Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN PENDAHULUAN PERSALINAN

TINJAUAN TEORI

1. Tinjauan Teori Medis


A. Pengertian
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi
(janin+uri), yang dapat hidup ke dunia luar, dari rahim melalui jalan lahir
atau dengan jalan lain (Sofian, 2012).
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin
yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan
dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa
komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, 2011).
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran yang
terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan
presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam waktu 18-24 jam,
tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. Persalinan spontan
adalah persalinan yang terjadi karena dorongan kontraksi uterus dan
kekuatan mengejan ibu (Sumarah, 2009).
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban
keluar dari uterus ibu. Persalinann dianggap normal jika prosesnya terjadi
pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya
penyulit (JNPK-KR, 2008).
Persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan
pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan kontraksi
persalinan sejati, yang ditandai oleh perubahan progresif pada serviks, dan
diakhiri dengan pelahiran plasenta (Varney, 2008).
B. Sebab Mula Persalinan
Menurut Sumarah (2009), bagaimana terjadinya persalinan belum
diketahui dengan pasti, sehingga menimbulkan beberapa teori yang
berkaitan dengan mulainya kekuatan his. Hormon-hormon yang dominan
pada saat kehamilan yaitu :
1. Estrogen
Berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas otot rahim dan
memudahkan penerimaan rangsangan dari luar seperti rangsangan
oksitosin, rangsangan prostaglandin, rangsangan mekanis.
2. Progesteron
Berfungsi menurunkan sensitivitas otot rahim, menyulitkan
penerimaan rangsangan dari luar seperti oksitosin, rangsangan
prostaglandin, rangsangan mekanis, dan menyebabkan otot rahim dan
otot polos relaksasi. Pada kehamilan kedua hormon tersebut berada
dalam keadaan yang seimbang, sehingga kehamilan bisa dipertahankan.
Perubahan keseimbangan kedua hormone tersebut menyebabkan
oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofise parst posterior dapat
menimbulkan kontraksi dalam bentuk Braxton Hicks. Kontraksi ini
akan menjadi kekuatan yang dominan pada saat persalinan dimulai,
oleh karena itu makin tua kehamilan maka frekuensi kontraksi semakin
sering.
3. Oksitosin
Oksitosin diduga bekerja bersama atau melalui prostaglandin
yang makin meningkat mulai umur kehamilan minggu ke-15 sampai
aterm lebih-lebih sewaktu partus atau persalinan.
Disamping faktor gizi ibu hamil dan keregangan otot rahim dapat
memberikan pengaruh penting untuk mulainya kontraksi rahim. Dengan
demikian dapat dikemukakan beberapa teori yang memungkinkan
terjadinya proses persalinan :
1. Teori Keregangan
Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas
tertentu. Setelah melewati batas waktu tersebut terjadi kontraksi
sehingga persalinan dapat mulai. Keadaan uterus yang terus membesar
dan menjadi tegang mengakibatkan iskemia otot-otot uterus. Hal ini
mungkin merupakan faktor yang dapat mengganggu sirkulasi
uteroplasenter sehingga plasenta mengalami degenerasi. Pada
kehamilan ganda seringkali terjadi kontraksi setelah keregangan
tertentu, sehingga menimbulkan proses persalinan.
2. Teori penurunan progesteron
Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28
minggu, dimana terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah
mengalami penyempitan dan buntu. Villi koriales mengalami
perubahan-perubahan dan produksi progesteron mengalami penurunan,
sehingga otot rahim lebih sensitif terhadap oksitosin. Akibatnya otot
rahim mulai berkontraksi setelah tercapai tingkat penurunan
progesteron tertentu.
3. Teori oksitosin internal
Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofise parst posterior.
Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron dapat mengubah
sensitivitas otot rahim, sehingga sering terjadi kontraksi braxton hicks.
Menurunnya konsentrasi progesteron akibat tuanya kehamilan maka
oksitosin dapat meningkatkan aktivitas, sehingga persalinan dimulai.
4. Teori prostaglandin
Konsentrasi prostaglandin meningkat sejak umur kehamilan 15
minggu, yang dikeluarkan oleh desidua. Pemberian prostaglandin pada
saat hamil dapat menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga terjadi
persalinan. Prostaglandin dianggap dapat memicu terjadinya
persalinan.
5. Teori hipotalamus-pituitari dan glandula suprarenalis
Teori ini menunjukkan pada kehamilan dengan anensefalus
sering terjadi keterlambatan persalinan karena tidak terbentuk
hipotalamus. Teori ini dikemukakan oleh Linggin (1973). Malpar tahun
1933 mengangkat otak kelinci percobaan, hasilnya kehamilan kelinci
menjadi lebih lama. Pemberian kortikosteroid yang dapat menyebabkan
maturitas janin, induksi persalinan. Dari 14 beberapa percobaan
tersebut disimpulkan ada hubungan antara hipotalamus-pituitari dengan
mulainya persalinan. Glandula suprarenal merupakan pemicu
terjadinya persalinan.
6. Teori berkurangnya nutrisi
Berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan oleh Hippokrates
untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka hasil
konsepsi akan segera dikeluarkan.
7. Faktor lain
Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus frankenhauser yang
terletak dibelakang serviks. Bila ganglion ini tertekan, maka kontraksi
uterus dapat dibangkitkan. Bagaimana terjadinya persalinan masih tetap
belum dapat dipastikan, besar kemungkinan semua faktor bekerja
bersama-sama, sehingga pemicu persalinan menjadi multifaktor.
C. Tanda Gejala
1. Tanda Permulaan Persalinan
Sebelum terjadi persalinan sebenarnya beberapa minggu
sebelumnya wanita memasuki bulannya atau minggunya atau harinya
yang disebut kala pendahuluan (preparatory stage of labor). Ini
memberikan tanda-tanda sebagai berikut :
a) Lightening
Lightening menyebabkan tinggi fundus menurun ke posisi
yang sama dengan posisi fundus pada usia kehamilan 8 bulan.
Lightening yang mulai dirasa kira-kira dua minggu sebelum
persalinan adalah penurunan bagian presentasi bayi ke dalam
pelvis minor, dan memperkuat firasat ibu bahwa kelahiran bayi
yang telah dinanti akan segera tiba (Varney, 2008).
b) Perubahan Serviks
Mendekati persalinan, serviks semakin matang, masih
lunak, dengan konsistensi seperti pudding, dan mengalami sedikit
penipisan (effacement) dan mengalami sedikit dilatasi. Perubahan
serviks diduga terjadi akibat peningkatan intensitas kontraksi
Braxton Hicks. Kematangan serviks mengindikasikan kesiapannya
untuk persalinan (Varney, 2008).
c) Persalinan Palsu
Persalinan palsu terdiri dari kontraski uterus yang snagat
nyeri, yang memberi pengaruh signifikan terhdapa serviks.
Persalinan palsu dapat terjadi selama berhari-hari atau secara
intermiten bahkan tiga atau empat minggu sebelum awitan
persalinan sejati. Persalinan palsu sangat nyeri dan wanita dapat
mengalami kurang tidur dan kekurangan energi dalam
menghadapinya (Varney, 2008).
d) Bloody Show
Bloody Show paling sering terlihat sebagai rabas lendir
bercampur darah yang lengket dan harus dibedakan dengan cermat
dari perdarahan murni.
Bloody Show merupakan tanda persalinan yang akan
terjadi dalam 24 sampai 48 jam. Akan tetapi tidak berguna jika
pemeriksaan vagina atau pemeriksaan dalam di lakukan dalam 48
jam sebelumnya karena lendir bercampur darah selama waktu
tersebut kemungkinan hanya trauma (Varney, 2008).
e) Lonjakan Energi
Banyak wanita mengalami lonjakan energi kurang lebih
24 sampai 48 jam sebelum mulai persalinan. Akibatnya mereka
memasuki masa persalinan dalam keadaan letih dan sering kali
persalinan menjadi sulit dan lama (Varney, 2008).
f) Gangguan Saluran Cerna
Ketika tidak ada penjelasan tepat untuk diare, kesulitan
mencerna, mual, dan muntah, diduga hal-hal tersebut merupakan
gejala menjelang persalinan, beberapa wanita mengalami satau
atau beberapa gejalan tersebut (Varney, 2008).
g) Polakisuria
Perasaan sering-sering atau susah kencing, karena
kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin (Sofian, 2012).
h) False Labor Pains
Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya
kontraksi-kontraksi lemah dari uterus (Sofian, 2012).
i) Adanya Kontraksi Rahim
Kontraksi uterus memiliki periode relaksasi yang
memiliki fungsi penting untuk mengistirahatkan otot uterus,
memberi kesempatan istirahat bagi wanita, dan mempertahankan
kesejahteraan bayi karena kontraksi uterus menyebabkan
konstraksi pembuluh darah plasenta. Durasi kontraksi uterus sangat
bervariasi, tergantung pada kala persalinan wanita tersebut.
Kontraksi pada persalinan aktif berlangsung dari 45 sampai 90
detik dengan durasi ratarata 60 detik. Pada persalinan awal,
kontraksi mungkin hanya berlangsung 15 sampai 20 detik.
Frekuensi kontraksi ditentukan dengan mengukur waktu
dari permulaan satu kontraksi ke permulaan kontraksi selanjutnya.
Kontraksi biasanya disertai rasa sakit, nyeri, makin mendekati
kelahiran. Kejang nyeri tidak akan berkurang dengan istirahat,
wanita yang sedang dalam keadaan takut dan tidak mengetahui apa
yang terjadi pada dirinya serta tidak dipersiapkan dengan teknik
relaksasi dan pernapasan untuk mengatasi kontraksinya akan
menangis dan bergerak tak terkendali di tempat tidur hanya karena
kontraksi ringan.
Sebaliknya wanita yang sudah memiliki pengalaman atau
telah dipersiapkan dalam menghadapi pengalaman kelahiran dan
mendapat dukungan dari orang terdekat atau tenaga professional
yang terlatih memimpin perslinan, atau wanita berpendidikan tidak
menunjukkan kehilangan kendali atau menagis bahkan pada
kontraksi yang hebat sekalipun (Varney, 2008).
2. Tanda – Tanda Inpartu
Menurut Sumarah (2009), tanda – tanda inpartu sebagai berikut:
a) Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan
teratur.
b) Keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena robekan-
robekan kecil pada serviks.
c) Dapat disertai ketuban pecah dini.
d) Pada pemeriksaan dalam, serviks mendatar dan terjadi pembukaan
serviks.
Menurut Sofian (2012), tanda-tanda persalinan sebagai berikut :
1) Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sring, dan
teratur
2) Keluar lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena
robekan-robekan kecil pada serviks.
3) Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
4) Pada pemeriksaan dalam, serviks mendatar dan pembukaan
telah ada.
D. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Persalinan
1. Power (Kekuatan)
Kekuatan his yang adekuat dan tambahan kekuatan mengejan
Manuaba (2007). Kontraksi uterus involunter yang dibantu oleh daya
dorong ibu selama kala dua, harus memiliki kekuatan yang adekuat
dengan koordinasi aktivitas otot (Reeder, 2014).
Kekuatan terdiri dari kemampuan ibu melakukan kontraksi
involunter dan volunteer secara bersamaan untuk mengeluarkan janin
dan plasenta dari uterus. Kontraksi involunter disebut juga kekuatan
primer, menandai dimulainya persalinan. Apabila serviks berdilatasi,
usaha volunteer dimulai untuk mendorong, yang disebut kekuatan
sekunder, dimana kekuatan ini memperbesar kekuatan kontraksi
involunter. Kekuatan primer berasal dari titik pemicu tertentu yang
terdapat pada penebalan lapisan otot di segmen uterus bagian atas. Dari
titik pemicu, kontraksi dihantarkan ke uterus bagian bawah dalam
bentuk gelombang, diselingi periode istirahat singkat. Kekuatan
sekunder terjadi segera setelah bagian presentasi mencapai dasar
panggul, sifat kontraksi berubah yakni bersifat mendorong keluar.
Sehingga wanita merasa ingin mengedan. Usaha mendorong ke bawah
ini yang disebut kekuatan sekunder. Kekuatan sekunder tidak
mempengaruhi dilatasi serviks, tatapi setelah dilatasi serviks lengkap.
Kekuatan ini penting untuk mendorong bayi keluar dari uterus dan
vagina. Jika dalam persalinan seorang wanita melakukan usaha
volunteer (mengedan) terlalu dini, dilatasi serviks akan terhambat.
Mengedan akan melelahkan ibu dan menimbulkan trauma pada serviks
(Sumarah, 2009).
2. Passage (Jalan lahir)
Jalan lahir harus memiliki ukuran dan konfigurasi yang sesuai,
tidak memberikan rintangan yang tidak semestinya pada penurunan,
rotasi, dan pengeluaran bayi baru lahir (Reeder, 2014).
Empat jenis panggul dasar, menurut Verralls (2010),
dikelompokkan sebagai berikut :
a) Ginekoid (tipe wanita klasik).
Panggul Ginekoid adalah nama lain dari pelvis atau panggul wanita
normal. Pintu masuk bulat, mempunyai sakrum dengan lengkung
yang baik, mempunyai spina ischiadika yang tumpul (bulat), tidak
tajam dan tidak menonjol. Arcus pubis mempunyai sudut yang
membulat. Karena pelvis bulat di depan, maka fetus akan
memberikan presentasi kepala, dengan bagian yang paling bulat
(yaitu occiput) di depan, dan pada presentasi ini merupakan letak
yang paling menguntungkan pada permulaan persalinan.
b) Android (mirip panggul pria).
Panggul Android adalah pelvis jenis laki-laki, tulang-tulangnya
lebih berat dibanding pelvis wanita, dan terdapat beberapa ciri-ciri
khusus. Pintu masuk berbentuk jantung, menyebabkan pelvis
bagian depan sangat sempit. Diameter tranversa yang diukur antara
dua titik terjauh pada pintu masuk pelvis tidak akan menyilang
pusat diameter anteroposterior (AP), tetapi jauh lebih dekat
sacrum, dengan demikian perlu ditekankan adanya faktor bahwa
terdapat ruang yang lebih luas pada bagian belakang pelvis
dibandingkan bagian depan.
Karena pelvis belakang lebih bulat bentuknya dan terdapat ruang
yang lebih luas, maka fetus akan terletak dengan occiput berada
pada kuadran posterior kanan atau kiri. Pada 90% posisi posterior
ini, walaupun persalinan cenderung berlangsung lama, tetapi
persalinan berlangsung normal. Beberapa persalinan normal
tersebut akan terjadi dengan posisi occiput posterior yang menetap
(artinya lahir dengan muka menghadap pubis), sedangkan sebagian
kecil akan memberiakan presentasi muka. Walaupun demikian,
sacrum yang luas akan menyebabkan terhalangnya rotasi (putaran)
kepala janin, spina ischiadica yang menonjol akan menghalangi
turunnya fetus, dan arcus pubis yang sempit tidak memungkinkan
kelahiran occiput. Pada keadaan demikian akan diperlukan rotasi
kepala secara manual (dengan tangan penolong) dan kelahiran
dengan alat atau seksio caesarea.
c) Antropoid (mirip panggul kera anthopoid).
Panggul Antropoid, biasanya dipunyai oleh wanita Kaukasia, yang
perawakannya sangat tinggi dengan tungkai yang panjang, dan
pelvis demikian juga umumnya terdapat pada wanita Afrika
Selatan. Pintu masuk berbentuk oval, mempunyai diameter
anteroposterior yang panjang, tetapi diameter tranversa lebih
pendek. Pintu keluar adekuat pada semua diameternya, dengan
arcus pubis yang agak lebar. Fetus umumnya memperlihatkan
presentasi dengan panjang kepala berada pada diameter
anteroposterior pintu masuk pelvis, pintu masuk ini paling mudah
dilalui kepala fetus. Lebih sering occiput terletak pada cekung
sacrum dan bukannya mengarah ke anterior. Kemudian fetus
mewakili pelvis dengan posisi yang tetap sama, dan lahir dengan
posisi oksipitoposterior yang tidak mengalami reduksi, dan
bukannya muka yang menghadap perineum.
d) Platipeloid (panggul pipih).
Pelvis jenis ini dapat disebabkan oleh faktor perkembangan,
rakhitis, atau faktor herediter. Keadaan demikian sering ditemukan
pada wanita-wanita Afrika, mungkin tidak hanya karena faktor diet
yang buruk, tetapi juga karena kebiasaan membawa beban berat di
kepala pada masa perkembangan. Pintu masuk mempunyai
diameter anteroposterior yang pendek, tetapi diameter transversa
lebih panjang, sehingga memberikan pintu masuk yang berbentuk
ginjal atau kacang kara. Kepala fetus mengalami kesulitan dalam
memasuki pintu masuk pelvis, dan biasanya mengalami presentasi
dengan diameter panjang kepala menyilang diameter transversa
dari pintu masuk pelvis yang ruangannya lebih luas.
Karena kepala letaknya tinggi, maka membrana amnii mungkin
pecah awal dan ada kemungkinan terjadinya prolaps fenikuli
umbilicalis. Dengan kontraksi uterus yang baik, kepala akan
terdorong maju antara promontorium dengan symphysis pubis.
Tulang-tulang tengkorak akan bertumpang tindih satu sama lain
dengan adanya tekanan ini, dan proses ini disebut asinklinasi,
kemudian akan diikuti oleh kelahiran kepala dengan cepat. Apabila
pintu masuk pelvis sangat sempit, maka kepala fetus tetap
mengambang jauh diatas pintu masuk pelvis ini, dan diperlukan
seksio caesarea.
3. Passenger (Janin)
Janin dapat mempengaruhi jalannya kelahiran karena ukuran
dan presentasinya. Dari semua bagian janin, kepala janin merupakan
bagian yang paling kecil mendapat tekanan. Namun, karena
kemampuan tulang kepala untuk molase satu sama lain, janin dapat
masuk melalui jalan lahir asalkan tidak terlalu besar dan kontraksi
uterus cukup kuat. Passanger atau janin, bergerak sepanjang jalan lahir
merupakan akibat interaksi beberapa faktor, yakni ukuran kepala janin,
presentasi, letak, sikap, dan posisi janin. Karena plasenta juga harus
melewati jalan lahir, maka ia dianggap juga sebagai bagian dari
passenger yang menyertai janin. Namun plasenta jarang menghambat
proses persalinan pada kehamilan normal (Sumarah, 2009).
4. Psikis ibu
Respon psikologis ibu dapat mempengaruhi kemajuan
persalinan dan mungkin memperlemah tenaga. Misalnya ketakolamin
maternal disekresikan jika wanita yang tengah bersalin mengalami
cemas. Pelepasan hormon stress ini menghambat kontraksi uterus dan
mengganggu aliran darah plasenta (Reeder, 2014).
Dukungan psikologis dari orang-orang terdekat akan membantu
memperlancar proses persalinan yang sedang berlangsung. Tindakan
mengupayakan rasa nyaman dengan menciptakan suasana yang
nyaman dalam kamar bersalin, memberi sentuhan, memberi
penenangan nyari non farmakologi, memberi analgesia jika diperlukan
dan yang paling penting berada disisi pasien adalah bentuk-bentuk
dukungan psikologis. Dengan kondisi psikologis yang positif proses
persalinan akan berjalan lebih mudah (Sumarah, 2009)
5. Penolong
Peran dari penolong persalinan adalah mengantisipasi dan
menangani komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu atau janin. Bila
diambil keputusan untuk melakukan campur tangan, ini harus
dipertimbangkan dengan hati-hati, tiap campur tangan bukan saja
membawa keuntungan potensial, tetapi juga risiko potensial. Pada
sebagian besar kasus, penanganan yang terbaik dapat berupa “observasi
yang cermat”. Dalam menghadapi persalinan seorang calon ibu dapat
mempercayakan dirinya pada bidan, dokter umum, dokter spesialis
obstetric dan ginekologi, bahkan melakukan pengawasan hamil 12-14
kali sampai pada persalinan.
Pertemuan konsultasi dan menyampaikan keluhan, menciptakan
hubungan saling mengenal antar calon ibu dengan bidan atau dokter
yang akan menolongnya. Kedatangannya sudah mencerminkan adanya
“informed consent” artinya telah menerima informasi dan dapat
menyetujui bahwa bidan atau dokter itulah yang akan menolong
persalinannya. Pembinaan hubungan antara penolong dan ibu saling
mendukung dengan penuh kesabaran sehingga persalinan dapat
berjalan dengan lancar (Bandiyah, 2009).
E. Tahap – Tahap Persalinan
Menurut Sofian (2012), proses persalinan terdiri dari 4 kala, yaitu:
1. Kala I (Kala Pembukaan)
a. Pengertian
Waktu pembukaan serviks sampai menjadi pembukaan
lengkap 10 cm. Partus dimulai dengan keluarnya lendir bercampur
darah (boody show) karena serviks mulai membuka (dilatasi) dan
mendatar (effacement). Kala pembukaan dibagi menjadi 2 fase,
yaitu:
1) Fase Laten : pembukaan serviks yang berlangsung lambat
sampai pembukaan 3 cm, lamanya 7-8 jam.
2) Fase aktif : berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3 subfase
yakni :
(a) Fase Akselerasi: berlangsung 2 jam pembukaan 3 cm
menjadi 4 cm.
(b) Fase Dilatasi Maksimal: berlangsung 2 jam pembukaan
serviks berlangsung sangat cepat menjadi 9 cm.
(c) Fase Deselerasi: pembukaan serviks berlangsung menjadi
lambat, dalam waktu 2 jam pembukaan menjadi 10 cm
(lengkap).
2. Kala II (Kala Pengeluaran Janin)
a. Pengertian
Pada kala pengeluaran janin, dimulai dengan dilatasi
lengkap serviks dan di akhiri dengan kelahiran bayi. Tahap ini
disebut dengan tahap ekspulsi.
Dengan kekuatan his yang kuat, cepat, dan lama ditambah
kekuatan mengedan karena tekanan pada rektum, akan lahir kepala,
diikuti oleh seluruh badan janin. Kala II pada primi berlangsung
selama 1 ½-2 jam, pada multi ½-1 jam.
b. Tanda persalinan Kala II
Ibu merasakan ingin mengejan dengan adanya kontraksi,
adanya peningktan tekanan pada rectum atau vagina, perineum
terlihat menonjol, adanya peningkatan pengeluaran lender dan
darah, dan jika pembukaan sudah lengkap siapkan untuk
melakukan pertolongan.
3. Kala III (Kala Pengeluaran Uri)
a. Pengertian
Waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri biasanya
seluruh proses berlangsung 5-30 menit setelah bayi lahir.
Pengeluaran plasenta disertai dengan penegluaran darah kira-kira
100-200 cc.
b. Tanda kala III
Kala III perasalinan terdiri dari dua fase, yaitu fase
pelepasan plasenta dan pengeluaran terjadi karena adanya
kontraksi, mulai terhenti setelah singkat dalam kelahiran bayi.
Kontraksi kurang lebih sampai 2 sampai 2,5 menit selama kala dua
persalinan.
4. Kala IV
a. Pengertian
Kala pengawasan selama 1-2 jam setelah bayi dan uri lahir
untuk mengamati keadaan ibu, terutama terhadap bahaya
perdarahan postpartum.
b. Pemantauan Kala IV
Menurut Prawirohardjo (2009) Dalam Kala IV persalinan
hal yang harus di perhatian adalah:
1) Fundus : rasakan apakah fundus berkontraksi dengan kuat dan
berada di bawah umbilikus setian 15 menit pada jam pertama,
setiap 30 menit pada jam kedua, massase jika perlu untuk
menimbulkan kontraksi.
2) Plasenta : periksa kelengkapan plasenta untuk memastikan tidak
adanya bagian yang tertinggal.
3) Selaput ketuban : periksa kelengkapan selaput untuk
memastikan tidak ada bagian yang tersisa dari dalam uterus.
4) Perenium : periksa luka robekan pada perenium dan vagina yang
membutuhkan luka.
5) Pemeriksaan pengeluaran darah : dengan meperkirakan darah
yang menyarap pada kain dengan menentukan berapa banyak
kantong darah 500 cc dapat terisi
6) Lokhea : pada pemeriksaan ini apakah ada darah keluar
langsung pada saat memeriksa uterus. Jika kontraksi kuat,
lokhea kemungkinan tidak lebih dri menstruasi.
7) Kandung kemih : periksa kandung kemih untuk memastikan
kandungkemih tidak penuh.
8) Kondisi Ibu : periksa setiap 15 menit pda jam pertama, dan
setiap 30 menit pada jam kedua setelah persalinan.
9) Kondisi bayi Baru lahir ; apakah bayi bernafas dengan baik,
apakah bayi kering dan hangat, apakah bayi siap disusui/
pemberian ASI memuaskan.
F. Perubahan Fisiologis
1. Perubahan Fisiologis Kala I
Perubahan fisiologis ibu bersalin kala I menurut Varney (2008)
yaitu :
a. Tekanan darah
Tekanan darah meningkat selama kontraksi disertai
peningkatan sistolik rata-rata 15 (10-20) mmHg dan diastolik rata-
rata 5-10 mmHg. Di antara kontraksi-kontraksi, tekanan darah akan
turun seperti sebelum masuk persalinan. Mengubah posisi tubuh
dari telentang ke posisi miring, perubahan tekanan darah selama
kontraksi dapat dihindari, nyeri, rasa takut, dan kekhawatiran dapat
semakin meningkatkan tekanan darah.
b. Metabolisme
Selama persalinan baik metabolisme karbohidrat aerobik
maupun anaerobik meningkat dengan kecepatan tetap, disebabkan
karena ansietas dan aktivitas otot rangka..
c. Suhu
Sedikit meningkat selama persalinan, tertinggi selama dan
segera setelah melahirkan. Dianggap normal apabila peningkatan
suhu tidak lebih dari 0,5 samapai 1 ºC, mencerminkan peningkatan
metabolisme selama persalinan.
d. Denyut nadi
Frekuensi denyut nadi di antara kontraksi sedikit lebih tinggi
dibanding selama periode menjelang persalinan. Penurunan yang
mencolok selama puncak kontraksi uterus tidak terjadi jika wanita
berada pada posisi miring, bukan telentang.
e. Pernapasan
Sedikit peningkatan frekuensi pernapasan masih normal.
Hiperventilasi yang memanjang adalah temuan abnormal dan dapat
menyebabkan alkalosis.
f. Perubahan pada ginjal
Poliuria sering terjadi selama persalinan, disebabkan
peningkatan lebih lanjut curah jantung selama persalinan dan
kemungkinan laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal.
Poliuria menjadi kurang jelas pada posisi telentang, karena
membuat aliran urine berkurang selama kehamilan.
g. Perubahan pada saluran cerna
Motilitas dan absorpsi lambung terhadap makanan padat jauh
berkurang. Jika kondisi ini diperburuk oleh penurunan lebih lanjut
sekresi asam lambung selama persalinan, maka saluran cerna
bekerja dengan lambat sehingga waktu pengosongan lambung
menjadi lebih lama. Mual dan muntah umum terjadi selama fase
transisi, yang menandai akhir fase pertama persalinan.
Selain diatas ada lagi perubahan fisiologis menurut Reeder
(2014), sebagai berikut :
a. Hematopoietik
Persalinan bayi cukup bulan pervaginam menyebabkan
kehilangan drah rata-rata 500 ml sedangkan secara sesaria rata-rata
1.000 ml. Selama persalinan waktu pembekuan darah sedikit
menurun, tetapi kadar fibrinogen plasma meningkat. Jumlah
lekosit normlanya meningkat.
b. Nyeri
Selama kala I persalinan nyeri disebabkan karena dilatasi
serviks dan distensi segmen uterus bawah. Nyeri pada kala II
disebabkan oleh distensi dan gangguan pada bagian bawah vagina
dan perineum. Pada awal kala I, sensasi nyeri biasanya berlokasi di
punggung bawah, kemudian menjalar ke sekelilingnya, seperti
korset/ikat pinggang, sampai ke bagian anterior abdomen. Saat
persalinan ke fase aktif, wanita sering kali memilih untuk tetap di
tempat tidur, dan menjadi terpengaruh oleh sensasi di dalam
tubuhnya dan cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar.
Saat dilatasi serviks mencapai 8-9 cm, kontraksi mencapai
intensitas puncak, dan wanita memasuki fase transisi. Fase transisi
merupakan waktu yang paling sulit dan sangat nyeri bagi wanita.
Wanita menjadi semakin sensitif dan kehilangan kontrol, biasanya
ditandai dengan meningkatnya show akibat ruptur pembuluh darah.
2. Perubahan Fisiologis Kala II
Menurut Rukiah AY (2009), kala dua persalinan adalah kala
pengeluaran dimulai saat serviks telah membuka lengkap dan berlanjut
hingga bayi lahir. Pada kala II, kontraksi uterus menjadi lebih kuat dan
lebih cepat yaitu setiap 2 menit sekali dengan durasi >40 detik,
intensitas semakin lama semakin kuat.
Karena biasanya pada tahap ini kepala janin sudah masuk
dalam ruang panggul, maka pada his dirasakan adanya tekanan pada
otot-otot dasar panggul yang secara reflex menimbulkan rasa ingin
meneran. Pasien merasakan adanya tekanan pada rectum dan merasa
seperti ingin BAB (Sulistiyawati A, 2009).
Menurut Damayanti (2014) Perubahan fisiologis pada kala II
adalah sebagai berikut :
a. Serviks
Serviks akan mengalami pembukaan yang biasanya
didahului oleh pendataran serviks yaitu pemendekan dari kanalis
servikalis, yang semula berupa sebuah saluran yang panjangnya 1-
2 cm, menjadi suatu lubang saja dengan pinggir yang tipis. Lalu
akan terjadi pembersaran ostium eksternum yang tadinya berupa
suatu lubang dengan beberapa milimeter mejadi lubang yang dapat
dilalui anak, kira-kira 10 cm. Pada pembukaan lengkap tidak teraba
bibir portio, segmen bawah rahim, serviks dan vagina telah
merupakan satu saluran.
b. Uterus
Saat ada his, uterus teraba sangat keras karena seluruh
ototnya berkontraksi. Proses ini akan efektif hanya jika his bersifat
fundal dominan, yaitu kontraksi didominasi oleh otot fundus yang
menarik otot bawah rahim keatas sehinga akan menyebabkan
pembukaan serviks dan dorongan janin ke bawah secara alami.
c. Vagina
Sejak kehamilan vagina mengalami perubahan-perubahan
sedemikian rupa, sehingga dapat dilalui bayi. Setelah ketuban
pecah, segala perubahan, terutama pada dasar panggul diregang
menjadi saluran dengan dinding-dinding yang tipis oleh bagian
depan anak. Waktu kepala sampai di vulva, lubang vulva
menghadap ke depan atas.
d. Pergeseran organ dasar panggul
Tekanan pada otot dasar panggul oleh kepala janin akan
menyebabkan pasien ingin meneran, serta diikuti dengan perenium
yang menonjol dan menjadi lebar dengan anus membuka. Labia
mulai membuka dan tak lama kemudiaan kepala janin tampak pada
vulva saat ada his.
e. Ekspulsi janin
Dengan his serta kekuatan meneran maksimal, kepala janin
dilahirkan dengan suboksiput di bawah simfisis, kemudian dahi,
muka, dan dagu melewati perenium. Setelah istirhatat sebentar, his
mulai lagi untuk mengeluarkan badan dan anggota tubuh bayi. Pada
primigravida, kala II berlangsung kira-kira satu setengah jam
sedangkan pada multigravida setengah jam.
f. Sistem Cardiovaskuler
1) Kontraksi menurunkan aliran darah menuju uterus sehingga
jumlah darah dalam sirkulasi ibu meningkat
2) Resistensi perifer meningkat sehingga tekanan darah meningkat
3) Saat mengejan, cardiac output meningkat 40-50%
4) Tekanan darah sistolik meningkat rata-rata 15mmHg saat
kontraksi. Upaya meneran juga akan memengaruhi tekanan
darah, dapat meningkatkan dan kemudian menurun kemudian
akhirnya kembali lagi sedikit di atas normal. Rata-rata normal
peningkatan tekanan darah selama kala II adalah 10 mmHg.
5) Janin normalnya dapat beradaptasi tanpa masalah
6) Oksigen yang menurun selama kontraksi menyebabkan
hipoksia tetapi dengan kadar yang masih adekuat tidak
menimbulkan masalah serius
g. Respirasi
1) Respon terhadap perubahan sistem kardiovaskuler : konsumsi
oksigen meningkat
2) Percepatan pematangan surfaktan (fetus labor speed maturation
of surfactant): penekanan pada dada selama proses persalinan
membersihkan paru-paru janin dari cairan yang berlebihan
h. Pengaturan Suhu
1) Aktivitas otot yang meningkat menyebabkan sedikit kenaikan
suhu
2) Peningkatan suhu tertinggi terjadi pada saat proses persalinan
dan segera setelahnya, peningkatan suhu normal adalah 0,5 – 1
o
C.
3) Keseimbangan cairan : kehilangan cairan meningkat oleh
karena meningkatnya kecepatan dan kedalaman respirasi yang
menyebabkan restriksi cairan.
i. Urinaria
Penekanan kepala janin menyebabkan tonus vesical kandung
kencing menurun.
j. Musculoskeletal
1) Hormon relaxin menyebabkan pelunakan kartilago di antara
tulang
2) Fleksibilitas pubis meningkat
3) Nyeri punggung
4) Tekanan kontraksi mendorong janin sehingga terjadi flexi
maksimal
k. Saluran cerna
1) Praktis inaktif selama persalinan
2) Proses pencernaan dan pengosongan lambung memanjang
3) Penurunan motilitas lambung dan absorbsi yang hebat berlanjut
sampai pada kala II. Biasanya mual dan muntah pada saat
transisi akan mereda selama kala II persalinan, tetapi bisa terus
ada pada beberapa pasien. Bila terjadi muntah, normalnya
hanya sesekali. Muntah yang konstan dan menetap selama
persalinan merupakan hal yang abnormal dan mungkin
merupakan indikasi dari komplikasi obstetric, seperti ruptur
uterus atau toksemia.
l. System syaraf
Kontraksi menyebabkan penekanan pada kepala janin, sehingga
denyut jantung janin menurun.
m. Metabolisme
Peningkatan metabolisme terus berlanjut hingga kala II persalinan.
Upaya meneran pasien menambah aktivita otot-otot rangka
sehingga meningkatkan metabolisme.
n. Denyut nadi
Frekuensi denyut nadi bervariasi tiap kali pasien meneran. Secara
keseluruhan frekuensi nadi meningkat selama kala II disertai
takikardi yang nyata ketika mencapai puncak menjelang kelahiran
bayi.
3. Perubahan Fisiologis Kala III
Menurut Sondakh J S (2013) menjelaskan bahwa ada tiga
perubahan utama yang terjadi pada saat proses persalinan kala III, yaitu
:
a. Perubahan bentuk dan tinggi fundus uteri
Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi,
uterus berbentuk bulat penuh, dan tinggi fundus biasanya terletak
dibwah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta terdorong
ke bawah, uterus berbentuk segetiga atau berbentuk menyerupai
buah pir atau alpukat, dan fundus berada diatas pusat (sering kali
mengarah ke sisi kanan).
b. Tali pusat memanjang
Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva (tanda Ahfeld).
c. Semburan darah mendadak dan singkat
Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu
mendorong plasenta keluar dan dibantu oleh gaya gravitasi. Apabila
kumpulan darah (retroplacental pooling) dalam ruang di antara
dinding uterus dan permukaan dalam plasenta melebihi kapasitas
tampungnya, maka darah akan tersembur keluar dari tepi plasenta
yang terlepas
4. Perubahan Fisiologis Kala IV
Dua jam pertama setelah persalinan merupakan saat yang
paling kritis bagi pasien dan bayinya. Tubuh pasien melakukan adaptasi
yang luar biasa setelah kelahiran bayinya agar kondisi tubuh kembali
stabil, sedangkan bayi melakukan adaptasi terhadap perubahan
lingkungan hidupnya di luar uterus. Kematian ibu terbanyak terjadi
pada kala ini, oleh karena itu bidan tidak boleh meninggalkan pasien
dan bayi sendirian.
a. Tanda Vital
Dalam dua jam pertama setelah persalinan, tekanan darah, nadi,
dan pernapasan akan berangusr kembali normal. Suhu pasien
biasanya akan mengalami sedikit peningkatan, tapi masih dibawah
38oC, hal ini disebabkan oleh kurangnya cairan dan kelelahan. Jika
intake cairan baik, maka suhu akan berangsur normal kembali
setelah dua jam.
b. Gemetar
Kadang dijumpai pasien pasca persalinan mengalami gemetar, hal
ini normal sepanjang suhu kurang dari 38oC dan tidak dijumpai
tanda-tanda infeksi lain. Gemetar terjadi karena hilangnya
ketegangan dan sejumlah energi selama melahirkan dan
merupakan respon fisiologis terhadap penurunan volume
intrabdominal serta pergeseran hematologik.
c. Sistem gastrointestinal
Selama dua jam pascapersalinan kadang dijumpai pasien merasa
mual sampai muntah, atasi hal ini dengan posisi tubuh yang
memungkinkan dapat mencegah terjadinya aspirasi corpus
aleanum ke saluran pernapasan dengan setengah duduk atau duduk
di tempat tidur. Perasaan haus pasti dirasakan pasien, oleh karena
itu hidrasi sangat penting diberikan untuk mencegah dehidrasi.
d. Sistem Renal
Selama 2-4 jam pascapersalinan kandung kemih masih dalam
keadaan hipotonik akibat adanya alostaksis, sehingga sering
dijumpai kandung kemih dalam keadaan penuh dan mengalami
pembesaran. Hal ini disebabkan oleh tekanan pada kandung kemih
dan uretra selama persalinan. Kondisi ini dapat minimalisir dengan
selalu mengusahakan kandung kemih sebaiknya tetap kosong guna
mencegah uterus berubah posisi dan terjadi atoni. Uterus yang
berkontraksi dengan buruk meningkatkan perdarahan dan nyeri.
e. Sistem Kardiovaskular
Selama kehamilan, volume darah normal digunakan untuk
menampung aliran darah yang meningkat yang diperlukan oleh
plasenta dan pembuluh darah uterus. Penarikan kembali estrogen
menyebabkan diuresis yang terjadi secara cepat sehingga
mengurangi volume plasma kembali pada proporsi normal. Aliran
ini terjadi dalam 2-4 jam pertama setelah kelahiran bayi. Pada
persalinan per vagina kehilangan darah sekitar 200-500 ml
sedangkan pada persalinan SC pengeluaran dua kali lipat.
Perubahan terdiri dari volume darah dan kadar Hematokrit. Setelah
persalinan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba.
Volume darah pasien relative akan bertambah. Keadaan ini akan
menyebabkan beban pada jantung dan akan menimbulkan
dekompensasio kaordis pada pasien dengan vitum kardio. Keadaan
ini dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan adanya
hemokonstrasi sehingga volume darah kembali seperti kondisi
awal.
f. Serviks
Perubahan pada serviks terjadi segera setelah bayi lahir, bentuk
serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh
korpus uterus yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan
serviks tidak berkontraksi sehingga seolah-olah pada perbatasan
antara korpus dan serviks berbentuk semacam cincin. Serviks
berwarna merah kehitaman karena penuh dengan pembuluh darah.
Konsistensi lunak, kadang-kadang terdapat laserasi atau perlukaan
kecil. Karena robekan kecil terjadi selama berdilatasi, maka serviks
tidak akan pernah kembali lagi ke keadaan seperti sebelum hamil.
Muara serviks yang berdilatasi sampai 10cm sewaktu persalinan
akan menututp secara perlahan dan bertahap. Setelah bayi lahir
tangan bisa masuk ke dalam rongga rahim, setelah dua jam hanya
dapat dimasuki dua atau tiga jari
g. Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena
sebelumnya teregang oleh tekanan bayi yang bergerak maju.
h. Vulva dan vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang
sangat besar selama proses melahirkan, dan dalam beberapa hari
pertama sesudah proses tersebut kedua organ ini tetap dalam
keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali
kepada keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara
berangsur-angsur akan muncul kembali, seperti labia menjadi lebih
menonjol.
i. Pengeluaran ASI
Dengan menurunnya hormon estrogen, progesterone, dan Human
Placenta Lacctogen Hormon setelah plasenta lahir prolaktin dapat
berfungsi mebentuk ASI dan mengeluarkannya ke dalam alveoli
bahkan sampai ductus kelenjar ASI. Isapan langsung pada puting
susu ibu menyebabkan reflex yang dapat mengeluarkan oksitosin
dari hipofisis sehingga mioepitel yang terdapat di sekitar alveoli
dan ductus kelenjar ASI berkontraksi dan mngelluarkan ASI ke
dalam sinus yang disebut “let down reflex”.
G. Perubahan Psikologis
Kondisi psikologis keseluruhan seorang wanita yang sedang
menjalani persalinan sangat bervariasi, tergantung pada persiapan dan
bimbingan antisipasi yang ia terima selama persiapan menghadapi
persalinan, dukungan yang diterima wanita dari pasangannya, orang
terdekat lain, keluarga dan pemberian perawatan, lingkungan tempat
wanita tersebut berada, dan apakah bayi yang dikandungnya merupakan
bayi yang diinginkan. Banyak bayi tidak direncanakan, tetapi sebagian
besar bayi pada akhirnya diinginkan menjelang akhir kehamilan. Apabila
kehadiran bayi diharapkan, bagaimanapun, aspek psikologis akan
mempengaruhi perjalanan persalinan.
Menurut Varney (2008), kondisi psikologis keseluruhan seorang
wanita yang sedang menjalani persalinan sangat bervariasi, tergantung
pada persiapan dan bimbingan antisipasi yang diterima selama menghadapi
persalinan;dukungan yang diterima wanita dari pasangannya, orang
terdekat lain, keluarga, dan pemberi pearwatan; lingkungan tempat wanita
tersebut berada; dan apakah bayi yang dikadungnya merupakan bayi yang
diinginkan. Apabila kehadiran bayi tidak diharapkan bagaimanapun,
psikologis ibu akan mempengaruhi perjalanan persalinan.
Dukungan yang diterima atau tidak diterima oleh seorang wanita di
lingkungan tempatnya melahirkan, termasuk dari mereka yang
medampinginya, sangat mempengaruhi, aspek psikologisnya pada saat
setiap kali kontraksi timbul juga pada saat nyerinnya timbul secara
kontinu. Kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri dan kemampuan untuk
“melepaskan dan mengikuti arus” sangat dibuthkan sehingga merasa
diterima dan memiliki rasa sejahtera. Tindakan memberi dukungan dan
kenyamanan merupakan ungkapan kepedulian, kesabaran, sekaligus
mempertahankan keberadaan orang lain menemaninya. Fenomena
perubahan psikologis yang menyertai proses persalinan bermacam-macam.
Adapun menurut Dixon L, et al (2013) yakni :
1. Perubahan Psikologis Persalinan Kala I
Pada setiap tahap persalinan, pasien akan mengalami perubahan
psikologis dan perilaku yang cukup spesifik sebagai respon dari apa
yang ia rasakan dari proses persalinannya. Berbagai perubahan ini
dapat digunakan untuk mengevaluasi kemajuan persalinan pada pasien
dan bagaiaman ia mengatasi tuntutan terhadap dirinya yang muncul dari
persalinan dan lingungan tempat ia bersalin.
a. Kala I fase laten
Pada awal persalinan, kadang pasien belum cukup yakin
bahwa ia akan benar-benar melahirkan meskipun tanda persalinan
sudah cukup jelas. Pada tahap ini penting bagi orang terdekat dan
bidan untuk meyakinkan dan memberikan support mental terhadap
kemajuan perkembangan persalinan. Seiring denga kemajuan
proses persalinan dan intensitas rasa sakit akibat his yang
menngkat, pasien akan mulai merasakan putus asa dan lelah. Ia
akan selalu menanyakan apakah ini sudah hampir berakhir? Pasien
akan senang setiap kali dilakukan pemeriksaan dalam (vaginal
toucher) dan berharap bahwa hasil pemeriksaan mengindikasikan
bahwa proses persalinan akan segera berakhir. Beberapa pasien
akhirnya dapat mencapai suatu coping mechanism terhadap rasa
sakit yang timbul aktibat his, mislanya dengan pengetauran nafas
atau dengan posisi yang dirasa paling nyaman dan pasien dapat
menerima keadaan bahwa ia harus menghadapi tahap persalinan
dari awal sampai selesai.
b. Kala I fase aktif
Memasuki kala I fase aktif, sebagaian besar pasien akan
mengalami penurunan stamina dan sudah tidak mampu lagi untuk
turun dari tempat tidur, terutama pada primipara. Pada fase ini
pasien sangat tidak suka jika diajak bicara atau diberi nasehat
menganai apa yang seharusnya ia lakukan. Ia lebih fokuss untuk
berjuang mengendalikan rasa sakit dan keinginan untuk meneran.
Jika ia tidak dapat mengendalikan rasa sakit dengan pengaturan
nafas dengan benar. Maka ia akan mulai menangis atau bahkan
berteriak-teriak dan mungkin akan meluapkan kemarahan pada
suami atau orang terdekatnya. Perhatian terhadap orang-orang
disekitarnya akan sangat sedikit berpengaruh, sehingga jika ada
keluarga atau teman yang datang untuk memberikan dukungan
mental, sama sekali tidak akan bermanfaat dan mungkin justru
akan sangat mengganggunya. Kondisi ruangan yang tenang dan
tidak banyak orang akan sedikit mengurangi perasaan kesalnya.
Hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah membiarkan
pasien mengatasi keadaannya sendiri namun tidak
meninggalkannya. Pada beberapa kasus akan sangat membantu
jika suami berada di sisinya sambil membisikkan doa di telinganya.
Secara singkat berikut perubahan psikologis pada ibu
bersalin kala I :
1) Perasaan tidak enak
2) Takut dan ragu akan persalinan yang akan dihadapi
3) Sering memikirkan apakah persalinan berjalan normal
4) Menganggap persalinan sebagai percobaan
5) Apakah penolong persalinan dapat sabar dan bijaksana dalam
menolongnya
6) Apakah bayinya normal apa tidak
7) Apakah ia sanggup merawat bayinya
8) Ibu merasa cemas
2. Perubahan Psikologis Persalinan Kala II
Menurut Sondakh JS (2013) mengungkapkan bahwa perubahan
emosional atau psikologi dari ibu bersalin pada kala II ini semakin
terlihat, diantaranya yaitu.
a. Emotional distress
b. Nyeri menurunkan kemampuan mengendalikan emosi, dan cepat
marah
c. Lemah
d. Takut
e. Kultur (respon terhadap nyeri, posisi, pilihan kerabat yang
mendampingi, perbedaan kultur juga harus diperhatikan)
3. Perubahan psikologi kala III dan IV
Sesaat setelah bayi lahir hingga 2 jam persalinan, perubahan –
perubahan psikologis ibu juga masih sangat terlihat karena kehadiran
buah hati baru dalam hidupnya. Adapun perubahan psikologis ibu
bersalin yang tampak pada kala III dan IV ini adalah sebagai berikut.
a. Bahagia
Karena saat – saat yang telah lama di tunggu akhirnya datang juga
yaitu kelahiran bayinya dan ia merasa bahagia karena merasa sudah
menjadi wanita yang sempurna (bisa melahirkan, memberikanan
anak untuk suami dan memberikan anggota keluarga yang baru),
bahagia karena bisa melihat anaknya.
b. Cemas dan Takut
Cemas dan takut kalau terjadi bahaya atas dirinya saat persalinan
karena persalinan di anggap sebagai suatu keadaan antara hidup
dan mati
 Cemas dan takut karena pengalaman yang lalu.
 Takut tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pada persalinan kala I
Dukungan dan upaya menyamankan perasalinan pada kala I
terdapat lima kebutuhan wanita pada persalinan yaitu: perawatan tubuh
atau fisik, ada individu yang senantiasa hadir, babas dari nyeri,
menerima sikap dan perilaku, serta informasi dan pemastian hasil akhir
yang aman bagi dirinya dan bayinya.
Menurut Varney (2008), dukungan dan upaya menyamankan
yang dapat diberikan dalam proses persalinan yaitu :
a. Pengaturan posisi
Ibu yang akan bersalin harus mempunyai posisi yang
senyaman mungkin untuk di lakukan persiapan persalinan
nantinya.
b. Kontrol nyeri ibu selama persalinan
Menurut Varney ( 2008), Kontrol nyeri selama persalinan
dapat dilakukan dengan cara seperti latihan relaksasi, latihan
bernapas, usapan pada punggung dan abdomen, kompres panas
atau dingin, dan sterile water papule.
 Kompres
Kompres panas dan dingin telah digunakan untuk
meredakan nyeri dan juga dapat memberikan kenyamanan
pada ibu bersalin. Panas baik untuk meredakan ketegangan
dan meningkatkan relaksasi secara keseluruhan. Sedangkan
dingin membuat daerah byang nyeri menjadi kebas (mati
rasa) dan mengontriksi pembuluh darah serta memperlambat
transmisi impuls nyeri di sepanjang alur saraf (Reeder dkk,
2014).
Hasil penelitian Rahman dkk (2017) menunjukkan
adanya penurunan nyeri persalinan, dengan rata-rata nyeri
sebelum intervensi mean=7,00 setelah intervensi menjadi
mean=4,14. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000 yang
berarti p<0,05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
ada penurunan secara signifikan nyeri persalinan pada
primipara setelah diberikan kompres hangat dan massage
effleurage selama kala satu persalinan.
 Pijatan
Pijatan merupakan tindakan pereda nyeri yang efektif
(Reeder, 2014). Pijatan adalah melakukan tekanan tangan
pada jaringan lunak, biasanya otot, tendon atau ligamentum,
tanpa menyebabkan gerakan atau perubahan posisi sendi
untuk meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan
memperbaiki sirkulasi (Mander, 2012).
Hasil penelitian Defiany (2013), dkk mengungkapkan
bahwa pendamping dalam persalinan dengan skala nyeri saat
bersalin dapat berkurang, karena dukungan dalam persalinan
seperti pujian, penentraman hati, tindakan untuk
meningkatkan kenyamanan ibu, kontak fisik, penjelasan
tentang yang terjadi selam persalinan dan kelahiran serta
sikap ramah yang konstan dapat mengalihkan semua
perhatian pada ibu.
 Relaksasi
Relaksasi tidak diragukan lagi dapat meredakan nyeri
yang disebabkan oleh hal lain, bergantung pada individu itu
sendiri. Untuk beberapa wanita dalam persalinan, usaha
untuk relaks dapat mengalihkan perhatian dari nyeri (Reeder
dkk, 2014). Menurut Steer, relaksasi adalah metode
pengendalian nyeri non farmakologi yang paling sering
digunakan di Inggris. Steer melaporkan bahwa 34% wanita
menggunakan metode relaksasi (Mander, 2012).
Berdasarkan penelitian Novita dkk (2017) yang
berjudul Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas dalam terhadap
Respon Nyeri pada Ibu Inpartu Kala I Fase Aktif di
Puskesmas Bahu Kota Manado hasil penelitian menunjukan
respon nyeri pada ibu inpartu kala I ase aktif di Puskesmas
Bahu Kota Manado sebelum diberikan teknik relaksasi nafas
dalam sebagian besar yaitu 6, respon nyeri pada ibu inpartu
kala I ase aktif di Puskesmas Bahu Kota Manado setelah
diberikan teknik relaksasi nafas dalam sebagian besar yaitu
4, dan Ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap
respon nyeri ibu inpartu kala I fase aktif di Puskesmas Bahu
Kota Manado.
c. Menjamin privasi
Menjaga privasi merupakan upaya untuk menghormati hak
wanita atau mejaga suasana persalinan yang nyaman bersifat
pribadi.
d. Penjelasan proses dan kemajuan persalinan
Saat yang paling efektif untuk memberikan informasi
kepada ibu dan keluarga, yaitu informasi yang paling lazim di
sampaikan adalah mengenai berapa cm pembukaan serviks serta
bagaimana kondisi janinnya. Penting juga untuk di sampaikan
bahwa lamnya pembukaan 0-5 cm relative lebih lama dari pada
pembukaan 5-10 cm namun intensitas rasa sakit akan meningkat
pada pembukaan 6-10 cm.
Menurut penelitian Handajani & Astuti (2016) tentang
Pengaruh Teknik Stimulasi Susu terhadap Lama Persalinan Kala
I didapatkan hasil dari pengumpulan data dengan menggunakan
lembar observasi pelaksanaan stimulasi puting susu dan lembar
partograf untuk mengamati lama persalinan kala I fase aktif. Rata-
rata lama persalinan kala I pada kelompok kontrol ibu bersalin
primigravida yang tidak melakukan stimulasi puting susu
(mobilisasi) di Puskesmas Gajahan adalah 3.36 menit, rata-rata
lama persalinan kala I pada kelompok perlakuan ibu bersalin
primigravida yang melakukan stimulasi puting susu di
Puskesmas Gajahan adalah 3.21 menit dan ada pengaruh
stimulasi puting susu terhadap lama persalinan kala 1 dengan p
value = -0,295 (p < 0,05) sehingga Ho diterima karena -0,295 <
2,002. Stimulasi puting susu mempunyai pengaruh terhadap lama
kala I di Puskesmas Gajahan Surakarta.
e. Kandung kemih yang kosong
Kandung kemih yang penuh dapat mengganggu kemajuan
persalinan dan fakta bahwa kandung kemih dapat menyebabkan
nyeri pada abdomen bawah (Varney, 2008)
f. Menjaga kebersihan dan kondisi yang kering.
Kebersihan dan kondisi kering meningkatkan kenyamanan
dan relaksasi serta menurunkan risiko infeksi ( Varney, 2008).
g. Orang terdekat lainnya
Kehadiran orang terdekat lain merupakan hal terpenting di
antara semua upaya mendukung dan menyamankan ( Varney,
2008).
2. Penatalaksanaan Pada Persalinan Kala II
a. Asuhan Kala II
Menurut Prawirohardjo (2009), tentang asuhan yang di
berikan kepada ibu antara lain adalah:
1) Memberikan dukungan terus menerus kepada ibu
Dalam hal ini perlu menghadirkan seseorang untuk
mendampingi ibu agar merasa nyaman, menawarkan minum,
mengipasi dan memijat ibu.
Menurut Lestari dkk (2014) dalam jurnal Riset Kesehatan
tentang Perbedaan Pengaruh Pendampingan Persalinan terhadap
Lama Kala II Persalinan pada Ibu Primigravida didapatkan hasil
penelitian bahwa lama kala II ibu bersalin primigravida dengan
pendamping suami mayoritas pada kategori ≤ 2 jam yaitu
sebesar 85,7%, pendamping keluarga paling banyak pada
kategori ≤ 2 jam yaitu sebesar 54,8%, pendamping dukun sama
antara kategori ≤ 2 jam dan >2 jam yaitu sebesar 50%, dengan
lebih dari satu pendamping mayoritas pada kategori ≤ 2 jam
yaitu 86,7%. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa
suami adalah pendamping yang paling berpengaruh dalam
mempercepat kala II pada ibu bersalin prmigravida, dimana
berdasarkan hasil uji chi square didapatkan bahwa suami 4,7
kali lebih efektif dibandingkan dengan pendamping keluarga,
5,4 kali lebih efektif dibandingkan dengan pendamping dukun
dan 0,9 kali lebih efektif dibandingkan dengan pendamping
lebih dari 1 orang.
2) Menjaga kebersihan diri
Dalam hal ini ibu tetap dijaga kebersihannya agar
terhindar dari infeksi, bila ada darah ,lendir atau cairan ketuban
segera di bersihkan.
3) Mengipasi dan massase untuk menambah kenyamanan bagi ibu.
4) Memberikan dukungan mental untuk mengurangi kecemasan
atau ketakutan ibu dengan cara: menjaga privasi ibu, penjelasan
tentang proses dan kemajuan persalinan, ‘menjelaskan tentang
prosedur yang akan dilakukan dan keterlibatan ibu.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Novita Sari pada
tahun 2010 tentang “Hubungan Dukungan Suami Dengan Lama
Persalinan Kala II Di Rb An Nissa Surakarta”, Penelitian ini
dilakukan di RB Annissa Surakarta dengan 60 responden.
Terdapat hubungan signifikan antara Dukungan Suami dengan
Lama Persalinan Kala II pada Ibu Primigravida. Kehadiran
suami untuk memberikan dukungan adalah hal yang sangat
penting bagi istri selama menjalani proses persalinan, karena
respon psikologis ibu dapat mempengaruhi kemajuan
persalinan.
b. Penatalaksanaan Kala II
Menurut JNPK-KR (2012) Dalam melakukan pertolongan
persalinan yang bersih dan aman sesuai dengan standar maka dapat
dirumuskan 60 langkah APN sebagai berikut:

1) Melihat adanya tanda persalinan kala dua yaitu ibu merasa ada
dorongan kuat dan meneran, ibu merasa tekanan yang semakin
meningkat pada rektum dan vagina, perineum tampak
menonjol, vulva dan sfinger ani membuka.
2) Memastikan perlengkapan alat pertolongan persalinan
termasuk menyiapkan ampul lalu di buka dan memasukkan
alat suntik sekali pakai 2 ½ ml ke dalam wadah partus set
3) Memakai celemek atau pelindung diri
4) Memastikan lengan tidak memakai perhiasan, mencuci tangan
dengan sabun dan air yang mengalir
5) Menggunakan sarung tangan DTT, dan tangan kanan yang
akan digunakan untuk pemeriksaan dalam.
6) Mengambil alat suntik dengan tangan yang menggunakan
sarung tangan, isi dengan oksitosin dan letakkan kembali
kedalam wadah partus set
7) Membersihkan vulva dan perineum dengan kapas atau kasa
yang dibasahi air DTT dengan gerakan dari vulva ke perineum
8) Melakukan pemeriksaan dalam, pastikan pembukaan sudah
lengkap dan selaput ketuban sudah pecah
9) Mencelupkan tangan kanan yang bersarung tangan ke dalam
larutan klorin 0,5% dan membuka sarung tangan dalam
keadaan terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%.
10) Memeriksa denyut jantung janin setelah kontraksi uterus
selesai, pastikan DJJ dalam batas normal (120-160 x/menit)
11) Memberitahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan
janin baik, meminta ibu untuk meneran saat ada his apabila ibu
sudah merasa ingin meneran.
12) Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk
meneran (pada saat ada his, bantu ibu dalam posisi setengah
duduk dan pastikan ia merasa nyaman
13) Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan
kuat untuk meneran.
14) Menganjurkan ibu untuk berjalan, jongkok dan mengambil
posisi nyaman, jika ibu merasa ada dorongan untuk meneran
dalam 60 menit.
Berdasarkan penelitian Zainiyah (2015) diperoleh hasil
ibu bersalin yang diberikan posisi berdiri hampir seluruhnya
(87,5%) yaitu ibu bersalin multipara yang mengalami
kemajuan persalinannya berlangsung secara cepat, karena
dengan adanya gaya gravitasi dapat menambah dimensi PAP
dan menurunkan bagian terendah janin lebih cepat, sehingga
terjadi his yang lebih adekuat, lebih sering dan lebih sakit,
maka ibu mengalami pembukaan serviks ≥ 2 cm setiap 1 jam.
Sedangkan ibu bersalin yang diberikan posisi miring kiri
sebagian besar (56,25%) yaitu ibu bersalin primipara yang
mengalami kemajuan persalinan secara normal. Posisi ini
hanya membantu ibu untuk tidak menekan vena cava inferior,
ibu dapat merasa lebih nyaman karena tidak merasa sesak dan
suplay oksigen ke bayi tidak berkurang, dengan his yang kuat
dan sering sehingga pembukaan serviks terjadi secara perlahan
yaitu 1cm setiap 1 jam.
Hasil penelitian Indrasari (2014) nilai rata-rata waktu
pada persalinan kala II pada posisi miring yaitu 34,54 menit
dan pada posisi setengah duduk yaitu 43,85 menit sedangkan
perbedaan nilai rata-rata diantara posisi miring dan setengah
duduk adalah 9,31 menit. Hasil uji statistik dengan
menggunakan uji t didapatkan nilai p value 0,02 < (0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan lama kala II
antara kelompok posisi miring dan kelompok posisi setengah
duduk. Sehingga disarankan agar penolong persalinan dapat
menerapkan posisi miring pada proses persalinan kala II
sehingga dapat mengurangi angka partus lama pada ibu
bersalin dan asfiksia pada bayi.
15) Meletakkan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut
ibu, jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5-
6 cm.
16) Meletakkan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian bawah bokong
ibu
17) Membuka partus set dan memperhatikan kembali kelengkapan
alat dan bahan
18) Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan
19) Jika kepala janin terlihat pada vulva dengan diameter 5-6 cm,
segera untuk memasang handuk bersih untuk mengeringkan
bayi pada perut ibu
20) Memeriksa adanya lilitan tali pusat pada leher janin
21) Menunggu hingga kepala janin selesai melakukan putar paksi
luar secara spontan
22) Setelah kepala melakukan putar paksi luar, pegang secara
biparental. Menganjurkan kepada ibu untuk meneran saat
kontraksi, dengan lembut gerakan kepala ke arah bawah dan
distal hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan
kemudian gerakan ke arah atas dan distal untuk melakukan
bahu belakang.
23) Setelah bahu lahir, geser tangan bawah kearah perineum ibu
untuk menyanggah kepala, lengan dan siku sebelah bawah.
Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan memegang tangan
dan siku sebelah atas
24) Setelah badan dan lengan lahir, tangan kiri menyusuri
punggung ke arah bokong dandan tungkai bawah janin untuk
memegang tungkai bawah (selipkan jari telunjuk tangan kiri
diantara lutut janin).
25) Melakukan penilaian selintas :
 Apakah bayi menangis kuat?
 Apakah bayi bernafas tanpa kesulitan?
 Apakah bayi bergerak aktif?
26) Mengeringkan tubuh bayi mulai dari muka, kepala dan bagian
tubuh lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan
verniks. Ganti handuk basah dengan handuk/kain yang kering
dan membiarkan bayi di atas perut ibu
27) Memeriksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi
bayi dalam uterus
28) Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitosin agar uterus
berkontraksi baik
29) Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikkan oksitosin 10
unit IM (intramuscular) di 1/3 paha atas bagian distal lateral
(lakukan aspirasi sebelum menyuntikkan oksitosin).
30) Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan klem
kira-kira 3 cm dari pusat bayi. Mendorong isi tali pusat kearah
distal (ibu) dan jepit kembali tali pusat pada 2 cm distal dari
klem pertama
31) Dengan satu tangan, pegang tali pusat yang telah dijepit
(lindungi perut bayi) dan lakukan pengguntingan tali pusat di
antara dua klem tersebut. Mengikat tali pusat dengan benang
DTT atau steril pada satu sisi kemudian melingkarkan kembali
benang tersebut dan mengikatnya dengan simpul kunci pada
sisi lainnya
32) Meletakkan bayi tengkurap di dada ibu agar terjadi kontak
kulit ibu ke kulit bayi. Luruskan bahu bayi sehingga bayi
menempel di dada / perut ibu. Usahakan kepala bayi berada
diantara payudara ibu dengan posisi lebih rendah dari puting
payudar ibu. Menyelimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan
memasang topi di kepala bayi
33) Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm
dari Vulva
34) Meletakkan satu tangan di atas kain pada perut ibu, di tepi
simfisis, untuk mendeteksi. Tangan lain meregangkan tali
pusat
35) Setelah uterus berkontraksi, regangkan tali pusat dengan
tangan kanan, sementara tangan kiri menekan uterus dengan
hati-hati kearah dorsokranial. Jika plasenta tidak lahir setelah
30-40 detik, hentikan peregangan tali pusat dan menunggu
hingga timbul kontraksi berikutnya dan mengulangi prosedur.
36) Melakukan peregangan dan dorongan dorso-kranial hingga
plasenta terlepas, minta ibu meneran sambil penolong menarik
tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian ke arah atas,
mengikuti poros jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorso-
kranial)
37) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan
plasenta dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tahanan),
pegang plasenta dengan kedua tangan dan lakukan putaran
searah untuk membantu pengeluaran plasenta dan mencegah
robeknya selaput ketuban
38) Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus
uteri dengan menggosok fundus uteri secara sirkuler
menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga
kontraksi uterus baik (fundus teraba keras).
39) Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan
tangan kanan untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon dan
selaput ketuban sudah lahir lengkap, dan masukkan ke dalam
kantong plastic yang tersedia
40) Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum.
Melakukan penjahitan bila laserasi menyebabkan perdarahan
41) Memastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi
perdarahan pervaginam
42) Mencelupkan tangan yang masih memakai sarung tangan ke
dalam larutan klorin 0,5 % dan membilasnya dengan air DTT
kemudian keringkan dengan tissue atau handuk pribadi yang
masih kering
43) Memastikan uterus berkontraksi dengan baik serta kandung
kemih kososng
44) Mengajarkan ibu/keluarga cara melakukan masase uterus dan
menilai kontraksi
45) Membiarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di
dada ibu paling sedikit 1 jam
46) Memeriksa nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap 15
menit selama 1 jam pertama pascapersalinan dan setiap 30
menit selama 1 jam kedua pasca persalinan
47) Memeriksa kembali untuk memastikan bahwa bayi bernafas
dengan baik
48) Menempatkan semua peralatan bekas pakai ke dalam larutan
klorin 0,5% untuk dekontaminasi (10 menit). Cuci dan bilas
peralatan setelah didekontaminasi
49) Buang bahan- bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah
yang sesuai
50) Membersihkan ibu dengan menggunakan air DTT.
Membersihkan sisa cairan ketuban, lendir dan darah. Bantu ibu
memakai pakaian bersih dan kering
51) Memastikan ibu merasa nyaman dan beritahu keluarga untuk
membantu apabila ibu ingin minum atau makan dan membantu
ibu memberikan ASI.
52) Dekontaminasi tempat persalinan dengan larutan klorin 0,5%
53) Membersihkan sarung tangan di dalam larutan klorin 0,5%
melepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik dan
merendamnya dalam larutan klorin 0,5%
54) Mencuci kedua tangan dengan sabun dan air mengalir
kemudian keringkan tangan dengan tissue atau handuk pribadi
yang kering dan bersih.
55) Pakai sarung tangan bersih atau DTT untuk penatalaksanaan
bayi baru lahir.
56) Setelah 1 jam, lakukan penimbangan/pengukuran bayi, beri
tetes mata antibiotic profilaksis dan vitamin K1 1 mg
intramuscular di paha kiri anterolateral memantau setiap 15
menit untuk memastikan bahwa bayi bernafas dengan baik
serta suhu tubuh normal.
57) Setelah 1 jam pemberian vitamin K1 berikan suntikan
imunisasi Hepatitis B di paha kanan anterolateral dan
meletakkan bayi di dalam jangkauan ibu agar sewaktu-waktu
bisa disusukan
58) Melepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik di dalam
larutan klorin 0,5 %
59) Mencuci kedua tangan dengan sabun dan air mengalir
kemudian keringkan tangan dengan tissue atau handuk pribadi
yang kering dan bersih.
60) Melengkapi partograf.
3. Penatalaksanaan Kala III
Pada kala III ini dilakukan dengan perlindungan uterus dengan
mencegah diri anda sendiri dan orang lain melakukan masase uterus
segera setelah plasenta lepas, jangan lakukan masase uterus sebelum
pelepasan plasenta kecuali apabila pelepasan sebagian telah terjadi
dalam proses alamiah dan tampak perdarahan berlebihan, jangan
mendorong tali pusat sebelum plasenta lepas dan jangan pernah
mendorong tali pusat pada saat uterus tidak berkontraksi, jangan
mencoba melahirkan plasenta sebelum pelepasan lengkap terjadi.
Jangan samapai ada plasenta tertinggal.
Menurut penelitian Yunita (2010) yang berjudul Pengaruh
Pemberian Rangsangan Puting Susu dengan Pemilihan pada
Manajemen Aktif Kala III terhadap Waktu Kelahiran Plasenta di Kota
Surakarta dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
waktu kelahiran plasenta pada pertolongan persalinan kala III yang
menggunakan MAK III dengan pemilinan jika dibandingkan dengan
MAK III tanpa pemilinan, perbedaan waktunya 2.582 menit lebih cepat
dari kelahiran plasenta. Yang menggunakan MAK III dengan pemilinan
puting susu. Persalinan kala III yang menerapkan Manajemen Aktif
Kala III dengan pemilinan menunjukkan pengaruh yang signifikan
dimana p< 0.05 ( p 0.00; beda mean; 2.582). Dengan demikian hipotesis
dalam penelitian ini adalah ditolak yaitu pemberian rangsangan puting
susu pada Manajemen Aktif Kala III dan pemilinan berpengaruh secara
signifikan terhadap Waktu kelahiran plasentanya dibandingkan dengan
waktu kelahiran plasenta pada Manajemen Aktif Kala III tanpa
pemilinan.
4. Penatalaksanaan Kala IV
a. Pemantauan Kala IV
Menurut Prawirohardjo (2009), Dalam Kala IV persalinan
hal yang harus di perhatian adalah
1) Fundus : rasakan apakah fundus berkontraksi dengan kuat dan
berada di bawah umbilikus setian 15 menit pda jam pertama,
setiap 30 menit pada jam kedua, massase jika perlu untuk
menimbulkan kontraksi.
2) Plasenta : periksa kelengkapan plasenta untuk memastikan tidak
adanya bagian yang tertinggal
3) Selaput ketuban : periksa kelengkapan selaput untuk
memastikan tidak ada bagian yang tersisa dari dalam uterus
4) Perenium : periksa luka robekan pada perenium dan vagina yang
membutuhkan luka.
5) Pemeriksaan pengeluaran darah : dengan meperirakan darah
yang menyarap pada kain dengan menentukan berapa banyak
kantong darah 500cc dapat terisi
6) Lokhea : pada pemeriksaan ini apakah ada darah keluar
langsung pada saat memeriksa uterus. Jika kontraksi kuat,
lokhea kemungkinan tidak lebih dri menstruasi.
7) Kandung kemih : periksa kandung kemih untuk memastikan
kandungkemih tidak penuh.
8) Kondisi Ibu : periksa setiap 15 menit pda jam pertama, dan
setiap 30 menit pada jam kedua setelah persalinan.
9) Kondisi bayi Baru lahir ; apakah bayi bernafas dengan baik,
apakah bayi kering dan hangat, apakah bayi siap disusui/
pemberian ASI memuaskan.
b. Pelaksanaan kala IV pada persalinan
Menurut Prawirohardjo (2009), Penanganan kala IV adalah :
1) Pemeriksaan fundus dan massase
Pada pemeriksaan fundus dilakukan 15 menit pada jam pertama
dan setiap 20-30 menit pada dua jam kedua. Jika kontraksi kuat,
masase uterus sampai menjadi keras
2) Nutrisi dan Dehidrasi
Anjurkam ibu untuk minum demi mencega dehidrasi. Tawarka
ibu makan dan minum yang disukainya.
3) Bersihkan Ibu
Bersihkan ibu hingga bersih dan pakaikan ibu bajunyang bersih
dan posisikan ibu ynag nyaman.
4) Istirahat
Berikan ibu istirahat agar te[naga ibu dapat cepat pulih
5) Peningkatan Hubungan Ibu dan Bayi
Biarkan bayu berada pada dekat ibu agar meningkatkan
hubungan ibu dan bayi, sebagai permulaan dan menyusui
bayinya.
6) Memulai menyusui
Bayi sangat siap segera setelah lahir. Hal ini sanggat tepat untuk
mamulai bemberikan ASI. Menyusui juga membantu proses
memulihan kontraski uterus.
2. Tinjauan Teori Asuhan Persalinan
Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah kebidanan
yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan
berdasarkan teori ilmiah, temuan, ketrampilan dalam rangkaian atau tahapan
yang logis untuk mengambil suatu keputusan yang terfokus pada pasien
(Varney,1997 dalam Sulistyawati, 2009).
Manajemen kebidanan terdiri dari tujuh langkah Berikut merupakan
langkah-langkah manajemen kebidanan yang dijelaskan oleh Varney:
1) Langkah I (Tahap Pengumpulan Data)
Pada langkah ini dilakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data
yang diperlukan untuk mengevaluasi keadaan klien secara lengkap yaitu:
a. Riwayat kesehatan.
b. Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan.
c. Meninjau catatan terbaru atau catatan sebelumnya.
d. Meninjau data laboraturium dan membandingkannya dengan hasil
studi (Saminem, 2008).
2) Langkah II (Interpretasi Data)
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosis atau
masalah dan berdasarkan interpretasi yang benar atas dasar data-data yang
dikupulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan
sehingga ditemukan masalah atau diagnosis yang spesifik. Diagnosis
kebidanan yaitu diagnosis yang ditegakkan profesi (bidan) dalam lingkup
praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur (tata nama)
diagnosis kebidanan. Standar nomenklatur diagnosis kebidanan tersebut
adalah :
a. Diakui dan telah disyahkan oleh profesi
b. Berhubungan langsung dengan praktis kebidanan
c. Memiliki ciri khas kebidanan
d. Didukung oleh clinical judgement dalam praktik kebidanan dapat
diselesaikan dengan pendekatann managemen kebidanan (Saminem,
2008).
3) Langkah III (Identifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial)
Pada langkah ini bidan mengidentifikasi masalah atau diagnosis potensial
lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang sudah
diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi. Jika memungkinkan,
dilakukan pencegahan. Sambil mengamati kondisi klien, bidan diharapkan
dapat bersiap jika diagnosis atau masalah potensial benar-benar terjadi
(Saminem, 2008).
4) Langkah IV (Menetapkan Konsultasi dan Kolaborasi)
Pada langkah ini bidan mengidentifikasi perlunya bidan atau dokter segera
melakukan konsultasi atau melakukan penanganan bersama dengan
anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. Langkah
keempat mencerminkan kesinambungan dari proses penatalaksanaan
kebidanan. Dalam melakukan tindakan, bidan harus bisa memprioritaskan
masalah/ kebutuhan yang dihadapi kliennya. Setelah bidan merumuskan
tindakan yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi diagnosis/ masalah
potensial pada langkah sebelumnya, bidan juga harus merumuskan
tindakan kedaruratan atau segera untuk menyelamatkan ibu dan bayi.
Tindakan segera bisa dilakukan secara mandiri, kolaborasi, atau bersifat
rujukan terjadi (Saminem, 2008).
5) Langkah V (Menyusun Rencana Asuhan Menyeluruh)
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh dan ditentukan
oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan
penatalaksanaan terhadap masalah atau diagnosis yang telah diidentifikasi
atau diantisipasi. Pada langkah ini informasi data yang tidak lengkap dapat
dilengkapi. Setiap rencana asuhan harus disetujui oleh kedua belah pihak,
yaitu oleh bidan dan klien agar dapat dilaksanakan secara efektif karena
klien juga akan melaksanakan rencana tersebut. Oleh karena itu, tugas
bidan dalam langkah ini adalah merumuskan rencana asuhan sesuai
dengan hasil pembahasan klien yang kemudian membuat kesepakatan
sebelum melaksanakannya terjadi (Saminem, 2008).
6) Langkah VI (Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman)
Pada langkah keenam ini, rencana asuhan menyeluruh yang telah
diuraikan pada langkah 5 dilaksanakan secara efisien dan aman.
Perencanaan ini dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian lagi oleh
klien atau anggota tim kesehatan lain. Walaupun bidan tidak
melakukannya sendiri, bidan tetap memikul tanggung jawab untuk
mengarahkan pelaksanaannya. Ketika bidan berkolaborasi dengan dokter
untuk menangani klien yang mengalami komplikasi, bidan tetap
bertanggung jawab dalam penatalaksanaan asuhan klien sesuai rencana
asuhan bersama yang menyeluruh. Penatalaksanaan yang efisien akan
menyangkut waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dan asuhan klien.
Bidan sebaiknya mengkaji ulang apakah semua rencana asuhan telah
dilaksanakan (Saminem, 2008).
7) Langkah VII (Evaluasi)
Pada langkah ketujuh ini dilakukan evaluasi keefektifan asuhan yang
sudah diberikan, meliputi apakah pemenuhan kebutuhan telah terpenuhi
sesuai diagnosis dan masalah. Rencana dianggap efektif jika memang
benar efektif pelaksanaannya. Ada kemungkinan sebagian rencana
tersebut efektif sedangkan sebagian belum efektif. Proses penatalaksanaan
asuhan ini merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan sehingga
perlu mengulangi kembali setiap asuhan yang tidak efektif serta
melakukan penyesuaian rencana (Saminem, 2008).
Pendokumentasian atau catatan manajemen kebidanan dapat diterapkan
dengan metode SOAP. Dalam metode SOAP, S adalah data Subyektif, O adalah
data Obyektif, A adalah Analysis/ Assasement dan P adalah Planning.
Merupakan catatan yang bersifat sederhana, jelas, logis dan singkat. Prinsip
dari metode SOAP ini merupakan proses pemikiran penatalaksanaan
manajemen kebidanan. Untuk penjelasan tentang SOAP dapat dijabarkan
sebagai berikut :
a. Data subyektif ini berhubungan dengan masalah dari sudut pandang
pasien. Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran dan keluhannya yang
dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang akan berhubungan
langsung dengan diagnosis.
b. Data obyektif merupakan pendokumentasian hasil observasi yang jujur,
hasil pemeriksaan fisik pasien, pemeriksaan laboratorium / pemeriksaan
diagnostik lain. Catatan medik dan informasi dari keluarga atau oranglain
dapat dimasukkan dalam data obyektif ini sebagai data penunjang.
c. Analysis/ Assessment, merupakan pendokumentasian hasil analisis dan
interpretasi (kesimpulan) dari data subyektif dan obyektif. Analisis yang
tepat dan akurat mengikuti perkembangan data pasien akan menjamin
cepat diketahuinya perubahan pada pasien, dapat terus diikuti dan diambil
keputusan/ tindakan yang tepat.
d. Planning/ Perencanaan, adalah membuat rencana asuhan saat ini dan yang
akan datang. Rencana asuhan disusun berdasarkan hasil analisis dan
interpretasi data. Meskipun secara istilah, P adalah Planning/ Perencanaan
saja, namun P dalam SOAP ini juga mengandung implementasi dan
evaluasi (Purwandari, 2008).
3. Anemia
a. Pengertian
Kata anemia berasal dari bahasa Yunani yaitu anaimia. An
artinya tidak ada, haima artinya darah jadi anaimia adalah kekurangan
darah. Anemia adalah keadaanya rendahnya jumlah sel darah merah
dan kadar Hemoglobin (Hb) atau Hematokrit (Ht) dibawah normal
(Bararah, 2013). Anemia adalah berkurangnya sel-sel darah merah di
dalam tubuh (Mitayani. and Sartika, 2010).
Anemia adalah rendahnya konsentrasi Hemoglobin (Hb) atau
hematokrit nilai ambang batas (referensi) yang disebabkan oleh
rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit) dan Hemoglobin,
meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah
yang berlebihan (Departemen Gizi dan kesehatan Masyarakat, 2011).
Anemia merupakan indikator malnutrisi dan kesehatan yang buruk
(Umaroh et al., 2017).
Anemia adalah penyebab kematian Ibu kedua terbesar di ASIA
karena anemia memiliki pengaruh besar pada kesehatan manusia
(Sholihah and Hanafi, 2017). Kadar hemoglobin ibu post partum
merupakan refleksi hemoglobin selama kehamilan (De Pee, 2010),
sehingga anemia ibu nifas adalah suatu keadaan dimana ibu sehabis
melahirkan sampai dengan kira-kira 5 minggu dalam kondisi pucat,
lemah dan kurang bertenaga dan hasil pemeriksaan Hemoglobin > 11
gr%.
b. Etiologi
Faktor yang mempengaruhi anemia pada masa nifas adalah
persalinan dengan perdarahan, ibu hamil dengan anemia, nutrisi yang
kurang, penyakit virus dan bakteri. Anemia dalam masa nifas
merupakan lanjutan daripada anemia yang diderita saat kehamilan,
yang menyebabkan banyak keluhan bagi ibu dan mengurangi
presentasi kerja, baik dalam pekerjaan rumah sehari-hari maupun
dalam merawat bayi (Prawirohardjo, 2010).
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling sering dari
anemia postpartum yang disebabkan oleh intake zat besi yang tidak
cukup serta kehilangan darah selama kehamilan dan persalinan.
Anemia postpartum berhubungan dengan lamanya perawatan di
rumah sakit, depresi, kecemasan, dan pertumbuhan janin terhambat
(Coughlan, 2010).
Kehilangan darah adalah penyebab lain dari anemia. Kehilangan
darah yang signifikan setelah melahirkan dapat meningkatkan risiko
terjadinya anemia postpartum. Banyaknya cadangan hemoglobin dan
besi selama persalinan dapat menurunkan risiko terjadinya anemia
berat dan mempercepat pemulihan (Coughlan, 2010).
Defisiensi besi dapat menurunkan fungsi limfosit, netrofil, dan
fungsi makrofag. Hal ini kemudian akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi yang merupakan akibat fungsional defisiensi besi.
Memperbaiki status besi tubuh dengan adekuat akan memperbaiki
system imun. Meskipun demikian, keseimbangan besi tubuh penting.
Meskipun besi yang dibutuhkan untuk respon imun yang efektif, jika
suplai besi terlalu banyak daripada yang dibutuhkan, invasi mikroba
dapat terjadi karena mikroba dapat menggunakan besi untuk tubuh
dan menyebabkan eksaserbasi infeksi (Bodnar, 2005).
Wanita Usia Subur (WUS) adalah salah satu kelompok risiko
tinggi terpapar anemia karena mereka tidak memiliki asupan atau
cadangan Fe yang cukup terhadap kebutuhan dan kehilangan Fe dan
dari kelompok WUS tersebut paling tinggi berisiko menderita anemia
adalah wanita hamil, wanita nifas, dan wanita yang banyak kehilangan
darah saat menstruasi (Fatmah, 2011).
Anemia gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
jumlah zat besi dalam makanan tidak cukup, penyerapan zat besi
rendah, kebutuhan meningkat, kekurangan darah, pola makan tidak
baik, status sosial ekonomi, penyakit infeksi, pengetahuan yang
rendah tentang zat besi, dan terdapat zat penghambat penyerapan zat
besi dalam makanan (Puji Dkk, 2010).
c. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi anemia secara umum menurut Proverawati (2011) adalah :
1) Anemia defisiensi besi
Anemia dalam kehamilan yang sering dijumpai ialah
anemia akibat kekurangan besi. Kekurangan ini dapat
disebabkan karena kurang masuknya unsur besi dalam
makanan, karena gangguan reabsopsi, gangguan pencernaan,
atau karena terlampau banyaknya besi yang keluar dari badan,
misal pada perdarahan.
2) Anemia megaloblastik
Anemia dalam kehamilan disebabkan karena defisiensi
asam folik, jarang sekali karena defisiensi B12. Hal itu erat
kaitanya dengan defisiensi makanan.
3) Anemia hipoplastik
Anemia pada wanita hamil dikarenakan sumsum tulang
kurang mampu membuat sel – sel darah baru.
4) Anemia hemolitik
Anemia disebabkan karena penghancuran sel darah merah
berlangsung lebih cepat dari pada pembuatannya.
d. Gejala Anemia
Gejala anemia yaitu ibu mengeluh lemah, letih, lesu, mudah
lelah, dan lunglai, wajah tampak pucat, mata berkunang-kunang,
sulit berkonsentrasi dan mudah lupa, dan sering sakit (Soebroto,
2009).
e. Pencegahan
Makan makanan yang tinggi kandungan zat besi dapat
membantu tubuh menjaga pasokan besi yang diperlukan untuk
berfungsi dengan baik. Pemberian vitamin untuk memastikan
bahwa tubuh memiliki cukup asam besi dan folat (Proverawati,
2011).
Suplemen Fe adalah salah satu strategi untuk meningkatkan
intake Fe yang berhasil hanya jika individu mematuhi aturan
konsumsinya. Banyak factor yang mendukung rendahmya tingkat
kepatuhan (compliance) tersebut, seperti individu sulit mengingat
aturan minum tiap hari, minimnya dana untuk membeli suplemen
secara teratur, dan efek samping yang tidak nyaman dari Fe
contohnya gangguan lambung (Fatmah, 2011).
Pencegahan anemia menurut Waryono (2010) adalah :
1) Selalu menjaga kebersihan dan mengenakan alas kaki setiap hari
2) Istirahat cukup
3) Makan makanan yang bergizi dan banyak mengandung Fe,
misalnya kangkung, daging sapi, hati ayam dan susu
Pencegahan anemia pada masa nifas menurut Suherni Dkk
(2010) adalah mengkonsumsi tablet besi 1 tablet tiap hari selama 40
hari.
Penanganan anemia menurut Prawirohardjo (2010) adalah :
1) Pada anemi ringan, bisa diberikan sulfas ferosis 3 x 100 mg/hari
dikombinasi dengan asam folat / B12 : 15 –30 mg/hari.
2) Pemberian vitamin C untuk membantu penyerapan.
3) Bila anemi berat dengan Hb kurang dari 6 gr % perlu darah
disamping obat-obatan diatas dan bila tidak ada perbaikan cari
penyebabnya lainnya.
f. Dampak Anemia
Menurut Proverawati dan Asfuah (2009) akibat yang terjadi
pada anemia pascapartus adalah organ uterus menyebabkan
perdarahan, retensio plasenta (plasenta adhesive, plasenta akreta,
plasenta inkreta, plasenta perkreta), perlukaan sukar sembuh, mudah
terjadi febris peurperalis, gangguan involusi uteri, kematian ibu
tinggi (perdarahan, infeksi peurperalis, gestosis).
Dampak anemia pada masa nifas menurut Manuaba (2012)
adalah terjadi subinvolusio uteri menimbulkan perdarahan
postpartum, memudahkan infeksi puerpurium, pengeluaran ASI
berkurang, terjadi dekompensasi kordis mendadak setelah
persalinan, anemia kala nifas, mudah terjadi infeksi mamae.

4. Hemoglobin
a. Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin adalah parameter yang digunakan secara luas
untuk menetapkan prevalensi anemia. Garby et al menyatakan bahwa
penentuan status anemia yang hanya menggunakan kadar Hb ternyata
kurang lengkap, sehingga perlu ditambah dengan pemeriksaan yang
lain. Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah.
Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/ 100 ml darah
dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada
darah (Supariasa, 2012).
Hemoglobin adalah protein berpigmen merah yang terdapat
dalam sel darah merah. Normalnya dalam darah laki-laki 15,5 g/dl dan
pada wanita 14,0 g/dl. Rata-rata konsentrasi hemoglobin (MCHC =
Mean Cell Concentration of Haemoglobin) pada sel darah merah 32
g/dl (Tarwoto & Wasnidar, 2013).
b. Fungsi Hemoglobin
Fungsi hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru
dan dalam peredaran darah untuk dibawa ke jaringan. Ikatan
hemoglobin dengan oksigen disebut oksihemoglobin (HbO2).
Hemoglobin juga membawa karbondioksida dan dengan
karbonmonoksida membentuk ikatan karbonmonoksihemoglobin
(HbCO), juga berperan dalam keseimbangan pH darah (Tarwoto &
Wasnidar, 2013).
c. Struktur Hemoglobin
Struktur hemoglobin menurut Tarwoto & Wasnidar (2013)
terdiri dari 2 unsur utama yaitu :
1) Besi yang mengandung pigmen hem
2) Protein globin, seperti halnya jenis protein lain, globin
mempunyai rantai panjang dari asam amino, ada 4 rantai globin
yaitu alpha (α), bera (β), delta (δ), dan gamma (γ).
d. Kadar Hemoglobin
Kandungan hemoglobin yang rendah dengan demikian
mengindikasikan anemia. Bergantung pada metode yang digunakan,
nilai hemoglobin menjadi akurat sampai 2-3% (Supariasa, 2012).
Kadar hemoglobin pada perempuan dewasa menurut WHO dalam
Terwoto & Wasnidar (2013) adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Kadar Hemoglobin pada Perempuan
Hb Anemia
Jenis Kelamin Hb Normal kurang dari
(gr/dl)
Lahir (aterm) 13,5-18,5 13,5 (Ht 34%)
Perempuan dewasa : tidak hamil 12,0-15,0 12,0 (Ht 35%)
Perempuan dewasa : hamil
Trimester I : 0-12 minggu 11,5-14,0 11,0 (Ht 33%)
Trimester II : 13-28 minggu 10,5-14,0 10,5 (Ht 31%)
Trimester III : 29 aterm 11,0-14,0 11,0 (Ht 33%)

e. Proses Pembentukan Hemoglobin


Haemokonsentrasi, selama hamil darah ibu relatif lebih encer,
karena cairan darah ibu lebih banyak (haemodilatasi), sementara sel
darahnya berkurang. Bila diperiksa kadar darahnya (haemoglobin)
akan tampak sedikit penurunan dari angka normal, sebesar 11- 12 gr%.
Sehingga umumnya ibu hamil cenderung mengalami anemia pada
masa kehamilannya, setelah melahirkan, sistim sirkulasi darah ibu
akan kembali seperti semula, darah kembali mengental, dimana kadar
perbandingan sel darah dan cairan darah kembali normal. Umumnya
hal ini terjadi pada hari ke-3 sampai 15 hari masa nifas (Wiknjosastro,
2006).
f. Cara Mengukur Kadar Hemoglobin
Di antara metode yang paling sering digunakan di laboratorium
dan paling sederhana adalah metode Sahli, dan yang lebih canggih
adalah metode sianmethemoglobin. Pada metode Sahli, hemoglobin
dihidrolisis dengan HCl menjadi globin ferroheme. Ferroheme oleh
oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang segera
bereaksi dengan ion CI membentuk ferrihemechlorid yang juga
disebut hematin atau hemin yang berwarna coklat. Warna yang
terbentuk ini dibandingkan dengan warna standar (hanya dengan mata
telanjang). Untuk memudahkan perbandingan, warna standar dibuat
konstan, yang diubah adalah warna hemin yang terbentuk. Perubahan
warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian rupa
sehingga warnanya sama dengan warna standar dan penyesuaian
warna larutan yang diperiksa dalam komparator kurang akurat.
Disamping faktor mata, faktor lain misalnya ketajaman, penyinaran
dan sebagainya dapat mempengaruhi hasil pembacaan (Supariasa,
2012).
Meskipun demikian untuk pemeriksaan di daerah yang belum
mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode
Sahli ini masih memadai dan bila pemeriksanya telah terlatih hasilnya
dapat diandalkan.
Metode yang lebih canggih adalah metode sianmethemoglobin.
Pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida
menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida
(CN2-) membentuk sianmethemoglobin yang berwarna merah.
Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan
standar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya
lebih objektif. Namun fotometer saat ini masih cukup mahal, sehingga
masih belum semua laboratorium memilikinya (Supariasa, 2012).
Pengukuran kadar Hb saat ini sudah mulai menggunakan Hb
digital. Alat ukur yang sekarang sudah banyask digunakan sebagai
pengganti Hb sahli adalah Hb digital. Hemoglobin meter digunakan
untuk mengukur kadar hemoglobin (Hb) pada sampel darah manusia.
Tanpa reagen, tanpa bahan kimia. Aman dan praktis. Nilai hemoglobin
bermakna secara klinis apabila terdapat peningkatan minimal 1 gr.dl
(Heltty, 2008).
5. Pathway

Kehilangan darah pada saat persalinan


6. Tinjauan Sistem Kolaborasi dan Rujukan
a. Pelayanan Kolaborasi
Kolaborasi adalah hubungan saling berbagi tanggung jawab
(kerjasama) dengan rekan sejawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam
memberi asuhan pada pasien. Dalam praktiknya, kolaborasi dilakukan
dengan mendiskusikan diagnosis pasien serta bekerjasama dalam
penatalaksanaan dan pemberian asuhan. Masing-masing tenaga kesehatan
dapat saling berkonsultasi dengan tatap muka langsung atau melalui alat
komunikasi lainnya dan tidak perlu hadir ketika tindakan dilakukan. Petugas
kesehatan yang ditugaskan menangani pasien bertanggung jawab terhadap
keseluruhan penatalaksanaan asuhan.
Pelayanan kebidanan kolaborasi adalah pelayanan yang dilakukan
oleh bidan sebagai anggota tim yang kegiatannya di lakukan secara
bersamaan atau sebagai salah satu urutan dari sebuah proses kegiatan
pelayanan kesehatan. Tujuan pelayanan ini adalah berbagi otoritas dalam
pemberian pelayanan berkualitas sesuai ruang lingkup masing-masing.
Elemen kolaborasi mencakup:
1. Harus melibatkan tenaga ahli dengan keahlian yang berbeda, yang
dapat bekerjasama secara timbal balik dengan baik.
2. Anggota kelompok harus bersikap tegas dan mau bekerjasama.
3. Kelompok harus memberi pelayanan yang keunikannya dihasilkan
dari kombinasi pandangan dan keahlian yang di berikan oleh setiap
anggota tim tersebut.
Pelayanan Kolaborasi /kerjasama terdiri dari:
1. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan
sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga.
2. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil resiko tinggi dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
3. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
4. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
5. Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
6. Memberikan asuhan kebidanan pada balita resiko tinggi dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi (Asrinah, 2013).
b. Kolaborasi Dalam Praktik Kebidanan
Dalam praktik pelayanan kebidanan, layanan kolaborasi adalah asuhan
kebidanan yang diberikan kepada klien dengan tanggung jawab bersama
semua pemberi pelayanan yang terlibat. Misalnya: bidan, dokter, dan atau
tenaga kesehatan profesional lainnya. Bidan merupakan anggota tim.
Bidan meyakini bahwa dalam memberi asuhan harus tetap menjaga,
mendukung, dan menghargai proses fisiologis manusia. Intervensi dan
penggunaan teknologi dalam asuhan hanya atas indikasi. Rujukan yang
efektif dilakukan untuk menjamin kesejahteraan ibu dan bayinya. Bidan
adalah praktisi yang mandiri. Bidan bekerja sama mengembangkan
kemitraan dengan anggota dan kesehatan lainnya. Dalam melaksanakan
tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan perujukan sesuai
dengan kondisi pasien, kewenangan, dan kemampuannya (Asrinah, 2013).
1. Pengertian Sistim Rujukan
Sistem rujukan adalah sistem yang dikelola secara strategis,
proaktif, pragmatif dan koordinatif untuk menjamin pemerataan
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang paripurna dan
komprehensif bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama ibu
dan bayi baru lahir, dimanapun mereka bearada dan berasal dari
golongan ekonomi manapun agar dapat dicapai peningkatan derajat
kesehatan dan neonatal di wilayah mereka berada (Depkes RI, 2006)
Rujukan Pelayanan Kebidanan adalah pelayanan yang
dilakukan oleh bidan dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang
lebih tinggi atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh
bidan sewaktu menerima rujukan dari dukun yang menolong
persalinan, juga layanan yang dilakukan oleh bidan ke tempat atau
fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan lain secara
horizontal maupun vertical.
Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan
fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya
penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik atas masalah yang
timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit yang sederajat)
maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang
lebih rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau,
rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi.
2. Tujuan Sistim Rujukan
Tujuan umum sistem rujukan adalah untuk meningkatkan mutu,
cakupan dan efisiensi pelayanan kesehatan secara terpadu (Kebidanan
Komunitas). Tujuan umum rujukan untuk memberikan petunjuk
kepada petugas puskesmas tentang pelaksanaan rujukan medis dalam
rangka menurunkan IMR dan AMR.
Tujuan khusus sistem rujukan adalah:
a) Meningkatkan kemampuan puskesmas dan peningkatannya
dalam rangka menangani rujukan kasus “resiko tinggi” dan gawat
darurat yang terkait dengan kematian ibu maternal dan bayi.
b) Menyeragamkan dan menyederhanakan prosedur rujukan di
wilayah kerja puskesmas.
3. Jenis Rujukan
Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari :
a) Rujukan Internal
Yaitu rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di
dalam institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas
(puskesmas pembantu) ke puskesmas induk.
b) Rujukan Eksternal
Yaitu rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang
pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan
ke puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke
rumah sakit umum daerah).
Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari:
a) Rujukan Medik
Yaitu rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya
penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya,
merujuk pasien puskesmas dengan penyakit kronis (jantung
koroner, hipertensi, diabetes mellitus) ke rumah sakit umum
daerah. Jenis rujukan medik:
1) Transfer of patient.
2) Konsultasi penderita untuk keperluan diagnostik,
pengobatan, tindakan operatif dan lain-lain.
3) Transfer of specimen.
4) Pengiriman bahan untuk pemeriksaan laboratorium yang
lebih lengkap.
5) Transfer of knowledge/personel.
6) Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
meningkatkan mutu layanan pengobatan setempat.
Pengiriman tenaga-tenaga ahli ke daerah untuk memberikan
pengetahuan dan keterampilan melalui ceramah, konsultasi
penderita, diskusi kasus dan demonstrasi operasi (transfer of
knowledge). Pengiriman petugas pelayanan kesehatan
daerah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan
mereka ke rumah sakit yang lebih lengkap atau rumah sakit
pendidikan, juga dengan mengundang tenaga medis dalam
kegiatan ilmiah yang diselenggarakan tingkat provinsi atau
institusi pendidikan (transfer of personel).
2) Rujukan Kesehatan
Yaitu hubungan dalam pengiriman dan pemeriksaan bahan
ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Rujukan ini
umumnya berkaitan dengan upaya peningkatan promosi
kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif). Contohnya,
merujuk pasien dengan masalah gizi ke klinik konsultasi gizi
(pojok gizi puskesmas), atau pasien dengan masalah kesehatan
kerja ke klinik sanitasi puskesmas (pos Unit Kesehatan Kerja).
c. Alur Sistim Rujukan
Alur rujukan kasus kegawat daruratan:
1) Dari Kader
Dapat langsung merujuk ke:
1) Puskesmas pembantu
2) Pondok bersalin atau bidan di desa
3) Puskesmas rawat inap
4) Rumah sakit swasta / RS pemerintah
2) Dari Posyandu
Dapat langsung merujuk ke:
a) Puskesmas pembantu
b) Pondok bersalin atau bidan di desa
d. Mekanisme Rujukan
a. Menentukan kegawadaruratan penderita
1) Pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih
Ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri oleh
keluarga atau kader/ dukun bayi, maka segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang terdekat, oleh karena itu mereka belum
tentu dapat menerapkan ke tingkat kegawatdaruratan.
2) Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas
Tenaga kesehatan yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus
yang ditemui, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya,
mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani
sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk.
3) Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga
Sebaiknya bayi yang akan dirujuk harus sepengatahuan ibu atau
keluarga bayi yang bersangkutan dengan cara petugas kesehatan
menjelaskan kondisi atau masalah bayi yang akan dirujuk dengan
cara yang baik.
4) Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju
a) Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk
b) Meminta petunjuk apa yan perlu dilakukan dalam rangka
persiapan dan selama dalam perjalanan ke tempat rujukan
c) Meminta petunjuk dan cara penanganan untuk menolong
penderita bila penderita tidak mungkin dikirim.
5) Persiapan penderita (BAKSOKUDA)
Persiapan yang harus diperhatikan dalam melakukan rujukan
disingkat “BAKSOKUDA” yang diartikan sebagi berikut :
B (Bidan) : Pastikan ibu/ bayi/ klien didampingi oleh tenaga
kesehatan yang kompeten dan memiliki kemampuan untuk
melaksanakan kegawatdaruratan
A (Alat) : Bawa perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan
seperti spuit, infus set, tensimeter dan stetoskop
K (keluarga) : Beritahu keluarga tentang kondisi terakhir ibu
(klien) dan alasan mengapa ia dirujuk. Suami dan anggota
keluarga yang lain harus menerima ibu (klien) ke tempat
rujukan.
S (Surat) : Beri sura ke tempat rujukan yang berisi identifikasi ibu
(klien), alasan rujukan, uraian hasil rujuka, asuhan atau obat-
obat yang telah diterima ibu
O (Obat) : Bawa obat-obat esensial yang diperlukan selama
perjalanan merujuk
K (Kendaraan) : Siapkan kendaraan yang cukup baik untuk
memungkinkan ibu (klien) dalam kondisi yang nyaman dan
dapat mencapai tempat rujukan dalam waktu cepat.
U (Uang) : Ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam
jumlah yang cukup untuk membeli obat dan bahan kesehatan
yang diperlukan di tempar rujukan
DA (Darah) : Siapkan darah untuk sewaktu-waktu membutuhkan
transfusi darah apabila terjadi perdarahan
6) Pengiriman Penderita
Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan
kendaraan/ sarana transportasi yang tersedia untuk mengangkut
penderita
7) Tindak lanjut penderita
a) Untuk penderita yang telah dikemalikan
b) Harus kunjungan rumah bila penderita yang memerlukan
tindakan lanjut tapi tidak melapor.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni. 2014. Pengaruh Suplemen Bayam Terhadap Perubahan Kadar


Hemoglobin (Studi Laboratorium Mencit). BHAMADA, JITK, Vol. 5, No.
1, April 2014: 43-51.

Astuti. 2015. Pengaruh konsumsi jus bayam merah terhadap peningkatan kadar
Hb Ibu Hamil di kecamatan Tawangmangu. Bidan Prada : Jurnal Ilmiah
Kebidanan, Vol. 6 No. 1 Edisi Juni 2015, hlm. 72-79.

Bandiyah, S. 2009. Kehamilan, Persalinan & Gangguan Kehamilan. Yogyakarta


: Nuha Medika.

Damayanti IP. 2014. Buku Ajar: Asuhan kebidanan komprehensif pada ibu
bersalin dan bayi baru lahir. Yogyakarta: Deepublish

Defiany, Sumarni, Hendrisita Febriani, Yulinda Fatonah, Nia Noor Erlyta. 2013.
Pendamping Persalinan Sebagai Pengurang Rasa Nyeri Saat Bersalin.
Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4 No. 1;

Dixon L, Skinner, Foureur. 2013. The emotional and hormonal pathways of


labour and birth:integrating mind, body and behaviour. New Zealand :
Collage of Midwive Journal 48.

Erawati AD. 2010. Buku ajar asuhan kebidnan persalinan normal. Jakarta :
EGC.

Grant N, Strevens H, Thor J. 2015. Physiology of labor. Dalam : Capogna G


(ed). Epidural labor analgsia : Childbirth without pain. New York :
Springer Cham Heidelberg, p:1.

Handajani & Astuti. 2016. Pengaruh Teknik Stimulasi Susu terhadap Lama
Persalinan Kala I. Surakarta. Jurnal Terpadu Ilmu Kebidanan Kesehatan,
Volume 5, No 2, November 2016, hlm 110-237. Diakses tanggal 4
Desember 2017

Indrasari, Nelly. 2014. Perbedaan Lama Persalinan Kala II Pada Posisi Miring
dan Posisi Setengah Duduk. Jurnal Keperawatan Vol X No 1 April 2014

Johariyah, Ningrum EW. 2012. Asuhan kebidnaan Persalinan dan Bayi Baru
Lahir. Jakarta : CV.Trans Info Medika.
JNPK-KR. 2012. Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Lestarri, dkk. 2014. Perbedaan Pengaruh Pendamping Persalinan terhadap


Lama Kala II Persalinan pada Ibu Hamil Primigravida. Cilacap. Jurnal
Kesehatan Al-Irsyad (JKA) Vol, V, No. 1. Maret 2014. Diakses tanggal 4
Desember 2017.

Mander. 2012. Nyeri Persalinan. Jakarta. EGC

Novita, dkk. 2017. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Respon
Nyeri pada Ibu Inpartu Kala I Fase Aktif di Puskesmas Bahu Kota
Manado. Manado. E-Journal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1,
Mei 2017. Diakses tanggal 4 Desember 2017

Novita, Sari. 2010. Hubungan Dukungan Suami Dengan Lama Persalinan Kala
II di Rb An Nissa Surakarta. Surakarta : Universitas Negeri Surakarta

Prawiroharjo, Sarwono. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan


Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

Prawiroharjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo

Purwandari, Atik. 2008. Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC

Rahman, Stang Abdul, dkk. 2017. Penurunan Nyeri Persalinan dengan Kompres
Hangat dan Massage Effleurage. Jurnal MKMI. Vol 12 No 2 Tahun 2017

Rahmaningtyas, Indah, Ribut Eko Wijanti & Koekoeh Hardjito. 2010.


“Perbedaan Kekuatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Post Partum Antara
Sebelum dan Sesudah Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)”.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, Vol.I No.3. ISSN: 2086-3098.
Diakses tanggal 7 Januari 2015. Didapatkan dari
http://static.schoolrack.com

Reeder. 2014. Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanita, Bayi & Keluarga


Edisi 18. Jakarta: EGC

Rukiah AY, dkk. 2009. Asuhan Kebidanan II Persalinan. Jakarta: CV. Trans
Info Medika.
Saifuddin AB. 2011. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: EGC.

Saminem. 2008. Asuhan Kebidanan Kehamilan Normal. Jakarta: EGC.

Sofian. 2012. Rustam Mochtar Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri


Patologi, Edisi 3, Jilid 1. Jakarta. EGC

Sondakh JJS. 2013. Asuhan Kebidnaan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sumarah. 2009. Perawatan Ibu Bersalin : Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin.
Yogyakarta : Fitramaya.
Sulistyawati, Ari. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Jakarta:
Salemba Medika.

Sulistyawati A, Nugraheny E (2010) . Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin.


Jakarta: Salemba Medika.

Suryanti, Uswatun Choeriyah, Ipang Suparti. 2013. “Teknik Adaptasi Pola


Nafas Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Dan Memperlancar Proses
Persalinan”. Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 4 No. 1 Edisi.
Diakses tanggal 2 Januari 2015. Didapatkan dari
http://download.portalgaruda.org

Tarwoto dan Wasnidar. 2013. Buku Saku Anemia pada Ibu Hamil : Konsep dan
Penatalaksanaannya. Jakarta : Trans Info Media.

Varney, Helen. Jan M. Kriebs & Carovln L. Gegor. 2008. Buku Ajar Asuhan
Kebidanan. Ed. 4 Volume 1. Jakarta: EGC

Varney, Helen. Jan M. Kriebs & Carovln L. Gegor. 2008. Buku Ajar Asuhan
Kebidanan. Ed. 4 Volume 2. Jakarta: EGC

Verralls, S., 2010. Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Kebidanan, Jakarta:
Kedokteran EGC

Yunita, F. 2010. “Pengaruh Pemberian Rangsangan Puting Susu dengan


Pemilihan pada Manajemen Aktif Kala III terhadap Waktu Kelahiran
Plasenta di Kota Surakarta”. Surakarta. KesMaDaSka, Vol ! No. 1, Juli
2010 (4047). Diakses tanggal 4 Desember 2017.
Zainiyah, Zakkiyatus. 2015. Perbedaan Kemajuan Persalinan Kala I Fase Aktif
Pada Ibu Bersalin yang Diberikan Posisi Miring Kiri dan Posisi Berdiri.
Riau : Jurnal Kebidanan Stikes Tuanku Tambusai

Anda mungkin juga menyukai