Anda di halaman 1dari 24

TUGAS FARMAKOLOGI II

OBAT HIPERKALSEMIA DAN


HIPOKALSEMIA

DISUSUN OLEH :
ADELIA FIRANDI (201310410311173)
IVANA RAMBU S. REWA (201310410311257)
(Kelompok 22)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
A. KALSIUM
Tubuh orang dewasa mengandung 1–2 kg kalsium, lebih dari 99% terdapat di
dalam tulang. Kalsium dalam tulang terikat dalam bentuk Kristal hidroksiapatit.
Selebihnya, terdapat di dalam sel dan cairan ekstraseluler. Kalsium ekstraseluler
terdapat dalam tiga bentuk, yaitu kalsium terikat protein, terutama albumin (50%),
bentuk bebas/terion (45%), dan bentuk kompleks terutama terikat fosfat, sitrat,
bikarbonat dan laktat (5%).
Ion kalsium berperan penting dalam fisiologi intraseluler maupun ekstraseluler.
Ion kalsium intraseluler merupakan regulator penting fungsi sel, antara lain proses
kontraksi otot, sekresi hormon, metabolisme glikogen dan pembelahan sel. Secara
fisiologik, ion kalsium ekstraseluler berperan sebagai kofaktor pada proses pembekuan
darah, misalnya untuk faktor VII, IX, X dan protrombin, memelihara mineralisasi
tulang, berperan pada stabilisasi membran dengan berikatan pada lapisan fosfolipid,
dan menjaga permeabilitas membran plasma terhadap ion natrium.
Metabolisme kalsium diatur tiga hormon utama yaitu hormon paratiroid (PTH),
kalsitonin dan hormon sterol (1,25 dihidroksikolekalsiferol/ vitamin D). Kadar kalsium
normal 4–5,6 mg/dL (1–1,4 mmol/L).

Penyimpanan kalsium
Kerangka tubuh mengandung 99% kalsium tubuh total dalam bentuk Kristal yang
menyerupai mineral hidroksiapit; namun ion-ion lain seperti Na+, K+, Mg2+, dan F- juga
terdapat dalam kisi-kisi Kristal. Kandungan kalsium dalam tulang dalam keadaan-
tunak menggambarkan hasil bersih resorpsi tulang dan pembentukan tulang, yang
merupakan dua aspek yang berpasangan dalam remodeling tulang. Selain itu, terdapat
depot kalsium tulang yang labil yang mudah bertukar dengan cairan intestinal. Laju
pertukarannya dipengaruhi oleh obat, hormone,vitamin, dan factor lain yang secara
langsung mengubah pergantian tulang atau factor yang mempengaruhi kadar kalsium
dalam cairan intestinal.
Homeostasis Kalsium
Kadar Ca2+ didalam serum diatur oleh 2 hormon penting yaitu PTH dan 1,25 (OH)2
vitamin D. Di dalam sel pengaturan homeostasis kalsium sangat kompleks, sekitar 90-99%
kalsium intrasel, berada didalam mitokondria dan mikrosom. Rendahnya kadar Ca2+ di
dalm sitosol diatur oleh 3 pompa yang terletak pada membran plasma, membran
mikrosomal , dan membran mitokondria yang sebelah dalam. Pada otot rangka dan otot
jantung, kalsium berperan pada proses eksitasi dan kontraksi jaringan tersebut. Pada otot
rangka, mikrosom berkembang sangat baik menjadi retikulum sarkoplasmik dan
merupakan gudang kalsium yang sangat penting didalam sel yang bersangkuatan.
Depolarisasi membran plasma akan diikuti dengan masuknya sedikit Ca2+ ekstraselular
kedalam sitosol dan hal ini akan mengakibatkan terlepasnya Ca2+ secara berlebihan dari
reticulum sarkoplasmik kedalam sitosol. Kemudian Ca2+ akan bereaksi dengan troponin
yang akan memngakibatkan interaksi aktin–miosin dan terjadilah kontraksi otot.
Sedangkan proses relaksasi otot akan didahului oleh reakumulasi Ca2+ oleh vesikel
reticulum secara cepat dari dalam sitosol, sehinggga kadar Ca2+ didalam sitosol akan
kembali normal.
Sel utama kelenjar paratiroid sangat sensitive dengan kadar Ca2+ di dalam serum.
Peran PTH pada reabsorbsi Ca didalam tubulus distal, resorpsi tulang dan peningkatan
absorbsi kalsium di usus melalaui peningkatan 1,25 dihidroksikolekalsiferol vitamin D,
sangat penting untuk menjaga kadar Ca++ didalam serum. Selain itu peningkatan PTH akan
menurunkan renal tubular phosphate threshold (TmP/GFR) sehingga fosfat yang diserap
dari usus dan dimobilisasi dari tulang akan diekskresi oleh ginjal.
B. HIPERKALSEMIA

Gbr. Kadar kalsium dalam darah tinggi

Hiperkalsemia dapat didefinisikan sebagai kalsium serum lebih besar dari 2 standar
deviasi di atas rata-rata normal di laboratorium rujukan. Kalsium dalam darah yang
biasa diangkut:

 sebagian terikat dengan protein plasma (sekitar 45%), terutama untuk albumin
 sebagian terikat anion kecil seperti fosfat dan sitrat (sekitar 10%)
 sebagian bebas atau terionisasi negara (sekitar 45%)

Hanya kalsium terionisasi aktif secara metabolik subjek, yaitu untuk mengangkut ke
dalam sel, tetapi sebagian besar laboratorium melaporkan konsentrasi kalsium serum
keseluruhan.

Hiperkalsemia sering didefinisikan sebagai total kalsium serum (terikat ditambah


terionisasi) lebih besar dari 10,6 mg / dl (2,65 mM) atau serum kalsium terionisasi
lebih besar dari 5,3 mg / dl (1,3 mM) tetapi nilai-nilainya mungkin berbeda antara tiap
laboratorium. Dehidrasi, atau hemokonsentrasi selama venipuncture, mungkin
meningkatkan jumlah serum albumin sedangkan kalsium terionisasi mungkin tetap
normal. Akibatnya, total kalsium serum palsu meningkat dapat dilaporkan. Sebaliknya
bila kadar albumin serum yang rendah, mungkin total kalsium serum palsu rendah.
Untuk memperbaiki abnormal serum albumin tinggi atau rendah, rumus berikut dapat
digunakan:

Koreksi Kalsium (mg/dL) =


diukur serum total kalsium (mg/dL) + [4.0- serum albumin (g/dL) X 0,8]
Koreksi Kalsium (mM) = diukur serum total Ca (mM) + [40 - serum albumin (g / L) X
0,02] Perubahan pH darah juga dapat mengubah konstanta kesetimbangan kompleks
albumin-kalsium: Asidosis mengurangi mengikat dan Meningkatkan alkalosis terikat.
Akibatnya ketika pergeseran besar dalam protein serum atau pH yang hadir itu adalah
yang paling baik untuk langsung mengukur tingkat kalsium terionisasi untuk
menentukan adanya hiperkalsemia.

Manifestasi klinis mungkin karena hiperkalsemia, atau mungkin karena gangguan


kausal.

Manifestasi Hypercalcemic akan bervariasi tergantung pada apakah hiperkalsemia


adalah onset akut dan berat (lebih besar dari 12 mg / dL atau 3 mM) atau apakah itu
kronis dan relatif ringan. Pasien juga dapat mentolerir kadar kalsium serum yang lebih
tinggi lebih mudah jika onset relatif bertahap, tetapi pada konsentrasi di atas 14 mg /
dL (3,5 mM) kebanyakan pasien menunjukan gejala. Dalam kedua kasus akut dan
kronis manifestasi utama mempengaruhi pencernaan, fungsi ginjal dan neuromuskuler.

Hiperkalsemia Akut

Semakin cepat dan semakin tigggi kenaikan kadar kalsium, maka semakin besar
kemungkinan seorang pasien mengalami sindrom otak akut, yang terdiri dari
confusion, mengantuk, dan koma (terkadang terdapat kelemahan otot dan gejala
psikosis). Pada hiperkalsemia yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan rasa haus dan
poliuria, disebabkan oleh diabetes nefrogenik akibat kalsium, dan gejala-gejala
gangguan abdomen seperti anoreksia, mual dan muntah, nyeri abdomen, dan
konstipasi. Hiperkalsemia kronis juga dapat menyebabkan batu ginjal dan penyakit
tulang.
Etiologi

Hal-hal penting yang harus diperhatikan adalah :

1. Apakah terdapat keganasan atau kemungkinan keganasan berdasarkan pemeriksaan


klinis atau pemeriksaan rutin?
2. Apakah kadar hormon paratiroid (PTH) tinggi atau rendah?
3. Kadar PTH yang normal (seharusnya tidak normal pada hiperkalsemia) atau
meningkat menunjukkan kemungkinan hiperparatiroidisme primer (yang
merupakan penyebab paling sering), hiperparatiroidisme tersier (kelenjar paratiroid
otonom pada gagal ginjal kronis yang berlangsung lama), terkadang juga
hipokalsiuria familial, atau hiperkalsemia akibat litium. Kadar PTH yang rendah
menunjukkan kelenjar paratiroid tidak memegang peranan dalam hiperkalsemia ini,
penyebab yang mungkin adalah keganasan, sarkoidosis, dan efek diuretik tiazid.
4. Adanya kelainan-kelainan biokimia atau kelainan pada pemeriksaan lain. Posfatase
alkali yang meningkat, dengan tes fungsi ginjal yang tidak normal, mengarah pada
kemungkinan adanya keganasan.
5. Riwayat diet lengkap dan juga riwayat penggunaan obat-obatan untuk menemukan
kemungkinan adanya kelebihan vitamin D atau antasid yang mengandung kalsium
(sindrom alkali-susu), tiazid, dan litium

Terdapat tiga dasar mekanisme patofisiologi yang berkontribusi terhadap kejadian


hiperkalsemia yaitu : peningkatan absorpsi kalsium dari traktus gastrointestinal,
penurunan ekskresi kalsium ginjal, dan peningkatan resorpsi kalsium tulang.

PATOFISIOLOGI

Fluks kalsium di tulang, usus dan ginjal memainkan peran utama dalam
mempertahankan homeostasis kalsium. Ketika cairan ekstrasel (ECF) kalsium
dinaikkan di atas batas normal, ion kalsium per se, dengan merangsang Calcium
Sensing Receptor (CaSR), dapat menghambat hormon paratiroid (PTH) rilis.
Penurunan PTH dan stimulasi CaSR akan memfasilitasi pengurangan reabsorpsi
kalsium ginjal, dan penurunan PTH akan menghasilkan pengurangan resorpsi tulang
dan berkurangnya pelepasan kalsium dari tulang. Penurunan PTH dan hiperkalsemia
juga akan mengurangi produksi ginjal dari bentuk aktif dari vitamin D, 1,25-
dihidroksivitamin D [1,25 (OH) 2 D], dan mengurangi penyerapan kalsium usus. Efek
bersih dari berkurangnya reabsorpsi kalsium ginjal, penyerapan kalsium usus, dan
resorpsi kalsium tulang akan mengurangi kalsium ECF yang tinggi menjadi normal.
Oleh karena itu penurunan kadar PTH dan penurunan kadar 1,25(OH)2D seharusnya
dapat mengurangi hiperkalsemia kecuali bila PTH atau 1,25(OH)2D adalah penyebab
hiperkalsemia tersebut. Rangkaian peristiwa sebaliknya terjadi bila kalsium ECF
berkurang di bawah kisaran normal.

Genetik relative PTH, PTH-related peptide (PTHrP), juga dapat menyerap tulang,
ketika dibebaskan dari tumor tertentu. Kedua PTH dan PTHrP bertindak pada sel
osteoblastik untuk meningkatkan produksi sitokin, terutama aktivator reseptor faktor
nuklear kappa B ligan (RANKL) yang meningkatkan produksi dan aktivasi osteoklas
berinti yang kemudian menyerap mineral tulang.

PENYEBAB HIPERKALSEMIA :

Hiperparatiroidisme primer

Hiperparatiroidisme primer merupakan penyebab tersering hiperkalsemia. Didapatkan


pada semua umur, lebih sering pada usia > 50 tahun. Kejadiannya mencapai 4/100.000
populasi per tahun dan wanita tiga kali lebih sering. Penyakit ini akibat peningkatan
sekresi hormon paratiroid; tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid
(85%) biasanya jinak dan soliter. Penyebab yang jarang yaitu hiperplasia keempat
kelenjar paratiroid (15%) dan yang sangat jarang adalah karsinoma kelenjar paratiroid
(<1%).

Patofisiologi yang mendasari yaitu sekresi hormone paratiroid berlebihan yang


berperan meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas, meningkatkan absorpsi kalsium
intestinal, dan meningkatkan reabsorpsi kalsium tubular ginjal. Sering pula dijumpai
penurunan kadar fosfat serum karena PTH menghambat reabsorpsi fosfat pada tubulus
proksimal. Umumnya hiperparatiroidisme primer asimptomatik. Peningkatan produksi
hormon paratiroid menimbulkan kelainan tulang yang disebut osteitis fibrosa cystica,
ditandai oleh resorpsi subperiosteal falang distal, kista tulang, dan tumor coklat di
tulang-tulang panjang. Batu ginjal didapatkan pada 15-20% penderita
hiperparatiroidisme, dan sebaliknya sekitar 5% penderita dengan batu ginjal
mengalami hiperparatiroidisme. Batu ginjal paling sering terbentuk dari kalsium
oksalat, dan merupakan faktor utama patogenesis hiperkalsiuria. Krisis hiperkalsemia
merupakan kasus jarang, ditandai dengan kadar kalsium >15mg/dl

dengan gejala hiperkalsemia berat. Mekanisme krisis tersebut belum jelas, tetapi
dehidrasi, penyakit penyerta, dan mungkin infark dari suatu adenoma paratiroid pada
beberapa penderita berperan.

Hiperkalsemia pada keganasan

Ini merupakan penyebab hiperkalsemia kedua yang paling sering

Ada 2 mekanisme utama :

1. Deposit tumor pada tulang : sebagian besar hiperkalsemia pada keganasan (>95%)
berkaitan dengan metastasis neoplasma yang luas. Neoplasma yang paling sering
adalah paru, payudara dan mieloma. Pasien biasanya menunjukkan gejala-gejala yang
jelas, baik akibat kanker, maupun karena kadar kalsiumnya tinggi dan telah meningkat
dengan cepat akibat hiperkalsemia.
2. Hiperkalsemia humoral pada keganasan (HHM) berhubungan dengan peptida terkait
PTH, yaitu sebuah peptida yang terdiri dari 144 asam amino, yang memiliki kemiripan
struktur dan aktivitas dengan PTH. Neoplasma yang mengakibatkan ini kemungkinan
besar adalah karsinoma selskuamosa pada paru, terkadang juga keganasan urogenital
dan ginekologis. Walaupun HHM jarang ditemukan, kepentingan klinisnya adalah
bahwa tidak semua pasien dengan keganasan dan hiperkalsemia menderita penyakit
metastatik. Pernyataan ini penting untuk menentukan apakah keganasan primernya
perlu direseksi atau tidak.

Sindrom hiperparatiroidisme familial

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa sekitar 10% hiperparatiroidisme primer


adalah herediter. Bentuk tersering adalah Neoplasia Endokrin Multipel (MEN) tipe I
(Sindrom Wermer), 95%. Bentuk lain yaitu MEN tipe IIA (Sindrom Sipple) dan
Sindrom Rahang hiperparatiroidisme. MEN-I disebabkan oleh mutasi autosom
dominan gen menin pada kromosom. Ditandai oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior
dan pankreas. MEN-IIA bersifat autosom dominan dengan mutasi gen pada RET
proto-oncogene. Ditandai dengan perkembangan karsinoma tiroid medulare dan
feokromositoma.

Hiperparatiroidisme tersier

Terjadi akibat perlangsungan hiperparatiroidisme sekunder, seperti penderita penyakit


ginjal tahap akhir, defisiensi vitamin D, dan resistensi vitamin D. Kelenjar paratiroid
akan mengalami hiperplasia dan mengakibatkan sekresi berlebihan PTH secara otonom
sehingga mengakibatkan hiperkalsemia.

Intoksikasi vitamin D

Konsumsi kronik vitamin D 50-100 kali kebutuhan normal vitamin D (>50.000–


100.000U/hari), mengakibatkan hiperkalsemia bermakna. Asupan vitamin D maksimal
yang direkomendasikan yaitu 2000 IU/hari. Kelebihan Vitamin D meningkatkan
absorpsi kalsium intestinal dan jika berat meningkatkan resorpsi tulang.

Pada penyerapan vitamin D (yang diubah dari 25-(OH)vitamin D di hati) atau 25-
(OH)vitamin D itu sendiri, kalsitriol terlepas dari ikatan dengan protein, meningkatkan
kadar kalsitriol bebas. Peningkatan ini menyebabkan hiperkalsemia karena peningkatan
absorpsi kalsium intestinal dan peningkatan resorpsi tulang. Mekanisme ini terjadi pula
pada pemakaian vitamin D analog topikal, kalsipotriol, serta pemakaian pada beberapa
kelainan kulit.

Penyakit granulomatous

Semua penyakit granulomatous dapat menyebabkan hiperkalsemia, namun demikian


sarkoidosis paling sering dihubungkan dengan hiperkalsemia.
Faktor risiko hiperkalsemia pada sarkoidosis meliputi insufisiensi ginjal, peningkatan
asupan vitamin D, dan peningkatan paparan matahari. Peningkatan absorpsi di saluran
cerna karena tingginya kadar kalsitriol. Dilaporkan juga produksi Parathyroid
Hormonerelated Protein (PTHrP) oleh granuloma pada penderita sarkoidosis. Bentuk
granuloma dengan hiperkalsemia dihubungkan dengan peningkatan kadar 1,25-
dihidroksivitamin D. Aktivasi makrofag pada granuloma menunjukkan hidroksilasi
alfa-1 yang meningkatkan perubahan 25(OH) vitamin D menjadi 1,25-(OH)2 vitamin
D.

Malignansi hiperkalsemia humoral

Hiperkalsemia sering didapatkan pada keganasan. Malignansi hiperkalsemia humoral


adalah suatu sindrom klinik dengan peningkatan kadar kalsium akibat sekresi faktor
kalsemik oleh sel kanker. Istilah malignansi hiperkalsemia humoral saat ini dibatasi
pada hiperkalsemia akibat peningkatan produksi PTHrP. Penderitanya diperkirakan
sekitar 80% dari semua penderita hiperkalsemia pada keganasan. Parathyroid
Hormone-related Protein merupakan penyebab hiperkalsemia pada keganasan. Protein
ini memiliki 8 dari 13 asam amino pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat
pula mengaktifkan reseptor PTH, mengakibatkan beberapa aksi biologiknya sama,
seperti menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan peningkatan resorpsi tulang
oleh osteoklas. Perbedaannya yaitu PTH meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus
ginjal, sedangkan PTHrP tidak, sehingga terjadi hiperkalsiuri. PTHrP tidak
meningkatkan produksi 1,25(OH)2D dan absorpsi kalsium di ginjal. PTH
meningkatkan aktifitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP hanya
meningkatkan aktifitas osteoklas, sehingga resorpsi tulang tidak diimbangi oleh
formasi yang adekuat.

Malignansi hiperkalsemia humoral paling sering pada karsinoma sel skuamosa (paru-
paru, esofagus, serviks, kepala dan leher), kanker ginjal, kandung kemih dan ovarium,
yang secara spesifik menghasilkan PTHrP.

Destruksi tulang

Apabila hiperkalsemia disertai destruksi tulang, maka kemungkinan dapat terjadi


produksi berbagai sitokin yang meningkatkan kerja osteoklas misalnya pada multipel
mieloma, peningkatan produksi 1,25(OH)2D misalnya pada beberapa tipe limfoma,
dan metastasis sel tumor ke tulang pada tumor-tumor padat. Keganasan yang sering
bermetastasis ke tulang yaitu keganasan payudara, prostat dan paru. Metastasis tulang
paling sering adalah destruksi jaringan tulang (tipe osteolitik), berakibat fraktur
patologik, nyeri tulang (80%) dan hiperkalsemia(20-40%).

Diuretik tiazid dan Lithium

Diuretik tiazid menurunkan ekskresi kalsium ginjal sekitar 50-150 mg/hr.


Hiperkalsemia dapat terjadi pada penderita dengan peningkatan resorpsi tulang seperti
HPT ringan, jarang jika metabolisme kalsium normal. Lithium meningkatkan supresi
PTH oleh kalsium. Terapi lithium umumnya menyebabkan hiperkalsemia ringan yang
umumnya membaik apabila terapi lithium dihentikan, akan tetapi tidak selamanya.
Beberapa obat dan zat kimia lain dapat menyebabkan hiperkalsemia, namun jarang,
misalnya teofilin, biasanya pada penderita asma dengan kadar teofilin di atas kadar
terapi normal. Umumnya membaik jika dosis diturunkan.

Intoksikasi vitamin A

Vitamin A dosis besar (50000 - 100000 IU/hr) kadang-kadang menyebabkan


hiperkalsemia. Kadar kalsium meningkat 3 - 3,5 mmol/L (12 – 14 mg/dL) akibat
peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Didapatkan pada pemberian derivat
retinoic acid untuk terapi akne, neuroblastoma dan keganasan lainnya.

Sindrom susu-alkali

Sindrom ini meliputi hiperkalsemia, gagal ginjal dan asidosis metabolik. Disebabkan
oleh ingesti kalsium bersama natrium secara berlebihan, kalsium karbonat berlebihan
dalam preparat antasid dan pemakaiannya untuk pencegahan osteoporosis.

Tirotoksikosis

Hiperkalsemia ringan terjadi pada sebagian penderita tirotoksikosis. Kadar PTH dan
1,25-(OH)2 vitamin D rendah. Peningkatan resorpsi tulang disebabkan oleh tiroksin
dan triiodotironin, yang responsibel untuk hiperkalsemia.

Abnormalitas kelenjar adrenal

Pada insufisiensi adrenal terjadi penurunan kalsium ginjal dan peningkatan masukan
kalsium ke dalam sirkulasi. Hipovolemia akibat insufisiensi adrenal, mengakibatkan
penurunan laju filtrasi glomerulus, sehingga terjadi penurunan filtrasi kalsium oleh
glomerulus dan peningkatan reabsorpsi kalsium dan natrium di tubulus proksimal.
Meskipun demikian hiperkalsemia tidak sering didapatkan pada insufisiensi adrenal.
Kalsium dapat pula dilepaskan dari tulang pada penderita insufisiensi adrenal.

Hiperkalsemia Hipokalsiurik Familial

Merupakan kelainan autosomal dominan, disebabkan oleh mutasi heterozigot


calsiumsensing receptor, mengakibatkan penghambatan feedback dari sekresi hormon
paratiroid; sehingga dibutuhkan kadar kalsium lebih tinggi untuk menekan sekresi
PTH. Penderita heterozigot ditandai dengan hiperkalsemia, hipokalsiuria, dan
hipermagnesemia sedang. Hormon paratiroid meningkat sedikit atau normal.

Tes genetik tidak rutin dan biasanya tidak perlu. Ekskresi kalsium urin yang rendah
(<100 mg/dL) pada hiperkalsemia mengindikasikan peningkatan absorpsi kalsium
tubulus ginjal dan rendahnya klirens kalsium. Rasio klirens kalsium : klirens kreatinin
dapat digunakan untuk diagnosis hiperkalsemia hipokalsiurik familial, menggunakan
formula :
ClCa/ClCr = (Cau x Crs)/(Cru x Cas)
Cau = konsentrasi kalsium urin
Cas = konsentrasi kalsium serum
CrU = konsentrasi kreatinin urin
Crs = konsentrasi kreatinin serum
Rasio ≤ 0,01 khas pada pasien hiperkalsemia hiperkalsiurik familial.

Imobilisasi

Imobilisasi menyebabkan hiperkalsemia pada penderita yang mengalami peningkatan


resorpsi tulang; termasuk anak dan remaja, penderita Paget’s disease tulang, HPT
ringan dan sekunder, dan keganasan dengan hiperkalsemia ringan. Pasien-pasien
tersebut juga berisiko osteopenia.

Gagal ginjal

Hiperkalsemia akibat gagal ginjal akut terjadi terutama pada penderita dengan
rhabdomiolisis. Awalnya, hiperfosfatemia menyebabkan deposisi kalsium pada
jaringan lunak, mengakibatkan hipokalsemia dan HPT sekunder. Selanjutnya ginjal
mulai melindungi dengan reentri/ masuknya kembali garam kalsium ke dalam sirkulasi
yang dihubungkan dengan kadar PTH tinggi sehingga menyebabkan transien
hiperkalsemia.

Pada penderita gagal ginjal kronik khususnya yang menjalani hemodialisis, sering
dijumpai hiperkalsemia disebabkan oleh kelebihan vitamin D, imobilisasi, penggunaan
antacid kalsium, sekresi PTH otonom, atau kombinasi di antaranya.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala hiperkalsemia tidak spesifik, manifestasi klinis bervariasi tergantung beratnya


serta saat perubahan kalsium serum. Gejala-gejala lebih berat didapatkan pada
perubahan akut dibandingkan peningkatan kadar kalsium yang kronik. Penderita
dengan kadar kalsium antar 10,5 dan 12 mg/dL dapat asimptomatik; apabila melebihi
kadar tersebut, manifestasi multiorgan dapat terjadi dan mengancam jiwa.
Hiperkalsemia berperan dalam hiperpolarisasi membran sel. Manifestasi klinis dapat
bersifat neurologik, kardiovaskuler, gastro-intestinal, ginjal dan tulang.

Manifestasi neurologik

Ion kalsium mempunyai peran utama pada neurotransmiter. Peningkatan kadar kalsium
menurunkan eksitabilitas neuromuskular, yang berperan pada hipotonisitas otot lurik.
Gejala neuromuskuler termasuk lemas dan menurunnya refleks tendon. Regangan otot
terganggu dan kemampuan otot pernapasan menurun. Gangguan sistem saraf pusat
dapat bermanifestasi sebagai delirium, disfungsi kognitif, disorientasi, inkoherensia,
dan gejala psikotik seperti halusinasi dan delusi. Obtundasi karena progresivitas
peningkatan konsentrasi kalsium serum memicu stupor atau koma.

Manifestasi kardiovaskuler

Hiperkalsemia dihubungkan dengan peningkatan iritabilitas kontraktilitas miokard.


Perubahan elektrokardiografi ditandai dengankonduksi yang lambat: P-R memanjang,
kompleks QRS melebar, interval Q-T memendek, dan segmen S-T memendek atau
tidak ada. Apabila kadar kalsium mencapai 16 mg/dL (>8,0 mEq/L atau 3,99 mmol/L),
T wave melebar, peningkatan sekunder interval Q-T. Peningkatan konsentrasi kalsium,
meningkatkan bradiaritmia dan bundle branch block. AV block komplit atau inkomplit
dapat terjadi jika konsentrasi kalsium serum sekitar 18 mg/dL (9,0 mEq/L atau 4,49
mmol/L) dan memicu complete heart block, asistole, dan cardiac arrest.
Hiperkalsemia mengakibatkan peningkatan sensitivitas efek farmakologik dari
digitalis, seperti digoksin.

Manifestasi gastrointestinal

Gejala-gejala gastrointestinal dihubungkan dengan aksi depresi sistem saraf otonom


danakibat hipotoni otot. Peningkatan sekresi asam lambung sering terjadi pada
hiperkalsemia dan meningkatkan manifestasi gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan
muntah meningkat dengan peningkatan volume residual lambung. Konstipasi dipicu
oleh dehidrasi yang sering bersama-sama hiperkalsemia. Nyeri perut mungkin memicu
obstipasi.

Manifestasi ginjal

Hiperkalsemia menyebabkan defek tubular ginjal reversibel yang mengakibatkan


hilangnya kemampuan pemekatan urin dan poliuria. Penurunan asupan cairan dan
poliuria berperan pada gejala yang dihubungkan dengan dehidrasi. Penurunan
reabsorpsi pada tubulus proksimal terhadap natrium, magnesium, dan kalium terjadi
akibat deplesi garam dan air yang disebabkan oleh dehidrasi seluler dan hipotensi.
Insufisiensi renal mungkin terjadi akibat penurunan filtrasi glomeruler, suatu
komplikasi yang paling sering pada mieloma. Meskipun nefrolitiasis dan
nefrokalsinosis biasanya tidak dihubungkan dengan hiperkalsemia pada keganasan,
kristal kalsium fosfat dapat memicu menipisnya tubulus ginjal menjadi bentuk batu
ginjal akibat hiperkalsiuria berkepanjangan.

Manifestasi tulang

Hiperkalsemia pada keganasan merupakan akibat metastasis osteolitik atau


humerallymediated bone resorption dengan fraktur sekunder, deformitas tulang dan
nyeri. Osteoporosis tulang kortikal, seperti pergelangan tangan, terutama dihubungkan
dengan hiperparatiroidisme primer. Peningkatan PTH dapat pula mengakibatkan
resorpsi subperiosteal, osteitis fibrosa cystica dengan kista tulang, dan brown tumors
pada tulang-tulang panjang.
DIAGNOSIS

Diagnosis hiperkalsemia paling sering didapatkan secara kebetulan pada pemeriksaan


darah penderita asimptomatik. Kadar kalsium serum normal adalah 8 - 10 mg/dL (2 -
2,5 mmol/L) dan kadar ion kalsium normal yaitu 4 - 5,6 mg/ dL (1 - 1,4mmol/L).
Meskipun pemeriksaan kadar ion kalsium tidak dilakukan rutin, kadarnya dapat
diperkirakan berdasarkan kadar kalsium serum; biasanya akurat kecuali apabila
terdapat hipoalbuminemia. Hiperkalsemia ringan adalah jika kadar kalsium serum total
10,5 - 12 mg/dL (2,63 - 3 mmol/L) atau kadar ion kalsium 5,7–8 mg/dL(1,43–2
mmol/L), umumnya asimptomatik. Pada hiperkalsemia sedang, manifestasi multiorgan
dapat terjadi. Kadar kalsium >14 mg/dL (3,5 mmol/L) dapat mengancam jiwa.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi jumlah kalsium terikat protein.
Hipoalbuminemia dapat menurunkan dan sebaliknya hiperalbuminemia dapat
meningkatkan jumlah kalsium serum terikat albumin (termasuk kadar kalsium serum
total) tanpa mempengaruhi kadar kalsium serum terion. Konsentrasi kalsium biasanya
berubah 0,8 mg/dL pada setiap perubahan 1,0 g/dL konsentrasi plasma albumin.
Koreksi kadar kalsium serum total terhadap perubahan albumin serum : Total kalsium
+ 0,8 x (4,5 – kadar albumin). Keasaman tubuh juga mempengaruhi ikatan protein.
Asidosis mengurangi dan alkalosis meningkatkan ikatan protein, dengan demikian
mengubah kadar kalsium serum terion. Setiap peningkatan pH 0,1 unit, kadar kalsium
serum terion menurun 0,1 mEq/L (= 0,2 mg/dL), dan sebaliknya.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tergantung kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejala. Jika kadar
kalsium <12 mg/dL, tanpa gejala, biasanya tidak perlu tindakan terapeutik. Jika kadar
kalsium 12-14 mg/dL disertai gejala hiperkalsemia, diperlukan terapi agresif, tetapi
jika tidak disertai gejala, cukup diterapi dengan hidrasi adekuat 3000 – 6000 mL cairan
NaCl 0,9% pada 24 jam pertama. Perbaikan volume cairan ekstraseluler ke normal
akan meningkatkan ekskresi kalsium urin sebesar 100-300mg/hari. Perbaikan gejala
klinis, seperti status mental dan mual muntah tampak < 24 jam pertama. Namun
rehidrasi merupakan terapi intervensi sementara dan jarang mencapai kadar normal
jika digunakan sendiri. Jika terapi sitoreduktif definitive (operasi, radiasi, atau
kemoterapi) terhadap penyakit dasar tidak dilakukan, terapi hipokalsemik seharusnya
digunakan dalam jangka lama untuk mencapai control.Setelah hidrasi tercapai, dengan
kadar kalsium masih tinggi, dapat diberi loop diuretic (furosemide 20-40 mg/IV/2
jam). Loop diuretic akan bekerja menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa
Henle, meningkatkan ekskresi kalsium urin, juga natrium, kalium, klorida, magnesium,
dan air. Penting memantau status hemodinamik secara intensif untuk mencegah
kelebihan cairan dan dekompensasi jantung, dengan mengukur volume urin secara
serial dan pemeriksaan elektrolit untuk mencegah kondisi yang dapat mengancam jiwa,
seperti hipofosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia.
TERAPI HIPERKALSEMIA

1. BISFOSFONAT
Bisfosfonat merupakan terapi farmakologi paling efektif mengontrol
hiperkalsemia; merupakan analog pirofosfat anorganik yang menghambat resorpsi
tulang. Onsetnya lambat (2-3 hari) dengan durasi lama (beberapa minggu).
Etidronat 7,5 mg/kg di dalam 250-500 mL larutan garam, diberikan dalam infus
selama beberapa jam setiap hari selama 3 hari, telah terbukti cukup berguna dalam
mengobati hiperkalsemia yang berat. Yang lebih baru, pamidronat, 60-90 mg di
dalam 500-750 mL larutan garam diberi dalam infuse selama 4-24 jam, telah
disepakati untuk indikasi yang sama. Bentuk pengobatan seperti ini benar-benar
bebas dari toksisitas. Efeknya biasanya bertahan sampai berminggu-minggu, tetapi
pengobatan dapat diulangi setelah interval 7 hari bila perlu.
Asam zolendronat acid merupakan bisfosfonat paling umum saat ini, karena dapat
diberikan intravena sehingga mencegah kerusakan esophagus pada dosis oral dan
mungkin efeknya lebih lama dibandingkan pamidronat. Dosis harus disesuaikan
pada penderita disfungsi ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG)nya.
Jika LFG > 60 mL/mnt diberikan 4 mg;
50 - 60 mL/mnt : 3,5 mg;
40 - 45 mL/mnt : 3,3 mg,
30 - 39 mL/mnt : 3 mg,
dan jika <30 mL/mnt belum ada data.

Dianjurkan menghentikan obat apabila terjadi peningkatan konsentrasi kreatinin


serum ≥ 0,5 mg/ dL di atas nilai normal atau > 1 mg/dL pada penderita dengan
kreatinin serum ≥ 1,4 mg/dL. Bisfosfonat dihubungkan dengan toksisitas yang
bermakna, meliputi sklerosis glomerulus fokal dengan pamidronat dan acute kidney
injury dengan asam zolendronat. Toksisitas paling banyak pada penderita chronic
kidney diseases sebelumnya atau melebihi dosis yang dianjurkan. Pemberian
bisfosfonat jangka lama pada penderita keganasan khususnya multipel myeloma
dan kanker payudara, dihubungkan dengan osteosklerosis rahang.

2. KALSITONIN
Merupakan hormon peptida yang disekresikan oleh sel-sel parafolikuler C tiroid
dan paratiroid. Kalsitonin menghambat reabsorpsi tulang osteoklastik dan
meningkatkan ekskresi kalsium renal. Derivat kalsitonin dari salmon jauh lebih
poten dan mempunyai durasi aktivitas lebih lama daripada hormon manusia. Dosis
awal 4 IU/kgBB/ 12 jam subkutan atau intramuskuler; dapat ditingkatkan setelah
satu atau dua hari sampai 8 IU/kgBB/12 jam; dapat diberikan 8 IU/kgBB/6 jam jika
respon dengan dosis rendah tidak memuaskan. Biasanya ditoleransi baik, namun
dapat memberikan efek samping berupa nausea, nyeri perut dan cutaneous
flushing. Kombinasi dengan bisfosfonat pada penderita yang berespon dengan
kalsitonin dapat menghasilkan onset serta durasi yang cepat.

3. GALIUM NITRAT
Gallium nitrat telah disetujui oleh FDA untuk penatalaksanaan hiperkalsemia yang
ganas dan dalam penelitian untuk pengobatan penyakit Paget yang lanjut. Obat ini
bekerja dengan cara menghambat resorpsi tulang oleh penurunan sekresi asam
osteoklas dan juga mengubah kristal hidroksiapatit tulang. Pada dosis 200
mg/m2luas permukaan tubuh diberikn per hari dalam infuse intravena secara
kontinu dalam dekstrosa 5% untuk 5 hari, gallium nitrat terbukti lebih baik dari
kalsitonin dalam menurunkan kalsium serum pada pasien kanker. Karena
berpotensi nefrotoksisitas, maka pasien harus banyak mendapat cairan dan
memiliki ginjal yang berfungsi baik sebelum infuse dimulai.
Lebih superior dari etidronat dalam mencapai keadaan normokalsemia serta
lamanya normokalsemia. Tidak diberikan pada penderita dengan kreatinin serum >
2,5 mg/dL.

4. PLIKAMISIN (Mitramisin)
Merupakan inhibitor sintesis RNA osteoklas, sehingga dapat menghambat resorpsi
tulang.
Karena sifat toksiknya, plikamisin (mitramisin) bukanlah obat pilihan pertama
untuk pengobatan hiperkalsemia. Namun, jika pengobatan bentuk lain gagal, maka
diberikan 25-50 µg/kg secara intravena, biasanya menurunkan kalsium serum
secara nyata dalam 24-48 jam. Efek hipokalsemia mulai terlihat setelah 12 jam
pemberian dan menetap selama 3 – 7 hari atau lebih, dengan dosis tunggal 25 – 30
μg/kgBB/ infus, selama ≥ 30 menit. Dosis ini dapat diulangi bila perlu. Efek toksik
yang paling berbahaya ialah trombositopenia tiba-tiba yang disusul dengan
perdarahan. Keracunan hati dan ginjal juga dapat terjadi. Hipokalsemia, mual, dan
muntah dapat membatasi terapi. Penggunaan obat ini harus disertai dengan
pemantauan yang cermat jumlah trombosit, fungsi hati dan ginjal, serta kadar
kalsium dalam serum.

5. FOSFAT
Permberian fosfat intravena mungkin cara yang tercepat dan paling meyakinkan
untuk menurunkan kalsium serum, tetapi merupakan prosedur yang berbahaya bila
tidak dilakukan dengan benar. Fosfat intravena hanya diberikan bila metode
pengobatan lain (etidronat, kalsitonin, dieresis garam dengan furosemid, dan
plikamisin) telah gagal untuk mengontrol gejala-gejala hiperkalsemia. Fosfat harus
diberikan secara lambat (50 mmol atau 1,5 gram unsure fosfor selama 6-8 jam) dan
pasien dialihkan ke fosfat per oral (1-2 gram/hari unsure fosfor, sebagai salah satu
garam yang dinyatakan di bawah) segera setelah gejala hiperkalsemia hilang.
Risiko terapi fosfat intravena termasuk hipokalsemia yang tiba-tiba, kalsifikasi
ektopik, gagal ginjal akut, dan hipotensi. Fosfat per oral juga dapat menyebabkan
kalsifikasi ektopik dan gagal ginjal bila kalsim serum dan kadar fosfat tidak
dipantau dengan baik, tetapi risikonya kurang dan waktu untuk terjadinya lebih
lama. Fosfat tersedia dalam bentuk oral dan intravena sebagai garam natrium atau
kalium. Jumlah yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 gram unsure fosfor adalah
sebagai berikut:

Intravena :
In-Phos: 40 ml
Hyper-Phos-K : 15 ml
Oral :
Fleet Phospho-Soda : 6,2 ml
Neutral-Phos : 300 ml

6. GLUKOKORTIKOID
Glukokortikoid tidak mempunyai peranan yang jelas dalam pengobatan yang akut
untuk hipekalsemia. Namun, hiperkalsemia kronis karena sarkoidosis, intoksikasi
vitamin D, dan kanker-kanker tertentu mungkin memberi reaksi beberapa hari
dengan terapi glukokortikoid. Prednisone dengan dosis 30-60 mg per oral/hari
biasanay digunakan, walaupun dosis ekuivalen dari glukokortikoid lain juga
efektif. Namun, dasar pemikiran penggunaan glukokortiokoid dalam penyakit ini
berbeda. Hiperkalsemia karena sarkoidosis terjadi secara sekunder akibat
peningkatan produksi 1,25(OH)2D, mungkin oleh jaringan sarkoid sendiri.
Pengobatan glukokortikoid berlangsung pada penurunan jaringan sarkoid yang
menyebabkan perbaikan kadar kalsium dan 1,25(OH)2D kembali ke normal.
Pengobatan hipervitaminosis D dengan glukokortikoid mungkin tidak mengubah
metabolisme vitamin secara bermakna tetapi diduga mengurangi transport kalsium
intestinal yang diperantai oleh vitamin D. namun, suatu kerja glukokortikoid untuk
mengurangi resorpi tulang yang diperantai vitamin D tidak dapat diabaikan. Efek
glukokortikoid pada hiperkalsemia karena kanker diduga dua kali lipat. Keganasan
bereaksi terbaik terhadap glukokortikoid (yaitu, multipel myeloma dan penyakit
limfoproliferatif yang berkaitan) sensitive terhadap kerja litik dari glukokortikoid,
jadi bagian dari efek ini mungkin berhubungan untuk menurunkan massa dan
aktivitas tumor. Glukokortikoid juga telah terbukti untuk menghambat kemampuan
factor pengakitif osteoklas, suatu zat humoral atau zat yang disebarkan oleh
multipel myeloma dan kanker-kanker sejenis yang merangsang resorpsi osteoklas
tulang. Penyebab lain hiperkalsemia—terutama hiperparatiroidisme primer—tidak
bereaksi dengan terapi glukokortikoid.
Perbedaan respons berbagai bentuk hiperkalsemia terhadap glukokortikoid
membentuk dasar dari glucocorticoid suppression test, di mana respons kalsium
serum terhadap pemberian prednisone 60mg/hari per oral selama 10 hari,
membantu untuk membedakan hiperkalsemia karena hiperparatiroidisme primer
dari penyebab-penyebab lain seperti sarkoidosis, keracunan vitamin D, dan
beberapa kanker tertentu. Tes ini dapat menyesatkan dan sebaiknya tidak
digunakan seagai pengganti tes yang lebih spesifik untuk hiperparatiroidisme
primer seperti penentuan immunoreactive PTH serum.
C. HIPOKALSEMIA

Hipokalsemia akut menyebabkan rasa kesemutan di seputar mulut (sirkumoral), tetani,


erutama pada otot yang dipersarafi oleh serabut saraf oanjang, dan kejang-kejang

PATOFISIOLOGI

Kalsium yang terionisasi adalah fraksi plasma yang diperlukan untuk proses
fisiologis yang normal. Dalam sistem neuromuscular, kalsium yang terionisasi, digunakan
untuk konduksi saraf, kontaksi otot, dan relaksasi saraf. Kalsium juga penting untuk proses
mineralisasi tulang dan merupakan kofaktor penting untuk sekresi hormon dalam endokrin.
Pada sel, kalsium merupakan regulator penting untuk transport ion dan integritas
membran.
Onset kalsium diperkirakan 10-20 mEg/hari. Sekitar 500 mg kalsium dikeluarkan
dari tulang setiap hari dan digantikan dengan jumlah yang sama. Normalnya, jumlah
kalsium yang diabsorbsi usus sama dengan yang dieksresi urin. Meskipun kadar kalsium
ada dalam jumlah yang besar, kadar kalsium yang terionisasi dapat stabil karena dapat
dikontrol oleh Hormon Paratiroid (PTH), Vitamin D, dan kalsitonin. Semua senyawa ini
bertindak terutama pada tulang, ginjal, dan GI track. Kadar kalsium juga dipengaruhi oleh
magnesium dan fosfor.
PTH merangsang reabsorbsi tulang osteoklastik dan reabsorbsi kalsium pada
tubulus distal juga memediasi 1,25-dihydroxyvitamin D pada penyerapan kalsium di usus.
Vitamin D merangsang penyerapan kalsium di usus, mengatur pelepasan PTH oleh sel-sel
di kepala, dan membatasi reabsorbsi rangsangan PTH di tulang. Kalsitonin menurunkan
kalsium di 3 tempat yaitu tulang, ginjal, dan GI track.
Kelenjar paratiroid sensitif terhadap perubahan serum kalsium yang terionisasi.
Perubahan ini dikenali oleh calcium sensing reseptor(CaSR), reseptor 7-transmembran
yang terikat oleh G-protein. Kalsium yang terikat dengan CaSR akan menginduksi aktivasi
fosfolipase C dan menghambat sekresi PTH. Di sisi lain, penurunan kalsium dapat
merangsang sel didalam kelenjar paratiroid untuk mengeluarkan PTH.
CaSR sangat penting peranannya dalam sekresi PTH. Tidak berfungsinya CaSR
mengarah ke penyakit terkait Hyperparatiroidisme seperti hipokalsiurik, dan
hiperkalsemia. Pada gagal ginjal, agonis CaSR menekan perkembangan
hiperparatiroidisme dan pertumbuhan kelenjar paratiroid.
Homeostasis dipertahankan oleh gradien ekstraseluler ke gradien intraseluler, yang
sebagian besar disebabkan oleh banyaknya fosfat di intraseluler. Kalsium di intraseluler
mengatur proses siklik adenosine monofosfat (cAMP). Kalsium di ekstraseluler
dipertahankan sekitar 8,7-10,4 mg/dL. Adanya variasi tergantung pada pH serum, protein,
dan anion, serta pengaturan dari hormon yang terkait.
Seseorang yang mengalami penurununan serum kalsium, tidak selalu dikatakan
Hipokalsemia, karena, penurunan serum kalsium dapat disebabkan oleh gangguan hati
sindrom nefrotik, atau malnutrisi.
Hipokalsemia menyebabkan iritabilitas pada neuromuskular dan tetani. Alkalemia
(Ph darah diatas normal) memicu tetani karena terjadi penurunan kalsium yang terionisasi,
sedangkan asidemia adalah pelindung. Patofisiologi ini penting bagi pasien dengan gagal
ginjal disertai hipokalsemia, karena koreksi yang cepat terkait perkembangan alkalemia
dan asidemia.

ETIOLOGI
Kehilangan kalsium dan viamin D secara bersamaan akan menimbulan
hipokalsemia dengan cepat. Kedua peristiwa ini teramati pada berbagai keadaan
malabsorbsi dan juga terjadi akibat makanan yang tidak memadai. Jika terjadi akibat
malabsorpsi, hipokalsemia disertai rendahnya konsentrasi fosfat , protein plasma total, dan
magnesium. Pada defisiensi Mg2+ , hipokalsemia menjadi lebih mencolok akibat
berkurangnya sekresi dan kerja PTH. Hipokalsemia menstimulasi pelepasan PTH, yang
akan meningkatkan pergantian tulang, sehingga penghantaran kalsium dari kerangka
tulang ke cairan ekstra sel meningkat. Pada bayi yang mengalami malabsorpsi atau asupan
Ca2+ yang tidak memadai, konsentrasi kalsium biasanya ditekan, terjadi hipofosfatemia,
dan menyebabkan penyakit tulang rakitis.

Hipoparatiroidisme paling sering terjadi akibat bedah tiroid atau bedah leher, tetapi
dapat juga terjadi akibat kelaianan genetic atau gangguan autoimun. Pada
hipoparatiroidisme, hipokalsemia disertai dengan hiperfosfatemia, yang menunjukan
penurunan kerja PTH pada pengendalian fosfor di ginjal. Meskipun kondisi hipokalsemia
lainnya dapat dikaitkan dengan mengeruhnya lensa mata, papiledema dan kalsifikasi
ganglion basal, keadaan-keadaan ini lebih sering terjadi pada hipoparatiroidisme.
Pseudohipoparatiroidisme (PHP) ditandai dengan berbagai cacat tubuh serta kegagalan
merespon PTH eksogen. Kelaianan bentuk tubuh mencakup muka bundar, tubuh pendek
serta memendeknya tulang metacarpal dan metatarsal (osteodistrofi turunan Albright).
Aslinya, PHP disebabkan oleh protein mutan pengikat nukleutida guanine yang umumnya
memperantai aktivasi adenilil siklase yang diinduksi oleh hormone. Berbagai abnormalitas
hormon telah dikaitkan dengan jenis PHP ini, tetapi tidak ada yang separah kurangnya
respon terhadap PTH.

Beberapa hari setelah pengangkatan adenoma paratiroid sering muncul


hipokalsemia. Hal ini mungkin akibat kegagalan sementara kelenjar paratiroid yang masih
tersisa dalam mengimbangi hilangnya jaringan yang mengalami adenoma. Dalam keadaan
ini, hiperfosfatemia juga terjadi dan kondisi ini merupakan salah satu bentuk
hipoparatiroidisme fungsional. Pada pasien penyakit tulang akibat paratiroid, hipokalsemia
pasca operasi mungkin menunjukan adanya ambilan kalsium yang cepat ke dalam tulang,
yang disebut dengan sindrom tulang lapar. Di sini, konsentrasi fosfat anorganik dalam
serum juga rendah, yang menunjukan terjadi ambilan fosfat anorganik secara bersamaan
ke dalam tulang. Hipokalsemia yang parah dan terus menerus ini mungkin membutuhkan
pemberian vitamin D dan suplemen kalsium selama beberapa bulan.

Tetani pada neonates kadang-kadang teramati pada bayi dari ibu yang mengalami
hiperparatiroidisme; bahkan, mungkin tetani inilah yang menyebabkan diketahuinya
kelaianan pada sang ibu. Kondisi tetani biasanya sementara, yang hilang setelah kelenjar
paratiroid anak dapat merespons dengan semestinya.

Hipokalsemia juga dikaitkan dengan insufisiensi ginjal tahap lanjut yang disertai
hiperfosfatemia. Banyak pasien dengan kondisi ini tidak terkena tetani kecuali ika asidosis
parah yang menyertainya diobati. Konsentrasi fosfat yang tinggi dalam plasma
menghambat konvensi 25-hidroksikolekalsiferol menjadi 1,25-dihidroksikolekalsiferol
(Haussler and McCain, 1977). Hipokalsemia juga dapat terjadi setelah transfusi massif
dengan darah bersitrat.

GEJALA HIPOKALSEMIA

Tanda-tanda dan gejala hipokalsemia yang mencolok antara lain tetani dan gejala-gejala
terkait seperti parestesia, peningkatan eksitabilitas neuromuscular, laringospasme, kram
otot, dan konvulsi tonik-klonik.

Hipokalsemia bisa tidak menimbulkan gejala. Seiring dengan berjalannya waktu,


hipokalsemia dapat mempengaruhi otak dan mmenyebabkan gejal-gejal seperti
kebingungan, gangguan daya ingat, penurunan kesadaran, depresi, dan halusinasi. Gejala-
gejala tersebut akan menghilang jika kadar kalsium kembali normal.
Kadar kalsium yang sangat rendah juga bisa menyebabkan timbulnya nyeri otot dan
kesemutan, yang seringkali dirasakan di bibir, lidah, jari-jari tangan dan kaki. Pada kasus
tertentu yang berat bisa terjadi spasme otot tenggorokan yang menyebabkan sulit bernafas
dan tetani (kejang otot keseluruhan). Selain itu, bisa terjadi perubahan pada system
konduksi listerik jantung, yang dapat dilihat pada pemeriksaan EKG.

Terapi

1. Gejala akut (Ca2+ <1,9 mmol/L) : bolus kalsium glukonat 10% intravena 10-20
mL dengan pemantauan EKG diikuti dengan infus intravena 10-20 mL dengan
pemantauan EKG diikuti dengan infus intravena bila diperlukan. Kalsium oral dan
vitamin D diberikan secepatnya. Magnesium sulfat intravena mungkin juga
dibutuhkan.
2. Penyakit kronis: metabolit vitamin D (Kalsitriol atau alfakalsidol) dan kalsium oral.
3. Tanda-tanda dan gejala hipokalsemia yang mencolok antara lain tetani dan gejala-
gejala terkait seperti parestesia, peningkatan eksitabilitas neuromuscular,
laringospasme, kram otot, dan konvulsi tonik-klonik.
4. Hipokalsemia bisa tidak menimbulkan gejala. Seiring dengan berjalannya waktu,
hipokalsemia dapat mempengaruhi otak dan mmenyebabkan gejal-gejal seperti
kebingungan, gangguan daya ingat, penurunan kesadaran, depresi, dan halusinasi.
Gejala-gejala tersebut akan menghilang jika kadar kalsium kembali normal.
5. Kadar kalsium yang sangat rendah juga bisa menyebabkan timbulnya nyeri otot
dan kesemutan, yang seringkali dirasakan di bibir, lidah, jari-jari tangan dan kaki.
Pada kasus tertentu yang berat bisa terjadi spasme otot tenggorokan yang
menyebabkan sulit bernafas dan tetani (kejang otot keseluruhan). Selain itu, bisa
terjadi perubahan pada system konduksi listerik jantung, yang dapat dilihat pada
pemeriksaan EKG.

OBAT

Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah terjadinya
komplikasi. Pasien dengan hipokalsemia karena resistensi terhadap hormon paratiroid
umumnya membutuhkan proses terapi jangka panjang dengan vitamin D dan suplemen
kalsium. Pasien hipokalsemia dengan gagal ginjal kronis diberikan pengikat fosfat dan
suplemen vitamin D.

1. Kalsium klorida
Kalsium klorida berperan dalam saraf dan kinerja otot dengan mengatur aksi potensial
yang tereksitasi. Selain itu, bentuk kalsium lebih baik bagi pasien dengan serangan
jantung.

10% IV (mengandung 100mg/mL kalsium klorida) sama dengan 27,2 mg/mL (1,4
mEq/mL) kalsium elemental (10 mL kalsium klorida 10% mengandung 272 mg kalsium
elemental)

2. Kalsium glukonat

Kalsium glukonat baik untuk pasien yang tidak dalam serangan jantung. Satu ampulnya
mengandung 93 mg kalsium elemental. Setelah pemberian Intravena, kadar kalsium
biasanya dapat dipertahankan dengan diet kalsium yang tinggi, meskipun beberapa pasien
juga membutuhkan suplemen kalsium oral

Tablet oral biasanya digunakan sebagai suplemen untuk terapi kalsium secara Intraveba.
Jumlah kalsium elemental yang terkandung pada kalsium glukonat adalah sebagai berikut :

1. tablet 500mg = 45mg

2. tablet 650mg = 58,5mg

3. tablet 975mg = 87,75mg

4. tablet 1g = 90mg

3. Kalsium karbonat

Kalsium karbonat diindikasikan untuk menjaga normocalcemia ketika hipokalsemia berat


dan membutuhkan penanganan yang cepat. Digunakan secara oral sebagai suplemen terapi
kalsium IV, Kalsium karbonat mengatur potensial aksi yang tereksitasi pada saraf dan otot.
Jumlah kalsium elemental yang biasa digunakan = Tums, 200mg, Rolaids 220mg, Os-Cal
500mg.

4. Kalsium sitrat

Kalsium sitrat merupakan sediaan oral digunakan sebagai suplemen untuk terapi kalsium
IV. Menjaga saraf dan kinerja otot dengan mengatur aksi potensial tereksitasi dan menjaga
jantung agar tetap normal. Kumlah kalsium elemental di 1000mg kalsium sitrat adalah
210mg.

5. VITAMIN D

Bial kecepatan kerja diperlukan, maka metabolit vitamin D pilihan 1,25(OH)2D3


(kalsitriol) dapat diberikan dengan dosis 0,25- µg/hari, karena vitamin D mampu
meningkatkan kalsium serum dalam 24-48 jam. Kalsitriol juga mampu meningkatkan
fosfat serum, walaupun efek ini tidak terobservasi pada awal pengobatan. Efek kombinasi
kalsitriol dan semua metabolit vitamin D lainnya serat analog pada kalsium dan fosfat
menyebabkan perlu dilakukan pemantauan kadar kedua mineral ini terutama penting untuk
mencegah kalsifikasi ektopik sekunder akibat hasil kalsium x fosfat yang tinggi secara
abnormal. Karena pemilihan metabolit vitamin D atau analognya yang tepat untuk
pengobatan jangka panjang hipokalsemia bergantung pada sifat penyakit yang
mendasarinya.
DAFTAR PUSTAKA

Gilman, Alfred Goodman. Dasar Farmakologi Terapi Volume 2. 2003. Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar Dan Klinik. 1995. Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Sudoyo, W. Aru . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V. Interna Publishing. 2009.
Jakarta.

Goltzman, David, M.D. July 21, 2012.Hypercalcemia. South Dartmouth (MA): MDText.com,
Inc.; 2000-. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279037/?report=reader#!po=82.1429

Mir’atul Ginayah dan Harsinen Sanusi.Hiperkalsemia. Continuing Medical Education IDI.

Anda mungkin juga menyukai