Anda di halaman 1dari 32

Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

BAB II
PANDUAN PELAYANAN
BAB I
PENDAHULUAN
MEDIK PAPDI

3
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

2.1
METABOLIK
BAB I
PENDAHULUAN
ENDOKRINOLOGI

4
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

DIABETES MELITUS
Code ICD : E 10
PENGERTIAN
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
oleh hiperglikemia akibat defek pada:
1. kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa
hepatik) dan di jaringan perifer (otot dan lemak)
2. sekresi insulin oleh sel beta pangkreas
3. atau keduanya

Klasifikasi Diabetes Melitus ( DM )


I. DM tipe 1 (destruksi sel , umumnya diikuti defisiensi insulin absolut):
 Immune-mediated,
 Idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin dengan
defisiensi insulin relatif sampai predominan defek sekretorik dengan
resistensi insulin)
III. Tipe spesifik lain:
 Defek genetik pada fungsi sel 
 Defek genetik pada kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Diinduksi obat atau zat kimia
 Infeksi
 Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
 Sindrom genetik lain, yang kadang berkaitan dengan DM
IV. DM gestasional

DIAGNOSIS
Terdiri dari :
 Diagnosis DM
 Diagnosis komplikasi DM
 Diagnosis penyakit penyerta
 Pemantauan pengendalian DM

Anamnesis :
 Keluhan khas DM : poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan tidak khas DM : lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita.

Faktor resiko DM tipe 2 :


 Usia > 45 Tahun,

5
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
 Berat badan lebih: > 110% berat badan idaman atau indeks massa tubuh
( IMT ) > 23 kg/m2
 Hipertensi ( TD  140/90 mmHg )
 Riwayat DM dalam garis keturunan
 Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB bayi > 4.000 gram
 Riwayat DM gestasional
 Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)
 Penderita penyakit jantung koroner, tuberkolosis, hipertiroidisme
 Kolesterol HDL  35 mg/dL dan atau trigliserida  250 mg/dL

Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk


 Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang.
 Tanda neuropati
 Mata ( visus, lensa mata dan retina )
 Gigi mulut
 Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit kuku.

Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa :


1. kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dL, atau
2. kadar glukosa darah puasa (plasma vena) >126 mg/dL, atau
3. kadar glukosa plasma > 200 mg/dL pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram pada TTGO
4. HbA1c >6.5

DIAGNOSIS BANDING
Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu (TGT), glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium :
 Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah
 Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
 Urinalisis rutin, protenuria 24 jam, CCT ukur, kreatinin
 SGPT, Albumin/Globulin
 Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
 A 1C
 Albuminuri mikro

Pemeriksaan penunjang lain :


EKG, foto toraks, funduskopi

TERAPI

6
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
Edukasi meliputi pemahaman tentang :
Penyakit DM, makna perlunya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM,
intervensi farmakologis dan non farmakologis, hipoglikemia, masalh khusus yang
dihadapi, cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan
keterampilan, cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Perencanaan makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi :
Karbohidart 60 - 70 %, protein 10 -15%, dan lemak 20 – 25%

Jumlah kandungan kolesterol yang disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak
berasal dari asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid). Dan
kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari :


 Laki-laki : 30 kal/kg BB idaman
 Wanita : 25 kal/kg BB idaman

Penyesuaian (terhadap kalori basal / hari) :


 Status gizi :
 BB gemuk - 20 %
 BB lebih - 10 %
 BB kurang + 20 %
 Umur > 40 tahun : - 5%
 Stres metabolik (infeksi,operasi,dll) : + (10 s/d 30 %)
 Aktivitas :
 Ringan + 10 %
 Sedang + 20 %
 Berat + 30 %
 Hamil :
 Trimester I,II + 300 kal
 Trimester III + 500 kal

Rumus Broca :
Berat badan idaman = (tinggi badan-100)-10 %*
Pria < 160 cm dan Wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi.
 BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 % -110% BB idaman
BB lebih : 110 -120 % BB idaman
Gemuk : > 120 % BB idaman

Latihan Jasmani
Kegaitan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit). Prinsip : Cintinuous-Rythmical-Interval-Progressive-Endurance
Intervensi farmakologis
Obat Hipoglikemia Oral (OHO):
 Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea,glinid

7
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
 Penambah sensivitas terhadap insuln : metformin, tiazolidindion
 Penghambat absorpsi glukosa : Penghambat glukosidase alfa

Insulin
Indaikasi :
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia hiperosmolatr non ketotik
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, strok)
 Kehamilan dengan DM / diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan tau alergi terhadap OHO
 DM tipe 1

Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu
kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme
kerjanya.

Pengelolaan DM tipe 2 Gemuk :


Non-farmakologis  evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : Penekanan kembali tata laksana non-farmakologis.


 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : + 1 macam OHO


Biguanid / Penghambat glukosidase  / Glitazon
 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : kombinasi 2 macam OHO, antara :


Biguanid / Penghambat glukosidase  / Glitazon
 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : kombinasi 3 macam OHO :


Biguanid + Penghambat glukosidase  + Glitazon
Atau
Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam
 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai :


Kombinasi 4 macam OHO :

8
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
Biguanid + Penghambat glukosidase  + Glitazon +
Secretagogue
Atau
Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam
 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai :


Insulin
Atau
Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam

Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :


Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhur.

Pengelolaan DM tipe 2 tidak Gemuk :


Non-farmakologis  evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : Non-farmakologis + secretagogue


 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : kombinasi 2 macam OHO, antara :


Secretagogue + Penghambat Glukosidase  + Biguanid
/ Gilitazon,atau
Terapi Kombinasi OHO siang hari + Insulin malam
 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai : kombinasi 3 macam OHO :


Secratagogue + Penghambat glukosidase  +
Biguanid / Glitazon, atau
 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keaaan klinis) :

Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai :


Kombinasi 4 macam OHO :
Secetagogue + Penghambat glukosidase  + Biguanid + Glitazon, atau
Terapi Kombinasi OHO siang hari + insulin malam
 evaluasi 2 – 4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai :


Insulin, atau
Terapi Kombinasi OHO siang hari + insulin malam

Sasaran Terapi Kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :


Insulin

Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terkhir

9
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
Penilaian hasil terapi
1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan A1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan Benda Kriteria Keton pengendalian DM (Lihat tabel)

Tabel : Krietria Pengendalian DM


Baik Sedang Buruk
GD puasa (mg/dL) 80 – 109 110 – 125  126
GD 2 jam pp (mg/dL) 80 – 144 145 – 179  180
A1C (%) < 6,5 6,5 – 8  8
Kolesterol total (mg/dL) < 200 200 – 239  240
Kolesterol LDL (mg/dL) < 100 100 – 129  130
Kolesterol HDL (mg/dL) < 45
Trigliserida (mg/dL) < 150 150 – 199  200
IMT (Kg/m2) 18,5 – 22,9 23 – 25 > 25
Tekanan darah (mmHg) < 130 / 80 130–140/90 > 140 / 90

KOMPLIKASI
A. Akut :
 Ketoasidosis disbetik
 Hiperosmolar non ketotik
 Hipoglikemia
B. Kronik :
 Makroangiopati :
 Pembuluh koroner
 Vaskular perifer
 Vaskular otak
 Mikroangiopati :
 Kapiler retina
 Kapiler renal
 Neuropati
 Gabungan :
 Kardiopati : penyakit jantung koroner, kardiomiopati
 Rentan infeksi
 Kaki diabetik
 Disfungsi ereksi

10
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

PROGNOSIS
Dubia

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Metabolik
Endokrinologi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam divisi ginjal-hipertensi,
divisi kardioligi, dan Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.
 RS non Pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.

REFERENSI
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.
2002.
2. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. 2002.
3. The Expert Commitee on the Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Report of The Expert Commite on The Diagnosis and Classification
of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan 2003 ; 26(Suppl. 1): S5-20.
4. Suyono S.Type 2 Diabetes Mellitus; is a -Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta
Diabetes Meeting 2002 : The Recent Management in Diabetes and Its
Complication : From Molecular to Clinic. Jakarta,2-3 Nov 2002. Simposium
Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,11-12 November 2000 :
185-99.

11
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

TIROKSIKOSIS

Code ICD : E 05
PENGERTIAN
Tirotoksikokis merupakan suatu keadaan di mana didapatkan kelebihan hormon
tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi
yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan.

Tirotoksikokis dibagi dalam 2 kategori :


1. Kelainan yang berhubugan dengan hipertiroidisme
2. Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid,


yang merupakan aibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Etiologi terserig dari
tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena penyakit Graves, struma multinodosa
toksik (Plummer), dan adenoma toksik. Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit
trofoblastik, pemakaian yodium berlebihan, obat hormon tiroid,dll.

Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan
mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar
penyakit Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor
pencetus infeksi,operasi,trauma,zat kontras beriodium,hipoglikemia,partus,stres
emosi, penghentian obat anti-tiroid,terapi I 131 , ketoasidosis diabetikum,
tromboemboli paru,penyakit serebrovaskular/strok, palpasi tiroid terlalu kuat.

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda tirotoksikosis: hiperaktivitas,palpitasi,berat badan turun,nafsu
makan meningkat, tidak tahan panas, banyak keringat, mudah lelah,sering buang
air besar, oligomenore / amenore dan libido turun, takikardia, fibrilasi atrial,tremor
halus, refleks meningkat, kulit hangat dan basah, rambut rontok, bruit.

Gambaran klinis penyakit Graves : struma difus, tirotoksikosis, oftalmopati/


eksoftalmus, dermopati lokal,akropaki

Laboratorium : TsHs rendah, T4 atau fT4 tinggi. Pada T3 toksikosis: T3 atau fT3
meningkat

Penderita yang dicurigai krisis tiroid


 Anamnesis : Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat
badan turun, perubahan suasana hati,bingung,diare,amenorea
 Pemeriksaan fisik :
12
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
 Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves atau
penyakit lain
 Sistem saraf pusat terganggu : delirium, koma
 Demam tinggi sampai 40C
 Takikardia sampai 130 - 200 x/menit
 Dapat terjadi gagal jantung kongestif,ikterus
 Laboratorium : TSHs sangat rendah, T 4 / fT4 / T3 tinggi, anemia normositik
normokrom, limfositosis relatif, hiperglikemia,enzim transaminase hati
meningkat, azotemia prerenal
 EKG : sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.

DIAGNOSIS BANDING
 Hipertiroidisme primer : penyakit Graves, struma multinodosa toksik,adenoma
toksik,metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor
TSH, obat:kelebihan iodium (Fenomena Jod Basedow)
 Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme : tiroiditis subakut, tiroiditis silent,
destruksi tiroid (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan hormon
tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia)
 Hipertiroidisme sekunder : adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom
resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis
gestasional

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium : TSHs, T4 atau FT4, T3, atau FT3, TSH Rab, kadar leukosit (bila
timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
 Sidaik Tiroid / thyroid scan : terutama membedakan penyakit Plummer dari
penyakit Graves dengan komponen nodosa
 EKG
 Foto toraks

TERAPI
Tata laksana Penyakit Graves :
Obat Antitiroid
 Propiltiourasil (PTU) dosis awal 300 – 600 mg/hari, dosis maksimal 2.000
mg/hari.
 Metimazol dosis awal 20 – 30 mg/hari.
 Indikasi :
 Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada
pasien muda dengan struma ringan – sedang dan tirotoksikosis
 Untuk mengejndalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan
atau sesudah pengobatan yodium radioaktif
 Persiapan tiroidektomi
 Pasien hamil, lanjut usia
 Krisis tiroid

13
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
Penyekat adrenergik  pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien
menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40-200
mg dalam 4 dosis.

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid,
pemantauan setiap 3-6 bulan sekali : memantau gejala dan tanda klinis, serta lab.
FT4/T4/T3 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya
dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama
12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi.
Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih
dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi
relaps.

Tindakan bedah
Indikasi :
 Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid
 Wanita hamil kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
 Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium radioktif
 Ademo toksik, struma multinodosa toksik
 Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Radioblasi
Indikasi :
 Pasein berusia  35 tahun
 Hipertiroidisme yang kambuh setelah diopearasi
 Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid
 Tidak mampu atau tadak mau terapi obat antitiroid
 Ademo toksik, struma multinodosa toksik

Tatalaksana Krisis tiroid : (terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid)
1. Perawatan suportif :
 Kompers dingin, antipiretik (asetaminofen)
 Mempebaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : infus
Dextrose 5% dan NaCL 0,9%
 Mengatasi gagal jantung : O2, diuretik, digitalis
2. Antagonis aktivitas hormon tiroid :
 Bloakade produksi hormon tiroid : PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO.
Alternatif : Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO.
Pada keadaan sangat berat : dapat diberikan melalui pipa nasogastrik
(NGT) PTU 600-1.000 mg atau metimazol 60-100 mg.
 Blakade eskresi hormon tiroid : Solutio Lugol (sturated solution of
potasium iodida) 8 tetes tiap 6 jam
 Penyekat  : Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam.
 Bila refrakter terhadap terapi di atas : plasmaferesis, dislis peritoneal.
3. Pengobatan terhadap faktor persipitasi : antibiotik, dll.

KOMPLIKASI

14
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
 Penyakit Graves : penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati
Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat
antitiroid.
 Krisis tiroid : mortalitas

PROGNOSIS
 Dubia ad bonam.
 Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10 – 15%.

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Dpeartemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Metabolik
Endokrinologi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi ginjal – hipertensi,
divisi kardiologi, dan Departemen Neurologi, Radiologi/Kedokteran nuklir,
Patologi Klinik, Bedah/tumor.
 RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI
1. Sumual A, Pandelaki K. Hiepertiroidisme. In : Waspadji S, et al, eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.p. 766-72.
2. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison ‘s
Principle of Internal Medicine.15th ed. New York : McGraw-Hil;2001.p. 2060-
84.
3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16
April 2000:78-82.
4. Suyono S, Subekti I. Patogenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves.
Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
5. Waspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta
Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.

15
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM

Code ICD : E 10.1


PENGERTIAN
Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes mellitus yang
serius. Gambaran klinis utama ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah
hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik, faktor pencetus : infeksi, infark
miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, penghentian
atau pengurangan dosis insulin.

DIAGNOSIS
Klinis :
 Keluhan poliuri, polidipsi
 Riwayat berhenti menyuntik insulin
 Demam / infeksi
 Muntah
 Nyeri perut
 Keasadaran : kompos mentis, delirium, koma
 Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul)
 Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering)
 Dapat disertai syok hipovolemik

Kriteria diagnosis :
Kadar glukosa : >250 mg/dL
pH : <7,35
HCO3- : rendah
Anion gap : tinggi
Keton serum : positif dan atau ketonuria

DIAGNOSIS BANDING
Ketosis diabetik, hiperglikemi hieprosmolar non ketotik / hyperglikemic
hyperosmolar state, ensefalopati uremikum, asidosis starvasi, asidosis laktat,
asidosis hiperkloremik, kelebihan salisilat, drug-induced acidosis, ensefalopati
karena infeksi, trauma kapitis.

PEMERIKASAAN PENUNJANG
Pemeriksaan cito : gula darah, ureum, kreatinin, aseton darah, urin rutin, analis
gas darah, EKG

16
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

Pemantauan :
 Gula darah : tiap jam,
 Na+, K+, CL- : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan.
 Analis gas darah : bila PH < 7 saat mauk  diperiksa setiap 6 jam s.d. Ph >
7,1. Selanjutnya setiap hari sampai stabil.
Pemeriksaan lain (sesuai indikasi) : kultur darah, kultur urin, kultur pus

TERAPI
Akses intravena (iv) 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way :
I. Cairan
 NaCL 0,9% diberikan  1-2 L pada 1 jam pertama, lalu  1 L pada jam
kedua, lalu  0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan  0,25 L pada jam
kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan.
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L.
 Jika Na+ > 155 mEq/L  ganti cairan dengan NaCL 0.45%.
 Jika GD < 200 mg/dL  ganti cairan dengan Dextrose 5%.

II. Insulin (regular insulin = RI):


 Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
 RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan :
 Jika Gd < 200 mg/dL : kecepatan dikurangi  RI drip 45 mU/kgBB/jam
dalam NaCL 0,9%
 Jika GD stabil 200 – 300 mg/dL selama 12 jm  RI drip 1-2 U/jam IV,
disertai sliding scale setiap 6 jam :
GD  RI
(mg/dL) (unit,subkutan)
<200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20
 Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dL : drip RI dihentikan
 Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin
sehari  dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien
sudah makan).

III. Kalium
 Kalium (K CL) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, degan dosis 50
mEq/ 6 jam. Syarat : tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang
T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat.
 Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
< 3,5  drip KCL 75 mEq/6 jam
3,0-4,5  drip KCL 50 mEq/6 jam
4,5-6,0  drip KCL 25 mEq/6 jam
> 6,0  drip dihentikan

17
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
 Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu.

IV. Natrium bikarbonat


Drip 100 mEq bila pH < 7,0 disertai KCL 26 mEq drip.
50 mEq bila pH 7,0 –7,1, disertai KCL 13 mEq drip.
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam.

V. Tata Laksana Umum


 Oksigen bila PO2 < 80 mmHg
 Antibiotika adekuat
 Heparin : bila ada KID satau hiperosmolar (> 380 mOsm/L) Terapi
disesuaikan dengan pemantauan klinis :
 Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap
jam,
 Kesadaran setiap jam,
 Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam,
 Produksi urin setiap jam, balans cairan
 Cairan infus yang masuk setiap jam,
Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang).

KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut,
hipoglikemia, hipokalemia, hipekloremia, edema otak, hipokalsemia

PROGNOSIS
Dubia ad malam, tergantung pada usia, komorbid, adanya infark miokard akut,
sepsis, syok.

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Metabolik
Endokrinologi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik
 RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik

REFERENSI
1. PERKENI. Petunjuk Prktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2002.
2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Melitus. In : Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000 : 83-8.
18
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In : Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di bidang Ilmu Penyakit dalam. Jakarta,
15-16 April 2000 : 89-96.
4. Kitabchi AE, Umpierrez GE,Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA,
Malone JL, et al. Management of Hyperglicemic Crises in Patiens With
diabetes Care, Jan 2001 ; 24(1) :131-51.

HIPOGLIKEMIA

Code ICD : E 16.1


PENGERTIAN
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dL, atau kadar
glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada Dmterjadi
karena :
 Kelebihan obat / dosis obat : terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun : gagal ginjal kronik,
pasca persalinan
 Arsupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
 Kegiatan jasmani berlebihan.

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda klinis :
 Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
 Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara
 Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
 Stadium gangguan otak berat : tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

Anamnesis :
 Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral : dosis terkhir, waktu
pemakaian terkhir, perubahan dosis.
 Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
 Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
 Lama menderita DM, komplikasi DM
 Penyakit penyerta : ginjal, hati,dll
 Penggunaan obat sistematik lainnya : penghambat adrenergik , dll.

Pemeriksaan fisik : pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung,


penurunan kasadaran, defisist neurologik fokal transien

Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum :


1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3. gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat

DIAGNOSIS BANDING

19
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
Hipoglikemia karena
 Obat :
 (sering) : insulin, sulfonilurea, alkohol,
 (kadang) : kinin, pentamidine
 (jarang) : salisilat, sulfonamid
 Hieperinsulinisme endogen : insulinimo, kelainan sel  jenis lain,
sekretagogue (sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
 Penyakit kritis : gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis, starvasi dan
inanisi
 Tumor non-sel  : sarkoma, tumor adrenokortikal, leukimia, limfoma,
melanoma
 Pasca-prandial : reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar glukosa darah (GD), tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-peptide

TERAPI
Stadium permulaan (sadar)
 Berikan guka murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni
(bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan
yang mengandung karbohidrat
 Hentikan obat hipoglikemik sementara,
 Pantau glukos darah sewaktu tiap 1-2 jam
 Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)
 Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga


hipoglikemia) :
1. Diberikan larutan Deksatrosa 40% sebanyak 2 flakon (= 50 mL ) bolus intra
vena,
2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf,
3. Periksa GD Sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer :
 Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
 Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 % :
 Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
 Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
 Bila GDs 100-200 mg/dL  tanpa bolus Dekstrosa 40 %
 Bila Gds > 200 mg/dL  pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dekstrosa 10 %
5. Bila GDs 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila Gds > 200 mg/dL  pertimbangkan
mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCL 0,9 %.
6. Bila Gds > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap
4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL  perimbangkan
mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCL 0,9 %.

20
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6
jam :
GD  RI
(mg/dL) (Unit, subkutan)
< 200 0
200 – 250 5
250 – 300 10
300 – 350 15
> 350 20
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis
insulin, seperti : adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5 – 1 mg IV /
IM (bila penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL : Hidrokortison 100 mg per 4
jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap
6 jam dan Manitol 1,5 – 2 g/kgBB IV setiap 6 – 8 kam. Cari penyebab lain
penurunan kesadaran menurun

KOMPLIKASI
Kerusakan otak, koma, kematian

PROGNOSIS
Dubia.

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Pe4nyakit
Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesial Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care / ICU
 RS non pendidikan : Bagian Patologi Klnik, ICU

REFERENSI :
1. PERKENI. Petunjuk praktis pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2002.
Waspadji S.
Kegawatan pada Diabetes Melitus.Dalam Prosiding Simposium
Penatalaksanaan.
2. Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15 – 16 April 2000: 83 –
8.
3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Longo Dl, Jameson JL. Harryison’s Principles of Internal Medicine. 15 th ed.
New York : McGraw-Hill; 2001.p. 2138-43.

21
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

22
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

DISPLIDEMIA

Code ICD : E 66
PENGERTIAN
Displidemia merupakan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan
(peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma. Kelainan Fraksi lipid yang
utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta
penurunan kadar kolesterol HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya
mempunyai peran penting dan berkaitan, sehingga dikenal sebagai tirad lipid.
Secara klinis dislipidemia disklasifikasikan menjadi 3, yaitu : Hiperkolesterolemia,
hipertrigliseridemia, dan campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia

DIAGNOSIS
Klasifikasi kadar kolesterol : Klasifikasi :
Kolesterol LDL : < 100 mg/dL Optimall
100 – 129 mg/dL Hampir optimal
130 – 159 mg/dL Borderline tinggi
160 – 189 mg/dL Tinggi
 190 mg/dL Sangat tinggi

Kolesterol total : < 200 mg/dL Idaman


200 – 239 mg/dL Borderline tinggi
 240 mg/dL Tinggi

Kolesterol HDL < 40 MG/dL Rendah


 60 mg/dL Tinggi

Untuk mengevaluasi risiko penyakit jantung koroner (PJK), perlu diperhatikan


faktor-faktor risiko lainnya :
 Faktor risiko positif :
 Merokok
 Umur (pria  45 tahun, wanita  55 tahun)
 Kolesterol HDL rendah
 Hipertensi ( TD  140/90 atau dalam terapi antihipertensi )
 Riwayat penyakit jantung koroner dini dalam keluarga ( first degree : pria
< 55 tahun, wanita < 65 tahun )
 Faktor risiko negatif :
 Kolesterol HDL tinggi : mengurangi 1 faktor risiko dari perhitungan total.

ATP III menggunakan Framingham Risk Score ( FRS ) untuk menghitung besarnya
risiko penyakit jantung koroner ( PJK ) pada pasien dengan  2 faktor, meliputi :
umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi.
Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka persentase risiko PJK
dalam 10 tahun.

23
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
Ekivalen risiko PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding
dengan kejadian PJK, yakni > 20% dalam 10 tahun, terdiri dari :
 Bentuk klinis lain dari aterosklerosis : penyakit arteri perifer, aneurisma aorta
abdominalis, penyakit arteri karotis yang simptomatis,
 Diabetes
 Faktor risiko multipel yang mempunyai risiko PJK dalam 10 tahun > 20%.

Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor risiko independen untuk


terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida :
 Obesitas, berat badan lebih
 Inaktivitas fisik
 Merokok
 Asupan alkohol berlebih
 Diet tinggi karbohidrat ( > 60% asupan energi ),
 Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
 Obat : kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik-beta dosis
tinggi
 Kelainan genetik ( riwayat keluarga)

Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia


Normal : < 150 mg/dL
Borderline-tinggi : 150 – 199 mg/dL
Tinggi : 200 – 499 mg/dL
Sangat tinggi :  500 mg/dL

DIAGNOSIS BANDING
 Hiperkolesterolemia sekunder, karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi,
sindrom nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin,
siklosporin, thiazide)
 Hipertrigliseridemia sekunder, karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik,
lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, sres,
sepsis, kehamilan, obat (estrogen, isotretinoin, penghambat beta,
glukokortikoid, resin pengikat bile-acid, Thizide), hepatitis akut, lupus
eritematosus sistemik,gammopati monoklonal : myeloma multipel, limfoma
AIDS : inhibitor protease
 HDL rendah sekunder, karena malnutrisi, obesitas, merokok, penghambat
betasteroid anabolik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia 20 tahun, setiap 5 tahun sekali :
Kadar kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, glukosa darah, tes fungsi hati, urin
lengkap, tes fungsi ginjal, TSH, EKG

TERAPI
Untuk hiperkolesterolemia :
Penatalaksanaan Non-farmakologis (Perubhan Gaya Hidup) :
 Diet, dengan komposisi :

24
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
 Lemak jenuh < 7% kalori total
 PUFA hingga 10% kalori total
 MUFA hingga 10% kalori total
 Lemak total 25 – 35% kalori total
 Karbohidrat 50 – 60% kalori total
 Protein hingga 15% kalori total
 Serat 20 – 30 g / hari
 Kolesterol < 200 mg / hari
 Latihan jasmani
 Penurunan berat badan bagi yang gemuk
 Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol

Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tecapai ( lihat
tabel target dibawah ini ), pemantauan setiap 4-6 bulan.
 Bila setekah 6 minggu PGH, target be,um tercapai : intensifkan penurunan
lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, tingkatkan
komsumsi serat dan kerjasama dengan dietisien.
 Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil
menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan,
dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani.

Terapi Farmakologis :
 Golongan statin :
 Simvastatin 5 – 40 mg
 Lovastatin 10 – 80 mg
 Pravastatin 10 – 40 mg
 Fluvastatin 20 – 80 mg
 Atorvastatin 10 – 80 mg
 Golongan bile acid sequestrant :
 Kolestiramin 4 – 16 g
 Golongan nicitinic acid :
 Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s.d 1,5 – 3 g

Target Kolesterol LDL ( mg/dL ) :


Kategori Target Kadar LDL Kadar LDL untuk mulai
Risiko LDL Untuk mulai PGH terapi farmakologis
PJK atau < 100  100 130
Ekivalen PJK ( 100 – 129 : opsional )
( FRS > 20 % )
Faktor risiko  2 < 130  130  130 (FRS 10 -20 %
(FRS  20%) (160 -189 : opsional)
Faktor risiko 0 -1 < 160  160  190
(160 -189 : opsional)

Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau


bile acid sequestrant atau nicotinic acid.

25
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat
tabel target di atas), Pemantauan setiap 4 – 6 bulan. Bila setaelah 6 minggu terapi,
target belum tercapai : intensifkan/ naikkan dosis statin atau kombinasi dengan
yang lain. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil
menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan. Pasien
dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi
terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/ dL.

Pasien dengan hipertrigliseridemia :


 Penata laksanaan non farmakologis sesuai di atas.
 Penata laksanaaan farmakologis :
Target terapi :
- Pasein dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi : tujuan utama
terapi adalah mencapai target kolesterol LDL.
- Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder adalah kadar kolesterol
non-HDL, yakni sebesar 30 mg/dL lebih tinggi dan target kadar kolesterol
LDL (lihat tabel di atas).
- Pendekatan terapi obat:
1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau
2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat terdiri dan :
 Gemfibrozil 2 x 600 mg atau I x 900 mg
 Fenofibrat I x 200 mg
Penyebab primer dari dislipidemia sekunder, juga harus ditatalaksana.

KOMPLIKASI
Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, strok, pankreatis akut

PROGNOSIS
Dubia ad bonan

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan peserta PPDS Penyakit
Dalam
 RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Metabolik
Endokrinologi / Divisi Kardiologi
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan : Divisi Kardiologi, Departemen Patologi Klinik, Gizi
 RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik, Gizi

REFERENSI
1. Perkeni. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Melitus di
Indonesia. 1995.

26
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
2. Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Cholesterol in Adults. Executive Summary of the Third Report of the National
Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III). JAMA, May 16, 2001;285(19):2486-97.
3. Semiardji G. National Cholesterol Education Program - Adult Treatment Panel
III (NCEP-ATP III): Adakah hal yang baru? Makalah Siang Klinik Bagian
Metabolik Endokrinologi Bagian ilmu Penyakit Dalam, 2002.
4. Ginsberg HN, Goldberg ij. Disorders of Lipoprotein Metabolism. In Braunwald
E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 15th ed. New York: McGraw-Hill; 200I.p. 2245-
57.
5. Suyono S. Terapi Dislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai Kapan?
Prosiding Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,
11-12 November 2000:185-99.

27
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

Code ICD : E 04
PENGERTIAN
Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba
sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.Berdasarkan
jumlah nodul, dibagi :
 Struma mononodosa non toksik
 Struma multinodosa non toksik

Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi :


nodul dingin, nodul hangat, nodul panas

Sedangkan berdasarkan konsistensinya, nodul dibedakan menjadi : nodul lunak,


nodul kistik, nodul keras, nodul sangat keras

DIAGNOSIS
Anamnesis :
 Sejak kapan benjolan timbul
 Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
 Cara membesarnya : cepat, atau lambat
 Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa
benjolan
 atau hanya pembesaran leher saja
 Riwayat keluarga
 Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
 Perubahan suara
 Gangguan menelan, sesak napas
 Penurunan berat badan
 Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik:
 Umum
 Lokal:
- Nodul tunggal atau majemuk, atau difus
- Nyeri tekan
- Konsistensi
- Permukaan
- Perlekatan pada jaringan sekitamya
- Pendesakan atau pendorongan trakea
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Pemberton ‘s sign
-
Penilaian risiko keganasan :
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid
jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid :
 Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak

28
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
 Riwayat këluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau peayakit tiroid autoimun.
 Gejala hipo atau hipertiroidisme.
 Nyeri berhubungan dengan nodul.
 Nodul lunak, mudah digerakkan.
 Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah


keganasan tiroid:
 Umur <20 tahun atau> 70 tahun
 Gender laki-laki
 Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan napas
 Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu — bulan)
 Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga
meningakatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak)
 Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
 Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan
 Paralisis pita suara,
 Temuan limfadenopati servikal
 Metastasis jauh (paru-paru, dli)

Langkah diagnostik I: TSHs, FT4


Hasil : Non-toksik —> langkah diagnostik II : BAJAH nodul tiroid
Hasil :
A. Ganas
B. Curiga
C. Jinak
D. Tak cukup/sediaan tak representatif (dilanjutkan di kolom Terapi)

DIAGNOSIS BANDING
 Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin
saat masa pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan,
menopause, infeksi, stres lain.
 Tiroiditis akut
 Tiroiditis subakut
 Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif(Riedel)
 Simple goiter
 Struma endemik
 Kista tiroid, kista degenerasi
 Adenoma
 Karsinoma tiroid primer, metastatik
 Limfoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium: T4 atau fT4, T3, dan TSHs
 Biosi aspirasi jarum halus ( BAJAH ) nodul tiroid:
- Bila hasil laboratorjum: non-toksik

29
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
- Bila hasil lab. (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold nodule. — syarat :
sudah menjadi eutiroid,
 USG tiroid:
- pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi
- Pemandu pada BAJAH
 Sidik tiroid:
- Bila klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2 kali) : jinak,
- Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas
 Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid
medular, diperiksakan kalsitonin)
 Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat,curiga penyakit Hashimoto.
TERAPI
Sesuai hasil BAJAH, maka terapi:
A. Ganas
 Operasi Tiroidektomi near-total
B. Curiga
 Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC):
Bila hasil = ganas -> Operasi Tiroidektomi near-total.
Bila hasil = jinak -> Operasi Lobektomi, atau Tiroidektomi near-total.
 Alternatif : Sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule —> Operasi
C.Tak cukup/sediaan tak representatif
 Jika nodul Solid (saat BAJAH): ulang BAJAH.
Bila klinis curiga ganas tinggi —> Operasi Lobektomi
Bila klinis curiga ganas rendah — > Observasi
 Jika nodul Kistik (saat BAJAH): aspirasi.
Bila kista regresi —> Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah —> Observasi
Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi — >Operasi Lobektomi Jinak
D. TERAPI
—> terapi dengan Levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis.
 dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari),
 dilanjutkan 3 x 25 ug (3-4 hari),
 bila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis - menjadi 2 x 100 ug
sampai 4-6 minggu, kemudian evaluasi TSH (target 0,1 - 0,3 u1U/L)
 supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
 evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil
bila mengecil> 50% dan volume awal)
- Bila nodul mengecil atau tetap -> L-tiroksin dihentikan dan diobservasi:
- Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi
(target TSH 0,1-0,3 uIU/L).
- Bila setelah L-tiroksin dihentikan, struma tidak berubah, diobservasi
saja.
- Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi — obat
dihentikan dan operasi Tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan
histopatologi — > hasil PA:
- Jinak: terapi dengan L-tiroksin: target TSH 0,5 — 3,0 uIU/L
- Ganas: terapi dengan L-tiroksin
- Individu dengan risiko ganas tinggi :
30
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi
target TSH <0,01-0,05 uIU/L
- Individu dengan risiko ganas rendah :
target TSH 0,05-0,1 uIU/L
KOMPLIKASI
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut / subakut

PROGNOSIS
Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis.

WEWENANG
• RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


• RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Metabolik Endokrinologi
• RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Radiologi / Radiodiagnostik!
Kedokteran nuldir, Bedah Tumor, PatologiAnatomik
• RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah, Patologi klinik, PatologiAnatomik

REFERENSI
1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. In: Waspadji S. et al, eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p. 757-65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS,
Sudoyo HAW Effendy S, Setiati S. Gani RA, Alwi I, eds. Naskah Lengkap
Pertemuan ilmiah Tahunan ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta: Departemen
ilmu Penyakit Dalam; l997.p. 207- 13.
3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M Setiati S,
AIwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A ,eds. Pedoman Diagnosis dan
Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999. 187-9.
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta
Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
5. Jameson JL, Weetman AR Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 15th ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p.
2060-84.

31
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

KISTA TIROID

Code ICD : E 06
PENGERTIAN
Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10—25% dari
seluruh nodul tiroid.Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan
nodul solid. nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu
keganasan.Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid.

DIAGNOSIS
 Anamnesis
 Sejak kapan benjolan timbul
 Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap
 Cara membesamya: cepat, atau lambat
 Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa
benjolan atau hanya pembesaran leher saja
 Riwayat keluarga
 Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda
 Perubahan suara
 Gangguan menelan
 Sesak napas
 Penurunan berat badan
 Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan fisik :
 Umum
 Lokal
- Nodus tunggal atau majemuk, atau difus
- Nyeri tekan
- Konsistensi : kistik
- Permukaan
- Perlekatan pada jaringan sekitamya
- Pendesakan atau pendorongan trakea
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Pemberton ‘s sign
Penilaian risiko keganasan :
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid
jinak tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid :
 Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak
 Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.
 Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme.
 Nyeri berhubungan dengan nodul.
 Nodul lunak, mudah digerakkan.
 Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama.

32
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah


keganasan tiroid :
 Umur <20 tahun atau> 70 tahun
 Gender laki-laki
 Nodul disertai disfagia, serak, atau obstruksi jalan napas
 Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu — bulan)
 Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga
meningkatkan insidens penyakit nodul tiroid jinak)
 Riwayat keluarga kanker tiroid medular
 Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan•
Paralisis pita suara,
 Temuan limfadenopati servikal
 Metastasis jauh (paru-paru, dli)

Langkah diagnostik awal: TSHs, FT4


Bila Hasil : Non toksik —> Langkah diagnostik II :
—> Pungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid

DIAGNOSIS BANDING
Kista tiroid, kista degenerasi, karsinoma tiroid

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 USG tiroid:
- dapat membedakan bagian padat dan cair,
- dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid.
- gambaran USG kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik
sonolusen, dinding tipis
 Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin.
 Biopsi aspirasijarum halus (BAJAH): pada bagian yang solid.

TERAPI
Pungsi aspirasi seluruh cairan kista :
 Bila kista regresi —> Observasi
 Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah —> pungsi aspirasi dan
observasi
 Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi —> operasi lobektomi

KOMPLIKASI
Tidak ada.

PROGNOSIS
Dubia ad bonam, tergantung tipe dan jenis histopatologinya.

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

33
Panduan Pelayanan Medik PAPDI Metabolik Endokrinologi

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Metabolik
Endokrinologi
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah tumor
 RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah

REFERENSI
1. Kariadi SHKS. Struma Nadosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S. et a!,eds.
Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;.p.757-
65.
2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo
HAW, Effendy S. Setiati 5, Gani RA, Alwi I ,editors. Naskah Lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta:Departemen
ilmu Penyakit Dalam; 1997.p. 20 7-13.
3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M Setiati S,
Alwi I,Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A,editors. Pedoman Diagnosis dan
Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.P. 18 7-9.
4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul flroid. Makalah Jakarta
Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.

34

Anda mungkin juga menyukai