Anda di halaman 1dari 11

NAMA : INTAN KUSUMA WARDHANIE

NIM : 02011281621462

KELAS : HUKUM DAN HAM ( A)

TUGAS REVIEW

PRAKTIK PENGADILAN HAM INTERNASIONAL DAN PUTUSAN


MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA

DAN

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR PERSPEKTIF HAM- STUDI


KASUS DI DESA BULUNGIHIT, LABUHAN BATU, SUMATRA
UTARA

Oleh : Nurhidayatuloh, SHI, S.Pd, SH., LL. M.,MH.,M.H.I

Pengertian HAM, Pelanggaran HAM dan Hukum Pidana Internasional

Gross violations of human rights, di Indonesia, seringkali disamakan dengan “pelanggaran


HAM yang berat” dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Meskipun istilah ini secara literal identik, akan tetapi masing-masing memiliki implikasi hukum
yang berbeda. Gross violations of human rights menjadi isu menarik pasca lahirnya Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM)
dan disinggung kembali pada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia antara
lain dalam Putusan Perkara No. 065 /PUU-II/2004 yang diajukan oleh Abilio Jose Osorio Soares,
Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006 yang diajukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), dkk. UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa pengadilan mempunyai kompetensi
absolut yakni: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan1.

Hak asasi manusia telah diatur secara universal, regional dan nasional. Universal merujuk
pada HAM telah diatur di dalam sebuah Deklarasi Universal HAM dan kovenan-kovenan
international tentang HAM, regional merujuk pada ketentuan HAM telah diatur di dalam
instrumen-instrumen hukum kawasan di ASEAN, dan nasional merujuk pada ketentuan HAM
telah menjadi peraturan perundang-undangan di Indonesia. pelanggaran HAM merupakan
tanggung jawab negara, bukan individu. Sehingga yang menjadi titik tekan dalam pelanggaran
HAM adalah tanggung jawab negara (state responsibility).

Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum


internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara. Tanggung
jawab negara timbul apabila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian
internasional atau hukum kebiasaan internasional. Doctrine Of Imputability menyatakan bahwa
negara bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh organnya.2 Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 4 Draft ILC Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts bahwa
tindakan organ negara dapat dikategorikan sebagai tindakan negara termasuk organ legislatif,
eksekutif, yudikatif, ataupun organ lain termasuk juga entitas atau individu yang memiliki status
dalam hukum internal suatu Negara.

Pengertian Gross Violations of Human Rights

Istilah “gross violations of human rights” selama ini merupakan pengertian


yang cukup kompleks oleh karena menimbulkan berbagai pemaknaan yang multi tafsir
baik secara teoritis maupun empiris. Perdebatan yang selama ini muncul adalah apakah

1
Nurhidayatuloh Nurhidayatuloh,Juni 2015. ” Gross Violations of Human Rights: Praktik Pengadilan HAM
Internasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia”.https://www.researchgate.net/publication/332407137.diakses 28 April 2019,pukul 13.00 WIB

2
gross violations of human rights ini merupakan sebuah pelaggaran HAM ataukah sebuah
tindak pidana (crimes). Dalam hukum HAM internasional, istilah “gross
violations”dimunculkan pertama kali oleh Badan HAM PBB yang secara prinsipil
dimaksudkan pada pelanggaran yang paling serius melalui Resolusi 8 (Maret 1967)
Komisi HAM PBB (UN Commission of Human Rights). Namun demikian, munculnya
istilah-istilah baru yang berhubungan dengan tingkat beratnya pelanggaran HAM di
dalam praktik-praktik negara terus saja berkembang setiap waktu.
Pada level nasional di Indonesia, sebagai negara rule of law, hak asasi manusia
diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen (UUD 1945), Tap MPR Nomor
XVII/MPR/1998, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (UUHAM). Payung hukum tertinggi hak asasi manusia di Indonesia adalah
UUD 1945 yang tertuang di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28A
sampai 28J dan d ke dalam UU HAM. Pelanggaran HAM hanya dapat dilakukan oleh
negara yang mencakup institusi publik atau dalam hal ini pemerintah (govenrment). Hal
ini penting dibedakan agar tidak menyamakan antara subyek hukum negara dan subyek
hukum orang, meskipun penulis tidak menafikan banyaknya pandangan baru yang
mengatakan bahwa pelanggaan HAM yang hanya bisa dilakukan oleh negara adalah
pandangan klasik. Pelanggaran HAM merupakan pelanggaran terhadap kewajiban negara
yang lahir dari instrumen-instrumen hak asasi manusia dimana pelanggaran tersebut
dapat dilakukan dengan perbuatan aktif maupun karena kelalaian Negara (pasif).
Perbuatan negara yang pertama disebut dengan acts of commission dan perbuatan negara
yang terakhir disebut dengan act of omission.
Human rights violations atau yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
pelanggaran HAM tidak bisa dilakukan secara langsung oleh negara karena negara
merupakan entitas abstrak yang tidak bisa melakukan suatu perbuatan. Dalam hal ini
berlakulah doktrin imputabilitas (doctrine of imputability).Menurut Romli, perkembangan
hukum pidana internasional mengalami kemajuan pesat terutama dalam hal yurisdiksi dan
pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu kejahatan internasional.
Yurisdiksi absolut hukum pidana internasional mengalami perkembangan dengan
kejahatan jenis baru dan pertanggungjawaban yang sifatnya bukan kolektif, akan tetapi
individu. Ia mendasarkannya pada ketentuan dalam Statuta ICC 1998.
Gross Violation of Human Rights Dalam Praktik Hukum HAM Internasional

Yang menjadi penekanan dalam hal ini adalah semua bentuk gross violations
of human rights yang telah tercakup dalam Basic Principles and Guidelines berasal
dari instrumen-instrumen perjanjian HAM dan mengharuskan adanya
pertanggungjawaban negara adalah konsep yang tidak terbantahkan.Hal ini dibuktikan
dengan meskipun pemulihan dapat dilakukan oleh NSAs, akan tetapi pemulihan ini
dilakukan setelah negara memberikannya, artinya negaralah yang menjadi pemain
utama dalam hal memeberikan tanggungjawab pemulihan terhadap korban.
Perlindungan HAM di Afrika dilakukan oleh dua institusi HAM, yakni,
African Commission on Human and Peoples’ Rights (ACmHPR) dan African Court
on Human and Peoples’ Rights (ACtHPR). ACmHPR dibentuk melalui African
(Banjul) Charter On Human And Peoples' Rights berlaku 21 Oktober 1986 yang
memiliki kewenangan untuk memajukan hak asasi manusia, memastikan perlindungan
HAM dan menafsirkan ketentuan yang terdapat di dalam Piagam. Putusan ACtHPR
bersifat final and binding terhadap negara-negara pihak Protokol. Salah satu kasus
yang pernah diputuskan oleh ACtHPR adalah kasus antara African Commission on
Human and Peoples’ Rights v. Great Socialist People's Libyan Arab Jamahiriya.
ACmHPR mengajukan permohonan kepada ACtHPR melawan Libya dalam kasus
“serious and massive” violations or human rights yang telah diatur dalam African
Charter on Human and Peoples' Rights. Dalam hal ini yang menjadi pihak di ACtHPR
adalah ACmHPR yang mewakili korban melawan Negara Libya dimana Libya diduga
kuat oleh ACmHPR telah melakukan pelanggaran HAM yang serius dan masif.
Dalam kasus ini jelas bahwa gross violations of human rights dibahasakan dengan
serious and massive violations of human rights.

Gross violations of international human rights tidak bisa dilepaskan dari


ketentuan dalam Basic Principles and Guidelines sebagai resolusi Majelis Umum PBB
yang membahas langsung tentang gross violations. gross violations of international
human rights tidak bisa dilepaskan dari ketentuan dalam Basic Principles and
Guidelines sebagai resolusi Majelis Umum PBB yang membahas langsung tentang
gross violations. 3

Gross Violations dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan


Implementasinya di Indonesia

Istilah gross violations of human rights menarik dikaji oleh karena banyak
para ilmuwan hukum di Indonsia yang menyamakan istilah ini dengan the most
serious crime sebagaimana yang terdapat di dalam Statuta Roma yang memiliki empat
yurisdiksi, yakni: crime of genocide, war crimes, crimes against humanity, crime of
aggression. Para ilmuwan Indonesia banyak yang menyinggung persoalan ini akan
tetapi yang dimaksud bukan sebagai gross violations of human rights. Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal konstitusi adalah saatu-satunya lembaga yudisial yang
mempunyai wewenang antara lain adalah menguji undang- undang terhadap UUD
1945. Dalam kewenangan menguji undang-undang ini berarti MK secara langsung
mendapatkan mandat dari UUD 1945 dan MK berperan sebagai penafsir undang-
undang, dalam arti MK menggunakan sebuah metode untuk menemukan hukum
(rechtsvinding) apakah undang-undang yang diajukan kepadanya sesuai dengan UUD
1945 atau tidak, termasuk undang-undang yang berkaitan dengan HAM. Mahkamah
dalam hal ini menyamakan antara konsep extraordinary crimes dengan konsep the
most serious crimes dan dan menyatakan bahwa UU pengadilan HAM terinspirasi
dari Statuta Roma 1998 dan kejahatan yang menjadi yurisdiksi UU Pengadilan HAM
adalah the most serious crimes. Di satu sisi mahkamah menyatakan pelanggaran HAM
berat adalah gross violation of human rights dan di sis lain Mahkamah menyatakan
pelanggaran HAM berat adalah the most serious crimes. Terlebih lagi perbedaan
secara tegas juga tidak dimunculkan antara konsep gross violation of human rights,
extraordinary crimes dan the most serious crimes.

Implementasi gross violations of human rights di Indonesia tidak bisa


dilepaskan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

3
Nurhidayatuloh Nurhidayatuloh,Juni 2015. ” Gross Violations of Human Rights: Praktik Pengadilan HAM
Internasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia”.https://www.researchgate.net/publication/332407137.diakses 28 April 2019,pukul 13.08 WIB
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun demikian, seperti yang telah dikatakan di
atas, transformasi undang-undang ini berbeda dari konsep aslinya dalam gross
violations of human rights sebagaimana telah dipraktikan oleh pengadilan HAM
internasional. Praktik pengadilan HAM internasional sepakat menyatakan bahwa
pelaggaran HAM merupakan tanggung jawab negara, bukan individu. Hal ini tentunya
berbeda dengan the most serious crime yang dapat menjangkau individu untuk
bertanggung jawab dan pelanggaran HAM yang berat di Indonesia juga
dipertanggungjawabkan oleh individu atau sekelompok individu. Pelanggaran HAM
yang berat berbeda dengan gross violations of human rights oleh karena pada saat
gross violations menuntut tanggungjawab negara, pelanggar HAM yang berat
hanya dibatasi kepada tanggung jawab individu.4 Dalam praktik pengadilan HAM
internasoinal, istilah gross violations of human rights dapat ditemukan dengan
berbagai macam istilah seperti: serious violations, grave violations, systematic
violataions dan sebagainya, namun tidak ada kesepakatan yang pasti dalam istilah
tersebut yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Pada saat di Pengadilan
HAM Inter-Amerika (IACtHR) dan Pengadilan HAM Afrika (ACtHPR)
mensyaraatkan adanya perbuatan masif dengan korban yang banyak untuk dapat
dikategorikan dalam gross violations of human rights, di pihak lain Pengadilan HAM
Eropa (ECtHR) menyatakan bahwa serious violations of human rights dapat
dilakukan kepada individu. Namun demikian, dalam praktik di semua pengadilan
HAM internasional tersebut pihak yang dituntut pertanggungjawabannya adalah
Negara

4
Nurhidayatuloh Nurhidayatuloh,Juni 2015. ” Gross Violations of Human Rights: Praktik Pengadilan HAM
Internasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia”.https://www.researchgate.net/publication/332407137.diakses 28 April 2019,pukul 13.08 WIB
Perkawinan di Bawah Umur Perspektif HAM- Studi Kasus di Desa
Bulungihit, Labuhan Batu, Sumatra Utara

Keluarga dan Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia pada dasarnya merupakan hak yang paling hakiki yang dimiliki
oleh setiap manusia dalam kapasitasnya sebagai individu. Sepanjang hak ini tidak
mengganggu hak orang lain, hak ini tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, bahkan
penjaminannya harus dilindungi oleh negara sekalipun. Hak ini muncul dengan tujuan
untuk melindungi manusia sebagai individu seutuhnya. Fenomena yang terjadi di Desa
Bulungihit, Labuhan Batu, Sumatera Utara yakni banyaknya perkawinan pada usia yang
relatif muda, bahkan bisa dikatakan di bawah umur usia kawin, terutama dari pihak calon
istri. Disinyalir tidak sedikit perkawinan yang terjadi atau terlaksana di tempat tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena keinginan orang tua dalam arti
mereka dijodohkan, kurangnya pendidikan, dan keterbatasan ekonomi dan sebagainya.
Para orang tua menganggap seorang perempuan jika sudah bisa membaca dan menulis
sudah dianggap cukup. Tidak harus untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya,
sebab anak perempuan kelak pada akhirnya akan kembali ke dapur rumah.5 Orang tua
menganggap bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah sampai perguruan tinggi.
Alasannya adalah bahwa mereka anak perempuan dan pada akhirnya juga menjadi
pendamping suami (pekerjaan dapur), sehingga dengan alasan tersebut kebanyakan orang
tua lebih memilih untuk menikahkan anak perempuannya pada usia yang masih relatif
muda. Hal ini tidak diimbangi dengan memperhatikan kesiapan dan kematangan baik
secara fisik maupun secara psikologis anak tersebut. Perkawinan yang dilangsungkan
pada usia seperti ini akan banyak menimbulkan dampak dan akibat tertentu yang dihadapi
oleh kebanyakan pasangan itu, seperti: pertengkaran dalam rumah tangga yang
disebabkan karena kekurang dewasaan dalam menghadapi persoalan sehingga tidak
sedikit menyebabkan meningkatnya angka percerain di daerah tersebut.

5
Nurhidayatuloh Nurhidayatuloh,Maret 2011.” Perkawinan di Bawah Umur Perspektif HAM- Studi
Kasus di Desa Bulungihit, Labuhan Batu, Sumatra Utara”.
https://www.researchgate.net/publication/315970564 .diakses 28 April 2019,pukul 14.15 WIB.
Dalam hukum hak asasi manusia internasional pada dasarnya tidak membatasi seccara
langsung umur usia kawin seorang anak. hal ini ditentukan oleh perundang-undangan negara
masing-masing disesuaikan dengan kondisi masyarakat di daerah tersebut. Ketantuan hukum
adat juga tidak menentukan secara detail mengenai batasan umur kedewasaan anak untuk
melakukan perkawinan, kedewasaan seseorang dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda
perkembangan tubuh seseorang, apabila seorang wanita sudah mengalami menstruasi berarti
anak tersebut sudah dianggap dewasa ,dan bagi anak laki-laki diukur dan dilihat salah satunya
dari berubahnya suara, maka anak tersebut sudah dianggap dewasa.6
Tujuan Perkawinan
KUA sebagai lembaga "yuridis formal" belum secara optimal berperan dalam mengawasi
dan mengatur pelaksanaan perkawinan. Di Desa Bulungihit, sering kali pernikahan yang
dicatatkan di KUA dimanipulasi oleh pihak keluarga mengenai umur anak yang melangsungkan
perkawinan tersebut, seperti yang telah ditetapkan Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun
1974 salah satu syarat agar mendapat izin dari pegawai KUA, padahal kenyataan yang terjadi
mereka yang melangsungkan perkawinan ada yang baru selesai SD/MIN. Di Indonesia, hak
berkeluarga dan hak untuk melanjutkan keturunan di jamin di dalam Pasal 10 Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa "setiap orang berhak membentuk suatu
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah
hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam undang-undang tersebut
terdapat beberapa prinsip azas perkawinan salah satunya adalah calon suami istri harus sudah
matang jiwa dan raga agar dapat mewujudkan keluarganya dengan baik. Oleh karena itu dalam
perkawinan terdapat aturan batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan, yaitu 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Pembentukan keluarga (rumah tangga) melalui ikatan perkawinan yang sah dan
dimaksudkan atau mempunyai beberapa tujuan yang sangat penting bagi setiap orang,
adapun tujuan dari pembentukan dalam sebuah rumah tangga, antara lain ialah:

6
Nurhidayatuloh Nurhidayatuloh,Maret 2011.” Perkawinan di Bawah Umur Perspektif HAM- Studi
Kasus di Desa Bulungihit, Labuhan Batu, Sumatra Utara”.
https://www.researchgate.net/publication/315970564 .diakses 28 April 2019,pukul 14.15 WIB.
1. Kebutuhan akan seksual akan terpenuhi sebagaimana mestinya dan secara sehat
(jasmani dan rohani), alamiah dan agamis.
2. Perasaan kasih sayang, cinta dan rasa ingin memiliki antara lawan jenis dapat
tersalurkan secara baik dan sehat.
3. Naluri keibuan dan kebapakan dapat tersalurkan secara sehat dan dapat memperoleh
dan memelihara keturunan yang sehat juga. Kebutuhan perempuan akan rasa aman, dan
memperoleh perlindungan dari seorang laki-laki, dan kebutuhan laki-laki akan rasa
aman, memberi perlindungan kenyamanan dan kedamaian akan seorang perempuan
akan dapat terwadai dan tersalurkan secara sehat.
4. Pembentukan generasi mendatang dapat terbentuk dan terjamin secara sehat.
5. Membentuk ikatan antara keluarga dan masyarakat. Dengan sebuah pernikahan tidak
hanya terbentuk ikatan antara laki-laki dan wanita sebagai pasangan suami istri, tapi
lebih dari itu keluarga dari suami dan sanak famili istri menjadi bersaudara. Bahkan
kalau keduanya dari suku atau bangsa yang berbeda, maka ikatan yang lebih luas akan
terjalin.
Fenomena Perkawinan pada Usia Muda di Desa Bulungihit
Desa Bulungihit adalah desa yang jauh dari kota, dan termasuk desa yang masih kurang
dari segala macam kemajuan yang bersifat membangun baik fisik maupun materil, dan
sangat tertinggal jauh dari segi pendidikan, baik itu pendidikan formal atau non formal.
Mereka pada umumnya tidak pernah memikirkan untuk kemajuan desa dan hidup mereka
pada masa yang akan datang. Mereka beranggapan yang penting bisa hidup hari ini, dan
untuk hari esok itu urusan besok, mereka hanya ingin bersenang-senang. Apalagi pikiran
orang tua masyarakat setempat terhadap masa depan anak mereka, terutama bagi anak
perempuan. Dari kaidah di atas sudah jelas, bahwa masyarakat setempat hanya memandang
menafsirkan segala sesuatu hanya dilihat dari arti yang tekstual saja.
Fenomena Perkawinan Usia Muda di Desa Bulungihit Kampung Baru disebabkan
beberapa alasan , yaitu:
1. Faktor tradisi, adat dan budaya.
2. Faktor ekonomi.
3. Faktor karena kurangnya pendidikan.
Faktor tersebutlah yang menjadi alasan masyarakat Bulungihit menikah usia yang
masih relatif muda. Dan setelah factor Intrenal, ada juga faktor eksternal penyebab
Perkawinan Usia Muda. Adapun faktor Internal yaitu:

1. Faktor Pergaulan yang terlalu bebas.

2. Faktor Ekonomi.

3. Faktor Kurangnya Pendidikan.

4. Faktor perjodohan.

Implikasi Perkawinan Usia Muda


Setiap pasangan suami istri menghendaki kelanggengan dalam perkawinan juga, dan
menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Tetapi tidak semudah itu tujuan dari
sebuah perkawinan bisa tercapai. Jika dari masing-masing pihak yang melangsungkan
perkawinan belum memenuhi persyaratan atau belum mempunyai kesiapan fisik dan mental,
atau dengan menikah di usia yang masih relatif muda. Ketika kondisi fisik atau belum siap
untuk menjalanakannya. Setiap perbuatan pasti mengandung akibat, baik positif maupun
negatif. Begitu juga dengan masalah sebuah perkawinan, terutama orang yang menikah di usia
yang masih relatif muda. Perkawinan di Usia muda mempunyai dampak positif dan negatif
yang perlu di perhatikan setiap orang yang melaksanakannya. Dalam Pasal 61 Undang-undang
tentang HAM menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak
yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan dirinya. Hal ini menyebutkan bahwasannya ketika dalam
usia anak, anak masih diberi hak untuk memperoleh kebebasan dan berkreasi sesuai dengan
minat dan bakatnya. Menikahkan anak yang berada di bawah umur, sama saja dengan
mengeksploitasi anak karena telah merenggut masa kanak-kanak mereka sehingga masa kecil
mereka digunakan untuk memikirkan hal yang sebenarnya belum saatnya mereka alami.
Tolak ukur permasalahan ini adalah karena perkawinan dengan usia yang terlalu muda.
Ketika kita berbicara masalah usia, secara otomatis sebagai masyarakat Indonesia, hal ini terikat
dengan adanya ketetepan yang terdapat dalam Undang- Undang No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 7 menyebutkan bahwa "perkawinan hanya diijinkan jika laki-laki itu berumur
19 tahun, dan perempuan 16 tahun." Namun dalam KHI tidak mendefinisikan secara jelas
berapa Umur usia pernikahan yang diperbolehkan. Hanya saja dalam Pasal 15 Ayat (1) KHI
didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan.
Kedewasaan dapat di ukur dari segi biologis dan kejiwaan/psikologis. Setiap menjelang akil
atau baligh, pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah dan anak perempuan dengan haid. Dari
segi kepribadian, pasangan 'mature" dapat saling memberikan kebutuhan efeksional, yang amat
penting bagi keharmonisan keluarga. Maka usia ideal menurut kesehatan KB, usia antara 20
sampai 25 tahun bagi perempuan, dan 25 sampai 30 tahun bagi laki-laki.7 Mengenai dengan
pengaturan HAM yang ada perkawinan di bawah umur ini dapat juga dianggap dengan
melanggar ketentuan hak asasi manusia. Apalagi dengan memanipulasi usia kawin bukannya
malah akan menyelesaikan masalah, akan tetapi akan menimbulkan masalah baru berkenaan
dengan kekurangsiapan secara psikologis anak yang menikan muda atau di bawah umur. Oleh
karena itu negara hendaknya menindak tegas pelanggaran HAM semacam ini dengan
mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati baik dalam ranah nasional
maupun ranah internasional.

Anda mungkin juga menyukai