Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SKLERITIS
2.1.1 Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis (Khurana, 2007).
2.1.2 Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat
insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien
yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya
adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit
ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau
mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan (Khurana,
2007).
Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras.
Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden
skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun
(Khurana, 2007).
2.1.3 Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah
katarak (Khurana, 2007).
Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu:
1. Penyakit Autoimun
Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid, Poliartritis nodosa,
Polikondritis berulang, Granulomatosis Wegener, Lupus eritematosus
3
4
Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda
yang berpotensi mengalami rekurensi. Gejala klinis yang muncul berupa rasa
tidak nyaman pada mata, disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia.
Terdapat pelebaran pembuluh darah baik difus maupun segmental. Wanita lebih
banyak terkena daripada pria dan sering mengenai usia dekade 40-an (Khurana,
2007).
b. Nodular
Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk simple
scleritis. Sekitar 30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan dengan
penyakit sistemik, 5% dihubungkan dengan penyakit kolagen vaskular seperti
artritis rematoid, 7% dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3%
dihubungkan dengan gout (Khurana, 2007).
2. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior
sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya.
Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik
dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus,
walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi.
Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih
nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati (Bolumleri, 2008).
a. Difus
Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout (Khurana, 2007).
b. Nodular
Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus (Khurana, 2007).
c. Necrotizing
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus.
29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Bentuk skleritis
nekrotik terbagi 2 yaitu:
i. Dengan inflamasi
ii. Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)
6
3. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan
skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan
penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya
perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina,
perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli
anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi
kelopak mata bawah (Bolumleri, 2008).
2.1.6 Diagnosis
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.
ANAMNESIS
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun
riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh
(Khurana, 2007).
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan
penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri
adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf
akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat,
nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang
malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan
penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai
sekret mukopurulen (Khurana, 2007).
Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari
skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis,
uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal (Bolumleri, 2008).
7
2.2 Episkleritis
2.2.1 Definisi
Episkleritis didefinisikan sebagai peradangan lokal sklera yang relatif
sering dijumpai. Kelainan ini bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus, dan
insidens pada kedua jenis kelamin wanita tiga kali lebih sering dibanding pria.
Episklera dapat tumbuh di tempat yang sama atau di dekatnya di jaringan
palpebra. Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang
terletak antara konjungtiva dan permukaan sklera. Perjalanan penyakit mulai
dengan episode akut dan terdapat riwayat berulang dan dapat berminggu-minggu
atau beberapa bulan. Ada dua jenis episkleritis :
1. Episkleritis simple. Ini adalah jenis yang paling umum dari episkleritis.
Peradangan biasanya ringan dan terjadi dengan cepat. Hanya berlangsung
selama sekitar tujuh sampai 10 hari dan akan hilang sepenuhnya setelah
12
dua sampai tiga minggu. Pasien dapat mengalami serangan dari kondisi
tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan. Penyebabnya seringkali
tidak diketahui.
2. Episkleritis nodular. Hal ini sering lebih menyakitkan daripada episkleritis
simple dan berlangsung lebih lama. Peradangan biasanya terbatas pada
satu bagian mata saja dan mungkin terdapat suatu daerah penonjolan atau
benjolan pada permukaan mata. Ini sering berkaitan dengan kondisi
kesehatan, seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus (Khurana, 2007).
A. Episkleritis nodular
B. Episkleritis simple
2.2.2 Etiologi
Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui penyebab
pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang selalu
berhubungan dengan terjadinya episkleritis. Kondisi-kondisi tersebut adalah
penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan, tendon atau jaringan ikat lain
dari tubuh, seperti:
1. Rheumatoid arthritis
2. Ankylosing spondylitis
3. Lupus (systemic lupus erythematosus)
4. Inflammatory bowel diseases seperti crohn’s disease and ulcerative colitis
5. Gout
13
6. Bacterial atau viral infection seperti lyme disease, syphilis atau herpes
zoster
7. Beberapa penyakit lain yang kurang umum, penyebab episkleritis
termasuk jenis kanker tertentu, penyakit kulit, gangguan defisiensi imun
dan, yang paling jarang berhubungan adalah gigitan serangga (Khurana,
2007).
2.2.3 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya episkleritis diduga disebabkan oleh prose autoimun.
Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan
kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa
kronik (hipersensitivitas tipe IV) (Khurana, 2007).
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala episkleritis meliputi:
1. Sakit mata dengan rasa nyeri ringan
2. Mata kering
3. Mata merah pada bagian putih mata
4. Kepekaan terhadap cahaya
5. Tidak mempengaruhi visus (Khurana, 2007)
Tanda objektif pada episkleritis:
1. Kelopak mata bengkak
2. Konjungtiva bulbi kemosis disertai dengan pelebaran pembuluh darah
episklera dan konjungtiva.
3. Bila sudah sembuh, warna sklera berubah menjadi kebiru-biruan
4. Pemeriksaan mata memperlihatkan hiperemia lokal sehingga bola mata
tampak berwarna merah atau keunguan yang menunjukkan pembuluh
darah episklera yang melebar
5. Pembuluh darah episklera dapat mengecil bila diberikan fenilefrin 2,5%
(Khurana, 2007).
Bentuk radang yang terjadi pada episklerisis nodular mempunyai gambaran
khusus, yaitu berupa benjolan setempat dengan batas tegas dan warna putih di
bawah konjungtiva. Bila benjolan itu ditekan dengan kapas atau ditekan pada
kelopak di atas benkolan, akan memberikan rasa sakit, rasa sakit akan menjalar ke
14
2.3 PTERIGIUM
2.3.1 Definisi Pterigium
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas. Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu
16
limbal sel sebesar 14 % dan kekambuhan pasca bare sclera sebesar 40-75 % serta
conjungtival graft sebesar 3-5% (Dzunic, 2010).
2.3.2 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi
permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama
konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena
fakta bahwa ia menhubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari
pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut
sakus konjungtiva yang terbuka di depan fisura palpebral (Dzunic, 2010).
Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian
1. Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata
dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva
marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak
mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni
sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan
konjungtiva lebuih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak
mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata
atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.
Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks (Dzunic, 2010).
2. Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat
pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.
Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul
Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar
kornea disebut
konjungtiva limbal (Dzunic, 2010).
3. Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat
pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan
struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix
dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi
(Dzunic, 2010).
18
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan
adenoid, dan lapisan fibrosa.
1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing
daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal
memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2
lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam
terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis
epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari
sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva
memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng
(Dzunic, 2010).
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan
ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukan
ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal
ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak
menghasilkan reaksi folikuler (Dzunic, 2010).
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva
tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh
dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul
Tenon di daerah konjungtiva bulbar (Dzunic, 2010).
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar
uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva
tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-
kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan
konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat
pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8
buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas
tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior) (Dzunic, 2010).
19
Vaskularisasi Konjungtiva
Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah
muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya
berbentuk cekung. Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di
canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan
modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar
keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut (Dzunic, 2010).
20
Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga
menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-Rb-TGF-
β. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-β. Banyaknya
sekresi TGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan
jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium
(sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP,
dan MT2-MMP, yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom.
Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju
ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena
produksi TGF-β oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di
atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak
kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus
berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke
kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan
berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea. Sebagai
tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan peningkatan
monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma. Kemudian,
sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di
depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF-β-bFGF
untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam
penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi
fibroblast untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang
memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman
(Dzunic, 2010).
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell. Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi
conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan
membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium
dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan
24
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.
Pterigium
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. (Dzunic, 2010).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang di sebabkan oleh pterigium (Dzunic, 2010).
2.3.8 Penatalaksanaan Pterigium
Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan,
penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati
dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk
menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium
yang meradang atau iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi
antihistamin dan atau kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari (Dzunic,
2010).
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang
dapat diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang
mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil, tunggu
sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di gerakan okular
(Dzunic, 2010).
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah yang
digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium.
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat
rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
27
atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit
untuk ditangani (Dzunic, 2010).
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi.
Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat
rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts
konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada
kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah
pterigium yang ada dapat terjadi (Dzunic, 2010).
2.3.11 Prognosis Pterigium
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakn
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan
pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto
graft atau transpalantasi membrane amnion (Dzunic, 2010).
2.4 Pseudopterigium
2.4.1 Definisi Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadai pada proses penyembuhan tukak
kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Letak pseudopterygium ini pada
daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya.
Pseudopterygium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit
peradangan pada kornea (Raju, 2008).
Pseudopterygium kadang-kadang disebut sebagai cicatricial
pterygium. Sebuah pterygium benar memiliki tepi yang bisa diangkat dengan
forceps dan lipatan konjungtiva yang telah melekat pada kornea akibat cedra
didekat limbus, keadaan apabila terdapat suatu ulkus kornea atau kerusakan
permukaan kornea, dan dalam proses penyembuhannya konjungtiva menutupi
luka tersebut sehingga terlihat seolah - olah konjungtiva menutupi kornea (Raju,
2008).
2.4.2 Etiologi Pseudopterigium
Pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrik, trauma bedah,
29
ulkus perifer kornea atau juga dapat terjadi sekunder untuk iritasi mekanis kronis
dari gerakan lensa kontak yang terkait dengan pelumasan yang tidak memadai dari
permukaan kornea. Sebuah pseudopterygium muncul dari kehancuran marjinal,
epitel kornea melalui trauma, misalnya caustic, luka bakar atau konjungtiva
inflammation. perpindah dari daerah luka dan menjadi tetap ditempat tersebut.
Sebuah pseudopterygium tidak menunjukkan kecenderungan untuk kemajuan. Hal
ini dapat berkembang pada setiap titik lingkar kornea (Raju, 2008).
2.4.3 Perbedaan Pseudo-pterigium dengan pterigium :
1. puncak pterigium menunjukan pulau - pulau Fuchs pada kornea sedangkan
pseudopterigium tidak
2. pseudoptergium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea, sedangkan
pterigium tidak
3. pembuluh darah konjungtiva lebih menonjol pada pterigium daripada
pseudopterigium
4. pada pseudopterigium dapat dimasukan sonde di bawahnya, sedangkan
pterigium tidak (Raju, 2008).
Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan, kecuali
sangat mengganggu visus, atau untuk alasan kosmetik (Raju, 2008)..
2.4.4 Gambaran klinis Pseudopterigium :
1. Adhesi dari konjungtiva ke kornea perifer.
2. Dapat terjadi pada setiap kuadran kornea.
3. Tidak memiliki adhesi perusahaan di seluruh struktur yang mendasari, dan
kadang-kadang memiliki terdepan luas pada permukaan kornea.
4. Temuan ini membedakannya dari pterygium (Raju, 2008).
Pseudopterygium dapat ditemukan di bagian apapun pada kornea dan biasanya
berbentuk obliq. Sedangkan pterygium ditemukan secara horizontal pada posisi
jam 3 atau jam 9 (Raju, 2008).
2.4.5 Ciri-ciri dari Pseudopterygium yaitu :
1. Lokasi pada : Pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea
sebelumnya
2. Progresifitas : selalu stasioner
3. Riwayat penyakitnya : Ulkus kornea (+)
30
pembuluh darah yang mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning
kelabu seperti seperti mikroabses di sekitar limbus (Witcher, 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh reaksi antigen ini dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan dalam 2 minggu, namun tetap ada kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Pengobatan konjungtivitis flikten meliputi pemberian
steroid topikal, midriatika bila terjadi penyulit kornea, kacamata hitam untuk
menghindari silau yang sakit, antibiotik salep mata terutama saat sebelum tidur,
dan air mata buatan. Namun, pengobatan yang paling tepat adalah mencari
penyebab dari konjungtivitis, seperti: tuberkulosis, blefaritis stafilokokus kronik,
dan limfogranuloma venerea. Pengobatan tambahan untuk perbaikan gizi terutama
pada anak-anak seperti vitamin dan asupan makanan tambahan juga berperan
penting dalam proses penyembuhan. Penyulit dalam kasus ini adalah
menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya reaksi sekunder sehingga
timbul abses (Witcher, 2007).
Referat ini akan membahas konjungtivitis flikten secara menyeluruh.
Adapun referat ini dibuat guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik ilmu penyakit
mata Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto (Witcher, 2007).
2.5.2 Anatomi dan Fisiologi
Konjungtiva merupakan selaput lendir atau disebut juga sebagai lapisan
mukosa. Konjungtiva terdiri atas epitel sel kolumnar bertingkat yang melapisi
bagian sklera bola mata dan kelopak mata bagian dalam. Pada epitel kolumnar
bertingkat terdapat sel goblet yang berfungsi untuk menghasilkan musin dan air
mata sehingga dapat melembabkan bola mata dan mempermudah kelopak mata
untuk membuka ataupun menutup. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Konjungtiva tarsal atau palpebra berada di bagian posterior kelopak mata
dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva tarsal superior dan inferior
akan menutupi jaringan episklera disepanjang bola mata sampai
berbatasan dengan konjungtiva bulbar.
2. Konjungtiva bulbar menempel secara longgar pada septum orbital di
bagian forniks dan dapat dilipat berkali-kali, hal ini untuk mempermudah
pergerakan mata dan pembesaran kelenjar air mata. Konjungtiva bulbar
juga secara longgar kapsul tenon dan seluruh permukaan sklera.
32
tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva juga terdapat kelenjar aksesoris
(kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan fungsi dan struktur
kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks superior dari
pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus
bagian atas (Witcher, 2007).
2.5.3 Patofisiologi Konjungtivitis flikten
Flikten adalah tonjolan sebesar jarum pentul yang terutama terletak di
daerah limbus, berwarna kemerah-merahan. Flikten konjungtiva mulai berupa lesi
kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah, menonjol dan dikelilingi zona
hiperemi1. Flikten umumnya bersifat unilateral dan terjadi di limbus, namun ada
juga yang terjadi di kornea, bulbus dan tarsus. Pada limbus sering berbentuk
segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Di daerah ini terbentuk pusat putih
kelabu yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Secara
histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit,
makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak (Witcher, 2007).
adalah proses inflamasi10. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1
akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel Th17 akan didominasi oleh
neutrophil (Witcher, 2007).
Sikloplegik hanya dibutuhkan jika dicurigai adanya iritis. Dapat juga diberikan
Roboransia yang mengandung vitamin A, B kompleks, dan C untuk memperbaiki
keadaan secara general1. Pada pemberian kortikosteroid lokal dalam jangka waktu
lama perlu diwaspadai kontraindikasi dan adanya berbagai faktor penyulit antara
lain infeksi sekunder jamur atau virus, munculnya Glaukoma maupun Katarak
(Witcher, 2007).
2.5.8 Prognosis Konjungtivitis flikten
Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten
akan sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali
flikten pada limbus (Witcher, 2007).
2.6 Pinguekula
2.6.1 Pengertian Pinguekula
Pinguekula adalah suatu tumor jinak berupa penonjolan berwarna putih
kekuningan dikonjungtiva yang biasanya tumbuh didaerah nasal konjungtiva
(Witcher, 2007).
2.6.2 Etiologi dan faktor resiko Pinguekula
41
disamping kontak langsung, juga dari pantulan hidung. Hal ini mengakibatkan
pinguekula lebihsering terjadi pada daerah nasal konjungtiva (Witcher, 2007).
Pinguekula dianggap terjadi akibat degenerasi atau degradasi serat kolagen
dalam konjungti!a. Degenerasi konjungtiva menciptakan deposit
dan pembengkakan jaringan yang biasanya akan datar. Pinguekula lebih umum
terjadi pada orang paruh baya atau lebih tua. Hal ini karena seiring
bertambahnya usia, kelenjar lakrimalis mulai menurun fungsinya untuk
membasahi mata sehingga mata cenderung kering dan tidak terlindungi. namun,
mereka bisa muncul lebih awal jika seseorang di bawah sinar matahari sangat
sering. Pinguekula mungkin bertambah parah dari waktu
ke waktu dan tumbuh lebih besar terutama jika perlindungan terhadap matahari
tidak digunakan (Witcher, 2007).
2.6.4 Manifestasi Klinis Pinguekula
Pinguekula sering bermanifestasi di dekat limbus pada zona interpapebral,
paling sering daerah nasal, berupa penonjolan putih kekuningan, deposit
subepithelial yang amorf. pinguekula dapat membesar secara bertahap dalam
periode waktu yang lama. (nflamasi berulang dan iritasi okuli mungkin dijumpai
43
2.7 Blefaritis
2.7.1 Definisi Blefaritis
Blefaritis adalah radang pada kelopak mata, sering mengenai bagian
kelopak mata dan tepi kelopak mata. Pada beberapa kasus disertai tukak atau tidak
pada tepi kelopak mata, biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut.
Blefaritis adalah peradangan bilateral sub akut/menahun pada tepi kelopak mata
(margo palpebra).
Blefaritis adalah inflamasi pada pinggir kelopak mata biasanya disebabkan oleh
sthopilokokus (Witcher, 2007).
Ada 2 macam blefaritis :
1. Infeksi yang terjadi pada kelopak mata. Pada kasus ini bulu mata rontok
dan tidak diganti oleh yang baru karena ada destriksi folikel rambut. Pada
pangkal rambut terdapat sisik kering (krusta) berwarna kuning pada bulu mata.
Palpebra merah (mata”bertepi merah”)
45
dan rasa kelilipan. Gejalanya adalah sekret yang keluar dari kelenjar meiborn, air
mata berbusa pada kantus lateral, hiperemia, dan hipertropi pupil pada
konjungtiva. Pada kelopak dapat terbentuk kalazion, hordeolum, madarosis,
poliosis, dan jaringan keropeng. Pengobatannya adalah dengan membersihkan
menggunakan kapas lidi hangat. Kompres hangat sela 5-10 menit. Kelenjar
meibom ditekan dan dibersihkan dengan shampo bayi (Witcher, 2007).
c. Blefaritis Skumosa
Blefaritis skuamosa adalah blefaritis disertai adanya skuama atau krusta pada
pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak mengakibatkan terjadinya luka kulit.
Merupakan peradangan tepi kelopak terutama yang mengenai kulit didaerah akar
bulu mata dan sering terdapat pada orang yang berambut minyak. Penyebabnya
adalah kelainan metabolik ataupun oleh jamur. Pasien dengan blefaritis skuamosa
akan terasa gatal dan panas. Pada blefaritis skuamosa terdapat sisik berwarna
halus-halus dan penebalan margo palpebra disertai madarosis. Sisik ini mudah
dikupas dari dasarnya mengakibatkan pendarahan. Pengobatan blefaritis
skuamosa ialah dengan membersihkan tepi kelopak dengan shampo bayi, salep
mata, dan steroid setempat disertai dengan memperbaiki metabolisme pasien
(Witcher, 2007).
d. Blefaritis Ulseratif
Merupakan peradangan tepi kelopak atau blefaritis dengan tukak akibat
infeksi staphylococcus. Pada blefaritis ulseratif terdapat keropeng berwarna
kekuning-kuningan yang bila diangkat akan terlihat ulkus yang kecil dan
mengeluarkan darah disekitar bulu mata. Pada blefaritis ulseratif skuama yang
terbentuk bersifat kering dan keras, yang bila diangkat akan terjadi luka dngan
disertai pendarahan. Pengobatan dengan antibiotik dan higiene yang baik
sedangkan pada blefaritis ulseratif dapat dengan sulfasetamid, gentamisin atau
basitrasin. Apabila ulseratif mengalami peluasan, pengobatan harus ditambah
antibiotik sistemik dan diberi roboransia (Witcher, 2007).
e. Blefaritis Angularis
Merupakan infeksi staphlococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau
kantus. Blefaritis angularis yang mengenai sudut kelopak mata (kantus eksternus
dan internus) sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi puntum
48
13.
14. Mata tampak merah dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva yang
difus (injeksi konjungtiva).
A. KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL
a) Tanda dan Gejala
Dua bentuk konjungtivitis bakterial adalah akut dan kronik. Konjungtivitis
bacterial akut (subakut) yang disebabkan oleh Haemophilus influenza bersifat
54
self-limited dengan lama sakit melebihi dua minggu (tanpa pengobatan) dan
eksudat tipis, berair, serta flokulen.Konjungtivitis purulen yang disebabkan
olehNeisseria gonorrhoeae atau Neisseria meningitidis menyebabkan komplikasi
yang serius jika tidak diobati dengan benar (Ferrer dkk, 2007).
Konjungtivitis bilateral dengan eksudat purulen dan biasanya
pembengkakan kelopak mata. Umumnya, infeksi bersifat unilateral pada mulanya
kemudian mengenai mata yang lain melalui tangan. Konjungtivitis purulen yang
banyak dapat disebabkan oleh N gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan N
meningitides yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan pengobatan
segera. Penundaan dapat menyebabkan kerusakan kornea, kebutaan, dan sepsis.
Sedangkan konjungtivitis mukopurulen akut, penyebab tersering adalah
Streptococcus pneumonia (Ferrer dkk, 2007).
Konjungtivitis kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakriminal dan dakriosistitis kronik. Disamping itu, blefaritis bacterial kronik
atau disfungsi kelenjar meibom juga dapat menyebabkan konjungtivitis kronik
(Ferrer dkk, 2007).
b) Pemeriksaan Laboratorium
Sebagian besar diagnosis dapat ditegakkan dengan tanda dan gejala. Oleh
karena itu, pemeriksaan laboratorium dilakukan apabila konjungtivitis tidak
responsif terhadap antibitotik. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah
pewarnaan Gram untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab. Pewarnaan
Giemsa bertujuan untuk mengidentifikasi tipe sel dan morfologi.Kerokan
konjungtiva dan kultur dianjurkan apabila terdapat sekret purulen, membranosa,
atau pseudomembranosa (Lang, 2000).
c) Komplikasi
Pada infeksi staphylococcal dapat terbentuk blefaritis marginal kronik.
Selain itu, konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa akan menimbulkan
sikatriks dalam proses penyembuhan, dan lebih jarang menyebabkan ulkus
kornea. Ulkus kornea marginal mempermudah infeksi N gonorrhoeae, N kochii,
N meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Apabila produk toksik
N gonorrhoeae menyebar pada bilik mata depan, akan terjadi iritis toksik (Ferrer
dkk, 2007).
55
d) Pengobatan
Terapi empiris didahulukan sebelum hasil tes sensitivitas antibiotik
tersedia. Adapun terapi empiris yang dapat diberikan adalah Polytrim dalam
bentuk topical. Sediaan topikal yang diberikan dalam bentuk salep atau tetes mata
adalah seperti gentamisin, tobramisin, aureomisin, kloramfenikol, polimiksin B
kombinasi dengan basitrasin dan neomisis, kanamisis, asam fusidat, ofloksasin,
dan asidamfenikol. Kombinasi pengobatan antibiotik spektrum luas dengan
deksametason atau hidrokortison dapat mengurangi keluhan yang dialami oleh
pasien lebih cepat (Lang, 2000).
Namun, apabila hasil mikroskopik menunjukkan bakteri gram-negatif
diplokokus seperti neisseria, maka terapi sistemik dan topikal harus diberikan
secepatnya. Seftriakson 1 g, dosis tunggal intramuscular, diberikan apabila tidak
mengenai kornea. Jika ada keterlibatan kornea, maka diberikan seftriakson 1-2
g/hari secara parenteral selama 5 hari. Pemberian obat tersebut diikuti dengan
doksisiklin 100 mg dua kali sehari atau eritromisin 500 mg empat kali sehari
selama 1 minggu. Pada konjungtivitis kataral kronik, diberikan antibiotik topikal
seperti kloramfenikol atau gentamisin diberikan 3-4 kali/ hari selama dua minggu
untuk mengeliminasi infeksi kronik (Khurana, 2007).
Selain itu, eksudat dibilas dengan larutan saline pada konjungtivitis
purulen dan mukopurulen akut. Untuk mencegah penyebaran penyakit, pasien dan
keluarga diedukasi untuk memerhatikan kebersihan diri (Lang, 2000).
e) Prognosis
Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri dalam 10-14 hari tanpa
pengobatan. Namun, konjungtivitis akan sembuh lebih cepat dalam 1-3 hari
apabila diobati dengan tepat. Sebaliknya, infeksi kronik membutuhkan terapi yang
adekuat untuk dapat pulih. Infeksi staphylococcal dapat menimbulkan
blefarokonjungtivitis. Kemudian, konjungtivitis gonococcal dapat menyebabkan
ulkus kornea dan endoftalmitis jika tidak diobati. Oleh karena konjungtiva dapat
menjadi port d’entry, maka septikemia dan meningitis menjadi komplikasi dari
konjungtivitis meningococcal (Ferrer dkk, 2007).
B. KONJUNGTIVITIS VIRAL
56
Gambar . (A) Konjungtivitis folikular dengan lesi molluscum; (B) lesi molluscum
pada konjungtiva bulbar; (C) lesi molluscum ekstensif pafa pasien HIV
(Nischal,2011).
D. Blefarokonjungtivitis viral
Infeksi oleh varicella dan herpes zoster, ditandai dengan konjungtivitis hiperemis,
lesi erupsi vesikular sepanjang cabang optalmika dari nervus trigeminalis. Lesi
berbentuk papil, kadang folikel, pseudomembran, dan vesikel. Lesi varicella dapat
muncul pada kulit disekitar mata (Ferrer dkk, 2007).
Dengan demikian, presentasi klinis yang mungkin muncul pada konjungtivitis
viral adalah sebagai berikut :
1. Oedema kelopak mata dan limfadenopati preaurikular,
2. Konjungtiva hiperemis dan muncul folikel,
3. Inflamasi berat dapat diasosiasikan dengan adanya perdarahan konjungtiva
(umumnya ptekiae), chemosis, membran, dan pseudomembran
4. Adanya jaringan parut yang dapat timbul akibat resolusi pseudomembran
atau membrane
5. Uveitis anterior ringan, namun jarang terjadi (Ferrer dkk, 2007).
Pemeriksaan Konjungtivitis
Pada prinsipnya, diagnosis konjungtivitis viral ini dapat ditegakkan
melalui anamnesa dan pemeriksaan oftalmologi, tanpa harus menggunakan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, penting ditanyakan riwayat kontak
dengan penderita konjungtivitis akut (Nischal,2011).
Namun, bila meragukan etiologinya, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang dengan scrap konjungtiva dilanjutkan dengan pewarnaan giemsa. Pada
infeksi adenovirus akan banyak ditemukan sel mononuklear. Sementara pada
infeksi herpes akan ditemukan sel raksasa multinuklear. Badan inklusi
intranuklear dari HSV dapat ditemukan pada sel konjungtiva dan kornea
menggunakan metode fiksasi Bouin dan pewarnaan Papanicolau. Adapaun
pemeriksaan yang lebih spesifik lagi antara lain amplifikasi DNA menggunakan
PCR, kultur virus, serta imunokromatografi (Nischal,2011).
59
Prognosis Konjungtivitis
Konjungtivitis virus merupakan penyakit limited disease, yang dapat sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Pada infeksi adenovirus, infeksi
dapat hilang sempurna dalam 3 – 4 minggu, dan 2 – 3 minggu untuk HSV. Dan
infeksi enterovirus tipe 70 atau coxsackievirus tipe A24 sembuh dalam 5 – 7
hari, tanpa butu tatalaksana khusus (Ferrer dkk, 2007).
E. KONJUNGTIVITIS ALLERGIKA
Merupakan bentuk alergi pada mata yang disebabkan oleh reaksi sistem imun
pada konjungtiva.
a) Tanda dan gejala
Bervariasi untuk tiap kelompok.
1. Reaksi hipersensitivitas tipe cepat (humoral)
a. Hay fever conjunctivitis (pollens, grasses, animal danders, etc).
61
Konjungtivitis ini bersifat selflimited, ketika alergen hilang, maka reaksi inflamasi
diharapkan juga berhenti. Beberapa memiliki masa perjalanan penyakit yang
pendek, namun ada pula yang berjalan kronik, tergantung dengan kapasitas sitem
imun pasien. Penyakit ini banyak timbul pada usia anak, remaja, hingga dewasa.
Pada sebagian kasus rekurensi berkurang jauh ketika meninjak usia tua, diatas 40
– 50 tahun (Ferrer dkk, 2007).