Anda di halaman 1dari 21

Usulan Penulisan Makalah oleh Nor Hayatun Thaibah, ini

Telah Diperiksa dan disetujui oleh

Banjarmasin, 25 Januari 2019

Pembimbing Utama

Jessica Manoralisa

NIA TBM-Cs/J/XX/08

Banjarmasin, 19 Januari 2019

Pembimbing Pendamping

Xena Asterina Susilo

NIA TBM-Cs/X/XXI//11
ABSTRAK

Leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang (zoonosis) yang bersifat


akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas
dan dapat menyebabkan kematian. (Kemenkes, 2015). Leptospira yang termasuk dalam
ordo Spirochaeta, dapat menyebabkan penyakit infeksius yang disebut leptospirosis.
Leptospira merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15µm,
disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm. Salah satu ujung bakteri ini seringkali
bengkok dan membentuk kait. Leptospira memiliki ciri umum yang membedakannya
dengan bakteri lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5
lapis. Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal,
serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang terletak
diantara membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik.
Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap ujung
sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan menggunakan mikroskop
lapangan gelap.

Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh paling


baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4. Media yang bisa digunakan
adalah media semisolid yang kaya protein, misalnya media Fletch atau Stuart. Lingkungan
yang sesuai untuk hidup leptospira adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah
tropis. Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira sp. dibagi menjadi
Leptospira interrogans yang merupakan spesies yang patogen dan Leptospira biflexa yang
bersifat tidak patogen (saprofit). Sampai saat ini telah diidentifikasi lebih dari 200 serotipe
pada L.interrogans. Serotipe yang paling besar prevalensinya adalah canicola,
grippotyphosa, hardjo, icterohaemorrhagiae, dan pomona.

LEPTOSPIROSIS

Nor Hayatun Thaibah

Calamus Scriptorius
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga KTI ini bisa
selesai pada waktunya. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan
baik dan rapi. Kami berharap semoga KTI ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa KTI ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Sabtu, 19 Januari 2019

Nor Hayatun Thaibah

Calamus Scriptorius
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN HALAMAN

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

Calamus Scriptorius
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada umumnya, setiap akhir tahun atau awal tahun curah hujan di Indonesia
cukup tinggi, sehingga perlu kiranya agar kita mewaspadai dampak – dampak yang
akan ditimbulkannya, seperti: banjir dan gangguan kesehatan. Salah satu gangguan
kesehatan yang dapat menyerang pada musim penghujan adalah Leptospirosis.
Infeksi bakteri Leptospira dapat menyebabkan gejala penyakit dari yang ringan
seperti flu biasa sampai penyakit yang berat seperti penyakit kuning, perdarahan
paru-paru, sampai gagal ginjal yang membahayakan jiwa. Penyakit ini dapat
menyebabkan kematian jika tidak segera ditangani secara serius.
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit infeksi akut berbahaya yang
disebabkan oleh bakteri berbentuk spiral dari genus leptospira yang patogen.
Leptospira merupakan penyakit zoonosis (penyakit bersumber binatang dan dapat
ditularkan kepada manusia). Penularan Leptospirosis pada manusia terjadi secara
kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi Leptospira atau secara tidak
langsung melalui genangan air yang terkontaminasi urin yang terinfeksi
Lepstospira. Bakteri ini tahan dalam air bersifat basa sampai 6 (enam) bulan dan
masuk ke dalam tubuh melalui, kulit yang terluka membran mukosa mulut, mata,
dan hidung ketika berenang/berada didalam air yang tercemar.
Leptospirosisjuga dikenal dengan nama flood fever (demam banjir) karena
memang muncul dikarenakan banjir. Leptospirosis merupakan penyakit yang
tersebar luas di dunia, terutama di area tropis dan subtropis yang memiliki curah
hujan tinggi.

Calamus Scriptorius
Penularan dari hewan ke manusia pada umumnya merupakan akibat kecelakaan
kerja, misalnyaterjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh
hewan (pekerja potong hewan) atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
Leptospirosis pada umumnya terjadi ketika musim banjir namun dapat pula terjadi
ketika musim kemarau karena sumber air sama dipakai oleh manusia dan hewan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan materi yang akan dibahas pada karya tulis ini, dapat dirumuskan
beberapa hal, yaitu:
1. Apa pengertian Leptospirosis?
2. Bagaimana seseorang dapat menderita penyakit tersebut?
3. Apakah penyakit tersebut menular?
4. Bagaimana gejala awal seseorang yang menderita penyakit tersebut?
5. Bagaimana cara pencegahan agar terhindar dari leptospirosis?
6. Bagaimana cara pengobatan untuk penderita penyakit tersebut?

1.3 Batasan Masalah


Mengingat banyaknya perkembangan yang bisa ditemukan dalam permasalahan
ini, maka perlu kiranya batasan-batasan masalah yang jelas mengenai apa yang
dibuat dan diselesaikan. Adapun batasan-batasan masalah pada karya tulis ini
sebagai berikut :
1. Karya tulis ini membahas mengenai Leptospirosis dengan bahasan yang bersifat
umum.
2. Karya tulis ini hanya membahas sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditulis
sebelumnya.

Calamus Scriptorius
3. Karya tulis ini menggunakan metode penelitian dengan bersumber pada artikel
ataupun jurnal yang telah diyakini kebenarannya

1.4 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari pembuatan karya tulis ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Leptospirosis
2. Untuk mengetahui cara seseorang dapat menderita penyakit tersebut
3. Untuk memahami gejala awal atau indikasi seseorang menderita penyakit tersebut
4. Untuk memahami cara menghindari Leptospirosis
5. Untuk memahami penanganan yang tepat pada seseorang yang terindikasi
Leptospirosis

1.5 Manfaat Penulisan


1. Agar pembaca lebih mengenal mengenai Leptospirosis
2. Agar pembaca dalam hal ini masyarakat dapat memahami gejala awal Leptospirosis
sehingga mendapatkan pertolongan atau penanganan lebih dini
3. Agar masyarakat mendapatkan pemahaman awal yang memadai mengenai
penanganan awal pasien Leptospirosis

Calamus Scriptorius
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan
gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa.
Penyakit dengan gejala tersebut oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's
Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease"
disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat


ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal
juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's,
Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever),
Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola, penyakit
kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing.

Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira


interrogans yang disebarkan melalui urine atau darah hewan yang terinfeksi bakteri
ini. Beberapa jenis hewan yang dapat menjadi pembawa leptospirosis adalah anjing,
hewan pengerat seperti tikus, dan kelompok hewan ternak seperti sapi atau babi.
Bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam ginjal hewan yang terinfeksi.

Leptospirosis dapat menyerang manusia melalui paparan air atau tanah yang
telah terkontaminasi urine hewan pembawa bakteri leptospira. Penyakit infeksi
bakteri ini banyak terjadi di daerah yang terkena banjir. Leptospirosis juga rentan
menyerang orang-orang yang biasa kontak dengan hewan tersebut.

Calamus Scriptorius
Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis,
sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal interstisial,
anemia hemolitik, radang hati dan keguguran. Leptospirosis pada hewan biasanya
subklinis. Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala klinis penyakit.
Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri
akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya. Leptospirosis pada hewan
dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia hanya bertahan selama 60
hari. Manusia merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia
jarang terjadi.

2.2 Penyebaran Penyakit

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun


perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko
terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak,
petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer. Selain itu, Leptospirosis juga
beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi. Di daerah
endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan
banjir.

Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat,
tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim
tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di
negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit
yang lebih berat. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000
penduduk per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis
diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah
beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap

Calamus Scriptorius
tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko
tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.

Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa


Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat%. Angka kematian Leptospirosis di
Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun
kematian mencapai 56%. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara
3% – 54% tergantung sistem organ yang terinfeksi.

Risiko penularan juga ditemui pada manusia yang berkegiatan di luar ruangan
atau sering melakukan kontak dengan hewan. Risiko mengalami lepstospirosis juga
dapat ditemui pada orang yang berenang, atau mengggunakan rakit dan perahu di
sungai atau danau yang tercemar bakteri leptospira, dan juga orang yang berkemah
di sekitar sungai atau danau tersebut. Beberapa jenis pekerjaan yang memiliki risiko
lebih besar untuk menderita leptospirosis adalah:

• Petani

• Peternak atau pengurus hewan

• Personel militer

• Pekerja di pemotongan hewan

• Pembersih saluran pembuangan atau selokan

• Pekerja tambang

Calamus Scriptorius
2.3 Gejala Awal

Gejala penyakit leptospirosis, di antaranya adalah:

• Mual

• Muntah

• Meriang

• Sakit kepala

• Nyeri otot

• Sakit perut

• Diare

• Kulit atau area putih pada mata yang menguning

• Demam

• Ruam

• Konjungtivitis

Leptospirosis biasanya menunjukkan gejala secara mendadak dalam waktu 2


minggu setelah penderita terinfeksi. Pada sebagian kasus, gejala baru terlihat setelah
1 bulan. Pasca kemunculan gejala, penderita leptospirosis biasanya akan pulih
dalam waktu 1 minggu setelah sistem imunitas dapat mengalahkan infeksi. Namun
sebagian penderita akan mengalami tahap kedua penyakit leptospirosis yang dikenal
sebagai penyakit Weil. Gejala penyakit Weil ini ditandai dengan dada terasa nyeri,
serta kaki dan tangan yang bengkak.

Calamus Scriptorius
Selama terserang tahap kedua penyakit leptospirosis ini, bakteri dapat
menyerang organ lain sehingga kondisi menjadi lebih parah. Keadaan tersebut
ditunjukkan dengan:

1. Gangguan pada paru-paru dengan gejala batuk, napas pendek, dan batuk
yang mengeluarkan darah.
2. Gangguan pada ginjal yang dapat berujung dengan kondisi gagal ginjal.
3. Gangguan pada otak yang ditunjukkan dengan gejala meningitis.
4. Gangguan pada jantung yang memicu peradangan jantung (miokarditis)
atau gagal jantung.

2.4 Cara Penularan

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water


borne disease). Urine individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama
penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk
bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat
menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu
penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan bakteri memang tidak
memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung
proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang.

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah
yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing
tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan
kulityang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan

Calamus Scriptorius
reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis. karena bertindak sebagai
inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi,
kambing, domba, kuda, babi, anjingdapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi
menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke


penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi
melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di
kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (keguguran). Penularan
dari manusia ke manusia jarang terjadi.

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan
barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan,
tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada manusia
banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar
bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit
ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam.

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput
lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan
jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri
Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan
tubuh terutama ginjal dan hati.

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen
menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular
(kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus,
hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati
berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada konsisi ini akan

Calamus Scriptorius
terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot
skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan
sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan
kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi.

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang
pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan
menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang.
Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh,
biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal
atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan
bahkan tahun.

2.5 Gejala Klinis

1. Pada Hewan

Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis


(bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya
dia sudah terserang Leptospirosis. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak
menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan
untuk jangka waktu yang tidak pasti.

Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna
kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin
dalam urin. Gejala ini terjadi pada 50% kasus, terutama jika penyababnya L.
pomona. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-
bagian tubuh, gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian. Apabila

Calamus Scriptorius
penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu
radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang tonsil
(tonsillitis), batuk dan sesak napas.

Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-
putar. Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami
radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis. Dalam keadaan
demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak
minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf. Pada sapi, infeksi
Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet (anak sapi)
dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga
maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis). Angka
kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15%, sedangkan
angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75%.

2. Pada Manusia

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari. Infeksi


Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa
gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa. Infeksi L. interrogans dapat
berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat, Hampir 15-
40% penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar 90%
penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10% jaundis berat yang sering dikenal
sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase
septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi
penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi
Leptospirosis yang berat.

a. Fase Sistemik

Calamus Scriptorius
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena
bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan
tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari,
ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit
tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan
mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.

b. Fase Imun

Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi
dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan
lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat
respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang
terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan,
dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati
(hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk
darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan
pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau
perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada
fase imun.

Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul
jaundis. Pada 30% pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi),
muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi
perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50% pasien, dan
gangguan paru-paru pada 20-70% pasien.

Calamus Scriptorius
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83% penderita
infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30% pada L. pomona.
Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan.
Sedangkan L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak
(meningitis).

2.6 Diagnosis Leptospirosis

Proses penegakan diagnosis leptospirosis dapat dilakukan melalui gejala,


riwayat penyakit pasien, serta pemeriksaan fisik. Selain itu, beberapa tes penunjang
juga dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosis leptospirosis dan
mengetahui tingkat keparahan yang dialami pasien. Tes penunjang tersebut, antara
lain:
a. Tes urine, untuk melihat keberadaan bakteri leptospira dalam urine.
b. Tes darah, untuk melihat adanya bakteri dalam aliran darah, dan antibodi
dalam tubuh. Pemeriksaan antibodi dalam darah perlu diulang lagi dalam
waktu 1 minggu untuk memastikan hasilnya, karena hasil positif bisa saja
ditunjukkan dari infeksi lain yang terjadi sebelumnya.
c. Pemeriksaan fungsi ginjal, untuk melihat kondisi ginjal dan infeksi bakteri
ini pada ginjal.
d. Pemeriksaan fungsi hati.
e. Foto Rontgen paru, untuk melihat apakah infeksi sudah menyebar hingga ke
organ paru-paru.

2.7 Pencegahan Leptospirosis

Calamus Scriptorius
Beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjangkit penyakit
leptospirosis, di antaranya:
a. Hindari air yang sudah terkontaminasi dan pastikan kebersihan air
sebelum mengonsumsinya.
b. Jauhi binatang yang rentan terinfeksi bakteri, terutama tikus liar yang
paling banyak membawa bakteri leptospira.
c. Bersikap cermat terhadap lingkungan, terutama saat bepergian.
d. Gunakan disinfektan jika perlu.
e. Gunakan pakaian yang melindungi tubuh dari kontak langsung dengan
hewan pembawa bakteri leptospira, serta bersihkan dan tutup luka
dengan penutup tahan air agar tidak terpapar air yang terkontaminasi
bakteri.
f. Mandi secepatnya setelah berolahraga dalam air.
g. Jaga kebersihan dan cuci tangan setelah melakukan kontak dengan
hewan atau sebelum makan.
h. Vaksinasi hewan piaraan atau ternak supaya terhindar dari leptospirosis

2.8 Pengobatan

1. Pada Hewan
Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan
perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan
perawatan. Antibiotikyang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin,
ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu diperlukan terapi
suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira. Vaksin
Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang

Calamus Scriptorius
sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira
dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin
Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar
yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing
diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16
minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga
anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.
2. Pada Manusia
Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,
ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati
dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.
Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih
merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia
yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan
antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan
di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit
ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis.
Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari
sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak
mencemari lingkungan terutama sumber air.

Calamus Scriptorius
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

Calamus Scriptorius
Daftar Pustaka

http://www.depkes.go.id/article/view/15022400002/leptospirosis-kenali-dan-waspadai.html

http://www.mhcs.health.nsw.gov.au/publicationsandresources/pdf/publication-
pdfs/7140/doh-7140-ind.pdf

http://eprints.undip.ac.id/6320

http://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/view/397

http://ejournal2.litbang.kemkes.go.id:81/index.php/vk/article/view/284

http://hellosehat.com/penyakit

http://hellosehat.com>tips-sehat

http://www.alodokter.com>leptospirosis

Calamus Scriptorius

Anda mungkin juga menyukai