Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.

1, Maret 2017

PENENTUAN KARAKTERISTIK RESONANSI BANGUNAN DI


SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN
GEOFISIKA
Indri Ifantyana1*, Ariska Rudyanto2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
*
Email: indriifantyana@gmail.com

ABSTRAK

Salah satu faktor yang dapat digunakan untuk memperkirakan bahaya gempa bumi terhadap suatu bangunan
adalah mengetahui nilai resonansi bangunan. Nilai resonansi bangunan dapat ditentukan dengan cara
melakukan pengukuran mikrotremor untuk mendapatkan nilai frekuensi natural bangunan dan tanah di
bawahnya yang kemudian dapat dihitung nilai resonansinya. Pengukuran mikrotremor telah dilakukan pada
4 bangunan di Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG). Bangunan yang diteliti
memiliki ketinggian yang bervariasi antara 2 hingga 3 lantai, yang terdiri dari bangunan B1, B2, B3, dan
B4. Pengukuran dilakukan pada bagian struktur bangunan yang berbeda (struktur pojok dan tengah).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik resonansi antara bangunan dengan tanah di
bawahnya. Peralatan yang digunakan adalah seperangkat seismometer Lennartz Mark 3D dengan durasi
rekaman selama 1 jam. Metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) digunakan untuk mengolah dan
menganalisis data mikrotremor pada tanah dan selanjutnya dilakukan analisis spektrum untuk mendapatkan
karakteristik nilai frekuensi natural tiap komponen pada masing-masing bangunan. Secara umum, nilai
resonansi paling tinggi diperoleh pada bangunan B2. Resonansi rendah hingga sedang terdapat pada
bangunan B1. Sedangkan bangunan B3 dan B4 memiliki karakteristik yang hampir sama dengan nilai
resonansi rendah dan tinggi.

Kata kunci: Mikrotremor, resonansi bangunan, HVSR.

ABSTRACT

One of the factors that can be used to estimate the earthquake hazard to a building is knowing the resonance
value of the building. The resonance value of the building can be determined by performing microtremor
measurements to obtain the natural frequency value of the building and the ground and then it be calculated
to get resonance value between the building and the ground beneath it. Microtremor measurements were
performed on four buildings at State Collage of Meteorology Climatology and Geophysics (STMKG). The
investigated buildings have varying in height between 2 to 3 floors. Which consists of B1, B2, B3, and B4
buildings. It be measured on the different parts of the building structure (corners and center of the
structures). The research was conducted to find out the resonance characteristic between the ground and the
building. The equipment consist of a set of Lennartz Mark 3D seismometer with the duration of recording for
1 hour. HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) method used to process and analyze microtremor data
of the ground and then spectrum analysis applied to get the general characteristics of each component in
each building. In general, the highest resonance value is obtained in B2 building. Low to moderate
resonance is found in B1 building. While the B3 and B4 buildings have the same characteristics. It have low
and high resonance value.

Keywords: Microtremor, building resonance, HVSR


.

1
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

1. PENDAHULUAN kejadiannya tidak dapat kita hindari, namun


resikonya dapat kita kurangi dengan cara
Gempa bumi merupakan suatu peristiwa yang
melakukan antisipasi dan usaha rekonstruksi
tidak dapat kita hindari kedatangannya. Namun,
terhadap bangunan yang memiliki nilai
upaya antisipasi oleh berbagai pihak terus
resonansi yang tinggi.
dilakukan guna mengurangi resiko yang
ditimbulkan akibat kejadian gempa bumi. Ada 2. DATA DAN METODE
banyak faktor penyebab kerusakan suatu
Data yang digunakan dalam penelitian ini
bangunan yang diakibatkan oleh gempa bumi,
adalah data mikrotremor yang terekam selama
antara lain: besar kecilnya kekuatan gempa
1 jam pada masing-masing titik pengukuran.
bumi, jarak bangunan dari sumber gempa bumi,
Pengambilan data mikrotremor dilakukan pada
kualitas bangunan, dan kondisi tanah setempat.
4 bangunan di wilayah STMKG dengan
Dari keempat hal tersebut, yang dapat
ketinggian 2 hingga 3 lantai. Jumlah total titik
diupayakan guna meminimalisir kerugian
pengukuran sebanyak 22 titik. Bangunan-
akibat gempa bumi pada bangunan adalah:
bangunan yang dijadikan objek penelitian
1) Peningkatan kualitas suatu bangunan dan; berada pada koordinat 6,251404o – 6,265644o
LS dan 106,7487o – 106,7496o BT, terdiri dari
2) Pengetahuan tentang kondisi tanah
bangunan B1, B2, B3, dan B4 (Gambar 2.1)
setempat untuk mengetahui respon tanah
terhadap gempa bumi.
Pembangunan gedung tinggi terus mengalami
peningkatan setiap tahun. Oleh karena itu, pada
penelitian kali ini, penulis ingin mengetahui
karakteristik resonansi antara tanah dengan
bangunan-bangunan yang berada di Sekolah
Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(STMKG) karena salah satu faktor yang dapat
digunakan untuk memperkirakan bahaya gempa
bumi terhadap suatu bangunan adalah
mengetahui nilai resonansi bangunan, yaitu
dengan cara melakukan pengukuran
mikrotremor untuk mendapatkan nilai frekuensi Gambar 2.1 Lokasi bangunan B1-B4 di Sekolah
natural bangunan dan tanah di bawahnya. Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk


mendapatkan nilai resonansi antara bangunan
dengan tanah di bawahnya. Mikrotremor
merupakan bentuk getaran (vibration) yang
lemah disebabkan adanya amplitude rendah
(micrometer) dan perambatannya di permukaan
bumi disebabkan aktivitas manusia atau
gangguan atmosferik (Daryono dkk., 2009
dalam Gunawan dan Khadiyanto, 2012).
Melalui penelitian ini, harapannya dengan
mengetahui kerentanan bangunan dari nilai
resonansinya, tindakan cepat terhadap
bangunan yang memiliki kerentanan yang
tinggi dilihat dari nilai resonansinya dapat Gambar 2.2 Ilustrasi penempatan titik referensi (1).
Bangunan B1 menggunakan titik referensi A,
sesegera mungkin dilakukan mengingat bangunan B2 menggunakan titik referensi B,
bangunan di STMKG yang dijadikan objek bangunan B3 menggunakan titik referensi C, dan
penelitian merupakan bangunan yang memiliki bangunan B4 menggunakan titik referensi D
tingkat aktivitas yang cukup tinggi.
Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan
sebagai langkah awal upaya mengurangi resiko Pengukuran mikrotremor pada bangunan
terhadap ancaman gempa bumi yang dilakukan pada tiap-tiap lantai. Pada tiap-tiap

2
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

lantai terdapat dua titik pengukuran, yaitu di


struktur bagian pojok bangunan dan struktur
bagian tengah bangunan (Gambar 2.3).
Pemilihan titik pengukuran pada tiap-tiap lantai
meliputi kriteria sebagai berikut:

a. Titik pertama berada pada kolom pinggir


bangunan (sudut bangunan)
b. Titik kedua berada pada titik tengah
bangunan (non kolom)

B
Gambar 2.4 Diagram alir pengolahan data
mikrotremor pada tanah
A
Pengolahan data mikrotremor pada tanah
diawali dengan pemilihan window stasioner
Gambar 2.3 Desain titik pengukuran di setiap lantai pada masing-masing komponen spektrum,
untuk bangunan berbentuk persegi dan persegi kemudian dilakukan analisis spektrum Fourier.
panjang Untuk menghaluskan hasil FFT, digunakan
filter smoothing Konno Ohmachi koefisien
Keterangan: bandwith 40. Terakhir, dilakukan
penggabungan komponen spektrum dari hasil
= lokasi kolom pada bangunan FFT tersebut menggunakan analisis HVSR,
sehingga didapatkan nilai f0 hasil rata-rata
A = lokasi pemasangan sensor pada
HVSR dari keseluruhan window.
kolom pinggir (sudut bangunan)

B = lokasi pemasangan sensor pada titik 2.2. Pengolahan data mikrotremor pada
tengah bangunan (non kolom) bangunan

Pengukuran pada bangunan dan tanah (titik Gambar 2.5 berikut ini merupakan diagram alir
referensi) menggunakan seismometer Lennartz pengolahan data mikrotremor pada bangunan.
Mark 3D yang direkam dengan durasi sekitar +
1 jam.

Data yang dihasilkan adalah data hasil rekaman


getaran tanah alami (mikrotremor) tanah (free
field) dan bangunan yang terekam pada ketiga
komponen, yaitu komponen Z, North-South,
dan East-West. Data hasil pengukuran tersebut
memiliki format *.mseed untuk kemudian
diolah menggunakan software GEOPSY
(Geophysical Signal Database for Noise Array
Proccessing).

2.1. Pengolahan data mikrotremor pada tanah


Gambar 2.4 berikut ini merupakan diagram alir
pengolahan data mikrotremor pada tanah. Gambar 2.5 Diagram alir pengolahan data mikrotremor
pada bangunan

3
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

Diagaram alir pengolahan data mikrotremor of Surface Waves). Hasilnya menunjukkan


bangunan diawali dengan analisis spektrum bahwa wilayah di titik-titik referensi tersebut
window pada masing-masing komponen memiliki jenis tanah alluvial (tanah lunak-
spektrum Fourier. Data yang digunakan adalah sedang).
data komponen horizontal (Utara-Selatan dan
Timur Barat). Tabel 3.2. Konversi klasifikasi tanah menurut Kanai
dengan S. Omote dan N. Nakajima (Ibrahim dan
Kemudian dilakukan analisis Fourier (FFT) Subardjo, 2014).
pada data komponen horizontal tersebut. Untuk
menghaluskan hasil FFT, digunakan filter
smoothing Konno Ohmachi koefisien bandwith Klasifikasi Tanah
40. Hasilnya didapatkan nilai frekuensi natural Periode Keterangan
Natural
komponen Utara-Selatan dan Timur Barat. (detik)
Omote -
Kanai
Nakajima

Batuan tersier atau


3. HASIL DAN PEMBAHASAN lebih tua, terdiri dari
Jenis I 0,05 – 0,15 batuan hard sandy
gravel
Tabel 3.1 Nilai frekuensi natural pada titik referensi
(free field) Jenis A Batuan alluvial
dengan ketebalan
Lokasi sekitar 5 m, terdiri
Titik Jenis II 0,10 – 0,25 dari sandy gravel,
Linta fo Tanah Periode
No Referen o Bujur sandy hard clay, loam
ng ( ) (Hz) Natural (detik)
si (o) BT
LU
6,254 Batuan alluvial
1 A 106,749
2 5,23 0,19 hampir sama dengan
6,264 jenis II, hanya
2 B 106,749 Jenis III Jenis B 0,25 – 0,40 dibedakan oleh
5 5,15 0,19
6,264 adanya formasi bluff
3 C 106,749
9 5,31 0,19
6,264 Batuan alluvial yang
4 D 106,749
9 5,31 0,19 terbentuk dari delta
> top soil, lumpur, dll
Jenis IV Jenis C dengan kedalaman
0,40
sekitar 30 m
Tabel 3.1 menunjukkan nilai frekuensi natural
pada 4 titik referensi. Nilai frekuensi natural
tanah di titik referensi A, B, C, dan D memiliki
selisih yang tidak terlalu jauh. Tingkat kerentanan resonansi bangunan
terhadap gempa bumi diklasifikasikan menjadi
tiga kriteria berdasarkan penelitian yang
Hal ini disebabkan lokasi titik pengukuran pada
dilakukan oleh Gosar (2010) seperti yang
titik referensi A, B, C, dan D berada pada titik
terdapat pada Tabel 3.3 berikut:
yang lokasinya berdekatan (Gambar 2.1).
Distribusi nilai frekuensi natural ini dapat
dikonversi menjadi nilai periode natural tanah Tabel 3.3 Klasifikasi tingkat kerentanan resonansi
yang dapat menggambarkan kondisi geologi bangunan
tanah berdasarkan klasifikasi tanah menurut
Kanai dan Omote-Nakajima yang disajikan
pada Tabel 3.2. No. Tingkat Kerentanan Prosentase
Resonansi Bangunan
Secara umum, nilai periode natural tanah antara
0.19 detik masuk dalam klasifikasi tanah jenis 2 1 Rendah >±25%
atau jenis B. Artinya, kondisi tanah di bawah
2 Sedang 15 - 25%
bangunan tersebut berjenis batuan alluvial,
dengan ketebalan sedimen yang cukup tebal. 3 Tinggi <±15%
Hal ini diperkuat dengan penelitian

Wibowo (2015) dan Pradita (2016) yang


masing-masing telah melakukan penelitian di Hasil penelitian resonansi antara tanah dengan
wilayah Tangerang Selatan dan DKI Jakarta bangunan dipaparkan melalui tabel berikut.
menggunakan metode MASW (Multi Analysis
4
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

Tabel 3.4 Nilai resonansi antara tanah dengan bangunan B1 Tabel 3.6 Nilai resonansi antara tanah dengan bangunan
B3

fo fo
Penem- Bangunan
% Pene Bangunan % Resonansi
Nama fo Resonansi Klasifikasi
Lantai (Hz) (Hz)
Bangu- Tanah Tingkat
ke-
nan Utara- Timur- (Hz) Utara- Timur- Kerentanan
patan
Sensor
Selatan Barat Selatan Barat m-
1 3,21 2,77 5,48 41,50 49,52 Rendah

Pojok 2 3,86 3,77 5,10 24,32 26,16 Rendah pata


3 3,98 3,73 5,10 21,99 26,89 Sedang Nama fo Klasifikasi
Lantai
Bangu- Tanah Tingkat
ke-
B1
1 4,01 3,85 5,48 26,84 29,83 Rendah
nan n Utara-
Selatan
Timur- (Hz)
Barat
Utara- Timur-
Selatan Barat
Kerentanan

Tengah 2 4,07 3,78 5,10 20,25 25,93 Sedang


Sens
3 3,94 3,74 5,10 22,66 26,61 Sedang

or
Klasifikasi tingkat kerentanan bangunan
dengan tanah jika dilihat dari nilai prosentase 1 4,75 2,73 5,26 9,77 48,09 Rendah
resonansi pada bangunan B1 adalah rendah- Pojok
2 4,92 4,73 5,37 8,27 11,97 Tinggi
sedang (Tabel 3.4). Resonansi yang sedang B3
terdapat pada lantai ke-2 dan ke-3. Hal ini Tenga
1 2,70 2,74 5,26 48,72 47,98 Rendah
h
disebabkan karena lantai ke-2 dan ke-3 2 4,75 4,93 5,37 11,43 8,23 Tinggi

memiliki frekuensi natural dengan selisih yang


tidak terlalu signifikan dengan frekuensi natural
tanah pada titik referensi A. Tabel 3.7 Nilai resonansi antara tanah dengan bangunan
B4

Penem- fo %
Bangunan Resona
Tabel 3.5 Nilai resonansi antara tanah dengan (Hz) nsi
bangunan B2
Na
P
Pene fo Bangunan
%
m
a Lant
fo
Tan a Klasifikasi
ah Utara Ti
Nam Resonan
m- Ba ai Tingkat
a
Ban
pata
n
Lan
tai
(Hz) fo
Tanah
si Klasifikasi Tingkat
Kerentanan
ng
u-
ke- Utara- Timur- (Hz
Selatan Barat )
-
Selat
t m
Kerentanan
u
gu- ke- (Hz) r
nan
Sens
or
Utara-
Selatan
Timur-
Barat
Utara- Timur-
Selatan Barat
nan an
a -

5, 3,
n
Barat

1 5,32 4,98 3,22 Tinggi


15 39 Sensor
Pojo 5,2 67,
k 1 8,79 5,61 6,59 Rendah
6 14
5, 11,5 1, Pojok
2 5,75 5,24 Tinggi 5,3 8,7 11,7
15 5 75 2 4,90 6,00 Tinggi
7 6 5
B2 B4
5,2 62, 11,6
5, 5, 1 8,55 4,65 Rendah
1 5,05 4,89 1,99 Tinggi 6 58 4
15 02 Tengah
Teng 5,3 8,0 10,6
2 4,94 4,80 Tinggi
ah 7 1 2
5, 3,
2 5,10 4,99 0,98 Tinggi
15 22

Bangunan B4 pada seluruh lantai memiliki nilai


Bangunan B2 pada seluruh lantai memiliki resonansi pada klasifikasi rendah-tinggi (Tabel
klasifikasi tingkat kerentanan yang tinggi 3.7). Hal ini dikarenakan bangunan B4
(Tabel 3.5). Hal ini dikarenakan bangunan B2 memiliki nilai frekuensi natural yang hampir
memiliki nilai frekuensi natural yang hampir sama dengan tanah pada titik referensi D.
sama dengan tanah pada titik referensi B. Nilai prosentase resonansi antara bangunan
Bangunan B3 pada seluruh lantai memiliki dengan tanah sangat dipengaruhi oleh selisih
klasifikasi tingkat kerentanan bangunan dengan nilai antara frekuensi natural tanah dengan
tanah rendah hingga tinggi (Tabel 3.6). Hal ini frekuensi natural bangunan di atasnya. Jika
dikarenakan bangunan B3 memiliki nilai frekuensi natural bangunan semakin mendekati
frekuensi natural yang hampir sama dengan frekuensi natural tanah, maka nilai prosentase
resonansi semakin kecil, artinya tingkat
tanah pada titik referensi C. Resonansi yang
rendah terdapat pada lantai dasar, sedangkan kerentanan bangunan terhadap tanah semakin
resonansi yang tinggi terdapat pada lantai 2. tinggi dan kemungkinan terjadinya resonansi
5
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

antara tanah dengan bangunan juga semakin membantu melakukan pengukuran, juga kepada
besar. Sebaliknya, jika nilai frekuensi natural seluruh pihak yang telah membantu dan
tanah dengan bangunan di atasnya memiliki mendukung penelitian ini.
perbedaan nilai yang semakin besar, maka nilai
prosentase resonansi semakin besar, artinya DAFTAR PUSTAKA
tingkat kerentanan bangunan terhadap tanah
semakin rendah dan kemungkinan terjadinya Ayi, V. W. dan S. Bahri, 2012, Analisis
resonansi antara tanah dengan bangunan juga Mikrotremor untuk Evaluasi Kekuatan
semakin kecil. Bangunan Studi Kasus Gedung
Perpustakaan ITS, Jurnal Sains dan Seni
Resonansi antara tanah dengan bangunan di ITS, 1, 1.
atasnya yang semakin tinggi menandakan Gosar, A., 2010, Site Effects and Soil-Structure
tingkat bahaya atau resiko guncangan yang Resonance Study in the Kobarid Basin
semakin besar ketika terjadi gempa bumi. (NW Slovenia) Using Microtremors,
Apabila frekuensi atau periode natural Natural Hazard and Earth System
bangunan sama dengan frekuensi atau periode Science, 10, 761-772.
natural gempa bumi yang sampai di Gunawan, A. dan P. Khadiyanto, 2012, Kajian
permukaan, maka akan terjadi resonansi dan Aspek Bentuk Lahan dan Geologi
interferensi getaran sehingga meningkatkan Berdasarkan Mikrotremor dalam
intensitas kerusakan akibat kejadian gempa Perencanaan Ruang Kawasan Rawan
bumi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam Gempa di Kabupaten Bantul Daerah
melakukan pembangunan gedung-gedung atau Istimewa Yogyakarta (Studi Kasus:
bangunan sangatlah penting untuk Kecamatan Bantul, Jetis, Imogiri, dan
memperhatikan faktor karakteristik tanah yang Kretek, Biro Penerbit Undip-Jurnal
meliputi jenis tanah permukaan, salah satunya Pembangunan Wilayah Kota, 2, 8, 178-
dengan mengetahui periode dominan tanah 190.
permukaan yang bersangkutan (Ibrahim dan Ibrahim, G. dan Subardjo, 2004, Pengetahuan
Subardjo, 2004). Seismologi, Puslitbang BMKG, Jakarta.
Pradita, J. S., 2016, Penyelidikan Kondisi
Bawah Permukaan Tanah di Wilayah
4. KESIMPULAN Jakarta Menggunakan Multi-Channel
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh Analysis of Surface Wave (MASW),
kesimpulan bahwa setiap bangunan memiliki Skripsi, Program Sarjana Terapan
nilai resonansi yang berbeda-beda. Resonansi Geofisika, Sekolah Tinggi Meteorologi
antara tanah dengan bangunan semakin besar Klimatologi dan Geofisika, Tangerang
nilainya jika frekuensi natural antara tanah Selatan.
dengan bangunan memiliki nilai yang sama SESAME, 2004, Guidelines for The
atau hampir mendekati. Bangunan B2 memiliki Implementation of The H/V Spectral
klasifikasi tingkat kerentanan resonansi dengan Ratio Thecnique On Ambient Vibrations
tanah paling tinggi. Bangunan B1 memiliki Measurentments, Processing and
klasifikasi tingkat kerentanan bangunan rendah Interpretations. Europan Comission,
hingga sedang, sedangkan bangunan B3 dan B4 Eropa.
memiliki karakteristik resonansi yang hampir Sriwijaya Post, Gempa Pidie Jaya-Aceh,
sama, dengan klasifikasi resonansi rendah dan http://palembang.tribunnews.com
tinggi. /2016/12/07/foto-foto-kondisi-terakhir-
pasca-gempa-di-pidie-jaya-aceh, diakses
pada tanggal 22 Desember 2016.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Wibowo, B. A., 2015, Studi Awal Mikrozonasi
Daerah Kota Tangerang Selatan Melalui
Tanpa bantuan dari berbagai pihak, penelitian Analisis Nilai Vs-30 dan Periode
ini tidak mungkin dapat terselesaikan. Oleh Dominan, Skripsi, Program Sarjana
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima Terapan Geofisika, Sekolah Tinggi
kasih kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,
Kedua orang tua, dan Dosen Pembimbing Tangerang Selatan.
Bapak Ariska Rudyanto yang telah
membimbing, memotivasi, memberi saran serta
6
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No.1, Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai