Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/319214005

Sustainable Building Materials adalah Kebutuhan

Conference Paper · July 2017

CITATIONS READS

0 858

1 author:

Ali Awaludin
Universitas Gadjah Mada
73 PUBLICATIONS   161 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Perkuatan Balok Sengon Laminasi dengan Sistem Komposit Balok Sandwich View project

creep of Paraserianthes falcataria lvl View project

All content following this page was uploaded by Ali Awaludin on 22 August 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Sustainable Building Materials adalah Kebutuhan

Ali Awaludin, Ph.D, IPM


Grup riset Innovative Sustainable Infrastructure Materials and Construction Technologies
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika, No. 2, kampus UGM, Sleman, Yogyakarta 55281
ali.awaludin@ugm.ac.id

Beberapa kali penulis menghadiri kegiatan konferensi internasional dua-tahunan


SCESCM, Sustainable Civil Engineering Structures and Constsruction Materials,
pengertian kata “Sustainability” mulai dapat didefinisikan. Prof Mueller dari KIT Jerman
[1], memberikan pengertian umum bahwa “Sustainability” dalam perspektif material
konstruksi adalah berbanding lurus dengan service life dan performance serta berbanding
terbalik dengan Environmental Impact. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa material bangunan yang memberikan nilai environmental impact besar, maka
material bangunan tersebut memiliki nilai “Sustainability” yang rendah, dan begitu pula
sebaliknya. Material konstruksi yang memiliki performance and service life tinggi maka
akan memiliki nilai “Sustainability” tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Saat ini material-
material bangunan teknik sipil berlomba-lomba untuk membuat dirinya semakin
“sustainable” atau semakin “green” atau semakin ramah lingkungan disebabkan adanya
tenakanan-tekanan pemanasan global yang dipicu oleh meningkatnya emisi Green House
Gases (GHG) ke atmosfer, utamanya dari sektor transportasi dan industri.
Pada kesempatan ini, penulis akan mendiskusikan terkait aspek performance dan
environmenal impact dari material bangunan teknik sipil yang sering kita jumpai: beton,
fiber reinforced polymer (FRP), dan kayu. Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini muncul
istilah baru “green concrete” atau kalau boleh diartikan sebagai beton “ramah
lingkungan”. Istilah “green” merefleksikan beton dengan kandungan semen yang lebih
sedikit dibandingkan dengan beton normal, dan mengganti sebagian volume semen
tersebut dengan bahan lainnya yang sifatnya “industrial waste” seperti fly ash atau abu
terbang yang merupakan produk sampingan (byproduct) dari PLTU [2-3]. Tidak dapat
dipungkiri bahwa produksi semen menyumbang emisi carbon terbesar dalam pembuatan
beton secara keseluruhan [4] sehingga para insiyur teknik sipil terus berupaya
mengurangi volume semen dalam campuran tanpa menurunkan kinerja beton yang
dihasilkan atau bahkan membuat kinerja beton yang dihasilkan menjadi semakin lebih
baik.
Dalam upaya meningkatkan usia masa layan atau service life, riset-riset terbaru terkait
self-healing concrete mulai banyak dilakukan di banyak tempat untuk mengatasi
kelemahan beton terhadap retak khususnya pada daerah basah dan agresif yang menjadi
pintu masuk kerusakan struktur beton bertulang lebih lanjut berupa spalling concrete
akibat korosi pada besi tulangan. Proses crack-healing dilakukan secara alami oleh agen
bakteri yang dimasukan saat pembuatan beton baik melalui direct mixing yaitu
dicampurkan pada air campuran beton, atau melalui media seperti LWA (light weight

1
aggregates) dan GNP (graphite nano platelets) [5]. Dengan cara demikian, proses
perawatan beton akibat retak dapat dilakukan dengan sendirinya sehingga dapat
signifikan menurunkan biaya perawatan bangunan. Proses perbaikan retak dengan agen
bakteri ini berlangsung tidak cepat, tetapi dapat mencapai beberapa hari tergantung pada
ukuran lebar retak [5-6].
Dalam upaya untuk meningkatkan performance, dewasa ini dikenal adanya ultra-high
performance fiber reinforced concrete (UHPFRC) atau beton berkekuatan tinggi dan
berkinerja tinggi. Beton jenis ini diperoleh dengan cara penambahan micro-silica dan
utamanya penambahan fibers, jenis steel fibers adalah yang paling umum digunakan [7].
Bendable concrete adalah salah satu produk Engineered Cementious Composite (ECC)
yang diperoleh dengan pencampuran serat polyvinil alcohol (PVA) and bubuk silica pada
semen mortar [8]. Produk ini memiliki keistimewaan ketahanan terhadap beban-beban
siklik terus menerus seperti yang sering terjadi pada struktur lantai jembatan. Apabila
beton sudah dibuat dengan kekuatan tekan yang tinggi, misal sampai dengan 220 MPa
untuk kelompok ultra-high strength concrete, maka dimensi struktur beton bisa dibuat
lebih kecil. Namun tentu saja teknologi untuk proses daur-ulang beton menjadi semakin
boros energi seiring dengan tingginya nilai kuat tekan beton. Hingga saat ini pemanfaatan
beton re-cycle oleh industri masih jarang atau bahkan belum dilakukan sehingga
membuat beton belum sepenuhnya sustainable.
Material berikutnya adalah fiber reinforced polymer (FRP). FRP ini diperoleh dari
kombinasi polymer resin dengan serat yang kuat. Diproduksi dalam bentuk lembaran
(sheet atau layer) dan tulangan (rebar) dengan jenis serat yang umumnya dipergunakan
adalah carbon, aramid, kaca, dan basalt. Bila dibandingkan dengan material konstruksi
lainnya, FRP memiliki nilai rasio strenght-to-weight dan stiffness-to-weight yang lebih
baik [9]. Pada bangunan teknik sipil, FRP digunakan untuk tindakan perbaikan dari
elemen struktur yang mengalami kegagalan [10] seperti pada pilar jembatan Cisomang.
Produksi FRP membutuhkan energi yang jauh lebih banyak dari pada memproduksi baja
dalam satuan berat yang sama, yaitu sekitar 3-5 kali [9]. Namun demikian, karena volume
FRP yang dimanfaatkan untuk konstruksi adalah jauh lebih sedikit atau lebih ringan dari
pada material baja atau beton, maka kebutuhan bahan bakar untuk transportasi dan alat-
alat berat akan jauh lebih sedikit. Kendala yang muncul dalam pemanfaatan FRP ini
adalah sangat sedikitnya industri komersial yang dapat melakukan proses daur-ulang
(recycling) disebabkan keterbatasan teknologi dan pertimbangan ekonomi [9].
Material beton dan FRP sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan material konstruksi
yang mengkonsumsi energi banyak baik dalam proses produksi maupun daur-ulang
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 [11]. Hal ini berbeda dengan material bangunan
yang berasal dari kelompok renewable atau bio-based materials seperti kayu. Selama
proses pertumbuhan pohon kayu ikut membantu proses pengurangan GHG dengan cara
mengikat carbon dioksida, salah satu gas terpenting dalam GHG, dalam proses
fotosintesis dan kemudian menyimpan unsur carbon untuk pertumbuhan sel kayu. Proses
pengikatan carbon dioksida ini oleh pohon berjalan sangat cepat ketika pohon masih
muda dan akan melambat saat pohon menjadi tua; agar terhindar dari bencana pohon
tumbang, maka pohon tua (sumber kayu konstruksi) seharusnya digantikan dengan pohon

2
muda. Untuk dapat terus-menerus meningkatkan laju penyerapan carbon dioksida sebagai
upaya untuk memperlambat laju pemanasan global maka luas area (artificial) hutan perlu
ditingkatkan. Hal inilah yang menjadi salah satu misi dibuatnya carbon Trade antara
negara-negara maju (identik dengan negara industri penghasil emisi GHG dan memiliki
luas hutan sedikit) dengan negara-negara berkembang (identik dengan negara yang masih
memiliki area hutan yang luas). Pada carbon trade tsb, negara-negara maju memberikan
dana kepada negara berkembang sebagai kompensasi dari proses pengurangan emisi
GHG berasal dari negara maju oleh hutan yang dimiliki oleh negara berkembang.
Indonesia sebagai salah satu dari negara potensial penerima dana carbon trade dapat
dipastikan akan memiliki luas area hutan yang tetap atau bahkan bertambah sehingga
ketersedian material kayu akan dapat dipastikan lestari atau sustainable. Namun
demikian, laporan resmi tahun 2015 menyatakan bahwa luas hutan Indonesia telah hilang
sampai dengan 40% dalam kurun waktu 1955-2015 dengan laju kerusakan mencapai 0,84
juta hektar per tahun [12].
Tabel 1 – Jumlah carbon released and stored dalam produksi material konstruksi
(sumber: 11)
Material Carbon released Carbon released Carbon Stored
(kg/t) (kg/m3) (kg/m3)
Kayu 30 15 250
Beton 50 120 0
Baja 700 5320 0
Aluminium 8700 22000 0

Negara-negara scandinavia seperti Swedia, Finlandia dan Norwegia dikenal luas sebagai
negara yang salah satu sumber utama GDP-nya berasal dari industri hutan/ kayu tanpa
berkurangnya luas hutan mereka. Konstruksi rumah tinggal knock-down produksi Swedia
dikirim dengan kapal ke banyak negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Canada, dan
lain-lain. Indonesia semestinya bisa mencontoh negara-negara Scandinavia dalam
pengelolaan hutan sebagai sumber utama GDP dengan tetap melestarikan keberadaan
hutan.
Kayu merupakan bahan konstruksi yang bersifat renewable dan lestari bila bersumber
dari hutan yang dikelola secara berkesinambungan. Kayu telah sejak ratusan tahun lalu
dimanfaatkan untuk banyak aspek konstruksi maupun non-konstruksi seperti: bangunan
rumah tinggal, jembatan, bantalan rel, tiang listrik, kapal, alat-alat musik, bahan baku
kertas, dan lain-lain. Keragaman penggunaan kayu tersebut disebabkan karena material
kayu memiliki engineering properties yang paling lengkap dibandingkan dengan material
lainnya dan proses pengerjaannya dapat dilakukan dengan peralatan yang sederhana/
tidak boros energi. Kayu juga dapat dikombinasikan dengan material lain untuk
membentuk konstruksi hybrid. Hal yang penting untuk diketahui juga adalah kayu
merupakan bahan yang sepenuhnya bio-degradable sehingga sangat sedikit atau bahkan
sama sekali tidak menyebabkan pencemaran pada lingkungan. Oleh karena itu proses
recycling pada material kayu dapat terjadi secara alami atau tanpa energi, dan bahkan
material kayu dapat dirubah menjadi arang sebagai sumber energi masa depan.

3
Pemanfaatan kayu sebagai material konstruski dimulai dari ukuran solid sampai dengan
bentuk kayu olahan (engineered wood products) sebagimana ditunjukkan pada Gambar
1 [13]. Selain kayu dalam bentuk solid, dewasa ini juga semakin populer penggunaan
kayu olahan untuk konstruski. Berikut adalah jenis-jenis produk kayu olahan: kayu
laminasi lem (glulam); produk bentuk panel meliputi plywood, dan oriented strand board;
produk sebagai joist atau balok lantai meliputi I-joist, box-joist dan open web-joist; serta
produk structural composite lumber (SCL) meliputi laminated veneer lumber (LVL),
Paralam, dan laminated strand lumber (LSL). Pada tahun 90-an, produk kayu olahan baru
bernama cross laminated timber (CLT atau X-lam) mulai diperkenalkan di pasaran dan
sampai saat ini masih menjadi primadona bahan utama konstruksi multi-sorey buildings.
Keuntungan kayu olahan bila dibandingkan dengan kayu solid adalah: 1) bersifat lebih
homogen, 2) memiliki engineering properties yang lebih baik dari pada kayu solid jenis
yang sama akibat adanya perlakuan tekanan kempa dan temperatur selama pembuatan, 3)
dapat mengkombinasikan beragam jenis kayu sesuai stress-diagram demand.

Gambar 1 – ragam kegunaan kayu [13]


Gambar 2 adalah contoh konstruksi pipa pesat yang terbuat dari bilah-bilah kayu Jati yang
dibuat di lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bersama-sama
dengan partner dari KIT Jerman sebagai model pusat listrik tenaga mikro hidro
(PLTMH). Selama proses perakitan, bilah-bilah kayu dibuat sangat kering dengan kadar
air berkisar antara 10-12% sehingga ketika dilakukan test flow selama 1-2 bulan sebelum
masa pengoperasian PLTMH, bila-bilah kayu lalu menyerap air dan mengalami
pengembangan (swelling) yang pada akhirnya menyebabkan celah diantara bilah-bilah
kayu menutup dan konstruksi pipa pesat dapat berfungsi normal [14]. Gambar 3
menujukkan model jembatan pejalan kaki bentang 6 m yang terbuat dari kayu jati hutan
rakyat Blora, Jawa Tengah, berdiamater kecil sekitar 10-15 cm. Hasil pengujian terhadap
struktur jembatan tersebut memberikan nilai frekuensi alami sebesar 17,5 Hz dengan
defleksi vertikal akibat beban desain pejalan kaki 400 kg/m2 sebesar 12 mm, jauh lebih
kecil dari defleksi izin L/300 atau 20 mm. Pemanfaatan kayu Jati hutan rakyat berdiameter
kecil dengan demikian dapat dilakukan secara luas, misalnya sebagai material konstruksi
jembatan pejalanan kaki yang sangat diperlukan oleh negeri ini. Struktur kuda-kuda
komposit kayu Sengon dengan laminasi bambu menggunakan alat sambung pasak kayu

4
Ulin juga telah berhasil dibuat dan diuji di Laboratorium Teknik Struktur Universitas
Gadjah Mada seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Struktur kuda-kuda dengan bentang 6
m tersebut sepenuhnya dibuat dari bahan renwable dan mampu menahan beban setara
dengan 80 kg/m2 pada nilai defleksi L/360.

Gambar 2 – Pipa pesat kayu pada model PLTMH di lingungan kampus Universitas
Gadjah Mada: (a) kondisi saat test flow; (b) kondisi operasi normal

Gambar 3 – Pengujian model jembatan pejalan kaki bentang 6 m dari kayu Jati hutan
rakyat berdiameter kecil

Gambar 4 – Pengujian prototip struktur kuda-kuda dari bahan renewable kayu dan
bambu

5
Teknologi laminasi kayu menggunakan lem saat memproduksi glulam pertama kali
dipatenkan pada tahun 1906 oleh Otto Hetzer. Penemuan teknologi ini menjadi awal mula
revolusi konstruksi kayu yang memungkinkan diperolehnya dimensi kayu yang besar dan
panjang dengan cara melaminasi beberapa bilah kayu tunggal dalam satu arah yang sama.
Gambar 5 menunjukkan contoh glulam yang merupakan komponen balok dari struktur
atap Richmond Olympic Oval [15]. Teknologi laminasi juga diaplikasikan untuk
memperoleh cross laminated timber (CLT atau X-lam) seperti dapat dilihat pada Gambar
6 [16]. Jumlah layer pada CLT selalu berjumlah ganjil, misal: 3, 5, 7, dan seterusnya,
dengan ketebalan masing-masing layer adalah berkisar 20 sd 35 mm. Mengingat arah
serat dari masing-masing layer yang saling tegak-lurus, maka produk CLT ini memiliki
keuntungan stabilitas dimensi yang baik. Karena lebih masif, maka ketahanan CLT
terhadap fire juga menjadi lebih baik [17]. Dikenalkan pada awal tahun 1990-an, produk
CLT digunakan sebagai struktur bearing wall, floor dan juga atap pada bangunan
bertingkat banyak. Gambar 7(a) memperlihatkan shake table test bangunan CLT tujuh
lantai yang dibuat oleh kontraktor Italia tanpa elemen balok dan kolom [18]. Elemen
bearing wall, lantai, dan atap merupakan produk CLT dan terhubung dengan ratusan alat
sambung metal seperti lag-screws dan steel brackets dengan ukuran menyesuaikan
kebutuhan atau besar gaya lateral gempa yang akan ditransferkan. Shake table test
menunjukkan bahwa bangunan CLT tujuh lantai tersebut tetap berdiri setelah pengujian
menggunakan rekaman gempa Kobe 1995. Adapun kerusakan-kerusakan yang ditemui
adalah berupa bengkok-nya alat sambung lag-screws yang dengan cepat dapat
diperbaiki/diganti tanpa harus menghentikan sementara fungsi bangunan.

Gambar 5 – Contoh balok kayu laminasi lem (glulam) pada struktur atap Richmond
Olympic Oval, Vancouver (Sumber: https://flynncompanies.com/portfolio/architectural-
metals/richmond-olympic-oval/)

6
Gambar 6 – Cross laminated timber (CLT) (sumber: http://www.kxro.com/cross-
laminated-timber-bill-introduced-rep-kilmer/)
Kisah sukses konstruksi CLT yang berikutnya adalah bangunan Brock Commons Student
Residence yang terletak di University of British Columbia, Canada, seperti dapat dilihat
pada Gambar 7(b). Bangunan tersebut memiliki 18 lantai dengan lantai 2 dan seterusnya
terbuat dari kolom glulam dan dinding serta lantai dari CLT. Pengerjaan struktur
diselesaikan dalam waktu kurang dari 70 hari setelah pre-fabricated glulam dan CLT
sampai di lokasi project. Bangunan Brock Commons Student Residence saat ini menjadi
bangunan kayu tertinggi di dunia dengan tinggi sekitar 53 m [19]. Ketika inagurasi
peresmian bangunan tersebut, disampaikan secara jelas oleh rektor UBC bahwa: “Wood
is increasingly recognized as an important, innovative and safe building material choice.
It is a sustainable and versatile building material that stores, rather than emits, carbon
dioxide”.

a) b)
Gambar 7 – Bangunan tingkat banya dan cross laminated timber (CLT): (a) Bangunan
CLT tujuh lantai di atas meja getar E-defense, kota Miki; (b) Brock Commons Student
Residence, University of British Columbia, Canada (news.ubc.ca)

7
(a) (b)
Gambar 8 – Self-centering technology pada timber building: (a) skematic model wall-to-
beam connection; (b) Hysteretic loop hasil pengujian

Contoh sukses berikutnya adalah keberhasilan kawan-kawan perekayasa kayu dari


Selandia Baru yang mengadopsi prinsip self-centering pada struktur open frame dari
laminated veneer lumber (LVL). Prinsip self-centering menjamin struktur tidak akan
mengalami permanent displacement setelah gaya lateral gempa berakhir. Hal ini
dilakukan dengan cara menambahkan cable post-tensioned pada elemen wall dalam
kondisi un-bonded dan penambahan beberapa energy dissipation devices seperti dapat
ditunjukkan pada Gambar 8(a) [20]. Cable post-tensioned dipastikan berperilaku dalam
zona elastik untuk membuat strukutur kembali pada posisi vertikal setelah event gempa
berakhir seperti dapat dilihat pada kurva hysteretic curve dimana proses loading dan re-
loading akan selalu melintasi sekitar deformasi nol (lihat Gambar 8(b)). Walaupun sistem
ini baru diterapkan pada low-rise timber buildings, prinsip yang sama dapat diterapkan
pada medium- maupum high-rise buildings menghasilkan struktur yang tidak hanya
sustainable dari sisi material kayu yang digunakannya, tetapi juga sustainable dari
perilaku seismik-nya.

Bahan bangunan yang sustainable menjadi kebutuhan pada saat ini, bukan lagi sebagai
pilihan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan aspek service life dan
performance serta menurunkan environmental impact dari bahan bangunan tersebut. Bila
dibandingkan dengan material bangunan lainnya, kayu yang merupakan salah satu
renewable building materials memberikan dampak pada lingkungan yang sangat kecil
baik dari proses produksi maupun proses recycling. Oleh karena itu penggunaan kayu
sebagai material konstruksi perlu lebih didorong lebih luas lagi baik pada timber
structures maupun hybrid structures sehingga emisi carbon dioksida dari sektor industri
konstruksi dapat diturunkan. Upaya ini perlu dibarengi dengan langkah serius seluruh
masyarakat Indonesia dalam menerapkan pengelolaan hutan secara lestari dan
peningkatan luas hutan produksi.

8
Pustaka dan bacaan lanjut
[1] Mueller S.H., Haist M., Moffatt S.J., Vogel M., 2017, Sustainable Civil Engineering
Structures and Construction Materials, SCESCM 2016, Procedia Engineering 171,
pp. 22-32.
[2] Suhendro B., 2014, Toward green concrete for better sustainable environment,
Sustainable Civil Engineering Structures and Construction Materials, SCESCM
2014, Procedia Engineering 95, pp. 305-320.
[3] Berry M., Cross D., Stephen J., 2009, Changing the environment: An alternative
“green” concrete produced without portland cement, World of Coal Ash conference,
May 4-7, Lexington, KY.
[4] Leung S., 2009, Carbon dioxide emissions of concrete,
https://www.devb.gov.hk/filemanager/en/content_680/6_mr_stephen_leung_carbo
n_dioxide_emissions_of_concrete.pdf, akses 4 Juli, 2017.
[5] Khaliq W., Ehsan B.M., 2016, Crack healing in concrete using various bio infuenced
self-healing techniques, Journal of Construction and Building Materials, vol. 102,
pp. 349-357.
[6] Souradeep G., Dai S.P., Wei H.K., 2017, Autonomous healing in concrete by bio-
based healing agents – A review, Journal of Construction and Building Materials,
vol. 146, pp. 419-428.
[7] Al-Osta M.A., Isa M.N., Baluch, M.H., Rahman M.K., 2017, Flexural behavior of
reinforced concrete beams strengthened with ultra-high performance fiber
reinforced composite, Journal of Construction and Building Materials, vol. 134,
pp. 279-296.
[8] Michigan Department of Transporation, 2017, Bendable concrete provides insight into
sustainable material development process, August.
[9] https://energy.gov/sites/prod/files/2015/02/f19/QTR%20Ch8%20-
%20Composite%20Materials%20and%20Manufacture%20Feb-13-2015.pdf,
diakases pada tanggal 4 Juli 2017.
[10] Awaludin A., Sari D.P., 2015, Numerical and experimental study on repaired steel
beams using carbon fiber reinforced polymer, IABSE-JSCE joint conference on
Advance in Bridge Engineering, August 21-23, Dhaka.
[11] http://makeitwood.org/documents/doc-692-timber-as-a-sustainable-material.pdf,
akses 4 Juli 2017
[12] https://tekno.tempo.co/read/news/2014/07/01/095589444/kerusakan-hutan-
indonesia-terus-meningkat, akses 4 Juli 2017
[13] Stark N.M., Cai Z., Carll C., Wood-based composite materials,
http://www.woodbodger.com/wp-content/uploads/2012/02/Wood-Handbook-
Chapter-11-Wood-Based-Composite-Materials-Panel-Products-Glued-Laminated-
Timber-Structural-Composite-Lumber-and-Wood-Nonwood-Composite-
Materials.pdf, diaskes tanggal 4 Juli 2017.
[14] Hayuniati A., Awaludin A., Suhendo B., Application of wood stave pipelines in
Seropan caves, proceeding of the Sustainable Civil Engineering Structures and
Construction Materials, SCESCM 2012, Yogyarta, pp 193-198.
[15] https://flynncompanies.com/portfolio/architectural-metals/richmond-olympic-
oval/), diakses pada tanggal 4 Juli 2017

9
[16] http://www.kxro.com/cross-laminated-timber-bill-introduced-rep-kilmer/, diakses
tanggal 4 Juli 2017.
[17] Klippel M., Schmid J., 2017, Design of cross-laminated timber in fire, Journal of
Structural Engineering International, vol. 27(2), pp. 224-230.
[18] http://www.forum-holzbau.com/pdf/fbc12_sandhaas.pdf akses tanggal 4 Juli 2017.
[19] https://www.youtube.com/watch?v=GHtdnY_gnmE&feature=youtu.be
[20] Moroder D., Pampanin S., Palermo A., Smith T., Sarti F., Buchanan A., 2017,
Diaphragm connection in structures with rocking timber walls, Journal of Structural
Engineering International, vol. 27(2), pp. 165-174.

10

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai