Anda di halaman 1dari 32

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN

DI INDONESIA

A. Pendahuluan

Kemiskinan terus menjadi masalah sepanjang sejarah Indonesia Dalam suatu

negara, tidak ada persoalan yang lebih besar selain persoalan kemiskinan. Banyak aspek

yang ditimbulkan akibat dari terjadi kemiskinan tersebut. Kemiskinan telah membuat

jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan

membiayai kesehatan, kurangnya tabungan, tidak adanya investasi, kurangnya akses ke

pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan

perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih

parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang

dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela

mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life mempertaruhkan tenaga fisik

untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak

sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang

hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.

Ekonomi Indonesia dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir memang tumbuh,

tetapi lamban dengan fundamental ekonomi yang tidak kuat (rapuh) karena sub-sub

sektor yang paling dominan memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi kita

adalah non tradable (bukan industry penghasil barang) yang tidak banyak menyerap

tenaga kerja, sehingga tidak menaikkan kemampuan daya beli dan kemakmuran rakyat

secara nyata. Selain itu, masalah kemiskinan menjadi persoalan berkepanjangan yang

terus terjadi. Di luar halangan geografis, sebenarrnya ada faktor lain yang menyebabkan

1
program-program pengentasan kemiskinan tak pernah berjalan efektif. Salah satunya

adalah kurangnya pemahaman banyak pihak tentang realitas kemiskinan itu sendiri.

Selama ini, di Indonesia, dan hampir semua negara, miskin tidaknya seseorang

diukur dari kacamata garis kemiskinan (proverty line). Badan Pusat Statistik

mendefinisikan garis kemiskinanan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk

memenuhi kebutuhan komsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari ditambah

kebutuhan pokok lainnya seperti sandang pangan, perumahan, kesehatan. Kebutuhan

pokok ini dibedakan untuk makanan dan non makanan, serta sisi wilayah, untuk pedesaan

dan perkotaan.

Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan

kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan

adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan

yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya

alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat

miskin juga termasuk faktor eksternal. Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya

ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah, semuanya merupakan

faktor internal. Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor

eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi

masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan

terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi (iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga

2
pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan

merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja.

Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidaklah semudah membalikan

telapak tangan. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi dengan

penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja bukanlah hal yang begitu

saja dapat dilakukan, misalnya dengan meminjam dari sumber-sumber pembiayaan luar

negeri. Buktinya, pinjaman luar negeri Indonesia pada saat ini sudah mencapai lebih dari

US$140 milyar, namun tetap tidak mudah bagi banyak warga negara, khususnya yang

tidak memiliki ketrampilan khusus, untuk mendapatkan lapangan kerja.

Millennium Development Goals (MDGs) adalah delapan tujuan yang harus

dicapai pada Tahun 2015. MDGs diambil dari tindakan dan target yang terkandung dalam

Deklarasi Milenium yang ditetapkan pada September 2000, melalui komitmen bersama

189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan ditandatangani oleh 147

kepala negara dan pemerintahan yang berikrar bahwa pada 2015 semua negara anggota

akan berusaha mencapai 8 tujuan pembangunan milenium, yaitu:

1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan (to eradicate extreme poverty and

hunger).

2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua (to achieve universal primary education)

3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (to promote gender

equality and empower women).

4. Menurunkan angka kematian anak (to reduce child mortality).

5. Meningkatkan kesehatan ibu (to improve maternal health).

3
6. Menjamin kelestarian lingkungan hidup (to ensure environmental sustainability).

7. Memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya (to

combat HIV/AIDS, malaria and other diseases).

8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (global partnership for

development).

Ditinjau dari target waktu yang telah disepakati dalam pencapaian target MDGs (2015),

berarti kurang dari 1 tahun lagi waktu yang tersedia. Untuk itu Negara Indonesia sebagai

salah satu anggota PBB, memiliki dan ikut melaksanakan komitmen tersebut,

melaksanakan berbagai program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai target

MDGs dalam upaya menyejahterakan masyarakat. Tujuan pembangunan milenium ini

dapat dijadikan pemacu dan semangat untuk melakukan upaya yang lebih baik dalam

penanganan permasalahan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

Namun demikian upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Tujuan Pembangunan

Milenium pada tahun 2015 akan terasa sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga

harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs

seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan

gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah :

1. Mengapa program pengentasan kemiskinan yang dari Orde Lama hingga saat ini

belum bisa mengentaskan kemiskinan di Indonesia?

4
2. Seberapa besar efek pemberdayaan yang telah ditimbulkan berbagai program

pengentasan kemiskinan pada masyarakat miskin yang menjadi sasarannya

(dikaitkan dengan isu strategis program MDGs Millennium Development Goals).

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah menggambarkan kondisi kemiskinan di

Indonesia dan memberikan langkah-langkah alternative dan arah kebijakan

pembangunan untuk mengatasi dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia dikaitkan

dengan isu strategis program MDGS Millennium Development Goals).

5
II. PEMBAHASAN

A. Kondisi Kemiskinan di Indonesia

Pengertian kemiskinan ada bermacam-macam, Pengertian kemiskinan yang perlu

diketahui dan dipahami adalah sebagai berikut:

1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat

memenuhi makanannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.

2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila: Tidak

dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, Seluruh anggota keluarga tidak

mampu makan dua kali sehari. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian

berbeda untuk di rumah, bekerja atau sekolah dan bepergian. Bagian terluas dari

rumahnya berlantai tanah. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana

kesehatan.

3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan

yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari, US$ 2 bagi negara-negara

maju.

Pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan dititikberatkan kepada manusia

sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus sebagai sumberdaya

manusia pembangunan yang harus senantiasa ditingkatkan kualitas dan martabatnya.

Pembangunan yang bertumpu pada peran serta masyarakat (people driven) dilaksanakan

secara merata di semua lapisan masyarakat. Kemiskinan merupakan masalah

pembangunan di berbagai bidang yang mencakup banyak segi, dan ditandai dengan

6
pengangguran dan keterbelakangan yang nantinya menjadi ketimpangan antar sektor,

wilayah dan antar kelompok atau golongan masyarakat (sosial). Dengan demikian

kemiskinan merupakan masalah bersama antara pemerintah, masyarakat dan segenap

pelaku ekonomi.

Menurut Moeljarto Tjokrowinoto (1999), Keadaan kemiskinan pada umumnya

diukur dengan tingkat pendapatan dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan

kemiskinan relatif. Selain itu, berdasarkan pola waktunya kemiskinan dapat dibedakan

menjadi: persistent poverty, cyclical poverty, seasonal poverty, serta accidenal poverty.

Persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Umumnya

menimpa wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang kritis dan atau terisolasi.

Cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara

keseluruhan. Sementara itu seasonal povery, yaitu kemiskinan musiman seperti yang

terjadi pada usahatani tanaman pangan dan nelayan. Pola yang lain adalah accidental

poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu

kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu

masyarakat. Penduduk miskin erat kaitannya dengan wilayah miskin. Wilayah dengan

potensi daerah yang tertinggal besar kemungkinan menyebabkan penduduknya miskin.

Oleh karena itu pendekatan pemecahan kemiskinan dapat pula dilakukan terhadap

pengembangan wilayah atau desa yang bersangkutan.

Apabila dikaji terhadap faktor penyebabnya, maka terdapat kemiskinan struktural

dan kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural mengacu kepada sikap masyarakat yang

disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Kemiskinan struktural

7
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh pembangunan yang belum seimbang dan

hasilnya belum terbagi merata. Hal ini disebabkan oleh keadaan kepemilikan sumber

daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan

ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh pendapatan akan

menyebabkan keikutsertaan dalam pembangunan yang tidak merata pula.

Menurut Sumitro Maskun (1997) Kondisi kemiskian dapat disebabkan oleh

rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja

dan kondisi keterisolasian, motivasi dan kesadaran untuk lepas dari kungkungan

kemiskinan yang menghimpit. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, maka

kebijaksanaan dituangkan dalam tiga arah kebijaksanaan. Pertama kebijaksanaan tidak

langsung yang diarahkan kepada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap

upaya penanggulangan kemiskinan; kedua kebijaksanaan langsung yang ditujukan pada

golongan masyarakat berpenghasilan rendah; dan ketiga, kebijaksanaan khusus yang

dimaksudkan untuk mempersiapkan masayarakat miskin itu sendiri dan aparat yang

bertanggung jawab langsung terhadap kelancaran program, sekaligus memacu dan

memperluas upaya untuk menanggulangi kemiskinan. Saat ini, mengingat pentingnya

program kemiskinan, pemerintah telah menyusun lembaga, dan strategi, kebijakan dan

program yang mudah dan implemtatif. Untuk pemerintah kabupaten, lembaga yang

berkompeten dengan kemiskinan adalah: BKKBN, Depkes, Depdiknas, BPS, PMK,

Bagian Sosial, dan sebagainya, berikut tabel gambaran perkembangan tingkat kemiskinan

di Provinsi Lampung.

8
Tabel 2.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Lampung

Perkembangan Tingkat Kemiskinan


Lampung, 2011- 2013
Uraian 2011 2012 2013

Garis Kemiskinan 234.073 248.645 276.759


Perkotaan 270.303 283.048 310.464
Pedesaan 221.543 236.735 265.105
Penduduk miskin (000) 1.298,71 1.254 1.163,06
Penduduk miskin (%) 16.93 16% 14.86
Indek kedalaman miskin (P1) 2,77 2,26 2,27
Indek keparahan miskin (P2) 0,72 0,34 0,52

Sumber : Lampung Dalam Angka 2013, BPS Provinsi

b. Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pada era reformasi seperti saat ini, Pemerintah Pusat telah mengundang-

undangkan UU Otonomi Daerah serta Otonomi Khusus agar Pemerintahan Daerah

mempunyai kewenangan untuk mengatur maupun mengelola rumah tangganya sendiri

sesuai dengan potensi, kemampuan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat guna

meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Menurut Sunyoto Usman (1998) Untuk melaksanakan strategi pemberdayaan

masyarakat diperlukan suatu transformasi peranan Pemerintah daerah dari inisiator

berubah menjadi fasilitator. Perubahan paradigma baru ini ditetapkan dalam strategi

pembangunan yang ditawarkan, antara lain:

9
1. Memperkuat, memperbaiki dan menciptakan kapasitas kelembagaan produksi,

pendapatan dan pengeluaran;

2. Meningkatkatkan dan melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan

pembangunan;

3. Mendistribusikan hasil-hasil pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat yang

difasilitasi oleh Pemda; dan

4. Meningkatkan pembangunan yang bertumpu pada kemampuan manusia (capacity

building) yang ditumbuhkembangkan oleh masyarakat melalui strategi

pemberdayaan.

Menurut Rakhmat Jalaludin (1999) Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari

tiga sisi, antara lain :

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling); dengan kata lain, adanya pemihakan kepada masyarakat

untuk maju dan berkembang karena pada dasarnya setiap manusia atau

masyarakat mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Sehingga pengertian

pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun daya tersebut dengan

mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang

dimiliki oleh masyarakat serta mengembangkan potensi tersebut; dan

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) dengan

kata kuncinya adalah penyiapan. Diperlukan untuk menciptakan iklim dan

suasana yang kondusif, meliputi langkah-langkah nyata yang menyangkut

10
penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai

peluang (opporunity) yang akan membantu masyarakat lebih berdaya guna.

3. Memberdayakan masyarakat mengandung makna melindungi (kata kuncinya

adalah perlindungan kepada masyarakat). Dalam proses pemberdayaan

masyarakat harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena

ketidakberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan

dan pemihakan kepada masyarakat lemah atau miskin amat mendasar sifatnya,

karena melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutup dari interaksi, karena

hal itu akan mengkerdilkan dan melunglaikan masyarakat yang lemah. Dengan

kata lain, melindungi harus ditinjau sebagai upaya untuk mencegah terjadinya

persaingan yang tidak seimbang atau sehat, serta eksploitasi yang kuat atas

masyarakat yang tidak berdaya. Dalam konsep pembangunan, pemberdayaan

adalah menjadikan masyarakat bukan sebagai obyek dari berbagai proyek

pembangunan yang dilaksanakan, tetapi merupakan subyek dari upaya

pembangunan.

Kemiskinan sesungguhnya dapat disebabkan oleh keterbatasan kesempatan

sebagian besar rakyat Indonesia untuk mengakses sumber daya yang sebenarnya dapat

berfungsi untuk menghasilkan income (pendapatan), seperti keterbatasan modal dan asset

untuk usaha dan keterbatasan akses terhadap pelayanan sarana dan prasarana kesehatan

dan sanitasi. Selain itu, tingginya tingkat kemiskinan di negara kita juga disebabkan oleh

rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

11
Dalam kaitannya dengan kualitas SDM, tentu kita dapat melihat bagaimana

kondisi dunia pendidikan kita. Apakah usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan

dan memajukan dunia pendidikan di negara kita sudah benar-benar terwujud. Seperti

kebijakan sertifikasi guru yang telah ditetapkan pemerintah. Karena nyatanya hingga kini

banyak guru yang mengajar di sekolah (baik SD, SMP maupun SMU) kualitas

keilmuannya masih sangat memprihatinkan. Meskipun para guru telah mendapatkan

kenaikan gaji dan tunjangan profesi guru. Lalu, bagaimana kualitas SDM Indonesia akan

meningkat, kalau SDM (tingkat keilmuan) gurunya saja masih rendah. Tentu kondisi ini

lagi-lagi akan menjadi kendala pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia.

Padahal pendidikan merupakan modal terpenting untuk meningkatkan taraf kesejahteraan

hidup rakyat Indonesia. Maka tak salah kalau akhirnya Human Development Indeks

(HDI) yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional menunjukkan bahwa posisi

kualitas SDM Indonesia sangatlah rendah. Penyebab kemiskinan lain adalah budaya atau

etos kerja rakyat Indonesia yang kini sudah terdegradasi oleh pengaruh perkembangan

zaman. Kini, semangat untuk terus bekerja (melakukan apa saja) yang penting bisa

menghasilkan uang (penghasilan) dengan cara yang halal demi mencukupi kebutuhan

hidup keluarga telah beralih pada etos kerja yang menghalalkan segala macam cara. Dan

kini, budaya atau etos kerja itu telah mengalami penurunan dan beralih menjadi budaya

malas yang tahunnya hanya “meminta-minta saja”. Makanya kini tidak heran kalau para

pengemis, pengamen dan anak-anak jalanan kian menjamur di kota-kota besar dan

merupakan suatu bukti bagaimana pola pikir masyarakat kita yang telah terdegradasi.

Maraknya tindakan korupsi di berbagai lembaga pemerintahan kita juga

merupakan penyebab lain, mengapa tingkat kemiskinan belum juga dapat ditekan. Karena

12
miliaran hingga triliunan uang negara yang telah diselewengkan oleh berbagai pejabat di

pemerintahan kita telah menimbulkan kerugian besar bagi keuangan negara. Di satu sisi

negara ingin mengentaskan kemiskinan dengan mengucurkan berbagai aliran dana

kepada rakyat miskin. Tetapi di sisi lain, ternyata banyak aliran dana yang malah

diselewengkan oleh pejabat-pejabat kita di pemerintahan hanya untuk kepentingan

(memperkaya diri sendiri). Seharusnya dana yang diselewengkan oleh para koruptor

tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian di negara kita, termasuk

membantu rakyat miskin

Kekeliruan Kebijakan ?

Maka jelaslah, kenapa hingga kini masalah kemiskinan belum juga dapat ditekan

hingga pada titik yang terendah. Karena masalah kemiskinan ternyata merupakan

masalah yang kompleks dan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam setiap sisi

kehidupan. Karenanya, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk

mengentaskan kemiskinan, tapi hingga kini faktanya masih banyak rakyat Indonesia yang

masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sepertinya pemerintah harus lebih jeli lagi

dalam memahami masalah kemiskinan. Karena selama ini, banyak kebijakan yang

ditetapkan pemerintah justru malah membebani rakyat dan secara langsung bukan malah

memerangi kemiskinan, tapi malah menjadikan rakyat semakin miskin. Seperti kebijakan

pemerintah untuk menetapkan berbagai pajak kepada rakyat yang kini dirasa semakin

membebani rakyat. Karena kita ketahui, banyak hasil pajak yang dipungut dari rakyat tapi

penggunaannya melenceng dari yang diharapkan.

13
Menurut Sajogyo (1988) Pajak bukan lagi berperan untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat. Tapi banyaknya pungutan pajak, malah sering digunakan sebagai ajang korupsi

bagi para pejabat kita di pemerintahan. Kekeliruan lain dari kebijakan pemerintah adalah

dengan menyerahkan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia kepada pihak

swasta (asing) dengan alasan demi efisiensi, kelancaran dan persaingan yang kompetitif

dalam mekanisme pasar. Dengan kebijakan tersebut, sesungguhnya telah menjadi

boomerang bagi negara sendiri. Karena otomatis perusahaan-perusaan asing seperti

Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freeport dan yang lainnya bebas mengeksploitasi

kekayaan alam yang ada di Indonesia.

Akibatnya, bukan pemasukan negara yang bertambah, tetapi pemasukan asing

yang bertambah. Sedang pemasukan negara tidak juga bertambah (malah berkurang).

Dalam kondisi yang seperti ini, tampak jelas bahwa pemerintah sesungguhnya telah gagal

dalam melindungi aset-aset atau kekayaan negara yang menguasai hajat hidup orang

banyak, agar sepenuhnya tetap berada dalam kekuasaan atau kepemilikan negara. Kalau

setiap kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah tidak juga memikirkan dampak

buruknya terhadap tingkat kesejahteraan rakyat dan hanya mementingkan kepentingan

para pengusaha dengan tujuan mencari laba (keuntungan pihak-pihak tertentu saja),

rasanya kemiskinan akan sulit untuk dituntaskan. Karena dampak dari kekeliruan

kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah imbasnya justru telah memporak-porandakan

kehidupan perekonomian masyarakat bawah yang selalu saja menjadi objek penderita

yang harus menerima segala kegagalan. Sehingga upaya pemerintah untuk mengentaskan

kemiskinan kini tak ubahnya seperti sebuah pertaruhan antara hidup dan kematian.

14
Menurut Dewanta (1995) Dengan demikian pembangunan yang berorientasi pada

kepentingan rakyat akan lebih mengutamakan empat faktor penting yakni :

pemberdayaan masyarakat (people empowerment), partisipasi masyarakat (people

participation), organisasi masyarakat (community organization), dan pemimpin yang

bijaksana (leadership). Faktor-faktor tersebut diatas dimaksudkan untuk memadukan dan

menentukan arah kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan anatara lain meliputi :

1. Kebijaksanaan yang tidak langsung yang diarahkan pada penciptaan kondisi yang

menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan.

Kebijaksanaan langsung yang ditujukan kepada golongan masyarakat

berpenghasilan rendah..

2. Kebijaksanaan khusus yang dimaksudkan untuk mempersiapkan masyarakat

miskin itu sendiri dan aparat yang bertanggung jawab langsung terhadap

kelancaran program, dan sekaligus memacu dan memperluas upaya untuk

menanggulangi kemiskinan.

C. Penyebab Kegagalan Program Pengentasan Kemiskinan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program

penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan

kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk

orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring

pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin ataupun pembagian BLSM (Bantuan

langsung sementara masyarakat) yang dinilai tidak tepat sasaran.. Upaya seperti ini akan

sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk

15
pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan

yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral

dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih

difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan

ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program

bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk

peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah,

seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya

biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Faktor kedua yang

dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya

pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-

program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang

penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang

digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data

makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro

hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada

dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan

asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada

kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat

keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup

banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat

budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Bisa saja terjadi bahwa

16
angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa

membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten atau kota).

Data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator

dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat

digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target

sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab

kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.

Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi

rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan

penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan

dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-

lokal Strategi ke depan Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001,

data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama

terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis

kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi

memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek

yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.

Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan

untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari

kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat

kabupaten atau kota, maupun di tingkat komunitas. Masalah utama yang muncul

sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu

17
relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan

sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat

menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas. Dalam proses

pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat

diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk

penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-

fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih

besar, dan wilayah. Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan

dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau

pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-

akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk

kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah

daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk

pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat

mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang

salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui

kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan. Keuntungan yang

diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih

besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut.

Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang

berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar

18
penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan

tidak tumpang tindih.

Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang

menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan

pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang

dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang

spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan

instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara

kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem

pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih

penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme

pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten. Mekanisme pengumpulan

data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat

merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di

antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem

santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan

di tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat desa.

Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa. Pada awal 1990-

an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih tinggi daripada rumah

19
sakit. Penempatan bidan di desa yang mendidik kader-kader dari kalangan penduduk

desa sendiri, dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu, menunjukkan

upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang

keberlanjutan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program

Keluarga Berencana juga merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat

kemiskinan keluarga. Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat

diberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya.

Pembukaan dan pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan

kesempatan kerja para transmigran. Dewasa ini dikenal pula program Jamkesmas

(jaminan kesehatan masyarakat) yang diharapkan dapat melindungi kesehatan masyarakat

miskin namun kenyataannya masih jauh dari harapan rakyat.

Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres,

seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, dan yang agak

belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat

juga program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan

Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit

Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan

(PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan

Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program nasional Pemberdayaan

Masyakat (PNPM)dan seterusnya. Hampir semua departemen mempunyai program

penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk

pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah.

20
Sebagaimana dikemukan di atas, struktur perekonomian Indonesia dengan mudah

ambruk karena berat di atas rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang seimbangnya

perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini pada

pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah

dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok usaha besar

ini dalam perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya saling memperkuat

dengan kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut

bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan

pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara

pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau

internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin

tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. Ketersediaan informasi tidak selalu akan

membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang

memahami makna atau arti dari informasi itu.

Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin

daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen. Sebagai wujud dari

pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan

pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah,

instansi terkait, perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam

pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.

21
Strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan merupakan

kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang berkembang,

termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman luar negeri telah

memainkan peran besar sebagai sumber pembiayaan. Padahal, sering terjadi adanya

ketidaksesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan donor dengan kebutuhan riil

masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan adanya kontraversi kerjasama MDGs Upaya

Pemerintah Indonesia merealisasikan Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2015

akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban

pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs seperti pendidikan,

kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan

pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar. Merujuk data

Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008,

beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan

jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu

yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun

drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun. tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah

pembayaran utang Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs.

Pemerintah Indonesia perlu menggalang solidaritas negara-negara Selatan untuk

mendesak negara-negara Utara meningkatkan bantuan pembangunan bukan utang, tanpa

syarat dan berkualitas minimal 0,7 persen dan menolak ODA (official development

assistance) yang tidak bermanfaat untuk Indonesia. Menanggapi pendapat tentang

kemungkinan Indonesia gagal mencapai tujuan MDGs apabila beban mengatasi

kemiskinan dan mencapai tujuan pencapaian MDG pada tahun 2015 serta beban

22
pembayaran utang diambil dari APBN pada tahun 2009-2015, Sekretaris Utama Menneg

PPN/Kepala Bappenas Syahrial Loetan berpendapat apabila bisa dibuktikan MDGs tidak

tercapai di 2015, sebagian utang bisa dikonversi untuk bantu itu. Pada tahun 2010 hingga

2012 pemerintah dapat mengajukan renegosiasi utang. Beberapa negara maju telah

berjanji dalam konsesus pembiayaan (monetary consensus) untuk memberikan bantuan.

Hasil kesepakatan yang didapat adalah untuk negara maju menyisihkan sekitar 0,7 persen

dari GDP mereka untuk membantu negara miskin atau negara yang pencapaiannya masih

di bawah. Namun konsensus ini belum dipenuhi banyak negara, hanya sekitar 5-6 negara

yang memenuhi sebagian besar ada di Skandinavia atau Belanda yang sudah sampai 0,7

persen

Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak pro kaum miskin, pengelolaan sumber

daya alam kurang hati-hati dan tidak bertanggung jawab, perencanaan pembangunan

bersifat top-down, pelaksanaan program berorientasi keproyekan, misleading

industrialisasi, liberalisasi perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang memadai

untuk melindungi kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin di dalam

masyarakat. Selanjutnya berkembang budaya materialisme, praktek KKN

23
III. Kesimpulan

Kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu

pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem

pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan

mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti

lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan

informasi yang spesifik daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa

walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan,

dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya

dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan

kabupaten. Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat

dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan

ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta

kompromi ekologi yang meningkat.

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) khusus untuk pengentasan

kemiskinan dan pengangguran, sebagaimana pemerintah memplot 20 persen APBN-nya

untuk sektor pendidikan. Di sisi lain, pemerintah dapat juga meningkatkan stimulus

fiskalnya khusus untuk mengurangi atau mengentaskan kemiskinan dan pengangguran.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, tersurat

pemerintah akan terus melanjutkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu pro

growth, pro job dan pro poor. Termasuk di dalamnya mewujudkan pertumbuhan disertai

pemerataan (growth with equity). Ketiga strategi itu diharapkan sebagai pendorong

percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan lebih banyak kesempatan

24
kerja. Dengan demikian, makin banyak keluarga Indonesia dapat menikmati hasil-hasil

pembangunan dan dapat keluar dari kemiskinan. Prioritas pembangunan nasional yang

dijabarkan dalam RPJM 2010-2014 terdapat 11 butir, antara lain penanggulangan

kemiskinan serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang disebut terakhir menuntut tidak

hanya pertumbuhan ekonomi tinggi, namun juga pertumbuhan ekonomi berkualitas

(inklusif) dan berkeadilan. Tantangan utama pembangunan ke depan tentu menciptakan

pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, yang mampu menciptakan lapangan kerja dan

mengurangi kemiskinan.

Bagaimanapun, pembangunan ekonomi yang pro growth, pro job, dan pro poor

perlu terus dilaksanakan. Cara yang ditempuh adalah dengan memperluas cakupan

program pembangunan berbasis masyarakat, serta meningkatkan akses masyarakat

miskin terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan juga

lembaga keuangan. Komitmen ini hendaknya tidak sebatas rencana dan wacana, namun

benar-benar harus dapat direalisasikan dan diimplementasikan. Sebenarnya, kondisi

perekonomian dunia yang terus membaik sebagai akibat krisis finansial global

mempunyai pengaruh terhadap kinerja perekonomian domestik. Ini terindikasi dari

meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. Dengan dukungan kebijakan pemerintah yang

ekspansif, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi seharusnya dapat memperluas

terciptanya lapangan kerja baru.

Sejak 2005, rata-rata setiap satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap

tenaga kerja baru sekitar 400.000 orang. Penyerapan tenaga kerja ini diperkirakan makin

meningkat sejalan dengan program dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan

25
investasi melalui perbaikan infrastruktur dan berbagai kebijakan lainnya.

Implementasi program-program ini terus dilakukan untuk memberikan akses yang lebih

luas kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, agar dapat menikmati hasil-

hasil pembangunan. Dilanjutkannya berbagai langkah antara lain melalui pemberian

subsidi, bantuan sosial, program keluarga harapan (PKH), PNPM Mandiri, dan dana

penjaminan kredit/pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan

koperasi melalui program kredit usaha rakyat (KUR). Program ini, apabila dilaksanakan

dengan benar dan tepat sasaran, dapat membantu pemenuhan kebutuhan dasar

masyarakat yang tidak atau belum mampu dipenuhi dari kemampuan mereka sendiri.

Hal-hal yang dapat disimpulkan dari paparan di atas adalah:

1. Masalah kemiskinan perkotaan merupakan bagian dari kemiskinan bangsa,

bersumber dari dalam kaum papa sendiri, dan terutama dampak pembangunan

topdown yang belum memihak sepenuhnya kepada rakyat banyak.

2. Sumberdaya yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan perkotaan

selama ini masih terlihat belum signifikan disertai komitmen yang tidak sungguh-

sungguh (lipservice).

3. Peningkatan good governance merupakan kunci penanggulangan kemiskinan

perkotaan.

4. Learning process bagi kaum papa perkotaan dan bagi pemerintah yang terkait

dengan penanggulangan kemiskinan, memang merupakan hal berat yang harus

dijalankan, namun demikian hal itu tidak terasa berat jika kita sebagai bangsa

26
segera bertekad meninggalkan kemiskinan yang telah berubah menjadi kehinaan

seperti sekarang ini.

Kemiskinan di indonesia, sampai saat sekarang masih banyak dan masih belum bisa

ditangani secara keseluruhan, makin bertambah dan banyak. Tapi semoga dengan adanya

penangulangan kemiskinan yang pemerintah adakan kemiskinan akan lebih bisa

berkurang dan warga masyarakat akan lebih sejahtera dan makmur. Berdasar uraian di

atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian

yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang

program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep

pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya

untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik

secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam

konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk

mengatasi masalahnya

Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa percepatan penanggulangan

kemiskinan dapat dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari

yang bersifat top-down menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-

sumber daya lokal. Penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan

keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil. Proses otonomi daerah yang sedang

berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun gamang pada awalnya, diyakini nanti akan

berada pada jalur yang pas. Yang diperlukan adalah konsistensi dari pemerintah pusat

untuk membimbing ke arah otonomi yang memberdayakan tersebut. Maka disarankan

27
agar program-program penanggulangan kemiskinan ke depan mengarah pada penciptaan

lingkungan lokal yang kondusif bagi keluarga miskin bersama komunitasnya dalam

menolong diri sendiri.

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai

dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya,

informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah

arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang

terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan

makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data

kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan

secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga

keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi

dapat tetap terjaga. Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna

untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari

pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana

daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan

dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan

yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui

kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.

Berkaitan dengan kerjasama Indonesia pada forum MDGs, meskipun dalam

Progress Report MDGs kawasan Asia dan Pasifik, Indonesia masih masuk kategori

negara yang lamban langkahnya dalam mencapai MDGs pada tahun 2015. Sumber

28
kelambanannya ditunjukkan dari masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, belum

teratasinya laju penularan HIV-AIDS, rendahnya tingkat pemenuhan air minum dan

sanitasi yang buruk serta beban utang luar negeri yang terus menggunung (MDGs

Progres Report in Asia and the Pacific, UNESCAP, 2010).

Untuk mencapai tujuan MDG mengenai kesehatan ibu, Indonesia harus

menurunkan angka kematian ibu saat melahirkan menjadi 102 per 100.000 kelahiran

hidup pada 2015, dari angka saat ini yaitu 228 per 100.000 kelahiran.

Pencapaian target MDGs terkait HIV AIDS kata Diah juga sulit dicapai oleh Indonesia

pada tahun 2015 karena dalam lima tahun terakhir jumlah penderita HIV AIDS di

Indonesia terus bertambah. Langkah tersebut tidaklah memadai jika hanya ditindaklanjuti

dengan pendirian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Nasional dan

institusi sejenis di tingkat daerah tanpa disertai dengan perubahan format penganggaran

pembangunan (baik di APBN maupun APBD) yang berbasis pada pencapaian MDGs.

Selama ini indikator-indikator yang dipakai untuk penyusunan APBN dan APBD

hanya indikator-indikator makroekonomi tanpa menyertakan indikator target MDGs dan

IPM. Oleh karena itu, harus ada perubahan mendasar dalam menilai keberhasilan

pembiayaan negara, bukan hanya pada tingkat penyerapan anggaran tetapi juga pada

dampak penggunaan anggaran pada pencapaian target MDGs dan indikator IPM yang

terukur. Terpenting adalah perlunya peran serta bersama antara semua masyarakat dan

pemerintah dalam pengentasan kemiskinan melalui penyediaan program padat karya

yang dapat menyerap tenaga kerja, merubah culture masyarakat agar tidak malas, dan

dari sisi pemerintah sangat ditekankan adalah menghilangkan rasa ketergantungan dengan

29
negara lain. Menggali potensi kekayaan alam Indonesia yang luar biasa melimpah akan

lebih baik dibandingkan dengan “mengemis’ , membuat hutang baru dsb. Penulis

berharap Bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang Mandiri dan Maju. Semoga

30
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Nur Affandi. Analisis : Bahaya Deindustrialisasi. Harian Kedaulatan Rakyat


Minggu 21 Februari 2010 hal 1.

Arief, Sritua. 1977. Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan


Kemiskinan Massal. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.

Arief R. Karseno, PemberdayaanMasyarakat Melalui Pengembangan Lokalitas Dalam


Perspekti Ekonomi, Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, 2002.

Badan Pusat Statistik, 2009. Penduduk Miskin (PoorPopulation). Berita Resmi Statistis
Penduduk Miskin No.04/Th.II/July, Jakarta:CBS.

Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial, 2003, Penduduk Fakir Miskin Indonesia,
BPS, Jakarta Indonesia

Dewanta, A.S. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta : Aditya


Media.

Gunawan Sumodiningrat; Sinkronisasi Program Penanggulangan kemiskinan, Lembaga


Pengabdian Masyarakat UGM, 2002.

Jalaludin, Rakhmat., 1999. Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi, Remaja


Rosdakarya, Bandung.

Maskun, Sumitro, 1997 Pembangunan Masyarakat Desa, Asas, Kebijaksanaan, dan


Manajemen, Media Widya Mandala, Yogyakarta,

Nasikun, 1995, Kemiskinan di Indonesia Menurun, dalam Perangkap Kemiskinan,


Problem, dan Strategi Pengentasannya, (Bagong Suyanto, ed), Airlangga Univercity
Press

Nugroho, Heru, 1995., Kemiskinan, Ketimpangan dan Pemberdayaan, dalam buku


Dewanta, Awan Setya,1995., Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia , Yogyakarta:
Aditya Media.

Pandu Suharto dan Makmun, Sebuah Pengalaman Dalam Mengurangi Kemiskinan di


daerah Pedesaan, dalam Majalah Pengembangan Perbankan Edisi Juli-Agustus 2006.

Sajogyo. 1998. Masalah Kemiskinan di Indonesia. Antara Teori dan Praktek. Mimbar
Sosek Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Suharto, Edi dkk. 2002, Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Keluarga
Miskin di Indonesia, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan (LSP) STKS

31
Sumodiningrat, Gunawan 1997, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat,
Bina Rena Pariwara, Jakarta. Cet.2

Supriatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta : Rineka Cipta.

Susetiawan, Pengembangan Lokalitas Dalam perspekif Sosial Budaya, Lembaga


Pengabdian Masyarakat UGM, 2002.

Tjokrowinoto, Moeljarto, 1999, Pembangunan: Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta.

Usman, Sunyoto, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta,

32

Anda mungkin juga menyukai