Anda di halaman 1dari 70

Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 1

Prolog

SEPI. Langit gelap. Angin malam bertiup kencang.

Cessa merapatkan jaket yang dikenakannya, namun tubuhnya tetap saja menggigil.
Bukan karena angin, karena saat ini ia sama sekali tidak bisa merasakan apa pun.
Sepertinya saraf-sarafnya sudah tidak berfungsi. Ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar,
tidak bisa bersuara, dan tidak bisa merasakan apa-apa. Kecuali rasa sakit di hatinya. Ia bisa
merasakan yang satu itu. Sakit sekali....

Butuh tenaga besar untuk menyeret kakinya dan maju selangkah. Sebelah
tangannya terangkat ke dada, mencengkeram bagian depan jaket. Tangan yang lain
terjulur ke depan dan mencengkeram pagar besi yang ada di sepanjang koridor rumah
sakit. Pagar besi itu seharusnya terasa dingin di tangannya yang telanjang, tapi nyatanya
ia tidak merasakan apa pun walaupun ia mencengkeram pagar besi itu sampai buku-
buku jarinya memutih. Matanya menatap kosong ke bawah. Permukaan kolam terlihat
tenang seperti kaca besar berwarna hitam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu di
tepi jalan. Air kolam itu pasti dingin sekali. Ia pasti akan mati kedinginan bila terjun ke
sungai itu. Mati beku. Ia hanya perlu membiarkan dirinya jatuh. Setelah itu seluruh
tubuhnya akan membeku. Rasa sakit ini juga akan membeku. Ia tidak akan merasakannya lagi.

Air mata Cessa meleleh. Cessa sadar kini ia telah kehilangan semuanya. Cessa harus
siap melepas semua. Cessa ingin kuat tapi ini terlalu menyakitkan baginya. Diantara semua
keterpurukannya cintanya-lah yang menambah luka dalam hidupnya. Meski Cessa menyadari
tidak ada yang sempurna di dunia ini. Yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa
mungkin untuk mempertahankannya.

Ini bisa jadi sebuah kisah cinta biasa dalam hidup Cessa.Kisah tentang harapan yang
hampir hilang. Sebuah kisah tentang cinta yang nyaris sempurna.Sayangnya, di setiap cerita
harus ada yang terluka.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 2

Bab 1

"Dasar kurang kerjaan!" kata Cessa gemas mendapati lokernya penuh coretan pilox.
Bermacam-macam bunyinya. Ada yang berseru senang, 'Poor Cessa, ha.. ha.. ha..!!!'.
Ada juga yang berseru sedih, 'Malangnya! Hiks.. hiks.. hiks..'.
"Kenapa? Hari pertama masuk sekolah sudah langsung mendapat sambutan?" Tiba-tiba
saja sebuah suara terdengar dari kejauhan. Tanpa memalingkan wajahnya pun, Cessa sudah
bisa menebak suara siapa itu. Siapa lagi kalau bukan Putri. Musuh besarnya sejak beberapa
tahun terakhir. Seseorang yang pastinya tertawa senang melihat kehancurannya.
"Apa kabar, Cess? Hissashiburi desu ne (lama ya, tidak bertemu)?" kata Hena, satu dari
dua teman setia Putri yang selalu mengikuti kemana pun Putri pergi. Dia sempat jadi teman
les Cessa di Japan Foundation setahun yang lalu. Hena berhenti les karena penyakit asmanya.
"Minggir!" Cessa menutup loker dan berniat pergi ke kelasnya.
"Hei, apa Cessa yang pintar jadi bodoh setelah terlalu lama mendekam di dalam rumah?
Sampai-sampai kata untuk menyapa pun lupa."
Cessa hanya diam.
"Eh, Cess, apa kamu..."
"Minggir aku bilang! Aku tidak punya urusan sama kalian!"
"Oh ya? Tapi sayangnya kita mau tuh cari urusan sama kamu," tambah Riri, teman
Putri yang satunya lagi, yang punya postur tubuh mirip pohon kelapa, jangkung dan
kurusnya minta ampun.Dia juga lebihhitam dibanding kedua temannya. Berkulit coklat
tepatnya. Meski memang dia juga tidak kalah cantik dari Putri dan Hena. Mereka bertiga anak
Cheers. Dan memang seperti itulah biasanya gambaran anak populer yang ikut Cheerleader,
cantik.
Well, tapi secantik-cantiknya Putri and the gank, tetap saja yang lebih cantik di mata
cowok-cowok adalah Princessa Kaury. Lepas dari arogansi dan sifat dinginnya, cewek yang
satu ini punya nilai lebih yang bahkan tiga Putri dan teman-temannya pun tidak bisa
menyamai. Dia cerdas. Jenius lebih tepatnya. Dia adalah juara umum berturut-turut dari kelas
satu sampai kelas dua, penerima tetap beasiswa Saturnus berkat prestasinya sejak SD, jago
main piano, menguasai tiga bahasa : Jepang, Inggris, dan Korea. Berarti empat kalau ditambah
sama bahasa Indonesia.
"Cess, kamu tahu tidak kalau selama hampir dua minggu ini kita.." Putri tidak
melanjutkan kalimatnya. Kata-katanya tiba-tiba saja terhenti saat pandangan matanya
bertautan dengan pandangan seseorang. Seseorang yang mengisyaratkan dengan tegas agar
dia dan dua temannya untuk menjauhi Cessa.
"Kali ini kamu selamat, tapi lain kali..." Riri, yang tampaknya juga melihat orang itu,
setali tiga uang dengan Putri. Tidak bermaksud memperpanjang urusan dengan Cessa.
"Cessa, tunggu!" Cowok misterius itu berlari mengejar Cessa, yang spontan
membalikkan badan saat melihatnya. Cowok itu adalah Kevin. Satu dari sekian banyak orang
yang turut memperpanjang goresan luka di hati Cessa. Dia adalah ketua OSIS di SMA Saturnus.
Cowok super cakep dan pintar ini jadi incaran cewek-cewek se-Saturnus, mulai dari kelas satu
sampai kelas tiga.
"Cess, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Kevin sambil memegang bahu Cessa.
"Lepas!"
"Cessa.."
"Kalau kamu pikir aku akan berterima kasih atas apa yang kamu lakukan tadi, kamu
salah!" Cessa berucap dingin seraya menyingkirkan tangan Kevin dari tangannya.
"Cess.." Kevin berlari lagi mengejar Cessa yang mulai berjalan cepat.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 3

"Cess, kamu harus kasih aku kesempatan buat berbicara. Kasih aku kesempatan untuk
menjelaskan semuanya," pintanya.
"Apa? Kamu berbicara seolah kamu tidak punya salah sama aku."
"Cess, aku tahu. Aku tahu aku salah. Aku.."
Cessa mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi, seolah memberi tanda pada Kevin
agar berhenti bicara. "Buat aku semua sudah jelas, dan aku tidak butuh tambahan lagi dari
kamu untuk memperjelas semuanya. Aku hargai keputusan kamu. Jadi, sekarang tinggal
kamunya yang harus hargai keputusan aku. Aku.. aku tidak mau berurusan lagi sama kamu!"
tegas Cessa, membuat sekujur tubuh Kevin membeku seketika.
"Aku sayang kamu, Cess. Lepas dari semua yang terjadi, aku cuma tahu kalau aku
sayang sama kamu." Kevin mengucap lirih, tidak lama setelah Cessa beranjak cukup jauh
darinya.
Sekuat tenaga Cessa menahan badannya agar tidak berbalik. Sekuat tenaga dia
mengajak kakinya untuk melangkah. Masih terekam jelas di kepalanya kejadian malam itu.
Ketika Mamanya Kevin datang dan memintanya untuk segera mengakhiri hubungan dengan
anaknya. Hatinya sakit sekali.

"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam. Kamu sudah pulang, Cess," kata seseorang dari dalam rumah, tidak
lama setelah Cessa sampai depan pintu.
"Kakak.." Cessa tersenyum sumringah mendapati sang Kakak menyambutnya.
DialahRangga Kaury atau biasa disapa Rangga. Kakaknya tersayang yang sepintas mirip artis
Korea yang sangat populer, Song Joong Ki.
"Kakak kok sudah pulang?"
"Kakak kangen sama kamu, makanya milih pulang cepat."
"Kakak kan baru saja seminggu kerja di sana. Mana mungkin bisa pulang cepet cuma
dengan alasan kangen sama Adiknya yang manis. Kakak dipecat ya?" selidik Cessa cemas.
"Kamu..! Kakak cuma kebetulan saja lagi ada waktu, makanya pulang sebentar. Kan
mau makan siang sama kamu. Untung kamu pulangnya cepat,"
"Hari ini kebetulan ada rapat guru, makanya pulang cepat,"
"Syukurlah. Kakak pikir kamu sengaja kabur dari sekolah,"
"Maunya sih gitu," Cessa menjatuhkan badannya di sofa. "Hari ini benar-benar
menyebalkan. Semua orang di sekolah juga nyebelin. Kakak tahu tidak? Mereka
mentertawakan Cessa sepanjang perjalanan mulai dari gerbang sampai kelas, mereka juga
nyoret-nyoret loker Cessa, menaruh kecoa di meja Cessa, dan banyak lagi. Pokoknya benar-
benar kurang kerjaan! Rese! Tingkah anak-anak di sekolah hari ini tuh.. bla-bla-bla.." Cessa
nyerocos kayak kereta MRT, menceritakaan kejengkelannya pada teman sekolahnya.
Sementara Rangga diam membisu dengan raut wajah penuh sesal dan sedih.
"Cess, kamu.."
"Ha.. ha.. ha.. Kakak kenapa? Kenapa pasang muka bloon gitu?"
"Apa?!"
"Memangnya Kakak kira yang tadi Cessakatakan serius ya? Impossible-lah. Kakak ini..
apa Kakak kira kalau Cessa diperlakukan seperti itu Cessa akan tinggal diam? Yang ada Cessa
sudah meninju mereka satu per satu, gimana sih?"
"Jadi, tadi itu.."
"Joodang wayo (bercanda)! Bercanda kali." Cessa terkekeh.
"Kamu tuh ya..!"
"Aduuh!" Cessa mengaduh saat sang Kakak mendaratkan jitakan di kepala untuknya.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 4

"Jangan norak deh! Bikin jantungan saja."


"Kakak sih terlalu parno. Biasa aja donk. Pokoknya Kakak tidak usah mencemaskan
Cessa. Cessa pasti akan baik-baik aja. Semua ini mungkin memang sulit, tapi bukan berarti
Cessa tidak mampu melaluinya. Kan ada Kakak. Asalkan ada Kakak, tidak peduli dunia akan
jadi seperti apa, Cessa pasti akan tetap menjalaninya. Gitu kan Papa selalu bilang? Kita sebagai
saudara harus tetap bersama, baru semua jadi ringan, iya kan?"
Rangga tertegun mendengar penuturan sang Adik. Selama beberapa saat hanya
kebisuan yang ada, disertai dengan mata yang berkaca-kaca.
"Cessasayaaang banget sama Kakak. Cessa janji, Cessa tidak akan membuat Kakak sedih
lagi. Tidak akan membuat Kakak takut lagi," Cessa mengucap seraya memeluk sang Kakak.
"Kakak juga sayang kamu. Sayaaang banget." Rangga membalas pelukan itu. Bisa
dirasakan olehnya, airmata yang tadi menggenang mulai berjatuhan.
"Maafin Cessa, Kak. Cessatidak bermaksud berbohong pada Kakak. Cessahanya tidak
ingin Kakak terlalu memusingkan urusan Cessa. Cessa janji akan mengatasi semuanya dengan
tegar," batin Cessa. Sedih banget dia kalau ingat kejadian demi kejadian di sekolahnya tadi.
Kalau ingat Kevin.

Seminggu berlalu sejak Cessa kembali ke sekolah. Sejak kehidupan barunya sebagai
seorang anak manusia yang tidak luput dari masalah dimulai. It means, tiga minggu pasca
kejadian menyesakkan dada itu. Rangga semakin mantap menjalani profesi barunya sebagai
wartawan freelance di sebuah majalah yang target marketi-nya adalah usahawan. Tidak sia-sia
ilmu ekonomi yang didapatnya dari Universitas Tokyo, Jepang. Sementara Cessa, dia masih
disibukkan dengan sekolah seperti biasanya, dan juga ulah iseng teman-teman sekelasnya.
Yang tidak biasa adalah bahwa dia sudah mulai menikmati naik kendaraan umum, meski
cuma sesekali. Dia masih tetap lebih nyaman naik taksi daripada bus kota atau sejenisnya.

Bab 2

DICARI SEORANG PEKERJA KERAS YANG MAMPU BEKERJA SAMA DALAM TIM DAN
TAHU BANYAK MENGENAI SEPAK BOLA. BAGI YANG BERMINAT DAPAT
LANGSUNG MENGHUBUNGI PAK HIRMAN (PELATIH TIM SEPAK BOLA)

Mata Cessa terbelalak membaca iklan itu.Cessa bersyukur dalam hati. Allah selalu
memberi jalan untuknya. Meski telah mengisi waktu luangnya dengan menjadi tutor bahasa
Jepang, dia masih belum juga bisa melupakan masalahnya. Saat tidak tahu lagi harus
bagaimana, tiba-tiba saja dia mendapati dirinya berdiri di depan mading, di depan sebuah
iklan lowongan pekerjaan yang dibuat oleh salah satu unit kegiatan siswa. Tanpa basa-basi lagi
dan tanpa memikirkan lebih jauh akan keterbatasan pengetahuannya mengenai sepak bola,
dia pun segera meluncur ke tempat yang dimaksud. Ruangan PakHirman. Pelatih tim sepak
bola Saturnus. Orang yang bahkan tidak dikenalnya.

"Sebelum kita lanjut ke sesi wawancara, Bapak hanya ingin memastikan, kamu
sebenarnya tahu tidak untuk posisi apa pekerjaan ini?" tanya Pak Hirman hati-hati. Jujur, dia
masih kaget setengah mati mendapati seorang PrincessaKaury, yang notabennya tergolong
cewek populer di sekolah, menemuinya untuk melamar sebagai asistennya.
"Iya. Asisten pelatih," jawab Cessa.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 5

"Begitu?"
"Apa ada masalah, Pak?"
"Oh tidak. Tidak ada masalah. Baiklah. Kalau begitu... bisa kamu ceritakan apa saja
yang kamu ketahui tentang sepak bola?" tanya Pak Hirman lagi.
"Saya.. sejujurnya tidak tahu banyak soal sepak bola. Mungkin karena saya kurang suka
sama olahraga ini. Tapi saya tahu kok kalau sepak bola dimainkan dalam waktu 2x45 menit,
saya juga tahu ada yang namanya striker, midfielder, bek, juga kiper. Ya.. meski teknisnya saya
kurang paham," ujar Cessa.
Pak Hirman berusaha menerima jawaban itu, tapi lebih banyak bingungnya.
"Gimana, Pak? Saya boleh kan melamar jadi asisten Bapak?"
"Boleh, tentu boleh." Pak Hirman menjawab sedikit ragu. Lebih banyak tidak enaknya.
"Sebenarnya tidak bisa kan, Pak?"
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Saya bisa melihat itu dari ekspresi wajah Bapak. Bapak sebenarnya mau menolak saya,
tapi Bapak tidak enak, kan? Tidak tahu harus bilang apa."
"Sebenarnya bukan begitu. Bapak hanya.."
"Tolong kasih saya kesempatan," potong Cessa sebelum Pak Hirman menyelesaikan
omongannya. "Saat ini saya mungkin belum tahu banyak soal sepak bola, tapi nanti, saya
yakin saya pasti bisa. Bapak hanya perlu kasih saya kesempatan, bagaimana?"
Pak Hirman lagi-lagi dibuat bingung dengan sikap Cessa yang tiba-tiba mulai
memelas. "Memangnya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Pak Hirman akhirnya.
"Saya akan belajar," jawab Cessa semangat.
"Belajar? Tentu. Bapak yakin kamu pasti bisa dengan cepat mempelajarinya. Tapi.. saat
ini Bapak tidak ada waktu untuk itu. Bapak minta maaf," Pak Hirman beralasan.
"Bapak jangan khawatir, saya tidak akan membuang waktu Bapak. Saya akan belajar
sendiri. Bapak hanya perlu memberi saya waktu. Saya janji, asal diberi kesempatan untuk
belajar, dalam waktu beberapa minggu, saya pasti akan menguasai banyak hal tentang sepak
bola," jelas Cessa lagi.
"Bapak hargai niat baikmu. Tapi maaf, kompetisi antar sekolah akan digelar sebentar
lagi. Yang dibutuhkan di sini adalah orang yang paham betul soal sepak bola, tidak hanya
secara teknis, tapi juga non teknisnya. Dan yang terpenting, bisa menggantikan kedudukan
Bapak saat dibutuhkan,"
"Begitu ya? Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau beberapa hari? Kalau dalam
hitungan minggu menurut Bapak terlalu lama, gimana kalau Bapak kasih saya waktu beberapa
hari? Lima atau bahkan tiga hari, untuk membuktikan kalau saya mampu. Setelah itu, saya
akan menerima apa pun keputusan Bapak. Bagaimana?" kata Cessa lagi, setengah memaksa.
"Kamu tidak terbiasa menerima penolakan ya?" Pak Hirman berkata sambil mengusap
kepalanya.
Cessa menggelengkan kepalanya, tapi segurat senyum jelas tampak di wajahnya. "Dulu
memang tidak. Tapi sekarang, saya rasa saya akan mulai terbiasa dengan itu."
"Baiklah. Tiga hari lagi kamu datang ke sini. Kita lihat sejauh mana 'perkembangan'
pengetahuanmu mengenai sepak bola," tambah Pak Hirman.
"Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Bapak," ucap Cessa semangat.
Pak Hirman manggut-manggut meski agak heran. Rasanya, pasca kejadian beberapa
minggu yang lalu itu, ini adalah untuk pertama kalinya Cessa terlihat begitu antusias dan
bersemangat. Dia sendiri tidak tahu kenapa. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia begitu
menginginkan pekerjaan ini. Benar-benar menginginkannya. Saat ini, dia hanya butuh
dipercaya orang. Dia bisa merasakan betapa kepercayaan itu sangat mahal harganya, apalagi
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 6

setelah semua yang dialaminya. Semua cibiran, makian, dan perkataan jelek orang
terhadapnya. Semua itu hanya bisa diatasi dengan tetap berdiri tegak. Tidak ada waktu
untukmenangis. Ini adalah waktunya PEMBUKTIAN!

"Kamu bilang apa?!!!"


"Asisten pelatih sepak bola," jawab Cessa pelan, kedua tangannya masih ditempelkan di
daun telinga. Tampaknya pekikan Rangga barusan benar-benar membuat nyaris tuli.
"Cessa, kamu baik-baik saja kan?"
"Maksudnya?!"
"Ya.. gimana Kakak tidak.."
"Tidak apa? Kenapa Kakak jadi berlebihan gitu? Kakak bersikap seolah
Cessa tuh habis merampok bank atau semacamnya," Cessa berkomentar.
"Bukan gitu, tapi kan.."
"Kenapa? Apa jadi asisten pelatih tim sepak bola menurut Kakak tidak bagus? tidak
baik? Iya?"
"Bukan. Itu bagus, baik. Tapi.. tapi apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakuin? Kalo
Bi Onah sih Kakak masih bisa mengerti, nah kamu..? Kamu bahkan tidak pernah suka sama
sepak bola. Bagaimana mungkin mau menjadi asisten pelatih tim sepak bola!?"
"Ya.. karena itu Cessa bilang sama Kakak. Apa gunanya punya Kakak yang setiap hari
menyantap sepak bola," jawab Cessa spontan.
"Iya benar tuh Non," sambung Bi Onah, yang sejak tadi hanya mematung mengamati
debat dua kakak-beradik itu.
"Aduh! Aduh! Kakak jadi pusing nih!" Rangga ngedumel sambil memegangi
kepalanya.
"Kakak, please..! Bantu Cessa. Ajari Cessa banyak hal mengenai sepak bola. Apa aja.
Peraturannya kek, cara mainnya kek, pokoknya semua. Ya..? Ya..?" bujuk Cessa.
"Jangan masang muka melas gitu deh!" seru Rangga saat menyadari Adiknya mulai
menampakkan wajah memelas. Ekspresi wajah yang paling tidak disukainya. Karena saat Cessa
berbuat seperti itu, dia tahu dia tidak akan tega menolaknya.
"Kamu tahu tidak apa resikonya? Badan kamu akan pegel-pegel, pegel sampai kamu
merasa semua terasa akan copot. Setelah itu memar, tentu saja, karena kamu harus nendang-
nendang benda bulat yang dulu kamu anggap menyebalkan itu setiap hari, dan entah apa lagi.
Apa kamu siap dengan itu?"
"Itu.. apa benar separah itu? Tapi bisa hilang kan? Tidak akan berbekas, kan? Bibi, benar
kan bisa hilang?"

Satu hal yang harus digarisbawahi dari seorang Cessa, dia tidak pernah main-main.
Kalau dia bilang dia akan belajar, dia pasti akan melakukannya. Dia juga tidak pernah
setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Dalam waktu tiga hari, sesuai kesepakatannya
dengan Pak Hirman, dia melahap habis segala hal yang berbau sepak bola. Mulai dari sejarah
bola, peraturan, sampai strategi serta taktik dalam olahraga yang dianggap olahraga sejuta
umat itu. Dia juga menonton kembali rekaman-rekaman video pertandingan sepak bola
milik Kakaknya. Kebetulan Rangga, yang seoramg Juventini sejati ini, sering mengabadikan
pertandingan tim kesayangannya itu ke dalam rekaman video. Tidak hanya itu, Cessa-pun
turun tangan langsung berkenalan dengan olahraga ini.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 7

"Aduh!" Cessa mengusap kepalanya yang tertimpa bola. "Kakak, pelan-pelan donk!
Gimana sih, yang ada Cessa udah lecet duluan sebelum kerja," omelnya.
Rangga tertawa ngakak. "Kalau sama bola saja takut, gimana mau jadi asisten pelatih tim
sepak bola?"
"Cessa bukannya takut, Cessacuma.. ya.. Kakak kan bisa tidak usah keras-keras
nendangnya. Emangnya lagi tanding sama Del Piero apa?"
"Iya cerewet! Ya udah sekarang gini aja, kamu ke sini, biar Kakak yang gantian jaga
gawang," Rangga berkata seraya berjaan mendekati mulut gawang.
"Oh.."
"Tendang dengan sekuat tenaga ya!" teriak Rangga dari bawah mistar dan diangguki
Cessa.
"Ayo, Non Cessa. Non pasti bisa!" Setengah teriak, Bi Onah menyemangati dari
pinggir lapangan.
"Cess, cepetan deh! Tidak usah kebanyakan gaya!" teriak Rangga lagi saat dilihatnya
Cessa sibuk cari posisi buat nendang. Sampai beberapa kali ganti pose segala.
"Cerewet!"
Cessa pun memasang ancang-ancang. Dia bersiap untuk berlari dan kemudian
menendang si kulit bundar itu dengan sekuat tenaga. And one, and two, and three.. SYUUUT!
Bola itu ditendang hingga melesat cepat, dan.. home run. Kok home run? Ternyata, Cessa
menendang bola itu ke angkasa dan bukannya ke gawang yang dijaga Rangga.
"Waaaah! Cakep-cakep kuli!" seru Rangga setelah sadar bola itu kini telah berada di
luar lapangan.
Cessa kesal bukan main mendengar itu.
"Sekali lagi! Kali ini pasti masuk," teriaknya.
Ya, ini sudah tendangan yang ke-21, dan tidak satu pun dari tendangan Cessa yang
jangankan masuk, mengenai sasaran saja tidak.
"Heran! Masa sih segitu susahnya cuma mau masukin bola ke dalam gawang," gerutu
Cessa sambil terus mencari posisi tembak yang pas. Sebentar minggir ke kiri, sebentar lagi
minggir ke kanan.
"Non Cessa, semangat!" Lagi-lagi Bi Onah memberi suntikan semangat.
Cessa tersenyum. Meski agak dipaksakan. Sepertinya dia mulai gerah dan BeTe ngeliat tingkah
Kakaknya yang sekarang malah asyik-asyikan duduk di bawah mistar gawang.
"Kakak, jangan norak deh!"
"Siapa yang norak? Tendang saja dulu." Apa maksudnya?! Mana ada penjaga gawang
model begini. Enak-enakan deprok sementara algojo sudah siap mau nendang. RESE! Ini
namanya pelecehan, pikir Cessa. Sekali lagi, bukan Cessa namanya kalau langsung menyerah.
Di tendangannya yang ke-30, dia berhasil memaksa Rangga bangkit dari duduknya. SYUUUT!
Bola itu melesat dan.. tidak masuk sih, karena Rangga berhasil menghalaunya. Cessa bersorak
gembira. Bukan karena dia ngegolin, tapi karena dia berhasil melesatkan bola itu ke sasaran.
Dan satu lagi, bola itu memiliki power.
"Yeah! Berhasil..! Berhasil..!" Rangga berseru menirukan gaya Dora. Sebenernya sih
menirukan gaya Cessa, yang kala itu entah tanpa disadarinya atau tidak, mengikuti gaya Dora.
Dasar Cessa.

"Sudah, sudah! Bapak rasa sudah cukup, tidak perlu diteruskan lagi," pinta Pak Hirman
pada Cessa, yang tanpa lelah sedikit pun menjabarkan secara gamblang dan meyakinkan
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 8

tentang Sepak Bola mulai dari sejarahnya dulu sampai perkembangannya kini. Cessa diam.
Segurat senyum mengembang di wajahnya.
"Tidak perlu terlalu detail seperti itu. Bapak kok merasa kamu jadi mirip buku
berjalan," imbuh Pak Hirman lagi, tak habis pikir.
"Lalu.. bagaimana menurut Bapak? Apa sekarang saya sudah cukup memadai untuk
jadi asisten Bapak?"
"Ya.."
"Apa Bapak sudah menemukan orang yang tepat?" tanya Cessa melihat ekspresi wajah
Pak Hirman yang sepertinya sedikit bingung.
"Sebenarnya.."
"Tidak apa-apa kok, Pak. Kalau memang benar seperti itu, saya tidak keberatan. Hari
ini saya datang, anggap saja untuk menepati janji. Saya kan sudah janji sama Bapak bahwa
dalam waktu tiga hari akan belajar banyak tentang sepak bola, dan sepertinya saya sudah
menepati. Benar kan? Kalau begitu saya permisi. Saya.."
"Kalau begitu datang lagi lusa,"
"Hah?!"
"Apa kurang jelas?"
"Jelas. Iya, jelas sekali," Cessa mengucap semangat.
"Kita latihan seminggu tiga kali. Setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mulai dari jam
15.30 sampe jam 17.30 untuk hari Selasa dan Kamis. Sementara hari Sabtu, biasanya baru
selesai sekitar jam 18.00 atau setengah tujuh-an."
Cessa menganggukkan kepalanya. "Iya, sayamengerti, Pak."
"Oh ya, satu hal lagi. Kamu kerja di sini, kamu tahu kan apa artinya?"
"Iya. Saya harus membantu setiap pekerjaan Bapak, mulai dari a sampai z. Saya akan
lebih sering bersentuhan dengan sepak bola, dan juga mungkin akan menerima sedikit
hambatan dari anggota tim yang pastinya tidak menginginkan kehadiran cewek di sini.
Apalagi cewek itu saya," beber Cessa yang sepertinya paham betul reputasinya di sekolah.
"Kamu memang pintar. Ya sudah. Kalau begitu ingat, lusa jam 15.30. Jangan sampai
terlambat!" Pak Hirman mengingatkan sebelum Cessa meninggalkan ruangannya.
"Iya. Saya pasti datang,"
"Apa aku sudah gila? Gimana mungkin aku bisa secara tiba-tiba menyukai olahraga ini,
bisa begitu senang mendapat pekerjaan ini? Aku begitu membencinya, harus kuakui, dulu
aku begitu membenci olahraga ini," ucap Cessa dalam hati, heran pada dirinya sendiri.

Bab 3
Seperti melihat gernaha bulan kembar. Kira-kira se-menggemparkan itulah berita soal
terpilihnya Cessa sebagai asisten pelatih sepak bola SMA Saturnus. Tidak ada yang bisa percaya
sama berita ini. Tidak seorang pun! Jangankan orang, setan saja kalau dikasih tahu belum
tentu percaya. Sementara pertanyaan muncul dimana-mana. Di kubu tim sepak bola, tidak
ada yang lain selain perdebatan. Mereka-mereka inilah yang menunjukkan reaksi paling keras
soal keputusan Pak Hirman mempekerjakan Cessa. Tidak jelas juga apa alasannya. Karena
mereka merasa Cessa kurang kompeten atau karena sebagian dari mereka memang masih
dendam sama Cessa. Believe or not, di tim sepak bola ini ada beberapa cowok yang pernah
masuk daftar rejectan-nya Cessa.
"Pak, apa tidak salah? Apa benar yang saya dengar, bahwa Bapak akan mempekerjakan
dia sebagai asisten Bapak?" tanya Ilham pada Pak Hirman.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 9

Ilham adalah kakak kelas Cessa, dia satu angkatan sama Kevin. Dia juga, tak ubahnya
Kevin yang ngetop sebagai ketua OSIS yang tampan, Ilham dikenal lantaran tampang cool-
nya dan predikatnya sebagai cowok yang paling susah ditaklukkan. Dia adalah kapten di tim
sepak bola. Posisinya striker, meski cenderung jadi playmaker. Baik di dalam maupun di luar
tim, tidak ada satu pun yang tidak mengakui kehebatannya.
"Benar," jawab Pak Hirman singkat.
Ilham tertegun mendengar jawaban pelatihnya. "Bapak bercanda kan?! Itu pasti
cuma.."
Tok.. tok.. tok..
Ilham tidak melanjutkan kalimatnya ketika tiba-tiba saja dia mendengar suara pintu
diketuk.
"Selamat sore, Pak," kata orang dari balik pintu itu. Ternyata Cessa. Rambutnya yang
panjang diikat satu. Dia terlihat sporty, meski tetap cantik seperti biasanya.
"Maaf. Saya akan kembali nanti," katanya lagi seraya menarik dengan sepelan-
pelannya gagang pintu, bermaksud menutup, sampai Pak Hirman memanggilnya.
"Eh, tidak usah! Masuk saja tidak apa-apa," ucap Pak Hirman.
Cessa tersenyum. Pelan-pelan dia memasuki ruangan itu, selangkah demi selangkah
hingga akhirnya berdiri tepat di samping Ilham. Bisa dirasakan kalau cowok yang berada di
sampingnya itu tidak menyukai kehadirannya atau malah tidak menyukai dirinya.
"Ilham, kenalkan.. ini Cessa. Dia akan menjadi asisten Bapak mulai hari ini." Pak
Hirman bangkit dari duduknya. "Cessa, ini Ilham. Dia kapten tim di sini," kata Pak Hirman
seraya memukul perut Ilham dengan majalah yang ada di tangannya.
Baik Cessa maupun Ilham hanya saling menganggukkan kepala saat itu. Keduanya
tidak saling berjabat tangan. Ilham sepertinya terlalu enggan untuk menjabat tangan Cessa.
Cessa apalagi, dia paling malas jabatan tangan sama orang yang memang jelas-jelas tidak
minat salaman sama dia.
"Cessa sebagai tugas pertama, kamu pergi ke ruang ganti, minta anak-anak untuk
kumpul di lapangan, secepatnya!"
"Baik, Pak."
Cessa pun berangsur pergi menuju ruang ganti. Derap sepatu ketsnya terdengar
melewati lorong demi lorong.
"Sepertinya kamu masih butuh penjelasan ya?" tanya Pak Hirman lagi pada Ilham.
"Bukan cuma saya, Pak, yang lainnya juga. Maaf, Pak, kalau saya boleh tahu,
sebenarnya apa alasan Bapak menerima dia sebagai asisten pelatih? Dan apa Bapak tahu siapa
dia? Dia bahkan tidak tahu apa-apa soal sepak bola," terang Ilham.
Pak Hirman tertawa kecil menanggapi protes anak didiknya itu.

"Kalian sudah pasti kenal Cessa, kan?" tanya Pak Hirman kepada anak-anak tim sepak
bola, tak lama setelah tiba di lapangan. Saat itu, Cessa baru saja datang dengan membawa
bola-bola yang akan digunakan untuk latihan.
"Pak, sebenarnya ngapain sih dia di sini?! Kayak kurang kerjaan aja," Ryan mengucap
ketus.
"Iya. Emangnya cowok-cowok atau.. apapun namanya, sudah pada punah apa?
Sampai-sampai Bapak harus mempekerjakan dia sebagai asisten," Hendratidak kalah heran.
"Kalau kalian mau jawabannya, sebaiknya tanyakan pada Ilham. Bapak sudah
menjelaskan semua padanya dan tidak ingin mengulangnya,"
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 10

Arka dan kawan-kawan serta-merta menjatuhkan pandangan pada Ilham. Ilham


menjawabnya dengan anggukan. Agak malas, sama seperti biasanya.
"Oh iya, Cessa, kenalkan, itu Reno," Pak Hirman menunjuk ke arah cowok berambut
cepak yang berperawakan tinggi. Dia agak-agak mirip Ajun Perwira kalau di lihat dari
belakang.
"Itu Arka," katanya lagi seraya menunjuk ke arah seorang yang berambut pendek.
Mukanya bening banget. Tidak mirip seorang yang setiap hari lari-larian dan main-main di
panasan. Arka lebih mirip model iklan pembersih muka.
"Yang itu Doni," Kali ini Pak Hirman menunjuk ke arah seseorang yang punya lesung
pipit. Dia kelihatan lucu. Dia tersenyum pada Cessa. Tapi langsung mingslep ketika teman-
temannya melotot.
"Itu Ryan," Ryan mungkin satu-satunya yang selalu pasang tampang garang setiap
bertemu Cessa. Tapi meskipun begitu, dia tetap kelihatan keren. Rambutnya agak panjang. Di
Saturnus, peraturan soal rambut memang sedikit lebih longgar. Selama bentuknya masih
rambut dan tidak membahayakan orang, fine-fine saja.
"Itu Ogy," tunjuk Pak Hirman pada cowok berambut jigrak. Persis orang yang baru
kesengat listrik. Entah berapa banyak waktu yang dia butuhkan buat ngediriin rambutnya. Dia
pasti langsung nyalon pas azan Subuh berkumandang. Makanya baru bisa segaya itu ke
sekolah.
"Kalau yang agak kucel itu,Yongki," kata Pak Hirman lagi seraya menunjuk ke arah
cowok yang sebagian rambutnya menutupi wajah.
"Itu Hendra," lanjut Pak Hirman seraya menunjuk seseorang yang sedang
menimang-nimang bola dengan tangannya. Dia sangat tinggi, cocok banget jadi kiper.
Rambutnya dibuat ala mohawk.
"Nah, kalau yang itu Ody.." Pak Hirman menghentikan omongannya saat sadar
ekspresi wajah Cessa mendadak berubah menjadi bingung.
"Tidak usah bingung gitu, dia itu kembarannya Ogy," lanjut Pak Hirman.
"Oooh!" Cessa manggut-manggut.
"Tidak usah sok bloon gitu deh. Namanya juga kembar, ya mirip lah," tukas Ryan
sekenanya, membuat Cessa kesal bukan main. Beruntung saat itu ada Pak Hirman yang
meredakan.
"Itu Reza," lanjut Pak Hirman lagi seraya memperkenalkan cowok berambut agak
kecokelatan. Cowok tinggi bernama lengkap Reza Caraciollo Djunaedi itu memang blasteran
Betawi-Italy. Dia, yang kalau dilihat-lihat mirip Alberto Gilardino ini, sama halnya Ilham dan
Arka, masuk dalam top ten cowok paling diincar di sekolah. Sayangnya, dia sudah punya
pacar. Anak Saturnus juga. Cherry namanya.
"Yang itu Ricky," kata Pak Hirman lagi. Kali ini menunjuk kepada seseorang yang
memakai hand band di tangan. Dia tidak terlalu tinggi.
"Itu Yoga," Pak Hirman menunjuk ke arah cowok berambutacak-acakan. Ya, mirip-
mirip sama potongan rambutnya F4 .
"Nah, kalau yang itu, kamu sudah kenal kan?"
Ya, right, pikir Cessa. Cowok dingin itu. Cowok yang tidak tahu sopan-santun yang
barusan dilihatnya di ruangan Pak Hirman. Dia memakai siku band alias bandana di siku.
Matanya begitu dingin. Terkesan angkuh dan menakutkan.
"Itu Gerry, Gilang, Rama, Teuku, dan Romi. Masih ada beberapa lagi, Alex, Bakti,
sama Willy. Tapi sepertinya mereka tidak datang," ujar Pak Hirman menyelesaikan parade
perkenalannya.
Cessa mengangguk tanda mengerti.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 11

"Gimana? Sudah ingat belum?" tanya Pak Hirman lagi. Lebih mirip orang yang lagi
nge-tes.
Cessa terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengulang kembali satu demi satu nama
yang disebutkan Pak Hirman tadi secara mendetail. Tidak ada yang salah atau tertukar sedikit
pun, bahkan untuk kasus Ogy dan Ody. Si kembar yang satu ini dikenal sangat identik. Tidak
hanya perawakan mereka yang sama, potongan rambutnya juga sama. Tapi, jangan sebut
Cessa kalau hal sekecil ini saja tidak bisa membedakan.
"Kok kamu bisa tahu?" tanya Ogy heran. Padahal, dia dan Ody sudah bertukar tempat
tanpa sepengetahuan Cessa.
"Ody yang warna matanya agak kecoklatan, sementara kamu hitam," jawab Cessa
singkat.
"Hebat ! Papa akusaja masih sering keliru," tukas Ody.
"Wah! Kalau gitu kamu mesti tanya lagi. Jangan-jangan bukan Papa kamu asli,"
tambah Reno sekenanya, membuat Ogy dan Ody kontan menganugerahinya sebuah pukulan
di kepala.
“Sialan!”
"Aku serius, Bro. Emang benar ya, nih cewek segitu pintarnya?!"
"Yang pasti dia lebih pintar dari kamu!" jawab Arka santai.
"Lagian kalian berdua, kenapa juga bisa mirip semua-muanya. Potong rambut kek Gy,
atau kamu, Dy. Biar lebih gampang ngebedainnya!" Hendra memberi saran, diamini teman-
temannya.
Ogy dan Ody saling memandang satu sama lain."Ah, pada berisik kalian semua!"
lontar keduanya kompak.
"Hei! Kalian sedang apa? Kalian kira kita lagi arisan. Cepat ke sini dan lari sepuluh
putaran!" teriak Pak Hirman dari tengah lapangan. Suaranya naik dua oktaf saking nyaringnya.
Ilham dan yang lain menganga mendengar itu. Semua kaget, tak terkecuali Cessa.
"Apa maksudnya!? Lari sepuluh putaran? Mau bikin kita mati muda apa?!!!"

"Guys, aku heran deh sama Pak Hirman, ngapain coba dia nerima tuh cewek jadi
asisten pelatih?! Apa dia tidak tahu siapa tuh cewek? Cewek kayak dia, bahkan tidak tahu apa-
apa soal sepak bola. Aku berani jamin, dia pasti bakal teriak, Aaaaw! kalau kena bola," kata
Ryan tak lama setelah mereka memasuki ruang ganti.
"Seharusnya kita tes aja tadi. Kita senter dia pakai bola. Apa benar reaksinya kayak
yang kamubilang, 'Aaaaw!'" imbuh Reno menirukan gaya seorang cewek, membuat yang lain
geli.
"Eh, sebenarnya kamu tahu tidak kenapa Pak Hirman bersikeras nerima dia?" tanya
Reza pada Arka,si empunya posisi gelandang tengah di tim ini.
"Kata Ilham sih.. ya karena memang cuma dia satu-satunya yang datang ngelamar.
Satu-satunya yang mau digaji murah," jawab Arka.
"Hah?! Brengsek!" Ryan melempar sepatunya ke lantai. Membuat Hendra mencelat
saking kagetnya.
"Mau digaji berapa memangnya orang-orang? Apa mereka pikir ini serie A, yang sekali
napas saja dihargain satu juta!?" lanjutnya emosi.
"Berarti pemain bola yang asma cepat kaya donk kalau main di serie A?" celetuk Ody.
"Cepet kaya? Yang ada cepat mati, bloon!" balas Reno.
"Kalau anak-anak yang lain saja mikir gajinya terlalu murah, terus. Kenapa juga dia
mau?" tanya Doni kali ini, heran. Soalnya memang begitulah bentuk wajahnya saat ini.
Menganga.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 12

"Ya, karena dia sudah bangkrut!" jawab semuanya kompak. Bangkrut, memang itulah
anggapan banyak orang soal kehidupan Cessa yang baru ini.
"Apa iya sebangkrut itu!? Benar-benar bangkrut gitu? Dia itu kan cantik, pintar,
kayaknya masih banyak deh pekerjaan lain yang bisa dia dapat. Jadi model atau pemain
sinetron misalnya, daripada jadi asisten pelatih tim sepak bola?! Tidak make sense banget!"
"Benar juga." Ryan mengamini pendapat temannya.
"Heh, tidak semua orang cakep mau jadi model, lagi. Buktinya aku. See, aku lebih
milih main bola di sini daripada nerima tawaran agenai iklan." Reno menyombongkan diri,
membuat yang lain ingin menendangnya.
"Situ... oke?!" teriak yang lain bersamaan.
"Males!"

"Gimana, Ham? Gimana pendapat kamu tentang Cessa?" tanya Pak Hirman.
Sesaat Ilham diam. Alaaah, makin malas saja dia. Sejak awal dia sudah menduga bahwa
Pak Hirman memanggil dia untuk membahas perihal Cessa.
"Jujur, saya kurang suka. Bukan karena apa-apa, saya cuma tidak yakin saja kalo dia
serius mau jadi asisten pelatih, kayaknya tidak masuk akal. Dan saya rasa yang lain juga tidak
begitu suka dengan kehadirannya," papar Ilham.
"Bapak tahu. Itu terlihat jelas. Tapi apa iya kamu tidak mau kasih dia kesempatan?"
"Saya? Di tim ini kan bukan cuma ada saya sendiri, Pak. Apa tidak terlalu berlebihan
menanyakan hal itu ke saya?"
"Justru itu Bapak nanya ke kamu!"
"Maksudnya!?"
"Kamu tahu maksud Bapak. Teman-temanmu itu, mereka sangat patuh padamu kan?
Jadi, asalkan kamu mau kasih Cessa kesempatan, Bapak rasa yang lain juga," kata Pak Hirman
beralasan. Memang benar kata Pak Hirman, Ilham di mata teman-temannya nyaris tidak
punya cela. Dia tipe pemimpin sejati. Jadi, wajar saja kalau semuanya paling gampang
dibilangin sama dia.
"Apa maksudnya patuh sama saya?"
"Ya memang gitu kan kenyataannya. Kadang Bapak merasa mereka itu lebih takut
sama kamu daripada Bapak."
Ilham diam sesaat. "Kalau memang menurut Bapak kami harus memberi dia
kesempatan, saya akan bilang sama yang lain. Meski saya juga tidak bisa janji kalau mereka
tidak akan menyulitkan nih cewek," tegas Ilham.
"Cessa, namanya Cessa."
Ilham manggut-manggut saat Pak Hirman meralat omongannya. Jelas terlihat kalau
dia memang kurang menyukai cewek ini.
"Satu lagi, kalau Bapak boleh tahu, sebenarnya ada masalah apa antara kamu dengan
Cessa?" tanya Pak Hirman mengagetkan Ilham.
"Emangnya kelihatan ada masalah antara saya sama dia, Pak?"
"Kamu itu kalau ditanya tidak usah balik nanya!"
"Tidak ada, Pak, saya cuma tidak suka saja."
"Oh ya? Bapak kenal kamu. Kamu selalu punya alasan untuk semua yang kamu
lakukan. Termasuk kalau kamu tidak suka terhadap sesuatu." Pak Hirman menetidak kopi
manis yang tadi dibuat Cessa untuknya. "Jangan-jangan kamu termasuk dalam kelompok
cowok yang pernah di-reject dia ya?" tanya Pak Hirman iseng.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 13

"Enak saja! Memangnya saya kue," Ilham membela diri. Antara percaya tidak percaya,
Pak Hirman meledeknya seperti itu.Pak Hirman tertawa kecil melihat kekesalan anak asuhnya
itu.

Hoooh! Cessa menarik napas dalam-dalam. Kakinya perlahan menaiki satu demi satu
anak tangga. Kaki Cessa terus melangkah menjejaki satu demi satu lantai anak tangga. Terus
dan terus dia melangkah, sampai sebuah pemandangan yang tidak biasa membuatnya
spontan melengos.
Cessa melihat Alex. Dari sekian banyak anak ekskul bola, Alex mungkin satu-satunya
yang lumayan familier di matanya. Masalahnya, Alex adalah pacarnya Riri, salah satu musuh
bebuyutannya. Saat itu, Cessamelihat Alex masuk ke toilet dengan tergesa-gesa. Ya..
sebenarnya tidak ada yang aneh dengan cerita orang lari terbirit-birit ke toilet. Tapi untuk
kasus yang satu ini, Cessa sama sekali tidak yakin kalo Alex cepet-cepet masuk ke toilet cuma
untuk itu. Ya, tau donk maksudnya. Gelagat yang ditunjukin Alex sama sekali tidak
menyiratkan gelagat orang yang mau nabung atau sebagainya. Tapi lebih dari itu. Dengan
penasaran Cessa mendekati toilet itu. Selama beberapa menit dia diri di sana. Bisa dilihat
beberapa orang yang keluar dari tempat itu memandang heran ke arahnya.
"Apa?! Apa ada peraturan dilarang berdiri di depan toilet cowok?!" lontarnya sedikit
kesal, saat sadar tidak cuma orang yang keluar dari toilet saja yang mulai memandang heran
ke arahnya, tapi juga orang-orang yang melewati tempat itu.
"Sebenarnya dia kenapa?" batin Cessa tidak lama setelah melihat Alex keluar dari toilet
dalam keadaan yang benar-benar beda dari saat dia masuk tadi. Belum sempat dia menetralisir
keheranannya, tiba-tiba saja seseorang yang tidak bertanggung jawab menabraknya dari
belakang. BRUUK! Membuatnya nyaris terjungkal.
"Hei! Kalau jalan lihat-lihat donk!" serunya.
"Kenapa? Kamutidak suka? Memangnya kenapa kalauaku nabrak kamu?" tanya orang
itu tanpa rasa bersalah. "Kamu kira aku takut ya? Kamu tuh bukan siapa-siapa lagi sekarang.
Dulu boleh aja kamu bertingkah, bisa aja seenaknya marah-marah ke orang. Orang bisa saja
takut sama kamu, tapi sekarang.." Orang itu tertawa kecil seraya melihat tegas-tegas ke arah
Cessa. "Sekarang bahkan nothing else respect about you," lanjutnya penuh ejekan.
"Kamu..!" Cessa kesal setengah mati mendengarnya. Lebih kesal lagi dia, ketika tiba-
tiba orang itu, lagi-lagi tanpa rasa bersalah sedikit pun berangsur pergi. Cessa berjalan cepat
mengejar orang itu, lalu menarik badannya, hingga membuat mereka berhadapan dalam jarak
dekat.
"Hei! Emangnya kenapa kalau aku bukan siapa-siapa lagi? Kalau kamu pikir apa yang
ku alami ini bisa membuatmu juga yang lainnya seenaknya mengejekku, kamu salah! Kalau
kamu pikir ucapanmu yang tadi bisa membuatku takut, kamu juga salah! Dengar baik-baik,
aku, aku boleh kehilangan semuanya, tapi aku tidak akan membiarkan kamu atau pun yang
lainnya menghinaku. Ingat itu baik-baik!" lontarnya tajam.

Masih terngiang di telinga Cessa, ucapan salah seorang teman sekelasnya di depan
toilet kemarin siang. Darahnya serasa mendidih bila mengingat itu. Pengen banget rasanya
dia nendang cowok kurus yang lagaknya sejuta dan selalu mau kelihatan cool itu ke dalam
gawang. Gawang, iya, benda itulah yang kini tengah diamatinya dalam-dalam. Baru tahu dia
kalau ternyata gawang itu begitu luas. Pantas saja jadi kiper harus kerja ekstra keras. Selama
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 14

beberapa saat Cessa terdiam. Pandangannya lurus melihat ke kejauhan. Terus dan terus begitu,
sampai..
"Aaaw!" Cessa memekik kaget. Sebuah bola mampir di kepalanya.
"Rasain!" Ryan berseru senang. "Apa?! Mau marah ? Ke siniin bolanya!" lanjutnya lagi
setengah menyuruh. Sama sekali tanpa rasa bersalah.
What?! Udah sembarangan ngenain kepala orang pakai bola, sudah ganggu acara
bengong orang, nyuruh-nyuruh seenaknya, pake acara teriak lagi,pikir Cessa.
"Hei, kamu tidak bisa lebih sopan ya?Kalau minta seseorang untuk melakukan sesuatu
itu harus selipin kata tolong," kata Cessa tajam.
"What ever! Aku memang tidak sopan, trus kenapa? Kamu kira aku lagi kursus
kepribadian. Harus sopan-sopan segala?"
"Kalau gitu kamu memang harus ikut kursus kepribadian!"
"Heh! Jangan rese deh! Bawa bolanya!" lanjut Ryan seraya berjalan ke dalam lapangan.
Lagi-lagi Cessa dibuat kesal setengah mati karenanya. "Dasar tidak sopan!"
Dilemparnya salah satu bola hingga mengenai punggung Ryan. BUUK!
Ryan membalikkan badannya. Dia sudah siap menelan Cessa ketika tiba-tiba saja
mendengar suara itu..
"Ada apa ini?" tanya orang itu. Pak Hirman! Bergantian Pak Hirman melihat ke arah
Cessa dan Ryan. "Ada apa, Cess?"
"Oh.. Tidak ada apa-apa kok, Pak," jawab Cessa akhirnya.
Ryan pun berjalan kembali menuju lapangan. Bisa dilihat beberapa anak menunggunya
dengan cemas.
"Apa Ryan bilang sesuatu sama kamu?" tanya Pak Hirman lagi.
Cessa menggeleng. "Cuma salah satu cara untuk membuat saya kesal."
"Begitu..? Ini baru awal, nanti yang lain juga mungkin akan nyusahin kamu,"kata Pak
Hirman.
"Cessa tahu,"
"Kalaubegitu semoga berhasil," Pak Hirman menepuk pundak Cessa.
"Makasih, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Bapak,"
"Kamu tidak usah khawatir soal itu. Kamu sudah mau membantu Bapak ssaja, Bapak
udah senang. Sekarang Bapak mau, kamu mulailah untuk mengenali mereka satu per satu.
Bukan cuma namanya, tapi juga kekurangan dan kelebihan mereka sebagai pemain bola.
Memang tidak gampang, tapi kamu bisa belajar, kan?"
Cessa mengangguk pelan.

"Guys, kalian semua beneran tidak punya rencana apa-apa buat bikin tuh cewek keluar
dari sini?"tanya Ryan pada teman-temannya, tidak lama setelah latihan usai. Tangannya sibuk
memijat-mijat kakinya.
"Rencana buat bikin dia keluar? Maksud kamu?!" tanya Doni.
"Yee, dia nanya,"
"Ya, kalautidak paham bukannya memang harus tanya?"
"Tapi kan tadi aku nanya duluan. Kalau kamu nanya lagi, terus siapa yang jawab?!"
Arka dan yang lain geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka.
"Heh! Kalian berdua ngapain sih? Begitu saja dibahas!" seru Ilham.
"Benar kata Pak Hirman kali, kita memang perlu memberi diakesempatan.Gimana,
Ham?" tambah Arka seraya melirik ke arah Ilham. Ilham hanya diam.
"Aduuh, aku tuh tidak bisa membayangkan, kalau suatu saat dia bakal menggantikan
Pak Hirman untuk melatih kita. Mau jadi apaan nih tim?" kata Ryan lagi.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 15

"Jadi tempat kursus kepribadian kali. Eh, kalian semua lihat tidak, dia kayaknya teratur
banget, segala sesuatu sepertinya harus sempurna di matanya. Belum lagi dia juga selalu
bilang itu tidak sopan atau ini tidak sopan, atau semacamnya," timbrung Reno.
"Ya wajar lah. Cewek kan memang harus begitu. Emangnya kamu mau kalau punya
cewek serampangan, seradak-seruduk, tidak pernah beres melakukan sesuatu, terus kayak
preman?" Doni menjelaskan.
PLOOK! Tiba-tiba saja sebuah handuk mengenai kepalanya. Ngomong-ngomong
soal preman, Reza, yang ceweknya dikenal tomboi abis di sekolah dan cenderung kayak
preman, sedikit tersinggung rupanya.
"Maksud aku bukan dia," Doni membela diri.
"Heh! kamu kenapa jadi ngebelain dia sih, Don?" protes Ryan.
"Siapa yang ngebela? Akukan cuma kasih pendapat!"
"Whatever! Pokoknya aku illfeel sama tuh cewek, titik. Dia lebih mirip penganggu
daripada asisten."
Tok.. tok.. tok..
"See, sebelumnya tidak ada seorang pun yang mengetuk tuh pintu, masuk ya masuk,"
kata Ryan lagi saat mendengar pintu ruang ganti diketok. Seperti dugaannya, itu Cessa.
"Sorry," ucap Cesssa seraya pelan-pelan membuka pintu.
"Mau apa?! Mau melihat kita ganti baju?" kata Ryan ketus.
"No thanks," balas Cessa tidak kalah tajam. "Aku cuma mau tanya, apa aku masih
dibutuhkan di sini? Karena kalau tidak, aku akan pergi."
"Emangnya ngerasa kita butuh kamu ya?"
Apa?! Rasanya Cessa ingin sekali menggaruk muka Ryan saat dia mengatakan itu.
Kalau situasinya terus seperti ini, entah sampai kapan dia masih bisa bertahan. "Aku cuma
nanya. Kalauiya, jawab iya. Kalautidak, ya jawab tidak. Apa perlu balik tanya?" balas Cessa
sedikit kesal.
Dia bisa melihat pandangan Ilham dan yang lain tertuju padanya.
"Sekarang kan baru jam 16.45, memangnya tidak diberitahu Pak Hirman kalau jam
kerja kamu baru selesai setengah enam?" tanya Ilham. Wajahnya sama sekali tidak melihat ke
arah Cessa. Dia sibuk memasukkan benda-benda keperluannya ke dalam tas.
"Aku tahu. Hanya saja, hari ini aku harus pulang lebih awal," jawabCessa. "Aku juga
sudah bilang tentang ini ke Pak Hirman."
"Kenapa? Apa kamu sudah ada janji sama orang? Nge-date mungkin?" tambah Reno
setengah meledek.
"Ya mustahil lah Ren. Dia kan sudah diputusin sama Kevin tercayang," sambar Ryan
nyeleneh.
Cessa mengernyitkan mata mendengar ledekan keduanya.
"Udah! Eh, mending kamu keluar saja deh. Kita tidak butuh apa-apa," Ilham berusaha
mencairkan suasana yang mulai panas.
"Permisi," pamit Cessa. "Oh ya, aku tidak tahu ada masalah apa antara aku sama
kamu," Cessamelihat ke arah Ryan. "Tapi kalau boleh kasih saran, kamu, juga kamu (melihat
Reno), kalian berdua lebih baik ikut arisan saja. Cocok banget jadi bapak-bapak rumpi.
Kurang kerjaan!" lanjutnya tanpa bisa menahan emosi, sesaat sebelum meninggalkan ruang
ganti.
Ilham dan yang lain kontan saja dibuat kaget dengan sikapnya itu. Berani benar tuh
cewek? Tidak sadar apa dia ada dimana? Pikir anak-anak saat itu. Bergantian mereka menoleh
ke arah Ryandan Reno.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 16

"Sialan! Kayaknya dia memang harus diberi pelajaran nih," imbuh Ryan emosi.
Tangannya sibuk meremas handuk. Giginya bergemeretak.
"Kenapa tidakkamu kejar saja dia sekarang. Terus, kamu makan deh." Arka memberi
saran, membuat yang lain tertawa, kecuali Ryan tentunya.
"Aku heran deh sama tuh cewek. Dulu dia boleh sombong setengah mati. Itu karena
dia punya semuanya. Tapi sekarang, dia bahkan tidak punya apa-apa. Tapi kenapa sikapnya
tidak berubah ya? Maksudku.. Kalian semua lihat donk, dia tetap dia yang biasanya," Hendra
terheran-heran.
"Yang biasa nolak kamu maksudnya?" sahut Reno santai. Hendra spontan melempar
kaos kaki buteknya ke muka Reno. Membuat Reno megap-megap saking tidak tahan sama
baunya. Benar memang kata Reno. Waktu pertama kali Cessaresmi jadi penghuni SMA
Saturnus, Hendramemang pernah mencoba pedekate, tapi.. Nihil. Dia ditolak mentah-
mentah lantaran Cessa sudah menambatkan hatinya pada Kevin.
"Kenapa?! Kamu juga mau tahu gimana wanginya kaos kakiku?" hardik Hendra. Kali
ini pada Doni yang baru mau membuka mulutnya.
"Ge-er! Aku cuma mau bilang, itu namanya berkarakter dan berkelas. Dia adalah dia.
Tidakpeduli apa kata orang, tidak peduli banyak orang yang nyudutin dia. Tetap saja percaya
diri," kata Doni.
Semua hanya diam. Antara percaya dan tidak Doni bisa ngomong begitu.
"Sudah-sudah! By the way, kalian semua ada yang tahu tidak sih kemana Alex? Akhir-
akhir ini kok aku jarang lihat dia ya?"
"Iya tuh, Ham. Aku juga tidak mengerti. Dia keseringan bolos. Terus, tuh anak juga
kalau diajak ngobrol bawaannya mau pergi mulu. Kemaren sih dia memang masuk, tapi hari
ini dia tidak masuk lagi," jawab Reza. Dia teman sekelas Alex di 3 IPS 1.
"Kamu-nya kali yang salah. Jangan-jangan kamu ngomong sama dia pakai bahasa
Italy, makanya dia tidak mengerti, terus pergi," kata Reno sekenanya.
"Atau malah pakai bahasa Betawi kamu yang kacau," tambah Ogy.
Reza mengambil sepatu Ryan dari kakinya dan melemparnya ke arah dua temannya
itu. Untung meleset. Kalaukena, bisa-bisa terjadi pertumpahan darah.
"Apa mungkin karena masalah Ortunya?" Arka meredakan ketegangan.
"Emang ortunya kenapa,Ka?" tanya Doni.
"Dengar-dengar sih mau cerai."
"Emang kamu hakimnya ya? Kok tahu?" Ryan berkata dengan isengnya.
“Au....ah” jawab Arka sebal

"Non Cessa.. Non kenapa?!" Bi Onah terkejut, melihat beberapa tetes air mata yang
membasahipipi majikannya.
Cessa cepat-cepat menyeka air matanya. "Tidak apa-apa kok," jawabnya
"Tidak apa-apa? Terus kenapa Non nangis?"
"Tidak, Bi, Cessa cuma.."
"Emangnya kerjaan jadi asisten bola berat ya, Non? Sampai-sampai buat Non sedih
kayak gini?"
Cessa tersenyum di antara air matanya. "Asisten pelatih, Bibi.. Bukan asisten bola,"
katanya.
"Iya. Iya itu maksud Bibi,"
Selama beberapa detik suasana hening. "Bi, memangnya Cessa yang dulu jahat banget
ya? Jahat sampai-sampaisekarang semua orang benci sama Cessa. Apa Cessa yang dulu juga
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 17

sombong banget? Cessa pasti sudah banyak menyakiti hati banyak orang, iya?" tanya Cessa
tanpa bisa menyembunyikan kesedihannya. Suaranya parau.
"Kok Non ngomong kayak gitu?"
"Ya, karena sekarang Cessamerasakan sendiri akibatnya. Semua orang benci sama Cessa,
Bi. Bibi tahu? Sekarang ini, tidak ada seorang pun yang mau temenan sama Cessa. Mereka,
Kevin, dan semuanya, sekarang ninggalin Cessa. Cessatidak tahu lagi harus gimana. Cessajuga
tidak tahu bisa tahan sampai kapan. Semua orang, semua orang kayaknya ingin selalu
menyudutkan Cessa, Bi. Cessa.." Cessatidak bisa menyelesaikan omongannya. Air matanya
terlanjur membanjir.
"Non Cessa.." Si Bibi mengucap pelan tanpa bisa melakukan apa-apa untuk
mengurangi kesedihan majikan kecilnya itu.
"Oh ya, Bibi jangan kasih tahu Kakak ya," Cessa menyeka air matanya. "Cessatidak
mau Kakak sampai tahu soal ini. Cessatidak apa-apa kok.
Besok juga baik lagi,"lanjutnya seraya tersenyum tipis. Meski agak dipaksakan.
Bi Onah mengangguk pelan. Jari telunjuknya ditempelkan di bibir, sebagai tanda dia
akan menjaga rahasia.
"Makasih ya, Bi, sudah mau mendengarkan Cessamenangis,"
Bi Onah tersenyum. Sesekali dia memegang matanya. Mencoba menghilangkan jejak
air mata yang sepertinya juga sempat jatuh tadi.
"Ya sudah, kalaubegitu sekarang Non tidur ya. Jangan nangis lagi. Besok pagi Bibi
buatkan nasi goreng kesukaan Non,"
Cessa mengangguk pelan. Senyumnya merekah.
"Oh ya, Non, yang Non bilang tadi sama sekali tidak betul. Non sama sekali bukan
orang jahat. Non tahu kenapa? Karena orang yang jahat tidak mungkin bisa sesayang itu
sama Kakaknya. Orang yang ngomong kayak gitu, pasti tidak kenal sama Non. Mereka cuma
orang-orang.. huh!" Bi Onah mengacungkan ibu jarinya ke bawah. Cessa sampai tertawa
melihatnya.
Bibi benar. Mulai sekarang, aku tidak mau lagi memusingkan apa kata orang. Aku
tidak akan membiarkan siapa pun membuatku jatuh. Aku boleh kehilangan semuanya, tapi
aku tidakakan membiarkan orang lain menjatuhkanku. TIDAK AKAN!!!

Bab 4

Tidak terasa, dua minggu sudah berlalu. Dan selama itu juga Cessa sudah menjabat
sebagai asisten pelatih tim sepak bola di sekolahnya. Seperti dugaannya, selama itu juga dia
diperlakukan seenaknya oleh anggota tim sepak bola. Seenaknya di sini bukan dalam arti
yang gimana-gimana, lebih pada ke sindiran demi sindiran, perintah tidak jelas
juntrungannya, danhal-hal jail lainnya. Semakin menjadi-jadi Ilham dan kawan-kawan karena
dua kali latihan terakhir itu Pak Hirmantidak datang lantaran sakit.
"Aaaaw!" "Aduuuh!" "Hei!" "Jangan norak deh!" "Rese!" "Kalian!" "Kurang kerjaan!"
"Awas ya!" Mungkin itulah beberapa ekspresi atau tepatnya pekikan yang kerap kali meluncur
dari mulut Cessa, tiap kali Ilham dan kawan-kawan mengerjainya. Senteran bola, siraman air,
sampai dikunci di ruang penyimpanan bola pernah dirasakan Cessa. Saat itu, ingin sekali dia
mengadu.
Membiarkan Kakaknya menghajar Ilham dan kawan-kawan. Tapi dia tidak bisa. Dia tidak mau
kalah dari cowok-cowok kurang kerjaan itu. Pokoknya dia tidak boleh berhenti. Karena
memang itulah yang diharapkan Ilham and the gank
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 18

"Hei dengar ya! Kalau kalian pikir aku akan menangis atau semacamnya, kalian salah!
Mau mengunciku di sini? Silahkan saja!" teriak Cessa dari balik ruang penyimpanan bola. Saat
itu, Ryan cs untuk kesekian kali kembali menguncinya di sana.
"Gila juga nih cewek!" seru reno heran, tidak lama setelah mengunci pintu.
"Bro, sampai kapan kita ngunci dia di sini?" tanya Hendra pada Ilham.
"Terserah!" Ilham menjawab singkat. Dia pun berjalan meninggalkan ruang
penyimpanan bola dan pergi ke lapangan. Beberapa di antaranya mengikuti dia, beberapa lagi
tetap bengong di depan ruang penyimpanan. Mereka adalah Reno, Doni, dan Hendra.
Selama beberapa detik, suara Cessa tidak terdengar.
"Ren, jangan-jangan?"
"Ah, apaan sih ?! Jangan bikin aku takut deh," Reno melirik Doni.
"Ren, aku serius," kata Doni lagi. Raut wajahnya bikin ngeri.
Reno yang saat itu baru aja berniat menyusul Ilham, mengurungkan niat. Dia berbalik
mendekati pintu ruang penyimpanan bola. Telinganya ditempelkan di badan pintu.
"Heh Cess! Woi!" Reno mengetuk-ngetuk pintu. "Kamutidak apa-apa kan?"
Sepi. Tetap tidak juga terdengar suara dari balik pintu. Reno, Doni, juga Hendra saling
berpandangan. Reno baru aja mengutus Doni untuk memberi tahu keanehan ini pada Ryan.
Kebetulan emang dialah si pemegang kunci, sampai terdengar suara itu.
"Kenapa?! Kalian takut aku mati ya?" Suara teriakan terdengar dari dalam ruangan.
Reno dan kedua temannya sampai kaget, tapi sekaligus lega.
"Jangan khawatir! Aku tidak akan mati sebelum membalas kalian!" teriak Cessalagi.
Suara rusuh terdengar jelas ketika dia melempar sebuah bola ke badan pintu. GEDUBUK!
GEDUBUK! Reno, Hendra, dan Doni lagi-lagi dibuat melompat saking kagetnya.
"Busyet deh nih cewek!"
"Heh! Kita mau latihan dulu, Kamu baik-baik di sin.."
"Jangan banyak ngomong!" Cessa kembali berteriak, membuat Renotidak cuma kaget,
tapi juga lupa apa yang mau diomongin barusan."Kalian nikmatin saja latihan kalian sekarang,
dan tunggu PEMBALASANKU!" lanjut Cessa.
Reno, Hendra, dan Doni, saling berpandangan. Masih dengan mengelus dada.

"Ya elah, gimana sih? Sudah jam tiga lewat kali," kata Ryan tidak habis pikir. Dia terus
saja gerasak-gerusuk di rumput. Kayak orang lagi berjemur lagaknya.
"Ham, Pak Hirman beneran sudah keluar dari rumah sakit kan?" tanya Reno. Matanya
tertuju pada Ilham.
"Iya nih, sudah jam segini kenapa belum datang juga? Tuh cewek juga belum nongol-
nongol," tambah Reza tak kalah heran.
"Ham, kenapa sih Pak Hirman nyuruh kita latihan hari Jumat? Perasaan besok kita
sudah latihan lagi deh?" tanya Ogy kali ini.
"Mana aku tahu!" jawab Ilham seraya beranjak meninggalkan lapangan.
"Kamu mau kemana?"
"Pulang!"
"Lho, bukannya Pak Hirman nyuruh kita menunggu?!"
Ilham tidak menjawab. Dia hanya mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi.
Mengisyaratkan dia sama sekali tidak peduli dengan konsekuensi yang mungkin harus
diterimanya nanti.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 19

"Aku juga mau balik deh. Ngantuk!" kata Arka.


"Heh! Bukannya pak Hirman bilang akan ada hukuman lari 20 putaran buat yang
telat?" tanya Doni.
Ryan, Reno, dan yang lain juga ikut-ikutan pergi.
"Peduli amat disuruh lari 20 putaran. Paling-paling juga masuk UGD," tambah Reno
nyantai.
"Iya kalau pakai acara masuk UGD dulu. Kalau langsung masuk kuburan gimana?"
gerutu Doni.

Cessa tengah berdiri di depan lokernya. Senyam-senyum sendirian. Haaaa! Baru tahu
kalau ngerjain orang bisa terasa begitu menyenangkan. Pembalasan yang seimbang, batinnya.
Selama beberapa saat dia terus-terusan seperti itu. Melamunkan kejayaannya karena berhasil
menghancurkan Ilham and the gank. Terus dan terus, sampai terdengar suara yang
membuatnya bergidik. Suara dingin seseorang yang menjalar dari balik punggungnya.
"Kamu kira hebat ya sudah bisa ngerjain kami?!" kata suara itu.
Cessa terdiam sejenak. Sekuat tenaga mengatasi keterkejutannya. "Apa maksudnya? Kenapa
dateng tiba-tiba? Ngagetin aja!" Dia menepuk dada.
"Jangan pakaitanya! Dan jangan pura-pura tidakmengerti!" Orang tadi mendorong
pintu loker Cessa hingga menutup. BRUUK! Untung saja Caessa sudah narik kepalanya keluar.
Coba kalau belum, bisa "tamat" kali. Kan, tidak seru banget kalau game over dengan cara
begitu.
"Kamu kira akutidakk tahu siapa yang mengirim SMS itu?!"
"Oh ya? Apa harus kasih selamat?!" Cessa menjawab enteng.
"Jangan sok deh!"
"Am I?"
Cowok itu diam sejenak. Tatapannya luris dan dingin, seolah menusuk ke mata Cessa.
Tapi bukan Cessa namanya kalau dilihatin begitu langsung ciut. Tidak ada lagi ceritanya dia
takut sama nih orang. Dia pun menatap balik ke mata yang dingin itu. Mata Ilham.
Apa?! Memangnya cuma kamu yang bisa nakutin orang pakai mata? Memang cuma
kamu aja yang bisa melotot? Batin Cessa.
"Ok! kamu hebat, bisa tahan sampai dua minggu. Tapi itu tidak akan lama lagi. Kali ini
kami akan benar-benar membuat kamu berhenti jadi asisten pelatih," balas Ilham tidak kalah
garang.
"Dan mengingkari janji kamu sama Pak Hirman, yang katanya mau memberiku
kesempatan?"
Ilham terdiam.
"Sebenarnya ada masalah apa?! Kenapa aku merasa saat ini kamu ngomong bukan atas
nama teman-teman kamu? Kamu benci sama aku, kan? Ilham, apa aku pernah bikin salah
sama kamu?" Cessa yang mulai merasakan adanya keanehan dalam sikap Ilham bertanya
bertubi-tubi.
"Mau tahu? Pikir sendiri!" Ilham pun pergi begitu saja meninggalkan Cessa.

Belum tuntas Cessa memikirkan perkataan Ilham pagi tadi, tiba-tiba saja masalah baru
kembali muncul. Sebenarnya, untuk yang satu ini, dibilang masalah ya bukan masalah,
dibilang bukan masalah ya masalah, karena membuatnya sangat terganggu. Membuat
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 20

kepalanya hampir pecah, membuat hatinya hancur bak telur yang dilindas mobil. Saat itu, di
sudut ruangan, tidak jauh dari gudang yang di sebelahnya ada UKS, Cessa melihat Kevin
tengah memegang erat tangan seseorang, lalu memeluknya erat.
Seketika saja air matanya jatuh, hatinya terasa sakit, sakit seperti disayat-sayat. Tanpa
disadari, lubang yang masih merah di hatinya itu kembali menganga. Hatinya bertambah
sakit lagi saat melihat wajah cewek itu. Cewek cantik dengan rambut sebahu itu mengenakan
sweater berwarna pink. Sweater yang benar-benar dikenalinya, karena memang dialah yang
memilihkan sweater itu. Cewek berambut lurus itu tak lain Bella, satu-satunya orang yang
pernah dekat dengannya di sekolah di samping Kevin. Cessa masih ingat betul saat itu, saat dia
dirawat di rumah sakit. Saat itu, Bella datang tidak hanya untuk menjenguk atau
menyemangatinya, tapi juga untuk mengucapkan salam perpisahan. Yup, Bella bilang dia
akan dikirim orang tuanya ke Paris untuk belajar bahasa Perancis. Tidak disangka, tiga bulan
itu kini telah berlalu. Dan di sinilah Bella sekarang. Di hadapannya.

"Eh, kemana tuh cewek? Tumben amat, biasanya kan habis latihan dia datang dan
ngetok-ngetok tuh pintu," tanya Reno heran.
"Tepar kali," jawab Ryan.
"Eh, tapi kasihan juga tahu. Aku kok merasa, hari ini kayaknya dia memforsir diri
banget ya. Padahal kan tidak harus gitu-gitu amat. Apalagi Pak Hirman juga tidak ada," lanjut
Ody. Dia dan kembarannya, Ogy, sama-sama gelandang di tim ini. Bedanya, Ody lebih ke
pertahanan sementara Ogy lebih ke penyerangan.
"Bukannya itu bagus? Semakin dia memforsir diri, semakin dia kecapekan. Itu berarti,
tinggal tunggu saja kapan dia berhenti, iya kan? Lagian peduli amat sama kondisinya. Dia mau
jungkir balik kek, tengkurep kek, itu kan urusannya," Ryan berkata dengan santainya.
"Iya kalau kecapekan terus dia berhenti, kalau mati gimana?" tukas Arka ringan.
"Ah Kamu, Ka, kalau ngomong jangan sembarangan! Bikin ngeritahu," protes Reza.
"Yabukan begitu maksudku. Ini kan cuma pengandaian. Meski ya.. kenyataannya tidak
sedikit juga kasus kematian yang disebabkan karena terlalu lelah kerja. Di Jepang paling sering
tuh. Apa ya namanya..," Arka menjentik-jentikkan jarinya berulang kali. Mencoba
mengingat-ingat kembali.
"Karoushi(Istilah untuk kasus kematian di Jepang, yang disebabkan karena terlalu
lelah bekerja/bekerja berlebihan)." Tukas Ilham.
"Iya, Karoushi," Arka menyetujui Ilham.
Reza dan yang lain cuma diam. Bener-bener ngeri kayaknya.
"Benerean gitu, Ham?" Doni mengucap takut-takut, mewakili yang lain.
"Ya itu kan di Jepang. Mana aku tahu kalau di sini," jawab Ilham. "Lagian kalian semua
pada kenapa sih? Memang tidak bosan apa setiap hari bahas tuh cewek? Sekarang ini kayaknya
masalah Alex lebih penting deh dari hanya sekedar cari cara buat bikin dia mundur," lanjut
Ilham.
"Iya, kamu benar," sahut Reza, diamini yang lain.
"Terus.. menurut kamu kira-kira dia ke mana?" tanya Ryan.

Ilham dan kawan-kawan masih sibuk berspekulasi soal keberadaan Alex saat itu.Terus
saja begitu, sampai terdengar sebuah suara dari kejauhan. Suara yang kontan membuat bulu
kuduk Ilham cs merinding.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 21

"Eh, eh ada yang dengar sesuatu?!" tanya Doni pada yang lainnya. Daun telinganya
sampai berdiri tegak saking mau tahunya itu bunyi apa.
"Iya, iya. Kayaknya dari ruang musik deh," lontar Arka.
"Siapa juga yang main piano malam-malam begini?!" sambung Ilham pelan seraya
membalikkan badannya.
"Darimana kamu tahu kalau itu suara piano, Ham?"
"Apa kamu pernah dengar suara drum begitu bunyinya?" bentak Ryan seraya
memukul kepala Doni.
"Eh, malam-malam begini. Apa itu.. Jangan-jangan.."
"Jangan-jangan apa?! SETAN?!" sahut Ryan lagi sebelum Ogy menyelesaikan
kalimatnya.
"Aku kan cuma.."
"Woi! Berisik! Begitu saja dibesar-besarin!" Arka menghalau tanda-tanda akan
terjadinya Perang Dunia III.
"Ham, kamu kan kaptennya. Gimana kalau kamu yang lihat duluan?" lanjutnya.
"Setuju," imbuh Reza dan yang lain kompak.
Seperti biasa, meski kesal, Ilham tetap jalan juga. Perlahan dia berangsur menuju ruang
musik. Arka dkk mengikuti di belakang. Dekat dan semakin dekat mereka pada pusat suara.
And one, and two, and three.. Saat itu, bukan cuma Ilham yang dibuat terkejut, tapi juga
yang lainnya. Tidak disangka, ternyata si pemain piano itu adalah orang yang selama beberapa
minggu ini habis-habisan mereka "siksa". Seseorang yang tetap terlihat elegan di balik piano
meski hanya berbalut t-shirt dan jins. That's right! Siapa lagi kalau bukan Cessa.
"Bukannya dia seharusnya sudah pulang?!" tanya Ilham.
"Well, kenyataannya dia masih di sini," jawab Ryan seraya mengambil tempat di
samping Ilham. Dia masih memegangi kakinya yang tadi tidak cuma ditendang Dino, tapi
juga Ogy.
"Eh, apa kalian semua tahu lagu apa yang di mainin?" tanya Hendra.
"Yang pasti bukannya lagu dangdut," Reno menjawab singkat.
"Maksudnya?"
"kalian berdua kenapa sih?! Berisik tahu!" Lagi-lagi, Ryan emosi.
"Gila! Sedih amat," lontar Arka tiba-tiba, membuat Ryan dan yang lain terpana. Apa
tidak salah? Sejak kapan dia jadi melow gitu, pikir mereka. Mungkin benar apa yang dibilang
Arka. Lagu itu memang terdengarsangat menyedihkan. Lagu I’ll Listen What You Have to
Say-nya Yoon Mi Rae itu seolah menggambarkan kesedihan yang mendalam. Terasa getir dan
memilukan.

Ulgoissneun seulpeun nege


himdeureossdeon nege
Gaseumeuro bulleojuneun
neorwihan norae

Honjaran saenggagi deulttae


Gapjagi nunmuri nalttae
Amudo neoui gyeote
eopsdago neukkilttae

Gieokhae honjaga aningeol


Sesangi neul apeugehaedo
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 22

Ijen oerowodo seulpeodo uljineunma


Maleopsi neol anajulge

Neoui yaegil deureojulge


Dorabwa naega isseulge
Niga heullinnunmul modu dakkajulge
Neoui oeroumdo

"Jangan-jangan kita terlalu menyiksa dia, ya?" ungkap Ryan saat sadar Cessa
menitikkan air mata, membuat Arka dan yang lain serta-merta mengalihkan pandangan
padanya. Jarang-jarang banget dia punya perasaan!
"Nah lho! Kenapa nangisnya tambah parah?" Rezaa buka suara kali ini.

"Gimana, Cess? Apa selama Bapak tidak datang mereka membuat kamu susah?" tanya
Pak Hirman sesaat sebelum memulai latihan. Saat itu, di ruangan Pak Hirman tidak hanya ada
dia, tapi juga Ilham yang stay cool duduk tenang di sebelahnya.
"Hampir mau mati, Pak, tapi untung tidak jadi," jawab Cessa seraya menampakkan
senyum manisnya. Dia sempat melirik Ilham yang masih juga bersikap sok cool.
"Kamu.. bisa saja. Ham, bukannya kamu sudah janji sama Bapak tidak akanmembuat
dia susah?" pertanyaan Pak Hirman ditujukan pada Ilham kali ini.
"Susah atau tidaktergantung orangnya, Pak. Tidak ada yang mudah kan di dunia ini?
Apalagi kalau urusannya menyangkut kepercayaan dari orang lain," jawab Ilham diplomatis.
"Bapak mengerti. Tapi sekali-sekali tidak bersikap keras sama orang juga bisa kan?"
Ilham mengangguk, meski agak ogah-ogahan.
“ Tidak apa-apa kok, Pak. Cessa juga sudah mulai terbiasa. Tapi coba aja kalau lain kali
berani ngerjain lagi. Cessa tidak hanya membuat mereka menyesal pernah kenal Cessa, tapi
juga menyesel sudah pernah dilahirin ke dunia," tegas Cessa, yang langsung memancing tawa
Pak Hirman.
Terus Ilham? Dia cuma mengeluarkan sedikit bunyi dari mulutnya.
"Ya sudah. Kamu jangan bikin Bapak takut ah!" Pak Hirman melihat Cessa. "Sekarang
kalian jabatan tangan!"
"Hah?!" Cessa dan Ilham mengucap bersamaan.
"Cepetan! Bapak tidak mau lagi ya, lihat ada ketegangan antara asisten sama anak didik
Bapak. Ayo cepat!"
Ilham pun mengulurkan tangannya, disambut uluran tangan Cessa.Berbeda dengan
saat itu, kali ini Ilham mengulurkan tangan layaknya seorang pria sejati yang mengulurkan
tangan pada seorang wanita.

"Eh, Cess, daripada kamu duduk di situ, mendingan kamu bantuin kami. Hari ini kan
Hendra tidak datang,bagaimana kalau kamu saja yang menggantikan dia jadi kiper?" tanya
Reno iseng. Cengiran orang paling rese ditunjukkan oleh cowok yang antara tampang dan
kelakuan berbeda 180 derajat itu. Cessa yang bingung berulang kali melihat Pak Hirman.
"Jangan dengarkan mereka," kata Pak Hirman.
"Boleh tidak, Pak?" tanya Cessa tiba-tiba, membuat Pak Hirman nyaris mengeluarkan
lagi air yang sudah ditelannya sampai tenggorokan.
"Selama ini saya kerjanya cuma duduk dan mengamati mereka main. Sekarangsudah
saatnya saya ikutan. Dengan begitu baru bisa tahu rasanya melatih. Saya ini kan asisten Bapak,
benar kan?" tutur Cessa bersemangat.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 23

Pak Hirman menepuk dadanya yang masih terasa sakit akibat keselek."Kamu yakin?"
Cessa mengangguk mantap. Dan tidak lama setelah mendapat lampu hijau dari
atasannya, Cessa pun berlari-lari kecil menuju lapangan. Reno yang niatnya cuma bercanda
mau tidak mau kaget juga. Begitupun yang lain.
"Hei, kalau asisten Bapak sampai kenapa-napa, kalian akan tahu akibatnya!" teriak Pak
Hirman setengah mengancam.
"Nah lho?" Reno berucap agak ngeri. Siapa coba yang mau menjamin si
Cessatidakakan kenapa-napa?
"Kamu serius, Cess?," kata Doni,Cessa tidak menjawab. Dia hanya menunjukkan sedikit
senyumnya, sebelum akhirnya berlari menuju mistar gawang. Sarung tangan kiper yang
besarnya menyerupai kapal Ferry itu sampai terlepas dari tangannya sesekali.
"Kamu serius ya?" Arka memastikan, diangguki Cessa.
Beberapa saat kemudian, Gunting batu kertas! Hom pim pah alaihum gambreng! And
the lucky number one yang berkesempatan melesatkan tendangannya ke gawang yang dijaga
Cessa adalah.. Arka! Dari kejauhan, Cessa mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda telah
benar-benar siap.
Arka jadi bingung sendiri. And one, and two, and three.. HYAAT!
"Tidak tega ah!" ucapnya tiba-tiba. Dia langsung menukar posisinya dengan Ilham.
Ilham kontan saja dibuat heran. Tapi ya sekali lagi, namanya juga Ilham. Meski sedang kesal
atau bingung sekalipun, raut mukanya tetap tenang.
"Kenapa? Takut tidak bisa masukin?" kata Cessa setengah meledek saat dilihatnya
Ilham mulai mikir. Gayanya sudah seperti kiper profesional. Dia sedikit membungkuk.
Kakinya dilebarkan ke samping kiri dan kanan. Tangannya siaga.
Ilham yang mendengar tentu saja dibuat kesal, meski tetap tenang seperti biasanya.
Tanpa basa-basi lagi, dilesatkannya bola itu ke dalam gawang. SYUUUT! Masuk! Cessa yang
berdiri di bawah mistar hanya bengong. Dia bahkan belum sempat bergerak. Matanya bahkan
belum sempat berkedip. Tiba-tiba saja bola itu telah berada di hadapannya. Bola tadi melesat
dengan sangat cepat hingga langsung keluar lagi setelah menyentuh jala.
"Kenapa bisa begitu?" kata Cessa pelan. Matanya melihat pasrah pada si kulit bundar
yang masih juga bundar meski setiap hari ditendang-tendang.
"Woi Mbak! Jangan bengong!" seru Reno.
Setelah Ilham, bergantianReno dan yang lainnya mulai menembak. Cessa dibuat
pontang-panting. Lompat ke sana-kemari. Jatuh-bangun dia berusaha menghalau bola.
"Tunggu, tunggu!" teriak Cessa seraya merapikan rambutnya yang mulai acak-acakan.
"Ya elah!" Reno berseru heran.
"Dasar miss perfect!" tambah semua bersamaan. Agak geli juga. Dari sekian banyak
tendangan, hanya tendangan Doni yang berhasil ditepis, itu juga karena Doni setengah hati
menendangnya.Di antara segitu banyaknya cowok, mungkin memang cuma Doni yang
punya perasaan. Yang lain mah.. kejam semua.
"Sudah! (Doni melempar bola ke samping). Mana adil kalau begini?" katanya seraya
berjalan menjauhi teman-temannya. "Cess, kamu geser ke sana, biar sebelah sini aku yang
jaga!" Doni mengatur posisi di kiri mistar. Semua bengong.
"Heh! Kamu tidak waras ya?! Dari zaman kuda bekuncir yang namanya sepak bola
kipernya cuma satu!" seru Ryan heran.
"Sekarang sudah zaman kamu bekuncir, makanya kipernya dua. Lagian mana ada
kudatidak dikuncir?!"
"Yee..!" Ryan kesal bukan main.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 24

"Ayo, Cess, jangan sampai mereka bisa masukin," kata Doni lagi. Tidak peduli sama
Ryan, yang menatap murka padanya.
Cessa tersenyum tipis mendengar itu. Dia bisa melihat Ilham dan yang lain dibuat
bingung dengan ulah Doni. Meski tidak bisa dipungkiri juga, sedikit terhibur. Selama
beberapa saat suasana tidak jelas seperti itu terus berlangsung. Malah jadi tambah aneh lagi
tatkala Arka dan Reno ikut-ikutan Doni membantu Cessa di bawah mistar. Benar-benar tidak
normal deh keadaan saat itu.
"Alaah, bisa gila kalau lama-lama di sini!" ucap Ryan, diiringi derai tawa yang lain.

Cessa menghentikan larinya, dia tersenyum ke arah Arka. Dia baru saja mau membuka
mulut ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam ruang ganti. Nyariiiiing banget!
"Hari ini Ryan ulang tahun lho!" teriak semuanya.
Cessa sempat kaget juga, tapi sebisa mungkin menyembunyikannya. "Benar?"
tanyanya pada Arka yang berdiri di depan pintu.
Arka mengangguk. "Ayo! tidak usah takut, kita tidak gigit kok," lanjutnya.
Mengikuti Arka, Cessa pun berjalan memasuki ruang ganti. Dia terlihat agak hati-hati.
Gimana tidak , saat ini kalau bisa diibaratkan, dia seperti sedang memasuki sarang penyamun.
Atau malah kandang singa. Menyeramkan!
"Hei, Cess.." semua berkata kompak.
Cessa tersenyum. "Hei. Tadi mereka bilang kamu ulang tahun?"tanyanya pada Ryan.
"Ya.. gitu deh. Aku juga kan dilahirin. Tidak mungkin tiba-tiba jatuh dari langit,"
"Kalau gitu selamat ulang tahun ya," Cessa berkata seraya mengulurkan tangan.
"Thanks." Ryan balas menjabat tangan Cessa. "Eh, Cess, selama ini akusudah rese sama
kamu,sorry ya?"
"Kayaknya kita semua juga deh, Cess," imbuh Renodiikuti yang lainnya.
Cessa tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Tidak apa-apa kok," katanya."Oh ya,
sebelumnya sorry nih, aku harus cepat pergi." Cessa menunjuk ke arah luar dengan ibu jarinya.
"Oh.. ya sudah. Hati-hati deh kalaubegitu. Jangan melamun! Kalau jatuh juga bangun
sendiri,ya?" Ryan nyengir kuda.
Lagi-lagi senyum manis merekah di wajah Cessa. "Thanks. Oh.. ini.., aku cuma bisa
kasih ini, tidak apa-apa ya?" ucapnya seraya mengeluarkan sebuah cokelat berbentuk bintang
dari tas dan menyerahkannya pada Ryan. Ryan bengong, begitu juga yang lain.
"Ya sudah, aku pergi dulu. Daah!"
"Kenapa dia baik banget? Dibakar deh aku di neraka," sambung Ryan pelan, tidak lama
setelah Cessa hilang di balik pintu.
"Amin."
"Sialan!" hardiknya seraya melempar handuk ke muka Reno.
"Aku bercanda! Ya elah, ulang tahun emosi amat!"

Bab 5

HAPPY . Itulah yang dirasakan anak-anak SMA Saturnus hari ini karena saking
gembiranya. Gimana tidak, hari ini tidak seperti biasanya, semua siswa dipulangkan lebih awal
dari waktu yang sudah ditetapkan, yaitu pukul 15.00, kecuali hari Jumat. Alasannya tidak
jelas. Tapi siapa peduli, yang penting pulang cepat. Begitu pikir semua siswa. Selama ini SMA
Saturnus memang dikenal tidak hanya karena dihuni anak-anak kaya, tapi juga karena
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 25

peraturannya yang sangat ketat. Salah satu peraturan di sini adalah yang berkaitan dengan jam
sekolah. Jadi, kalau ketentuannya itu memang pulang pukul 15.00 ya berarti pulangnya
memang harus jam segitu. Pokoknya, tidak peduli ada gempa atau bom meledak, kalau
belum waktunya ya tetap tidak boleh keluar. So, janganheran kalau sesaat setelah keputusan
pulang cepat diturunkan oleh kepsek, seketika itu juga, anak-anak SMA Saturnus berubah
menjadi "brutal".
Antara sekian banyak orang yang tidak jelas itu, mungkin cuma Cessa yang agak waras.
Cessa percaya pada takdir, kalau dia baru pulang besok sekali pun, rumahnya tidak akan
kemana-mana. Jadi, daripada buang-buang tenaga buat melakukan hal-hal yang tidak jelas,
mendingan santai. SANTAI! Awalnya memang begitu. Sampai dia melihat ke kejauhan. Di
atas gedung sekolah berlantai 5 itu, dia melihat seseorang yang dikenalnya. Well, memang
bukan dikenal secara akrab atau semacamnya, tapi paling tidak, dia pernah melihat orang itu
beberapa kali sebelumnya. Seseorang yang sepertinya tidak hanya cari udara segar atau
semacamnya. Tapi lebih mirip orang yang mau.. BUNUH DIRI! Secepat kilat, Cessa yang saat
itu baru saja keluar dari perpustakaan, berlari ke gedung yang letaknya berhadapan dengan
gedung perpustakaan itu. Tidak dipedulikannya gerimis yang membasahi pepohonan. Dia
terus berlari memasuki gedung sebelah tanpa memperdulikan mata orang banyak tertuju
padanya. Heran.
"Ini tidak mungkin! Aku pasti salah lihat," ucapnya tanpa berhenti menaiki satu demi
satu anak tangga karena lift di sekolah sudah tiga hari ini rusak. Dilupakannya segala aturan
bahwa cewek harus tetap terlihat anggun, bahkan saat menaiki tangga. Kalau ditotal, kira-kira
ada sekitar 1000-an lebih anak tangga. Napasnya terengah-engah. Napasnya sudah tinggal
setengah perjalanan sepertinya. Terus, dan terus dia menaiki tangga yang sepertinya tak
berujung. Pandangannya mulai kabur. Samar-samar dia melihat tulisan itu. Lantai 4, begitu
kata tulisan di tembok. Great! Itu berarti tinggal satu lantai lagi. Tapi apa iya dia masih sempat?
"Cessa!"
"Untung kalian datang," kata Cessa, tidak lama setelah Arka dkk tiba di atas gedung.
Sama halnya dengan dia yang masih sibuk mengatur napas, Arka dan yang lain juga terlihat
hampir kehabisan napas. Keringat mereka bercucuran.
"Lex, kamu jangan gila!" seru Ryan dengan tangan masih memegang dada. Badannya
agak membungkuk.
"Jangan dekat-dekat!" kata Alex setengah teriak.
"Kamu kenapa jadi begini?!" tukas Arka.
Alex hanya diam. Dia bergantian menatap ke arah teman-temannya, ke arah Arka,
Ryan, Hendra, juga Ogy, lalu ke bawah, ke arah sekumpulan siswa yang sepertinya mulai
meneriakinya agar turun.
Selama beberapa saat suasana hening. Sepertinya Arka dan yang lain tidak ingin
gegabah dalam bertindak. Mereka bisa merasakan Alex tidak dalam kondisi sadar sepenuhnya.
Dia terlihat kacau.
"Jangan gila deh!" Tiba-tiba sebuah suara yang datang dari arah belakang memecah
keheningan. Ternyata Ilham. Tak ubahnya Arka, Cessa, ataupun yang lain, dia juga terlihat
sangat kelelahan. Matanya terliha menutup sesekali. Wajahnya juga agak pucat.
"Lex, kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke aku. Bukan begini caranya. Ini sama sekali
tidak akan menyelesaikan masalah," tukas Ilham lagi, pelan dan terkesan hati-hati.
"Tidak, Ham. Kamu atau yang lainnya tidak akan bisa membantuku kali ini."
"Tidak ada masalah yang tidakbisa diselesaikan!"
"Aku sudah tidak sanggup!" Alex menggelengkan kepalanya. "Kalau tidak mati di sini,
aku pasti mati karena kecanduan! Aku tidak kuat!"
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 26

Arka dan yang lain kontan terperanjat mendengar pengakuan Alex. Mereka saling
berpandangan. Ternyata benar adanya desas-desus yang beredar dua hari terakhir ini. Desas-
desus yang mengatakan bahwa ada lagi seorang siswa Saturnus yang menjadi pemakai narkoba.
"Apa?!" Ilham jatuh berlutut. Arka dan yang lain sama terpukulnya dengan dia.
Saat itu, Alex mulai naik ke tempat yang lebih tinggi. Dia kini telah melewati
pembatas atap.
"Aku serius, Ham! Kamu tahu kan aku tidak pernah main-main," lanjut Alex.
Semuanya lagi-lagi terdiam. Untuk beberapa saat suasana kembali hening. Sampai
terdengar suara itu.
"Loncat! Kalau mau loncat, loncat saja!" teriak orang itu lantang.
Ilham dan yang lain spontan menoleh ke arah suara itu berasal. Cessa!
"Kenapa? Takut?" teriak Cessa lagi. "Apa menurutmu lima lantai tidak terlalu pendek?
Apa kamu yakin setelah loncat kamu akan langsung mati? Sebenarnya kamu benar-benar
mau mati atau tidak?"
Mendengar itu, kontan saja Ilham dan yang lain tercengang. Apa maunya nih cewek?
Pikir mereka.
"Apa kamu kira kematian bisa menyelesaikan segalanya?"
"Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu bahkan tidak tahu apa yang aku rasakan! Jadi,
mendingankamu tidak usah ikut campur!" teriak Alex. Sepertinya dia mulai kesal.
"Iya, kamu benar. Aku memang tidak tahu apa-apa. Tapi apa kamu tahu satu hal, aku..
aku lebih tahu rasanya gimana nyaris mati!" lontar Cessa.
Semua, kali ini termasuk Alex, tercengang.
"Apa maksud kamu?!" Alex bertanya.
"Apa maksudku?! Ini..! Ini maksudku!" jawab Cessa seraya melepas jam tangannya.
"Apa kamu tahu? Luka sayatan ini.., luka sayatan ini hampir saja membunuhku! Jadi, jangan
tanya bagaimana rasanya berada di posisimu. Aku juga pernah berada di posisimu. Aku juga
pernah merasa putus asa kayak kamu!"
Alex diam. Matanya menatap lurus ke arah Cessa. Dia terlihat tidak percaya dengan
ucapan Cessa barusan. Sebenarnya bukan cuma Alex. Ilham dan yang lain, yang berdiri di
belakang Cessa pun menganga saking tidak percayanya. Please deh! Cessa gitu loh! Mungkin
begitu pikir mereka.
"Kamu tahu? Kamu itu beruntung. Setidaknya ada mereka," Cessa menunjuk ke arah
Ilham dkk. "Ada mereka yang peduli sama kamu. Yang langsung lari ke sini setelah melihat
kamu.Tidak sepertiku. Aku tidak punya siapa-siapa, selain Kakakku," lanjutnya. Suaranya lirih
dan terdengar sayup-sayup. Gerimis hujan mulai membasahinya. Mulai membasahi Ilham,
juga yang lainnya.
"Kamu tidak boleh egois. Kamu mau melakukan perbuatan bodoh ini untuk
mengakhiri deritamu. Tapi apa kamu tidak berpikir, akan ada orang lain yang menderita
karenanya. Apa kamu yakin? Apa kamu benar-benar tega mau membuat mereka yang sayang
sama kamu menderita?" Cessa menyeka matanya. Dia menangis. Dia menangis bukan karena
benar-benar tidak relaAlex terjun bebas. Dia menangis karena ingat Rangga. Dia teringat
Kakaknya. Dia teringat kejadian hari itu. Saat dia melakukan hal bodoh itu. Saat dia, di dalam
kamar menyayat pergelangan tangannya dengan silet. Masih bisa dirasakannya luka akibat
sayatan itu. Masih bisa diingatnya juga kesedihan sang Kakak, yang timbul akibat perbuatan
bodohnya itu. Mata Kakaknya merah,
seolah sudah berhari-hari dia terus-terusan menangis. Kakak yang bahkan tidak
mengeluarkan air mata di hari Ayahnya meninggal itu, dibuat menangis karena ulahnya.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 27

"Don't do that! At least, bertahanlah untuk orang yang sayang sama kamu," lanjut
Cessa. Dia jatuh berlutut.
Saat itulah, Ilham yang melihat peluang bagus menarik Alex dari tempatnya berdiri.
Menariknya hingga jatuh tersungkur.
Ryan berhamburan memegang Alex yang terlihat lemah. Selama beberapa detik
suasana di atap lagi-lagi sepi. Benar-benar sepi, sampai suara panik Hendra memegang
seseorang terdengar. Dia memanggil Cessa. Cessa yang saat itu tiba-tiba ambruk. BRUUUK!

"Terima kasih ya Ham, Ren. Om sama Tante tidak tahu bagaimana jadinya kalau tidak
ada kalian," Papanya Alex berkata tak lama setelah meninggalkan kamar anaknya. Saat itu,
Alex baru saja diberi obat penenang oleh dokter. Dari wajahnya jelas tampak kecemasan. Dan
juga penyesalan.Ilham dan Reno mengangguk bersamaan.
"Om benar-benar tidak menyangka kalau akhirnya akan begini. Seharusnya baik Om
maupun Tante tahu kalau ini tidak mudah buat Alex. Seharusnya kami tahu kalau kenyataan
ini bisa sangat menyakitkan buat dia. Om benar-benar menyesal," papar Papanya Alex.
Ilham dan Reno hanya diam. Saat ini, seperti tak ubahnya Mama dan Papanya Alex,
mereka juga tidak dapat berkata banyak. Penyesalan terlalu menumpuk dan tidak bisa hilang
hanya dengan kata-kata. Baik Ilham maupun Reno bisa memahami betapa terpukul dan
kecewanya Alex saat itu. Saat akhirnya dia mengetahui akan sebuah rahasia yang bertahun-
tahun telah disimpan rapat-rapat baik oleh Papa maupun Mamanya. Sebuah kenyataan pahit
yang membawanya menjauhi teman-temannya dan bercengkerama dengan obat-obatan
terlarang.
"Oh ya, bagaimana dengan teman kalian yang masuk rumah sakit itu? Apa dia baik-
baik saja?" Papanya Alex memecah keheningan.
Ilham mengangguk pelan. "Sepertinya agak kelelahan, Om."
"Tolong kalian sampaikan juga terima kasih Om sama Tante ke dia ya, Ham.
InsyaAllah kalau ada waktu, Tante ingin bertemu dengannya." Suara Mamanya Alex yang
baru saja datang mengemuka.
Ilham menoleh seraya tersenyum. "Iya, Tante. Ya sudah, kalau begitu kami permisi
dulu. Kami.." Saking kacaunya hari ini, Ilham bahkan sampai tidak tahu bagaimana cara
berpamitan yang benar.
"Oh.. ya sudah." Mama dan Papanya Alex berdiri. Seolah memberi sinyal pada
Ilhamdan Reno bahwa mereka boleh pulang. Ilham dan Reno pun berangsur meninggalkan
ruang tamu yang super besar itu. Meninggalkan rumah Alex.
"Sekali lagi terima kasih ya. Tolong sampaikan juga ke teman-teman kalian," imbuh
Mamanya Alex sebelum Ilhamdan Reno memasuki mobil.
Ilham dan Reno lagi-lagi mengangguk bersamaan. Setelah itu mereka pun pergi. Pergi
dengan membawa sebuah cerita yang memilukan. Cerita tentang seorang anak yang kecewa
mengetahui orang yang selama ini dianggap Ibunya, bukanlah ibu kandungnya. Ibu
kandungnya mati bunuh diri saat dia masih balita. Dan cerita tentang seorang anak yang baru
tahu kalau Ibu kandungnya bunuh diri karena orang yang selama ini diletahuinya sebagai
Ibunya. Kasihan Alex!

"Oh ya, bagaimana keluarganya? Kamu sudah memberi tahu mereka?" tanya
Ilhamseraya berjalan mendekati tempat tidur Cessa. Dia bisa melihat kalo cewek yang
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 28

beberapa waktu lalu sempat dia dan teman-temannya kerjain itu, benar-benar kelihatan tidak
berdaya. Dia terbaring lemah dengan infus di tangannya. Wajahnya pucat pasi.
"Tidak ada siapa-siapa di rumahnya, kecuali pembantunya. Kakaknya lagi tugas di luar
kota. Tapi akusudah bilang kalau kita akan menjada adiknya sampai dia pulang," terang Arka.
"Ya sudah. Kalau gitu beberapa dari kita nginep di sini saja, menjaganya," tambah Reza.
Diangguki hampir semuanya. Doni paling semangat. Ilham mengangguk, lalu berjalan
mendekati sofa dan menjatuhkan badannya di sana.
"Bener gitu dia pernah nyoba bunuh diri?!" Tiba-tiba saja sebuah suara terdengar.
Ternyata Doni. Dia berjalan mendekati Cessa. Melihat jelas-jelas ke arah lengan Cessa. "Pasti
sakit banget deh. Siapa sangka kalau dia yang selalu kelihatan kuat dantidak punya takut, bisa
juga putus asa," lanjutnya. Saat itu, Doni seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Dia tanya
sendiri dan dijawab sendiri. Ilham dan yang lain cuma geleng-geleng kepala. Meski harus
mereka akui, mereka juga sama herannya dengan Doni. Sama tidak habis pikirnya kenapa
orang sepintar dan sekuat Cessa bisa melakukan hal bodoh seperti itu. Tapi apapun alasannya,
yang dialaminya pastilah bukan hal mudah.
"Oh ya, Ham, Alex.. gimana?" Ryan memecah keheningan.
"Dia baik-baik saja kok," serobot Reno sebelum Ilham sempat membuka mulut. Ilham
menyetujuinya. Sama halnya dengan Reno, dia juga tidak mau membuat teman-temannya
tambah stres.
"Om sama Tante Wira berencana memasukan dia ke pusat rehabilitasi," kata Ilham.
"Pusat rehabilitasi? Apa dia mau?" Hendra buka suara.
Ilham lagi-lagi mengangguk.
"Terus.. gimana sama pihak sekolah? Apa jadinya kalau masalah ini sampai ke dewan
sekolah?" tanya Reza. Jelas kecemasan tampak dari suaranya.
"Mereka sudah tahu kok," Ilhammenjawab singkat.
"Hah?!" Semua terhentak. Secepat itu?! Mungkin begitu pikir mereka. Bener-bener
cepat mengingat kejadiannya baru berlangsung beberapa jam yang lalu.
Ilhammembungkukkan badannya. "Guys, besok.. bukan cuma Om sama Tante Wira
saja yang dipanggil ke sekolah, tapi kita semua dan Pak Hirman juga."
"What?!!!" Lagi-lagi semua terkejut.
"Kemungkinan pihak sekolah akan minta masing-masing dari kita buat tes urine.
Untuk mastiin kalau tidak ada Alex kedua di tim sepak bola. Jadi, kita semua harus siap,"
lanjut Ilham.
Semua manggut-manggut.
"Bro, perasaan dari tadi kita sudah lumayan berisik deh. Tapi kenapa dia belum
bangun-bangun juga ya?" kata Reno sekenanya. Pandangannya mengarah pada Cessa yang
memang sejak tadi bisanya cuma tidur. Sama sekali tidak membantu mereka menghilangkan
cemas dan stres.
“Bisa saja kamu Ren” sahut Hendra

Pagi itu, cuaca terlihat sangat bersahabat. Langit begitu cerah. Angin pun berembus
dengan tenangnya. Sama tenangnya dengan keadaan di SMA Saturnus hari itu. Tiga hari
setelah rencana terjun bebas Alex berhasil dikandaskan. Semua orang terlihat tenang, semua,
kecuali anak-anak tim sepak bola. Mereka seperti kebakaran jenggot saat mengetahui
keputusan dewan sekolah seputar rencana men-DO Alex benar-benar keluar. Ternyata
mereka tetap saja tidak bisa setenang yang diminta Ilham dan yang mereka mau. Masalah ini
terlalu darurat. Tidak bisa lagi ditanggulangi dengan kepala yang sepenuhnya tenang. Di Senin
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 29

pagi yang selalu jadi hari yang menyebalkan, tepat pukul 06.30 pagi, Ilham dan kawan-kawan
segera melakukan rapat darurat.
"Sorry telat," kata Arka tidak lama setelah sampai di ruang sekret bola.
Di ruangan yang tidak terlalu besar itu, Ryan dan 17 anggota The Whites lainnya telah
menanti dengan wajah yang hampir semuanya kelabu.
" Ilham mana?" tanya Arka lagi seraya menarik bangku dan duduk berhadapan dengan
Reno.
"Di ruangan Pak Rudi," jawab Ryan.
"Memang sudah datang? Ini kan baru setengah tujuh, kurang malah."
"Sudah. Aku melihat mobilnya di parkiran."
"Semoga saja dia berhasil meyakinkan Pak Rudi supaya merubah keputusannya," kata
Reno penuh harap.
"Semoga saja," Hendra menambahi.
Semuanya diam. Entah karena terlalu banyak pikiran di kepala mereka atau memang
sudah tidak sanggup lagi memikirkan apa-apa. Saat ini, semua seolah lebih suka diam. Orang
yang di tunggu-tunggu datang.
"Akhirnya kamu datang juga, Ham!" seru semuanya hampir bersamaan.
"Sorry," kata Ilham.
Kini semuanya mengalihkan pandangan ke arah seseorang yang berdiri di belakang
Ilham.
"Cess!" Semua terheran-heran.
"Hei," sapa Cessa seraya melambaikan tangannya. Agak canggung memang.
"Aku ketemu dia di luar. Tidak apa-apa kan mengajak dia ke sini?" terang Ilham.
Arka dan yang lain manggut-manggut.
"Duduk,Cess," tukas Hendra seraya memberikan bangkunya untuk Cessa. Cessa
tersenyum. Dia pun duduk setelah mendapat aba-aba dari Ilham.
"Thanks! Oh ya, sebelumnya aku juga mau bilang terima kasih ke kalian. Kakak bilang,
kalian yang menjagaku di rumah sakit selama dia tidak ada."
"Santai saja lagi, Cess," sambut Reno tersenyum.
"Iya, lagian Jumat kemarin itu rumahku juga lagi direparasi. Jadi lumayan dapet
tempat tidur gratis," kata Doni sekenanya.
"Reparasi, dikira mobil!? Renovasi norak!" imbuh Ryan.
Cessa tertawa kecil mendengarnya.
"Ya sudah, gimana kalau kita mulai sekarang?" Seperti biasa, Ilham mengambil alih
pembicaraan. Semuanya mengangguk mantap. Seolah tidak sabar lagi untuk mendengar
kabar dari Ilham, tentu saja soal hasil pertemuannya dengan kepala sekolah barusan.
"Gimana,Ham?" tanya Arka.
"Iya. Apa Pak Rudi mau mengubah keputusannya?" Kali ini gantian Reza yang
bertanya.
"Itu dia yang mau aku omongin, ternyata ini bukan sepenuhnya keputusan dia," jawab
Ilham, membuat Arka dan yang lain bingung.
"Maksud kamu?!"
"Masalah ini.. seperti yang sudah kita duga, diambil alih dewan sekolah. Jadi sekarang
ini sepenuhnya keputusan mereka. Pak Ruditidak bisa ngapa-ngapain." Arka dan yang lain
kontan lemas mendengar itu.
"Terus kita harus gimana?" Ryan berkata pelan.
"Apa benar sudah tidak ada cara lain? Ham, apa kalau kita ketemu langsung sama
dewan, keputusan ini juga tetap tidak bisa diubah?" tanya Reno.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 30

"Iya. Aku tidak masalah kok meski harus mohon-mohon. Toh sebagian dari mereka
juga sudah kita kenal," Hendra menambahi, mengungkit kalau beberapa dari anggota dewan
di antaranya adalahAyahnyaReza dan Arka.
"Tidak mesti begitu kali," jawab Ilham.
"Terus? Memangnya ada cara lain?"
"Cara lain ya.. tanya saja sama Cessa,"
Semua kontan menoleh ke arah Cessa. SSSEEETTT! PINTU. Iya, itulah kata pertama
yang terlintas di kepala Cessa saat Arka dan yang lainnya mulai memandang penuh tanya
padanya. Sebuah benda berbentuk persegi yang bisa membebaskan orang dari ketakutan.
Sebuah benda yang bisa dijadikan tempat pelarian dan jalan keluar menuju tempat yang lebih
baik. Lari, mungkin itulah yang saat ini ingin sekali dilakukan Cessa. Pandangan Arka dan
yang teman-temannya benar-benar membuat dia takut.
"Cess!" Reno mengibaskan tangannya di depan wajah Cessa. "Kok diam?"
"Oh.. Iya, sorry." Cessa cepat-cepat menyadarkan dirinya.
Cessa berdiri "Kita buat petisi yang bisa ditandatangani murid-murid di sini. Tentu saja,
isinya menolak keputusan dewan untuk mengeluarkan Alex. Melalui ini, kita meminta
kesempatan kedua buat Alex. Meminta agar pihak sekolah mengizinkannya melanjutkan
pelajaran selepas direhab. Dengan begitu, dia tetap bisa lulus tahun ini dan tidak perlu
mengulang," terang Cessa.
Arka dan yang lain diam. Mereka sepertinya menikmati sekali antusiasme Cessa yang
terpancar dalam setiap kata-katanya. Seolah Cessa telah lama mengenal Alex. Dia begitu
bersemangat.
"Ogy.. gimana?" tanya Cessa, suaranya terkesan hati-hati. Bagaimana tidak? Mulai dari
awal dia bicara sampai dia berhenti bicara, Arka dan yang lainnya hanya diam seribu bahasa.
Tentu saja ini membuat Cessa heran. Takut, bahkan.
"Itu artinya mereka setuju," sambar Ilhamcepat.
"Cessa!" seru Arka dan yang lain bersamaan. Rasa lega tampak jelas di wajah mereka.
Mereka hampir saja memeluk Cessa kalau saja Ilham tidak menghalanginya. Sebenarnya
bukan Ilham yang menghalangi. Cessa-nya sendiri yang tiba-tiba mencelat dan bersembunyi
di belakang badan Ilham, saat disadari Arka dan kawan-kawan mulai mendekatinya.
"Jangan khawatir, Cess. Kami ini cowok-cowok sopan kok!" ucap Reno terkekeh.
Arka dan yang lain tidak kalah geli melihat ekspresi ketakutan di wajah Cessa barusan.
Cessa tersenyum tipis. Malu tepatnya.
"Oke. Kalau begitu istirahat nanti kita kumpul lagi di sini," kata Ilhamsetelah
menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 7.30 tepat. Di luar ruangan, semua siswa kecuali
mereka, sudah pada kumpul di lapangan. Untuk apa lagi kalau bukan upacara.
"Whatever you say, Bro," kata Reza.

Lagu Lithium-nya Evanescance, yang diputar Andro di radio sekolah seolah tidak
hanya menandai jam istirahat, tapi juga menjadi awal perjuangan Ilham cs untuk
menyelamatkan Alex dari masa depan yang suram. Tepat pada jam istirahat, mereka
berkumpul kembali di ruang sekret bola. Di sanalah definisi tugas masing-masing dijabarkan.
"Ndra, Ren, kalian sama Yoga, Ricky dan Doni, minta tolong sama anak-anak IPS.
Pastiin dari 200 anak IPS, tidak ada satu pun yang absen, oke?" Ilham memberi tugas. Kelima
orang yang memang berasal dari jurusan itu mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.
"Ryan samaOdy, Yongki, juga Willy, pastiin kalo semua anak IPA ambil bagian. Aku
tidak peduli gimana caranya, itu urusan kalian!"
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 31

"Oke deh," jawab mereka kompak.


"Aku hajar kalau ada yang berani nolak tanda tangan," sambung Ryan. Cessa sampai
ngeri mendengarnya.
"Nah Gilang sama Rama, Teuku, dan Bakti, kalian bisa minta bantuan teman kalian di
kelas dua, kan?"
"Siap!" Keempat adik kelas Ilham itu menjawab mantap.
"Ger, anak bahasa kan lebih sedikit. Kamu ditemaniRomi sama Ogysaja, bisa kan?"
"Beres, Ham," jawab ketiganya.
Dari keseluruhan yang berjumlah 19 orang anggota tim sepak bola, semuanya sudah
mendapat tugas, kecuali Arka dan Reza, juga Ilham tentunya. Wajar saja kalau kini keduanya
merasa heran. Arka dan Rezasaling berpandangan, lalu berulang kali melihat ke arah Arka dan
Reza. Kayak orang yang pengen banget kerja.
"Kalian berdua, bisa kan ngeberesin anak-anak kelas satu?" kata Ilham akhirnya.
Nice decision! Mungkin begitulah keputusan Ilham menugaskan Arka dan Reza untuk
"membereskan anak kelas satu". Di sekolah, siapa pun tahu, kedua orang ini jadi idola anak-
anak kelas satu lantaran tampang kerennya. Mereka yang tampangnya rada lain daripada yang
lain ini jadi tipe favorit tersendiri buat anak-anak yang baru memasuki masa-masa SMA.
Yang satunya agak-agak oriental, sementara yang satu lagi kebule-bulean.
" Siap kan?" tanya Ilham lagi tatkala melihat Arka dan Reza kurang bersemangat.
"Iya," jawab keduanya. Terkesan malas banget sih jawabannya, tapi mau apa lagi, untuk
Alex gitu loh! Pikir mereka.
"Ya sudah. Aku sama Pak Hirman akan coba ketemu sama dewan sekolah sekali lagi.
Aku juga akan coba minta bantuan OSIS melalui Kevin," Ilham menjabarkan tugasnya. Well,
inilah Ilham. Dia selalu tahu apa yang harus dilakukannya. Dan dia tidak pernah ragu untuk
melakukannya.Tidak peduli siapa orang yang akan dihadapinya.
"Oh iya, Cess..," Ilham menoleh ke arah Cessa. Begitu pun yang lain. "Kamu bisa tidak
coba ngomong sama guru-guru dan juga teman-teman
sekelas kamu?"
"Aku.."
"Kenapa? Kalau tidak bisa juga tidak apa-apa sih," potong Ilham cepat menyadari
kebingungan Cessa.
"Ng.. , bisa kok. Tapi mungkin tidak semuanya, soalnya aku kan kurang kenal sama
guru-guru kelas tiga."
"Oh iya. Ya sudah. Nanti biar Arka sama aku yang urus sisanya."
Cessa mengangguk.
"Ya sudah. Besok pagi kita ngumpul lagi di sini. Setelah itu, baru semuanya dimulai,"
tegas Ilham meyakinkan.
Semua manggut-manggut tanda setuju.

Keesokan harinya, tanpa buang waktu lagi, ILHAM dan kawan-kawan pun mulai
menjalankan misinya. Misi menyelamatkan 'prajurit' Alex. Tidakmudah memang, cukup
banyak juga anak di sekolah itu yang tidak mau mendukung mereka, termasuk di dalamnya
teman-teman sekelas Cessa. Cessa sampai bingung dibuatnya. Untung saja di saat-saat seperti
itu ada Ryan yang turun tangan membantunya.
"Sebenarnya aku tidak mau memaksa, tapi kalau kalian tidak mau tanda tangan, AKU
JAMIN KALIANTIDAK AKAN TENANG MELALUI HARI-HARI KALIAN DI SINI
SELAMA AKU MASIH ADA!"Ryan ngomong sambil teriak dan mukul-mukul papan tulis
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 32

pakai kayu. Siapa yang tidak ngeri coba? Bukan cuma teman-teman sekelas Cessa, Cessa-nya
juga. Dan setelah itu, tanpa basa-basi lagi, teman-teman Cessa pun langsung ikut ambil
bagian.
Lain Cessa, lain lagi Arka dan Reza. Mereka benar-benar harus menjual diri habis-
habisan di depan anak-anak kelas 1. Mulai dari alamat rumah sampai nomor HANDPHONE
terpaksa mereka relain, supaya anak kelas satu -yang kurang ajar dan bisanya memanfaatkan
keadaan- mau memberikan tanda tangannya.

Haaah! Sebuah napas lega menandai berakhirnya perjuangan Ilham dkk. Lelah, letih,
lemas, lesu, capek, dan kawan-kawan, yang mereka rasakan selama hampir seminggu penuh
itu terbayar lunas sudah. Tidak sia-sia mereka kerja keras untuk mengumpulkan tanda tangan
hampir 2000 kepala, mulai dari siswa, guru, tukang pel, satpam, sampai ibu-ibu dan bapak-
bapak kantin. Dengan beberapa pertimbangan dan juga melihat reaksi yang ditunjukkan para
siswa, tidak hanya anak-anak tim sepak bola, akhirnya dewan sekolah bersedia memberi
kesempatan kedua bagi Alex. Meski dengan catatan, Alex kehilangan beasiswanya kuliah di
Inggris.
"Kalian semua pasti capek banget ya?"
"Pokoknya lebih capek daripada maen bola deh, Lex," jelas Doni perihal aktivitas dia
dan yang lain selama seminggu terakhir. Saat itu, dia, Ilham, Arka, dan juga hampir selusin
anak tim sepak bola, mendatangi Alex di pusat rehabilitasi-nya di Sukabumi. Oh ya, Cessa
juga ikut.
"Thanks banget guys, aku tidak tahu lagi mesti bilang apa ke kalian semua..," kata Alex.
"Itu juga cukup. Aku tidak perlu kok, dengar kamu ngomong 'I love you' atau 'I miss
you' buat mengungkapkan betapa kamu berterima kasihnya ke aku,"sambut Ryan diiringi
derai tawa yang lain. Termasuk Alex.
"Jangan dengerin dia!" Reno mendorong tubuh Ryan.
"Kamu juga Cess.. makasih ya. Makasih karena selain sudah menyadarkanku tentang
betapa berharganya hidup ini, kamu juga sudah membantu mereka menyelesaikan misi gila
itu," Alex tersenyum.
Cessa tidak menjawab. Sebuah anggukan kepala, juga segurat senyum manis di
wajahnya, sudah cukup untuk dijadikan jawaban.

Bab 6

"Princessa Kaury!"
Ugh. Lagi-lagi suara itu. Suara yang membuat telinga Cessa terasa panas setiap kali
mendengarnya. Suara siapa lagi kalau bukan suara Putri.
"Aku dengar kamu masih juga bertahan jadi asisten pelatih tim sepak bola? Benar
begitu?" tanya Putri , masih dengan gaya ratu sejagadnya. "Aku heran! Sebenarnya apa sih
yang kamu cari? Memangnya apa yang bisa kamu temukan di sana?"
"Banyak, yang pasti bukan kamu."
"Cess...Cess.. Kamu sadar tidak sih, reputasimu di sini tuh sudah hancur. Apa perlu
membuatnya jadi lebih buruk lagi? Sebenarnya untuk apa bergaul dengan orang-orang
seperti mereka?"
Cessa tertawa kecil. "Orang-orang seperti mereka?! Memangnya apa yang kamu tahu
tentang mereka? Kamu tidak tahu dan tidak akan pernah tahu tentang mereka, paham?!"
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 33

"Wow! Apa ini sebuah pembelaan? Tidak disangka. Kemana Cessa yang biasanya
sangat selektif dalam memilih teman?"
"Ada di depanmu!" Cessa membanting pintu lokernya. "Memangnya kamu belum
sadar juga ya, kenapa selama ini aku tidak temenan sama kamu? Itu karena aku terlalu
pemilih!"
"Kamu..!"
Cessa tersenyum senang melihat kedongkolan Putri.
"Aku cuma mau kasih tahu kamu satu hal, ini.. tentang Kevin. Apa kamu sudah tahu,
kalausekarang dia jalan sama Bella? Aneh ya? Bella itu kan teman baikmu. Kok bisa-bisanya
dia melakukan itu. Ugh! Rasanya pasti sakit sekali, benar kan?" Putri setengah meledek.
Sepertinya benar sekali perkiraan Putri, satu-satunya berita yang bisa menohok Cessa
hanyalah yang berkaitan dengan Kevin. Cessa hanya diam.
"Eh, mau kemana kamu?" Hena mencoba menghentikan langkah Cessa.
"Minggir!"
"Kamu belum jawab pertanyaan Putri."
"Aku bilang minggir!" Cessa yang mulai kesal menaikkan volume suaranya.
"Heh! Kalau dia bilang minggir, itu berarti minggir. Apa perlu aku yang
membuatkalian berdua mau minggir!?" Tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari
ujung koridor.
"Ryan!"
"Hei, Cess..," sapa Ryan, diikuti yang lain. Di antaranya Ilham, Arka, Reno, Hendradan
si kembar Ogy-Ody. Mereka persis jagoan di film-film eksyen. Berjalan membentuk barikade,
seolah siap tempur.
"Kalian mau apa? Jangan sentuh aku!" Tiba-tiba saja terdengar si culas Putri mulai
teriak. "Dengar, aku.. jangan macam-macam sama aku atau aku akan melaporkan kalian
supaya kalian dikeluarin dari sini," bentak Putri pada Ryan.
"Oh ya? Lapor sama siapa? Pak polisi? Siapa kamu mau ngeluarin aku semaumu?!"
sahut Ryan.
"Kamu kira aku main-main?"
"Apa aku bilang begituuuu?"
"Jangan kira mentang-mentang kalian cowok, terus aku.. terus aku takut."
"Kalaubegitu sama. Jangan kira mentang-mentang kamu cewek, terus aku sungkan
nonjok mukamu! Eh, aku kasih tau ya, kamu itu.."
"Aaaaa!" Putriteriak histeris sebelum Ryan menyelesaikan kalimatnya. Ryan yang
tadinya mau nakutin malah kaget sendiri. "Heh! kamu mau
bikin aku jantungan apa?!" seru Ryan kesal.
Putrihanya diam. Sesaat dia menatap Ryan, sebelum akhirnya menarik Hena yang
mulai sibuk menghirup alat bantu pernapasannya, pergi dari tempat itu.
"Heh! Woi! Aku belum selesai!"
"Aku heran deh sama Putri, kayaknya kok kurang kerjaan banget. Hobinya buat
rusuh," ucap Hendra disambut tawa kecil yang lain.
"Semuanya tolong dengar baik-baik. Mulai hari ini, kalau ada yang berani ganggu
Cessa atau ngomong macam-macam tentang Cessa , urusannya sama kami!" tegas Arka
kepada seisi orang di koridor, yang tadi dibuat kaget oleh teriakan Ryan.
"Kasih tahu ke semua teman kalian juga. Bikin iklan kalau perlu," Reno menambahi.
Benar-benar sudah mirip preman lagaknya.
"Aku.. aku jadi tidak tahu harus bilang apa sama kalian," ucap Cessa pelan.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 34

"Ya tidak perlu bilang apa-apa. Santai saja lagi." Arka menepuk pundak Cessa. "Oh iya,
handphone kamu mana?"
"Hah?!"
"Tenang saja.Tidak akan dirampas kok. Emangnya tidak tahu siapa aku? Aku ini Ardian
Arka Subrata, putra tunggal pengusaha tekstil Ardian Subrata, dan cucu konglomerat Dimas
Subrata, aku tidak mung.." KLEPOOK! Tiba-tiba saja sebuah tangan menyambar kepala Arka.
"Intinya, pinjam Handpone kamu, sini!" lanjutnya sambil sesekali menoleh ke arah
Ilham.
"Eh, Cess, lain kali kalauPutri macem-macem, bilang saja ke aku. Biar aku kasih
pelajaran sekalian. Aku mau tahu, sekencang apa sih dia bisa teriak," kata Ryan.
Cessa cuma senyum.
"Nih..! Aku sudah masukin nomor Ilham dan yang lain di situ. Jadi, kalaukamu butuh
apa-apa, telepon saja salah satu dari kita, oke!" lanjut Arka seraya mengembalikan ponsel
Cessa.
"Tapi jangan SMS ya,Cess. Soalnya aku paling malas ngetik," Reno menambahkan.
"Malas apa miskin?" Ilham mengucap santai. Cessa sampai heran dibuatnya. Akhirnya,
dia ngomong juga.
"Iya, yang kaya!"
"Bagus deh kalau tahu."
"Berarti boleh donk, sekali-sekali nginep gratis di hotel punyamu. Kamu kan.."
"Berisik!"
"Heh, tadi kan kamu sendiri yang bilang kalaukamu.."
"Mau aku tendang biar terjun ke bawah?!"
Selama beberapa saat Reno dan Ilham berdebat tidak jelas juntrungannya. Cessa dan
yang lain hanya diam. Lucu juga kalau dipikir-pikir. Jarang-jarang banget Ilham bisa sampai
segitu hebohnya, biasanya kan dia paling malas ngomong.

"Hei! Apa yang kalian lakukan? Apa kalian pikir lagi main-mainan? Lari! Reno, apa
kamu mau didorong?" Teriakan Pak Hirman hampir menggemparkan seisi lapangan. Tidak
hanya Reno dan Ryan yang dianggap kurang mengeluarkan kemampuan terbaiknya saja yang
kena semprot, Doni yang selalu telat nutup pertahanan, juga Ilham yang terlalu mundur ke
belakang pun ikut-ikutan kena omelan. Selama hampir satu jam mereka main lari-larian,
berpeluh keringat, selama itu juga Pak Hirman tak henti-hentinya berteriak.
"Apa kalian lupa kalau minggu depan pertandingan pertama kita di babak penyisihan
kejuaraan sepak bola antar sekolah?" tanya Pak Hirman sedikit teriak saat break latihan.
"Tidak Pak," semuanya menjawab.
"Ryan, apa ada masalah dengan posisi barumu?" tanya Pak Hirman lagi yang memang
memindahkan Ryan dari posisi gelandang serang ke bek sayap.
"Dikit. Mungkin karena belum terbiasa, Pak, kadang suka lupa balik ke belakang," kata
Ryan.
"Kalau begitu biasakan! Waktu kita tidak banyak lagi."
Ryan menganggukkan kepala.
"Reno, apa Bapak perlu bawain anjing ke sini baru kamu mau lari cepat?"
"Jangan, Pak. Bapak tega amat!"
"Dan kamu Ilham, Bapak mau kamu bener-bener ingat kalo kamu itu striker. Jadi
jangan terlalu asyik di belakang. Kamu juga tidak usah tanggung-tanggung kalau nembak.
Untuk saat ini, lupakan dulu kalau yang ada di bawah mistar itu teman kamu."
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 35

"Iya, Pak," jawab Ilham.


Setelah Ilham, bergantian Ogy, Reza, Ody, Yongki, dan yang lainnya kena semprot.
Sepertinya, satu-satunya orang yang tidak punya salah saat ini hanya Cessa. Yup, hanya dia
satu-satunya yang tidak kena omel Pak Hirman.
"Ya sudah, sekarang bubar!" ucap Pak Hirman setelah menuangkan seluruh isi hatinya.
"Tapi Pak, sekarang kan baru jam lima?" tanya Ilham heran, mengingat biasanya Sabtu
latihan baru selesai jam 6-an.
"Sebentar lagi kan pertandingan, tidak perlu terlalu memforsir tenaga. Bapak tidak
mau kalian kenapa-napa menjelang hari H. Pokoknya, mulai sekarang persiapkan diri kalian
sebaiknya-baiknya untuk moment yang sesungguhnya. Mengerti?" papar Pak Hirmanpanjang
lebar.
"Ngerti, Pak!" semuanya menjawab penuh semangat.
"Oh ya Cess, jangan lupa memberi tahu mereka."
"Iya, Pak."
"Ada apa, Cess?" tanya Ryan, tidak lama setelah memastikan Pak Hirman telah berada
cukup jauh dari pandangan.
"Apanya?"
"Heh! Tidak usah sok serius gitu deh. Tadi Pak Hirman bilang apa sama kamu?"
"Mana ada orang tanya tidak sopan kayak gitu," balas Cessa. Dia pura-pura sibuk
dengan buku di tangannya.
"Iya deh, iya. Cess, tadi Pak Hirman bilang apa?" tanya Ryan lagi, kini dengan sangat
lembut dan sopan. Kayak ngomong sama putri keraton.
"Mmmm.. apa ya?" Cessa mengetuk-ngetuk badan bukunya dengan pulpen.
"Eh, Cess, kamu mau kita ceburin ke bak mandi apa?" Reno berkata dengan nada
mengancam.
"Latihan Selasa besok diliburin!"
"Serius, Cess?" Ilham memastikan.
Cessa menganggukkan kepalanya. Setelah itu, semuanya kontan saja berteriak gembira.
'Yeah! Hore! Asyik!' dan sebagainya berloncat-loncatan dari mulut Ryan cs.
"Jalan-jalan! Gimana kalau kita jalan-jalan?!" Hendra berinisiatif.
Semua hanya diam. Melihat heran ke arahnya.

Cessa berjalan terus memasuki gedung sekolah. Sebelum seseorang menghentikan


langkahnya.
"Cessa!" panggil orang itu tiba-tiba.
Tanpa harus membalikkan badan, Cessa sudah bisa menduga siapa orang yang
memanggilnya barusan. Suara itu, sepertinya sudah lama sekali tidak didengarnya. Kevin!
"Hei, halo, apa kabar?" tanya Kevin agak gugup.
Aneh memang. Cessa dan Kevin sudah dua tahun lebih berpacaran sebelum akhirnya
putus. Tapi hari itu, mereka seolah seperti dua orang yang tidak pernah saling kenal.
Canggung dan penuh kebingungan.
"Hei juga," jawab Cessa dingin.
"Bisa ngomong sebentar?"
"Sorry. Sebentar lagi kan masuk." Cessa melihat ke arah jarum jam-nya yang sudah
menunjukkan pukul 10.25. Itu berarti tinggal 5 menit lagi istirahat akan berakhir. Entah lagu
siapa lagi yang akan dijadikan ringtone bel masuk hari ini. Tapi semoga saja bukan lagu yang
melow dan bikin hati jadi miris, pikir Cessa.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 36

"Sebentar saja, paling 10 menit. Sekarang kan baru jam 10.20." Kevin melihat jam
tangannya.
"10.25. Jam tanganku sudah jam 10 lebih 25," kata Cessa. Ini memang kebiasaan Cessa.
Dia selalu memajukan jam-nya lima menit lebih cepat dari yang seharusnya. Cessa adalah tipe
cewek perfeksionis. Dia lebih suka mengerjakan sesuatu lebih awal ketimbang terlambat.
"Oke. Kalaubegitu lima menit."
Cessa pun berjalan mengikuti Kevin menuju ruang OSIS.
"Sebenarnya apa yang mau diomongin?" tanyanya.
"Oh.. ini.. ini tentang Bu Sandra. Apa dia sudah memberi tahu kamu soal tawaran itu,
tawaran untuk kerja di lab kimia milik temannya?"
Cessa mengerutkan dahi karena heran. Tahu darimana Kevin soal ini, pikirnya.
"Memangnya kenapa?"
"Apa kamu terima? Kamu pasti nerima tawaran itu kan? Aku tahu kamu pasti akan
senang nerima tawaran itu. Kamu kan.."
"Apa Bu Sandra nawarin kamu juga?" potong Cessa.
"Sebenarnya.."
"Aku baru tahu sekarang. Kamu menolaknya, makanya Bu Sandra menawari aku, iya
kan?"
"Iya, sebenarnya aku melakukan itu karena.."
"Karena kamu merasa aku lebih membutuhkan pekerjaan itu ketimbang kamu?"
"Aku merasa pekerjaan sebagai asisten pelatih tim sepak bola sama sekali tidak cocok
buat kamu," jelas Kevin.
"Oh ya? Dan sejak kapan kamu tahu mana yang cocok dan mana yang tidak cocok
buat aku?" Nada suara Cessa terdengar sinis.
"Kenapa kamu jadi sinis gitu, Cess?"
"Sejak dulu aku memang kayak gini."
"Cess.."
"Dengar! Terima kasih atas pemberitahuannya. Tapi aku mau kamu tahu, mengenai
apa aku akan menolak atau menerima tawaran Bu Sandra itu, aku berani jamin, itu tidak ada
hubungannya sama kamu. Aku yakin, Bu Sandra menawari aku juga bukan semata karena
kamu tolak tawaran dia, tapi karena aku memang benar-benar pantas untuk itu."
Kevin terdiam. Dia sadar, sudah terlalu banyak menyakiti Cessa. Alhasil, dia cuma bisa
mendengar ucapan demi ucapan Cessa yang ketus tanpa bisa mengatakan apa pun.
"Cess.."
"Udah lima menit. Aku harus mas.."
HUUF! Cessa baru saja akan meninggalkan ruang OSIS ketika tiba-tiba Kevin menarik
tangannya dan memeluknya. Memeluknya dengan sangat erat hingga membuatnya sulit
bernapas.
"Aku tahu aku salah sama kamu. Aku sudah banyak menyakiti kamu. Tapi bisa kan
tidak bersikap sepertiini sama aku? Apa kamu tahu? Aku jalan sama Bella supaya bisa
melupakan kamu. Dan apa kamu tahu juga? Aku tetap tidak bisa melupakan kamu," jelas
Kevin lagi.
Cessa hanya diam. Sejak tadi, sejak Kevin menarik tangannya dan kemudian
memeluknya, Cessa hanya diam.Dia tidak tahu harus berkata apa. Saat ini, sepertinya dia
memang tidak mau memikirkan apa-apa lagi soal Kevin.
"Maaf," tukas Cessa pelan. Kedua tangannya perlahan mendorong tubuh Kevin. "Aku
mau masuk," lanjutnya seraya berjalan menuju pintu. Tidak dipedulikannya Kevin yang
beberapa kali memanggilnya.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 37

"Bagaimanapun, aku sudah ada di sini. Aku sudah memutuskan untuk melupakan
semuanya, melupakan semua hal yang membuatku berada dalam keterpurukan. Sejak hari itu,
aku sudah memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Aku sudah memutuskan untuk
meninggalkan semua hal yang mengingatkanku pada Cessa yang dulu. Cessa yang mungkin
bisanya cuma membuat orang kesal dan juga sakit hati. Kevin, aku menyesal karena kamu
adalah salah satu dari sekian banyak hal itu," ucap Cessa dalam hati.

"Hei, boleh duduk?" tanya Cessa saat mendapati Ilham tengah termangu sendiri di
belakang perpustakaan.
"Ilham, aku.. boleh tanya sesuatu ?"
"Tentang?"
"Sebenarnya aku mau tanya pendapat kamu. Aku.. Gimana ya bilangnya, aku dapat
tawaran gitu dari Bu Sandra untuk kerja di lab kimia milik temannya. Menurut kamu... aku
harus gimana?"
"Tawaran itu, dan juga posisi kamu sekarang di klub sepak bola. Apa itu yang
membuat kamu bingung?"
"Sebenarnya.."
"Itu tawaran yang bagus lagi, Cess,"
"Gitu? Apa itu berarti aku harus nerima tawaran itu?" Cessa menoleh ke arah Ilham.
"Memang aku bilang begitu ya?" tanya Ilham, "Jangan salah sangka, Cess, aku kan
cuma bilang itu tawaran yang bagus. Tidak lebih,"
"Terus dimana letak sarannya?"
"Ya tidak dimana-dimana. Aku tidak bisa memberi saran apa-apa ke kamu. Know why?
Karena aku tidak pernah tahu mana yang lebih kamu inginkan, antara menerima tawaran itu
atau tetap bertahan di tim. Aku cuma mau bilang, apa pun keputusan kamu, kamu harus
percaya kalau itu yang terbaik buat kamu. Dan aku, kalau kamu mau, aku akan menjadi
orang pertama yang mendukung keputusan kamu," tutur Ilham.
Cessa tersenyum tipis. Benar. Ilham memang belum begitu mengenalnya. Dia tidak
tahu apa yang aku mau, tidak seperti Kevin. Tapi itu tidak penting. Saat ini, Cessamerasa apa
yang dikatakan Ilham sangat membuatnya lega.
"Terus.. kalau aku menerima tawaran itu, Pak Hirman.."
"Jangan khawatir soal Pak Hirman," potong Ilham cepat. "Dia itu kelihatannya saja
garang. Aslinya kamu tahu sendiri kan?" lanjutnya.
"Aku bukan khawatir sama reaksinya. Aku tahu dia baik. Aku cuma bingung saja
bagaimana dia mengatasin kalian nantinya. Kalian semua kan selalu membuat dia hampir gila,
belum lagi ditambah dengan jantungnya yang bermasalah. Aku bener-bener
mencemaskannya. Aku takut.."
"Kalau mau ngatain langsung saja kali, tidak usah pakai alasan segala. Apa maksudnya
hampir membuat dia gila?!"
"Bukan begitu maksudnya. Ya.. meskimemang benar begitu, kan?" Cessa geli sendiri. "
Kalian kan selalu saja membuat Pak Hirman.."
"Ternyata kamu memang menyebalkan ya, sama kayak pertama kali aku ketemu
kamu,"
"Iya maaf. Aku kan cuma.. Hah?! Eh, apa maksudnya? Kayak pertama kali kamu
ketemu aku? Memangnya aku kenapa?"
"Tahu ah!"
"Kok gitu. Ilham! Eh, aku kenapa? Memang aku salah apa? Apa aku.. Ilham!"
Ilham pergi begitu saja tanpa menghiraukan Cessa dan rasa penasarannya.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 38

"Heh, besok jangan lupa bawa baju ganti!" teriaknya sambil terus berjalan. Gayanya dia
banget. COOL!
"Baju ganti?! Apa maksudnya?! Ilham!!!"

"Eh, eeeeh.. apa maksudnya?" Cessa memekik heran saat dua orang itu, yang tak lain
dan tak bukan adalah Reno dan Doni, memegang tangannya dan memaksanya bangkit dari
duduknya. "Kalian mau apa sih? Aduuh! Eeh..!" Sekuat tenaga Cessa berusaha melepaskan diri
dari keduanya. Sekuat tenaga juga dia menahan langkahnya, persis korban penculikan.
Bedanya hanya dia tidak melakukan perlawanan berarti. Beberapa pasang mata di
perpustakaan melihat heran ke arah mereka.
"Apa lihat-lihat? Tidak pernah lihat orang tarik-tarikan!" Reno berteriak. "Ayo donk,
Cess, anak-anak sudah menunggu tuh," lanjutnya lagi.
"Anak-anak? Udah nunggu? Aduuuuh! Sebenarnya ada apaan sih?!!"
"Ya elah, Cess, kalau dikasih tahu namanya bukan kejutan," lanjut Doni.
"Kejutan?! Kejutan apa? Memangnya hari ini ada yang ulang tahun? sebenarnya kalian
mau.."
"Astagfirullaahal'adzhiim, Ikut dulu saja kenapa sih?" Reno mulai kesal. "Eh, kamu
bawa baju ganti kan?"
"Hah?!"
"Emang kemarin Ilham tidak bilang? Ya sudah deh.. nanti saja beli di sana. Ayo!" ajak
Reno lagi.
"Tenang saja, Cess, kita bukannya mau nyulik kamu kok," giliran Doni menjelaskan.
Cessa pun hanya bisa pasrah mengikuti.

Terima kasih. Mungkin tidak ada kata lain selain itu yang bisa Cessa ucapkan pada
Ilham dkk setelah semua yang mereka lakukan untuknya hari ini. Siapa sangka, kalau cowok-
cowok 'jelek' yang beberapa hari lalu mati-matian "menyiksa" dia itu kini malah sekuat
tenaga ingin membuatnya senang. Membuatnya tak henti tertawa dan bergembira. Yup!
Ilham dkk yang baik itu membawanya ke DUFAN. Tempat yang entah sudah berapa lama
tidak dikunjunginya itu.
"Thanks ya semuanya. Aku tidak tahu lagi harus bilang apa sama kalian, setelah semua
yang.."
"Baiklah, karena sepertinya penonton sudah tidak sabar, sambil menunggu para pengisi
acara bersiap-siap, kami ingin mempersilahkan kepada seseorang untuk naik ke atas panggung
dan memainkan sebuah lagu untuk kita." Tiba-tiba saja sebuah suara menghentikan
perkataan Cessa. Tambah kaget saja dia karena kemudian namanya disebut. "Kepada Princessa
Kaury, kiranya berkenan memainkan sebuah lagu di sini," lanjut si pembawa acara itu, seraya
mempersilahkan Cessa naik ke atas panggung. Serta-merta pandangan Cessa tertuju pada
seseorang yang tadi bilang mau beli minuman, tapi kenyataannya kembali dengan tangan
hampa. Siapa lagi kalau bukan Ilham.
"Ayo, Cess!" kata Arka.
"Ayo apa? Tidak mau ah! Apa-apaan sih?"
"Cess, ayo donk!" tambah yang lain kompak.
"Ogah." Cessa menggelengkan kepala berulang kali. Persis anak kecil yang tidak mau
di suruh mandi.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 39

"Cess, dilihatin orang tuh! Ayo donk!" kata Reno kali ini. Dia berulang kali menoleh
ke arah orang-orang yang juga berada di tempat itu.
"Biarin! Memangnya siapa yang suruh?"
"Yee.."
Selama beberapa saat, Arka dkk sibuk membujuk Cessa, kecuali Ilham, yang merasa
sudah melakukan tugasnya. Cukup alot juga negosiasi itu berlangsung, meski akhirnya
berhasil juga.
"Cess, kalau bisa jangan lagu itu ya," kata Doni, diangguki Ryan dkk.
"Hah?!"
"I’ll Listen What You Have to Say-nya Yoon Mi Rae terlalu sedih, yang lain saja." Arka
seolah menjawab kebingungan Cessa.
Mendengar itu, tiba-tiba saja Cessa ingin sekali memendam dirinya ke dalam tanah.
Dia malu sekali. Itu berarti mereka semua pernah melihat dia saat menangis tersedu-sedu di
samping piano beberapa waktu yang lalu. Benar-benar memalukan.
"Go, Cessa!" Ryan berteriak tidak lama setelah Cessa menaiki pentas. Cessa sampai
malu dibuatnya. Lebih malu lagi ketika tiba-tiba semua temannya berdiri dan meneriakinya.
Mulai dariyang, "Ayo Cessa!", "Cessa Fighting!", "Cessa, kamu pasti bisa!", sampai yang teriak-
teriak "I love you". Cessa benar-benar berasa menjadi superstar sore itu. Dan cowok-cowok
tidak tahu malu itu, mereka adalah fans setianya. Beberapa saat kemudian, lagu Remember-
nya Byul pun mengalun di sore yang cerah itu. Menyihir ratusan orang, baik yang sedang
bersantai maupun yang sedang asyik naik Kora-kora dan Powersurf.

Georien tto haessari


Gibunjoheun barami tto bureowa
Neoegero ganeun giri ireohge
Seolleyeowa gippeuge neol bogo sipeosseo

Yeojeonhi ttatteushan ni misoneun


Geudaeroyeoseo naega cham gomawo jeongmal
Oraesdongan haji moshaessdeon geumal
Neoreul manhi johahaessdago ajikdo

Do you remember
Uri cheoeum mannassdeon nal geuttaero
Niga bureumyeon eodideun negero
Sumichadorok ttwieogasseossji niga issneungos

I’ll remember
Manhi bogo sipeosseo neoui modeunge
Oneulbam mosdahan
Naui yaegireul deureojwo my love

5 hari kemudian..
"Gila, perutku sakit nih! Aduh, mules," keluh Ogy menjelang dimulainya
pertandingan melawan The Purples, tim sepak bola dari SMA Pelita.
"Dy, urusin tuh saudara kamu. Suruh diam kek, bikin tegang aja," kata Reno.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 40

Dibanding yang lain, Ogy memang paling gugupan orangnya. Kalau sudah begitu,
biasanya cuma Ody yang bisa meredakan. Arka dan yang lainnya sepakat, si kembar ini tidak
bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Kalau dipisah, bisa gawat.
"Eh, sudah jam segini kenapa Cessa belum datang ya?" tanya Reno.
"Macet kali," sahut Ryan.
"Eh, Bro, kamu tidak tahu dia kemana?" tanya Reno lagi, kali ini pada Ilham.
"Dia tidak akan datang," jawab Ilham sambil mengikat tali sepatunya, membuat yang
lain bertanya-tanya.
"Apa?! Kamu bercanda kan? Ha.. ha.. ha.. garing!"
Ilham melihat ke arah Reno. Penting gitu melucu di saat ini? Mungkin begitu pikirnya.
"Kalian sudah siap?" Tiba-tiba saja Pak Hirman datang dan mengagetkan mereka.
"Pak, memang benar ya kalau.."
"Kalau apa? Cepat siap-siap! Bapak tunggu di luar," perintah Pak Hirman seraya
meninggalkan mereka. Sama sekali tiak memberi kesempatan pada Reno untuk bertanya.
"Gimana sih, ini kan seharusnya jadi pertandingan pertama dia," kata Reno pelan.
"Ham, kemarin memang kenapa dia menghadap Pak Hirman?" tanya Arka. Dia ingat,
kemarin sore, Cessa sempat bilang kalau dia mau ngomong serius sama Pak Hirman.
Sayangnya, Arka lupa untuk tanya ke Cessa soal apa yang mau dibicarakan. Toh bukan
urusannya, begitu pikirnya.
"Aku tidak tau. Tapi mungkin itu bisa jadi jawaban kenapa sekarang dia tidak ada di
sini," jawab Ilham. Dia pun berangsur meninggalkan ruang ganti. Jalan terus, sampai
seseorang dari balik pintu mengagetkannya. Untung dia cepet ngerem. Coba kalau tidak?
"Halo," kata orang itu seraya melambaikan tangannya.
"Cess..!" seru semuanya kompak.
"Kalian kok masih di sini sih? Minta dihajar sama Pak Hirman apa? Cepat bangun!"
perintah Cessa. Tidak dipedulikannya keheranan Ryan dkk.
"Cess, Ilham bilang.."
"Ilham kan memang sok tahu. Sudah, cepat keluar!"
"Akhirnya kamu tahu juga kalau Ilham sok tahu." Arka berdiri sambil nyengir kuda ke
arah sohibnya tercinta.
"Kenapa? Gaji di lab sedikit? Atau.. di sana tidak ada cowok kerennya?" tanya Ilham.
Cessa tertawa kecil mendengar itu. "Kakak pernah bilang, saat kamu sudah
menemukan tempat dimana kamu merasa nyaman di dalamnya, tetaplah di sana. Jangan
pindah, kecuali kamu yakin tempat yang baru akan lebih baik untukmu, dan juga yakin kalau
kamu siap menerima konsekuensi terburuk dari keputusanmu,"
"Apa itu berarti kamu benar-benar yakin berada disini?"
Cessa mengangguk mantap. "Sudah sejauh ini, tidak mungkin mundur lagi," katanya.

"Kamu jangan cengar-cengir terus donk! Kakak jadi takut nih ngeliatnya."
"Kakak.. namanya juga lagi bahagia. Baru menang pertandingan. Wajarkan
kalausenang?" Cessa beralasan. By the way, di pertandingan pertamanya ini, The Whites
berhasil menggasak lawannya dengan skor telak 3-1, berkat hattrick sang kapten. Ilham.
"Ya tidak apa-apa. Tapi juga kan tidak perlu terlalu berlebihan. Nanti kalau muka
kamu jadi lebar, gimana? Memangnya kamu tidak takut kalau kamu jadi.."
"Kakak berhenti!" seru Cessa tiba-tiba. KIIIK! Spontan Rangga menghentikan
mobilnya.
"Aduh, kamu apa-apaan sih? Kakak kaget tahu!"
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 41

"Lihat Kak!" Cessa menunjuk ke arah beberapa orang di belakang mobil mereka. Dia
memang tidak terlalu melihat jelas ada kejadian apa. Dia hanya menangkap sekilas. Tapi
rasanya itu juga sudah cukup. Saat itu, dia melihat seorang cewek ditampar seorang cowok.
Dan yang lebih membuatnya heran, cewek itu dikenalnya. Cewek itu adalah seseorang yang
sehari-harinya selalu berteriak histeris pada orang lain. Putri. Tidak lama kemudian.. PLETAK!
BUG! Hanya dalam hitungan menit, hanya dengan beberapa tendangan dan pukulan, cowok-
cowok tak dikenal yang tampaknya lebih suka berantem ketimbang damai itu berhasil dilibas.
Mereka lari tunggang-langgang tidak tentu arah. Waah! Hebat benar kakakku yang satu ini,
pikir Cessa. Tidak sia-sia dia hijrah empat tahun ke Jepang.

" Put, apa perlu kami menghubungi orang tuamu?" tanya Rangga,tidak lama setelah
Putri keluar dari ruang pemeriksaan. Wajahnya memar.
"Tidak perlu. Lagian.. mereka juga tidak ada di sini kok,"
"Kalau gitu, kami akan mengantarmu pulang,"
"Tidak perlu, Mas. Putrisudah minta sopir untuk menjemput ke sini," jawab Putri.
"Gitu ya?"
"Ya sudah, kalau gitu aku sama Kakak nunggu sampai sopir kamu datang, gimana?
Gimana, Kak?" tambah Cessa.
Rangga mengangguk seraya tersenyum pada Putri. "Kalaubegitu, Kakak mau ke toilet
dulu." Rangga pun pergi meninggalkan Cessa dan Putri. Untuk beberapa saat keduanya diam.
"Sorry, kalau boleh tahu, sebenarnya siapa orang-orang itu? Bagaimana kamu bisa
kenal sama mereka?"
Sejenak Putri diam, "Mereka.. yang nampar aku itu, dia anaknya teman Papa. Dia..
orang yang mau dijodohkan sama aku," jawab Putri
Cessa melongo. Dia heran. Di era globalisasi kok masih saja ada acara perjodohan.
"Cess, dengan menolongku hari ini, apa menurut kamu hubungan kita bisa jadi baik?"
tanya Putritiba-tiba.
"Menurut kamu?"
"I don't think so,"
"Kalau begitu sama,"
"Aku tidak tahu apa jadinya kalau aku harus berteman sama kamu,"
"Percaya deh, aku lebih suka mengitari lapangan sepak bola sepuluh kali daripada harus
berakrab-akrab ria sama kamu,"
"Ya sudah, kalau gitu setuju, saat hari ini berganti, kita tetap dua orang yang sama
seperti dulu," ucap Putri.
"Deal!" Cessa menjawab seraya menjabat tangan Putri.
"Pertolonganmu hari ini, kelak aku pasti membayarnya,"
"Harus,"

Bab 7

Kesal! Ughhhhhhhh! Pokoknya kesal kalau mengingat-ingat kejadian hari ini. Sampai
sekarang Cessa sendiri bahkan tidakpercaya, sebenarnya yang barusan dialaminya itu benar-
benar terjadi atau hanya mimpi. Masih segar dalam ingatannya ucapan Bella di perpustakaan
siang tadi.
~ "Cess, kamu ingat tidak? Dulu aku pernah bilang ke kamu kalau aku sukasama
seseorang. Orang itu adalah Kevin."
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 42

~"Cess, please ya, menjauhlah dari Kevin. Kamu harus janji ke aku kalau kamu tidak
akan mendekati Kevin lagi, ya? Sekarang ini.. hubungan kami memang belum sepenuhnya
baik, maksudku, tentu saja karena dia belum bisamove on dari kamu sepenuhnya. Tapi aku
yakin, asalkan kamunya tidak lagi peduli sama dia, dia pasti akan dengan sendirinyalupa sama
kamu. Ya, kamu mau kan membantuku? Kamu cuma perlu menjauh darinya. Jangan temui
dia atau kalau perlu jangan ngomong sama dia. Gimana?"
"Jadi, dia bilang begitu? Ampun deh! Itu sih bukan kelewatan lagi namanya, tapi
kurang ajar! Mana ada orang yang disebutnya teman, minta kita buat melakukan sesuatu
yang norak kayak gitu." Arka yang saat itu menemani Cessa bengong, benar-benar tidak
habis pikir perihal Bella.
"Aku kasian banget ya,Ka? Diperlakukan seperti itu oleh teman baikku sendiri," Cessa
mengucap pelan.
Arka melihat dengan seksama ke arah Cessa, yang sepertinya masih benar-benar
terpukul. Mungkin memang benar kata dia barusan, dia benar-benar patut dikasihani. Kusut
banget mukanya.
"Cess, semua orang salah mengira atau memang kamu yang benar-benar berubah?
Kamu berbeda dengan Cessa yang aku kenal dulu. Kamu bukan lagi cewek angkuh dan
sombong yang menganggap dunia kamu hanyalah apa yang ada di sekeliling kamu. Kamu..
bener-bener berbeda, Cess," kata Arka.
Cessa diam memikirkan perkataan Arka. Cessa berusaha kuat. Dia tidak ingin terlihat
lebih rapuh lagi di depan Arka.
"Oh iya.. Arka, aku boleh tanya sesuatu?"
"Tentang?"
"Siapa lagi..? Ya Ilham lah. Memangnya siapa lagi yang bisa membuat orang banyak
tanya, kecuali dia," jabar Cessa.
"Banyak tanya dan banyak kesal," tambah Arka diangguki Cessa. "Mau tanya apaan?"
"Oh, itu.. waktu itu, dia sempat bilang ke aku kalau aku yang sekarang sama
menyebalkannya sama aku yang pertama kali dia lihat dulu. Kamu tahu apa maksudnya?
Emangnya aku buat salah apa sih ke dia?"
"Jadi, kamu beneran mau tahu? Yakin? Tidak menyesal?"
Cessa mengangguk mantap. Tampaknya rasa penasarannya sudah tak tertahan lagi.
"Jadi begini ceritanya.. jadi begini ceritanya.. jadi begini ceritanya.."
"Arka!" Cessa berseru kesal menyadari keisengan temannya.
Arka terkekeh, setelah itu dia pun mulai menceritakan kejadian waktu itu, kira-kira
dua setengah tahun yang lalu. Saat itu, Ilham yang baru keluar dari sekolah ditabrak orang
hingga dia terjatuh dari motornya. Bukan hanya itu, orang yang menabraknya itu bukannya
minta maaf atau menanyakan keadaannya, tapi malah memberinya kartu nama dan berpesan
agar Ilham menghubungi pengacaranya jika butuh ganti rugi atau semacamnya. Setelah itu, si
penabrak yang saat itu jelas-jelas mengenakan seragam SMP, pergi begitu saja tanpa
mempedulikan Ilham sedikit pun. Ya, mirip-mirip tabrak lari kasusnya. Ilham benar-benar
naik darah saking kesalnya. Kalau saja yang nabrak itu bukan cewek dan juga bukan anak SMP,
dia pasti sudah menghajarnya hingga babak belur.
"Anak SMP itu, yang nabrak itu..?" Cessa tidak melanjutkan ucapannya.
Arka mengangguk. Lagaknya sudah kayak orang tua. "Sekarang kasih dia alasan untuk
tidak membenci kamu? Kamu tidak mengirim dia ke rumah sakit, tapi juga membuat dia
batal ikut kejuaraan." Arka menjelaskan. Senyumnya sesekali mengembang.
"Ternyata aku memang menyebalkan ya..?!"
Dreeeet.. dreeeet.. dreeeet..
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 43

"Eh, sorry," kata Arka menyadari ponselnya berbunyi. Dia pun segera mengangkatnya.
"Halo." Untuk beberapa saat Arka diam. Sepertinya dia benar-benar menyimak perkataan
orang yang ada di seberang sana. Raut wajahnya sedikit demi sedikit berubah. Tidak terlihat
lagi Arka yang tadi penuh tawa. Yang ada hanya Arkadengan raut wajah tegang.
"Ada apa?" tanya Cessa pelan, tak lama setelah Arka meletakkan ponselnya.
Arka diam. Cessa sampai harus menggoyang-goyangkan badannya agar dia sadar dari
lamunannya. " Arka..!"
"Ilham, Cess.. Dia kecelakaan." Arka menjawab pelan. Wajahnya mendadak pucat.
"Apa?!!!"

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 lebih 23 menit, malam hari. Ilham belum juga
sadarkan diri pasca operasi sore tadi. Parahnya lagi, dokter bilang jika dalam waktu 48 jam dia
tidak juga sadarkan diri maka kemungkinan besar dia akan koma. Meski tidak pernah tahu apa
yang akan terjadi di kemudian hari, Ryan dkk masih tetap berusaha optimis. Kalaupun ada
satu orang yang benar-benar terpukul dengan kejadian yang menimpa Ilham, orang itu
adalah Arka. Arka yang tiba-tiba hilang entah kemana.
"Dicari kemana-mana tidak ada, ternyata kamu di sini ya..!"
"Eh! Kamu, Cess.."
"Boleh duduk?" kata Cessa lagi. Saat itu dia mendapati Arka tengah duduk seorang diri
di kursi yang terletak di bawah sebuah pohon di salah satu bagian rumah sakit. Sejak sore tadi,
tiba-tiba saja Arka seolah hilang dari peredaran. Dia pergi tak lama setelah dokter mengabari
keadaan Ilham.
Arka mengangguk seraya tersenyum padanya. Wajahnya jelas tampak kusut saat itu.
"Cess, gimana yang lainnya?" tanya Arkakemudian.
"Mereka semua masih di dalam dan tidak kalah kusut dari kamu," jawab Cessa.
Lagi-lagi Arka hanya tersenyum.
" Arka, Ilham pasti akan baik-baik aja. Aku berani taruhan, dalam waktu beberapa jam
ke depan, dia pasti akan bangun. Percaya deh!" kata Cessa.
"Menurut kamu begitu?"
Cessa mengangguk mantap. "Kalau aku jadi dia, dan ingat bahwa aku punya begitu
banyak teman yang care banget sama aku, aku pasti akan bangun.Tidak peduli setelah bangun
akan jadi seperti apa, aku akan tetap berusaha bangun,"
Arka tersenyum. "Aku tahu. Dia juga tidak mungkin mengingkari janjinya sama aku."
"Hah?! Janji apa?"
"Janji seorang teman pada temannya," Arka menjawab singkat.
Cessa menoleh ke arah Arka. Melihatnya dengan seksama. Dia baru sadar, melihat
Arkayang seperti ini, tidak jauh berbeda dengan melihat Ilham. Kayak saudara kembar, pikir
Cessa. Dan lebih dari itu, mereka berdua kayaknya sangat paham isi hati satu sama lain. Baru
kali ini dia melihat Arka sedemikian sedih dan tertekan.
"Cess, Kamu tahu? Keadaan sekarang.. tidak jauh berbeda sama keadaan tujuh tahun
yang lalu. Waktu itu karena sebuah kecelakaan, kedua orangtua Ilham meninggal dunia.
Cuma dia satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan itu. Well, dia memang selamat, tapi
mungkin sekitar tiga hari-an dia tidak sadarkan diri. Dokter bilang, dia begitu karena terlalu
syok, terlalu terpukul, dan juga sedih." Arka menerawang. "Kalau sekarang kira-kira dia
begitu karena apa ya, Cess? Jangan-jangan syok karena motornya hancur lagi."
"Bisa jadi."
Keduanya tersenyum. Meski sadar sebenarnya senyum itu hanya sebuah niat untuk
menghiburdiri.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 44

" Arka," Cessa bersuara pelan saat melihat Arka menitikkan airmata dari sudut
matanya.

Sebuah tabung gas besar masih bertengger di samping tempat tidurnya. Wajahnya
pucat pasi. Dengan jarum infus di lengannya, kaki dan kepala diperban, Ilham terlhat benar-
benar lemah. Melihat dia yang seperti ini, mungkin siapa pun sulit membayangkan betapa
kuat dan menakutkannya dia sebelum-sebelumnya. Paling tidak, itulah yang pernah
dirasakan Cessa.Tidak berdaya. Itulah gambaran nyata seorang Ilham saat ini. Buktinya, dia
tidak bisa berbuat apa-apa tatkala Ryan dan yang lain asyik-asyikan membuat prakarya di
kakinya yang dibalut.
“Nah.. begini baru bagus. Kalau polos doank jelek, Bro,” lontar Reno. Dia baru saja
membuat gambar muka Ilham di kaki Ilham yang diperban itu. Tidak mirip sama sekali sih.
Soalnya kalaumemang Ilham kayak yang digambarnya itu, dijamin deh, jangankan masuk ke
top ten cowok paling diincar, masuk top ten cowok paling aneh, paling jelek, dan paling
menyeramkan saja belum tentu.
“Aku.. Aku..!” Doni berteriak kala Reno bertanya apakah ada yang mau mengikuti
jejaknya.
“Heh! kalian semua pada kurang kerjaan apa?” Ilham berkata pelan. Pelan sekali. Nyaris
tidak terdengar.
“Tahu saja kalau kita tidak punya kerjaan,” tambah Ryan santai. Setelah Reno dan Doni,
giliran dia yang buat prakarya. Dia menggambar matahari lagi nyengir.
“Tul. Jarang-jarang kan bisa puas ngerjain kamu,” Reza berkomentar seraya mendekati
kaki Ilham.
“Gila kalian semua! Oh ya, Cess..Ren.. thanks banget, ya. Arka bilang kalian berdua
sudah ngedonorin darah buat aku,” kata Ilham lagi.
“Makasih doank? Mana cukup?!”
“Betul,” Cessa menyetujui ucapan Reno barusan. “Udah bikin kita kesakitan kena
jarum suntik, sudah bikin kepala puyeng dan badan lemas. Sekarang main enaknya saja bilang
makasih. Tidak seru!” tegasnya. Senyumnya dan senyum Reno mengembang.
Ilham tertawa kecil. Tertawa heran tepatnya. “Terus kalian berdua mau apa? Mau
diambil lagi? Perhitungan amat!”
“Kalau bisa diambil sih aku ambil. Tapi berhubung aku orang baik, aku kasih
keringanan. Kamu cukup traktir kita makan, ya kan Cess?” jawab Reno.
Cessa mengangguk mantap. Tanda sangat-sangat setuju. “Traktir makan sepuasnya.
Oh ya, tidak Cuma itu, pokoknya, makannya harus di restoran yang paling mahal. Mahaaaaal
banget. Makanannya juga harus yang paling enak, enaaaaak banget,” jelas Cessa diiringi tawa
yang lain.
“Di restoran yang adanya di Prancis kalau perlu,” tambah Reno.
Lagi-lagi Cessa mengangguk tanda setuju.
“Sialan kalian berdua! Sedot saja lagi kalau mau!”
Semua tertawa.
“Guys, ngomong-ngomong, gimana persiapan kalian semua buat pertandingan
minggu depan?” tanya Ilham.
“Ya elah, kaki saja belum lurus, pakai tanya-tanya soal itu.” Ryan bingung.
“Tahu tuh. Yang penting sekarang tuh kamu istirahat dulu. Jangan mikirin
pertandingan. Soal itu sih biar kita yang handle, iya kan, guys?” Reza menambahi.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 45

“Pokoknya kamu tenang saja deh. Kita tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Bukan Cuma kamusaja kok yang mau jadi juara, kita juga. Kamu juga kan, Cess?” kata Reno
kali ini, diangguki Cessa.
“Kalau soal itu aku tahu. Yang aku tidak tahu, apa bisa kalian semua menangin
pertandingan tanpa aku? Aku kan..”
AT DEZINNNGGG! Arka dkk langsung cari posisi yang pas buat mukulin Ilham. Ada
yang milih tangan, milih kaki, ada juga yang milih kepala. Sementara Cessa, dia lebih memilih
tertawa.

Bab 8
“Bro, tegang tidak sih kalian semua? Gimana nih? Badanku kok..”
“Ody!” teriak semuanya bersamaan, ketika lagi-lagi melihat penyakit panikan Ogy
kumat.
“Kalian kenapa sih?!” lontar Cessa seraya menepuk dada. Dia baru saja sampai depan
pintu ruang ganti.
Arka dan yang lain nyengir kuda. “Maaf,”
“Oh ya, Reza, kaki kamu gimana? Masih sakit?”
“Tidak apa-apa kok, Cess. Cuman ketiban kardus doangan,” Cerita Reza perihal
kejadian di lapangan parkir tadi, waktu dia tidak sengaja menjatuhi kakinya sendiri sama
kardus berisi pakaian anak-anak.
Ryan dkk terkekeh. Cuman? Doangan?Tidak seimbang sekali antara tampang sama
omongan, pikir mereka.
“Kamu semua pada kenapa?!”
“Oh tidak. Tidak apa-apa kok,” semua menjawab kompak.
“Iya. banyak tertawa juga kan bagus. Bisa menghilangkan stres,” tambah Hendra.
“Sudah-sudah. Sekarang mendingan kalian siap-siap. Pak Hirman sudah nungguin,”
Cessa memberi intruksi.
Semua kontan bangkit dari duduknya. Beranjak meninggalkan ruang ganti, sampai
muncul seseorang dari balik pintu. JENG JRENG!
“Ilham!!!” Cessa memekik kaget. Sebenarnya bukan hanya Cessa, Ryan, dan yang lain
pun, kecuali Arka yang memang sudah tahu rencana Ilham, dibuat kaget dengan
kedatangannya.
“Heh! Ngapain kamu di sini?” tanyaReno.
“Waaah, gila kamu Ham! Memang kamu sudah boleh jalan-jalan apa?”
“Tahu tuh! Emang kamu mau kaki kamu tambah parah?” Ryan menyambung ucapan
Hendra.
“Aku tidak apa-apa kok. Emangnya kenapa sih kalau aku mau nonton. Pelit amat!”
Ilham membela diri.
“Pelit apaan?! Heh! Kamu harusnya bisa ngebedain mana pelit mana peduli,” kata
Ryan, yang langsung membuat Ilham dan yang lain melongo. Bisa juga dia ngomong bagus
kayak gitu!
“Ilham, sebenarnya kamu ngapain di sini? Kamu kan harusnya masih istirahat,” kata
Cessa.
“Kan sudah aku katakan aku mau nonton! Gimana sih? Guys, pokoknya kalian semua
harus menungguku di final, oke?”
“Final, final.. Final pale lo! Heran aku! Perasaan Del Piero saja kalau cedera nurut apa
kata pelatihnya, tidak kayak kamu! Masih juga datang ke sini,” gerutu Reno.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 46

“Emangnya Del Piero bilang sama kamu, kalau dia lagi cedera dia nonton teman-
temannya maen apa tidak?” Ilham tidak mau kalah.
“Woi! Udah kali.” Reza bersuara. “Tenang saja! Final pasti datang,”
“Ya iyalah pasti datang. Ada atau tidak ada kita, final memang bakal tetap datang.
Kecuali kalau kita memusnahkan pihak penyelenggaranya satu per satu,” imbuh Ryan, yang
oleh Arka langsung dihadiahi handuk tepat di mukanya.
Saat itu, seperti biasanya, tiba-tiba saja suasana riuh. Suara-suara, mulai dari yang
berseru, yang mengeluh, yang teriak, sama yang ketawa, bergantian memenuhi ruangan.
Udah tidak jelas lagi deh suara siapa itu saking ramainya.
“Yaaaaa!” Cessa berteriak tiba-tiba. Kedua tangannya ditempelkan di telinga.
“Kamu kenapa, Cess?!” Semuanya kaget.
Cessa tidak menjawab. Dia langsung saja ngeloyor pergi. “Kayaknya benar deh apa kata
Pak Hirman, aku memang benar-benar harus kuat berteman sama kalian, supaya tidak cepat
gila!” Suaranya terdengar dari luar. Nyaring.

“Mr. Doni, bagaimana rasanya mencetak gol pertama sepanjang sejarah perjalanan
Anda sebagai pesepak bola?” tanya Reno mengikuti gaya seorang reporter.
“Gimana ya? Saya rasa cuma satu kata yang bisa menggambarkan itu, aku bahagia..”
Doni menirukan suara GAC saat menyanyikan lagu Bahagia-nya.
Cessa dan yang lain mau tidak mau dibuat ketawa oleh ulahnya itu.
“Aku bahagia mah dua kata blo’on!” Reno memukulkan lintingan koran yang tadi
dipakainya sebagai mic ke kepala Doni.
Btw, di pertandingan kemarin malam, Arka dkk tidak jadi kalah. Mereka memang
cuma bisa bermain imbang dengan lawan, berkat gol sundulan Doni di injury time, tapi itu
sudah cukup bagus. Karena dengan begitu, mereka tetap bisa memastikan diri ke perempat
final. Tidak masalah meski Cuma jadi runner up grup.
“Kalian sedang apa?” Tiba-tiba saja sebuah suara terdengar dari luar.
Reno, Doni, Hendra, Ody dan Mike, yang lagi menunjukan bakatnya jadi boyband,
langsung mencelat dan turun dari atas kursi dengan sigap.
“Bapak..!” Mereka cengar-cengir.
“Awas saja kalau kursinya jebol! Cess, ada yang nyariin kamu tuh.” Pak Hirman
menoleh ke arah Cessa.
“Cari saya? Siapa, Pak?”
“Katanya saudara kamu.”
Mendengar itu, Cessa spontan tersenyum senang. “Pasti Kakak. Makasih ya, Pak.” Dia
pun langsung lari meninggalkan ruangan.
“Perasaan dia ketemu Kakaknya tiap hari deh.” Ryan terheran-heran.
“Emang Cessa sama Kakaknya terpaut usia berapa tahun?” tanya Pak Hirman
kemudian.
“Ya.. kira-kira 8 atau 9 tahunan gitu, Pak,” jawab Ilham.
“Perasaan yang Bapak temui di luar itu usianya tidak jauh beda sama kalian. Paling
sekitar 17 atau 18-an.”
Ryan dan yang lain b-e-n-g-o-n-g.

“Kakak, Cessa kir..”


Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 47

Oops! Cessa spontan menghentikan larinya. Langsung dan tanpa aba-aba sedikit pun.
Matanya terbelalak menyadari orang yang datang mencarinya bukanlah Kakaknya. Bukan
Rangga.
“Hei, Cess.. Gimana keadaan kamu? Mas Rangga gimana? Apa kalian baik-baik saja?”
tanya orang itu, pelan. Untuk beberapa saat Cessa diam. Seolah tidak percaya dengan
penglihatannya sekarang.
“Cess, kamu..”
“Ngapain kamu di sini?” tanya Cessa akhirnya. Nada suaranya terdengar dingin.
“Aku.. aku mau mengantar ini.” Orang itu mengulurkan sebuah bungkusan kertas
berwarna cokelat pada Cessa. “Punya kamu. Semua yang seharusnya kamu dapat.” tambahnya
Cessa hanya memandangi bungkusan itu. Tanpa melihatnya Cessa sudah bisa menebak
apa isinya.
“Aku tidak butuh,” katanya ketus.
“Cess, Papa baru tahu kalau kamu menutup semua rekening atas nama kamu. Maka
dari itu, sekarang aku mau kamu ambil ini.” Orang meletakkan bungkusan itu di tangan
Cessa. “Ini hak kamu. Ini punya kamu. Ini adalah semua yang seharusnya kamu terima setiap
bulannya,” lanjutnya.
“Hakku? Milikku? Siapa yang bilang? Bukannya semua sudah diambil?”
“Cess..”
“Dengar, Ken! Aku tahu mungkin aku salah bilang ini ke kamu. Tapi tolong.. Kasih
tahu ke Ayahmu, which is Om-ku, yang sudah dibuang tidak bisa diambil lagi. Kalau kalian
kira selama ini aku kekurangan, kalian salah! Aku masih punya Kakak, dan selamanya tidak
akan pernah kekurangan apapun. Aku tidak butuh semua itu. Jadi, kalau kalian mau ambil..
ambil saja,” tukas Cessa tajam. Dia pun berjalan meninggalkan Keno.
“Cessa..!” Keno mengejarnya. “Jangan begitu! Aku tahu Papa salah. Aku tahu kalau
aku tidak seharusnya membiarkan Papa melakukan semua ini ke kamu, juga Mas Rangga.
Tapi aku bisa apa? Apa kamu benar-benar tidak mau memaafkan dia? Dia..”
“Keno!!!” Cessa memekik sebelum Keno menuntaskan ucapannya.
“Kenapa harus tanya ke aku, apa aku mau memaafkan dia atau tidak?
Apa aku salah kalau aku kayak gini? Kamu tahu apa yang aku dan Kakak alami setelah semua
kejadian itu. Ayahmu tidak cuma menghina Kakak karena dia anak pungut, tidak cuma
mendepaknya dari perusahaan, dan tidak cuma mengambil alih semuanya. Dia.. dia juga
menuduh Kakak memanfaatkan aku untuk mendapatkan semuanya. Dan tidak cuma itu, dia
juga minta ke aku untuk memilih antara tinggal bersamanya dalam kemewahan atau tinggal
bersama Kakak dalam kesusahan. Kamu tahu bagaimana perasaanku waktu itu?” Cessa
menarik napas panjang. Menjaga agar airmatanya tidak sampai jatuh. “Kalau orang lain yang
melakukan itu, aku mungkin masih bisa terima. Tapi orang itu adalah Ayahmu, Omku!
Sekarang apa aku salah kalau benci sama dia? Salah kalau aku tidak bisa memaafkan dia? Dia
sudah membuat aku kehilangan semuanya, membuat aku dihina banyak orang. Apa salah
kalau aku begini?” Mata Cessa berkaca-kaca.
Keno lemas mendengar itu. Kepalanya tertunduk. BUKK! Terdengar suara cukup keras
ketika Cessa berjalan dan menyenggol bahu Keno. Rasanya baru beberapa tapak saja Cessa
berjalan, tapi dia sudah harus kembali menghentikan langkahnya. Dia terkesiap saat
mendongakkan kepala dan mendapati Ilham dan yang lain berdiri di depannya.
“Sorry,Cess, tadi itu.. kita bukannya mau nguping atau semacamnya, kita cuma..” kata
Ilham mewakili yang lain.
“Tidak apa-apa kok. Meski aku merasa yang tadi itu bukan tontonan yang menarik.”
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 48

Ilham dkk tersenyum. Sama kayak senyum Cessa sebelumnya. Senyum yang sedikit
dipaksakan.
Cessa menarik napas dalam-dalam. “Apa kalian merasa, kalau aku menyedihkan ya??”
“Ya.. kita.. sebenarnya..” Maksud hati mau mewakili yang lain, apa daya Ryan malah
gagap.
“Ada yang bilang, setelah terluka orang baru bisa jadi lembut dan lebih tegar.
Mungkin ada benarnya juga. Kalau saja aku tidak pernah mengalami semua itu dan tidak
pernah “disiksa‟ sama kalian, mungkin aku tidak akan pernah bisa jadi Cessa yang sekarang.”
“Cessa yang kuat sekaligus manis di saat bersamaan,” sambung Arka. Diamini yang lain.
“Cess, kamu pasti sayaaaaang banget ya sama kak Rangga. Sampai kamu rela melepas
semua yang kamu punya,” Reza buka suara.
“Semua orang pasti sayang sama saudaranya, kan? Aku.. karena terlalu sayang sama
Kakak, makanya waktu tahu dia bukan Kakak kandungku, jadi merasa putus asa banget. Aku
mulai takut kalau dia juga akan berbuat sama kayak Om-ku. Meninggalkan aku. Itu dia
alasannya kenapa aku sampai kehilangan akal dan akhirnya nekat melukai lengan ini,” lanjut
Cessa seraya menunjukkan bekas luka yang masih menempel di lengannya.
Ilham dkk lagi-lagi dibuat tertegun. Jadi ternyata karena itu. Dia berniat bunuh diri
bukan karena tidak tahan hidup susah atau semacamnya. Bukan karena tidak sanggup harus
kehilangan segalanya. Dia melakukan itu semata-mata karena rasa takutnya. Takut terluka di
bagian yang sama. Luka karena disakiti orang yang dia sayang. Luka karena ditinggalkan,
batin Ilham. Tatapannya lurus ke arah Cessa.
“Kalian kenapa pada bengong? Kelihatan jelek banget tahu!?”
“Kamu Cess”
Senyum Cessa lagi-lagi mengembang melihat kebingungan teman-temannya. “Udah
ah, memangnya kalian tidak ingin pulang?” Dia berdiri.
“Biar Arka yang mengantarmu,” kata Ilham seraya bangkit dari duduknya, meski
dengan susah-payah.
“Makasih. Tapi hari ini kayaknya aku lagi ingin naik bus deh. Biar sekalian bisa
menikmati udara malam. Aku baik-baik saja kok. Kalian jangan pasang tampang aneh kayak
gitu! Nyebelin tahu?!”
“Tapi ini kan sudah malam, Cess,” tukas Ryan.
“Tidak apa-apa kok.”

Bab 9
Ada Apa dengan Kevin? lima hari sudah Cessa tidak pernah lagi melihat sosok Kevin
dalam kesehariannya. Tidak di sekolah atau di tempat lainnya. Kevin menghilang. Kevin
seolah benar-benar melakukan apa yang diinginkan Cessa, pergi dari hidupnya.

“Ibu minta tolong ya, Cess. Ibu tidak tahu lagi harus bagaimana. Sudah beberapa kali
Ibu mencoba menghubunginya, tapi sia-sia. Handphone-nya tidak aktif. Telepon di
rumahnya tidak seorang pun mengangkat. Ibu takut terjadi sesuatu padanya. Maka dari itu,
Ibu minta bantuan kamu. Kamu kan lumayan dekat dengannya. Kamu pasti tahu harus
mencari dia kemana, iya kan? Kamu mau kan membantu Ibu?” Cessa mengingat-ingat
kembali ucapan Bu Dewi, wali kelas Kevin di 3 IPA 1, siang tadi. Entah kenapa, mendengar
penuturan Bu Dewi itu tiba-tiba saja hatinya terusik. Tanpa disadari, hatinya gelisah.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 49

Sebenarnya dia kenapa? Apa iya sesuatu yang buruk terjadi sama dia? Batin Cessa sambil terus
menenggelamkan wajahnya dalam tangan.
“Cess..”
“Kakak..” Cessa mengucap kaget, menyadari sang Kakak, yang entah kapan datangnya
telah berdiri di sebelah meja belajarnya.
“Ada masalah apa? Apa ada hubungannya sama tim sepak bola? Atau.. atau sama
Ilham?”
“Hah? Tidak. Kenapa Kakak tanya seolah mereka biang masalah buat Cessa. Ini sama
sekali tidak ada hubungannya sama mereka.”
“Terus..”
“Ini.. ini soal.. soal Kevin,”
“Kevin?!!!”
“Dia sudah bolos sekolah hampir seminggu, Kak. Cessa tidak tahu dia kemana. Cessa
juga tidak tahu kenapa dia begini. Cessa..”
“Kamu mencemaskannya?” potong Rangga.
“Cessa tidak tahu. Cessa cuma merasa, ini tidak seperti Kevin. Dulu jangankan bolos,
buat izin sakit saja dia mikir 100 kali, belum lagi kalau ada ulangan, bisa sampai 1000. Tapi
sekarang.. Cessa benar-benar tidak mengerti, Kak.”
“Jadi gitu?”
“Siang tadi, wali kelas Kevin minta tolong ke Cessa buat cari kabar tentang Kevin.
Karena menurutnya satu-satunya orang yang paling deket sama Kevin, ya Cessa. Menurut
Kakak Cessa harus gimana?”
“Kenapa masih tanya harus gimana? Ya telepon lah. Kalau masih tidak aktif juga, ya
datangi rumahnya. Gitu saja kok bingung. Kan ada Kakak. Kita akan cari sama-sama. Tidak
peduli dia ada di lubang semut sekali pun, kita pasti bisa menemukannya. Percaya deh!”
Cessa mengangguk pelan.
“Ya udah, sekarang kamu tidur dulu. Besok baru dipikirin lagi gimana caranya nemuin
Kevin, oke?” Rangga mengusap kepala adiknya. Lalu jalan perlahan menuju pintu.

“Guys, aku duluan ya!”


“Eh, Cess, tunggu!”
“Ya?”
“Kamu mau pergi kemana sih? Kok buru-buru amat,” selidik Reno, sang investigator
di tim itu.
“Oooh.. aku..”
“Dia mau pergi kemana kek, apa urusannya sama kamu?” potong seseorang cepat
sebelum Cessa memberi jawaban. Suaranya tegas dan jelas. Sama seperti biasanya.
“Ilham!!!”
“Waah, balik kok tidak bilang-bilang!” Ryan yang tidak kalah terkejut menyusul Cessa
dkk melihat Ilham yang tadinya chek-up ke Singapura kini berdiri dihadapan mereka.
“Emangnya kalau aku bilang, kalian semua pada mau jemput?”
“Ya..Tidak sih,” jawab semuanya kompak. Pakai acara cengengesan, lagi.
“Oh ya, Kamu ditungguMas Rangga tuh di parkiran,” lanjut Ilham.
“Iya. Ya sudah, kalau gitu aku duluan.”
Ilham manggut-manggut sambil perlahan menggeser badannya menjauhi pintu.
Memberi ruang pada Cessa yang mau keluar.
“Eh, Cess, nanti malam kalau bisa mampir ke rumah Ilham. Itu juga kalau kamu mau
kebagian oleh-oleh,”teriak Ryan sebelum Cessa makin menjauh.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 50

Cessa Cuma senyum dari kejauhan.


“Iya katanya. Ntar malem dia ke rumah kamu.” Ryan melirik Illham, yang rasa-
rasanya mulai pengen banget mentungin tongkat penyangganya ke kepala orang.

Cessa menggenggam ponselnya erat-erat. Matanya sibuk menyapu jalanan.


Memandang ke arah luar jendela. Bisa dilihatnya tetesan air mulai membasahi kaca mobil
Kakaknya. Sepertinya hujan. Saat itu, entah kenapa, tiba-tiba saja Cessa merasakan kecemasan
yang mendalam. Dia sendiri tidakmengerti kenapa. Kenapa justru di saat dia hanya tinggal
beberapa meter lagi dari rumah Kevin, perasaan itu semakin menguat.
“Hei..” Rangga menyenggol badan Cessa yang tampaknya mulai bengong. “Kalau
kamu bengong begitu, nanti yang ada pembantunya Kevin kabur pas melihat kamu.”
Mereka pun sampai di depan rumah Kevin.
“Kenapa lama banget? Jangan-jangan tidak ada orang lagi.” TING TONG! Rangga
untuk kedua kalinya menekan bel rumah Kevin.
“Apa mungkin mereka ke luar kota Kak? Mungkin saja mereka..” Cessa tidak
melanjutkan kalimatnya, ketika tiba-tiba pintu gerbang rumah Kevin terbuka, diikuti suara
seseorang.
“Maaf, Non, Den. Bibi tadi di kamar mandi,” kata orang itu, yang tidak lain
pembantunya Kevin.
“Malam, Bi.” Cessa dan Rangga mengucap bersamaan.
“Non Cessa! Ya ampun, Non,sudah lama banget Bibi tidak melihat Non. Masuk, Non!
Silahkan duduk! Den, mari..” Bi Tari nyerocos kayak petasan.
“Terima kasih, Bi.”
“Sebentar ya, Non, Aden, Bibi buatin minum dulu.”
Cessa melirik kakaknya, pun demikian kakaknya, melirik balik, heran dengan sikap Bi
Tari yang kayaknya kangen setengah mati sama Cessa.
“Non Cessa kemana saja? Kok tidak pernah main ke sini lagi?” Bi Tari kembali bertanya
meski tangannya sibuk membawa nampan.
“Silahkan Non, Den!”
“Tidak kemana-mana kok, Bi. Ada di rumah saja.”
“Oh iya, Bibi sampai lupa. Non Cessa pasti datang ke sini mencari Den Kevin ya?‟
“Iya, Bi. Cessa sudah beberapa kali telfon Kevin, tapi tidak nyambung-nyambung.
Makanya sekarang Cessa datang. Apa Kevin-nya ada Bi?”
“Den Kevin.. Den Kevin-nya sekarang ada di rumah sakit Non.”
“Rumah sakit? Kevin sakit, Bi? Sakit apaan?” tanya Cessa lagi.
“Bukan.. bukan. Bukan Den Kevin, Non, tapi..”
“Tidak mungkin.” Cessa menggeleng berulang kali. “Bi, jangan bilang kalau..”
Bi Tari mengangguk pelan. Raut mukanya sedih banget. “Sudah seminggu ini
kesehatan Non Freya memburuk. Bibi sendiri tidak tahu karena apa. Den Kevin sudah
seminggu ini juga tidak pernah pulang ke rumah. Dia terus-terusan nungguin Non Freya di
rumah sakit. Lupa sekolah, mandi, bahkan makan,” jelasnya.
Cessa lemas seketika mendengar itu. Badannya hampir roboh kalau saja sang Kakak
tidak cepat-cepat menopangnya.
“Kakak..” Cessa mengucap pelan. Tangisnya tak terbendung.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 51

Cessa menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang masih juga terang-benderang


sementara hari sudah mulai malam. Hampir 10 menitan Cessa seliweran di rumah sakit itu,
sampai akhirnya tiba juga di tempat tujuan. Ruang ICU.
“Cessa!!!” Suara itu terdengar parau memanggil nama Cessa. Matanya yang biasa jernih
seolah ditutupi kegelapan. Tampak layu dan sendu. Wajahnya pucat. Rambutnya acak-acakan,
Kevin terlihat sangat kacau.
“Cess, kamu..”
“Vin..!” Cessa menangkap badan Kevin, yang nyaris jatuh saat mencoba bangkit dari
duduknya.
“Aku baik-baik saja kok, Cess. Aku pasti akan baik-baik saja.”
Cessa manggut-manggut. Tidak lama kemudian, dia sudah berada di pelukan Kevin.
Kevin memeluknya dan dia pun tanpa sungkan meraih pelukan itu. Dia sendiri tidak tahu
kenapa. Tiba-tiba saja ada perasaan yang mengharuskannya meringankan kesedihan Kevin
kala itu. Mungkin karena Cessa terlalu kenal Kevin. Dia terlalu paham bahwa bagi Kevin,
Freya adalah segalanya. Dalam pelukan Cessa, Kevin menumpahkan tangisnya.

“Terima kasih, Bu,” ucap Cessa, tidak lama setelah menyerahkan surat yang kemarin
dititipkan Kevin kepadanya pada Bu Dewi, wali kelas tercintanya Kevin. Bu Dewi sebenarnya
sempat tanya ke Cessa soal alasan kenapa Kevin sampai minta izin untuk tidak masuk selama
beberapa hari. Tapi berhubung Cessa tidak merasa punya hak lebih untuk menjelaskan, dia
pun memilih angkat tangan. Cessa cuma mengatakan seadanya bahwa Kevin ada urusan
keluarga. Untung banget jadi Kevin, mulai dari SD sampai sekarang selalu jadi siswa teladan.
Mau tidak masuk gampang banget dapat izinnya. Cessa pun keluar ruangan setelah selama
beberapa menit bercakap-cakap dengan Bu Sandra, guru Kimianya.
“Hayo!!!”
“Aaaa!” Cessa nyaris sprint saking kagetnya mendengar suara barusan. Kakinya batal
lari kala dirasakannya tangan seseorang memegang lengannya.
“Cuma kita kok,” kata orang itu. Masih memegang lengannya. Ternyata Ilham. Ryan
yang barusan mengagetkan cengengesan. Arkatidak kalah seneng.
“Udah kali. Dia tidak akan lari.” Ryan seolah mengisyaratkan Ilham agar melepas
tangan Cessa.
Cessa jadi salting sendiri. Kayaknya dia memang kurang pintar menyembunyikan
perasaannya. Beda banget sama Ilham, yang memang sudah ahlinya buat sok cool. Dia
kelihatan tenang kayak biasanya. Sebenarnya Ilham sendiri juga bingung, kenapa tadi tiba-
tiba menarik tangan Cessa.
“Kamu habis ngapain?” tanya Ilham akhirnya.
“Habis.. habis mengantarkan surat.”
“Sejak kapan kamu jadi tukang pos?” celetuk Ryan.
Cessa diam. Pun demikian dengan Ilham dan Arka.
“Tidak lucu ya?”
“Bagus kalau sadar,” sahut Arka seraya melanjutkan perjalanannya, mengikuti Ilham
dan Cessa.
“Oh ya, tadi kamu bilang kamu ke ruang guru buat mengantar surat. Surat apaan?”
tanya Ilhamlagi. Perasaan baru kali ini, Ilham banyak bertanya. Biasanya kan..
“Surat.. oh itu.. itu sih.. bukan surat apa-apa kok,” jawab Cessa akhirnya.
“Oohh..”
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 52

“Oh ya, kaki kamu gimana?” Cessa berusaha mengganti topik.


“Baik.”
“Kaki kamu sendiri gimana, Cess? Baik?” tanya Arka kali ini.
“Hah? Emangnya kaki aku kenapa?”
“Ya tidak tahu juga. Aku ingin tanya saja. Soalnya kaki aku juga baik-baik saja.”
“Maksudnya?”
“Tidak ada! Emangnya kalau ngomong harus selalu ada maksudnya apa? Heran!” Arka
berjalan lurus meninggalkan Cessa dan Ilham. Tidak mengerti juga dia, kenapa tiba-tiba
emosi. Habis Cessa-nya sih, tidak nyambung kalau diajak bercanda. Bikin kesal.
Cessa melirik ke arah Ilham. Tampangnya bingung.
“Jangan didengerin! Kayaknya penghapus yang tadi nyangkut di tenggorokannya
sudah sampai perut deh, makanya dia jadi begitu,” Ilham beralasan. Cessa masih juga diam.
“Cess!”
“Hah?”
“Kamu kenapa sih?”
“Ng.. tidak kenapa-kenapa kok,”
“Terus kalau tidak kenapa-napa, kenapa kamu mengikutiku?” tanya Ilham lagi.
“Hah? Ngikutin kamu? Aku kan mau ke kelas,”
“Dan apa kamu tidak ingat kelasmu ada dimana?”
“Ya ingat lah, memangnya aku bodoh? Kelasku kan ada di..” Cessa melihat ke arah
tulisan di tembok, lalu langsung lari ke pinggir tangga, melongok ke bawah. “Kenapa tidak
bilang-bilang kalau lantai tiga sudah kelewat?” tanyanya gemas.
“Salah sendiri kenapa jalan tidak lihat-lihat. Makanya jadi orang jangan kebanyakan
bengong. Bagus baru sampai lantai 4, coba kalau keterusan sampai atas, dan menembus langit
ke tujuh.”
“Mana ada?” Cessa protes tanpa kuasa menahan tawa.
“Ketawa, lagi. Sana cepat turun!”
“Iya.” Cessa manggut-manggut. Perlahan dia berjalan mundur menuruni tangga. Dia
baru saja menuruni, 1.. 2.. 3.., 3 anak tangga saat memutuskan memanggil nama Ilham.
“Kenapa?” tanya Ilham.
“Sekarang posisi kita sama.”
“Hah?”
“Gimana kalau kita taruhan? Siapa yang sampai kelasnya lebih dulu, boleh mengajukan
satu permintaan.”
“Apaan sih?”
“Kalau takut ya sudah.”
“Tunggu!”
Cessa senyum menyadari Ilham menyetujui ajakan mainnya.
“Gimana caranya tahu siapa yang sampai lebih dulu?” tanya Ilham.
“Pakai ini!” Cessa megeluarkan ponselnya. “Yang miskol duluan, berarti sampai lebih
dulu, gimana?”
“Dan bagaimana kamu yakin kalau aku tidak akan miskol kamu sebelum sampai kelas?”
“Tidak tahu. Yakin aja,” jawab Cessa pasti.
“Kalau begitu berarti aku juga harus yakin sama kamu?”
Cessa manggut-manggut.
“Yasudah, siapa takut?!”
Cessa tersenyum tipis. “Di hitungan ketiga kita mulai! Siap? Satu, dua..” Dan tepat
dihitungan ketiga, Cessa dan Ilham pun memulai pertaruhannya. Berlawanan arah, yang
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 53

satunya turun dan yang satunya naik, mereka menyusuri satu demi satu anak tangga. Terus
dan terus mereka berlari, tanpa sama sekali mempedulikan orang-orang yang berseliweran di
sekitarnya, yang mungkin saja menganggap mereka kurang kerjaan.
Hoooh.. hoooh.. hoooh.. Suara napas Ilham terdengar kemana-mana.
“Kamu kenapa?” Arka terheran-heran.
“Tidak kenapa-napa,” jawab Ilham dengan napas masih sengal. Tangannya sibuk
merogoh kantong celananya, lalu gantian merogoh tasnya. Tidak ketemu juga. dia pun mulai
mengoprek tas itu. beberapa bukunya sempat terjatuh.
“Kamu cari apaan sih?”
“Handphoneku. Handphoneku mana ya, Ar?” Ilham masih tetap sibuk memeriksa
tasnya.
“Terus saja cari sampai kamu jadi foto model. Dasar pikun! Handphone kamu kan
mati dan kamu tinggal di rumah biar bisa di-charge. Lupa?” Arka berujar kesal.
“Ya sudah, kalau gitu pinjam Handphone kamu.” Ilham langsung merebut paksa
Handphone Arka, Ilham menekan tombol di ponsel itu. Tut.. tut.. tut.. SIBUK! Selama
beberapa kali dia kembali menekan nomor yang sama. Tapi tetap sama, sibuk.
“Nelepon siapa sih?”
Bukannya menjawab, Ilham malah meninggalkannya. Bergegas menuruni tangga.
Arka hanya bisa mendelik tajam. Ia sangat kesal karena dicuekin.
***
Ilham senyam-senyum tidak jelas, begitu juga Cessa. Tepat di tempat dimana mereka
memulai semuanya tadi, di situlah mereka kembali bertemu. Lantai 4. Di telinga keduanya
masih menempel asik ponsel yang sepertinya tidak pernah mengeluarkan nada lain selain
tulalit dan tut.. tut.. tut..
“Tulalit terus,” kata Cessa polos.
“Sori, aku baru ingat kalau handphoneku mati dan sekarang lagi di-charge di rumah,”
beritahu Ilham.
“Ooh.. pantes.”
“Iya.” Ilham salah tingkah.
“Kalau begitu berarti siapa yang menang?” tanya Cessa.
“Anggap saja kamu. Handphoneku tidak ada kan salahku. Jadi, anggap saja kamu yang
menang.”
Cessa tersenyum simpul. “Apa menurut kamu, kamu tidak terlalu baik? Kamu tahu
tidak apa akibatnya? Aku bisa saja memanfaatkan kemenanganku untuk mengajukan satu
permintaan berat ke kamu. Memangnya kamu tidak takut?”
“Coba saja kalau berani. Kamu tidak lupa kan, kalau aku punya satu batalion pasukan
yang siap menghancurkan siapa saja yang berani macam-macam denganku?”
Cessa terkekeh. “Apa maksudnya? Beraninya keroyokan.”
“Ya sudah, sekarang bilang apa permintaan kamu. Sebisa mungkin aku kerjakan.”
“Aku.. nanti saja deh.”
“Kok?”
“Aku simpan permintaan itu buat kapan-kapan. Kali saja butuh. Lagian, aku juga kan
masih harus pikir-pikir dulu. Tidak mau saja kalau satu permintaan itu terbuang sia-sia. Boleh
kan?” Cessa beralasan.
Good choice! Begitulah kira-kira keputusan Cessa. Dia benar. Satu permintaan tidak
boleh sembarangan diucapkan. Apalagi yang bakal dimintakan sesuatu ini adalah seorang
Ilham Danuarta, cowok keren idola jutaan kaum hawa. Cucu satu-satunya dari Rahmat
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 54

Danuarta, pemilik jaringan Hotel Blues. Hotel bintang lima milik pengusaha Indonesia yang
tidak cuma bercabang di Asia Tenggara, tapi juga Eropa.
“Terserah kamu saja,”
“Terima kasih,” Cessa tersenyum manis.
“Ya sudah, sampai nanti siang,”
“Iya,” Cessa manggut-manggut.
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Cessaterus saja tersenyum. Dia sendiri tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba saja permainan yang melelahkan itu bisa membuatnya begitu
senang? Bisa membuatnya melupakan sedikit kekhawatirannya. Entah dari mana datangnya
ide untuk melakukan pertaruhan itu. Semua muncul begitu saja. Sebenarnya dia sendiri
kurang paham saja tujuannya. Sama sekali tidak mengerti kenapa mau melakukan itu, dan
kenapa juga dia meminta Ilham yang menemaninya.

“Kalian sudah datang?” sambut Cessa tidak lama setelah Ryan dkk datang. Senyumnya
merekah. Manisnyaaaa minta ampun. Langsung saja dia mematikan ponselnya.
Menghentikan kegiatannya main game.
“Tumben sampai duluan. Kamutidak kabur dari kelas saking lapernya kan?” Ryan
menarik bangku dari meja sebelah. Si empunya meja sampai kaget karena Ryan tidak pakai
acara permisi dulu. Tapi memang dasar Ryan. Dia cuek bebek.
“Jam pelajaran ketiga tidak ada gurunya,” jawab Cessa.
Semua kompak, “Oh..”
“Sudah pesan?” tanya Ilham.
Cessa menggeleng mantap.
“Makan apaan ya?” Reno mengelus-elus perutnya. Seolah meminta cacing-cacing di
perutnya buat diam dulu karena dia lagi sibuk milih makanan. Dia pun langsung jalan ke arah
salah satu kios setelah akhirnya tau mau makan apa.
“Eh, Ren, aku Aqua satu,” Arka teriak.
“Aaaw!”
“Eh, sorry, Ham!” Hendra berseru cepat, sadar sudah menyenggol kaki Ilham dengan
keras. Sebenarnya sih niat dia nendang Ryan, yang tega-teganya menghabiskan teh manisnya,
padahal waktu itu dia lagi kepedesan banget.
“Sakit ya?”
“Ah.. Tidak kok,”
“Tidak salah lagi maksudnya, Cess.” Ryan nyamber kayak bensin.
“Berisik!”
Ryan cs ngakak melihat Ilham sewot. Kayaknya memang tidak akan ada tenangnya
kalo anak-anak The Whites berkumpul. Perasaan baru beberapa menit menikmati makanan,
tiba-tiba sudah harus melihat kerusuhan lagi.
“Maaf,” Cessa pamit minggir kala mendapati ponselnya bunyi. Dia berjalan keluar
kantin agar bisa dengar lebih jelas. Dan tidak cuma itu, alasannya menjauh dari Ilham dkk
juga karena tau si penelepon adalah Kevin. Sebenarnya tidak ada maksud apa-apa. Dia cuma
tidak enak saja. Selama hampir lima menit Cessa meninggalkan meja. Sesekali dia melihat ke
arah teman-temannya di sudut ruangan. Melihat ke arah Ilham, yang perlahan beringsut
meninggalkan meja. Sama seperti Cessa, rupanya dia juga dapat telepon dari seseorang. Dan
memilih menjauh daripada tidak kedengaran. Sebuah senyum lega muncul di wajah Cessa,
tidak lama setelah dari seberang sana diberi tahu Kevin bahwa Freya sudah sadar.
“Kalau begitu nanti pulang sekolah aku ke sana,” kata Cessa semangat. Dia memutus
hubungan itu, lalu kembali ke mejanya.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 55

“Telepon dari siapa, Cess? Bahagia banget,” Reno kepo.


“Oh.. itu..”
“Jangan-jangan tadi kamu telepon-teleponan sama Ilham ya? Sengaja biar tidak
ketahuan kita,” sambung Doni sekenanya, yang langsung membuat Arka dkk riuh.
“Cie.. cie..”
“Bukan, bukan. Tadi itu.. tadi itu telepon dari Kakak kok.” Cessa menjawab pada
akhirnya.
“Oooh..” Semua pun ber-oh ria. Semua, kecuali Ilham. Matanya melihat penuh tanya
pada Cessa, yang kini mulai sibuk menyantap makan siangnya.
Ilham cuma bisa menghela napas melihat kebisuan Cessa. Benar-benar tidakk habis
pikir. Apa iya Mas Rangga bisa nelepon ke aku dan ke kamu dalam waktu yang bersamaan?
Ilham membatin penuh tanya. Sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutannya atas
pengakuan Cessa barusan.

Cessa memandang lembut ke arah tempat tidur itu. Ke arah seorang cewek manis yang
kini terkulai lemas dalam tidurnya. Air matanya sempat menetes sesekali. Tapi langsung
disekanya sebelum orang lain melihat. Sebelum Kevin tahu.
“Vin, kamu sudah datang? Om sama Tante mana?” tanya Cessa. Sebisa mungkin
menghilangkan jejak air matanya.
“Mereka masih konsultasi sama dokter,”
“Gitu ya?”
Kevin manggut-manggut.
“Vin, apa Freya..”
“Nanti aja ngebahasnya, ya? Kamu pasti laper. Kamu kan belum makan apa-apa sejak
dateng tadi.” Kevin memegang tangan Cessa, lalu menariknya meninggalkan kamar
Freya.”Aku tidak mau kalau kamu jadi ikut-ikutan sakit. Aku juga tidak siap kalau Mas
Rangga marahin aku lantaran bikin Adiknya sakit,” lanjut Kevin dalam langkahnya.
Keduanya berjalan menuju kantin yang letaknya di basement. Dan tidak berapa lama
kemudian, mereka sudah asyik makan masakan Padang.
“Vin, soal cangkok sum-sum itu.. selain keluarga yang punya hubungan darah, apa
yang lain tidak bisa?” Cessa memulai percakapan langsung ke intinya. Kebetulan tadi dia dan
Kevin memang sempat dengar dari dokter bahwa Freya masih punya harapan buat hidup asal
menemukan donor sum-sum yang pas.
“Bisa saja. Tapi kemungkinannya tidak banyak. Lagian, kalau pun ada, belum tentu
orang itu mau mendonorkan. Terlalu beresiko.”
“Gitu ya?”
Kevin manggut-manggut. “Kamu tahu Cess, seandainya bisa, jangankan cuma sum-
sum, kalau harus cangkok nyawa juga aku siap.”
“Kamu jangan bilang begitu.”
“Kenapa? Memangnya kamu sedih kalau aku kenapa-napa?”
“Jangan norak deh. Bete!”
“Iya.. iya.. Aku kan cuma bercanda. Tadi kamu sendiri kan yang bilang kalau kita harus
sering bercanda biar tidak stres. Gimana sih?”
“Ya, tapi jangan gitu-gitu amat.”
“Iya, maaf.” Kevin sadar bercandanya sudah kelewatan. Tapi jujur, dia senang juga. Dia
senang karena sekarang Cessasudah mau tertawa lagi di depannya. Tidak seperti beberapa
bulan terakhir ini, yang dilaluinya dengan derita.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 56

“Besok kamu masuk?” tanya Cessa tiba-tiba.


Kevin mengangguk mantap. “Kenapa? Kamu kangen ya melihat si ganteng ini
berseragam putih abu-abu?”
“Kamu tuh lama-lama jadi norak ya. Apa juga maksudnya nyebut diri sendiri si
ganteng?‟
“Emang aku ganteng kan? Atau.. atau di mata kamu ada orang lain yang lebih
ganteng?”
Cessa kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Sebenernya sih seharusnya bisa santai saja.
Apa susahnya tinggal bilang. Sebut saja Chanyeol Exo, Justin Bieber, atau siapa kek manusia
yang kelihatan cakep di dunia ini. Bukannya malah melempem dan terbang ke mana-mana.
Well, kalau Kevin tanyanya wajar sih memang gampang menjawabnya. Masalahnya dia
nanyanya agak menjurus-jurus gitu. Kemana lagi kalau bukan menjurus ke ILHAM.

“Terima kasih ya, Cess, karena kamu sudah bersedia menemani Kevin di saat-saat
seperti ini. Tante jadi malu. Setelah apa yang sudah Tante perbuat ke kamu, sekarang Tante
malah..”
“Tante..” Cessa memegang tangan Mamanya Kevin. “Tante jangan bilang begitu.
Tante tidak perlu lagi memikirkan soal itu. Cessa.. Cessasudah melupakan semuanya kok.
Suer!” Mamanya Kevin melihat lembut ke arah Cessa. Meski pelan, dan bahkan nyaris tidak
terdengar sama sekali, tapi Cessa masih bisa menangkap jelas ucapan terima kasih yang keluar
dari mulut wanita yang masih juga terlihat cantik di usianya yang menginjak kepala empat itu.
“Sekarang Tante makan, ya. Nanti kalau tidak, Tante jadi ikutan sakit.”
“Kamu juga. Kamu pasti belum makan kan sejak dari sekolah tadi.”
“Iya.” Cessa tersenyum manis.
“Sekarang Tante tahu kenapa Kevin begitu membenci Tante saat Tante memintanya
memutuskan hubungan denganmu,” Mamanya Kevin berkata di sela-sela makannya. “Dia
punya banyak alasan untuk mempertahankan kamu di sisinya. Meski akhirnya demi patuh
pada Tante memilih untuk melepasmu. Tante benar-benar egois, ya?”
Cessa diam. Iya. Egois banget. Masa dia harus jawab begitu? Jadi, daripada salah,
mending diam.
“Kamu nanti pulang diantar Pak Diman ya! Naik taksi malam-malam begini tidak
baik.”
“Tidak usah repot-repot, Tante.”
“Tidak kok. Kalau anak itu tidak terlalu lelah dan akhirnya ketiduran, dia juga pasti
akan maksain diri buat mengantar kamu. Kamu jangan sungkan.”
“Melihat Kevin yang lagi tidur kayak gitu, Cessa baru sadar kalau ternyata dia mirip
banget sama Freya.”
“Menurutmu begitu?”
Cessa manggut-manggut.
“Sayang sekali karena hanya wajah mereka yang mirip. Sum-sum-nya tidak.”
Mamanya Kevin mengucap pelan.
Cessa melongo mendengar itu.
“Kevin belum memberitahumu? Dia juga sudah menjalani pemeriksaan. Sudah cek
sum-sum, tapi hasilnya tidak sesuai harapannya.”
“Ooohh..”
“Sekarang kami cuma bisa memasrahkan semuanya pada Allah. Menunggu keajaiban
datang. Menunggu ada orang baik yang bersedia mendonorkan sum-sumnya pada Freya.”
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 57

“Eh, Cess, kemarinkamu kemana? Sampai tidak datang latihan ,” tanya Ryan.
“Iya, kasihan tuh si Ilham,tidak ada penumpangnya,” imbuh Reno.
“Kamu kira aku sopir taksi?!” Ilham sewot
“cess, kamu kalau mau kemana-mana bilang donk. Biar kita tidak khawatir,” kata Arka
kali ini.
“Maaf. Aku tidak bermaksud begitu. Kemarin aku.. kemarin itu aku.. pulang cepat
karena mau ikut Kakak. Iya, karena mau ikut Kakak antar Kak Mia ke bandara, makanya jadi
tidak bisa ke tempat latihan,” jawab Cessa akhirnya. Bingung juga sih kenapa harus bohong.
Mana pakai bawa-bawa Kakaknya segala. Dia jadi tidak enak.
“Ooohh..”
Cessa tersenyum tipis tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di sebelahnya,meski tahu
ada yang tidak beres, Ilham memilih diam.
“Ilham! Ilham!” Tiba-tiba saja suara teriakan terdengar dari kejauhan. Suaranya nyaring
minta ampun.
“Astaghfirullahalazim. Lagi ada lomba teriak, apa?!” ucap Reno kaget.
“Siapa sih?” Ryan bingung bercampur kesal. Masalahnya suara si pemanggil lebay
banget kayak perempuan.
“Gilang!” Cessa berseru.
“Yee.. ternyata kamu. Kayak perempuan saja sih teriak-teriak.” kata Ryan
Gilang cuma nyengir. Tapi Cessa, yang berdiri tepat di samping Ryan melotot.
“Tidak semua perempuan maksudku.” ralatnya
“Ada apaan? Pakai teriak-teriak segala,” tanya Ilham pada Gilang, yang masih sibuk
mengatur nafasnya.
“Itu.. Pak Hirman..”
“Pak Hirman kenapa?” tanya Arka kali ini.
“Tidak kenapa-napa. Cuma..”
“Cuma apa?” susul Reno.
“Dia bilang..”
“Bilang apa?” Kali ini giliran Ryan yang nanya.
“Yee.. biarin akuambil napas dulu dong, jangan dicecer-cecer!” Gilang, yang tadi persis
orang yang diinterogasi teriak kekesalan. Ilham dan yang lain sampai kaget dibuatnya. “Pak
Hirman tidak kenapa-napa. Dia cuma bilang kalau dia mau ngomong sama kamu, Ham, dan
juga mau kasih sesuatu sama kamu, Cess. Jadi, sekarang kalian berdua diminta ke ruangannya,”
terang Gilang.
“Oooh.. kirain ada masalah gawat apa.” Arka, Reno, dan Ryan spontan lega. Cessa
sama Ilham juga sebenarnya lega, tapi mereka masih bisa bersikap biasa. Tidak heboh kayak
tiga temannya itu.
“Ya sudah nanti aku ke sana. Thanks ya,” kata Ilham.
“Bukan cuma kamu, Cessa juga,”
“Iya.”
“Makasih ya, Lang,” ucap Cessa kali ini.
“Ya sudah, aku ke sana dulu. Ayo Cess!” Ilham pun berbalik arah, menyambangi ruang
sekret bola.

“Kalian sudah datang. Duduk!” Pak Hirman melipat koran yang dibacanya.
“ Makasih,Pak,”
Cessa dan Ilham mengucap bersamaan sebelum akhirnya duduk di bangku panjang
berkapasitas tiga orang itu. Selama beberapa saat ketiganya terlibat obrolan serius. So pasti,
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 58

masih seputar partai final melawan tim Vegaz tiga minggu lagi. Sesekali mimik serius muncul
di wajah ketiganya, sesekali juga ketiganya tersenyum, bahkan tertawa. Terus dan terus
mereka seperti itu, sampai suara bel mengingatkan mereka
“Oh ya, Cess, bagaimana keadaan Kakak kamu?” tanya Pak Hirman sesaat sebelum
Cessa meninggalkan ruangan.
“Hah?”
“Lho..? kemarin kan kamu yang bilang, kalau tidak bisa datang ke tempat latihan
karena Kakak kamu sakit. Makanya sekarang Bapak tanya, gimana keadaan Kakak kamu? Apa
sudah lebih baik?”
“Dia.. Iya, Pak. Baik. Baik kok, Pak.” Saat itu, Cessa bisa melihat raut wajah Ilham
berubah drastis. Sebongkah kekecewaan tampak jelas menghiasi wajah tampannya. Cessa
benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.
“Ilham..!” Cessa berjalan cepat menyusul Ilham, yang sejak keluar ruangan Pak Hirman
tadi jalannya jadi cepat banget. “Ilham! Ilham, kamu dengerin aku dulu!”
Ilham menghentikan langkahnya. Tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia
hanya menatap lekat ke arah Cessa, sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanannya.
“Ilham..!” Cessa mengejarnya lagi. Kali ini pakai acara lari segala. “Ilham, tung..”
BRUUUK! Cessa yang telat ngerem menabrak tubuh Ilham yang berhenti tiba-tiba.
“Maaf.” Cessa mundur perlahan. Menunduk. Sesaat yang ada hanya sepi.
“Aku..”
“Cess, aku tidak tahu ada apa sama kamu. Akutidak tahu apa masalah kamu. Tapi aku
ngerti kok kalau kamu tidak mau cerita. Anak-anak juga pasti begitu. Tapi tentang kenapa
kamu harus bohong dan terus-terus bohong, itu yang aku tidak bisa mengerti.”
“Ilham, bukan begitu. Sebenarnya..”
“Cess, aku tidak masalah kok kalau kamu bohong. Itu keputusan kamu. Dan aku sadar
aku tidak punya hak buat ikut campur. Aku cuma tidak mau saja kalau Pak Hirman ikut-
ikutan kamu bohongin. Dia terlalu baik, Cess. Dan lebih dari itu, dia terlalu percaya dan yakin
sama kamu. Jadi pleasee, jangan buat dia kecewa. Jangan buat dia kecewa, kayak kamu sudah
mengecewakanku,” katanya seraya berjalan meninggalkan Cessa.
Cessa diam. Ucapan Ilham itu seolah membuat seluruh badannya kaku. Bibirnya kelu.
Tidak satu pun kata bisa keluar dari mulutnya. Meski mungkin hanya sebuah kata maaf. Dia
sendiri tidak tahu kenapa. Tiba-tiba saja perasaan itu datang. Dia benar-benar menyesal,
benar-benar sedih, dan lebih dari itu, hatinya terasa sakit. Ini untuk pertama kalinya Ilham
memarahi dia. Memarahi dia dengan raut wajah yang begitu tenang, namun sarat akan
kekecewaan. Tanpa sepengetahuan Cessa dan Ilham, beberapa pasang mata melihat penuh
tanya ke arah mereka. Heran. Meski lebih banyak cemasnya.

Bab 10

Sejak kejadian hari itu, Cessa bisa merasakan kalau sikap Ilham berubah terhadapnya.
Well, Ilham memang tidak menjauhinya atau spontan lari kalau bertemu dengannya. Tapi
Cessa bisa merasakan jarak mulai memisahkan dia dan Ilham. Ilham yang ada sekarang, bukan
lagi Ilhamyang dulu begitu tegas, namun lembut di saat bersamaan. Bukan lagi Ilham yang
suka diam-diam tertawa di belakang teman-temannya kalo ada yang lucu atau Ilham yang
tetap tenang meski kesal setengah mati. Yang ada sekarang, cuma Ilham yang senantiasa
menyikapi semuanya dengan dingin. Begitu misterius. Sangat misterius hingga membuat
orang sibuk menerka-nerka apa yang tengah ia pikirkan. Persis Ilham yang pertama kali Cessa
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 59

lihat dulu. arka dkk sendiri bukannya tidak sadar dengan perubahan ini. Mereka sadar sesadar-
sadarnya, mereka cuma tidak tahu saja harus gimana. Tanya ke Cessa, tidak enak. Takut dia
tersinggung dan tambah bingung. Tanya ke Ilham? Masih mendingan memutari lapangan dua
puluh kali kalo kata Reno sih daripada buang-buang tenaga maksa Ilham buat ngomong jujur
soal hatinya. Bisa mati kesal. Alhasil,selama beberapa hari terakhir, mereka cuma bisa melihat
kebisuan Ilham dan Cessa tanpa bisa berbuat banyak. Kasihan juga si Cessa, karena seolah
dianggap transparan oleh Ilham.

“Cess..! Cesssa..!”
“Ooh.. iya. Iya,kenapa, Ren?” Cessa berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan yang
berkepanjangan.
“Kamu kenapa sih, Cess? Perasaan akhir-akhir ini kebanyakan bengongnya deh.”
“Siapa yang bengong?”
“Nah itu.. (menunjuk piring Cessa), istirahatnya kan sebentar lagi habis, makanan
kamu bahkan belum kamu sentuh” Ryan mendukung keheranan Reno.
Cessa melihat piring makanan di depannya. Seporsi fried chicken beserta coca-cola itu
masih utuh.
“Aku.. Tiba-tiba aja tidak lapar. Ya sudah kalau gitu, aku..” Cessa cepat-cepat bangkit
dari duduknya.
“Eh,Cess, biar aku saja yang bayar,” cegah Arka.
“Makasih, tapi tidak usah lah. Aku bisa jadi konglomerat kalau setiap makan selalu
dibayarin, Ka.”
Cessa beralasan, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan meja. Meninggalkan
Ilham yang tadi duduk di sampingnya, tapi terasa ada di luar dunia. Begitu jauh. Seolah
keduanya berada di dua garis lurus. Sampai kapan pun terasa mustahil bisa bersama.
“Ar, tolong donk!”kata Ilhamseraya menepuk pundak Arka. Meminta temannya itu
untuk mengambilkannya kecap. Lagi-lagi bersikap seolah tidak terjadi apa pun.
“Alah, malas banget aku jadinya!” Ryan yang tampaknya mulai gerah dengan gaya
Ilham, membanting sendoknya hingga terlempar ke lantai. Arka sama yang lain, termasuk
Ilham, sampai kaget dibuatnya.
“Ya elah, ngagetin aja.” Reno mengelus dada.
“Kamu kenapa sih, Yan?” Pelan Arka memungut sendok yang mencelat sampai ke
kakinya itu.
“Aku kenapa?! Teman kamu tuh yang kenapa? Mendingankamu periksain dia ke
dokter, jangan-jangan di badannya tidak ada benda yang namanya hati lagi!”
“Yan!”
“Apaan sih?” Ryan menepis tangan Reza, yang sepertinya mulai sadar emosi temannya
makin menjadi.
“Kamu jangan emosi gitu kenapa?”
“Tidak emosi bagaimana? Emangnya kamutidak lihat apa kalau dia..”
BRUUUK! Ilham memukul meja seraya mengangkat badannya untuk berdiri. Matanya
tajam menatap Ryan. “Udah bel,” katanya singkat, kemudian pergi begitu saja. Haaah! Reza
dan yang lain spontan menarik napas lega. Untung, untung!
“Iya. Pergi saja sana! Kamumemang selalu begitu, kan? Lama-lama malas tahu
akumelihat gaya kamu!”
Waduh! Dasar Ryan! Masih juga mau cari perkara. Reza dan yang lain kembali
mengucap dalam hati. Bingung, takut, ngeri, kalau-kalau Ilham sampai kepancing dan
akhirnya terbawa emosi. Ilham menghentikan langkahnya, membelakangi Ryan dan yang lain.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 60

Balik badan tidak, balik badan tidak. Dan pemenangnya adalah.. de de de deng de deng, jalan
terus dan menganggap omongan Ryan barusan hanya angin lalu.

“Makasih ya, Vin.. sudah mau mengantarku,” kata Cessa tidak lama setelah sampai di
depan rumahnya.
“Cess..” Kevin menarik sebelah tangan Cessa saat dia hendak keluar dari mobilnya.
“Kamu tidak apa-apa kan?” tanyanya.
Cessa mengangguk seraya melepas tangan Kevin. “Aku baik-baik saja kok. Emangnya
ada alasan kenapa aku harus jadi tidak baik?” katanya seraya menampakkan sebuah senyuman.
Senyuman yang dianggap Kevin topeng belaka. Sejak kejadian yang dialaminya dengan Ilham
beberapa hari yang lalu, sejak saat itu juga Cessa yang di mata Kevin dulu selalu ceria, tiba-
tiba menjadi pendiam. Lebih banyak bengongnya malah.
“Haaah! Rasanya pengen banget mukulin orang.”
“Hah?!”
“Oh bukang apa-apa!” Kevin menampakkan senyum manisnya. “Ya sudah, kalau
begitu aku pulang dulu,” lanjutnya lagi sebelum Cessa sempat berkata-kata.
“Vin..” Cessa melongok melalui kaca mobil Kevin yang mulai menutup.
“Ya?”
“Tolong kasih tau Freya ya, hari ini mungkin aku agak telat ke rumah sakitnya,” kata
Cessa.
Apa? Sempat kaget juga Kevin mendengar Cessa berkata seperti itu. Dia tidak
menyangka Cessa masih juga menaruh perhatian pada Adiknya, sementara situasi di hatinya
sendiri sedang tidak baik.
“Vin..!?”
“Oh.. Iya. Iya, nanti aku bilangin ke dia.”
“Ya sudah, kalaubegitu kamu hati-hati. Daah!” Cessa pun melambaikan tangannya.

“Thanks ya kalian semua sudah mau nengokin adikku,” kata Kevin pada Ilham dan
Arka, yang menemaninya ngobrol di luar, sementara Ryan cs memberi hiburan gratis
padaFreya.
“Terus.. gimana kondisi adik kamu sekarang, Kev?”
“Ya.. Alhamdulillah deh, Ham. Keadaannya sekarang sudah lebih baik dari minggu lalu.
Insya Allah, kalau tidak ada halangan dan kalau kondisinya tetap stabil kayak gini, dia bisa
segera dioperasi,” terangKevin.
“Operasi?”
“Iya. Rencananya sih Ortumau bawa dia ke Jepang. Mungkin dalam minggu-minggu
ini. Semuanya lagi disiapin.”
“Apa itu berarti, dia sudah dapat sum-sum yang cocok?” tanya Arka.
“Udah, Ka. Alhamdulillah. Ada orang baik yang sum-sumnya cocok dan bersedia
ngedonor buat dia. Sebenernya ini juga memang agak tiba-tiba. Tapi aku bersyukur banget.
Semoga saja ini pertanda baik.”
“Bagus deh.”
“Kalian semua doain ya! Doain operasinya lancar.”
Ilham dan Arka mengangguk bersamaan.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 61

“Kamu sabar saja. Kamu juga harus yakin kalau semua akan baik-baik saja,” tambah
Arka bijak.
“Thanks.”
Selama beberapa saat, hanya sepi yang ada.
“By the way, aku boleh tanya sesuatu sama kamu berdua? Terutama kamu , Ham.”
“Hah? aku? Tentang apaan?”
“Tentang Cessa,” Kevin menjawab keheranan Ilham.
“Cessa?” Sekarang giliran Arka yang kaget.
“Iya. Aku.. aku mungkin akan mengajak dia ke Jepang. Kamu keberatan tidak?”
Ilham diam. Kaget tepatnya. Di sebelah Kevin, Arka juga tidak kalah kaget.
“Aku tahu. Aku tanya begini ke kamu, kamu pasti mikir ada apa-apanya. Mungkin
memang iya. Tapi lepas dari semua itu, aku cuma tahu kalauFreya butuh banget kehadiran dia.
Butuh dukungan, juga semangat dari dia. Kamutahu maksud gue, kan?”
Ilham senyum. “Dia mau pergi atau tidak, itu sama sekali tidak ada urusannya sama
aku. Dan kalau ada orang yang seharusnya kamu tanya soal itu, orang itu adalah Mas Rangga.
Bukannya aku atau Arka,” katanya.
“Aku tahu. Sebenernya sih mas Rangga sudah memberi izin, meski dengan berat hati.
Tapi aku merasa, izin kalian berdua dan juga yang lainnya, juga tidak kalah penting. Apalagi,
kemungkinan besar kita berangkat di hari yang sama dengan hari kalian bertanding. Jadi, aku
pikir..”
“Kalau dia memang mau ikut ya sudah. Toh di pertandingan nanti dia juga cuma
duduk. Jadi ada atau tidak ada, tidak terlalu penting.”
Tidak terlalu penting? Apa benar aku tidak sepenting itu? Ilham, apa iya aku di mata
kamu cuma sebatas itu? Cessa berusaha menahan airmatanya mendengar itu. Dia batal masuk
kamar dan lebih memilih masuk toilet. Menangis.

“Ya elah, lagu apaan sih?!” Arka berkomentar tidak lama setelah lagu Just Say
Goodbye-nya JTL mengudara di radio sekolah. Itu loh.. artis Korea pelantun My Lecon.
“Ar, kalau kamumau tahu rasanya hujan , mending kamu keluar saja deh. Pegel tahu
ngeliatin kamu!” seru Ilham kala disadarinya Arka mulai menempelkan wajahnya di jendela.
Seolah ingin mempertegas lagi penglihatannya terhadap rintik-rintik hujan itu.
“Ngapain dia hujan-hujanan di sana?!” Arka seolah tidak mendengar imbauan
Ilhambarusan dan malah membuka topik baru.
“Apaan sih?” Ilham menepuk tangan Arka yang mulai menggoyang badannya.
“Itu lihat!” Arka memaksa Ilham melihat ke luar jendela. Ke arah sekumpulan siswa-
siswa berseragam olahraga yang berlari-lari kecil ke sana-kemari menghindari hujan.
“Udah tau hujan, kenapa masih juga ada pelajaran olahraga?!” lanjutnya tidak habis
pikir.
Ilham melihat ke luar jendela. Selama beberapa saat dia terus seperti itu. Tiba-tiba saja
pikirannya terbang ke masa-masa saat dia bersama Cessa. Saat Cessa membalas tatapan
dinginnya, saat Cessa diam-diam mengomelinya, saat Cessa menangis di depannya, saat Cessa
memukulnya, saat Cessa tersenyum padanya, dan semuanya. Bayangan itu masih sangat jelas
tersimpan di ingatannya.
“Ilham, apa kamu..?” Arka tertegun kala membalikkan badan dan melihat wajahIlham
yang sarat akan kecemasan.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 62

“Apa kamu pernah merasa kalau kadang hujan juga bisa nyebelin?” Tiba-tiba saja
Ilham teringat kalimat itu.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia pun segera berlari keluar kelas.

Selama beberapa saat, keadaan di bawah pepohonan tempat Cessa berteduh itu hening.
Mereka hanya saling memandang. Seolah sudah seratus tahun lebih mereka tidak bertemu.
Orang-orang di sekitar mereka pun sama diamnya dengan mereka.
“Ilham..”
Ilham mengulurkan payungnya kepada Cessa. Dia masih diam, tetap tidak mengatakan
sepatah kata pun.
“Ilhamkamu..”
“Pegang!” perlahan Ilham meraih sebelah tangan Cessa dan memaksanya memegang
payung itu.
“Kamu tidak suka hujan kan? Kalau gitu, jangan main hujan-hujanan,” lanjutnya
pelan. Setelah itu, dia pun segera pergi meninggalkan Cessa. Berlari-lari kecil menyusuri
halaman sekolah. Sebelah tangannya menutupi kepala.
“Ilham..” Cessa memandangi kepergian Ilham tanpa sanggup berkata-kata. Perlahan
dia bisa merasakan air menggenangi matanya.
“Aku memang tidak suka hujan, tapi kalaumemang hujan bisa membuatmu kembali
seperti dulu lagi, ditimpa hujan sederas apa pun aku rela. Benar-benar rela,” lanjutnya lirih.
Air matanya jatuh bersamaan dengan tetes hujan yang membasahi kaos olahraganya. Hujan
yang mengguyur dan membasahi halaman sekolah dan juga mungkin seisi dunia.
***
“Speed! Speed! Speed!” teriak Pak Hirman dari pinggir lapangan. Suaranya melengking.
Benar-benar membuat kepala yang mendengarnya pusing tujuh keliling. “Hei! Apa kalian
pikir kalian bisa menang dengan bermain seperti itu? Lari!” lanjutnya lagi. Sama seperti
sebelumnya, teriak.
Selama hampir dua jam lebih suasana di lapangan terus-terusan seperti itu. Ilham dan
kawan-kawan harus puas mendengar teriakan dan omelan Pak Hirman. Mulai dari Ilhamdi
depan, sampai Hendra di belakang, semua kena semprot. Macam-macam kasusnya, mulai dari
yang larinya kurang cepat, permainannya kurang fokus, tendangannya kurang tenaga, dll.
Pokoknya, tidak ada yang selamat dari omelan. Semua dapat bagian. Ilham dkk sebenarnya
bukan malas atau apa, mereka yakin seyakin-yakinnya kalau mereka sudah mengeluarkan
seluruh kemampuan mereka. Seluruh energi yang mereka simpan selama dua minggu terakhir
ini. Tapi entah kenapa, Pak Hirman masih juga merasa ada yang kurang.
“Sebenarnya kalian mau memenangkan kejuaraan ini atau tidak?” tanya Pak Hirman di
sela-sela break latihan.
“Mau, Pak.” Semua menjawab kompak, meski dengan susah-payah. Tampaknya
mereka semua masih benar-benar kelelahan akibat latihan tadi.
“Kalau begitu tunjukkan! Tunjukkan kalau kalian bisa berbuat lebih baik dari ini!
Kalian paham?”
“Iya Pak.”
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 63

“Sekarang pergilah. Mandi dan bersihkan badan kalian! Latihannya cukup sampai di
sini. Simpan tenaga kalian buat Sabtu nanti,” lanjut Pak Hirman. Setelah itu, dia pun berjalan
meninggalkan lapangan.
Ilham dkk kontan menjatuhkan badan mereka di rerumputan.
“Gila! Mau mati rasanya” Arka menjatuhkan badannya.
“Tenaga mana lagi yang mau disimpan coba, tenagakusudah benar-benar habis,” kata
Ryan sambil tiduran. Suaranya terdengar parau.
“Aduu duu duu, kalau begini aku mesti minta dijemput Pak Udin kayaknya, aku
benar-benar tidak sanggup lagi nyetir,” kata Reza kali ini.
“Aku juga nih,” sambung Reno.
“Ya sudah, gimana kalau kita menginap saja di sini? Jadi kan besok kita tidak mesti
capek-capek bangun buat sekolah,” saran Hendra sekenanya, yang tanpa diduga malah
diamini teman-temannya.

Bab 11

Bandara Soekarno Hatta, pukul 22.40


“Cessa sama Kevin mana?”tanya Reza pada Arka, tidak lama setelah kembali dari toilet.
“Di dalam lagi mengurus fiskal,” jawab Arka.
“Jam berapa sih, Ka, take off-nya?” tanya Ryan kali ini.
“Jam 1-an mungkin. Kenapa memangnya? Kamu ngantuk?”
“Bukan aku. Tapi tuh orang dua!” Ryan menunjuk ke arah Hendra dan Doni, yang
mulai terangguk-angguk menahan kantuk.
“Perasaan tadi mereka masih fine-fine saja deh.”
“Tau tuh. Nanti juga aku lempar ke luar.”
“Eh, Ka, tadi Ilham lagi ngapain? Menurut kamudia akan datang tidak?” Kali ini Reno
yang tanya.
“Kalau kamu jadi dia, kamu akan datang?” Arka balik bertanya. Dan pertanyaan itu
tidak cuma ditujukan buat Reno, tapi juga Reza dan Ryan.
“Kalau aku jadi dia? ya pastilah aku datang. Tidak ada ceritanya dalam kamus aku
membiarkan orang yang aku sayang pergi begitu saja. Apalagi sama mantannya. Beneran deh
aku sih, tidak rela! Mana aku juga belum sempat ngutarakan isi hatiku lagi. Iya kalau dia balik
nanti aku masih hidup, nah kalau tidak? yang ada aku bakal... Aduh!” Reno mengaduh kala
Reza menginjak kakinya. Sadar karena apa temannya melakukan itu, Reno pun diam.
“Kalian kenapa?” tanya Cessa tidak lama setelah keluar dari boarding pass.
Reno dan Reza nyengir kuda. “Tidak apa-apa kok,” sahut mereka.
“Gimana? Sudah beres semuanya?” tanya Arka pada Kevin dan Cessa.
“Beres,” jawab Kevin mewakili Cessa.
“Vin, selama di sana kamu harus jaga Cessa baik-baik. Awas kamu kalau macam-
macam sama dia! Kamu juga, Cess, jangan ragu nelepon kita kalau dia macam-macam, oke?”
kata Ryan. Lagaknya seperti jagoan.
Kevin dan Cessa tersenyum saja menanggapi itu.
“Kalian semua jangan khawatir. Aku bakal jaga dia melebihi nyawaku sendiri. Percaya
sama aku!”
“Waduh! Serius amat, Mas.” Reno spontan mengucap.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 64

Beberapa lama kemudian, terdengarlah suara itu. “Perhatian, perhatian, kepada


penumpang Japan Air Lines 1o1, diharap segera memasuki pesawat! Perhatian, perhatian,
kepada..”
“Guys, kayaknya sudah..”
Arka dkk, kali ini termasuk Hendra dan Doni yang kayaknya kebangun
juga akibat suara tadi, manggut-manggut bersamaan.
“Vin, salam ya buat Freya. Buat Ortu kamu juga. Kita doain operasinya lancar.”
“Thanks, Ka.”
“Aku juga. Semoga semua baik-baik saja.” Kali ini gantian Ryan yang ngomong. Tak
ubahnya Arka barusan, dia pun menjabat tangan Kevin, jabatan ala cowok gitu deh. Setelah
itu bergantian Reza, Reno,Hendra dan Doni mengucap salam perpisahan.
“Bye.. bye..” Cessa mengucap lembut pada teman-temannya seraya melambaikan
tangan. Dia terus berjalan. Dekat dan semakin dekat menuju pintu itu, sampai tiba-tiba
terdengar sebuah suara dari kejauhan. Suara seseorang memanggil namanya.
SEEETTT! Mata Cessa spontan tertuju pada suara itu berasal. Pun demikian dengan
Arka dan yang lain, yang tahu pasti suara siapa itu.
“Ogy!!!” Semua mengucap heran.
Ogy menghentikan langkahnya. Napasnya terengah-engah. Sambil terus menarik
napas dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menunjuk-nunjuk ke arah belakang.
Ilham! Arka dkk spontan tersenyum lega. Ilham berjalan perlahan mendekati teman-
temannya, itu berarti tinggal beberapa langkah lagi ke Cessa dan Kevin.
“Ilham, kamu..”
“Jangan pergi! Jangan pergi, bisa?” kata Ilham. Well, entah itu sebuah perintah atau
permohonan. Sudah tidak jelas berhubung Ilham mengucapkannya dalam keadaan yang
sepertinya teramat lelah.
Cessa tidak menjawab. Tapi dari raut wajahnya, tampak jelas dia begitu senang Ilham
datang.
“Aku yang salah. Aku tahu selama beberapa hari ini akusudah bersikap jahat ke kamu.
Aku minta maaf, Cess. Aku sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba akumenjadi seperti ini.Aku
cuma tahu, kalau setiap kesedihan dan kesenangan yang aku dapat belakangan ini, itu semua
aku dapat karena kamu. Karena kamu, aku bisa tertawa. Karena kamu aku bisa sedih dan
karena kamu juga aku bisa marah. Cess aku..”
Cessa menjatuhkan tas tangannya, perlahan berjalan ke arah Ilham.
“Apa kamu mau maafin aku?”
Cessa manggut-manggut. Segurat senyum yang teramat manis menghiasi wajahnya.
“Ilham, kamu masih ingat tidak sama janji kamu ke aku waktu di tangga itu? Kamu tidak lupa
kan kalau kamu hutang satu hal sama aku?”
“Iya,”
“Aku.. apa boleh kalau aku mengajukan permintaan itu sekarang?”
Ilham manggut-manggut.
“Aku.. aku mohon kamu jangan pernah membenciku. Apa pun yang aku lakukan,
aku mohon jangan sampai membuatmu benci sama aku dan akhirnya terluka. Biar aku.. biar
aku aja yang ngerasain itu, bisa?”
“Apa?! Cess, apa maksud kamu?”
“Ilham, aku..” Cessa menoleh bergantian ke arah Ilham dan Kevin, yang seolah dengan
setia selalu menunggunya.
“Cess, kamu tidak akan pergi, kan? Kamu tidak...”
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 65

Ilham belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba saja dirasakan olehnya,
Cessa mulai menjauh. Mundur perlahan ke tempat dia berada semula. Di samping Kevin.
“Maaf,”
“Apa?”
“Ilham, aku harus pergi. Benar-benar harus pergi,” Sekuat tenaga Cessa berusaha
menahan buliran air keluar dari matanya.
“Cess, kalau kamu pergi artinya kamu milih Kevin. Itu berarti..”
“Maafin aku,” Dan air mata Cessa pun menetes juga.
“Cess..” Arka dkk mengucap heran mewakili Ilham yang mulai diam seribu bahasa.
“Cess..”
Cessa menggeleng berulang kali sebelum Kevin sempat mengatakan sesuatu.
“Aku tidak apa-apa kok. Kita pergi. Ayo!”
Saat itu, dia bisa mendengar Arka dan yang lain, termasuk Ilham, berulang kali
memanggil namanya. Tapi dia memilih jalan terus.
Ilham maafkan aku. Aku bukan sengaja mau membuat kamu sedih. Bukan sengaja
membuat kamu terluka. Mungkin nanti aku akan menyesal karena melakukan ini, tapi aku
juga tahu, kalau aku akan lebih menyesal jika tidak melakukan ini. Ilham, aku sayang kamu.
Tidak peduli apapun yang terjadi setelah ini, aku cuma tahu, di mataku, di hatiku, aku cuma
melihat kamu, batin Cessa, seraya terus berjalan di samping Kevin. Terus dan terus berjalan.
Sama sekali tidak menghiraukan kejadian di luar.

Dua hari kemudian..


“Ka, Ilham gimana? Udah mendingan belum?” tanya Reza di sela-sela obrolannya.
Istirahat kali ini tampaknya terlalu membosankan bagi Arka dan yang lain. Mereka yang tidak
lapar memilih nongkrong-nongkrong di taman.
“Lumayan,Kamu seperti tidak tahu dia saja. Coba saja kamu ke rumahnya sekarang,
teruskamu tanya apa dia baik atau tidak. Paling juga kamu dilempar dari rumahnya,” jawab
Arka, yang tahu betul tabiat temannya. Ilhamtidak suka diperhatikan dan dianggap lemah
sama orang lain.
“Ya, right.”
“Eh man, aku masih bingung deh sama kejadian di bandara kemarin itu. Kenapa ya,
Cessa masih juga memilih pergi bersama Kevin, sementara Ilham sampai mohon-mohon gitu
supaya dia tinggal. Aneh tidak sih?” Ryan menunjukkan raut bingungnya.
“Ya.. ada alasan yang lain mungkin,” kata Arka.
“Tidak,tidak,” Tiba-tiba saja Reno seperti tersadar dari lamunannya.
“Guys, aku yakin pasti ada apa-apanya,” katanya.
“Ada apa-apanya gimana maksud kamu?” Reza heran.
“Ya.. mungkin saja dia dipaksa,”
“Dipaksa? Kamu pikir Cessa anak kecil yang bisa dipaksa-paksa! Jangan asal deh!”
“Ya abis.. Kamu lihat sendiri kan waktu di bandara kemarin. Kayaknya tuh, dia tidak
mau pergi. Tapi karena ada satu dan lain hal, which is connect to Kevin, dia tetap pergi,”
“Satu dan lain hal itu apaan?”
“Ya mana aku tahu. Tanya lagi..”
“Ck.. ck.. ck..! Aku pikir kalian termasuk orang-orang pintar, tapi ternyata biasa saja.
Sama kayak yang lain,” ucap seseorang tiba-tiba. Saat itu Ryan dkk memang hanya
mendengar suara, sama sekali tidak lihat muka si pembicara.
“Heh! Siapa tuh? Berani banget kamu ngomong!” seru Ryan kesal.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 66

Matanya menoleh ke kiri dan kanan. Mendengar itu, tanpa basa-basi lagi, langsung
saja si empunya suara misterius barusan menampakkan wajahnya. TOWET! Dia keluar dari
balik pohon. Tinggal Ryan sama yang lain yang kaget.
“Putri!” seru semua bersamaan.
“Heh! Udah bosan hidup apa berani ngomong kayak gitu? Lupa siapa aku?” Lagi-lagi
Ryan geram.
“Lupa? Aku mana mungkin lupa sama orang-orang yang tidak tahu sopan-santun
kayak kalian. Kamutidak bisa ya kalau ngomong tidak pakai teriak?” teriak Putri tidak mau
kalah dari Ryan.
“Yee, dia nyolot!”
“Yan!” Arka bersuara. Seolah memberi tahu temannya supaya bisa lebih sabar dalam
menghadapi nenek sihir kayak Putri. “Eh Put, sebenarnya apa mau kamu? Kamu tidak sengaja
mau cari ribut sama kita, kan? Aku kasih tahu ya, kita tidak tertarik!”
“Dan apa kamu kira aku tertarik? Haaah!” Putri menarik napas dalam-dalam. “Aku
pikir aku mau jadi orang baik sekali ini saja, dengan memberi tahu kalian alasan sebenarnya
kenapa Cessa pergi ke Jepang. Tapi karena kalian tidak tahu diri.. aku batal ngomong!”
“Apa?! Heh! Kamu bilang apa barusan?” Ryan penasaran.
“Tahu ah! Minggir!” Putri memerintah dengan gaya ratu sejagad-nya.
“Heh! Put!”
Putri yang benci sekali di heh-in, jalan terus tanpa menoleh.
“Ka, apa menurut kamu..”
“Biaraku yang tanya.” Arka yang sadar Putri membawa berita penting memutuskan
bicara empat mata dengannya.
“Put, tunggu!”
Berhasil! Putri mau juga menghentikan langkahnya. Mau juga diajak bicara. Selama
beberapa saat keduanya terlibat pembicaraan. Lumayan serius kayaknya. Dari kejauhan, Ryan,
Reza, juga Reno cuma bisa menebak-nebak apa isi pembicaraan tersebut.

“Apa aku boleh tahu kamu tahu soal ini dari mana? Dan kenapa kamumelakukan ini
sementara kamu sama Cessa..”
“Aku tau dari mana itu urusanku. Kalau soal kenapa aku yang jelas-jelas bukan
temannya melakukan ini, anggap saja ini adalah caraku membayar hutang padanya,” jawab
Putri.
“Hutang? Utang apaan?”
“Aduuuh! Apa kamu tidak merasa kalau kamu terlalu banyak tanya? Masalah
hutangku ke Cessa itu sama sekali tidak ada hubungannya sama kamu. Jadi, jangan banyak
tanya!”
“Oke. Terus, aku tahu darimana kalau sekarang ini kamu tidak lagi menipuku sama
yang lain?” tanya Arka lagi.
“Apa perlu aku memberi tahu alamat sama nomor teleponku supaya kamu bisa
membuat perhitungan kalau aku bohong!? Heran!”
“Ya, oke, aku percaya sama kamu.”
“Percaya atau tidak bukan urusanku!” Putri buang muka. Sadar Arka mulai
memandang tegas padanya. Bahkan seorang Putri yang biasanya jutek dan antipati banget
sama yang namanya cowok pun nyaris meleleh dilihatin Arka. Arka gantengnya yang tidak
kalah jauh dari Lee Min Ho.
“Kenapa kamu senyum-senyum?” Putri heran.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 67

Arka menggeleng,“Thanks. Aku tidak akan melupakan bantuan dari kamu,” kata Arka
sebelum akhirnya berhamburan menuju Ryan dan yang lain.
“Ka, tadi itu..”
“Udah nanti aku kasih tahu. Kita ke rumah Ilham sekarang!”
“Hah?”
“Rez, Ren, Yan, cari tahu penerbangan tercepat ke Jepang jam berapa dan naik pesawat
apa. Pokoknya yang paling cepat. Kita harus mengirim Ilham ke sana secepatnya.”
“Hah?” Lagi-lagi cuma kata itu yang muncul dari mulut Ryan dkk.

“Eh.. eh, kalian semua kenapa sih?!” Ilham terheran-heran mendapati Arka dkk
menirukan gaya maling masuk ke kamarnya. Gerasak-gerusuk tidak jelas. Ada yang langsung
buka laci, yang langsung buka lemari, lalu memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam
ransel, ada juga yang langsung masuk kamar mandi. Kebelet rupanya.
“Ren, heh, kamu mau apain bajuku?”
“Jual! Berisik amat sih! Paspornya sudah, Ka?” Reno sedikit teriak.
“Sip!”
“Gimana kata Kakek, Yan?” tanya Reno pada Ryan kali ini, yang bertugas
menghubungi Kakek Ilham untuk meminta izin.
Ryan mengacungkan ibu jarinya tanda semua beres. Pun demikian Reza, yang
tampaknya sudah dapat penerbangan tercepat ke Jepang.
“Heh! Kalian semua pada kenapa sih? Perasaan yang patah hati di sini aku deh, kenapa
jadi kalian yang pada stres?”
“Siapa bilang sudah patah? Cepat siap-siap! Cessa butuh kamu,” kata Ryan seraya
melempar sepatu ke arah Ilham. Apa maksudnya? Orang berangkatnya saja baru nanti malam.
Dasar Ryan!

“Cessa pergi bukan semata karena Kevin, Ham. Bukan karena dia masih sayang sama
Kevin makanya dia ke sana. Dia juga bukan pergi karena tidak sayang sama kamu. Dia pergi ke
sana buat urusan lain. Sesuatu yang menurutnya bisa membuatnya jadi orang baik. Ham, dia
orangnya. Dialah orang yang mendonorkan sum-sumnya buat Freya. Cessa adalah pendonor
itu.” Ilham mengingat-ingat perkataan Arka dalam lamunannya. Matanya memandang tegas
ke arah awan-awan yang bergelayutan di angkasa. Tanpa disadari olehnya, kerinduan itu
memuncak. Perasaan bersalah itu menerpa. Lupa dia sama penyakit takutnya akan ketinggian.

10 jam kemudian atau tepatnya puku 09.30 waktu Tokyo.


“Anoo.. sumimasen, 113 ban no heya no kanja wa doko ni arimasu ka? Shitteimasu ka?
(Maaf, pasien yang ada di kamar 113 ke mana ya? Apa suster tahu?)” tanya Kevin pada salah
seorang suster setelah tidak menemukan Cessa di kamarnya.
“Aa sono kirei na onna desu ne?(O. pasien (wanita) yang cantik itu ya?)”
“Hai.(Iya)” Senyum Kevin mengembang mendengar pujian suster untuk Cessa. Benar,
Cessa memang cantik. Bahkan, orang Jepang pun mengakuinya.
“Saki, shamposhitai to iun desu. Ja.. koen de kamoshimasen. (Tadi sih bilangnya mau
jalan-jalan. Mungkin ada di taman.)
“Koen? (Di taman?)”
“Ung.(Iya)”
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 68

“Sokka? Ja, doumo arigatou.(Jadi begitu? Kalau begitu, terima kasih..)”


“Iie. (Jangan sungkan)”
Dan tidak lama setelah mengetahui keberadaan Cessa dari suster, Kevin pun segera
meluncur ke tempat yang dimaksud, taman.
“Dicari kemana-mana ternyata ada di sini. Tidak tahu apa kalau aku sampai harus
memutari rumah sakit ini buat nyari kamu?” kata Kevin seraya mengambil posisi duduk di
sebelah Cessa. Di sebuah bangku taman yang di depannya berhamparan pepohonan sakura.
Indah sekali!
“Maaf. Aku bukannya sengaja mau membuatmu khawatir. Tadi aku mau bilang, tapi
karena kamu lagi di kamar Freya, makanya aku..”
“Aku bercanda kok. Kenapa jadi serius gitu?” Kevin meluruskan kakinya. “Cess, kamu
baik-baik saja, kan?” tanyanya.
Cessa mengangguk pelan. Sebuah senyum tampak mengembang di wajahnya.
“Kev..”
“Ya?”
“Bagus ya, bunga Sakura ini. Coba di Indonesia juga ada, pasti indah. Iya kan?”
Cessamengucap seraya memandangi bunga-bunga yang bermekaran.
“Iya. Eh, kamu tunggu di sini bentar ya, aku ambilkan jaket,” kata Kevin saat sadar
Cessa mulai kedinginan menikmati udara pagi Kota Tokyo.
“Tidak perlu Kev, Aku baik-baik saja kok,”
“Pokoknya tunggu sebentar, Oke?” Dan Kevin pun berlari meninggalkan Cessa.
Selama beberapa saat Cessa diam. Membiarkan matanya yang indah mengabadikan
keindahan satu demi satu kelopak bunga yang bermekaran. Terus dan terus dia seperti itu,
sampai terdengar langkah seseorang dari arah belakang tempatnya duduk.
“Cepat sekali Kev? Aku kira kamu..”
HUFFFT. Kalimatnya terhenti kala menoleh ke belakang dan mendapati ternyata
bukan Kevin yang berdiri di sana. Dia orang lain. Orang yang selama beberapa minggu
terakhir mati-matian dirindukannya. Ilham!
Ilhamberjalan perlahan mendekati kursi Cessa. Matanya menatap penuh arti pada
Cessa, yang masih juga mematung dalam duduknya. Perlahan dia membungkukkan badan.
Berusaha melihat Cessa lebih jelas.
“Ilham..”
“Sakit?” tanya Ilham seraya memegang lembut wajah Cessa.
Saat itu, entah kenapa, tiba-tiba saja rasa dingin yang tadi dirasakan Cessa, hilang
tanpa jejak. Tangan Ilham begitu hangat. Sama hangatnya dengan tatapan matanya sekarang.
Cessa menggeleng pelan.
“Tidak sesakit yang dirasakan Freya dan tidak sesakit saat dimarahi kamu,” jawabnya,
juga pelan. Buliran air mulai menggenangi matanya yang indah.
“Maafkan aku, Cess. Maaf karena selama ini aku sudah membuatmu sedih,” kata
Ilham seraya memeluk Cessa.
“Ilham..”
“Cess, aku janji, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi. Tidak akan
membiarkanmu menangis lagi. Aku akan menjadi Ilham yang dulu. Ilham yang selalu ada
saat kamu butuh aku. Karena Wata shiwa Anata o aishite (Aku mencintaimu)” Cessa
manggut-manggut dalam pelukan Ilham.
“Ilham, kamu harus janji tidak akan marah sama aku lagi. Kamu boleh pukul aku,
boleh nendang aku, tapi jangan pernah menjauhiku, jangan ngediamin aku, ya?” kata Cessa
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 69

kali ini. Ilham mengangguk. Selama beberapa saat suasana hening. Mereka hanya saling
memandang.
“Cess, aku sayang sama kamu. Aku tidak tahu sejak kapan dan karena apa. Aku cuma
tahu, sejak saat itu kamu masuk begitu saja ke dalam hidupku. Jadi bagian terpenting dari
hidupku. Dan aku sangat bersyukur karenanya”ucap Ilham dalam hati.

"Ya Allah, terima kasih


Terima kasih atas semuanya
Atas setiap kesedihan yang berakhir dengan tawa
Atas setiap penderitaan yang berakhir dengan bahagia
Terima kasih karena mengembalikan semuanya
Meski dalam bentuk yang berbeda
Ya Allah, terima kasih
Atas dunia baruku yang penuh warna
Atas kekuatan untuk mengobati luka
Terima kasih karena menghadirkan dia dalam hidup ini
Terima kasih karena cinta yang melimpah ini
Terima kasih" Batin Cessa.
Afterwards, Maybe Lost Maybe Love 70

Epilog

Itu kejadian di Jepang, tiga bulan yang lalu. Setelah melewati berbagai proses
pengobatan dan penyembuhan. Sekarang, di sinilah Ilham dan Cessa berada. Di Indonesia. Di
sekolah mereka, lebih tepatnya. Dan tak ubahnya akhir dari sebuah drama romantis yang
selalu berujung pada kebahagiaan, itu jugalah yang mereka rasakan kini. Merasakan
kebahagiaan karena The Whites berhasil memenangkan final selain itu, juga karena kisah
cinta Ilham dan Cessa yang berujung dengan Happy ending.

“Ciee, yang lagi bahagia. Ada acara bagi-bagi hadiah dong..,” lontar Ryan iseng, tidak
lama setelah sampai kantin dan mendapati Ilham menggenggam sebuah kotak kecil di
tangannya. Pemberian Cessa pastinya.
“Ehm.. ehm.. ehm.. hem.. hem.. heeeeem..!” Berikutnya menyusul suara-suara iseng
lainnya.
“Norak kalian semua!”
“Apaan sih? Lihat donk!” Arka mau tahu. Tapi tidak digubris sama Ilham, yang
kayaknya memang lagi benar-benar penasaran sama isi kotak itu. Perlahan dia membuka pita
berwarna biru yang membungkus kotak itu, lalu mengangkat penutupnya. Dan.. Eng ing eng!
Matanya terbelalak melihat isi kotak itu. Sebuah jam tangan. Ilham ingat, jam itu didesain
khusus oleh Kakeknya sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-13. Dia sama sekali tidak
menyangka kalau jam yang dulu hilang itu kini kembali.
“Ini kan..”
“Waktu itu aku bukannya sengaja menabrak kamu. Aku juga bukannya sengaja
nyuekin kamu dan membiarkan kamu terlentang di jalanan. Aku memang lagi buru-buru
saat itu. Saat tahu Kakak kecelakaan, aku jadi khawatir sekali. Jadi, nyetirnya tidak bisa
konsentrasi. Akhirnya, nabrak kamu. Tapi kamu tahu tidak? Tidak lama setelah sampai rumah
sakit dan tahu Kakak baik-baik saja, aku kembali lagi ke tempat itu. Eh, sesampainya di sana,
aku malah cuma menemui itu. Sebenarnya aku mau ngembaliin jam tangan itu setelah
Arkakasih tahu aku kalau orang itu kamu, tapi aku berubah pikiran.” Cessa tersenyum.
Ilham tersenyum manis mendengar itu. Matanya melihat ke arah Arka.
“Kamu jangan marahi Arka, ya. Sebenarnya aku sudah janji tidak akan cerita, tapi
daripada aku bohong lagi, tidak apa-apa deh dimarahin Arka. Ya kan, Ka?”
“Ooh.. jadi kamu ya biang kerok yang sudah matahin kaki Ilham? Kamu juga yang
sudah bikin kita gagal menang di kejuaraan pertama kita? Dasar!” Ryan mengucap garang.
“Aku tahu kita mesti ngapain. Timpuuuuk!” Reno menyusul Ryan memberi instruksi.
Dan setelah itu, semuanya, kecuali Ilham dan Arka, mulai asyik melempari Cessa pakai
tisu, serbet, kerupuk, dan benda lainnya yang ada di meja. BUUK! DUUG! PLETAAK!
PLETOOK!
“Aduuh! Kenapa kalian begitu? Katanya kalian teman-temanku? Eh! Aaw! Ilham!”
Cessa berteriak sambil menutupi mukanya. Sesekali bersembunyi di balik badan Ilham.
“Eh, sudah! Mau aku banting satu-satu apa?!” kata Ilham seraya memasukkan kembali
jam pemberian Cessa ke dalam kotak. Gayanya dia banget, cool and calm.
“Piring kali, dibanting.” Celetuk Reza yang langsung membuat teman-temannya
tertawa.

End

Anda mungkin juga menyukai