Anda di halaman 1dari 12

Keperawatan jiwa

“perspektik keperawatan jiwa”

Disusun oleh

Kelompok 2

1. Bima fajri
2. Denie trisandy
3. Fitri wilda
4. Ighana nabila
5. Laras qullazah
6. Nurvita sari
7. Siska permata sari
8. Thesia arual rahayu

PRODI DIII KEPERAWATAN

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini sebatas
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat

kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada yang
sempurna.

Oleh karena itu jika terdapat kesalahan kami mohon maaf jika ada kesalahan. Dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun untuk makalah ini

Penulis, september 2018

penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................

1.1 latar belakang ........................................................................................................... ..


1.2 rumusan masalah ...................................................................................................... ..
1.3 tujuan ............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................................

A. Perspektif Keperawatan Jiwa ..................................................................................


a. perspektif biologis ...............................................................................................
b. perspektif psikologis ..................................................................................
c. perspektif sosiokultural ...............................................................................
d. perspektif biopsikososial .............................................................................
B. Stigma masyarakat ..............................................................................................................

BAB II PENUTUP ...........................................................................................................................

a. Kesimpulan ........................................................................................................................

Daftar pustaka .....................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perspektif Keperawatan Jiwa

Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global pada sebagian besar negara
termasuk di Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan oleh kehidupan yang semakin sulit dan
kompleks serta semakin bertambahnya stressor psikososial akibat budaya masyarakat yang
semakin modern. Hal ini dapat berakibat pada meningkatnya jumlah penderita gangguan
kejiwaan. Gejala gangguan kejiwaan yang terdiri dari gangguan kecemasan, depresi, panik,
hingga gangguan yang psikotik seperti skizofrenia semakin banyak di masyarakat.

Penemuan-penemuan ilmiah mengungkapkan penyebab mikrobiologis dari beberapa


jenis penyakit dan menghasilkan langkah-langkah preventif. Model-model perilaku abnormal
juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif
biologis,psikologis,sosiokultural, dan biopsikososial.

1.2 rumusan masalah


1. apa itu perspektif keperawatan jiwa?
2. Model-model perspektik
3. Bagaimana stigma masyarakat tentang gangguan jiwa?
4.
1.3 tujuan
untuk mengetahui bagaimana stigma atau perspektif masyarakat tentng gangguan jiwa.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perspektif Keperawatan Jiwa

Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global pada sebagian besar
negara termasuk di Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan oleh kehidupan yang semakin sulit dan
kompleks serta semakin bertambahnya stressor psikososial akibat budaya masyarakat yang
semakin modern. Hal ini dapat berakibat pada meningkatnya jumlah penderita gangguan
kejiwaan. Gejala gangguan kejiwaan yang terdiri dari gangguan kecemasan, depresi, panik,
hingga gangguan yang psikotik seperti skizofrenia semakin banyak di masyarakat.

Menurut Corrigan dan Larson, stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada orang
dengan gangguan kejiwaan terdiri dari stereotip yang negatif, prasangka, dan diskriminasi
(dalam Mueser & Jeste, 2008). Masyarakat umum menganggap orang dengan gangguan
kejiwaan adalah orang yang berbahaya, tidak berkompeten dan masyarakat umum merasakan
emosi yang negatif terhadap mereka seperti takut serta melakukan diskriminasi, seperti tidak
ingin mempekerjakan orang dengan gangguan kejiwaan.

Penemuan-penemuan ilmiah mengungkapkan penyebab mikrobiologis dari beberapa jenis


penyakit dan menghasilkan langkah-langkah preventif. Model-model perilaku abnormal juga
mulai bermunculan,meliputi model-model yang mewakili perspektif
biologis,psikologis,sosiokultural, dan biopsikososial.

a. Perspektif Biologis

Berawalan dengan latar belakang kemajuan dalam ilmu kedokteran, seorang dokter dari
jerman Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada
penyakit di otak. Pandangan Griesinger mempengaruhi dokte jerman lain nya, Emil Kraepelin
menghubungkan gangguan mental dengan penyakit fisik. Griesinger dan Kraepelin membuka
jalan untuk perkembangan model medis modern, yang berusaha menjelaskan penyebab perilaku
abnormal berdasarkan kerusakan biologis atau abnormalitas yang mendasarinya,bukan roh jahat.
Menurut model medis , orang yang berperilaku abnormal menderita penyakit atau gangguan
mental yang dapat diklasifikasi,sebagaimana penyakit fisik,berdasarkan penyabab dan simtom
khusus dari masing-masing gangguan.
Kraepelin mespesifikasi dua kelompok utama dari gangguan atau penyakit mental : dementia
praecox (dari akar kata yang berarti) “Kegilaan Precocious (premature)”), yang saat ini kita sebut
sebagai skizofrenia, dan psikosis manic depresi, yang sekarang di istilah kan sebagai gangguan
bipolar. Kreapelin meyakini bahwa dementia precox di sebabkan oleh ketidak seimbangan bio
kimiawi dan psikosis manik depresi oleh suatu abnormalitas dalam metabolism tubuh.Namun
kontribusi utama dari kraetelin adalah penciptaan system klasifikasi yang menjadi inti sari bagi
sistim diagnostic saat ini.

Banyak terminology yang digunakan saat ini yang mencerminkan pengaruh dari model
medis. Dengan adanya model medis, bnyak professional dan orang awam berbicara mengenai
orang-orang yang perilaku nya di anggap abnormal sebagai menderita sakit mental.

Model medis merupakan kemajuan utama dari demonology.Moedel ini mengilhami ide
bahwa prilaku abnormal seharus nya ditangani oleh professional terlatih dan bukan dengan
hukuman.Kasih saying menggantikan kebencian, ketakutan dan penganiayaan.

b. Perspektif Psikologis

Meskipun model medis mempunyai pengaruh pada abad ke 19, terdapat sejumlah orang
yang meyakini bahwa factor organis semata tidak dapat menjelaskan berbagai bentuk prilaku
abnormal. Di paris, seorang neurology yang sangat disegani, Jean-Martin Charcot (1825-
1893), melakukan eksperimen dengan pengunaan hipnosis (hypnosis) dalam menangani
bisteria, suatu kondisi dimana orang-orang datang dengan simtom fisik seperti kelumpuhan
atau mati rasa yang tidak dapat di jelaskan oleh berbagai macam penyebab fisik yang
mendasari. Pemikiran pada masa itu adalah bahwa mereka pasti mengalami masalah pada
system syaraf, yang menyebabkan simtom-simtom tersebut

Diantara mereka yang menghadiri demonstrasi Charcot terdapat seorang dokter muda
dari Austria bernama Sigmund Freud (1856-1939). Freud berpikir bahwa apabila simtom-
simtom hysteria dapat dihilangkan atau di munculkan melalui hypnosis sekedar saran dengan
ide-ide maka simtom tersebut semestinya memiliki sumber yang bersifat psikologis ( E.J
Jones, 1953). Iya menyimpulkan bahwa apapun factor psikologis yang menyebabkan
hysteria, factor-faktor itu terletak diluar area kesadaran hal ini merupakan ide penting yang
mendasari perspektif psikologis pertama mengenai prilaku abnormal - Model psiko dinamika
(psycho dynamic model ). Frud meyakini bahwa penyebab prilaku abnormal terletak pada
interaksi antara kekuatan – kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. “Saya memperoleh
impresi yang paling membanggakan,” Frud menulis mengenai pengalamannya dengan
Charcot, “Atas kemungkinan bahwa terdapat proses – proses mental yang sangat kuat yang
disisi lain tetap tersembunyi di dalam ketidaksadaran “manusia” ( sebagaimana dikutip dalam
sulloway, 1983, hal 32).

Freud juga dipengaruhi oleh seorang dokter dari Wina,Joseph Breuer (1842-1925),yang
berusia 14 tahun lebihtua dari dirinya.Breuer juga mengunakan hypnosis untuk menangani
seorang perempuan berusia 21 tahun,Anna O.,yang memiliki keluhan-keluhan sisteria
dimana tidak terdapat dasar medis yang jelas,seperti kelumpuhan pada tungkai ,mati rasa
serta ganguan dalam penglihatan dan pendengaran (E.Jones,1953).otot yang”lumpuh”di
lehernya membuat ia tidak dapat menolehkan kepalanya.ketidakmampuannya mengerakan
jari-jari di tangan kiri membuatnya tidak mungkin untuk makan sendiri.Breuer yakin bahwa
terdapat komponen psikologis yang sangat kuat pada sintom-sintom tersebut.Ia menangani
Anna dengan mendorongnya untuk membicarakan keluhannya,terkadang di bawah
hypnosis.meningat kembali dan membicarakan tentang peristiwa-peristiwa yang terkait
dengan kemunculan sintom-sintom tersebut _____terutama peristiwa-peristiwa yang
membangkitkan perasaan takut,cemas,atau rasa bersalah ____tampaknya dapat
menghilangkan simtom itu,paling tidak untuk suatu waktu.Anna menyebut penanganan ini
sebagai”pembicaraan yang mengobati,”atau,ketidak bercanda,sebagai”pembersihan cerobong
asap.”

Simtom hysteria dianggap mencerminkan tranformasi dari emosi-emosi yang


terhambat,terlupakan namun tidak hilang ,menjadi keluhan-keluhan fisik.pada kasus Anna
,simtom-simtomnya tampak menghilang ketika emosi-emosi yang ia pendam dibawa kea lam
sadar dan”dilepaskan.”Breuer mengistilahkan efek terapeutik ini sebagai katarsis
(catbarsis),istilah Yunani yang berarti pembersihan atau pemurnian perasaan.kasus-kasus
hysteria,pada Anna O.,tampaknya merupakan suatu hal yang umum terjadi pada masa
Victoria ,namun relative lebih jarang pada masa kini (Spitzer dkk.,1989).
c. Perspektif Sosiokultural

Teoretikus sosisokultural meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks –


konteks social yang lebih halus dimana suatu perilakumuncul untuk memahami akar dari
perilaku abnormal.mereka meyakini bahwa penyebab perilaku abnormal mungkin dapat
ditemukan pada pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orang nya.masalah-
masalah pisikologis bisa jadi berkar pada penyakit sosial masyarakat,seperti kemiskinan,
perpecahan social,diskiriminasiras dan gender, serta hilangnya kesempatan ekonomi

Menurut para teoretikus sosiokultural yang lebih radikal, seperti psikiatri Thomas Szazs,
penyakit mental adalah suatu mitos___suatu label yang di gunakan untuk mestigmatisasi dan
merendahkan orang-orang yang perilakunya menyimpang secara sosial (T.S Szasz,1961,2000).
Szasz menyatakan bahwa apa yang disebut penyakit mental yang sesungguhnya adalah “ dalam
kehidupan, “ bukan penyakit actual seperti influenza,AIDS, dan kanker. Szasz beranggapan
bahwa orang-orang yang menyerang orang lainatau melakukan perilaku yang menyimpang
secara social di persepsikan sebagai ancaman bagi keberadaan kelompok. Melabel mereka
dengan sakit memungkinkan orang lain untuk mengingkari faliditas masalah mereka dan
menyingkirkan mereka ke institusi-institusi.

Para teoritikus sosialkultural menyatakan bahwa sekali label “ sakit mental “ berikan
pada seseorang, sangatlah sulit untuk dihilangkan. Label ini juga mempengaruhi respon orang
lain terhadap “ pasien.” Pasien mental distigmatisasi dan direndahkan secara sosial. Kesempatan
kerja mungkin hilang, persahabatan mungkin terpecah, dan “ pasien “ mungkin semakin
diasingkan dari masyarakat. Szasz mengemukakan bahwa memperlakukan orang sebagai
bepenyakit mental berarti mencabut martabat mereka karena hal ini merupakan penyangkalan
atas tanggung jawab mereka perilaku-perilaku dan pilihan-pilihan mereka sendiri.Ia menyatakan
bahwa orang yang bermasalah seharusnya didorong untuk lebbih bertanggung jawab dalam
mengatur kehidupan dan memecahkan masalah mereka sendiri.

Meskipun tidak semua teoritikus sosiokultural menyetujui pandangan radikal Szasz,


semuanya menekan kan pentingnya mengikut sertakan factor sosiokultural dalam memahami
orang-orang yang perilakunya membuat mereka dipersepsikan mengalami sakit mental atau
abnormal. Factor-factor sosiokultural dapat memncangkup hal-hal berkaitan dengan gender,ras,
etmisitas,gaya hidup, atau penyakit-penyakit sosial seperti kemiskinan dan distriminasi.

d. Perspektif Biopsikososial

Banyak akademisi terkemuka pada masa kini yang meyakini bahwa pola-pola perilaku
abnormal teralu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif.
Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik
bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang
biologis,psikologis,sosiokultural. Perspektif biopsikososial atau model interaksionis,
menginspirasikan pendekatan yang kami ambil dalam buku ini untuk memahami asal usul
dari perilaku abnormal.

Perspektif tentang gangguan psikologis memberikan suatu kerangka berpikir yang tidak
hanya untuk penjelasan namun juga untuk penanganan.Berbagai perspektif tersebut juga
menghasilkan formulasi untuk peramalan, atau bipotesis, yang menjadi pedoman penelitian,
model medis misalnya, memicu penyelidikan dalam metode-metode penanganan genetis dan
biokimiawi. (psikologi abnormal,edisi kelima,jilid 1,jefrey s. nevid, spencer a. rathus,
Beverly greene).

2. Stigma masyarakat

Stigma salah satu faktor penghambat dalam penyembuhan klien gangguan jiwa.Stigma
yang melekat pada gangguan jiwa masih menjadi masalah yang jelas. Para ahli kesehatan
masyarakat menyatakan bahwa persepsi masyarakat umum mengenai gangguan jiwa sangatlah
bermacam-macam, bergantung pada sifat dasar dari gangguan jiwa tersebut. Akibatnya stigma
menjadi lebih memberatkan dari pada penyakit yang dideritanya dan secara tidak langsung akan
memperburuk penyakit gangguan jiwa seseorang.

Stigma gangguan jiwa yang ada di masyarakat dapat diketahui dengan menggunakan
instrumen Community Attitude Towards The Mentally Ill yang membagi stigma gangguan jiwa
berdasarkan 4 aspek yaitu otoriterisme, kebajikan, pembatasan sosial dan ideologi komunitas
kesehatan mental. Instrumen tersebut digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian diperoleh
bahwa aspek Otoriterisme menjadi aspek yang paling tinggi median yaitu sebesar 34. Aspek
kebajikan mempunyai nilai median 33, aspek Ideologi Komunitas Kesehatan Mental memiliki
nilai median 33 dan yang terakhir aspek yang memiliki nilai median paling rendah adalah aspek
pembatasan sosial dengan nilai median 27 dengan.

Otoriterisme yang merupakan pandangan orang terhadap orang dengan gangguan jiwa
sebagai seseorang yang lemah dan membutuhkan penangan yang koersif (kasar).

Dalam penelitian ini bisa dilihat masyarakat tidak percaya bahwa klien gangguan jiwa
yang mengalami perawatan kesehatan mental bisa disembuhkan.Selain itu masyarakat meyakini
bahwa pengobatan gangguan jiwa pada awalnya diobati dengan cara-cara yang tidak ilmiah,
karena gangguan jiwa tersebut dianggap sebagai pengaruh setan atau sikap berontak dari orang
yang sakit jiwa .

Namun sekarang pengobatan berbasis lingkungan sangat dianjurkan dan tidak harus di
bawa ke rumah sakit jiwa. Ermalinda (2015) mengatakan bahwa terapi lingkungan sangat
dianjurkan untuk klien dengan gangguan jiwa, dikarenakan klien tidak lagi menyendiri, klien
dapat berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sekitar, Pengetahuan klien dan keluarga
terhadap terapi bertambah, klien lebih terampil kreatifitasnya dan paling penting dapat mencegah
kekambuhan gangguan jiwa pada klien. (Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia 2(1) : 29-37
(2016)).

bisa dilihat bahwa masyarakat masyarakat dan keluarga lebih memilih untuk
menyembunyikan kondisinya seperti dikurung dan dirantai daripada mencari pertolongan.
Dengan demikian masyarakat lebih menerima terhadap klien gangguan jiwa karena stigma
negatif yang menyertainya serta masyarakat takut bahwa klien gangguan jiwa untuk mengamuk
dan mencelakai orang lain (Mestdagh, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Teresha (2015) bahwa masyarakat yang pengetahuannya
tinggi tentang gangguan jiwa bisa memberikan sikap yang lebih positif terhadap klien gangguan
jiwa serta Mestdagh (2013) menyebutkan bahwa perawatan klien gangguan jiwa berbasis
masyarakat tidak akan terhambat, jika masyarakat mau bersosialisasi dengan kilen ganggaun
jiwa. Pembatasan sosial merupakan keyakinan bahwa klien gangguan jiwa merupakan suatu
ancaman bagi masyarakat dan harus di hindari.

Dapat dilihat bahwa stigma masyrakat terhadap klien gangguan jiwa cenderung tinggi ini
bisa dihubungkan dengan kebanyakan responden berpendidikan terakhir sekolah dasar sehingga
pengetahuan akan gangguan jiwa rendah. Saat seseorang mempunyai pengetahuan yang baik
tentang gangguan jiwa maka mereka lebih berpikir positif serta stigma negatif akan rendah
terhadap klien dengan gangguan jiwa. Namun, jika seseorang pengetahuan tentang gangguan
jiwa sedikit maka mereka akan beripikir negatif dan stigma negatif nya tinggi terhadap klien
dengan gangguan jiwa. Berbagai aspek domain yang didapatkan dalam penelitian.
BAB II

PENUTUP

a. Kesimpulan
Dapat dilihat bahwa stigma masyrakat terhadap klien gangguan jiwa cenderung tinggi
ini bisa dihubungkan dengan kebanyakan responden berpendidikan terakhir sekolah
dasar sehingga pengetahuan akan gangguan jiwa rendah. Saat seseorang mempunyai
pengetahuan yang baik tentang gangguan jiwa maka mereka lebih berpikir positif
serta stigma negatif akan rendah terhadap klien dengan gangguan jiwa.
Daftar pustaka

Jayanty indri, fellianti muzdhalifah.2013.internalisasi stigma dan harga diri pada orang
dengan skizoferenia.fakultas pendidikan universitas negeri padang.
(diakses melalui : http://doi.org/10.21009/JPPP)

Purnama gilang,dkk.2016.gambaran stigma masyarakat terhadap klien gangguang


jiwa.fakultas keperawatan universitas padjajaran.
(diakses melalui : http://ejournal.upi.edu/index.php/JPKI)

Anda mungkin juga menyukai