TINJAUAN PUSTAKA
Sindroma Nefrotik
A. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan manifestasi klinik yang ditandai dengan gejala
klinis edema periferal yang disertai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari
atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol),
hipoalbuminemia (<25 g /l), dan hiperkolesterolemia (total kolesterol > 10
mmol/L).1
B. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi:2,3
1) Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik
adalah sebagai berikut :
- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
- Nefropati Membranosa (GNM)
2) Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai
berikut :
- Lupus erimatosus sistemik (LES)
- Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
- Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch
Schonlein
- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis
14
Batasan
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik:4,5,6
1) Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2) Relaps
Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu,
maka disebut relaps.
3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5) Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
6) Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.
7) Sindrom nefrotik dependen steroid
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis
prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi
2 kali berturut-turut.
C. Epidemiologi
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,dengan
prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak.Di negara berkembang
insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun
15
D. Manifestasi Klinis
Gejala sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra dan pretibia.
Edema palpebra timbul pada saat bangun tidur, semakin siang edema
palpebra akan semakin berkurang namun akan tampak edema pretibia.
Apabila lebih berat akan disertai asites, edema skrotum/labia, dan efusi
pleura. Ketika sudah terdapat efusi pleura dapat timbul gejala sesak napas.
Asites dan sesak napas sering menyebabkan anak menjadi rewel, tidak mau
makan, tampak lemah, nyeri perut, dan gejala lain. Protein yang terdapat
dalam urin menyebabkan urin menjadi berbuih. Gejala lain yang dapat timbul
namun jarang terjadi misalnya hipertensi, hematuria, diare, dan lain-lain. Pada
sindrom nefrotik sekunder akan disertai gejala penyakit dasarnya.7,8
E. Patofisiologi
1) Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kebocoran glomerulus yang ditentukan oleh besarnya molekul dan
muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
(proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein
plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.
2) Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan adanya peningkatan permeabilitas
glomerulus yang menyebabkan hilangnya albumin melalui urin, sehingga
terjadi peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan
albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
Hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma
16
3) Edema
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema.
Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya
tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke
ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital
dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun.
4) Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrotik. Hipoproteinemia pada SN dapat
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein.
Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak
dari plasma.
F. DIAGNOSIS
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi: 1
1. Proteinuria massif (>40 mg/m2LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Serum albumin <2,5 gr/dl.
3. Manifestasi klinis edema perifer.
4. Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l).1
17
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria
berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes
semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih.
b) Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel
sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai
eritrosit, leukosit, torak hialin, dan torak eritrosit.
c) Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single
spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24
jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya.
Pada individu sehat, total protein urin ≤150 mg. Adanya proteinuria
masif merupakan kriteria diagnosis. Single spot collection lebih mudah
dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/mol, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
d) USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
e) Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia
> 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan.
Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal/ menurun.
18
H. PENATALAKSANAAN
A. Tata Laksana Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang
tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan
pemeriksaan berikut:
Pengukuran berat badan dan tinggi badan
Pengukuran tekanan darah
Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein.
Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan.
Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid
dimulai.
Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis
INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).
2. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
19
1. TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/
hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi.
3. Sitostatika
Obat sitostatika diberikan sebagai alternatif pada SN resisten steroid, yang
paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid
(CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari
dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250
ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan
sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA
puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap
1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL,
hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila
dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral
selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman
bagi anak.6
22
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek
samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan
terhadap: Kadar CyA dalam darah yang dipertahankan antara 150-250
nanogram/mL, kadar kreatinin berkala, biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang
atau sangat selektif.
I. KOMPLIKASI
1. Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi. Sepsis dapat terjadi sejak
awal penyakit. Kuman yang paling sering adalah Streptococcus
pneumoniae. Kuman lain yang sering ditemukan adalah eschericia coli,
Streptococcus B hemolitikus, dan kuman Gram negatif lainnya. Infeksi
yang sering terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik adalah peritonitis,
meningitis, pneumonitis dan cellulitis.
Beberapa faktor yang mempermudah anak SN mengalami infeksi kuman
adalah rendahnya kadar IgG karena sintesis yang tidak sempurna, lepasnya
faktor B dalam urine, dan tidak sempurnanya fungsi limfosit T. Faktor B
adalah cofactor dari c3b dalam jalur alternatif dari komplemen, yang
berperan penting dalam opsonisasi kuman.
23
2. Pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan sangat terpengaruh pada anak dengan sindrom
nefrotik. Terbuangnya hormon melalui kemih menyebabkan terjadinya
pelambatan pertumbuhan. Telah diketahui bahwa hipotiroid terjadi karena
terbuangnya iodinated protein dalam kemih. Kadar insulin-like growth
factor-I (IGF-I) dan IGF II dalam plasma berkorelasi dengan lepasnya
protein pembawa dalam kemih.
3. Gagal Ginjal
Gagal ginjal yang terjadi pada sindrom nefrotik bisa terjadi dalam keadaan
akut dan kronik:
Gagal ginjal akut
Sering terjadi karena adanya hipovolemia yang mengakibatkan
penurunan laju filtrasi glomerulus, meskipun penurunan LFG dapat
pula dijumpai pada pasien dengan effective plasma flow yang
normal. Selain itu, kemungkinan adanya perpaduan foot processes
dapat mengurangi area filtrasi glomerulus atau permeabilitas
terhadap air dan solut. Penyebab lain gagal ginjal akut adalah
trombosis vena renalis bilateral dan nefritis interstitial yang dapat
disebabkan oleh efek toksik furosemid.
Gagal ginjal kronik.
Sindrom nefrotik resisten steroid lebih cenderung mengalami gagal
ginjal kronik dibandingkan sindrom nefrotik sensitif steroid dimana
lebih dari 50% anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid akan
jatuh menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu 10 tahun,
sedangkan sindrom nefrotik sensitif steroid hanya 3%.
Actuarial kidney survival ( angka kelangsungan fungsi ginjal)
adalah 76% pada 5 tahun dan 60% pada 10 tahun. Terdapat korelasi
antara kelainan histopatologik dengan outcome, yaitu gagal ginjal
kronik terjadi pada 33% anak dengan kelainan minimal, 48% anak
dengan GSFS dan 66 % anak dengan PMD. Terdapat 2 klompok
pasien yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih parah,
24
4. Trombosis
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas, hipovolemia, dan infeksi. Keadaan hiperkoagulabilitas
ini dikarenakan juga oleh peningkatan agregasi trombosit, peningkatan
faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen,
dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar
melalui urin. Insiden komplikasi thromboembolik pada anak nefrotik
berkisar 3%.
J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi.
Pada anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan
usia <5 tahun memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia
>30 tahun juga lebih memiliki risiko gagal ginjal.8
25
PEMBAHASAN
demam yang menetap selama 2 minggu, batuk lama, penurunan berat badan serta
adanya kontak terhadap orang yang terkena tuberkulosis.
Kemudian untuk mengatasi edema pada pasein ini diberikan diuretik
furosemid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari, pada pasien ini diberikan dosis adalah
20 mg/24 jam yang diindikasikan untuk edema yang terjadi pada pasien.
Pemberian diuretik sekali sehari dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipovolemia dan juga pembuangan protein. Pada pasien ini tidak diberikan terapi
albumin karena indikasi pemberian albumin apabila tidak berespon terhadap
pemberian obat diuretik dan nilai albumin <1.5,6 Sedangkan pada pasien ini kadar
albuminnya 1,52 g/dl maka pemberian albumin tidak diperlukan.
Terapi lain yang diberikan pada pasien ini adalah cefotaxim 3x350 mg
intravena. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder pada
pasien SN yang sangat rentan terhadap terjadinya infeksi. Selain itu, diberikan
juga paracetamol drip 3x200mg sebagai terapi simptomatik jika suhu pasien >
37,50c
Pada kasus ini hanya dilakukan diit rendah garam (1-2 gram/hari).
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Untuk memenuhi
kebutuhan cairan pasien serta mencegah terjadinya hipovolemi diberikan
tambahan cairan intravena berupa Asering 8 tetes per menit.6
Pada pasien ini dilakukan monitoring cairan masuk dan urine output yang
dilakukan untuk menilai balance cairan. Selain terapi obat-obatan, edukasi kepada
orang tua sangat diperlukan tentang penyakit serta keharusan pasien untuk kontrol
rutin dalam pengobatannya.
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada
anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik.5 Pada kasus ini prognosisnya
28
dubia ad malam karena pasien pulang dengan kondisi yang belum mengalami
perbaikan berarti dan juga tidak kontrol lanjutan.
29
DAFTAR PUSTAKA
6. Pardede OS. Tata Laksana non imunosuppresan sindrom nefrotik pada Anak.
Sari pediatri. 2017;19(1).h:53-62.