Anda di halaman 1dari 31

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA SIANOSIS NEONATUS

Pembimbing :
dr. Andy Setiawan, Sp. A

Disusun oleh :
Ivana Beatrice Alberta 201706010019
Jovita Stephanie 201706010071
Florencia Irena 201706010105

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya
Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta
Periode 18 Maret – 25 Mei 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sianosis adalah perubahan warna menjadi kebiruan pada jaringan yang
muncul ketika kadar hemoglobin tereduksi pada kapiler turun melebihi 3 g/dL.
Sianosis neonatus secara potensial dapat mengancam kehidupan karena gangguan
jantung, metabolisme, neurologis, infeksi, dan gangguan parenkim - non parenkim
paru.1 Sebanyak 4,3% memerlukan terapi oksigen tambahan karena sianosis.
Sebanyak 7 hingga 8 bayi per 1000 kelahiran hidup dilahirkan dengan penyakit
jantung bawaan yang bermanifestasi sebagai sianosis neonatus.2
Sianosis neonatus dapat diklasifikasikan menjadi sianosis perifer dan sianosis
sentral. Neonatus dengan sianosis perifer dapat memiliki saturasi oksigen arterial
yang normal. Sianosis sentral biasanya disebabkan oleh penurunan saturasi oksigen
arterial. Normal neonatus dapat menderita sianosis sentral 5-10 menit setelah
dilahirkan kemudian saturasi oksigen akan meningkat 85-95% dalam 10 menit.
Sianosis sentral yang persisten biasanya abnormal dan harus dievaluasi dan diberikan
tatalaksana secara tepat dan segera.3
Secara garis besar etiologi sianosis neonatus dapat dibagi menjadi gangguan
respirasi, gangguan CNS, gangguan hematologi, dan gangguan kardiovaskuler.3
Mekanisme yang dapat meningkatkan desaturasi oksigen arterial antara lain:
hipoventilasi, right-to-left intracardiac shunt atau intrapulmoner, ventilation-
perfusion mismatch, gangguan difusi, transpor oksigen inadekuat.3,4
Pendekatan diagnostik yang dapat dilakukan untuk sianosis neonatus antara
lain dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti xray
toraks, laboratorium darah lengkap, gula darah, kalsium, oksimetri, analisis gas
darah, kultur darah, EKG dan echokardiogram.2,3
Sianosis pada neonatus memiliki banyak diagnosis banding seperti TOF,
atresia pulmoner, RDS, TTN, hipertensi pulmoner pada neonatus, pneumothoraks,
pneumonia aspirasi, edema pulmoner, hipoglikemia, sepsis, polisitemia, obstruksi
saluran napas atas, emfisema lobaris, efusi pleura, malformasi arterivena, dan
hemoragik pulmoner.1
Sebagai seorang klinisi, dokter harus mampu mendiagnosis sianosis neonatus
dengan tepat dan memberikan tatalaksana yang sesuai. Hal inilah yang mendorong
penulis untuk memperdalam wawasan mengenai pendekatan dan tatalaksana sianosis
neonatus sebagai bahan pembelajaran kelak.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana diagnosis dan tatalaksana sianosis pada neonatus?

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

· Mengetahui pendekatan diagnosis sianosis pada neonatus


· Mengetahui tatalaksana komprehensif sianosis pada neonatus
1.3.2. Tujuan Khusus

· Mengetahui definisi, klasifikasi, dan etiologi sianosis neonatus


· Mengetahui cara menegakkan diagnosis kerja dan menyingkirkan diagnosis
banding sianosis neonatus
· Mengetahui tatalaksana sianosis neonatus

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat bagi Masyarakat
Referat ini diharapkan dapat berguna membantu masyarakat mendapatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang sianosis pada neonatus.
1.4.2. Manfaat dalam Bidang Kesehatan
Referat ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan atau sumber
informasi mengenai diagnosis dan tatalaksana sianosis neonatus.
1.4.3. Manfaat dalam Bidang Ilmiah
Referat ini diharapkan dapat berguna bagi peneliti untuk mendapatkan
informasi mengenai diagnosis dan tatalaksana sianosis neonatus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sianosis berasal dari bahasa Yunani “kuaneos” yang artinya biru tua, merujuk
pada perubahan warna menjadi kebiruan pada jaringan yang muncul ketika kadar
hemoglobin tereduksi pada kapiler turun melebihi 3 g/dL. Sianosis neonatus
adalah perubahan warna menjadi kebiruan yang terjadi pada bayi baru lahir <28
hari.1-4
Oksigen membawa darah dalam 2 bentuk: terbawa hemoglobin dan terlarut
dalam plasma. Sebagian besar kandungan oksigen dalam darah dibawa oleh
hemoglobin. Satu gram hemoglobin dapat membawa 1,34 ml oksigen.
Sedangkan oksigen terlarut plasma hanya 0,003 ml per 100 ml plasma, sehingga
secara klinis tidak signifikan. Hemoglobin yang teroksigenasi berwarna merah
terang sedangkan hemoglobin tereduksi berwarna biru tua atau ungu, sehingga
bila muncul pada membran mukosa atau kulit akan menghasilkan warna
kebiruan. Terjadinya sianosis lebih banyak dipengaruhi oleh kadar hemoglobin.4
Konsep sianosis tergantung pada konsentrasi absolut hemoglobin tereduksi,
bukan pada saturasi oksigen atau rasio hemoglobin tereduksi dibanding
oksihemogobin. Pada kadar hemoglobin normal 15 g/dL, adanya 3-5 g/dL
hemoglobin tereduksi akan mengakibatkan desaturasi 20-30%. Sianosis terlihat
pada saat saturasi oksigen 70-80% yang setara dengan penurunan kadar
hemoglobin >3 g/dL.3,4
Pada pasien polisitemia (kadar Hb > 20 g/dL), adanya 3-5 g/dL hemoglobin
tereduksi setara dengan desaturasi 15-20%, secara klinis terlihat sianosis pada
saturasi oksigen 80-85%. Sebaliknya, pada pasien anemia (misalnya kadar Hb 6
g/dL), dengan 3-5 g/dL hemoglobin tereduksi hanya memberikan sedikit
desaturasi oksigen sehingga membutuhkan >50% penurunan saturasi oksigen
untuk secara klinis dapat terlihat sianosis.2,5
Konsentrasi hemoglobin pada neonatus (HbF) berbeda dengan hemoglobin
pada dewasa. HbF adalah protein pembawa oksigen utama pada fetus selama 7
bulan kehamilan dan bertahan selama 6 bulan pertama setelah bayi lahir. HbF
memiliki substitusi asam amino histidin menjadi serin pada 2,3-BPG sehingga
afinitas terhadap oksigen lebih tinggi dibanding Hb pada orang dewasa.
Neonatus yang memiliki sebagian besar Hb dewasa akan menunjukkan sianosis
sentral bila saturasi arterial 75-85% dimana tekanan parsial oksigen turun di
bawah 50 mmHg. Sedangkan pada neonatus yang memiliki HbF dominan,
sianosis sentral tidak akan muncul sampai tekanan parsial oksigen turun di
bawah 40 mmHg, sehingga setelah penurunan oksigenasi yang besar barulah
sianosis neonatus secara klinis dapat terlihat.3

2.2. Klasifikasi3
· Sianosis sentral : sianosis pada tubuh, ekstremitas, membran mukosa, dan
lidah. Akibat desaturasi arteri, merupakan indikasi gangguan atau
kelainan serius yang potensial mengancam nyawa.
· Sianosis perifer : sianosis hanya pada ekstremitas, akibat vasokonstriksi
perifer, mudah dinilai pada ujung jari tangan dan kaki. Membran mukosa
dan lidah tetap berwarna merah muda dan saturasi arteri normal. Dengan
penghangatan, sianosis perifer dapat membaik.5
· Sianosis diferensial : terjadi ketika ekstremitas atas merah muda dan
ekstremitas bawah biru/sianosis. Biasanya disebabkan karena pelebaran
aorta, gangguan pada arkus aorta seperti pada PDA sehingga aliran yang
mensuplai ekstresmitas bawah menjadi terganggu.
· Reverse sianosis diferensial : terjadi ketika ekstremitas atas sianosis dan
ekstremitas bawah merah muda. Hal ini terjadi pada perubahan arteri
besar dan PDA berat. Ekstremitas atas disuplai darah dari ventrikel kanan
melalui aorta asendens sedangkan ekstremitas bawah disuplai darah dari
ventrikel kiri melalui arteri pulmonar melalui PDA.

2.3. Etiologi
2.3.1. Sistem kardiovaskuler1
· Perubahan arteri besar: aorta yang seharusnya berasal dari
ventrikel kiri menjadi berasal dari ventrikel kanan dan
sebaliknya, arteri pulmonalis yang seharusnya berasal dari
ventrikel kanan menjadi berasal dari ventrikel kiri. Hal ini
menyebabkan darah yang miskin oksigen berada di aorta
sehingga terjadi sianosis. Perubahan ini terjadi pada neonatus
dengan intracardiac shunt seperti Ventricular Septal Defect
(VSD) atau Artrial Septal Defect (ASD).
· Tetralogy of Fallot (TOF): kelainan kongenital pada jantung
yang terdiri dari 4 komponen yaitu: hipertrofi ventrikel kanan,
stenosis pulmoner, posisi aorta yang abnormal (overriding
aorta), dan VSD. Mayoritas neonatus dengan TOF lahir
dengan sianosis.
· Total Anomalous Pulmonary Venous Return (TAPVR): vena
pulmonalis yang seharusnya bermuara ke atrium kiri menjadi
ke atrium kanan sehingga menghasilkan kondisi sianosis dan
kongesti pulmonal. Pada pasien dengan ASD, vena
pulmonalis juga dapat bermuara ke vena kava superior dan
inferior serta vena hepatika.
· Truncus Arteriosus: hanya ada 1 pembuluh darah besar dari
ventrikel kanan dan kiri sehingga mengakibatkan sianosis dan
meningkatnya aliran darah pulmoner. Hal ini berkaitan
dengan VSD.
· Atresia trikuspid: darah dari atrium kanan dipaksa melewati
foramen ovale ke atrium kiri. Hal ini berkaitan dengan
hipoplasti ventrikel kanan.
· Atresia pulmonal: umumnya berkaitan dengan VSD, aliran
darah pulmoner bergantung pada patent ductus arteriosus
(PDA).
· Anomali Ebstein: katup trikuspid dimana 2 katupnya tertarik
ke ventrikel kanan sehingga terjadi atrialisasi ventrikel kanan.
Atrium kanan menjadi membesar, terjadi regurgitasi katup
trikuspid dan perubahan aliran dari atrium kanan melewati
foramen ovale menuju atrium kiri.
· Left-to-right shunt dengan edema pulmoner: umumnya terjadi
bila terdapat VSD atau PDA.
· Ventrikel tunggal: hipoplasti jantung kanan atau kiri.
· Keadaan curah jantung rendah.
2.3.2. Sistem Respirasi1
2.3.2.1. Parenkimal
· Respiratory Distress Syndrome (RDS) akibat defisiensi
surfaktan
· Transient Tachypnea of the Newborn (TTN) akibat
terlambatnya bersihan cairan pulmonal fetus
· Aspirasi mekonium, darah, susu sehingga mengakibatkan
atelektasis atau pneumonitis kimia
· Pneumonia
· Perdarahan paru pada koagulopati, asfiksia, left-to-right shunt
dengan edema pulmoner
· Edema paru (riwayat oligohidramnion, ketuban pecah dini,
hernia diafragmatika kongential)
· Emfisema lobaris kongenital
· Malformasi jalan napas kongenital
· Limfangiektasi paru
2.3.2.2. Non parenkimal
· Fistula trakeoesofageal
· Atresia esofagus
· Pneumotoraks
· Efusi pleura
· Obstruksi jalan napas atas: atresia khoana, laryngeal web,
laringomalacia, stenosis subglotis, paralisis pita suara.
· Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus.

2.3.3. Gangguan hematologi dan metabolik3


· Methemoglobinemia
· Sepsis hingga apnea
· Hipoglikemia hingga apnea
· Polisitemia
· Malformasi arteri vena

2.3.4. Gangguan sistem saraf pusat3


· Hypoxic-Ischemic Encephalopathy (HIE)
· Perdarahan intrakranial
· Edema serebral akibat asfiksia
· Kejang

2.4. Fisiologi: Adaptasi normal sistem kardiorespirasi saat lahir4


Pada saat lahir, terjadi perubahan signifikan sistem kardiovaskular dan
respirasi yang membuat neonatus dapat bernapas. Gangguan pada perubahan ini
dapat bermanifestasi menjadi sianosis.

Gambar 1. Sistem kardiovaskular janin


Selama kehidupan intrauterin, darah dari plasenta mengalir menuju vena
umbilikalis dengan PO2 40 mmHg (PO2 arteri umbilikalis 38 mmHg). Dari vena
umbilikalis sebagian darah (50-60%) langsung menuju vena cava inferior (VCI)
melintasi hepar melalui duktus venosus. Sisanya mengalir ke sirkulasi vena porta
masuk ke hati mengalami perfusi di dalam hati kemudian menuju vena cava
inferior (VCI). Darah miskin oksigen dari VCI mengalir ke dalam atrium kanan
bercampur dengan darah kaya oksigen dari duktus venosus dan darah miskin
oksigen dari VCS lalu diteruskan ke ventrikel kanan. Karena resistensi paru
tinggi akibat terisinya alveolus dengan cairan, maka darah dari ventrikel kanan
lebih banyak terpompa balik ke atrium kanan dan menuju foramen ovale
menyebrang ke atrium kiri daripada mengalir ke arteri pulmonalis. Selanjutnya
darah dari atrium kiri menuju ventrikel kiri dan dipompa ke aorta lalu ke
sistemik. Sirkulasi janin intrauterin memiliki duktus arteriosus yang
menyambungkan arteri pulmonalis dengan aorta. Karena tekanan di arteri
pulmonal lebih besar dibanding aorta maka terjadi aliran dari arteri pulmonal
menuju aorta melalui duktus arteriosus tersebut. Sirkulasi sistemik memiliki
cabang vena umbilikalis yang membawa darah miskin oksigen menuju plasenta.6
Sesaat setelah lahir, katekolamin dan hormon lain meningkat menyebabkan
perubahan sifat dari sekresi menjadi absopsi cairan pada alveolus. Cairan paru
akan keluar melalui trakea dan di absopsi oleh kapiler paru serta limfatik.
Resistensi vaskular paru turun drastis sehingga meningkatkan 8-10 kali aliran
darah paru. Secara simultan, terjadi pula peningkatan resistensi sistemik diatas
resistensi pulmoner sehingga aliran darah menuju paru meningkat dan aliran
darah yang melalui duktus arteriosus berubah arah sebaliknya. Penutupan duktus
secara fungsional terjadi pada beberapa jam kehidupan sebagai respon terhadap
meningkatnya tekanan oksigen. Tekanan atrium kiri juga meningkat sehingga
terjadi penutupan foramen ovale dan mencegah aliran darah dari kanan ke kiri
jantung. Dalam 24 jam setelah lahir, tekanan arteri pulmonal turun 50% dari
tekanan arteri sistemik dan terus menurun selama 2-6 minggu selanjutnya hingga
menyamai sirkulasi dewasa.7

2.1. Alur Diagnosa Sianosis Neonatal


Gambar 2 Algoritma Diagnosa Sianosis pada Neonatus8
Sianosis sentral dapat disebabkan oleh gangguan pada paru, jantung, sistem
saraf pusat (hipoventilasi), neuromuskular (hipoventilasi), hematologi, ataupun
akibat faktor eskternal seperti penurunan kadar oksigen di udara. Sianosis perifer
umumnya disebabkan etiologi yang lebih ringan; umumnya bersifat fisiologis akibat
vasomotor yang belum stabil, saturasi arteri sistemik dan pulse oxymetri umumnya
normal. 8
Ditemukannya insufusiensi nafas dapat mengarahkan kecurigaan pada
masalah pada pulmo ataupun akibat sekunder dari depresi sistem saraf pusat oleh
obat. Jika insufisiensi nafas disebabkan oleh gangguan pulmo, maka laju respirasi
akan cenderung mengalami peningkatan disertai tanda retraksi; jika disebabkan oleh
depresi sistem saraf pusat, maka laju respirasi akan cenderung menjadi ireguler,
lemah, dan melambat. Apabila sianosis terjadi tanpa disertai tanda-tanda insufisiensi
pernapasan, maka dapat dicurigai adanya penyakit jantung kongenital atau
methemoglobinemia. Sianosis yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan akan
sulit untuk dibedakan dengan masalah pulmo secara klinis. Episode sianosis juga
dapat menjadi tanda awal dari hipoglikemi. Akrosianosis yakni perubahan warna
pada esktremitas / perifer umum ditemukan pada neonatus dan biasanya bersifat
fisiologi, kecuali jika dicurigai adanya masalah perfusi. Evaluasi dilakukan secara
sistematis untuk menilai airway, pulmonary, dan sirkulasi.7

Anamnesa1,3
 Penilaian faktor risiko
o Komplikasi selama kehamilan
 Riwayat diabetes gestasional  meningkatkan risiko
terjaidnya penyakit jantung bawaan, polisitemia, hipoglikemia
 Oligohidroamnion  kecurigaan terhadap gangguan ginjal
dan hipoplasia paru
 Polihidroamnion  kecurigaan abnormalitas jalan nafas,
esofagus, dan neurologis
 Ketuban pecah dini (KPD)  meningkatkan risiko infeksi
 Aspirasi mekonium  kecurigaan pneumonia aspirasi
o Komplikasi persalinan
 Persalinan prematur  meningkatkan risiko terjadinya hyaline
membrane disease (HMD)
 Persalinan secara SC  meningkatkan risiko terjadinya
transient tachypea of new born (TTN)
 Pengunaan narcotic analgesia dapat menimbulkan efek
depresi nafas yang bermanifestasi sianosis
 Persalinan sulit  meningkatkan risiko perdarahan
intrakranial ataupun paralisis nervus frenikus
 Perjalanan penyakit
o Perubahan pola nafas:
 Kecurigaan ke masalah repirasi
 Anak tempak sesak, anak tampak membutuhkan usaha
lebih untuk bernafas
 Kecurigaan masalah kardiovaskular
 Anak tidak tampak sesak, tampak tenang / tidak ada
usaha lebih untuk bernapas
 Kecurigaan masalah sistem saraf pusat
 Nafasnya tampak lemah, seperti melambat
o Onset terjadinya sianosis:
 Sianosis muncul segera setelah lahir: kecurigaan mengarah
pada TTN, HMD, pneumotoraks, sindroma aspirasi
mekonium, dan congenital diaphragmatic hernia (CDH)
 Sianosis muncul pada saat makan: kecurigaan mengarah pada
gangguan kordinasi penghisapan dan penelanan, vocal cord
palsy, atau laryngeal cleft
 Sianosis dan distress nafas muncul beberapa jam pasca
kelahiran: kecurigaan mengarah pada PJB sianotik, post natal
aspiration syndrome, atau fistula trakeo-esofageal
 Late onset cyanosis: ditemukan pada pasien dengan Tetralogy
of Fallot (TOF)
Pemeriksaan Fisik3,9

 Kondisi umum  menilai jenis sianosis dan derajat keparahan


 Penilaian tanda vital:
o Laju pernapasan: tanda peningkatan laju nafas atau depresi nafas
o Nadi: penilaian denyut dan perfusi perifer
o Suhu: peningkatan suhu meningkatakn kecurigaan pada infeksi
o Saturasi oksigen: penggunaan pulse oxymetry. Pulse oxymetry
ditempatkan pada tangan kanan untuk menilai saturasi oksigen pre
ductus, sehingga dinilai lebih presentatif
 Penilaian distress nafas:
o Ditemukan pernapasan cepat, pernapasan cuping hidung, retraksi 
kecurigaan masalah respirasi
 Respiratory ditress syndrome: takipnea, pernafasan cuping
hidung, grunting, retraksi, gangguan air entry
 Pneumothoraks: hilangnya bunyi nafas pada sisi pneumotoraks
 Pneumonia aspirasi: takpinea, grunting, retraksi. Pada
auskulasi, air entry sulit terdengar, ronki basah dan ronki
kering
 Edema pulmoner: takipnea, takirkardi
 Malformasi adenomatoid kistik kongenital: takipnea, air entry
sulit didengar pada sisi yang terganggu
 Obstruksi saluran pernafasan atas: retraksi submandibular,
suprasternal, dan supraklavikula
o Ditemukan penurunan laju pernafasan / hipoventilasi, pernafasan
ireguler  kecurigaan masalah neurologis
o Tidak ditemukan tanda distress nafas  kecurigaan masalah
kardioaskular.
 Pemeriksaan jantung
Pada pemeriksaan jantung, dilakukan penilaian terhadap denyut
jantung, denyut dan perfusi perifer. Auskultasi jantung difokuskan pada bunyi
II jantung; dapat ditemuan lebih mengeras dan split pada kondisi hipertensi
pulmo ataupun atresia pulmo. Temuan suara murmur seringkali tidak
bermakna secara klinis; kecuali jika ditemukan harsh injection murmur yang
merupakan tanda dari stenosis paru.
Tabel 1 Temuan Pemeriksaan Fisik Spesifik pada Malformasi Jantung

Test hiperoksia
Penegakan etiologi dari sianosis akan menjadi lebih mudah jika data klinis
dilengkapi dengan hasil elektrocardiogram (EKG) dan foto rontgen paru. Test
hiperoksia menjadi pilihan alternatif untuk menegakan etiologi dari sianosis yang
terjadi.
Disarankan untuk mengunakan analisa gas darah atau transcutaneous oxygen
tension monitor dibandingkan pulse oxymetry dalam test ini. Pengambilan sampel
analisa gas darah berasal dari arteri radial kanan dalam kondisi udara ruangan.
Pengambilan sampel diulang kembali pasca suplementasi oksigen 100% selama 10
menit. Diharapkan temuan peningkatan PaO2 jika tidak ditemukan right to left shunt.
Jika PaO2 mencapai lebih dari 250mmHg pasca suplementasi oksigen 100%,
kecurigaan terhadap masalah kardiak dapat disingkirkan. Jika PaO2 arteri kurang
dari 100 mmHg (failed hyperoxia test), dan/atau peningkatan kurang dari 30 mmHg
ditambah tidak adanya temuan patologis pulmoner, diagnosa dapat diarahkan pada
penyakit jantung bawaan sianotik.
Neonatus dengan persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN)
dapat ditemukan respon yang menyerupai penyakit jantung bawaan sianosis
meskipun tidak ditemukannya PJB. Temuan differential cyanosis dan respon
terhadap terapi untuk menurunkan PAH, mengarahkan ke diagnosis PPHN. Pada
beberapa kasus penyakit jantung bawaan sianosis dengan peningkatan aliran darah
pulmoner, seperti TAPVC dan trunkus arteriosus, PaO2 arterial dapat meningkat
melebihi 100mmHg akibat vasodilatasipulmoner dan peningkatan aliran darah
pulmoner. Bayi dengan massive intrapulmonary right to left shunt, seperti yang
ditemukan pada pneumonia berat, atau fistula arterio-venous, dapat menunjukan
peningkatan PaO2 yang tidak signifikan meskipun tidak ditemukan kelainan jantung
struktural. Oleh karena itu, interpretasi hasil dari test hiperoksia harus dilakukan
secara hati-hati.

Gambar 3 Interpretasi Test Hiperoksia


Foto Rontgen Paru

Gambar 3 Algoritma Evaluasi Foto Rontgen Thoraks


ASD: arterial septal defect, HLHS: hipoplastic left heart syndrome, IVS: intact
ventricular septum, LA: left atrium, PBF: pulmonary blood flow, PS: pulmonary
stenosis, PVH: pulmonary venous hypertension, TAPVC: total anomalous
pulmonary venous connection, TGA: transposition of ventricular septum, TOF:
Tetralogy of Fallot

Foto rontgen thoraks penting untuk mengevaluasi neonatus dengan sianosis


dan distress nafas. Peranan foto rontgen thoraks berguna untuk mengekslusi kelainan
parenkim paru. Ekspasi pada kedua paru hendaknya dinilai. Pada inspirasi yang
normal dan adekuat, dapat ditemukan 8 ruang interkostalis. Paralisis diafragma
memiliki gambaran meningginya diafragma setinggi 2 jarak interkostalis.
Hiperinflasi paru ditemukan pada emfisema lobaris atau lesi kistik di paru. Jarang
ditemukannya pneumothoraks dan pneumomediastinum akibat spontaneous air leak
pada neonatus. Gambaran HMD yang dapat ditemukan berupa pola retikulogranular
dan air bronchogram; gambaran ground glass pada HMD dapat menyerupai
pulmonary ventricular hipertension (PVH) berat. Pada sindroma aspirasi mekonium,
dapat ditemukan fluffy infiltrates, ataupun patchy area dan area hiperinflasi akibat
air trapping. Pulmonary interstitial emphysema memiliki gambaran honeycomb pada
lapang paru. Efusi pleura dapat dinilai pada sisi lateral yakni adanya opasitas linear,
sedangkan pada kondisi masif, dapat ditemukan adanya mediastinal shift ke sisi
kontralateral. Pada atelektasis lobaris, dapat ditemukan adanya mediastinalshift ke
sisi ipsilateral. Gambaran bowel gas di rongga thorak merupakan temuan klasik dari
hernia diafragmatika.
Foto rontgen thoraks juga penting untuk mendiagnosa penyakit jantung
bawaan sianosis. Ukuran jantung yang kecil disertai pulmonary oligemia sugestif
malformasi dengan penurunan aliran darah pulmoner; sedangkan ukuran jantung
yang besar disertai peningkatan corakan vesikular paru mengambarkan adanya
peningkatan aliran darah pulmoner. Bayi dengan TGA, menunjukkan gambaran
“egg on side” dan kardiomegali; TAPVC menunjukkan gambaran “snowman atau
figure of 8”; TOF menunjukkan gambaran boot-shape pada jantung.
Gambar 5 Gambaran Foto Rontgen Thoraks pada Kelainan Jantung Bawaan Sianotik
a. Obstruksi TAPVC (total anomalous pulmonary venous connection) – gambaran
hipertensi vena pulmoner tanpa adanya kardiomegali. b.Transposisi of great arteries
– gambaran kardiomegali dan gambaran “egg on side”. c.Supracardiac TAPVC –
gambaran “snowman” atau “figure of 8”. d.TOF – gambaran bootshape

Elektrokardiogram (EKG)10
Pada neonatus normal, dapat ditemukan dominansi ventrikel kanan sehingga
dapat ditemykan gambaran EKG right axis deviation dan right ventricle hypertrophy.
Gambaran EKG pada penyakit jantung bawaan sianotik akan memiliki kesamaan.
Dibutuhkan EKG serial untuk melihat aksis QRS dan perbesaran chamber sehingga
memiliki nilai diagnostic yang lebih tinggi.
Meskipun memiliki nilai sensitivitas yang terbatas, beberapa pola EKG memiliki
tingkat spesifitas yang cukup tinggi untuk mendeteksi kelainan anatomi; EKG
hendaknya dilakukan pada semua anak yang dicurigai PJB. Penemuan inverted
ventricular chamber pada congenital corrected transposition of great arteries
(ccTGA) akan menunjukkan gambaran hilangnya gelombang septal O pada lead V5-
6. Deviasi aksis kiri pada neonatus memiliki spesivitas tinggi pada atresia triskupid
jika ditemukan hipertrofi ventrikel kiri atau AVSD jika didapatkan hipertrofi
ventrikel kanan. Gambaran EKG dengan kompleks QRS polifasik dengan
“Himalayan” gelombang P tinggi mengindikasikan anomali Ebstein’s

Tabel 2 Temuan Gambaran EKG pada Kelainan Jantung Bawaan

Echokardiogram9
Echokardiogram merupakan gold standart dalam menegakan diagnosa PJB.
Selain memberikan gambaran anatomi, echocardiogram dapat menunjukan alterasi
fisiologi yang terjadi. Kombinasi penilaian anatomi dan fisiologi menjadi dasar
dalam tatalaksana definitif.
2.2. Skrining Critical Congenital Heart Disease11,12
Diperkirakan 18 dari 10.000 bayi lahir dengan critical congenital heart defect
(CCHD); kondisi yang mengancam nyawa dan membutuhkan intervensi segera.
Namun CCHD seringkali tidak terdeteksi secara dini.
Gambar 4 Algoritma skrining CCHD
Skrining CCHD hendaknya dilakukan setelah usia 24 jam atau sebelum bayi
dipulangkan jika usia belum mencapai 24 jam. Pemeriksaan dilakukan menggunakan
pulse oxymetry yang diposisikan pada tangan kanan dan kaki. Bayi dinyatakan lolos
skrining apabila saturasi oksigen melebihi 95% pada tangan kanan dan kaki serta
perbedaan diantara keduanya kurang dari 3%. Skrining dianggap gagal / tidak lolos
jika didapatkan saturasi oksigen pada tangan kanan dan kaki kurang dari 90%. Jika
saturasi oksigen lebih dari 90% namun kurang dari 95% pada tangan kanan dan kaki,
atau ditemukan perbedaan yang melebih 3% maka akan dilakukan pemeriksaan
ulang dalam satu jam dengan prosedur yang sama; jika pemeriksaan diulang hingga
3x dan hasilnya tetap sama maka dinyatakan gagal / tidak lolos skrining.
Skrining CCHD dinilai efektif untuk mengidentifikasi
 Hypoplastic left heart syndrome
 Atresia pulmoner dengan septum intak
 Tetralogy of Fallot
 Total anomalous pulmonary venous connection
 Transposisi arteri besar
 Atresia triskupid
 Trunkus arteriosus

Bayi yang tidak lolos dari skrining hendaknya melalui evaluasi untuk dianalisa
penyebab dari hipoksemia yang terjadi.

2.3. Diagnosa Banding Sianosis Neonatal


2.7.1. Penyakit Jantung Bawaan
a. Transposisi Arteri Besar (TAB)7
TAB merupakan anomali kongenital sianotik yang sering terjadi,
menurut epidemiologi insidens lebih besar pada laki-laki dan bayi dari ibu
diabetes mellitus. Aorta terletak pada ventrikel kanan sedangkan arteri pulmoner
terletak pada ventrikel kiri. Karena perbedaan penempatan ini, oksigen
terdesaturasi yang mengalir dari tubuh akan kembali ke jantung dan langsung ke
aorta lagi untuk dialirkan ke seluruh tubuh dan begitu pula dengan aliran darah
pulmo, sehingga pada kondisi ini terdapat 2 sirkulasi paralel yang terjadi pada
tubuh neonatus. Kasus ini dapat tertolong dengan adanya foramen ovale dan
duktus arteriosis serta VSD sehingga terjadi mixing pada aliran darah. 7
Manifestasi klinis umumnya timbul sianosis dalam 24 jam pertama.
Dorongan ventrikel kanan menonjol, terdengar bunyi jantung 2 tunggal (A2
keras). Pada pemeriksaan X-ray toraks didapatkan “egg on a string”, sedikit
kardiomegali dan peningkatan vaskularisasi pulmo namun sering kali juga
menunjukkan hasil yang normal. Echocardiogram adalah pemeriksaan diagnostic
definitive. 7
b. Atresia Trikuspid7
Pada atresia trikuspid tidak ada akses dari atrium kanan ke vetrikel kanan
sehingga seluruh venous return masuk ke jantung bagian kiri melalui foramen
ovale atau atrial septal defect. Atresia trikuspid dapat hadir bersamaan dengan
TGA, VSD dan obstruksi pulmoner. Derajat dan onset sianosis bergantung pada
ukuran VSD dan derajat obstruksi pulmoner. Sianosis umumnya muncul saat
lahir, dan pada auskultasi jantung dapat terdengar murmur holosistolik pada
garis sternalis kiri serta bunyi jantung 2 tunggal. 7
Pemeriksaan X-ray toraks bergantung pada adanya TGA atau tidak. Pada
atresia trikuspid dengan TGA, terdapat hipervaskularisasi paru. Yang khas pada
pemeriksaan EKG adalah didapatkannya deviasi jantung ke arah kiri. Adanya
sianosis dan deviasi jantung ke arah kiri menunjukkan positif sugestif ke arah
atresia trikuspid. 7
c. Tetralogi Fallot
Sianosis tergantung pada derajat obstruksi outflow ventrikel kanan dan usia
onset gejala bervariasi. Umumnya tidak saat lahir, namun di akhir tahun pertama
seiring dengan hipertrofi ventrikel kiri. 7 Anomali vertebral, anus imperforata,
lesi jantung, fistula trakeo-esofageal, anomali ginjal dan anggota gerak terlihat
pada sekitar 15% bayi yang memiliki tetralogi Fallot. Bayi dapat menunjukkan
gejala sianosis ringan atau adanya murmur saat lahir. Ventrikel kanan menonjol
dan murmur sistolik sering terdengar pada batas sternalis kiri. 1
Pada X-ray toraks ditemukan boot-shaped heart. Hasil echocardiogram
dapat menjadi dasar diagnosis untuk menentukan anatomi jantung dan fungsi
jantung. Pada EKG dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kanan.1
d. Atresia Pulmoner
Klinis bervariasi tergantung adanya ventricular septal defect (VSD), dan
atrial septal defect (ASD). Sianosis dapat bertambah parah saat duktus arteriosus
menutup. Saat auskultasi jantung dapat terdengar murmur dari paten duktus
arteriosus. 1
X-ray toraks menunjukkan penurunan vaskularisasi pulmo.
Echocardiogram menjadi pemeriksaan definitif. Pada EKG didapatkan
gelombang P memuncak pada lead II dikarenakan pembesaran atrium kanan dan
sedikit deviasi jantung ke axis kiri. 1
e. Ebstein
Anomali Ebstein adalah dimana katup trikuspid terletak lebih kebawah dari
yang seharusnya. Hal ini terjadi karena gagalnya proses pembentukan katup dari
miokardium ventrikel kanan. Pembesaran atrium kanan terjadi akibat regurgitasi
trikuspid, meskipun begitu derajatnya berbeda-beda. Pada bayi baru lahir,
ketidakmampuan ventrikel kanan untuk membuka katup pulmoner menjadikan
ini atresia pulmoner fungsional. 7
Derajat sianosis beragam tergantung keparahan obstruksi outflow ventrikel
kanan. Murmur holosistolik dapat terdengar akibat regurgitasi trikuspid,
umumnya pada bagian toraks kiri. Selain murmur, gallop juga didapatkan pada
auskultasi jantung. Pada kasus Ebstein yang berat, neonatus dapat terlihat
sianosis berat dengan kardiomegali masif dan murmur holosistolik yang
panjang. Pada pemeriksaan EKG menunjukkan right-bundle-branch-block
(RBBB). Pemeriksaan X-ray toraks menunjukkan kardiomegali ringan sampai
box-shaped kardiomegali akibat dilatasi atrium kanan.7
f. Total Anomalous Pulmonary Venous Return (TAPVR)
Kelainan vena pulmonalis yang tidak terhubung langsung ke atrium kiri,
tetapi dapat terhubung ke atrium kanan (di atas diafragma), sinus koroner, vena
kava superior, atau vena desenden (di bawah diafragma) menuju vena kava
inferior melalui duktus venosus. Seluruh jenis TAPVR menyebabkan total
mixing darah pada level atrium kanan. Apabila terdapat obstruksi pada venous
return pulmoner, kongesti paru dan hipertensi pulmoner dapat terjadi. Obstruksi
TAPVR merupakan kegawatdaruratan pediatri karena terapi prostaglandin
umumnya tidak efektif lagi sehingga harus dilakukan pembedahan.7
Neonatus dengan lesi infracardiac menunjukkan sianosis dan respiratory
distress yang berat. Pasien tanpa obstruksi biasanya dapat menjadi gagal jantung
seiring dengan menurunnya resistensi vaskular paru dengan desaturasi ringan
sampe moderat. Pada auskultasi bunyi jantung dapat terdengar murmur sistolik.7
Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan juga hipertrofi ventrikel kanan, pada
neonatus terdapat penebalan perihilus dan edema pulmoner. Pada anak yang lebih
besar, apabila vena pulmonalis terhubung ke vena kava superior, akan terlihat
bayangan suprakardiak yang membentuk “snowman”. Pemeriksaan
echocardiogram menunjukkan pembesaran ventrikel kanan dan jalur vena
pulmonalis yang abnormal.
g. Trunkus Arteriosus
Trunkus arteriosus adalah kondisi dimana dari jantung, terdapat trunkus
arteri tunggal yang memperdarahi sirkulasi sistemik, pulmoner dan koroner.
Trunkus arteriosus selalu hadir bersama VSD, dengan trunkus yang mengalirkan
darah dari ventrikel kanan dan kiri. Karena aliran darah campuran dari jantung ke
paru tinggi, biasanya gejala sianosis hanya derajat ringan, tetapi ketika resistensi
paru meningkat, aliran darah menurun dan terjadi sianosis yang lebih berat.
Biasanya pada auskultasi jantung terdengar bunyi jantung 2 keras dan tunggal,
murmur sistolik, dan murmur diastolik dini pada insufisiensi katup trunkus.7
Pada pemeriksaan EKG terdapat gambaran hipertrofi ventrikel dan
pembesaran jantung. Bayangan trunkus menjadi menonjol, dan berada di sebelah
kanan pada 50% kasus. Echocardiogram tetap menjadi alat pemeriksaan
diagnostik pada trunkus arteriosus. Pemeriksaan doppler dapat juga digunakan
untuk mengevaluasi adanya regurgitasi dari katup trunkus.7
2.7.2. Obstruksi Saluran Pernapasan Atas
Umumnya bergejala namun jarang sianosis. Gejala menjadi semakin parah
saat makan, menimbulkan suara melengking. Bayi dengan paralisis pita suara
didapati suara menangis yang lemah atau tidak bersuara, dan sianosis. Hal ini
meningkatkan resiko aspirasi saat makan. Retraksi submandibular, suprasternal
dan supraklavikula adalah karakteristik dari obstruksi saluran pernapasan atas.
Pasien dengan atresia koana atau stenosis dapat menyebabkan gejala ringan,
didiagnosis dengan tidak dapat masuknya nasogastric tube. 1
Pada kasus paralisis pita suara, laringoskopi dipakai sebagai alat diagnostik,
pada kasus laringomalacia, tracheal malacia, stenosis subglotis atau laryngeal
web dapat dilakukan bronkoskopi sebagai alat diagnostic. CT scan kepala dapat
dilakukan untuk mendiagnosis kelainan system saraf pusat, atresia koana atau
stenosis koana. 1

2.7.3. Penyakit paru


a. Respiratory Distress Syndrome (RDS)
Umumnya terjadi pada bayi prematur karena kekurangan surfaktan.
Riwayat prenatal dapat menggambarkan profil paru yang belum matang dalam
cairan ketuban. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipnea, nasal flaring,
grunting, retraksi, dan sianosis. Pada kasus yang parah, air entry sulit terdengar
pada auskultasi paru. 1
X-ray toraks menunjukkan gambaran granular reticular dengan air
bronchogram sesuai grading.1
b. Transient Tachypnea of the Newborn (TTN)
Insidens tinggi pada bayi dengan jenis persalinan section cesarea elektif.
Bayi mengalami takipnea dengan peningkatan kebutuhan FiO2 dan merupakan
penyakit yang dapat sembuh sendiri dalam kurang lebih 3 hari. 1
X-ray toraks menunjukkan penebalan perihilar dan fisura horizontal pada
paru kanan. Pada analisa gas darah ditemukan hipoksia dengan PaCO2 normal
atau sedikit meningkat. 1
c. Pneumotoraks
Dapat terjadi secara tiba-tiba saat lahir atau setelah resusitasi dengan
ventilasi tekanan positif. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bayi takipnea dengan
sianosis, bunyi nafas hilang saat auskultasi pada sisi pneumotoraks dan
mediastinal bergeser kontralateral terhadap lesi. Pemeriksaan transiluminasi
didapatkan positif. 1
Pada X-ray toraks didapatkan pergeseran mediastinum kearah kontralateral
dari sisi paru yang vaskularisasinya absen. Pada sisi lesi didapatkan garis opak
dari pleura viseral dengan paru tanpa vaskularisasi. 1
d. Pneumonia Aspirasi
Dapat disebabkan oleh sindrom aspirasi mekonium, darah, aspirasi susu,
atau cairan ketuban. Riwayat cairan ketuban hijau saat pecah adalah karakteristik
yang khas. Pada kasus ini aspirasi darah, dapat ditemukan riwayat perdarahan
antepartum, pada kasus aspirasi susu, emesis setelah makan dan perkembangan
selanjutnya dari gangguan pernapasan biasanya ditemukan saat anamnesis.
Pemeriksaan fisik ditemukan bayi takipnea, grunting, retraksi dan sianosis. Pada
auskultasi air entry sulit terdengar, rhonki basah dan rhonki kering dapat
ditemukan. 1
Pada X-ray toraks dapat ditemukan infiltrat interstitial yang membentuk
bercak-bercak, dengan penebalan perihilar. Analisa gas darah menunjukkan
PaO2 yang rendah dan PaCO2 yang tinggi. 1
e. Pneumonia
Faktor risiko pneumonia termasuk ketuban pecah dini, korioamnionitis, dan
ibu yang positif infeksi bakteri streptokokus grup B beta (GBS) saat skrining,
sepsis GBS onset dini sering diikuti dengan pneumonia dalam satu minggu
pertama kehidupan. 1
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan adanya leukopenia atau
neutropenia dengan trombositopenia dan peningkatan neutrophil immature pada
differential count (immature: neutrophil total >0.2 rasio). Kultur darah dapat
menunjukkan hasil positif. 1
f. Edema Pulmoner
Umumnya diakibatkan oleh congestive heart failure (CHF) sebagai
penyakit yang mendasari, arteriovenosus malformasi, atau anemia berat.
Pemeriksaan fisik didapatkan takipnea, takikardi dan hepatomegaly. Dapat juga
ditemukan bruit sebagai tanda adanya malformasi arteriovenosus. 1
Gambaran X-ray toraks adalah infiltrat halus atau bayangan suram disertai
kardiomegali. Analisa gas darah menunjukkan hypoxia dan hiperkarbia.
Echocardiogram juga dapat dilakukan untuk mendeteksi kelainan jantung
kongenital. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan anemia berat atau
normal. 1
g. Malformasi Adenomatoid Kistik Kongenital
Banyak terdiagnosis melalui ultrasound prenatal, dan pada keadaan berat
dapat menyebabkan hidrops fetalis, pada keadaan lebih ringan menyebabkan
respiratory distress atau tidak ada gejala saat lahir. Pemeriksaan fisik
menunjukkan bayi takipnea, sianosis ringan, dan air entry sulit didengar pada
salah satu sisi yang terganggu. 1
Pemeriksaan X-ray toraks menunjukkan lesi multikistik berisi udara
(lusen), dengan CT toraks menggambarkan batas gambaran lesi kistik. 1
h. Hipoplasia Pulmoner
Ditemukan pada bayi dengan riwayat oligohidramnion dan respiratory
distress saat lahir. Kasus ini diikuti dengan tingginya insiden pneumotoraks. Pada
pemeriksaan fisik didapati takipnea, sianosis, dan buruknya aerasi paru. Bunyi
jantung S2 terdengar keras yang diasosiasikan dengan hipertensi pulmoner. 1
Pada pemeriksaan X-ray toraks didapatkan penurunan volume paru-paru
dan pada analisa gas darah didapatkan hasil hipoksia dan hipercarbia. Hasil
echocardiogram dapat menunjukkan hipertensi pulmoner. 1

2.7.4. Lain-lain
i. Polisitemia
Polisitemia sering ditemukan pada kasus insulin dependent diabetes
mellitus, bayi yang kecil menurut usia gestasi, twin-to-twin transfusion (TTF),
dan riwayat ibu hipertensi atau diabetes selama hamil. Sebagian bayi dapat
memiliki gejala TTN atau hipertensi pulmoner persisten ringan. Bayi berwarna
kemerahan dengan akrosianosis. Secara klinis bayi dapat tampak normal atau
muncul dengan gejala TTN. 1
Pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan hasil normal, X-ray toraks
dapat normal atau sugestif TTN. Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan
ht >70%.1
j. Methemoglobinemia (met-Hb)
Biasanya klinis baik terlepas dari perubahan warna kulit yang khas, disebut
pseudosianosis. Kondisi dapat memburuk dengan sesak napas dan gangguan
sistem saraf pusat termasuk kejang. Klinis yang diperoleh dapat disebabkan dari
paparan obat atau racun yang diketahui menyebabkan met-Hb.
Methemoglobinemia ditandai dengan sianosis, sesak, perubahan status mental,
peningkatan kadar methemoglobin pada darah arteri dengan karakteristik
berwarna coklat. Pulse oxymetri tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik.1
Analisa gas darah didapatkan PaO2 normal. Pemeriksaan diagnostik
definitif adalah dengan multiple wavelength cooximeter. 1
k. Hipoglikemia
Umumnya bayi yang lahir dari ibu dengan riwayat diabetes mellitus atau
hipertensi. Klinis bayi dapat ditemukan jittery atau kejang. Pemeriksaan fisik
dapat normal, sianosis ditemukan akibat apnea atau hipertensi pulmonal persisten
pada bayi baru lahir.
Di Amerika dan eropa definisi hipoglikemia adalah ketika glukosa darah
<40 mg/dL. Glukosa darah <25 mg/dL menunjukkan hipoglikemia berat yang
sering ditandai dengan apnea, sianosis, dan perfusi yang buruk. Hipoglikemia
pada neonates juga mempengaruhi miokard dengan menurunkan cardiac output.

2.4.Tatalaksana Sianosis Neonatal


Sianosis berat membutuhkan terapi suportif yang cepat dan tepat saat
diagnosis ditegakkan. Pertama-tama dilakukan penilaian ABC untuk mengetahui
sumber permasalahan. Pemantauan tanda-tanda vital dan SpO2 dilakukan. Terapi
awal termasuk diantaranya adalah pemberian cairan intravena dan menunda
pemberian makanan enteral. Jika bayi berusia <10 hari dan tunggul pusar masih
menempel, vena umbilikal dan saluran arteri sering digunakan untuk akses sentral.
Bayi harus dirawat di lingkungan termoneutral menggunakan radiant warmer,
pemantauan kadar glukosa dan glukosa IV diberikan untuk mempertahankan glukosa
darah > 55 mg/dL.4
Prinsip utama tatalaksana bayi dengan sianosis akibat penyakit jantung
bawaan, adalah penolong harus secara cepat melakukan intervensi untuk
mempertahankan sirkulasi aliran darah dengan pemberian PGE1. PGE1 secara klinis
efektif untuk mempertahankan patensi duktus arteriosus. PGE1 merupakan agen
vasodilator poten. Patensi duktus memungkinkan untuk right-to-left shunt di mana
ada obstruksi aliran keluar ventrikel kiri sehingga mempertahankan aliran darah
sistemik, sementara itu memungkinkan untuk left-to-right shunt di mana ada
berkurangnya aliran darah paru, dengan demikian mempertahankan aliran darah paru
dan memungkinkan untuk campuran darah antara sirkulasi sisi kanan dan sisi kiri
ketika keduanya dipisahkan secara anatomis. Pada neonatus dengan restriksi aliran
darah paru, mempertahankan patensi duktus postnatal dengan PGE1 dapat mencegah
hipoksia berat, sianosis, dan kematian. Pemberian PGE1 berfungsi untuk
mempertahankan pembukaan duktus sampai dapat dilakukannya intervensi
pembedahan.8 Ini diberikan secara intravena dengan infus konstan, dan dosis awal
biasanya 0,05 mcg/kg/menit.4 Respon neonatus adalah peningkatan PaO2 setelah 30
menit – 2 jam pasca pemberian PGE1. Waktu paruh PGE1 adalah satu putaran
sirkulasi sehingga dibutuhkan pemberian obat yang kontinu. Setelah pasien memberi
respon, dapat dilakukan tappering off dengan dosis maintenance yaitu 0.002-0.05
mcg/kg/min.13 Apnea adalah efek samping yang umum setelah inisiasi PGE1 dan
persiapan intubasi direkomendasikan. Efek samping lainnya termasuk demam,
hipotensi, hyperostosis kortikal, dan kerusakan mukosa intima.4
Pada sianosis dengan distress pernapasan, jalan napas dan ventilasi bantuan
harus dipertimbangkan. Asidosis berat harus dikoreksi dengan natrium bikarbonat,
tetapi hanya setelah pertukaran gas yang adekuat. 4 Terapi oksigen harus disediakan
meskipun ada potensi risiko yang terkait dengan terapi ini. Pemberian bantuan
oksigen dilakukan dengan titrasi dengan tujuan SpO2 91-95%. Paparan terhadap
hiperoksia ekstrem diakui untuk meningkatkan stres oksidatif dan berpotensi
merusak fungsi parenkim paru dan vaskular, oleh karena itu penggunaan 100% O2
harus dihindari sejak awal.14 Poin ini sangat penting jika bayi hanya memiliki
respons minimal terhadap oksigen, karena hal ini dapat mengindikasikan potensi
penyakit jantung dan kebutuhan akan PGE1. Selain itu, penting bahwa oksigen dapat
meningkatkan penutupan duktus. Ini mungkin tidak menjadi perhatian utama untuk
lesi yang membatasi aliran darah paru, karena PO2 vena paru tidak meningkat.
Namun, lesi mixing seperti sindrom jantung kiri hipoplastik dapat muncul disertai
sianosis moderat, tergantung pada patensi duktus untuk mempertahankan aliran
darah sistemik.4
Pada bayi yang tidak membutuhkan ventilasi bantuan, oksigen dapat
dikirim melalui head hood atau kanula hidung. Head hood adalah satu-satunya
metode yang memungkinkan FiO2 ditentukan secara tepat. Konsentrasi oksigen
harus diukur dengan alat analisis oksigen yang ditempatkan di dekat mulut bayi.
Diperlukan aliran yang relatif tinggi untuk mencapai konsentrasi oksigen yang
memadai dan menghindari akumulasi karbon dioksida. Meskipun oksigen head box
umumnya ditoleransi dengan baik, metode ini membatasi mobilitas bayi, dan
konsentrasi oksigen turun dengan cepat ketika tudung diangkat untuk memberikan
perawatan kepada bayi. Oleh karena itu, metode ini biasanya tidak digunakan ketika
perawatan oksigen berkepanjangan diperlukan. 4
BAB III
KESIMPULAN

Sianosis neonatus adalah perubahan warna menjadi kebiruan yang terjadi


pada bayi baru lahir <28 hari. Sianosis dibedakan menjadi sianosis sentral, perifer,
diferensial, dan reverse sianosis diferensial. Etiologi terjadinya sianosis dapat
disebabkan oleh permasalahan pada sistem kardiovaskular, respirasi, metabolik,
hematologi, dan neurologi. Evaluasi dilakukan secara sistematis untuk menilai
airway, pulmonary, dan sirkulasi sehingga penatalaksanaan sianosis neonatus dapat
tepat sesuai dengan penyebabnya. Sianosis berat membutuhkan terapi tepat saat
diagnosis ditegakkan; menjaga patensi airway, pemberian PGE1 untuk
mempertahankan sirkulasi sistemik, suplementasi oksigen dan cairan intravena
penting untuk penyelamatan nyawa.
Daftar Pustaka

1. Evaluation of cyanosis in the newborn - Differential diagnosis of symptoms |


BMJ Best Practice. Available from: https://bestpractice.bmj.com/topics/en-
us/768
2. Mengenal Kelainan Jantung Bawaan pada Anak. IDAI. Available from:
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mengenal-kelainan-
jantung-bawaan-pada-anak
3. Dasgupta S, Bhargava V, Huff M, Jiwani AK, Aly AM. Evaluation of The
Cyanotic Newborn: Part I—A Neonatologist’s Perspective. NeoReviews.
1;17(10):e598–604. 2016.
4. Steinhorn RH. Evaluation and Management of the Cyanotic Neonate. Clin
Pediatr Emerg Med. 2008 Sep;9(3):169–75.
5. Doctor the baby is blue: an approach to the diagnosis and management.
Available from: https://medcraveonline.com/IPCB/IPCB-03-00051
6. Usman, Ali. 2008. Buku ajar neonatologi edisi pertama: Kelainan
Kardiovaskular. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
7. Kliegman, Stanton, St. Geme, Schor. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed.
Elsevier; 2016.
8. Bajaj, Hambidge, Kerby, Nyquist. Berman’s Pediatric Decision Making. 5th
ed. Elsevier Mosby; 2011.
9. Gupta SK. Clinical Approach to a Neonate with Cyanosis. Indian J Pediatr.
2015 Nov 1;82(11):1050–60.
10. Arabi YM, Arifi AA, Balkhy HH, Najm H, Aldawood AS, Ghabashi A, et al.
Clinical course and outcomes of critically ill patients with Middle East
respiratory syndrome coronavirus infection. Ann Intern Med. 2014 Mar
18;160(6):389–97.
11. Newborn Screening for CCHD [Internet]. [cited 2019 Apr 3]. Available from:
https://www.aap.org/en-us/advocacy-and-policy/aap-health-
initiatives/PEHDIC/Pages/Newborn-Screening-for-CCHD.aspx
12. Congenital Heart Defects Information for Healthcare Providers | CDC
[Internet]. [cited 2019 Apr 3]. Available from:
https://www.cdc.gov/ncbddd/heartdefects/hcp.html
13. Protocol for use of prostaglandin E [Internet]. University of Iowa Stead
Family Children’s Hospital. 2012 [cited 2019 Apr 3]. Available from:
https://uichildrens.org/health-library/protocol-use-prostaglandin-e
14. Buckmaster A. Newborns with respiratory distress: management in special
curse. Pediatric care nurseries. 2012.

Anda mungkin juga menyukai