel dendritik dan makrofag) saat
aktivasi sel T. APC memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T
menjadi Th1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel Th1 dalam perkembangannya. Jika
APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi
dengan membentuk TGF- β untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi Th17.
Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di
memory pool selama waktu yang lama (Witcher, 2007).
b. Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen
yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan
oleh APC. Sel Th1 akan menyekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang
bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ
mengaktivasi makrofag yang akan memfagositosis dan membunuh
35

mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut


mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen
tersebut. Makrofag juga menyekresikan TNF, IL1, dan kemokin yang akan
menyebabkan inflamasi. IL12 juga merupakan hasil produksi makrofag yang akan
memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi
makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara
terus menerus maka inflamasi akan berlanjut sehingga jaringan luka akan menjadi
semakin luas (Witcher, 2007).
Th17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan self antigen dalam
penyakit autoimun. Sel Th17 akan menyekresikan IL17, IL22, kemokin, dan
beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan
berlanjut menjadi proses inflamasi. Th17 juga memproduksi IL12 yang akan
memperkuat proses Th17 sendiri (Witcher, 2007).
Reaksi oleh sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen.
Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak
penyakit yang dimediasi oleh sel T dengan langsung melawan histokompatibilitas
antigen tersebut. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan
infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul
MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+.
Penghancuran sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi
tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Witcher, 2007).
Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh
sel T yaitu CTLs yang mengenali sel target akan menyekresikan kompleks yang
berisikan perforin, granzymes, dan protein yang disebut serglisin yang akan
masuk ke sel target melalui proses endositosis7. Dalam sitoplasma, sel target
perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah
enzim protease yang memecah dan mengaktivasi kaspase, yang akan menginduksi
apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan fast ligand,
molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat berikatan dengan fast expressed
pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin
(IFN-γ) yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap
infeksi virus dan terpapar oleh beberapa agen kontak (Witcher, 2007).
36

2.5.4 Klasifikasi Konjungtivitis flikten


Secara klinis konjungtivitis flikten dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Konjungtivitis flikten
Tanda-tanda inflamasi tidak jelas, tidak menyebar, hanya terbatas pada tempat
flikten, sekret hampir tidak ada

Gambar 4: Konjungtivitis flikten


2. Konjungtivitis fliktenularis
Tanda-tanda inflamasi jelas dan sekret dapat berupa mukopurulen. Konjungtivitis
fliktenularis biasanya timbul karena infeksi sekunder bakteri.

Gambar 5: Konjungtivitis fliktenularis e.c infeksi sekunder bakteri


2.5.5 Faktor Predisposisi Konjungtivitis flikten
Beberapa faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis flikten, yaitu5:
1. Usia. Umumnya terjadi pada usia 3-15 tahun.
2. Jenis kelamin. Lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.
3. Nutrisi atau gizi. Sering terjadi pada anak dengan gizi kurang.
37

4. Lingkungan. Faktor kebersihan yang kurang memadai dan lingkungan


yang padat penduduk dapat meningkatkan resiko konjungtivitis flikten.
5. Musim atau cuaca. Dapat terjadi pada setiap musim namun insidensi
meningkat pada musim panas (Witcher, 2007).
2.5.6 Diagnosis Konjungtivitis flikten
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan menilai dari gejala dan hasil
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
a. Gejala subjektif
Konjungtivitis flikten menyebabkan iritasi dengan keluhan rasa sakit, mata merah,
dan lakrimasi. Jika kornea ikut terlibat maka akan ditemukan keluhan fotofobia
dan gangguan penglihatan (Witcher, 2007).
b. Gejala objektif
1) Konjungtivitis Flikten Simpel
Terlihat nodul putih kemerahan yang dikelilingi daerah hiperemis (pelebaran
pembuluh darah konjungtiva) pada daerah sekitar limbus dan konjungtiva bulbar.
Pada umumnya nodul hanya soliter namun dapat juga tumbuh lebih dari satu.

Gambar 6: Lesi soliter pada konjungtivitis flikten simpel


2) Konjungtivitis Flikten Necrotizing
Terdapat flikten besar yang disertai proses nekrosis dan ulserasi sehingga
memungkin terjadinya severe pustular congjunctivitis
38

Gambar 7: Konjungtivitis flikten e.c Tuberkulosis

Gambar 8: Ulserasi pada konjungtivitis flikten


3) Konjungtivitis Flikten Milier
Terdapat multipel flikten yang berbentuk lingkaran disekitar limbus ataupun
menyebar secara tidak merata.

Gambar 9: Flikten multipel di sekeliling limbus


39

Gambar 10: Flikten multipel dengan tanda inflamasi yang jelas


c. Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan kumpulan sel leukosit netrofil yang
dikelilingi oleh sel limfosit, sel makrofag, dan sel datia berinti banyak. Pembuluh
darah yang memperdarahi flikten mengalami proliferasi endotel dan sel epitel
dibagian atas mengalami degenerasi (Witcher, 2007).
d. Laboratorium
Dapat dilakukan pemeriksaan tinja jika dicurigai helmintiasis, pemeriksaan darah
untuk mengetahui infeksi, dan kultur konjungtiva. Pemeriksaan sekret dengan
pewarnaan gram dapat membantu mengidentifikasi penyebab maupun infeksi
sekunder (Witcher, 2007).
2.5.7 Penatalaksaan Konjungtivitis flikten
Penyebab primer dari penyakit ini harus diketahui dan ditangani terlebih
dahulu, misalnya melalui pencarian infeksi fokal di telinga, hidung, tenggorokan,
atau gigi6. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urine, feses
maupun foto toraks seringkali dilibatkan dalam usaha tersebut (Witcher, 2007).
Kortikosteroid topikal seperti Dexamethasone atau Prednisolone dalam
sediaan obat tetes atau salep mata perlu diberikan karena dasar dari timbulnya
konjungtivitis fliktenularis adalah hipersensitivitas tipe lambat10. Kerja dari
kortikosteroid adalah menginhibisi aktivasi sel T sebagai mediator inflamasi yang
utama dalam proses ini, sehingga respon proliferatif dan produksi sitokin
berkurang (Witcher, 2007).
Kombinasi kortikosteroid dengan antibiotik seperti Kloramfenikol lebih
dianjurkan mengingat banyak kemungkinan terdapat infeksi bakteri sekunder. Jika
terdapat kondisi blefaritis atau masalah dermatologis yang lain, pemberian
Doksisiklin oral dapat dipertimbangkan5. Pada anak-anak dengan usia di bawah 8
tahun dan wanita hamil, Eritromisin dapat menggantikan penggunaan Doksisiklin.
40

Sikloplegik hanya dibutuhkan jika dicurigai adanya iritis. Dapat juga diberikan
Roboransia yang mengandung vitamin A, B kompleks, dan C untuk memperbaiki
keadaan secara general1. Pada pemberian kortikosteroid lokal dalam jangka waktu
lama perlu diwaspadai kontraindikasi dan adanya berbagai faktor penyulit antara
lain infeksi sekunder jamur atau virus, munculnya Glaukoma maupun Katarak
(Witcher, 2007).
2.5.8 Prognosis Konjungtivitis flikten
Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten
akan sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali
flikten pada limbus (Witcher, 2007).

Gambar 11: Bekas flikten pada limbus


Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea, abses kornea
karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas yang terbatas4.
Namun beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan penatalaksanaan
yang memadai (Witcher, 2007).

2.6 Pinguekula
2.6.1 Pengertian Pinguekula
Pinguekula adalah suatu tumor jinak berupa penonjolan berwarna putih
kekuningan dikonjungtiva yang biasanya tumbuh didaerah nasal konjungtiva
(Witcher, 2007).
2.6.2 Etiologi dan faktor resiko Pinguekula
41

Penyebab pasti terjadinya pinguekula tidak diketahui. namun


terdapat beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya pinguekula. Faktor
resiko yang mempengaruhi pinguekula adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet
saat matahari, iritasikronik dari bahan tertentu diudara dan faktor herediter
(Witcher, 2007).
1. Radiasi ultraviolet
Penyebab timbulnya pinguekula adalah terpapar sinar matahari. Sinar uv
diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga
merupakan faktor penting
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaoprkan sekelompok anggota keluarga dengan
pinguekula dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pinguekula, kemungkinan diturunkan autosom
dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pinguekula. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry
eye juga dapat menyebabkan pinguekula (Witcher, 2007).
2.6.3 Patogenesa Pinguekula
Lesi degeneratif dari konjungtiva bulbar ini terjadi sebagai hasil
dariradiasi sinar ultraviolet, namun sering
juga dihubungkan dengan iritasi benda iritan seperti debu. Sel epithelium yang
melapisi pinguekula dapat saja normal, menipis, atau menebal. Sementara
kalsifikasi jarang terjadi (Witcher, 2007).
Pinguekula biasanya terjadi secara bilateral, karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultra violet, debu
dan kekeringan. Daerah nasal konjungtiva relatif mendapat sinar ultra violet yang
lebih banyak dibandingkan dengan konjungtiva yang lain, karena
42

disamping kontak langsung, juga dari pantulan hidung. Hal ini mengakibatkan
pinguekula lebihsering terjadi pada daerah nasal konjungtiva (Witcher, 2007).
Pinguekula dianggap terjadi akibat degenerasi atau degradasi serat kolagen
dalam konjungti!a. Degenerasi konjungtiva menciptakan deposit
dan pembengkakan jaringan yang biasanya akan datar. Pinguekula lebih umum
terjadi pada orang paruh baya atau lebih tua. Hal ini karena seiring
bertambahnya usia, kelenjar lakrimalis mulai menurun fungsinya untuk
membasahi mata sehingga mata cenderung kering dan tidak terlindungi. namun,
mereka bisa muncul lebih awal jika seseorang di bawah sinar matahari sangat
sering. Pinguekula mungkin bertambah parah dari waktu
ke waktu dan tumbuh lebih besar terutama jika perlindungan terhadap matahari
tidak digunakan (Witcher, 2007).
2.6.4 Manifestasi Klinis Pinguekula
Pinguekula sering bermanifestasi di dekat limbus pada zona interpapebral,
paling sering daerah nasal, berupa penonjolan putih kekuningan, deposit
subepithelial yang amorf. pinguekula dapat membesar secara bertahap dalam
periode waktu yang lama. (nflamasi berulang dan iritasi okuli mungkin dijumpai
43

2.6.5 Diagnosis Pinguekula


Seorang dokter mata biasanya dapatmendiagnosa pinguekula dengan
observasi eksternal, secara umum menggunkan instrumen yang disebut slitlamp.
Slit lamp adalah sebuah mikroskop dengan sumber cahaya dan dapatmemperjelas
struktur mata bagi pemeriksa. Bagaimanapun, karena pinguekuladapat saja terlihat
seperti pertumbuhan jaringan mata yang serius, penting bagi penderita untuk
memeriksakan mata mereka pada ahli mata yang professional (Witcher, 2007).
2.6.6 Penatalaksanaan
Terapi lubrikasi untuk mencegah iritasi sering digunakan secara klinis.
Eksisi jaringan pinguekula hanya diindikasikan ketika pinguekula
mengmengganggu tampilan kosmetik atau lebih jauh pinguekula tersebut menjadi
meradang secara kronis. Penggunaan dari steroid topical dapat jugadipertimban
gkan pada pasien dengan inflamasi kronis.
Bagaimanapun, proses penyembuhan pasca operasi pengangkatan jaringan
pinguekula, walaupun tidak sakit, biasanya membutuhkan waktu yang lama.
Biasanya juga terdapat angka kekambuhan yang tinggi di beberapa daerah.
Sehingga, operasi biasanya dihindari jika masalah yang timbul akibat
pinguekula tidak begitu signifikan Komplikasi pinguekula termasuk;
merah, iritasi, skar kronis pada
konjungti!a dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan
sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft
hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen,
granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea
dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah
rekuren pinguekula post operasi. Beberapa metode telah digunakan untuk
mengurangi kekambuhan pasca operasi. Satu metode yang dapat dipertimbangkan
adalah radiasi beta.Walaupun metode ini efektif pada pertumbuhan ulang pinguek
ula yang lambat, metode ini dapat menimbulkan katarak. Metode yang aman
44

digunakan adalah penggunaan agen antikanker topikal yakni mitomycin (Witcher,


2007).
2.6.7 Pencegahan Pinguekula
Belum ada hal yang begitu pasti untuk mencegah timbulnya kelainanini,
ataupun mencegah pinguekula berkembang jadi pterigium.
Bagaimanapun,timbulnya pinguekula dan pterigium telah dihubungkan dengan
radiasi sinar ultraviolet. Oleh karena itu, paparan terhadap sinar matahari harus
dikurangi. The American Optometric Association
(AOA) menyarankan bahwa sunglasses yang dipakai harus mampu menahan 99-
100%dari sinar UV-A dan UV-B. Pasien juga dapat menghindari debu dan
iritan lain yang terdapat dilingkungan (Witcher, 2007).
2.6.8 Prognosis Pinguekula
Biasanya pinguekula tumbuh secara lambat dan jarang sekalimenyebabkan
kerusajan yang signifikan sehingga prognosis terbilang baik.Sekali lagi, sebuah
diagnosis harus dibuat untuk menyingkirkan kelainan yang serius (Witcher,
2007).

2.7 Blefaritis
2.7.1 Definisi Blefaritis
Blefaritis adalah radang pada kelopak mata, sering mengenai bagian
kelopak mata dan tepi kelopak mata. Pada beberapa kasus disertai tukak atau tidak
pada tepi kelopak mata, biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut.
Blefaritis adalah peradangan bilateral sub akut/menahun pada tepi kelopak mata
(margo palpebra).
Blefaritis adalah inflamasi pada pinggir kelopak mata biasanya disebabkan oleh
sthopilokokus (Witcher, 2007).
Ada 2 macam blefaritis :
1. Infeksi yang terjadi pada kelopak mata. Pada kasus ini bulu mata rontok
dan tidak diganti oleh yang baru karena ada destriksi folikel rambut. Pada
pangkal rambut terdapat sisik kering (krusta) berwarna kuning pada bulu mata.
Palpebra merah (mata”bertepi merah”)
45

2. Blefaritis seborrheik Inflamasi kelenjar kulit didalam bulu mata/kelenjar


bulu mata. Pada kasus ini bulu mata cepat jatuh tetapi dapat diganti yang baru
karena tidak ada destruksi folikel rambut. Didapatkan skuama (sisik
berminyak) tepian palpebra tidak begitu merah (Witcher, 2007).
2.7.2 Epidemiologi Blefaritis
Pada 5% dari total jumlah penyakit mata yang dilaporkan pada rumah
sakit (sekitar 2-5% berasal dari konsultasi pasien yang punya kaitan dengan
penyakit mata). Insidensi blefaritis menurut WHO : Blefaritis staphylococcal
sering terjadi pada wanita pada usia rata-rata 42 tahun dan biasanya disertai
dengan mata kering pada 50% kasus, blefaritis seboroik umumnya terjadi pada
pria dan wanita pada rata-rata usia 50 tahun dan disertai mata kering pada 33%
kasus, sedangkan pada blefaritis meibom juga umum terjadi pada pria dan wanita
pada usia rata-rata 50 tahun, dan disertai syndrom mata kering sekitar 20-40%
(Witcher, 2007).
2.7.3 Etiologi Blefaritis
1) Berdasarkan penyebabnya blefaritis dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
Blefaritis Ulseratif: Penyebabnya adalah staphylococcus aureus (stafilikokus
epidermis).
2) Blefaritis Non-Ulseratif: Penyebabnya adalah kelainan metabolisme dan
jamur pitirusponem ovale (Witcher, 2007).
Secara umum :
Infeksi/alergi yang biasanya berjalan kronik/akibat disfungsi kelenjar
meibom. Contoh : Debu, asap, bahan kimia, iritatif/bahan kosmetik.
Infeksi bakteri stafilokok, streptococcus alpha/beta hemolyticus, pnemokok,
psedomonas, demodex folliculorum, hingga pityrosporum ovale. Infeksi oleh
virus disebabkan herpes zoster, herpes simplex, vaksinia dan sebagainya. Jamur
dapat menyebabkan superfisial (sistemik) (Witcher, 2007).
Blefaritis dapat disebabkan infeksi staphlococcus, dermatitis seboroik,
gangguan kelenjar meibom, atau gangguan dari ketiganya. Blefaritis anterior
biasanya disebabkan karena infeksi staphylococcus aureus, didapatkan pada 50%
pada pasien yang menderita blefaritis, tapi hanya 10% orang yang tidak
memberikan gejala blefaritis namun ditemukan bakteri staphylococcus. Infeksi
46

staphylococcus epidermis didapatkan sekitar 95% pasien. Blefaritis seboroik


serupa dengan dermatitis seboroik, dan posterior blefaritis (meibomian blefaritis)
disebabkan gangguan kerja kelenjar meibom. Kelenjar meibom yang ada
sepanjang batas kelopak mata, dibelakang batas bulu mata, kelenjar ini
menghasilkan minyak ke kornea dan konjungtiva. Kelenjar ini disekresikan dari
lapisan luar air mata yang bisa menghambat penguapan air mata, dan membuat
permukaan mata menjadi tetap halus, serta membantu menjaga struktur dan
keadaan mata. Sekresi protein pada pasien yang menderita kelainan kelenjar
meibom berbeda komposisi dan kuantitas dari orang dengan mata normal. Ini
menjelaskan kenapa pada pasien dengan kelainan kelenjar meibom jarang
menderita sindrom mata kering. Kelenjar meibom berasal dari glandula sebasea
(Witcher, 2007).
2.7.4 Faktor Predisposisi Blefaritis
Sebenarnya yang mempengaruhi untuk terjadinya blefaritis, khususnya
Staphylococcus Aureus, Stafilokokus epidermis ada faktor lainnya yaitu :
1. Kelainan metabolisme
a. Jamur pitirusporum
b. ovale Sebosea/ketombe
c. Kurangnya mengkonsumsi vitamin
d. Hygiene yang buruk (Witcher, 2007)
2.7.5 Klasifikasi Blefaritis
1. BLEFARITIS BAKTERIAL
a. Blefaritis Superfisial
Bila infeksi kelopak superfisial disebabkan oleh staphylococcus maka
pengobatan yang terbaik adalah dengan salep antibiotik seperti sulfasetamid dan
sulfisolksazol. Sebelum pemberian antibiotik krusta diangkat dengan kapas basah.
Bila terjadi blefaritis menahun maka dilakukan penekanan manual kelenjar
meibom untuk mengeluarkan nanah dari kelenjar meibom (Meibormianitis), yang
biasanya menyertai (Witcher, 2007).
b. Blefaritis Seboroik
Merupakan peradangan menahun yang sukar penanganannya. Biasanya
terjadi pada laki-laki usia lanjut (50 tahun), dengan keluhan mata kotor, panas,
47

dan rasa kelilipan. Gejalanya adalah sekret yang keluar dari kelenjar meiborn, air
mata berbusa pada kantus lateral, hiperemia, dan hipertropi pupil pada
konjungtiva. Pada kelopak dapat terbentuk kalazion, hordeolum, madarosis,
poliosis, dan jaringan keropeng. Pengobatannya adalah dengan membersihkan
menggunakan kapas lidi hangat. Kompres hangat sela 5-10 menit. Kelenjar
meibom ditekan dan dibersihkan dengan shampo bayi (Witcher, 2007).
c. Blefaritis Skumosa
Blefaritis skuamosa adalah blefaritis disertai adanya skuama atau krusta pada
pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak mengakibatkan terjadinya luka kulit.
Merupakan peradangan tepi kelopak terutama yang mengenai kulit didaerah akar
bulu mata dan sering terdapat pada orang yang berambut minyak. Penyebabnya
adalah kelainan metabolik ataupun oleh jamur. Pasien dengan blefaritis skuamosa
akan terasa gatal dan panas. Pada blefaritis skuamosa terdapat sisik berwarna
halus-halus dan penebalan margo palpebra disertai madarosis. Sisik ini mudah
dikupas dari dasarnya mengakibatkan pendarahan. Pengobatan blefaritis
skuamosa ialah dengan membersihkan tepi kelopak dengan shampo bayi, salep
mata, dan steroid setempat disertai dengan memperbaiki metabolisme pasien
(Witcher, 2007).
d. Blefaritis Ulseratif
Merupakan peradangan tepi kelopak atau blefaritis dengan tukak akibat
infeksi staphylococcus. Pada blefaritis ulseratif terdapat keropeng berwarna
kekuning-kuningan yang bila diangkat akan terlihat ulkus yang kecil dan
mengeluarkan darah disekitar bulu mata. Pada blefaritis ulseratif skuama yang
terbentuk bersifat kering dan keras, yang bila diangkat akan terjadi luka dngan
disertai pendarahan. Pengobatan dengan antibiotik dan higiene yang baik
sedangkan pada blefaritis ulseratif dapat dengan sulfasetamid, gentamisin atau
basitrasin. Apabila ulseratif mengalami peluasan, pengobatan harus ditambah
antibiotik sistemik dan diberi roboransia (Witcher, 2007).
e. Blefaritis Angularis
Merupakan infeksi staphlococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau
kantus. Blefaritis angularis yang mengenai sudut kelopak mata (kantus eksternus
dan internus) sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi puntum
48

lakrimal. Blefaritis angularis disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Kelainan ini


biasanya bersifat rekuren. Befaritis angularis diobati dengan sulfa, tetrasiklin dan
seng sulfat. Penyulit pada punctum lakrimal bagian medial sudut mata yang akan
menyumbat duktus lakrimal (Witcher, 2007).
f. Blefaritis Meibomianitis
Merupakan infeksi pada kelenjar meibom yang akan mengakibatkan tanda
peradangan lokal pada kelenjar tersebut. Meibomianitis menahun perlu
pengobatan kompres hangat, penekanan dan pengeluaran nanah dari dalam
berulang kali disertai antibiotik local (Witcher, 2007).
2. BLEFARITIS VIRUS
a. Herpes Zoster
Virus ini dapat memberikan infeksi pada ganglion saraftrigeminus Biasanya virus
ini akan mengenai orang dengan usia lanjut. Bila yag terkena ganglion cabang
oftalmik maka akan terlihat gejala-gejala herpes zoster pada mata dan kelopak
mata atas. Gejala tidak akan melampaui garis medin kepala dengan tanda-tanda
yang terlihat pada mata adalah rasa sakit pada daerah yang terkena dan badan
terasa demam. Pada kelopak mata terlihat vesikel dan infiltrat pada kornea bila
mata terkena. Lesi vesikel pada cabang oftalmik saraf trigeminus superfisial
merupakan gejala yang khusus pada infeksi herpes zoster mata (Witcher, 2007).
b. Herpes Simplex
Vesikel kecil dikelilingi eritema yang dapat disertai dengan keadaan yang sama
pada bibir merupakan tanda herpes simplex kelopak. Dikenal bentuk blefaritis
simplex yang merupakan radang tepi kelopak ringan dengan terbentuknya krusta
kuning basah pada tepi bulu mata, yang mengakibatkan kedua kelopak lengket
(Witcher, 2007)
.
3. BLEFARITIS JAMUR
1. Infeksi superfisial
2. Infeksi jamur dalam
3. Blefaritis pedikulosis : kadang-kadang pada penderita dengan higiene yang
buruk akan dapat bersarang tuma atau kutu pada pangkal silia di daerah margo
palpebral (Witcher, 2007).
49

2.7.6 Gambaran klinik Blefaritis


Gejala :
Blefaritis menyebabkan kemerahan dan penebalan, bisa juga terbentuk
sisik dan keropeng atau luka terbuka yang dangkal pada kelopak mata. Blefaritis
bisa menyebabkan penderita merasa ada sesuatu di matanya. Mata dan kelopak
mata terasa gatal, panas, dan menjadi merah. Bisa terjadi pembengkakan kelopak
mata dan beberapa helai bulu mata rontok. Mata menjadi merah, berair dan peka
terhadap cahaya terang. Bisa juga terbentuk keropeng yang melekat erat pada tepi
kelopak mata; jika keropeng dilepaskan, bisa terjadi pendarahan.
Selama tidur, sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak mata sukar
dibuka (Witcher, 2007).
Tanda :
1. Skuama pada tepi kelopak
2. Jumlah bulu mata berkurang
3. Obstruksi dan sumbatan duktus meibom
4. Sekresi
5. Meibom keruh
6. Infeksi pada tepi kelopak
7. Abnormalitas film air mata (Witcher, 2007).
2.7.7 Pemeriksaan Fisik Blefaritis
1. Visus
2. Pemeriksaan (loupe, slit lamp) : permukaan konjungtiva, kornea, COA, Iris
dan pupil
3. Palpasi : Odema kelopak mata, kejang kelopak mata (Witcher, 2007).

2.7.8 Pemeriksaan Penunjang Blefaritis


Dilakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk mengetahui penyebabnya:
a) Uji Laboratorium
1. Radiografi
2. Fluorescein Angiografi
3. Computed Tomografi
50

4. Pemeriksaan dengan slit lamp (Witcher,


2007)
2.7.9 Pengobatan Blefaritis
Pengobatan tergantung dari jenis blefaritisnya, namun kunci dari semua
jenis blefaritis adalah menjaga kebersihan kelopak mata dan menghindarkan dari
kerak. Sangat dianjurkan untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan bedak
atau kosmetik saat dalam penyembuhan blefaritis, karena jika kosmetik tetap
digunakan maka akan sulit untuk menjaga kelopak mata tetap bersih. Kompres
dengan air hangat untuk mengurangi kerak. Bila belum terjadi komplikasi bahan
pembersih seperti campuran air dan shampo bayi atau dengan menggunakan
produk pembersih kelopak mata dapat pula dipergunakan. Untuk kasus yang
disebabkan oleh infeksi bakteri, antibiotik dapat dipergunakan sedangkan untuk
membasmi bakteri terkadang diberikan salep antibiotik (misalnya erythroicyn atau
sulfacetamide) atau antibiotik per oral (misalnya tetracycline) (Witcher, 2007).
Jika terdapat dermatitis seboroik maka harus diobati terlebih dahulu. Jika
terdapat kutu, bisa dihilangkan dengan mengoleskan dengan jeli petroleum pada
dasar bulu mata. Jika kelenjar kelopak mata tersumbat, maka perlu dilakukan
pemijitan pada kelopak mata untuk mengeluarkan sisa yang mengumpul sehingga
bisa menghambat aliran kelenjar kelopak mata. Cairan air mata buatan atau
minyak pelembut disarankan pada beberapa kasus. Jika pasien menggunakan
lensa kontak, sebaiknya disarankan untuk menghentikan pemakaiannya terlebih
dahulu selama proses pengobatan. Blefaritis tidak dapat disembuhkan secara
sempurna meski pengobatan telah berhasil, kemungkinan kembali terserang
penyakit ini sangat mungkin terjadi (Witcher, 2007).

2.7.10 Komplikasi Blefaritis


Komplikasi yang berat karena lefaritis jarang terjadi. Komplikasi yang
paling sering terjadi pada pasien yang menggunakan lensa kontak. Mungkin
sebaiknya disarankan untuk sementara waktu menggunakan alat bantu lain seperti
kaca mata sampai gejala blefaritis hilang (Witcher, 2007).
2.8 KONJUNGTIVITIS
51

2.8.1 DEFINISI KONJUNGTIVITIS


Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada
konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi.
Berdasarkan waktu, konjungtivitis dibedakan menjadi (Lang, 2000) :
a. Konjungtivitis akut : awitan terpisah yang diawali dengan inflamasi
unilateral, kemudian diikuti dengan inflamasi mata kedua seminggu
kemudian. Lama sakit adalah kurang dari empat minggu (Lang, 2000).
b. Konjungttivitis kronis
2.8.2 ETIOLOGI KONJUNGTIVITIS
Sama halnya dengan kornea, konjungtiva terpajan dengan lingkungan luar
seperti mikroorganisme dan faktor stress. Permukaan konjungtiva tidak steril
karena dihuni oleh flora normal. Untuk itu, terdapat mekanisme defensi alamiah
seperti komponen aqueous yang melarutkan agen infeksius, mukus yang
menangkap debris, kedipan mata, perfusi yang baik, dan aliran air mata yang
membilas konjungtiva. Air mata sendiri mengandung antibodi dan antibakterial
yaitu immunoglobulin (IgA dan IgG), lisozim, dan interferon. Inflamasi dapat
terjadi dengan kontak langsung dengan patogen melalui tangan yang
terkontaminasi, handuk, atau kolam renang. Secara garis besar, penyebab
konjungtivitis adalah endogen (non-infeksius) atau eksogen (infeksius) (Schlote,
2006).
Infeksius
1. Bakterial
2. Klamidia
3. Viral
4. Riketsia
5. Parasitik
Non-infeksius
1. Alergi
2. Autoimun
3. Toksik (kimia atau iritan)
4. Penyakit sistemik seperti sindrom Steven-Johnson
5. Iritasi persisten akibat produksi air mata yang kurang (Lang, 2000).
52

2.8.3 EPIDEMIOLOGI KONJUNGTIVITIS


Konjungtivitis adalah penyakit mata paling sering di dunia yang dapat
terjadi pada berbagai usia. Akan tetapi, terdapat beberapa bentuk konjungtivitis
tertentu yang terjadi pada kelompok usia tertentu. Pada anak, sering terjadi
keratokonjungtivitis vernal, sedangkan keratokonjungtivitis atopik dan alergika
sering terjadi pada dewasa muda. Sekitar 1-3% pengguna kontak lensa terkena
konjungtivitis papiler raksasa dan 10% neonatus mengalami konjungtivitis dengan
berbagai penyebab. Konjungtivitis infeksius mengenai perempuan dan laki-laki
dengan insidens yang sama. Namun, konjungtivitis sicca lebih sering terjadi pada
perempuan. Sebaliknya, keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis akibat
kimia dan mekanik lebih sering terjadi pada pria (Lang, 2000).
2.8.4 GEJALA DAN TANDA KONJUNGTIVITIS
Umumnya, konjungtivitis mengenai kedua mata dengan derajat keparahan
yang berbeda. Gejala konjungtivitis adalah mata merah dengan produksi sekret
yang berlebih sehingga mata terasa lengket pada pagi hari setelah bangun tidur.
Selain itu, pasien dapat mengalami sensasi benda asing, terbakar, atau gatal, serta
fotofobia. Rasa nyeri yang muncul biasanya menandakan kornea juga terkena.
Gejala yang dirasakan oleh pasien dapat bervariasi. Oleh karena itu, penting untuk
mengenali tanda dari konjungtivitis berupa:
1. Hiperemia: mata tampak merah akibat dilatasi pembuluh darah. Jika tanpa
disertai infiltrasi seluler, menandai iritasi seperti angin, matahari, dan asap.
2. Epifora: lakrimasi yang berlebihan sebagai respons terhadap sensasi benda
asing dan iritan yang harus dibedakan dengan transudat. Transudat ringan
yang timbul akibat pelebaran pembuluh darah dapat bercampur dengan air
mata.
3. Eksudasi: kuantitas dan sifat eksudar (mukoid, purulen, berair, atau
berdarah) bergantung dengan etiologi penyakit.
4. Pseudoptosis: jatuhnya kelopak bola mata karena infiltrasi pada otot
Muller yang dapat ditemukan pada konjungtivitis parah seperti
keratokonjungtivitis trakoma.
5. Hipertrofi papiler: reaksi konjungtiva yang tidak spesifik berupa papil
berukuran kecil, halus, dan seperti beludru. Papil berwarna kemerahan
53

pada infeksi bacterial, sedangkan bentuk cobblestone ditemui pada


konjungtivitis vernal.
6. Kemosis: pembengkakan konjungtiva yang sering ditemukan pada
konjungtivitis alergika, bakterial (konjungtivitis gonokokus), dan
adenoviral.
7. Folikel: hiperplasia limfoid lokal konjungtiva yang terdiri dari sentrum
germinativum yang paling sering ditemukan pada infeksi virus. Selain
infeksi virus, ditemui pula pada infeksi parasit dan yang diinduksi oleh
obat idoxuridine, dipivefrin, dan miotik.
8. Pseudomembran: terbentuk akibat proses eksudatif dimana epitel tetap
intak ketika pseudomembran dibuang.
9. Konjungtiva lignose: terbentuk pada pasien yang mengalami
konjungtivitis membranosa berulang.
10. Flikten: diawali dengan perivaskulitis limfositik yang kemudian
berkembang menjadi ulkus konjungtiva. Selain itu, flikten menandakan
reaksi delayed hipersensitivitas terhadap antigen microbial.
11. Limfadenopati preaurikular: pembesaran kelenjar getah bening yang dapat
disertai rasa nyeri pada infeksi akibat herpes simpleks, konjungtivitis
inklusi, atau trakoma (Lang, 2000
12. Tanda Konjungtvitis

13.
14. Mata tampak merah dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva yang
difus (injeksi konjungtiva).
A. KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL
a) Tanda dan Gejala
Dua bentuk konjungtivitis bakterial adalah akut dan kronik. Konjungtivitis
bacterial akut (subakut) yang disebabkan oleh Haemophilus influenza bersifat
54

self-limited dengan lama sakit melebihi dua minggu (tanpa pengobatan) dan
eksudat tipis, berair, serta flokulen.Konjungtivitis purulen yang disebabkan
olehNeisseria gonorrhoeae atau Neisseria meningitidis menyebabkan komplikasi
yang serius jika tidak diobati dengan benar (Ferrer dkk, 2007).
Konjungtivitis bilateral dengan eksudat purulen dan biasanya
pembengkakan kelopak mata. Umumnya, infeksi bersifat unilateral pada mulanya
kemudian mengenai mata yang lain melalui tangan. Konjungtivitis purulen yang
banyak dapat disebabkan oleh N gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan N
meningitides yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan pengobatan
segera. Penundaan dapat menyebabkan kerusakan kornea, kebutaan, dan sepsis.
Sedangkan konjungtivitis mukopurulen akut, penyebab tersering adalah
Streptococcus pneumonia (Ferrer dkk, 2007).
Konjungtivitis kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakriminal dan dakriosistitis kronik. Disamping itu, blefaritis bacterial kronik
atau disfungsi kelenjar meibom juga dapat menyebabkan konjungtivitis kronik
(Ferrer dkk, 2007).
b) Pemeriksaan Laboratorium
Sebagian besar diagnosis dapat ditegakkan dengan tanda dan gejala. Oleh
karena itu, pemeriksaan laboratorium dilakukan apabila konjungtivitis tidak
responsif terhadap antibitotik. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah
pewarnaan Gram untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab. Pewarnaan
Giemsa bertujuan untuk mengidentifikasi tipe sel dan morfologi.Kerokan
konjungtiva dan kultur dianjurkan apabila terdapat sekret purulen, membranosa,
atau pseudomembranosa (Lang, 2000).
c) Komplikasi
Pada infeksi staphylococcal dapat terbentuk blefaritis marginal kronik.
Selain itu, konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa akan menimbulkan
sikatriks dalam proses penyembuhan, dan lebih jarang menyebabkan ulkus
kornea. Ulkus kornea marginal mempermudah infeksi N gonorrhoeae, N kochii,
N meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Apabila produk toksik
N gonorrhoeae menyebar pada bilik mata depan, akan terjadi iritis toksik (Ferrer
dkk, 2007).
55

d) Pengobatan
Terapi empiris didahulukan sebelum hasil tes sensitivitas antibiotik
tersedia. Adapun terapi empiris yang dapat diberikan adalah Polytrim dalam
bentuk topical. Sediaan topikal yang diberikan dalam bentuk salep atau tetes mata
adalah seperti gentamisin, tobramisin, aureomisin, kloramfenikol, polimiksin B
kombinasi dengan basitrasin dan neomisis, kanamisis, asam fusidat, ofloksasin,
dan asidamfenikol. Kombinasi pengobatan antibiotik spektrum luas dengan
deksametason atau hidrokortison dapat mengurangi keluhan yang dialami oleh
pasien lebih cepat (Lang, 2000).
Namun, apabila hasil mikroskopik menunjukkan bakteri gram-negatif
diplokokus seperti neisseria, maka terapi sistemik dan topikal harus diberikan
secepatnya. Seftriakson 1 g, dosis tunggal intramuscular, diberikan apabila tidak
mengenai kornea. Jika ada keterlibatan kornea, maka diberikan seftriakson 1-2
g/hari secara parenteral selama 5 hari. Pemberian obat tersebut diikuti dengan
doksisiklin 100 mg dua kali sehari atau eritromisin 500 mg empat kali sehari
selama 1 minggu. Pada konjungtivitis kataral kronik, diberikan antibiotik topikal
seperti kloramfenikol atau gentamisin diberikan 3-4 kali/ hari selama dua minggu
untuk mengeliminasi infeksi kronik (Khurana, 2007).
Selain itu, eksudat dibilas dengan larutan saline pada konjungtivitis
purulen dan mukopurulen akut. Untuk mencegah penyebaran penyakit, pasien dan
keluarga diedukasi untuk memerhatikan kebersihan diri (Lang, 2000).
e) Prognosis
Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri dalam 10-14 hari tanpa
pengobatan. Namun, konjungtivitis akan sembuh lebih cepat dalam 1-3 hari
apabila diobati dengan tepat. Sebaliknya, infeksi kronik membutuhkan terapi yang
adekuat untuk dapat pulih. Infeksi staphylococcal dapat menimbulkan
blefarokonjungtivitis. Kemudian, konjungtivitis gonococcal dapat menyebabkan
ulkus kornea dan endoftalmitis jika tidak diobati. Oleh karena konjungtiva dapat
menjadi port d’entry, maka septikemia dan meningitis menjadi komplikasi dari
konjungtivitis meningococcal (Ferrer dkk, 2007).
B. KONJUNGTIVITIS VIRAL
56

Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus. Adenovirus


adalah penyebab tersering, sementara Herpes Simplex Virus merupakan etiologi
yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
virus Varicella zoster, Picornavirus, Poxvirus, dan Human Immunodeficiency
Virus. Transmisi terjadi melalui kontak dengan sekret respiratori, sekret okular,
serta benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) seperti handuk. Infeksi dapat
muncul sporadik atau epidemik pada tempat ramai seperti sekolah, RS, atau
kolam renang (Ferrer dkk, 2007).
a. Tanda dan gejala
Presentasi klinis yang muncul berbeda-beda tergantung agen penyebabnya.
Namun pada umumnya konjungtivitis viral, mata akan sangat berair dengan
eksudat minimal, disertai adenopati preaurikular atau radang tenggorokan dan
demam. Vaughan membagi konjungtivitis ke dalam 3 kelompok sbb:
1. Konjungtivitis folikuler viral akut
a. Pharyngoconjunctival fever. Disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4,
dan 7. Ditandai dengan demam 38 – 40 o
C, nyeri tenggorokan, dan
konjungtivitis folikuler pada satu atau kedua mata. Tanda lain dapat
berupa injeksi, mata berair, limfadenopati preaurikular, atau keratitis
epitelial superficial (Ferrer dkk, 2007).
b. Epidemic keratoconjunctivitis.
Disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, dan 29. Sering hanya muncul pada
satu mata, atau bilateral dengan lesi salah satu mata akan lebih berat.
Ditandai dengan injeksi, nyeri, mata berair, kemudian dalam 5 – 14 hari
diikuit dengan fotofobia, keratitis epitelial, dan opasitas subepitelial.
Tanda lain berupa nodul preaurikular, edema kelopak mata, kemosis,
subkonjungtiva hiperemis, dan kadang pseudomembran dan
symblepharon. Pada dewasa, infeksi ini hanya terbatas pada mata,
sedangkan pada anak-anak gejala nyeri tenggorokan dan demam akan
terlihat nyata (Ferrer dkk, 2007).
c, Herpes simplex virus conjungtivitis. Biasanya ditemukan pada anak-
anak, ditandai dengan infeksi unilateral, iritasi, keluar sekret mukoid,
nyeri, dan fotofobia ringan. Muncul pada infeksi primer HSV atau pada
57

episode rekuren herpes okuler. Kadang disertai pula dengan keratitis


herpes simplex. Bentuk konjungtivitis berupa folikuler atau
pseudomembran (jarang). Dapat pula muncul vesikel herpetik pada
kelopak mata dan nyeri pada nodul preaurikuler (Ferrer dkk, 2007).
d, Acute hemorrhagic conjunctivitis. Disebabkan oleh enterovirus tipe 70
atau coxsackievirus tipe A24 (jarang). Penyakit ini memiliki masa
inkubasi yang pendek 8 – 48 jam, dan perjalanan penyakit yang ringkas 5
– 7 hari. Tanda klinis berupa nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, mata
berair, mata merah, kelopak mata bengkak, perdarahan subkonjungtiva,
kemosis. Disertai dengan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva,
dan keratitis epithelial (Ferrer dkk, 2007).
C. Konjungtivitis folikuler viral kronik
Infeksi Molluscum contagiosum ditandai dengan konjungtivitis folikular unilateral
kronik, keratitis superior, dan pannus superior. Lesi berbentuk nodul bulat, waxy,
berwarna putih mutiara, dengan pusatnya bertangkai (Ferrer dkk, 2007).
58

Gambar . (A) Konjungtivitis folikular dengan lesi molluscum; (B) lesi molluscum
pada konjungtiva bulbar; (C) lesi molluscum ekstensif pafa pasien HIV
(Nischal,2011).
D. Blefarokonjungtivitis viral
Infeksi oleh varicella dan herpes zoster, ditandai dengan konjungtivitis hiperemis,
lesi erupsi vesikular sepanjang cabang optalmika dari nervus trigeminalis. Lesi
berbentuk papil, kadang folikel, pseudomembran, dan vesikel. Lesi varicella dapat
muncul pada kulit disekitar mata (Ferrer dkk, 2007).
Dengan demikian, presentasi klinis yang mungkin muncul pada konjungtivitis
viral adalah sebagai berikut :
1. Oedema kelopak mata dan limfadenopati preaurikular,
2. Konjungtiva hiperemis dan muncul folikel,
3. Inflamasi berat dapat diasosiasikan dengan adanya perdarahan konjungtiva
(umumnya ptekiae), chemosis, membran, dan pseudomembran
4. Adanya jaringan parut yang dapat timbul akibat resolusi pseudomembran
atau membrane
5. Uveitis anterior ringan, namun jarang terjadi (Ferrer dkk, 2007).
Pemeriksaan Konjungtivitis
Pada prinsipnya, diagnosis konjungtivitis viral ini dapat ditegakkan
melalui anamnesa dan pemeriksaan oftalmologi, tanpa harus menggunakan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, penting ditanyakan riwayat kontak
dengan penderita konjungtivitis akut (Nischal,2011).
Namun, bila meragukan etiologinya, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang dengan scrap konjungtiva dilanjutkan dengan pewarnaan giemsa. Pada
infeksi adenovirus akan banyak ditemukan sel mononuklear. Sementara pada
infeksi herpes akan ditemukan sel raksasa multinuklear. Badan inklusi
intranuklear dari HSV dapat ditemukan pada sel konjungtiva dan kornea
menggunakan metode fiksasi Bouin dan pewarnaan Papanicolau. Adapaun
pemeriksaan yang lebih spesifik lagi antara lain amplifikasi DNA menggunakan
PCR, kultur virus, serta imunokromatografi (Nischal,2011).
59

Gambar . Keratokonjungtivitis adenoviral. (A) Konjungtivitis folikular, (B)


pseudomembran, (C) residu jaringan parut, (D-F) keratitis (Nischal,2011).
Komplikasi Konjungtivitis
Konjungtivitis viral bisa berkembang menjadi kronis hingga menimbulkan
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya dapat berupa timbulnya
pseudomembran, jaringan parut, keterlibatan kornea, serta muncul vesikel pada
kulit (Ferrer dkk, 2007).
Tatalaksana Konjungtivitis
1. Mengurangi risiko transmisi
a. Menjaga kebersihan tangan, mencegah menggaruk mata
b. Tidak menggunakan handuk bersamaan
c. Disinfeksi alat-alat kedokteran setelah digunakan pada pasien yang
terinfeksi menggunakan sodium hipoklorit, povidone-iodine
(Nischal,2011).
2. Steroid topikal
a. Prednisolone 0,5% 4xsehari  pada konjungtivitis
psuedomembranosa atau membranosa
b. Keratitis simtomatik  steroid topikal lemah, hati-hati dalam
penggunaan, gejala dapat muncul kembali karena steroid hanya
menekan proses inflamasi.
60

c. Steroid dapat membantu replikasi virus dan memperlama periode


infeksius pasien.
d. Harus monitoring tekanan intraokular jika penggunaan steroid
diperpanjang (Nischal,2011).
3. Lainnya
a. Untuk infeksi varicella zoster, Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg
5x sehari selama 10 hari) diberikan jika progresi memburuk.
b. Pada keratitis herpetik dapat diberikan acyclovir 3% salep 5x/hari,
selama 10 hari, atau dengan acyclovir oral, 400 mg 5x/hari selama
7 hari.
c. Stop menggunakan lensa kontak
d. Artificial tears 4xsehari
e. Kompres hangat atau dingin
f. Insisi/pengankatan jaringan pseudomembran atau membran
g. Antibiotik topikal jika diduga ada infeksi bateri sekunder
h. Povidone-iodine
i. Jika sudah ada ulkus kornea, lakukan debridement Nischal,2011).

Prognosis Konjungtivitis
Konjungtivitis virus merupakan penyakit limited disease, yang dapat sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Pada infeksi adenovirus, infeksi
dapat hilang sempurna dalam 3 – 4 minggu, dan 2 – 3 minggu untuk HSV. Dan
infeksi enterovirus tipe 70 atau coxsackievirus tipe A24  sembuh dalam 5 – 7
hari, tanpa butu tatalaksana khusus (Ferrer dkk, 2007).
E. KONJUNGTIVITIS ALLERGIKA
Merupakan bentuk alergi pada mata yang disebabkan oleh reaksi sistem imun
pada konjungtiva.
a) Tanda dan gejala
Bervariasi untuk tiap kelompok.
1. Reaksi hipersensitivitas tipe cepat (humoral)
a. Hay fever conjunctivitis (pollens, grasses, animal danders, etc).
61

Merupakan inflamasi nonspesifik yang diasosiasikan dengan hay fever (rinitis


alergika). Terdapat riwayat alergi pada pollen, rumput, atau bulu hewan
sebelumnya. Mata akan gatal, berair, dan sangat merah. Jika alergern persisten,
maka akan tampak gambaran konjungtivitis papiler (Ferrer dkk, 2007).
b. Vernal keratoconjunctivitis
Dikatakan sebagai konjungtivitis musiman, yang penyebabkan kadang sulit
untuk diketahui. Riwayat alergi sebelumnya kadang diketahui. Gejala berupa
gatal dan keluar kotoran jernih yang kental. Tampakan dapat berupa
konjungtivitis folikuler atau papiler yang besar-besar (Ferrer dkk, 2007).
c. Atopic keratoconjunctivitis
Dimiliki pada pasien dengan dermatitis atopik. Gejala berupa sensasi panas
terbakar dengan kotoran mukoid pada mata, mata merah, dan fotofobia. Papila
koeratokonjungtivitis lebih kecil (Ferrer dkk, 2007).
d. Giant papillary conjunctivitis
Gejala mirip konjungtivitis vernal yang berkembang pada pasien dengan
penggunaan air mata artifisial dan lensa kontak (Ferrer dkk, 2007).
2. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (seluler)
a. Phylctenulosis. Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat
pada protein mikroba, termasuk basil tuberkulosis, spesies
staphylococcus species, Candida albicans, Coccidioides immitis,
Haemophilus aegyptius, dann Chlamydia trachomatis. Gejala diawali
dengan lesi kecil, merah, tinggi, yang dikelilingi dengan zona hiperemi,
terasa gatal dan mata berair. Pada limbus terdapat bentuk triangular
dengan apex mengarah pada kornea yang dapat membuat ulkus.
Biasanya dipicu dengan blefaritis, konjungtivitis bakterial akut, dan
defisiensi diet (Ferrer dkk, 2007).
b. Konjungtivitis ringan sekunder akibat kontak dengan blepharitis.
Blefaritis kontak akubat atropine, antibiotik, neomycin, atau broad-
spectrum antibioticsdiikuti dengan hiperemia, papiler, kotoran mukoid,
dan iritasi (Ferrer dkk, 2007).
3. Penyakit autoimun
a. Keratoconjunctivitis sicca yang diasosiasikan dengan sindroma Sjögren
62

Sinrom ini ditandai dengan triad: keratoconjunctivitis sicca, xerostomia,


danarthritis. Kelenjar lakrimal terinfiltrasi oleh limfosit dan sel plasma
sehingga rusak. Muncul gejala berupa konjungtiva bulbar hiperemis, iritasi,
denngan kotoran mukoid (Ferrer dkk, 2007).
b. Cicatricial pemphigoid. Diawali dengan konjungtivitis kronik
nonspesifik yang resisten terhadap terapi. Progresi hingga membentuk
scar pada fornix dan entropion dengan trichiasis (Ferrer dkk, 2007).
Pemeriksaan Konjungtivitis
Pemeriksaan diarahkan pada anamnesis riwayat alergi dan tampilan klinis.
Penggunaan metode scrapping dan melihat sel imun dibawah mikroskop dapat
dilakukan, namun kurang efektif. Hanya pada konjungtivitis sicca, diagnosis
dilakukan menggunakan biopsi dan menemukan infiltrasi sel limfositik dan
plasma pada kelenjar saliva (Ferrer dkk, 2007).
Komplikasi Konjungtivitis
Komplikasi bergantung pada perjalanan dan lokasi penyakit. Jika konjungtivitis
berlangsung kronik atau mengenai media refraksi, maka dapat meinggalkan
jaringan parut yang akan mengganggu pandangan (Ferrer dkk, 2007)
Tatalaksana Konjungtivitis
Pada dasarnya terapi yang diberikan berupa terapi suportif pemberian
vasokonstriktor-antihistamin topikal, kompres dingin untuk mengurangi gatal,
antihistamin oral, dan steroid topikal untuk mengurangi infeksi. Pemberian steroid
harus dengan hati-hati, karena hanya mensupresi gejala, bukan menyingkirkan
penyebab utama. Pada pasien dengan kecurigaan infeksi sekunder bakteri, dapat
diberikan antibiotik topikal. Sedangkan pada kasus-kasus akibat alergi dengan air
mata artifisial atau lensa kontak, penanganan terbaik adalah menghentikan
penggunaannya atau mengalihkan dengan jenis lain. Sedangkan pada
konjungtivitis sicca, tatalaksana hanya berupa suportif, menggantikan fungsi
kelenjar air mata yang hilang, menggunakan air mata artifisial. Hal lain yang juga
perlu diperhatikan adalah mengupayakan untuk menghindari kontak dengan
allergen (Ferrer dkk, 2007).
Prognosis Konjungtivitis
63

Konjungtivitis ini bersifat selflimited, ketika alergen hilang, maka reaksi inflamasi
diharapkan juga berhenti. Beberapa memiliki masa perjalanan penyakit yang
pendek, namun ada pula yang berjalan kronik, tergantung dengan kapasitas sitem
imun pasien. Penyakit ini banyak timbul pada usia anak, remaja, hingga dewasa.
Pada sebagian kasus rekurensi berkurang jauh ketika meninjak usia tua, diatas 40
– 50 tahun (Ferrer dkk, 2007).

2.9 Konjungtivitis Kronis


2.9.1. Trakoma
Disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Dapat mengenai segala umur
tapi lebih banyak pada orang muda dan anak-anak. Cara penularan penyakit ini
adalah melalui Kontak langsung dengan sekret penderita trakoma atau melalui alat
kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat kecantikan, dll. Masa inkubasi kurang
lebih selama 7 hari. Keluhan pasien berupa fotopobia, gatal, berair, eksudasi,
edema palpebra, kemosis konjungtiva bulbaris dan hipertrofi papil (Lang, 2006).
Stadium trakoma :
a. Stadium I (hiperplasi limfoid). Terdapat hipertrofi papil dengan folikel
yang kecil yang kecil pada konjungtiva tarsus superior, yang
memperlihatkan penebalan daan kongesti pada pembuluh darah
konjungtiva. Sekret yang sedikit dan jernih bila tidak ada infeksi sekunder.
b. Stadium II : terdapat hipertrofi papiler dan folikel yang matang (besar)
pada konjungtiva tarsus superior, ditemukan pannus trakoma yang jelas.
Pannus adalah pembuluh darah yang terletak didaerah limbus atas dengan
infiltrat.
c. Stadium III : terdapat parut pada konjungtiva tarsus superior yang terlihat
sebagai garis putih yang halus. Sejajar dengan margo palpebra. Gambaran
papil pata tahap ini sudah terLIS terlihat berkurang.
d. Stadium IV : suatu pembentukan parut yang sempurna pada konjungtiva
tarsus superior hingga menyebabkan perubahan bentuk pada tarsusyang
menyebabkan perubahan enteropium dan trikiasis.
64

Pengobatan trakoma dengan tetrasiklin 1-1,5 gr / hari peroral dalam 4 dosis


selama 3-4 minggu. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga personal
hygiene dan memakan makanan bergizi (Lang, 2006).
2.9.2. Konjungtivitis toksik
Terjadi akibat iritasi benda asing pada mata. Disebabkan hipereaksi sistem
imun pada alergen seperti obat topikal, lensa kontak, debu dan kotoran. Dapat
terjadi pada satu sisi mata (unilateral) atau dua sisi (bilateral). Gejala berupa rasa
gatal pada mata, berair dan rasa terbakar. Dari pemeriksaan didapat infeksi
konjungtiva palpebra dan bulbus, kemosis, folikel dan papil pada konjungtiva,
palpebra superior atau inferior serta tidak ditemukan pembesaran kelenjar. Dari
anamnesis didapat riwayat penggunaan obat mata yang lama (Lang, 2006).
Penanganan bersifat simptomatis, berupa kompres dingin, air mata buatan
dan salep mata penyejuk. Dekongestan topical bisa diberikan sebagai
vasokonstriksi sehingga mengurangi hiperemi (Lang, 2006).
2.9.3. Konjungtivitis folikuler viral
Gejala klinis berupa :
a. odem kelopak mata dan limfodenopati preaurikuler
b. konjungtiva hiperemis dan muncul folikel
c. inflamasi berat dapat dihubungkan dengan adanya pendarahan konjungtiva
d. adanya jaringan parut akibat resolusi pseudomembran atau membrane
e. uveitis anterior ringan (Lang, 2006)
Penatalaksanaan yaitu dengan mengurangi risiko transmisi dengan menjaga
kebersihan tangan, mencegah menggaruk mata dan tidak menggunakan handuk
bersama. Dapat ditatalaksana dengan eksisi nodul atau krioterapi. Bisa diberikan
antibiotik dan steroid topical seperti prednisolone (Lang, 2006).
2.9.4. Konjungtivitis bacterial kronik
Dapat disebabkan oleh infeksi gonokokus, meningokokus, stafilokokus,
streptokokus, E. Coli maupun Haemophylus influenza. Gejala berupa secret
mukopurulen dan purulent, kemosis konjungtiva, edem kelopak, kadang disertai
keratitis dan blefaritis. Mudah menyebar ke mata pada sisi lain maupun pada
orang lain. Pengobatan dengan Seftriakson 1 gr dosis tunggal intramuskuler
(Lang, 2006).
65

Anda mungkin juga menyukai