Bab I
Bab I
Pembimbing :
Disusun Oleh :
2014730022
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah
SWT karena berkat rahmat, nikmat, dan karunia serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
Refreshing yang berjudul “Tatalaksana Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Mellitus” yang
penulis ajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Departemen
Penyakit Dalam di Program Studi Profesi Dokter Universitas Muhammadiyah Jakarta. Tidak lupa
shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang
telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah ke zaman yang yang penuh ilmu pengetahuan
sampai hari ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
setiap pembacanya.
1.1 PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru dan Diabetes Melitus (DM) merupakan dua masalah kesehatan
yang cukup besar secara epidemiologi dan berdampak besar secara global karena keduanya
merupakan penyakit kronik dan saling berkaitan. Sejak permulaan abad ke-20, para klinisi
telah mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk
ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang menimbulkan manifestasi klinis
DM. Tuberkulosis paru tidak akan sembuh dengan baik pada diabetes yang tidak terkontrol.
TB paru pada penderita DM mempunyai karakteristik berbeda, sehingga sering tidak
terdiagnosis dan terapinya sulit mengingat interaksi obat TB dan obat antidiabetik oral.
1.2 DEFINISI
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi
menular yang banyak didapatkan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. World
Health Organization (WHO) Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat
583.000 penderita TB baru per tahun dengan 262.000 BTA positif atau laju insidens kira-kira
130 tiap 100.000 penduduk dan kematian akibat TB diperkirakan menimpa 140.000 penduduk
tiap tahun.
Kadar gula yang diharapkan pada pasien TB dengan DM berkisar 120-150mg/dl. Kadar
gula darah yang terkontrol membuat kerja OAT menjadi lebih efektif dan perbaikan klinis serta
radiologis yang lebih cepat pula.
Untuk mencegah semakin memberatnya kedua penyakit maka deteksi dini terdapatnya DM
pada pasien TB paru dan deteksi TB paru pada pasien DM merupakan cara yang dianjurkan
WHO untuk kelompok yang beresiko untuk timbulnya TB. pada penderita DM skrening TB
menunjukkan tingkat kepositifan 1,7-37% tergantung pada angka pevalens TB dan beratnya
DM. Sedangkan skrening DM pada penderita TB kepostifan berkisar 1,9-35%. Diabetes
mellitus secara klinis sulit dikenali pada pasien TB untukitu perlu dilakukan pemeriksaan gula
darah baik kadar gula darah sewaktu diikuti pemeriksasaan kadar gula darah puasa. Penelitian
yang dilakukan di China dan India dengan melakukan pemeriksaan ini berhasil dideteksi DM
pada 12-13% pasien TB. Pemeriksaan kadar gula darah ini sebaiknya dilakukan setelah
penderita mendapatkan terapi OAT.
Deteksi TB paru pada pasien DM dilakukan masih dengan metode standar yang dianjurkan
untuk diagnosis TB yaitu dengan pemeriksaan sputum BTA ditambah pemeriksaan foto toraks.
Deteksi TB pada pasien DM dengan mengandalkan klinis memiliki sensitifitas yang rendah.
Pemeriksaan foto toraks memberikan hasil yang lebih baik akan tetapi memerlukan biaya yang
lebih tinggi. Masih diperlukan penelitian untuk menentukan uji diagnosis yang tepat sekaligus
biaya yang murah untuk skrening dua arah TB dan DM.
1.5.1 Rekomendasi pengobatan tuberkulosis dengan diabetes melitus:
Belum ada rekomendasi khusus untuk pengobatan DM pada penderita TB, apakah
harus menggunakan insulin atau cukup dengan obat hipoglikemik oral. Tujuan
pengobatan DM adalah kendali glukosa darah. American Diabetes Association (ADA)
sejak tahun 2004 menekankan pada pencapaian target kendali glukosa darah pada level
tertentu. Pada tahun 2011, ADA memberikan rekomendasi target HbA1C kurang dari 7
atau yang setara dengan gula darah sebesar 154 mg/dl.
Panduan dari perhimpunan dokter paru Indonesia (PDPI) menyarankan paduan OAT
dan lama pengobatan yang pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat
gula darah terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan
dapat dilanjutkan sampai 9 bulan. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena
akan mengurangi efektivitas obat oral antidiabetes (sulfonilurea) sehingga dosisnya
perlu ditingkatkan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol pada mata, sedangkan
pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata. Penggunaan INH pada
pasien TB dengan DM harus lebih ketat dipantau efek neuropati perifer.
World Health Organization merekomendasikan untuk deteksi dini adanya infeksi TB
pada pasien DM, demikian sebaliknya mendeteksi adanya DM pada pasien TB. World
Health Organization dan The International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUATLD), di Paris (2011) belum merekomendasikan pada pasien DM tanpa
gejala untuk suatu uji saring TB. Masalah ini masih direkomendasikan sebagai suatu
rancangan penelitian besar untuk data pendukung rekomendasi berikutnya. Sedangkan
pasien dengan TB harus segera dilakukan uji saring adanya DM pada awal diagnosis,
kasus TB dengan DM harus dicatat tersendiri. Sedangkan pertemuan ke-5 WHO wilayah
Pasifik menyusun rancangan panduan untuk deteksi dini TB pada pasien DM, dengan
cara tes tuberkulin dan interferon gamma release assay (IGRA) untuk deteksi infeksi TB
laten, dan uji ini harus diulang setiap 5 tahun.
1.6 PROGNOSIS
Penderita TB paru dengan DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan
penderita TB paru tanpa DM selama terapi dan juga peningkatan risiko kekambuhan setelah
pengobatan dan penularan yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, Alius. 2011. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus. J Indon Med Assoc,
vol. 61,no. 4 : 173-178
Konsensus TB. 2014. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia
Sudoyo, A.W., Bambang S., Idrus, A., Marcellus S.K., Siti, S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V Jilid III. Jakarta: Internal Publishing
International Diabetes Federation. Diabetes and tuberculosis [Internet]. 2013. Available from:
http://www.idf.org/diabetesatlas/5e/diabetes-and-tuberculosis.
World Health Organization. Global tuberculosis control: 2010. Geneva: World Health
Organization; 2010.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Off set Citra Grafi ka; 2011