IndustriTelurAsinKonvensional PDF
IndustriTelurAsinKonvensional PDF
IndustriTelurAsinKonvensional PDF
BANK INDONESIA
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Pengasinan telur merupakan salah satu cara penambahan umur simpan telur
yang umum dilakukan oleh masyarakat. Telur asin merupakan salah satu
sumber protein yang mudah didapat dan berharga relatif murah. Telur asin
sebagai bahan makanan yang telah diawetkan mempunyai daya tahan
terhadap kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan telur mentah. Telur
umumnya mengandung protein 13%, lemak 12%, mineral dan vitamin.
Selain lebih awet telur asin juga digemari karena rasanya yang relatif lebih
lezat dibandingkan telur tawar biasa.
Gambaran tentang industri telur asin yang disajikan dalam buku lending
model ini yang meliputi aspek pasar dan pemasaran, aspek produksi, aspek
keuangan, aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dalam rangka
menyebarluaskan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat luas, maka buku
pola pembiayaan telur asin ini akan ditransformasi dalam Sistem Informasi
Terpadu Pengembangan Usaha Kecil (SI-PUK) yang dapat diakses melalui
website Bank Indonesia.
a. Profil Usaha
Usaha pembuatan telur asin adalah salah satu jenis industri makanan yang
umumnya berskala mikro dan kecil. Bahan baku utama yang akan dijadikan
telur asin adalah telur itik, sedangkan jenis telur lainnya tidak lazim
dilakukan karena kebiasaan dari masyarakat kita yang menganggap telur
asin berasal dari telur itik.
Lokasi industri telur asin umumnya cukup dekat dengan daerah peternakan
itik dan merupakan daerah pesawahan yang luas seperti di Kabupaten
Cirebon dan Kabupaten Indramayu.
b. Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan usaha produksi telur asin dapat berasal dari pengusaha
sendiri maupun dari kredit bank dengan proporsi yang sangat beragam antar
pengusaha. Sumber dana lain berasal dari lembaga Pemerintahan seperti
Skim kredit yang tersedia pada lokasi usaha antara lain skim Kredit Usaha
Kecil (KUK) dari BRI Unit dan skim Kredit Program Dana Penjaminan (KPDP)
dari Bank Bukopin di Cirebon. Skim KUK yang diberikan adalah kredit modal
kerja dan atau modal investasi dengan plafond maksimum dapat diputuskan
sendiri oleh BRI Unit dengan kisaran Rp 50 juta, sementara KPDP yang dapat
diputuskan oleh kantor cabang dengan plafond antara Rp 400 – 500 juta.
1. Permintaan
Industri telur asin mempunyai peranan yang cukup penting bagi industri
pangan nasional terutama dalam memenuhi kebutuhan protein dan lemak
masyarakat. Persentase telur sebagai sumber protein adalah sebesar 2,08%
dari seluruh bahan pangan yang umum dikonsumsi.
Menurut data dari BPS Cirebon, produksi telur itik di Kabupaten Cirebon
tahun 2003 adalah sebanyak 24.000.000 butir dengan lebih dari 30% diolah
menjadi telur asin. Sedangkan konsumsi per kapita beberapa jenis telur dan
susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia per kapita disajikan pada Tabel
3.1. Jumlah total telur asin yang dikonsumsi akan didapatkan dari hasil
perkalian nilai di Tabel 3.1 ini dengan jumlah penduduk Indonesia.
Tabel 3.1.
Konsumsi per Kapita Telur dan Susu di Indonesia
Tahun
Komoditi
1990 1993 1996 1999 2002
Telur Itik (butir) 6,6 6,6 4,52 3,22 4,47
Telur Asin (butir) 1,51 1,56 1,98 0,99 1,92
Telur Ayam (kg) 2,55 3,28 4,71 7,88 4,58
Susu (liter) 0,31 0,31 0,21 0,21 0,21
1 kg telur ayam = 16 butir
Sumber : BPS (Data Susenas)
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa konsumsi telur tertinggi berasal dari telur
ayam diikuti dengan telur itik tawar kemudian telur asin. Konsumsi telur asin
umumnya hanya sekitar 25 – 30% dibandingkan jumlah konsumsi telur itik
tawar. Persentase ini umumnya tidak mengalami perubahan yang cukup
berarti. Dari tahun ke tahun konsumsi telur asin per kapita umumnya tidak
mengalami perubahan yaitu sekitar 2 butir per orang per tahun.
Pada tahun 1999 terjadi penurunan permintaan telur asin yang cukup besar
dimana pada tahun yang sama terjadi peningkatan konsumsi telur ayam,
dengan pertimbangan bahwa penurunan konsumsi telur asin diakibatkan
beralihnya konsumen ke telur ayam. Meski demikian pada tahun-tahun
berikutnya perbandingan konsumsi telur per kapita sudah kembali pada nilai
–nilai yang hampir sama dengan tahun sebelumnya.
Tabel 3.2.
Pengeluaran per Kapita untuk Bahan Pangan Masyarakat Kabupaten Cirebon
Pengeluaran pada tahun (Rp/bulan)
Bahan
1999 2000 2001 2002 2003
Konsumsi Telur +
10.182 13.362 14.341 16.536 16.854
Susu
Total Konsumsi 256.891 276.732 284.881 333.714 386.766
Sumber : BPS Cirebon
Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3.2. pengeluaran per kapita untuk
konsumsi telur dan susu tidak mengalami perubahan yang cukup drastis,
dimana perubahan pengeluaran tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan
harga dan bukan oleh peningkatan jumlah pembelian.
Meskipun dari sisi statistik tidak terjadi perubahan jumlah konsumsi per
kapita yang drastis, berdasarkan informasi dari pengusaha industri telur asin
di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, diperoleh gambaran bahwa
prospek pasar produk telur asin masih baik, karena ketersediaan bahan
baku, jaminan pasar serta dinilai sebagai usaha yang menguntungkan. Selain
itu perluasan pasar dari daerah sentra telur asin ke daerah-daerah baru
semakin meningkat seiring dengan semakin baiknya sarana dan prasarana
transportasi.
2. Penawaran
Analisa pasar terhadap penawaran produk telur asin secara langsung masih
belum dilakukan secara nasional. Perhitungan tidak langsung dapat dilakukan
dengan memperkirakan persentase jumlah telur itik yang diasinkan
dibandingkan produksi telur itik nasional. Data produksi total telur itik di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3.
Produksi Telur Itik Indonesia
Tahun Produksi (ton) Pertumbuhan (%)
2000 144.306
2001 157.578 9,2
2002 169.651 7,66
2003 185.037 9,07
2004 194.004 4,85
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan
Persaingan yang terjadi pada industri telur asin tidak tajam, karena para
pengusaha umumnya telah mempunyai pelanggan tetap. Upaya yang harus
dilakukan pengusaha adalah menjaga mutu sehingga pelanggan puas dan
tidak pindah ke pengusaha lain. Persaingan yang mungkin akan terjadi
adalah persaingan untuk mendapatkan bahan baku yang murah, dimana
petani itik petelur dapat saja memilih untuk menetaskan telur dibandingkan
menjual telur tawar kepada produsen telur asin.
Permintaan telur itik di Kabupaten Cirebon sebanyak 96,4 juta butir pertahun
dan 6,9 juta butir/tahun diantaranya akan ditetaskan. Penetasan telur
menjadi salah satu usaha yang cukup menguntungkan karena harga anak itik
muda hasil penetasan (DOD) lebih mahal (antara Rp 3.000 hingga Rp 4.000
per ekor) dibandingkan harga telur itik tawar yang dapat mereka jual ke
produsen telur asin (sekitar Rp 625 per butir). Padahal hanya diperlukan
waktu kurang dari satu bulan untuk menetaskan itik dengan peralatan
penetas yang sederhana dan harganya relatif murah (sekitar Rp 600.000
untuk kapasitas 700 butir).
c. Harga
Harga bahan baku utama industri ini adalah telur itik tawar yang dibeli
dengan harga Rp 550 - Rp 650 per butir. Harga bahan baku telur itik tidak
mengalami perubahan yang signifikan selama tidak terjadi kegagalan panen
pada suatu daerah yang akan mengakibatkan berkurangnya stok telur itik
yang menyebabkan meningkatkan harga telur itik tawar.
Harga telur asin yang dijual kepada konsumen berkisar antara Rp 750 – Rp
1.000 per butir. Perbedaan harga ditentukan berdasarkan ukuran telur asin,
harga telur asin dengan ukuran lebih besar dapat mencapai Rp 100 lebih
d. Jalur Pemasaran
Penjualan produk industri telur asin ini dapat dilakukan sendiri oleh
pengusaha maupun melalui jasa agen penjualan, dengan pembeli konsumen
langsung, rumah-rumah makan dan perkantoran. Pola pemasaran produk
telur asin ini secara umum terbagi tiga, yaitu :
e. Kendala Pemasaran
Kendala pemasaran yang dihadapi oleh industri telur asin adalah harga
bahan baku yang meningkat setiap saat manakala terjadi kegagalan panen
padi. Lonjakan harga bahan baku memaksa produsen untuk menaikkan
Lokasi usaha industri telur asin harus berorientasi pada daerah produksi telur
itik sebagai sumber bahan baku utama, yaitu pada umumnya daerah
persawahan. Wilayah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon
merupakan salah satu sentra industri telur asin terbesar di Jawa Barat,
karena pada daerah persawahan yang besar ini terdapat cukup banyak usaha
peternakan itik.
Ruangan proses produksi industri telur asin tidak harus memenuhi suatu
standar tertentu, namun diperlukan beberapa ruangan dengan tingkat
pencahayaan yang berbeda. Ruangan untuk melakukan penyortiran dan
pencucian telur harus ruangan yang terang, sedangkan ruangan untuk
pengasinan telur diharapkan cukup tertutup dan hangat.
Peralatan yang banyak digunakan dalam proses produksi telur asin adalah
ember atau baskom untuk tempat pencampuran adonan dengan telur serta
tempat untuk mencuci telur. Adapun peralatan lainnya berupa panci tempat
perebusan telur dan kompor minyak tanah. Disamping itu dibutuhkan tempat
penyimpanan telur untuk menyimpan telur asin pada proses pengasinan.
c. Bahan Baku
Bahan baku utama industri telur asin adalah telur itik yang diperoleh dari
peternak lokal dengan cara membeli di tempat peternakan itik. Untuk
menjaga mutu dari telur asin yang dihasilkan, maka bahan baku telur itik
umumnya berukuran besar, masih segar dan tidak retak
d. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang terlibat dalam industri telur asin sebanyak 10 orang
dengan upah Rp 250.000 – Rp 400.000 per bulan, 2 orang tenaga
pemasaran dengan upah Rp 500.000 per bulan, seorang tenaga administrasi
untuk mengawasi dan bertanggung jawab terhadap keuangan umum dan
pemesanan dengan upah Rp 600.000 per bulan. Untuk membina dan
menjalin hubungan dengan klien dan bank serta bertanggung jawab
terhadap keseluruhan kegiatan usaha adalah seorang manajer dengan upah
Rp 1.000.000 per bulan. Pada umumnya tenaga kerja tersebut berasal dari
daerah sekitar lokasi usaha (ada ikatan keluarga atau tetangga). Kecuali
untuk manajer, maka seluruh pekerja tidak diharuskan mempunyai
spesialisasi keahlian atau tingkat pendidikan minimum tertentu selama
mereka mampu mengerjakan tugas yang telah menjadi tanggung jawabnya.
Telur asin dapat dibuat melalui beberapa teknik penggaraman yang secara
umum dibagi menjadi tiga macam proses, yaitu :
Teknik penyuntikan merupakan teknik yang paling mudah dan cepat untuk
menghasilkan telur asin, tetapi cara ini sangat beresiko dalam menghasilkan
telur asin yang baik dan mulus, karena adanya proses pelubangan kulit telur
guna memasukkan cairan garam. Jika pengusaha belum trampil dan belum
menguasai cara ini, maka teknik ini dianjurkan untuk tidak dilakukan.
f. Proses Produksi
Proses produksi telur asin yang dilakukan dalam studi pola pembiayaan ini
adalah proses pemeraman melalui pembungkusan dengan adonan garam dan
tanah liat. Diagram alir proses pembuatan telur asin adalah sebagai berikut:
Penseleksian telur itik dilakukan pada saat pembelian telur di peternak itik
dimana telur dengan kualitas jelek tidak akan diterima/dibeli. Sedangkan
penyeleksian telur di lokasi pabrik dilakukan pada saat akan melakulan
pencampuran dengan adonan. Tingkat kegagalan proses ini sangat rendah,
dimana dari 1000 butir telur hanya terdapat 1 butir yang tidak layak untuk
dijadikan telur asin (satu permil).
b. Pembuatan adonan
Adonan yang digunakan dalam proses pemeraman telur itik adalah campuran
antara garam, tanah liat atau serbuk bata merah. Garam menjadi bahan
pembantu utama karena berfungsi sebagai pencipta rasa asin dan sekaligus
bahan pengawet serta dapat mengurangi kelarutan oksigen (oksigen
diperlukan oleh bakteri), menghambat kerja enzim proteolitik (enzim perusak
protein), dan menyerap air dari dalam telur. Perbandingan kebutuhan bahan
adonan untuk garam dan tanah liat adalah 1 : 3 (Tabel 4.1), kemudian
dilakukan pengadukan hingga rata dan berbentuk seperti bubur kental.
Tabel 4.1.
Komposisi Bahan Penyusun Adonan Pengasin (Kapasitas 150.000 butir)
c. Pemeraman
Proses perendaman dalam adonan pengasin adalah salah satu faktor penentu
derajat keasinan telur asin (Photo 4.2). Proses ini diawali dengan
memasukkan telur itik yang telah diseleksi ke dalam wadah/ember yang
telah berisi adonan. Setelah seluruh lapisan telur tertutup oleh adonan, maka
telur tersebut dipindahkan kedalam kotak kayu yang telah disiapkan untuk
proses pemeraman (Photo 4.3). Pemeraman yang baik adalah selama 10
hari. Namun demikian lamanya proses pemeraman dalam bungkus adonan
akan disesuaikan dengan selera masyarakat yang akan mengkonsumsinya,
d. Pencucian
e. Perebusan
Setelah dilakukan perebusan, telur asin dikeluarkan dari panci perebus dan
dilakukan proses penirisan. Proses ini dilakukan di atas wadah dimana telur
diangin-anginkan hingga kering dan tidak terlalu panas. Proses selanjutnya
adalah pemberian cap merek dagang dan kode produksi.
g. Penyimpanan
Pada tahapan akhir proses produksi, telur asin yang telah diberi cap merek
akan dikemas dalam berbagai macam bentuk pengemas, seperti pengemas
plastik (Photo 4.9). Namun hanya sekitar 25% dari total produksi telur asin
dikemas dalam pengemas plastik tersebut. Selanjutnya untuk keperluan
pengiriman ke konsumen, sebelum dibawa menggunakan mobil pengangkut,
dilakukan pengepakan dan penyimpanan dalam kotak-kotak kayu (Photo
4.10) .
Tidak ada klasifikasi yang jelas untuk membedakan jenis telur asin yang
dijual. Perbedaan harga jual telur asin sangat ditentukan oleh besar kecilnya
telur asin, dimana. perbedaan harga telur asin untuk ukuran besar dan kecil
berkisar antara Rp 100 - Rp 200.
h. Produksi Optimum
i. Kendala Produksi
Faktor kritis industri telur asin ini adalah ketersediaan dan kontinuitas bahan
baku, dimana bila terjadi kegagalan panen pasokan bahan telur itik tidak
akan cukup. Oleh karena itu pengusaha harus mendatangkan telur itik dari
daerah lain.
Pada proses produksi, faktor kritis lain terdapat pada waktu penseleksian
telur, karena mutu telur yang akan diolah merupakan hal dominan dalam
penentuan mutu produk telur asin.
Pola usaha yang dipilih adalah industri pengolahan telur asin yang
mendapatkan bahan baku dengan cara membeli telur itik ke peternak secara
langsung. Pembelian bahan baku secara langsung dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang baik serta menjamin
kesinambungan ketersediaan pasokan telur itik. Biaya investasi sebagian
besar diperlukan untuk pembelian sarana transportasi, yang terdiri dari satu
unit mobil pick up untuk pembelian telur itik, tanah liat dan garam, satu unit
mobil boks untuk pengangkutan produk telur asin ke konsumen dan satu unit
sepeda motor untuk keperluan operasional lain. Adapun produk yang dipilih
untuk usaha ini adalah telur asin yang telah direbus.
b. Asumsi
Tabel 5.1.
Asumsi untuk Analisis Keuangan
Biaya investasi yang dibutuhkan pada tahap awal industri telur asin ini
meliputi tanah dan bangunan serta prasarana angkutan dan peralatan,
dengan total biaya sebesar Rp 173.525.000. Komponen terbesar adalah
kendaraan (64,83%) yang terdiri dari mobil pick up untuk sarana angkutan
bahan baku telur itik dari peternak, mobil boks untuk sarana angkutan
pemasaran telur asin dan sepeda motor untuk operasional harian, bangunan
industri seluas 150 m2 (21,61%) serta peralatan produksi dan pengemas
(9,23%) (Tabel 5.2). Selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 2.
Tabel 5.2.
Kompisisi Biaya Investasi (Rp)
Biaya operasional dalam industri telur asin meliputi biaya tetap dan biaya
variabel. Total biaya operasional pertahun sebesar Rp 1.343.385.000 dengan
asumsi bahwa pada tahun pertama hingga tahun ke tiga usaha ini sudah
dapat beroperasi dengan kapasitas 100%. Biaya operasional tersebut terdiri
dari biaya tetap Rp 49.920.000 dan biaya variabel Rp 1.293.465.000.
Selengkapnya rincian kebutuhan biaya tetap dan biaya variabel ditampilkan
pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
Total kebutuhan biaya proyek (untuk investasi dan modal kerja) adalah
sebesar Rp 341.448.125. Diproyeksikan 70% biaya tersebut diperoleh dari
bank dan sisanya dari modal sendiri. Biaya investasi yang diperlukan dalam
industri telur asin sebesar Rp 173.525.000 dan Rp 121.467.500 diantaranya
(70%) berasal dari kredit bank. Kredit investasi ini seluruhnya diterima pada
masa konstruksi dengan jangka waktu pinjaman selama 3 tahun dan suku
bunga 14% pertahun (Tabel 5.4).
Modal kerja yang dibutuhkan untuk produksi dan penjualan telur asin adalah
sebesar Rp 167.923.125. Sebesar Rp 117.546.188 (70%) diperoleh dari
kredit bank dengan jangka waktu pinjaman selama 3 tahun dan suku bunga
14% pertahun. Kebutuhan modal kerja tersebut dihitung dari kebutuhan
biaya variabel dan biaya tetap selama 1,5 bulan. Penetapan jangka waktu
tersebut didasarkan atas perhitungan bahwa pendapatan dari penjualan telur
asin diperoleh paling cepat pada hari ke 41 sejak proses produksi dilakukan.
Tabel 5.4.
Komponen dan Struktur Biaya Proyek
Total Biaya
No Komponen Biaya Proyek Persentase
(Rp)
1 Biaya Investasi >173.525.000
a. Kredit 70 121.467.500
b. Modal Sendiri 30 52.057.500
2 Biaya Modal kerja 167.923.125
a. Kredit 70 117.546.188
b. Modal Sendiri 30 50.376.938
3 Total Biaya Proyek 341.448.125
a. Kredit 70 239.013.688
b. Modal Sendiri 30 102.434.438
Tabel 5.5.
Perhitungan Angsuran Kredit
Berdasarkan kapasitas yang ada, produksi telur asin per bulan sebanyak
150.000 butir dengan asumsi kerusakan produk sebesar 1O/oo (satu permil).
Usaha ini diproyeksikan untuk dapat berproduksi secara optimal mulai tahun
pertama hingga akhir tahun ketiga (sesuai umur proyek). Dengan harga jual
telur sebesar Rp 800 per butir, maka untuk satu tahun produksi
diproyeksikan untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp 1.440.000.000,
namun dengan asumsi kerusakan yang ada, maka setiap tahun diperoleh
pendapatan sebesar Rp 1.438.560.000. Proyeksi produksi dan pendapatan
usaha serta harga penjualan ditampilkan pada Tabel 5.6 dan Lampiran 5.
Tabel 5.6.
Proyeksi Produksi dan Pendapatan
Harga
Penjualan Penjualan 1
No Produk Volume Unit Jual
1 bulan tahun
(Rp)
1 Telur Asin 149.850 butir 800 119.880.000 1.438.560.000
Total 119.880.000 1.438.560.000
Hasil proyeksi laba rugi usaha menunjukkan usaha telur asin telah
menghasilkan laba (setelah pajak) pada tahun pertama (kapasitas 100%)
sebesar Rp 22.804.559 dengan nilai profit on sales 1,59%, dan mengalami
peningkatan laba hingga tahun ke-3 yang berjumlah Rp 41.766.311 dengan
profit on sales 2,90% (Tabel 5.7).
Tahun
No Uraian
1 2 3
1 Total Penerimaan 1.438.560.000 1.438.560.000 1.438.560.000
2 Total Pengeluaran 1.411.731.108 1.400.577.136 1.389.423
Laba/rugi Sebelum
3 26.828.892 37.982.864 49.136.837
Pajak
4 Pajak (15%) 4.024.334 5.697.430 7.370.525
5 Laba Setelah Pajak 22.804.559 32.285.435 41.766.311
6 Profit on Sales 1,59% 2,24% 2,90%
7 BEP : Rupiah 1.053.586.766 942.999.509 832.412.251
Butir 1.316.983 1.178.749 1.040.515
Seperti terlihat pada Tabel 5.8, selama kurun waktu 3 tahun proyek industri
telur asin secara rata-rata akan menghasilkan keuntungan bersih per tahun
sebesar Rp 32.285.435 dan profit margin rata-rata 2,24%. Dengan
membandingkan pengeluaran untuk biaya tetap terhadap biaya variabel dan
total penerimaan, maka BEP usaha ini terjadi pada penjualan senilai Rp
1.053.586.766 pada tahun ke-1 hingga Rp 832.412.251 pada tahun ke-3,
dengan BEP rata-rata sebesar Rp. 942.999.509 untuk 1.178.749 butir telur
asin. Selengkapnya proyeksi rugi laba usaha ditampilkan pada Lampiran 8.
Tabel.5.8.
Rata-rata Laba Rugi dan BEP Usaha
Uraian Nilai
Laba per tahun 32.285.435
Profit margin 2,24%
BEP : Rupiah 942.999.509
Butir 1.178.749
Untuk aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran,
yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk
diperoleh dari penjualan telur asin selama satu tahun. Untuk arus keluar
meliputi biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap, termasuk angsuran
pokok, angsuran bunga.dan pajak penghasilan.
Tabel 5.9.
Kelayakan Industri Telur Asin
Justifikasi
No Kriteria Nilai
kelayakan
1 NVP (Rp) 65.535.618 >0
2 IRR 32,65% > 14%
3 Net B/C ratio 1,38 >1
4 PBP (bulan) 28,9 < 36 bulan
h. Analisis Sensitivitas
(1). Skenario I
(2). Skenario II
Tabel 5.11.
Analisis Sensitivitas Pendapatan Turun
Tabel 5.12.
Analisis Sensitivitas Kombinasi
Biaya variabel Biaya variabel
naik 1% dan naik 2 % dan
No Kriteria
Pendapatan Pendapatan
turun 1% turun 1%
1 NPV (Rp) 2.108.051 - 27.921.447
2 IRR 14,61% 5,83%
3 Net B/C ratio 1,01 0,84
4 PBP (bulan) 35,7 40
Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh pengusaha telur asin adalah
cukup lamanya rentang waktu penerimaan hasil penjualan telur asin akibat
dari sistem pembayaran yang baru diterima 30 hari sejak proses produksi
dilakukan, sedangkan pembelian bahan baku telur itik tawar dari peternak
dilakukan secara tunai setiap dua kali seminggu. Kondisi ini mengharuskan
pengusaha untuk mencadangkan dana pembelian telur itik tawar untuk
jangka satu setengah bulan yang jumlahnya cukup besar.
Kabupaten Indramayu dan Cirebon dikenal sebagai daerah sentra padi dan
peternakan itik. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di bidang
ini, baik sebagai pengusaha ataupun menjadi buruh tani atau peternak.
Keberadaan industri telur asin meningkatkan nilai tambah telur-telur itik
yang dihasilkan di daerah yang bersangkutan. Adanya industri telur asin ini
juga mendorong berkembangnya usaha peternakan itik petelur, sehingga
peningkatan permintaan telur asin akan meningkatkan pula produk telur itik.
Dari segi pemenuhan gizi masyarakat telur asin dapat menjadi salah satu
sumber protein yang dapat dijadikan pengganti daging. Dengan harga yang
murah dan rasa yang lezat, telur asin akan memiliki pasar yang luas yang
tidak saja ditujukan bagi masyarakat menengah kebawah melainkan juga
bagi masyarakat menengah ke atas.
b. Dampak Lingkungan
Proses produksi dalam industri telur asin akan menghasilkan limbah padat
dan limbah cair. Limbah padat umumnya berupa sisa-sisa telur yang tidak
ikut diproduksi atau sisa-sisa pecahan telur akibat proses produksi yang tidak
ditangani dengan hati-hati. Selain itu ada pula limbah padat yang berasal
dari sisa-sisa adonan pengasin yang dibuang setelah proses pengasinan.
Limbah-limbah padat ini umumnya tidak berbahaya bagi lingkungan.
Penanganan limbah ini cukup sederhana, yaitu dengan cara menguburkannya
di dalam tanah dimana untuk bahan organik akan terurai menjadi bahan-
bahan anorganik unsur hara tanah.
Limbah cair yang dihasilkan dari air sisa pencucian telur yang mengandung
sabun pada umumnya langsung dibuang ke saluran air (sungai) tanpa
pengolahan terlebih dahulu. Dalam jangka waktu yang lama limbah sabun ini
dikhawatirkan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan yang besar,
karena itu tindakan pengolahan limbah secara sederhana sepertinya sudah
menjadi keharusan. Pembuatan bak penampung limbah cair sederhana dapat
menjadi salah satu alternatif penanganan limbah cair yang dihasilkan dari
industri telur asin.
b. Saran
1. Berdasarkan potensi bahan baku, prospek pasar, tingkat teknologi
proses, dan aspek finansial, industri telur asin ini, layak untuk dibiayai.
2. Untuk menjamin kelancaran pengembalian kredit, pihak perbankan
seyogyanya juga turut berpartisipasi dalam pembinaan usaha ini,
khususnya pada aspek keuangan, dan manajemen pembukuan.