Anda di halaman 1dari 32

Dumduman Puisi Edisi 5|Maret 2015

Bercempaka Cemburu
Puitri N Hati
Dumduman Puisi

Redaksi:
Mutimmatun Nadhifah, Setyaningsih,
Ngadiyo, Muhammad Milkan, M Fauzi
Sukri, Bandung Mawardi, Priyadi,
Budiawan Dwi Santoso.

Alamat redaksi:
Bilik Literasi, Tanon Lor, RT 3 RW 1,
Gedongan, Karanganyar – Solo,
Jawa Tengah.

Kontak: (085642105921 [Budiawan],


085647121744 [Bandung], 085642568515
[Fauzi), 085643762005 [Ngadiyo].

Facebook: Dumduman Puisi

Kirimkan puisi-puisimu ke:


dumdumanpuisi@yahoo.co.id
Puisi dari BuNGA dan
Tanaman yang romantis

Penyair Puitri N Hati memberi ruang kata atas puisi-puisi


gubahannya bersemai dari bunga seperti dalam edisi ke-5
Dumduman Puisi ini yang kami pilih sebagai judul utama
yaitu “BERCEMPAKA CEMBURU”. Bunga cempaka
putih, tidak terlalu besar ukurannya, daun-daunnya pun ke-
cil-kecil, tapi rimbun dengan harum khas bunganya mampu
menimbulkan kecemburuan khas pula bagi sang penyair.

Kita bisa menyimak udaran rasa seperti dalam bait-bait puisi


itu:

Di kepalaku selalu saja ada nama perempuan itu


Bercempaka di dada
Dalam perlawanan ingat ku
Karna di hati perempuan itu,
di cahaya matanya, di manik ujung selendangnya,
di puisinya, di spreinya, di empuk sajadahnya,
di harum lembut mukenanya, dalam pewangi ruangan-
nya, dalam embun kemaraunya, di pembatas bukunya
hanya ada namamu

Ada semacam perlawanan untuk melawan lupa bagi sosok


perempuan. Di mana dalam hatinya ada cempaka bersembul
di dadanya, bersebaran pula dalam cahaya matanya, manik
dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 3
ujung selendangnya, sampai sajadahnya selalu ada nama se-
seorang yang membuatnya cemburu. Kira-kira seperti itu.

Selain memetaforakan bunga, tumbuhan lain seperti benalu


pun begitu memesona menjadi untaian kalimat nan puitis.

Kucubit-cubit daun benalu,


dengan jejak kuku jariku, agar ia cepat berlalu
Tapi ia tak benar berlalu,
ia bergerak dari stasiun ke stasiun,
dari bandara ke bandara

Kiranya, puisi-puisi lain pun dapat memberi suguhan rasa


yang mendalam di benak pembaca. Selamat menikmati kata-
kata puitis dari penyair Solo, Puitri N Hati.

Kartasura, 15 Februari 2015

Ngadiyo

4 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


CEMBURU SATU

Cemburu itu titik jamur


mengikat putih benang kerudung putihmu
Cemburu itu telur kupu-kupu
di kelopak flamboyan, terlindung daun gaharu
Serpih kayu yang menyelisip kuku jarimu,
pecahan debu, kelilip di bulu matamu
cemburu itu rasanya,
mungkin seperti jarimu terjepit batang payung
cemburu itu hanya bunga sakura palsu,
meski ia merah jambu
kitaakan sembunyikan cemburu di musim salju

Kucubit-cubit daun benalu,


dengan jejak kuku jariku, agar ia cepat berlalu
Tapi ia tak benar berlalu,
ia bergerak dari stasiun ke stasiun,
dari bandara ke bandara

Cemburu itu ingin


Ingin memiliki semua warna bunga sepatu
Ingin memiliki semua warna bunga asoka
Ingin jadi anggrek bulan di senja jendelamu

dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 5


CINTAKU

Cintaku tanpa sudut pandang,


ia hanya lubang di layang-layang
Kau bunga kopi, yang tak tercapai tangan
Bunga angsana kuning di ketinggian sore hari
Ia yang menyala dalam air mata,
Api kecil yang lukai gelap
Cahaya yang sakiti remang kita,
membunuh gelap semena-mena
Tapi jangan pernah resah pada hujan
yang kacaukan daun-daun tembakau

MEMILIKIMU

Memilikimu adalah mendengar keluh langit


yang kehilangan merkurius
Mengejarmu adalah peperangan sunyi
usai pecah kuda troya
Membencimu adalah dinginnya kobar api di tubuh Ibrahim
Kehilanganmu adalah bintang jauh
yang kembali ke angkasa malam

6 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


SEPI ITU

Detak jam menemani kesunyian


Aku tahu kini,
kenapa kau pasang jam dinding yang mati itu

Sepi itu, langit yang berwarna rambut penyair tua


Radio yang ditinggal pulang sang penyiar
Dan kau tak pernah tahu dimana ia tidur, setelah mereka
matikan radio

EMPAT BATU

Batu mencari air untuk melubangi sunyinya


Batu mencari udara untuk melamarkan angin
Batu mencari erupsi untuk hasrat pada kekasihnya
Batu mencari suara mata air untuk kekalkan diamnya

BERCEMPAKA CEMBURU

Di kepalaku selalu saja ada nama perempuan itu


Bercempaka di dada
Dalam perlawanan ingat ku
Karna di hati perempuan itu,
di cahaya matanya, di manik ujung selendangnya,
di puisinya, di spreinya, di empuk sajadahnya,
di harum lembut mukenanya, dalam pewangi ruangannya,
dalam embun kemaraunya, di pembatas bukunya
hanya ada namamu

dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 7


DI KEPALAKU ADA SUZANA

Di Kepalaku ada Suzana


Di kepala Suzana ada ular-ular,
di kepala ular ada tiara swarovski

Biru, merah, hijau terayun-ayun


Berlian sebesar seratus debu ditengah bunga perak
Tak ada yang melihatnya, kecuali setengah mata puisi
Dalam patah petir badai kepalaku

MOZAIK DARAH

Mozaik darah
Mesir dan Suriah
Ada martir ada darah
Mengacak nyawa anak-anak
Mozaik darah, bangkai arang dan daging merah
Malaikat pencabut nyawa dengan topeng pelepah kurma
Jubah anyaman daun kurma

Tidurlah nyawa-nyawa syahid di jantung pohon kurma


Mata-mata kosong mencari negeri pengungsi,
burung –burung kecil penuh debu
Membangun gua kahfi sendiri
dalam lolong panjang malam
yang tak lagi membuatnya tidur
Suara tembakan, erangan manusia terbakar di jalanan
selepas bulan ramadhan

8 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


KAU NAMAKAN INI RINDU

Sampai kapan kau namai batu berlumut hutan ini


dengan rindu
Debu-debu pengatur sang waktu
tempat tumbuh terkecil rindu

Ranting kering randu alas serupa tulang fosil,


bunga- bunga merah, hanya cecabang dan bunga merah,
tanpa selembar daun, di jendela luas langit biru, panas.

Nanti di musim hujan, lembut pupus pelan-pelan datang


semburat demi semburat serupa alis rambutmu yang
terpaes, dari hari ke hari menjadi daun yang rimbun kuat
menghijab cabang kayu-kayu, hanya daun tanpa bunga,
cabang kayu-kayu randu itu bersama sepi saga sore dijaga
merapi dan merbabu,
hingga panas menggugurkan semua daunnya
sebelum jadi kuning rapuh jatuh
di pecahan genteng kelabu.
Daun dan bunga begiliran di cabang yang sama, ada saatnya
ranting cecabang itu sendiri hampa dengan langit dan awan
yang bergantian, senja dan fajar, tanpa daun dan bunga
Masih dengan merapi dan merbabu
Masihkah kau namai itu rindu?
Dan metafora pertemuan jauh di lautan garam hingga
pantai utara,
dengan kapal-kapal kecil dan riuh penumpang di hari raya
Atas nama rindu, air laut itu datang padamu mengering
dalam plastik bercap yang tak kau kenali dengan mata gulali
dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 9
GETAH KAMBOJA

Putih getah kamboja mengambang di bening air, tubuh


susunya lekas dilumat menghilang oleh tajam lidah air
Anak-anak bergelang karet memunguti kembang kamboja
Menjemurnya di genteng-genteng rumah reyot
di pinggir makam,
dipinggir jalanan yang malas tumbuhkan pohon peneduh.

Tangan kecil berkuku hitam mengiris-iris kelopak keringnya


lalu dikilokan untuk mengusir nyamuk malam
Tak terbaca getahnya, beberapa tanda baca, endapan suara
doa, tertinggal dan cepat melayu.
Satu pesan dari tanah menyentuh hidung kita

10 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


KAU ADALAH SEBAB
DARI TAJAMNYA PUCUK PENA

Kau adalah bara untuk kereta tua beruap mengendap


berjingkat di rel dingin dini hari
Suaranya menyayat jauh
dan indah ke halaman-halaman kisah lampau.
Kau tulang rusuk yang terus tanggal dan hilang dan selalu
bertemu di tebing-tebing candu, di jalan rahasia rindu.
Untuk menegakkan punggung-punggung,
dan kata-kata yang terus terjatuh.

Kita sama-sama bertemu halimun yang lama tak kita


bicarakan, sedang memerangkap cahaya demi cahaya yang
dilepaskan dari pucuk pena, dari hati yang berbahagia,
sebagian meniru kunang-kunang.

Dari tempat tak berjendela, dalam dinding yang tak bisa


melihat dan mendengar gemuruh hujan.
Kita membakar jarak di musim hujan, membakar salju
dibelakang fotomu januari lalu.
Kita membakar jarak, membakar berkilo-kilo langkah kuda
untuk menjelma depa.

Kita membakar depa untuk menjelma dekapan.


Kita bakar pelukan untuk ciptakan kecupan
Kita bakar kecupan untuk menjadi ciuman
Kita bakar ciuman jadi lentera-lentera yang dilepaskan ke
langit malam bersama kembang api, meninggalkan sakura
palsu merah jambu di depan klentheng merah itu.
dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 11
Satu lentera terbakar, terhuyung dan terjatuh di genting, ia
kembali mengambil kenangan yang berpatahan oleh huruf
huruf konsonan yang bertabrakan. Kembali pada wangi
dupa, wangi teratai kering merah jambu dan kuning
yang disembunyikan pada lipatan tanda di dasar sungai
meremang, jembatan berjubah lampion-lampion menatap
rindu pada langit, pada panjer sore yang lama berpamitan.
Ia cukup tertawa dengan kembang api warna-warni,
menyamar jadi bimasakti, mencipta ribuan venus, begitu
dekat dan mengganggu doanya.

Biarkan saja anak-anak itu bermain-main dengan semua


kata dan benda merah jambu hari ini
Seperti main hujan-hujan dan menaikkan layang-layang,
biarkan layang-layang, juga yang merah jambu itu.
Jangan paksakan pendapatmu untuk mengubahnya jadi
warna kesukaanmu, seperti kuning kesukaan candik ayu.
Biarkan ia bermain dengan merah jambu. Kalau ia jatuh
ke parit dan kakinya berdarah, ia akan belajar pada warna
merah yang lain, ia akan temui biru keunguan pada ototnya
yang terkilir.

Hari ini mungkin tak berwarna apa-apa untukmu,


hari ini tak bermakna apa-apa
Kau lihat saja mereka dari jauh,
dengan warna metal kesukaanmu.
Tak perlu ada pernyataan apapun.

12 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


SEHARI ITU PUISI

Sehari itu puisi dicatat dengan tanda-tanda bayang matahari


Aku tertinggal di depan stasiun yang terkunci, gerbong-
gerbong puisi telah pergi dengan kalimat-kalimat singkat,
hingga kata berikutnya membeku, kalimat yang beranjak
mekar jatuh ke lubang kertas, buntu. Beberapa huruf ada-
lah jari-jari yang tergores pinggiran kertas,
huruf vokalnya berdarah

Puisi terayun-ayun dalam gerbong kereta


Aku berlari sebelum palang kayu kereta terbuka lagi,
sebelum suara alarm berhenti. Tapi ia tak bisa dicegat lagi
seperti dulu, ia tak peduli meski ada seikat puisi tertinggal
dengan flamboyan sewarna matahari membakar dengan
lembut tinta perak ungu.

Ia bergerak menuju stasiun- stasiun yang sama, penumpang


langganan merasa bosan, sedang ia tak pernah jemu, dan
rindunya bertambah tiap pagi.

Tapi ia kehilangan ensiklopedi, ia kehilangan dua pikul


daun salam, pecel bunga kecombrang, penyanyi kereta
dengan pakaian lusuh berdebu, suara-suara tutup botol,
tongkat pengemis buta, suara gemrincing uang receh dalam
kaleng dalam gelas aqua keruh, tukang tensi dan timbang
badan, penjual nasi ayam, kopi setengah panas setengah
kental, tahu goreng asin kecil-kecil dan lombok jemprit ijo
menyusup di bungkus plastik dalam renteng tangan penjual
berwajah cemas.
dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 13
Tak ada gemah ripah loh jinawi lagi, meski ingin membayar
tiket dua kali, daun- daun salam yang harum itu tak mung-
kin naik kereta lagi, mereka dipaksa pergi dari satu-satunya
kereta yang penuh puisi, mereka dipisahkan dari puisi.

14 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


BASA BASI KITA PADA LUKA

Memandikan luka dengan air kembang


Malam ini, ia luka, jadi wangi
Kita dandani dengan pakaian bersih, berbedak sepuh emas
bersiap dengan airmata baru

ALANG-ALANG DAN LAYANG-LAYANG

Alang-alang jadi jalang menjelang petang


Ia tetap saja malang, jadi kembang hitam
di senja berangin barat

Koak sajak berkawin silang dengan petir hujan


Alang-alang mencabik ungu layang-layang
Burung layang-layang silangkan kaki pada kenangan
Tapi baginya kenangan hanya seonggok basah benang
Kenangan, kapan masa depan pulang?
Alang-alang tumbuh sendiri menjadi benteng,
halangi kenangan

dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 15


JARAK ITU

Lihatlah jarak itu


Ia begitu kokoh dan berkilauan
Aku tak bisa menyogoknya dengan tiket gratis
makan dan nonton film
Jarak kita tak menghasilkan minyak biji jarak yang memba-
kar api bahasa kita

Tak melumasi engsel-engsel pertemuan kita


Jarak kita dijaga elang pemakan ular
dan lidah anjing gila dengan foto dirinya
di samping pedang pendek bersarung kulit buatan, hitam.
Jarak kita, sudahlah, lupakan,
aku juga tak bisa menyogoknya
meski dengan sajak yang mematikan

16 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


OBONG
:Mei 98

Merah putih kerasukan setan jalanan


Nyala mata anak muda,
bocah lelaki menggenggam batu
Wajah-wajah berjelaga
Melempar cakar api, batu padas ke toko-toko berkaca
Harta-harta yang dulu tak terjamah tangan kotor,
dibebaskan dari persembunyian

Bagai Dewi Drupadi di jalanan,


tak ada yang punya lagi
Gelap, buntu, hitam
Kota mala cahaya
Api setan tunjukkan jalan,
Matahari berpaling
Dari mata kota yang mabuk terhuyung
Dalam laku hanoman obong
Puing, bangkai hitam mobil,
motor dan restoran, kerak hitam, kerak air mata

Di mata gelap magenta


Orang-orang berseragam malam menembaki langit malam,
di jam malam
Orang-orang berlumur gelap menembaki awan,
kapas awan hangus terlentang
Burung-burung putih mengungsi di gua-gua kahfi
Burung-burung hitam bermata darah,
menunggu kesempatan
dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 17
DIARY MEI 98, SOLO

Tank-tank adalah beteng karang di tengah jalan, tentara


berkulit gelap, berseragam warna hutan
dan senapan berderet siaga di sisi barat.
Mata mereka menatap hitam.Melupakan sarang.
Ribuan mahasiswa di kampus Pabelan di jalan sisi utara.
Langit kelu menunggu di belakang awan membatu,
tak ada suara.

Tak ada yang sempat menyapa gagak hitam


di langit yang memeram debur petir
kecuali di dada mereka.
Mata kita saling tatap siap berperang,
melepas burung hitam
bertarung dari jantung kemarahan kita.

Batu-batu memucat di tengah jalan aspal hitam.


Batu-batu itu terlepas sudah dari telapak tangan,
menjadi bunga-bunga hitam, seolah persembahan di jalan.
Aku dan mereka di sisi timur.

Tiba-tiba ada satu gerakan,


entah siapa yang mulai,
aku ikuti mereka bergerak ke utara
Satu mata komandan melihatku,
dengan senapan menghadangku,
disamping pelipisnya yang berkilat dan bola api matanya.
Dari gerakan senapannya
dia mengatakan aku tidak diijinkan
18 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi
menyebrang. Aku tak berjaket almamater.

Hari ini begitu gawat,


biasanya aku bisa masuk meski tanpa jaket.

Langit mencekam, angin memerah gelisah,


pohon-pohon jadi gerbang besi berkarat tak bernyawa.
Batu-batu memucat ditengah jalan.
Aspal hitam. batu bermata racun.
Batu bermata anak panah melesat tanpa pengawalan.

Kita mau makan apa?


Kata seseorang yang tertegun,
di luar supermaket yang terbakar
Beberapa hari aku tak doyan makan.
Bunyi tembakan malam-malam,
orang –orang berbondong-bondong membawa jarahan
berduyun jalan kaki di depan rumah,
kursi kayu berpelitur dan entah apa lagi.
Seperti pegungsi gunung Merapi.

Berkali-kali aku menengok mobil om Sing dan alat-alat


fotografi yang dititipkan di garasi belakang rumah.
Menelfon beberapa kali
pada sebuah rumah teman di Kemlayan,
badai batu bersahutan di toko-toko depan rumahnya.

Tak ada penjaga kota, kota jadi hutan penuh binatang buas,
haus dan lapar. Menelfon seorang kawan di Jalan Kaliurang
Yogya.Mengadukan Solo yang terbakar.
dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 19
Tapi Iwan selalu tak ada di rumah.Sampai hari ini.
Mungkin sedang orasi di Bollevard, ada suara ayahnya,
Rasyid Baswedan.Kuceritakan tentang Solo yang merah,
marah, bangkai mobil, motor, mayat gosong.

Tanpa henti tanpa jeda, dengan nafas memburu pada


Yogya yang begitu tenang. Tentu saja lupa bertanya tentang
satu tas plastik alpukat mentega yang pernah kukirim di
rumah itu lewat bapak penjaga rumah.

20 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


FAJAR JUMAT

Fajar jumat yang cokelat,


sepotong gula-gula cokelat di kulummu
Kau tetap saja dengan peluk lekat
Kata-kata pekat
Memelukmu hingga tulang belikat
Seikat mawar durinya bersembunyi di dedaunan,
hijau kata- kata memuja

JANGAN PADAM MALAM

Jangan padam malam, kata mata durjana


Padamlah malam, hati mengapi
Lentik mata iblis menyamar di sarang belibis
Burung hantu jauh di dahan randu,
suaranya hilang di cekam dingin ingatan dulu
ia tak punya buluh perindu
Burung hantu,
suaranya tak lagi menggelisahkan batas dini hariku
Kini kau yang menggelisahkanku

dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 21


AKU NUN KECIL DI BAWAH ALIFMU

Aku nun kecil dibawah Alifmu


Aku burung-burungan kertas,
sayapnya basah dibawah mercusuar-Mu
Ingin kutemukan-Mu diujung tenggorakanku

Tak sampai nafasku


Dalam kesabaran enam harokat huruf-Mu
Aku nun kecil dibawah Alif-Mu

Pecahan kulit kerang yang merindukan ombak


Mata ikan teri yang rindukan senja berwarna buah labu
Aku nun kecil dibawah Alifmu
Putik kering bunga waru
yang tak diajak embun menemui langit-Mu

22 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


AKU MERINDUMU SEPERTI RINDU MELIHAT
PERDU GANDUM DI NEGERIKU

Aku merindumu seperti rinduku bertemu perdu gandum


Irisan kenari dan buah kismis selalu alihkan rinduku
Aku merindumu seperti rindu petani
di negeri ini yang ingin bertemu perdu gandum.
Rindu yang tak punya fajar dan cakrwala
dari pelabuhan ke pelabuhan.

Berkarung-karung dari kapal itu,


di bahu-bahu kuli pengangkut.
Tak sebatang pun perdu gandum terpikirkan.

Anak-anak bersenandung tentang tepung gandum, katanya


Ia berasal dari awan-awan yang digiling petani pada dinihari
Gadis kecil itu bertanya terus seperti apa bunga gandum?
Ia menjawab, bunga itu tak seperti bunga vanili, dan tak
seperti bunga ketumbar yang belum pernah dilihatnya.

dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 23


MBAK, MAUKAH KAU JADI PACARKU?

Harapan adalah seutas benang di ufuk siang


hilangikuti hujan kecil di langit kemarau
Mataku kuyu.
Tinggal uang kumal cokelat lima ribuan bertanah
dan berdebu menatapku layu.

Kutemukan tulisan bolpoint tinta merah, tulisan jelek


dibawah gambar janggut Tuanku Imam Bonjol.
“Mbak maukah jadi pacarku?
Tulislah jawabanmu di uang biru dan merah
bergambar Sukarno”
kubalas dibawahnya dengan tinta merah
“Maaf, aku sudah punya pacar”
lalu uang lima ribu itu kubelikan gorengan.
untuk temani teh di buka puasa senja itu

BAGAIMANA AKU HARUS MEMETIK BUNGA


FLAMBOYAN?

Ceritakan padaku
bagaimana aku harus memetik bunga flamboyan?
Sebelum bunganya berjatuhan merabai kaos kakiku
Beritahu aku merantau jauh ke jantungmu
Ke pucuk kelopak flamboyan

24 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


DI DEPAN STASIUN PURWOSARI BUNGA UNGU
SEMU PUTIH

Dari sebrang jalan depan stasiun, mekar bunga ungu semu


putih mekar di pohon tua. Ingin kubawa mekarnya dan
kuambil warna putihnya saja, melewati peron
dan meletakkannya di kursi tunggu stasiun
yang menantimu turun dari stasiun Maguwo.
Dan kutinggalkan warna ungu tetap di pohonnya.

PERNAHKAH KAU LIHAT DAUN BENALU


WARNA KUNING?

Pernahkah kau melihat daun benalu menguning?


Tipis rapuh melayang terbentur batu?
Ia selalu terjatuh dalam warna hijau segar,
daunnya liat tak ada lubang ulat.
Tapi mata bunga benalu tampak mengintip malu-malu
di sela debu kakiku

Tak ada gadis yang mengingatnya


Tak ada madah tercipta darinya
Benalu
Tiap hari adalah masa lalu

dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 25


TAK KITA DENGAR LAGI IA BEBAS MENGALIR

Ia dicuri dari sumbernya, diculik dari batu-batu


Wajahnya dipoles cahaya
Tapi ia terpenjara dan teraniaya
Dalam gelas dan botol plastik
Terampas dari air mata petani
Dari sawah-sawah mereka
Ia kini di atas meja, meja rumah kita,
meja perundingan antar negara

Meja iklan televisi


Kita bersorak membelinya
Untuk kesehatan, untuk sumber mineral kita yang penting.
Wajib kita minum delapan gelas perhari, katanya
Kita mendoakannya, sebelum menyentuh bibir kita
Diantara huruf-huruf biru di pintu plastiknya,
kita impikan lautan dan pegunungan

Kita menyerah, tak ada yang bisa kita lakukan


Kecuali mengumpulkan bungkusnya menjadi vas bunga,
Jadi apa saja yag lupakan dosa kita

26 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


PUISI MERICA

Batu-batu saling lempar, bertabrakan.


Gas di perut bumi gelisah
Bayang-bayang minyak membasahi langit
Api dan ranting berdilema di dada di mata
Api berkelahi di mata
Air susu jadi api
Bun.., minyak ditimbun
Diantara bunyi tikus
Klik.., paceklik
Harga-harga berganti
Jubah pasi
Sayur di dapur pasi
Perempuan bertangan kosong
Botol kecap kosong
Bergincu arang maju perang
Bumbu terkikis
Gandum masih berhenti di pelabuhan
Beras habis
Kaleng minyak tanpa tetes, kosong
Air mata kosong
Botol susu kosong
Merica kosong
Sisakan mata pedas

dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 27


TAPAK DARA BERKELOPAK GENAP

Perempuan tanpa darah di tiap bulannya


Bulan-bulan hampa
Merah berputar dijalanan buntu
Badai terperangkap
Embun berguguran di sekujur tubuhnya.
Bila sabit bulan terlihat mengalis langit.
Ia tak kenal bulan
Tahun-tahun tanpa tanggal merah.
hanya malam
Tapak dara rindu merah
Tak istirahat bersujud, tak ada penghalang merah
Ia tak menghapus darah di jarinya yang tergores pisau
dapur
Ia timang alirnya hingga mendung tersingkir dari angkasa
Hingga merah mengalir sampai rambutnya
Sampai badai mereda
Merenda garis pelangi tanpa warna merah
Bebaskan mimpi buruk dari tubuh plastiknya
Leleh oleh kata-kata sendiri
Lelah mencari satu kelopaknya.
Lelah mencari hari magentanya

28 Edisi 5 | Maret 2015 dumduman puisi


JANTUNGKU DIPERMAINKAN GULANA

Rinduku tak putus kutitip pada rel kereta


dari stasiun kotaku menuju stasiun kotamu,
yang biarkan kereta yang terburu itu tak berhenti, rinduku
ku pesankan pada langit yg tak berjeda dari atas kotaku
hingga langit diatas kotamu.

Jantungku dipermainkan gulana,


lepas liar tak tercapai lesat mata panah, awan bernanah,
rumput menajam menyala terbakar api kemarau
hari panjang lagi parau,
basahi namamu dengan kulum bibirku di udara September

Menghitung pohon pinus sendirian,


bunga merah seperti lipatan sapu tangan,
tak seoranpun ingin tahu namanya, di sebrang di taman
Manahan..bunga itu tak ingin kau disini..

Kembang sepatu merah untuk obat batuk ibu


Kelopak waru merah orange, merah senja,
kuning tipis kuning muda..pucat...

Kelopak blirik, melirik garis bulu matamu,


kembang sepatu yang punah..
Bunga flamboyant tak ada yang memetik..menunggu dia
berjatuhan, mungkin tak ada yang menunggunya
di tanah sepi tak ada yang punya waktu menatapnya
di ketinggian jalanan,
kecuali seorang penyair yang hampir putus asa.
dumduman puisi Edisi 5| Maret 2015 29
ANGGUR DAN MEGATRUH
:Ranggawarsito

Tembang megatruh bersama gambuh


Jatuh di atas lontar penuh huruf runtuhkan dada
Tetes anggur masih segar memerahkan udara kopi beku
dini hari di serat sabdajati

Terbakar dalam diri, terbaca ombak yang tak tenang


Botol-botol anggur berdansa berdentingan, menarikan
mabuk laut setelah jauh perjalanan dari Leiden
Untuk sayu menatap serat Joko Lodhang

Anak-anak muda menembangkan sinom,


diam-diam bertemu di jaman kalatidha
Menyalakan tanya pada dusta menguning
di balik topi-topi putih di kepala mereka,
Kalatida berdengung pada milyar suara lebah,
di luar istana rakyat tertawa

Syair pujangga tak tersentuh matahari,


mata bintang timur mencuri satu demi satu kalimatnya
yang disimpan di rekah nyala petir
Hanya bunga-bunga tanjung
yang membacanya bermusim- musim

Tembang dhandhanggula merembeskan manis air hujan


Dua tangan pujangga bersedekap melihat daun lontar
berjajar kembali segar
Tentang Penyair

Puitri N Hati, penyair dan cerpenis produktif. Be-


berapakali memenangkan sayembara penulisan puisi
dan cerpen. Buku kumpulan puisi solonya antara lain
Kitab Diri dan Sajak Bunga Vanili. Ia bergiat di Pawon
Sastra Solo.
Cemburu itu ingin
Ingin memiliki semua warna bunga sepatu
Ingin memiliki semua warna bunga asoka
Ingin jadi anggrek bulan di senja jendelamu

***
Kucubit-cubit daun benalu,
dengan jejak kuku jariku, agar ia cepat berlalu
Tapi ia tak benar berlalu,
ia bergerak dari stasiun ke stasiun,
dari bandara ke bandara

-Puitri N Hati

“Dumduman Puisi mengajak siapa saja untuk berpuisi.


Puisi memberi ruang kontemplatif, reflektif dan hal-hal
lainnya.”

Anda mungkin juga menyukai