Anda di halaman 1dari 17

13

TINJAUAN PUSTAKA

Sindroma Nefrotik
A. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan manifestasi klinik yang ditandai dengan gejala
klinis edema periferal yang disertai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari
atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol),
hipoalbuminemia (<25 g /l), dan hiperkolesterolemia (total kolesterol > 10
mmol/L).1

B. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi:2,3
1) Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik
adalah sebagai berikut :
- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
- Nefropati Membranosa (GNM)
2) Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai
berikut :
- Lupus erimatosus sistemik (LES)
- Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
- Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch
Schonlein
- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis
14

Batasan
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik:4,5,6
1) Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2) Relaps
Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu,
maka disebut relaps.
3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5) Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
6) Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.
7) Sindrom nefrotik dependen steroid
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis
prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi
2 kali berturut-turut.

C. Epidemiologi
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,dengan
prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak.Di negara berkembang
insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun
15

pada anak berusia kurang dari 14 tahun.Perbandingan anak laki-laki dan


perempuan 2:1. Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas SN pada anak
masih tinggi yaitu melebihi 50%.2,3,6

D. Manifestasi Klinis
Gejala sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra dan pretibia.
Edema palpebra timbul pada saat bangun tidur, semakin siang edema
palpebra akan semakin berkurang namun akan tampak edema pretibia.
Apabila lebih berat akan disertai asites, edema skrotum/labia, dan efusi
pleura. Ketika sudah terdapat efusi pleura dapat timbul gejala sesak napas.
Asites dan sesak napas sering menyebabkan anak menjadi rewel, tidak mau
makan, tampak lemah, nyeri perut, dan gejala lain. Protein yang terdapat
dalam urin menyebabkan urin menjadi berbuih. Gejala lain yang dapat timbul
namun jarang terjadi misalnya hipertensi, hematuria, diare, dan lain-lain. Pada
sindrom nefrotik sekunder akan disertai gejala penyakit dasarnya.7,8

E. Patofisiologi
1) Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kebocoran glomerulus yang ditentukan oleh besarnya molekul dan
muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
(proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein
plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.

2) Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan adanya peningkatan permeabilitas
glomerulus yang menyebabkan hilangnya albumin melalui urin, sehingga
terjadi peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan
albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
Hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma
16

koloid, sehingga menyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan


keluar tubuh dan menyebabkan edema.

3) Edema
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema.
Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya
tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke
ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital
dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun.

4) Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrotik. Hipoproteinemia pada SN dapat
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein.
Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak
dari plasma.

F. DIAGNOSIS
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi: 1
1. Proteinuria massif (>40 mg/m2LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Serum albumin <2,5 gr/dl.
3. Manifestasi klinis edema perifer.
4. Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l).1
17

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria
berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes
semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih.
b) Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel
sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai
eritrosit, leukosit, torak hialin, dan torak eritrosit.
c) Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single
spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24
jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya.
Pada individu sehat, total protein urin ≤150 mg. Adanya proteinuria
masif merupakan kriteria diagnosis. Single spot collection lebih mudah
dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/mol, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
d) USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
e) Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia
> 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan.
Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal/ menurun.
18

H. PENATALAKSANAAN
A. Tata Laksana Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang
tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan
pemeriksaan berikut:
 Pengukuran berat badan dan tinggi badan
 Pengukuran tekanan darah
 Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein.
Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan.
Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid
dimulai.
 Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis
INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).

1. Nutrisi dan Cairan


Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita
edema dan mungkin butuh restriksi intake cairan (<1,5 liter per
hari). Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/kgbb/hari.

2. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
19

dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik


hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan
natrium darah. Berdasarkan pendapat yang disepakati saat ini, diuresis
ditargetkan pada penurunan berat badan 0,5-1 kg per hari untuk
menghindari gagal ginjal akut atau gangguan keseimbangan elektrolit.3,6
Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1

Furosemid 1 – 3 mg/kgbb/hari + spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari


Respons (-)
Berat badan tidak menurun atau tidak ada diuresis dalam 48 jam

Dosis furosemid dinaikkan 2 kali lipat (maksimum 4-6 mg/kgbb/hari)


Respons (-)
Tambahkan hidroklorothiazid 1-2 mg/kgbb/hari
Respons (-)
Bolus furosemid IV 1-3 mg/kgbb/dosis atau per infus dengan kecepatan
0,1-1 mg/kgbb/jam
Respons (-)
Albumin 20% 1g/kgbb intravena diikuti dengan furosemid intravena
Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik.
3. Albumin
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial. Namun, tidak ada bukti
penelitian yang mengindikasikan keuntungan dari terapi dengan albumin,
dan pada keadaan yang tidak diharapkan seperti hipertensi dan edema
pulmonum, jelas membatasi terapi albumin.6
20

B. Pengobatan dengan kortikosteroid


Pada SN kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.

1. TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/
hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi.

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap,


remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria
minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum <
300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika
proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350
mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan
setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.

2. Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin
receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi
proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein
di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah
permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor
21

melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan


plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin
penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang
bisa digunakan adalah:
1. ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal
2. ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

3. Sitostatika
Obat sitostatika diberikan sebagai alternatif pada SN resisten steroid, yang
paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid
(CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari
dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250
ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan
sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA
puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap
1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL,
hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila
dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral
selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman
bagi anak.6
22

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8


minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek
toksik berupa kejang dan infeksi.6

4. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek
samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan
terhadap: Kadar CyA dalam darah yang dipertahankan antara 150-250
nanogram/mL, kadar kreatinin berkala, biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang
atau sangat selektif.

I. KOMPLIKASI
1. Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi. Sepsis dapat terjadi sejak
awal penyakit. Kuman yang paling sering adalah Streptococcus
pneumoniae. Kuman lain yang sering ditemukan adalah eschericia coli,
Streptococcus B hemolitikus, dan kuman Gram negatif lainnya. Infeksi
yang sering terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik adalah peritonitis,
meningitis, pneumonitis dan cellulitis.
Beberapa faktor yang mempermudah anak SN mengalami infeksi kuman
adalah rendahnya kadar IgG karena sintesis yang tidak sempurna, lepasnya
faktor B dalam urine, dan tidak sempurnanya fungsi limfosit T. Faktor B
adalah cofactor dari c3b dalam jalur alternatif dari komplemen, yang
berperan penting dalam opsonisasi kuman.
23

2. Pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan sangat terpengaruh pada anak dengan sindrom
nefrotik. Terbuangnya hormon melalui kemih menyebabkan terjadinya
pelambatan pertumbuhan. Telah diketahui bahwa hipotiroid terjadi karena
terbuangnya iodinated protein dalam kemih. Kadar insulin-like growth
factor-I (IGF-I) dan IGF II dalam plasma berkorelasi dengan lepasnya
protein pembawa dalam kemih.

3. Gagal Ginjal
Gagal ginjal yang terjadi pada sindrom nefrotik bisa terjadi dalam keadaan
akut dan kronik:
 Gagal ginjal akut
Sering terjadi karena adanya hipovolemia yang mengakibatkan
penurunan laju filtrasi glomerulus, meskipun penurunan LFG dapat
pula dijumpai pada pasien dengan effective plasma flow yang
normal. Selain itu, kemungkinan adanya perpaduan foot processes
dapat mengurangi area filtrasi glomerulus atau permeabilitas
terhadap air dan solut. Penyebab lain gagal ginjal akut adalah
trombosis vena renalis bilateral dan nefritis interstitial yang dapat
disebabkan oleh efek toksik furosemid.
 Gagal ginjal kronik.
Sindrom nefrotik resisten steroid lebih cenderung mengalami gagal
ginjal kronik dibandingkan sindrom nefrotik sensitif steroid dimana
lebih dari 50% anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid akan
jatuh menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu 10 tahun,
sedangkan sindrom nefrotik sensitif steroid hanya 3%.
Actuarial kidney survival ( angka kelangsungan fungsi ginjal)
adalah 76% pada 5 tahun dan 60% pada 10 tahun. Terdapat korelasi
antara kelainan histopatologik dengan outcome, yaitu gagal ginjal
kronik terjadi pada 33% anak dengan kelainan minimal, 48% anak
dengan GSFS dan 66 % anak dengan PMD. Terdapat 2 klompok
pasien yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih parah,
24

yaitu kelompok anak dengan onset penyakit pada usia sebelum 1


tahundan kelompok anak dengan kasus familial. Kedua kelompok
ini tidak pernah mengalami remisi penuh, 50% diantaranya menjadi
gagal ginjal terminal dan 50% lainnya menjadi sindrom nefrotik
persisten.

4. Trombosis
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas, hipovolemia, dan infeksi. Keadaan hiperkoagulabilitas
ini dikarenakan juga oleh peningkatan agregasi trombosit, peningkatan
faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen,
dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar
melalui urin. Insiden komplikasi thromboembolik pada anak nefrotik
berkisar 3%.

J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi.
Pada anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan
usia <5 tahun memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia
>30 tahun juga lebih memiliki risiko gagal ginjal.8
25

PEMBAHASAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal yang paling sering


ditemukan. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun dengan perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:1. Perbandingan kasus pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan.2,3 Secara etiologi 90-95% kasus sindrom nefrotik
merupakan kasus dengan kelainan glomerulus primer dengan 80% kejadiannya
merupakan sindrom nefrotik kelainan minimal sedangkan sindrom nefrotik
sekunder hanya menyebabkan 5% kasus. Sindrom nefrotik kelainan minimal
terjadi biasanya pada anak usia 2-8 tahun.5 Pada kasus ini terjadi pada anak laki-
laki usia 4 tahun 11 hari dan juga tidak ditemukan penyebab sekunder dari
terjadinya sindrom nefrotik sehingga dapat disimpulkan secara epidemiologi
merupakan sindrom nefrotik dengan kelainan minimal walaupun diagnosis pasti
harus ditegakkan melalui pemeriksaan histologi ginjal.
Gejala sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra dan
pretibia. Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan utama bengkak seluruh
tubuh, bengkak muncul dari kedua kelopak mata dan menyebar keseluruh tubuh.
Keluhan juga disertai batuk kering sejak 2 minggu SMRS, demam (-), mual(+)
muntah (-), nafsu makan menurun, BAK berdarah (-), BAK sedikit warna kuning
pekat, BAB tidak ada keluhan.
Pada pasien ini bengkak dimulai dari kelopak mata yang berlanjut hingga
terjadi edema pada seluruh tubuh. Hal ini menunjukan bahwa bengkak pada
pasien ini mengarah pada kelainan ginjal.

Kriteria diagnosis SN pada anak meliputi:


1. Edema
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL;
3. Proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+);
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. 4
26

Berdasarkan kriteria diagnosis SN maka dibutuhkan pemeriksaan


penunjang yaitu urin rutin dan kimia darah yaitu didapatkan urin protein +3,
albumin 1,52mg/dL, cholestrol 432 mg/dL. Oleh karena itu, pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium yang didapatkan edema anaksarka,
hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan proteinuria.
Berdasarkan respon terapi terhadap steroid, pada sindrom nefrotik
kelainan minimal didapatkan 85,2% menunjukkan sensitif steroid. Hasil tersebut
sedikit lebih rendah dari penelitian Ahmadzadeh dkk yang menjumpai 87%
sensitif steroid, sedangkan Bircan dkk menjumpai 86,84% merupakan sensitif
steroid. Pada pasien ini belum bisa secara pasti didagnosis sindrom nefrotik
resisten steroid atau sensitif steroid, karena penilaian resisten atau tidak dilakukan
dengan melihat respon terapi inisial yang diberikan selama 4 minggu, jika tidak
ada remisi maka dapat digolongkan terhadap resisten steroid.5
Pada pasien ini terapi hanya dilakukan dalam 3 hari rawat karena
keterbatasan biaya dan pasien tidak lagi datang untuk kontrol. Sehingga tidak
dapat menilai respon terapi yang diberikan. Namun, pada kasus ini dapat
dikatakan sensitif steroid karena pada pengobatan inisial terdapat perbaikan dalam
segi klinis dimana edema skrotum dan edema yang terjadi semakin berkurang dan
juga secara pemeriksaan kadar protein urin menurun dari +3 menjadi +2.
Untuk pengobatan pada pasien ini diberikan steroid sesuai dengan
International Study on Kidney Diseases in Children(ISKDC) diberikan prednison
1-2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari dalam dosis terbagi untuk menginduksi
remisi). Untuk pemberian dosis prednison sesuai berat badan ideal (BB terhadap
TB).5 Pada pasien ini menggunakan prednison sesuai berat badan dengan dosis
terbagi 3x2 tablet.
Seharusnya sebelum diberikan terapi prednison, pasien ini dilakukan uji
mantoux terlebih dahulu untuk mengetahui apakah pasien ini terdapat penyakit
tuberkulosis atau tidak, namun pada pasien ini tidak dilakukan mantoux test
dikarenakan dari pemeriksaan dan juga pernyataan orang tuanya tidak didapatkan
gejala-gejala yang mengarahkan pasien pada penyakit tuberkulosis. Seperti
27

demam yang menetap selama 2 minggu, batuk lama, penurunan berat badan serta
adanya kontak terhadap orang yang terkena tuberkulosis.
Kemudian untuk mengatasi edema pada pasein ini diberikan diuretik
furosemid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari, pada pasien ini diberikan dosis adalah
20 mg/24 jam yang diindikasikan untuk edema yang terjadi pada pasien.
Pemberian diuretik sekali sehari dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipovolemia dan juga pembuangan protein. Pada pasien ini tidak diberikan terapi
albumin karena indikasi pemberian albumin apabila tidak berespon terhadap
pemberian obat diuretik dan nilai albumin <1.5,6 Sedangkan pada pasien ini kadar
albuminnya 1,52 g/dl maka pemberian albumin tidak diperlukan.
Terapi lain yang diberikan pada pasien ini adalah cefotaxim 3x350 mg
intravena. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder pada
pasien SN yang sangat rentan terhadap terjadinya infeksi. Selain itu, diberikan
juga paracetamol drip 3x200mg sebagai terapi simptomatik jika suhu pasien >
37,50c
Pada kasus ini hanya dilakukan diit rendah garam (1-2 gram/hari).
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Untuk memenuhi
kebutuhan cairan pasien serta mencegah terjadinya hipovolemi diberikan
tambahan cairan intravena berupa Asering 8 tetes per menit.6
Pada pasien ini dilakukan monitoring cairan masuk dan urine output yang
dilakukan untuk menilai balance cairan. Selain terapi obat-obatan, edukasi kepada
orang tua sangat diperlukan tentang penyakit serta keharusan pasien untuk kontrol
rutin dalam pengobatannya.
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada
anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik.5 Pada kasus ini prognosisnya
28

dubia ad malam karena pasien pulang dengan kondisi yang belum mengalami
perbaikan berarti dan juga tidak kontrol lanjutan.
29

DAFTAR PUSTAKA

1. Nilawati G. Profil Sindrom Nefrotik pada ruang perawatan anak RSUP


sanglah Denpasar. Denpasar:Sari Pediatri, 2012; Vol. 14(4)

2. Ahmadzadeh A, Derakhshan A, Hakimzadeh M, Zolfigol A. Idiopathic


nephrotic syndrome in Iranian children. Indian pediatrics 2008; 45:52-3.

3. Ikatan dokter Anak Indonesia. Konsensus: penatalaksanaan sindrom nefrotik


idiopatik pada anak. Jakarta , IDAI, 2012

4. Prabowo A. Nephrotic Syndrome In Children. Medula, 2014; Volume 2:(4).

5. Ikatan dokter Anak Indonesia. Simposium nasional nefrologi anak IX


Hemato-onkologi anak. Jawa. IDAI, 2003

6. Pardede OS. Tata Laksana non imunosuppresan sindrom nefrotik pada Anak.
Sari pediatri. 2017;19(1).h:53-62.

Anda mungkin juga menyukai