Referat Komplikasi Anestesi 1
Referat Komplikasi Anestesi 1
KOMPLIKASI ANASTESI
Dokter Pembimbing :
dr. Kusnadi , Sp.An
dr. Bony , Sp.An
Disusun oleh :
Sitompul Sotum 1102010129
Ceik 1102010208
Pada dasarnya tidak ada prosedur medis yang tidak membawa resiko, sekecil apapun.
Meskipun morbiditas dan mortalitas akibat anestesianya sudah sangat sedikit, potensi untuk
timbulnya komplikasi tetap ada. Demikian pula komplikasi yang terjadi, belum dapat
mencapai titik nol. Komplikasi yang berlangsung berhubungan dengan tindakan anestesia
dapat mengenai semua organ secara garis besar, komplikasi ini berbentuk trauma primer
(akibat tindakan anestesi), trauma sekunder sebagai akibat perubahan fisiologi karena
tindakan anestesia, gangguan faal organ (kesalahan manajemen cairan, penggunaan obat-obat
yang toksik bagi organ tertentu), atau kegagalan manajemen pernafasan.
Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi,
yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan,
perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus diperhatikan bahwa komplikasi
anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien. Beberapa
komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis,
atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek sedatif
premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis, konfulsi, mual muntah, embolisme
lemak dan keracunan barbiturat (Ellis & Campbell, 1986).
Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa (Abrorshodiq,2009).
Laporan umum mencatat kejadian kematian pada waktu atau segera setelah operasi di
beberapa rumah sakit di Amerika rata-rata 0,2% - 0,6% dari operasi dan kematian yang
disebabkan oleh anestesi 0,03% - 0,1% dari seluruh anestesi yang diberikan (Admin, 2007).
Campbell (1960) menambahkan bahwa kematian yang terjadi pada waktu operasi atau segera
setelah operasi dari laporan kejadian karena anestesi sangat bervariasi dari 5% sampai 50%.
KOMPLIKASI ANESTESI
Kecelakaan anestetik dapat dikelompokkan menjadi yang dapat dicegah dan yang
tidak dapat dicegah. Berbagai contoh yang tidak dapat dicegah antara lain sindrom kematian
mendadak, reaksi obat idiosinkratik fatal, atau setiap akibat buruk yang terjadi walaupun
telah dilakukan penatalaksanaan yang sesuai. Namun demikian, penelitian pada kematian
yang terkait-anestetik atau hampir meninggal menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan
tersebut dapat dicegah.
Tabel 1. Kesalahan manusia umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang dapat
dicegah.
Tabel 2. Malfungsi peralatan umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang dapat
dicegah
Sirkuit pernapasan
Alat pemantauan
Ventilator
Mesin anestesia
Laringoskop
Tabel 3. Berbagai faktor yang berkaitan dengan kesalahan manusia dan penyalahgunaan peralatan.
Faktor Contoh
Pencegahan
Dalam anestesia umum ada beberapa hal yang berpotensi menyebabkan morbiditas
atau mortalitas diantaranya adalah hilangnya kemampuan pasien untuk mempertahankan
sendiri kehidupannya termasuk bernafas. Komplikasi pernafan merupakan kasus morbiditas
dan mortalitas intra maupun pasca bedah yang sering dilaporkan. Komplikasi pada sistem
pernafasan menyangkut juga komplikasi jalan nafas. Sebagian besar ini akibat kegagalan
manajemen jalan nafas. Kegagalan manjemen jalan nafas bahkan dapat fatal sebelum
tindakan bedah dilakukan. Diantaranya disebabkan false route intubation, atau intubasi
esophageal.
Beberapa tindakan anestesi menyebabkan stimulus nyeri yang dapat berbahaya jika
tidak diantisipasi. Peningkatan tonus simpatis akibat nyeri dapat menyebabkan hipertensi
bahkan cerebrovaskuler accident, terutama pada pasien yang sudah menderita hipertensi pra
bedah. Nyeri juga faktor penyebab yang signifikan untuk spasme koroner, krisis hipertensi
pulmonal, atau hipercyanotic spell. Aktivitas simpatis juga dapat mencetuskan aritmia
jantung, apalagi jika sebelumnya sudah ada ketidakseimbangan elektrolit.
Ketidakcermatan dalam manjemen cairan intraoperatif juga dapat fatal, seringkali tanpa
disadari. Hipovolemia yang berat hingga menyebabkan hipotensi cukup mudah dideteksi
akan tetapi hipovolemia yang terjadi perlahan, seringkali lolos dari perhatian, apalagi jika ahli
anestesiologi hanya mengandalkan normalnya tekanan darah. Penyebab komplikasi sistem
respirasi adalah multifaktorial. Resiko ini meningkat pada pasien geriatri, pasien dengan
kebiasaan merokok, lamanya anestesia berlangsung, jenis operasi, keadaan umum yang
buruk, dan tentu saja pasi en dengan adanya penyakit paru atau kesulitan jalan nafas sebelum
operasi.
Trauma jalan nafas (atas) dapat terjadi jika memasukkan alat bantu, misalnya pipa
orofaring (guedel) atau pipa nasofaringeal. Trauma jalan nafas yang paling sering terjadi
berhubungan dengan tindakan laringoskopi dan intubasi. Mulai yang ringan (gigi tanggal,
laserasi sudut mulut) hingga cedera glotis dan jaringan lunak sekitarnya. Pada tindakan
laringoskopi bahkan dapat terjadi dislokasi dan subluksasi aritenoid.
Laringoskopi semakin traumatis jika pasien memang memiliki anatomi yang sulit.
Namun demikian, pasien dengan anatomi normalpun dapat mengalami ini. Oleh karena itu,
gindakan laringoskopi barus dilakukan sehalus mungkin, sesingkat mungkin. Harus
dipastikan juga analgesia (sistemik atau topikal) bekerja adekuat.
Intubasi dengan pipa endotracheal (endotracheal tube atau ETT) serig menyebabkan
trauma dan kerusakan struktur jalan nafas atas. Terutama jika intubasi dilakukan dalam
keadaan pasien tetap bernafas spontan, ETT dapat mencederai pita suara atau menyebabkan
laringospasme. Penggunaan balon (cuff) ETT juga dapat meninbulkan trauma terutama jika
ukuran ETT sangat ketat di trakea atau balon dikembangkan terlalu besar. Pada kasus yang
berat bahkan dapt menyebabkan kelumpuhan pita suara akibat tekanan pada saraf laringeus
reccurens. Pasca bedah, setelah ekstubasi terkadang baru disadari ada pembengkakan di jalan
nafas. Edema laring atau laringospasme pasca ekstubasi dapat menjadi masalah besar karena
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Edema laring dapat diatasi dengan pemberian O2
yang dilembabkan, epinefrin, posisi kepala diangkat, bila perlu dilakukan intubasi ulang
dengan pipa endotracheal yang lebih kecil. Meskipun kontroversial, seringkali diberikan
steroid parenteral untuk mengurangi edema ini. Laringospasme dapat diatasi dengan
pemberian O2 tinggi melalui tekanan positif. Pada kasus yang berat dapat diberikan
pelumpuh otot.
Keberadaan ETT di trakea juga dapat merupakan iritan bagi pasien-pasien yang
sensitif. Pasien dengan hiperaktivitas bronkus atau asma bronkhial mudah terpicu serangan
oleh karena ETT ini. Jika ETT terlalu dalam dan masuk ke salah satu bronkus pun, serangan
asma dapat terjadi. Untuk pada kasus yang berat bahkan menyebabkan atelektasis satu paru.
Pembesaran lambung dapat mendorong diafragma ke sefalat, mengganggu ventilasi.
Pernah terjadi kasus henti jantung akibat hiperkapnia karena kebocoran sungkup laring ini.
Oleh karena itu, sangat penting menggunakan kapnografi, melakukan pemeriksaan berkala
pada pasien dan sesekali membantu pernafasan secara mekanik, meski pasien bernafas
spontan.
Pemasukan selang endotrakeal sehari-hari, jalan napas masker laring, jalan napas
oral/nasal, selang gastrik, probe ekokardiogram transesofageal (transesofageal
echocardiogram, TEE), dilator esofageal (boogie), dan jalan napas darurat semuanya
melibatkan risiko kerusakan struktur jalan napas.
Cedera jalan napas permanen yang paling umum adalah trauma gigi. Pada
kebanyakan kasus, laringoskopi dan intubasi endotrakeal terlibat, dan gigi seri atas adalah
yang paling sering terkena cedera.Faktor risiko utama untuk trauma gigi termasuk intubasi
trakeal, gigi geligi yang kurang baik sebelumnya, dan karakteristik pasien yang berkaitan
dengan penatalaksanaan jalan napas sulit (termasuk pergerakan leher yang terbatas,
pembedahan kepala dan leher sebelumnya, kelainan kraniofasial, dan riwayat intubasi sulit).
Secara umum, yang paling tidak serius adalah cedera sendi temporomandibular
(temporomandibular joints, TMJ), yang semuanya berkaitan selain dengan intubasi yang
tidak dipersulit dan terjadi sebagian besar pada wanita yang lebih muda dari 60 tahun.
Cedera laringeal terutama melibatkan paralisis pita suara, granuloma, dan dislokasi
aritenoid. Sebagian besar cedera trakeal berkaitan dengan trakeotomi pembedahan darurat,
namun beberapa berkaitan dengan intubasi endotrakeal. Meminimalkan risiko cedera jalan
napas dumulai pada penilaian praoperasiDokumentasi gigi geligi terakhir (termasuk kerja
gigi) harus dimasukkan
Komplikasi yang dapat fatal dalam waktu singkat adalah hipoksemia berat.
Hipoksemia berat dapat diakibatkan kegagalan menagemen jalan nafas, baik karena anatomi
sulit, false route, obstruksi, atau kesalahan pengaturan ventilasi atau oksigen. Hipoksemia
juga dapat terjadi karena hal-hal yang sepele seperti diskoneksi ETT dengan sumber gas,
bocornya sirkuit nafas, fraksi O2 yang rendah atau pengaturan ventilasi semenit yang kurang
dari seharusnya.
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya adalah
tertekuknya pipa endotrakeal atau tersumbatnya pipa endotrakeal oleh mukus, darah, benda
asing atau pelumas. Pipa endokrakeal non kinkin dapat mencegah terjadinya pipa yang
tertekuk, oleh karena itu penggunaannya dianjurkan pada pasien yang lama, operasi mulut,
atau operasi yang memerlukan posisi khusus. Balon pipa endotracheal yang dikembangkan
secara berlebihan juga dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Balon ini dapat menekan
ujung pipa pada dinding trakea, yang kemudian akan menyumbatnya.
Perubahan irama jantung juga dapat terjadi, salah satunya adalah aritmia intraoperatif,
sebagian disebabkan karena peningkatan aktivitas simpatis, kemungkinan lain karena adanya
ketidakseimbangan elektrolit, semua abnormalitas kadar elektrolit berpotensi menyebabkan
aritmia.
Sebagian besar obat anestetik bersifat vasodilator dengan gradasi berbeda-beda, yang
dapat menyebabkan hipotensi. Semakin dalam anestesia, semakin rendah pula tekanan darah.
Jika pasien dalam kondisi hipovolemia tentu hipotensi lebih mudah terjadi dan dapat berat.
Dalam operasi emergensi (misalnya untuk bleeding source control) dan menghadapi pasien
yang dalam kondisi syok hipovolemia, selain harus diusahakan resusitasi cairan secepatnya
juga harus dipilih obat anestesi yang tidak terlalu mendepresi sistem kardiovaskular. Pada
pasien dengan penyakit jantung coroner (coronary artery disease, CAD), kondisi syok
hipovolemia sangat mudah menyebabkan infark miokard akut yang fatal. keadaan hipotensi -
hipovolemi (menurunkan suplai oksigen ke miokard) dan takikardi sebagai kompensasi
hipovolemia (meningkatkan oksigen demand miokard) adalah kombinasi terburuk CAD.
Iskemia dan infark miokardakut juga dapat terjadi setelah hipoksia berulang akibat intubasi
yang sulit, obstruksi jalan nafas, atau manajemen ventilasi-oksigen yang adekuat.
Satu komplikasi kardiovaskular yang mungkin kurang mendapat perhatian adalah
hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal adalah kelainan pada tekanan darah di sirkulasi
pulmonal. Dalam kondisi istirahat (termasuk dalam anestesia) tekanan arteri pulmonalis
normal adalah 25 mmHg atau kira-kira seperemlat tekanan darah sistemik. Tekanan ini dapat
tiba-tiba melonjak melampaui batas normal, biasanya vatal dalam hitungan menit. Tekanan
arteri pulmonalis akan diteruskan dan menjadi beban jantung kanan, sedangkan jantung
kanan tidak di kondisikan untuk melawan tekanan yang tinggi, akibatnya dapat menjadi
sudden death.
Komplikasi Neurologi
Trauma pada medula spnalis atau saraf yang keluar dari medula spinalis dapat terjadi.
cedera vetebra servikalis akibat usaha laringoskopi dan intubasi yang sulit merupakan
penyebab tersering.
Cedera saraf perifer yang paling umum adalah neuropati ulnar. Yang menarik, gejala-
gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam setelah prosedur pembedahan
dan mungkin telah terjadi saat pasien yang berada pada bangsal rumah sakit sedang tertidur.
Berbagai faktor risiko meliputi jenis kelamin laki-laki, lama inap di rumah sakit lebih dari 14
hari, dan habitus tubuh yang sangat kurus atau obesitas.
Cedera saraf perifer lainnya tampaknya lebih berhubungan dekat dengan pengaturan
posisi atau prosedur pembedahan. Cedera ini mencakup saraf peroneus, pleksus brakialis,
atau saraf femoralis dan skiatika. Penekanan eksternal pada saraf dapat membahayakan
perfusinya, merusak integritas selularnya, dan pada akhirnya menimbulkan edema, iskemia,
dan nekrosis.
Hipotensi postural, suatu konsekuensi fisiologis yang paling umum dari posisi, dapat
diminimalkan dengan menghindari perubahan posisi yang tiba-tiba (misal, duduk dengan
cepat), mengembalikan posisi jika terdapat perubahan tanda vital, menjaga pasien sehidrasi
mungin, dan memberikan obat-obat untuk melawan reaksi yang diantisipasi
Supine
Dekubitus Jantung Curah jantung tidak berubah kecuali aliran balik vena
lateral tersumbat (misal, henti ginjal). Tekanan darah arterial dapat
turun sebagai akibat penurunan resistansi vaskular (sisi
kanan > sisi kiri).
2
Perubahan yang berkaitan dengan posisi prone diperberat oleh kerangka pelana konveks
yang digunakan pada pembedahan spinal posterior dan diminimalisasi oleh posisi prone
jackknife.
Embolisme udara Duduk, prone, Mempertahankan tekanan vena di atas 0 pada luka
Trendelenburg terbalik (lihat Bab 26).
Kelumpuhan saraf
Semua
Hindari kompresi pada humerus lateral.
Radialis Semua
Pemakaian alas pada siku, supinasi lengan atas.
Ulnaris Prone, duduk
Hindari penekanan pada bola mata.
Iskemia retinal Semua
Pemakaian alas pada penonjolan tulang
Nekrosis kulit
Anestesia umum juga dapat mengganggu fungsi beberapa organ vital seperti hati dan
ginjal. Hal ini terutama jika digunakan obat-obatan yang bersifat hepato/nefrotoksik atau
terjadi gangguan perfusi selama anestesia. Salah satu obat anestesia yang terkenal dengan
sifat hepatotoksiknya adalah gas volatil halotan.
Manajemen cairan intraoperatif yang tidak tepat juga dapat menyebabkan masal.
Selain hipovolemi, hipervolemi dapat membawa komplikasi edema interstisial, terutama jika
digunakan terlalu banyak cairan kristaloid. Pada pasien dengan keterbatasan fungsi pompa
jantung, hipervolemia mudah mengakibatkan gagal jantung kongestif. Edema pulmonum
intraoperatif hanya salah satu gejalanya.
Awareness
Saat intraoperatif secara tidak diinginkan pasien menjadi sadar, pasien dapat
menunjukkan gejala mulai dari kecemasan ringan sampai gangguan stres pasca trauma
(misalnya, gangguan tidur, mimpi buruk, dan kesulitan bersosialisasi).
Kembalinya kesadaran secara tiba-tiba bisa disebabkan karena berkurangnya
kedalaman anestesi karena pasien dapat mentoleransinya, anestesi inhalasi yang inadekuat,
dan medication errors. Untuk mencegah hal tersebut pasien dapat diberikan volatile anestesi
dengan level yang konsisten sehingga menyebabkan efek amnesia atau berikan
benzodiazepine.
Eye Injury
Dapat terjadi mulai dari simple cornea abrasion sampai dengan kebutaan. Namun,
yang paling sering terjadi adalah simple cornea abrasion. Penyebabnya masih sulit
diidentifikasi, tapi jarang bersifat permanen. Untuk mencegah hal ini terjadi pada saat pasien
tidak sadar tutup kelopak matanya dengan tape (terutama pada pasien yang diintubasi), serta
mencegah adanya kontak langsung antara oxygen mask dengan mata.
Akhir-akhir ini, cedera mata yang membahayakan disebut neuropati optik iskemik
(ischemic optic neuropathy, ION) telah diketahui. Sindrom ini berasal dari infark saraf optik
akibat menurunnya penyaluran oksigen melalui satu atau lebih arteriol kecil yang memasok
kepala saraf. Banyak dari laporan, kasus ini melibatkan hipertensi yang telah ada
sebelumnya, diabetes, penyakit arteri koroner, dan merokok, menunjukkan bahwa kelainan
vaskular praoperasi mungkin memiliki peran.
Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi (1) meningkatkan aliran keluar vena
dengan memposisikan pasien dengan kepala di atas dan meminialkan konstriksi abdomen,
(2) memantau tekanan darah secara hati-hati dengan jalur arterial, (3) membatasi derajat dan
durasi hipotensi selama hipotensi terkontrol (disengaja), (4) memberikan transfusi pada
pasien anemik yang tampaknya memiliki risiko ION dengan cukup dini untuk menghindari
anemia berat, dan (5) mendiskusikan dengan ahli bedah mengenai kemungkinan operasi
bertahap pada pasien risiko tinggi untuk membatasi prosedur yang terlalu lama.
Reaksi Alergi
Tipe I (segera)
Atopi
Urtikaria—angioedema
Anafilaksis
Tipe II (sitotoksik)
Reaksi transfusi hemolitik
Trombositopenia diinduksi-heparin
Reaksi Arthus
Serum sickness
Dermatitis kontak
Hipersensitivitas tipe-tuberkulin
Mediator yang paling penting dari anafilaksis adalah histamin, leukotrien, BK-A, dan
faktor pengaktivasi platelet. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular dan
mengontraksi otot polos. Aktivasi reseptor-H1 mengontraksi otot polos bronkial, sementara
aktivasi reseptor H2 menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan sekresi mukus, takikardia, dan
meningkatkan kontraktilitas miokardial. BK-A memecah bradikinin dari kininogen;
bradikinin meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi dan mengontraksi otot
polos. Aktivasi faktor Hageman dapat menginisiasi koagulasi intravaskular pada beberapa
pasien. ECF-A, NCF, dan leukotrien B 4 menangkap sel-sel inflamasi yang memediasi cedera
jaringan tambahan. Angioedema pada faring, laring, dan trakea, menghasilkan obstruksi jalan
napas bagian bawah. Histamin lebih cenderung mengonstriksi jalan napas yang lebih besar,
sementara leukotrien terutama mempengaruhi jalan napas perifer yang lebih kecil. Transudasi
cairan ke dalam kulit (angioedema) dan visera menghasilkan hipovolemia dan syok,
sementara vasodilatasi arteriolar menurunkan resistansi vaskular sistemik. Hipoperfusi
koroner dan hipoksemia mencetuskan aritmia dan iskemia miokardial. Mediator leukotrien
dan prostaglandin juga dapat menyebabkan vasospasme koroner. Syor sirkulasi yang
memanjang menghasilkan asidosis laktat dan kerusakan iskemik terhadap organ vital lainnya.
Tabel 7 merangkum manifestasi yang penting dari reaksi anafilaktik. Penting untuk mencatat
bahwa manifestasi kardiovaskular dan kutaneus merupakan gambaran yang lebih umum dari
anafilaksis dibandingkan bronkospasme selama anestesia.
Walaupun lebih jarang, obat-obat hipnotik juga dapat bertanggung jawab untuk
beberapa reaksi alergi. Insidens anafilaksis untuk tiopental dan propofol berturut-turut adalah
1 dalam 30.000 dan 1 dalam 60.000. Reaksi alergi terhadap ketomidat, ketamin, dan
benzodiazepin sangatlah jarang. Reaksi anafilaktik sebenarnya akibat opioid jauh lebih jarang
dibandingkan pelepasan histamin nonimun. Begitu juga, reaksi anafilaktik terhadap anestetik
lokal jauh lebih jarang dibandingkan reaksi vasovagal, reaksi toksik, dan efek samping dari
epinefrin. Tidak terdapat laporan mengenai anafilaksis terhadap anestetik volatil.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna F. Soenarto dan Susilo Chandra. Komplikasi Anestesiologi dalam Buku Ajar
Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. 2012:
207-218.