OLEH :
PEMBIMBING :
DR. dr. Mauluddin M., S.Sos, SH, MH, M.Kes, Sp.F
A. PENDAHULUAN
B. ETIKA DASAR
Etika Dasar atau basic ethics merupakan studi yang membahas dasar-dasar
etika secara umum, untuk dipakai sebagai landasan bagi memahami lebih jauh
isu-isu etika berkenaan dengan bidang-bidang spesifik. Didalamnya mengandung
teori etika (ethical theory), cara-cara pembuataan keputusan etik (ethical decision
making), dan model-model pembuatan keputusan etik (ethical decision making
model).
Tanpa memahami etika dasar lebih dahulu maka orang (meliputi pula para
profesional) akan mendapat kesulitan dalam menyelesaikan problem kehidupan,
yang pada hakekatnya merupakan problem etika.
Untuk memahami bioetika (etika terhadap kehidupan) misalnya, etika
dasar juga diperlukan untuk mengetahui akar moralnya (moral roots) dari bioetika
serta untuk memberikan landasan bagi bioetika dalam penentuan kebijakan
moralnya (moral judgment).
1. TEORI ETIKA
Teori etika merupakan sebuah system untuk menyelesaikan dilemma etik,
yaitu situasi yang memerlukan keputusan dari dua alternatif yang sama-sama tidak
menyenangkan atau saling bertentangan. Dilema tersebut banyak dijumpai dalam
pelayanan kesehatan sehari-haridan seringkali para profesional di bidang
kesehatan dan amalan perobatan tidak dapat menemukan jawaban yang tegas.
Maka tidaklah salah jika ada maxim yang menyatakan bahwa dalam etika akan
lebih banyak dijumpai pertanyaan daripada jawabannya.
Teori etika mencakup keyakinan-keyakinan dasar tentang apa yang secara
moral benar atau salah serta memberikan pertimbangan untuk mempertahankan
keyakinan tersebut. Ia menyediakan caraa-cara pembuatan keputusan dengan
menunjukkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan keputusan serta
prinsip-prinsip moral yang harus dipertimbangkan. Teori etika juga menyediakan
dasar-dasar bagi penyusunan Kode Etik sesuatu profesi, disamping menawarkan
berbagai macam model dalam pembuatan keputusan etik (berupa peta jalan yang
menunjukkan langkah-langkah yang mesti ditempu).
Dalam buku ini hanya akan dibahas secara singkat beberapa teori etika;
antara lain deontology, teleologi, egoism, obligationism, dan social contract
theory.
a. Teori Deontologi
Deontologi berasal dari dua buah kata, yaitu ‘deon’ yang artinya
kewajiban atau ikatan dan ‘logos’ yang berarti ilmu. Disebut demikian karena ia
merupakan sebuah cara pengambilan keputusan etik dengan mengacu pada adanya
kewajiban yang telah ditetapkan lebih dahulu berdasarkan prinsip-prinsip yang
tetap dan absolut (unchanging an absolute principles) yang merupakan inti dari
nilai agama-agama besar. Karena menekankan pada kewajiban terhadap orang
lain maka teori ini dinilai paling baik diterima sebagai teori pembuatan keputusan
di bidang layanan kesehatan dan perobatan.
Dalam teori deontologi, penentuan tentang benar-salahnya suatu
perbuatan/ tindakan didasarkan pada kualitas dari perbuatan/tindakan tersebut,
bukan pada konsekuensi atau akibatnya. Prinsip dasarnya dimaksudkan untuk
menjamin kelestarian spesies dengan memberikan seperangkat kewajiban
terhadap orang lain.
Ide kunci dari teori deontologi adalah sebagai berikut:
a. Bahwa deontology didasarkan atas prinsip yang tepat dan absolut
(unchanging and absolut principles) yang berasal dari nilai-nilai
universal agama-agama besar.
b. Bahwa prinsip dasarnya adalah untuk menjamin kelangsungn hidup
spesies dengan menetapkan suatu tugas atau kewajiban seseorang
terhadap orang lain.
c. Bahwa tindakan apapun yang sesuai dengan tugas atau kewajiban
(yang telah ditetapkan lebih dahulu) dianggap benar, sedangkan yang
berseberangan dengannya dianggap salah.
Kelemahan teori deontologi terletak pada dua hal; yaitu pertama pada
penetapan tugas dan kewajiban (yang mungkin saja dapat menimbulkan konflik
tersendiri), dan kedua pada pemecahan mengenai kewajiban mana yang
seharusnya didahulukan. Dipertanyakan pula tentang asal-muasal timbulnya tugas
dan kewajiban, misalnya tentang siapa yang harus mengidentifikasi dan
menetapkannya. Meski dikatakan lebih dapat diterima dalam bidang pelayanan
kesehatan namun teori ini dinilia tidak fleksibel.
b. Teori Teleologi
Teleologi berasal dari kata ‘telos’ yang maknanya adalah tujuan akhir dan
‘logos’ yang maknanya ilmu. Teori ini menawarkan cara pengambilan keputusan
etik dengan menetapkan benar dan salah suatu perbuatan didasarkan pada akibat
dari perbuatan tersebut. Oleh sebab itu perlu dilihat lebih dahulu situasinya dan
kemudian dikalkulasi baik buruknya, sehingga teori ini seringkali disebut
situation-ethics atau calculus morality.
Prinsip dasarnya adalah manfaat (utility), yang menetapkan berguna
tidaknya suatu perbuatan dilihat dari akibatnya. Perbuatan yang benar (right)
adalah yang menghasilkan maslahat (kebaikan), sementara perbuatan yang salah
adalah yang akan mendatangkan mudarat (kerugian).
Ide kuncinya adalah bahwa baik (good) didefinisikan sebagai kebahagiaan
atau kesenangan sehingga tindakan apapun baru bisa dikatakan benar manakala
dapat membawa kemaslahatan sebesar-besarnya dan kemudaratan sekecil-
kecilnya.
Teori teleology tidak memiliki prinsip-prinsip yang kaku, kode etik,
kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan tertentu untuk menyelesaikan situasi
spesifik. Asumsi dasarnya adalah bahwa baik dan buruk (good and harm) dapat
dikalkulasi seperti layaknya formula matematika sehingga seseorang (termasuk
profesional) akan dapat menilai sendiri tingkat baik dan buruknya dari sesuatu
kasus spesifik.
Pembuat keputusan dapat mempertimbangkan tindakannya untuk
kesejahteraan umum sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang saat
menghadapi situasi yang sama.
Kekurangan dari teori teleologi adalah karena ia lebih memantu
tercapainya kebahagiaan maksimum bagi segelintir orang dari pada kebanyakan
orang. Karena prinsip dasarnya adalah manfaat (utility) maka orang dapat
mengalami konflik yang tidak terselesaikan ketika sedang menentukan benar dan
salahnya sesuatu tindakan.
Pertanyaan yang muncul ialah, tindakan mana yang lebih menghasilkan
kebaikan sebesar-besarnya dan kerugian sekecil-kecilnya, sebab mengukur
kebaikan relatif dan kerugian relatif dari suatu tindakan sangat sulit atau banhkan
seringkali tidak mungkin. Tambahan lagi bahwa penentuan ‘the greatest good’
sangat subjektif dan seringkali menghasilkan inkonsistensi keputusan. Oleh
sementara ahli teori teleologi dinilai cenderung mengabaikan hak dan kebutuhan
individu.
c. Teori Egoisme
Teori egoisme adalah teori pengambilan keputusan yang
mempertimbangkan kepentingan dan perlindungan bagi diri sendiri sebagai satu-
satunya tujuan yang tepat dari tindakan manusia. Ia didasarkan pada
kecenderungan bawaan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri.
Ide kunci dari teori egoism didasarkan pada prinsip bahwa satu-satunya
keputusan yang benar adalah yang mampu memaksimalkan kesenangan bagi si
pembuat keputusan. Sesuatu dianggap baik dan benar jika invidu yang
bersangkutan menginginkannya. Pengambil keputusan dalam dilemma etik
membuat keputusan berdasarkan kenyamanan pribadi.
Keterbatasan dari egoism tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip moral
atau aturan diluar dirinya. Selain itu, inkonsistensi bisa muncul dari satu
keputusan ke keputusan berikutnya atau bahkan dalam situasi yang sama.
Kekacauan social dapat terjadi ketika individu bertindak semata-mata untuk
kepentingan diri mereka sendiri.
Karena tidak mempertimbangkan hak-hak orang lain, maka teori egoism
tidak dapat diterima bagi sebagian besar keputusan yang melibatkan situasi etis
dalam pelayanan kesehatan.
d. Teori Obligasionisme
Teori obligasionisme adalah teori pengambilan keputusan etis yang
mencoba menyelesaikan dilemma etik dengan menyeimbangkan keaadilan
distributive (membagi secaraa merata di antara semua warga negara) dengan
kebaikan (berbuat baik dan tidak membahayakan).
Teori ini utamanya ditujukan bagi kebijakan publik untuk mendorong
mereka memilih tindakan yang terbaik bagi semua warganya.
Ide kunci dari teori obligasionisme adalah bahwa pembuat keputusan harus
mampu mencegah atau menghilangkan apa yang berbahaya dan bersifat jahat.
Kebaikan dan tanggungjawab harus didistribusikan secara merata keseluruh
anggota masyarakat sehingga semua orang harus diperlakukan sesuai dengan
manfaat dan kebutuhan mereka.
Keterbatasan teori ini ialah bahwa kedua prinsip dasarnya (yaitu keadilan
dan kebaikan) mungkin menimbulkan konflik dalam situasi tertentu.
Teori obligasionisme memang bisa berguna banyak bagi penetuan
kebijakan publik tetapi tidak demikian halnya bagi pembuatan keputusan yang
akan mempengaruhi seseorang. Selain itu, teori ini memberikan sedikit panduan
untuk memecahkan dilemma etik spesifik yang dihadapi oleh pemberi pelayanan
di bidang kesehatan.
C. ETIKA TERAPAN
Etika terapan atau applied ethics merupakan etika yang membahas aplikasi
etika dasar kedalam bidang-bidang khusus dari kehidupan.
Mengingat banyaknya bidang aplikasi dan bahkan masing-masing bidang
tersebut masih dapat dirinci lagi cabang-cabangnya maka etika terapan menjadi
banyak sekali jenisnya, yang rinciannya tergantung dari perspektif masing-masing
ahli yang merincinya. Namun dalam buku ini hanya akkan dibahas beberapa jenis
saja, utamnya yang berkaitan dengan bidang kehidupan, kesehatan dan amalan
perobatan; atau dengan kata lain membahas tentang bioetika dan etika biomedik.
Bioetika itu sendiri membahas prilaku terhadap makhluk hidup beserta
kehidupannya. Sedangkan etika biomedik (biomedical ethics) membahas etika
profesi, etika klinik (clinical ethics), etika kesehatan masyarakat (research ethics);
yang sebenarnya merupakan bagian dari bioetika juga.
Etika profesi membahas tentang bagaimana dokter, sebagai pemangku
profesi luhur (noble profession) berprilaku etis kaitannya dengan:
a. pesakit yang datang untuk berobat, sebab pada tahapan ini
kewajiban dokter sudah muncul;
b. pasien atau klien (pesakit yang telan menjalin hubungan terapetik
dengan dokter);
c. sejawat (healthcare team dan coworkers)
d. masyarakat; dan
e. profesinya sendiri.
Etika klinik membahas tentang bagaimana pembuatan keputusan moral
atau etikal sehari-hari terhadap pasien dalam kedokteran klinik (the day to day
moraldecisionmaking).
Etika kesehatan masyarakat (public health ethics) membahas tentang
bagaimana cara memperlakukan pasien secara etis dengan mempertimbangkan
aspek kesehatan masyarakat, yang pada intinya bagaimana meletakkan garis
keseimbangan yang adil antara hak dan kepentingan individu pasien (individual
rights dan individual interests).
Sedangkan etika penelitian (research ethics) membahas tentang bagaimana
memperlakukan pasien (termasuk kelompok pasien rentan seperti anak-anak,
wanita hamil, narapidana, dan pasien dengan kelainan jiwa) serta makhluk hewani
sebagai subjek penelitian, meliputi pula penelitian eksperimental.
Kesemuanya ini akan dibahas secara singkat pada bab-bab selanjutnya dari
buku ini sebagai pemicu guna mempelajari lebih dalam lagi.
Mengenai butir-butir dari hak asasi manusia yang terkait dengan bidang
kedokteran antara lain
1. Hak untuk hidup (the right to life).
2. Bebas dari diskriminasi (freedom from discrimination).
3. Bebas dari penyiksaan dan kekejaman (freedom from torture and
cruel).
4. Bebas dari pengobatan yang tidak manusiawi atau rendah mutunya
(freedom from inhuman or degrading treatment).
5. Bebas berpendapat dan mengungkapkan persaannya (freedom of
opinion and expression).
6. Hak yang sama untuk mengakses ke pelayanan public (the right to
equal access to public service).
7. Hak memperoleh layanan kesehatan (the right to medical care).
Malangnya, tidak semua warga dunia memahami hak asasi yang berkaitan
dengan layanan di bidang amalan perobatan disebabkan kebodohan dan
kemisinannya. Oleh karena itu pada tahun 1949 persatuan dokter sedunia (World
Medical Association) merasa perlu merumuskan suatu kode etik guna memastikan
agar tatasusila terjaga dengan baik dan citra profesi yang mulia tidak terjejas.
Intinya, kepada setiap profesional di bidang amalan perobatan diwajibkan
antara lain: tidak memanfaatkan superiotasnya bagi mendapatkan keuntungan
finansial semata, tidak berkongsi dengan peusahaan farmasi atau perusahaan lain
yang dapat membelenggu kebebasan profesional dalam mengambil keputusan,
serta tidak melakukan aborsi kecuali untuk kepentingan perobatan (seperti
menyelamatkan nyawa ibu hamil).
Selanjutnya pada tahun 1970 Persatuan Dokter Sedunia mengeluarkan
Deklarasi Oslo yang menggariskan bahwa aborsi dapat dilakukan sekirahnya
faedahnya (benefit)lebih besar ketimbang risikonya serta mendapat restu dari
masyarakat setempat. Deklarasi tersebut menyebabkan Sumpah Hippocrates
sebagai lambing etika perobatan terkikis menyusul sikap tokoh-tokoh masyarakat
yang berubah mengikuti angina perubahan.
Selepas perang dunia kedua, penelitian medis yang tidak manusiawi
dianggap sebagai sebuah kejahatan perang oleh pengadilan di Nurenberg. Namun
demikian, menyadari pentingnya penelitian medis bagi kemaslahatan masyarakat
dan ketertiban manusia sebagai subjek penelitian tidak bisa dihindari sama sekali
maka pengadilan Nurenberg pun mersa perlu memberikan pedoman umum
(general rules) bagi pelaksanaan penelitian medis agar tidak melanggar kaidah
etika dan hukum.
Pedoman umum dalam Nurenberg Code (1974) tersebut dapat diringkas
menjadi lima poin, yaitu:
1. Penelitian medis pada subjek manusia (human subjects) memerlukan
persetujuan sukarela (voluntary consent) dari yang bersangkutan.
2. Persetujuan harus diperoleh dari subjek secara bebas berdasarkan
keinginannya sendiri, tidak boleh ada paksaan, tipu-daya atau intimidasi.
Persetujuan tersebut hanya bisa diberikan setelah subjek diberi informasi
mengenai tujuan, metode dan risiko terduga (foreseeable risks) dari
penelitian tersebut.
3. Penelitian dapat dibenarkan jika eksperimen terhadap binatang telah
dilakukan.
4. Kemanfaatan atau keuntungan (benefits) harus lebih besar darapada risiko
terduga (foreseeable risks) dalam kaitannya dengan kontribusi kepada
masyarakat.
5. Subjek penelitian harus diberi kebebasan untuk sewaktu-waktu bisa
menghentikan keikut-sertaannya ketika penelitian sedang berlangsung.
Spirit dari Nurenberg Code sebenarnya telah tercermin dalam Deklarasi
Helsinski (1964), yang secara tegas mensyaratkan informed consent dari subjek
penelitian biomedis.
Mengenai pemanfaatan temuan dari penelitian yang diperoleh di
laboratorium untuk pengembangan pengetahuan ilmiah (humas advances
scientific knowledge) dianggap sangat penting bagi penyelamatan umat manusia
dari kesakitan dan penderitaan. Kendati penting, kontribusi kepada pengetahuan
ilmiah dan kontribusi kepada masyarakat tidak seharusnya lebih diutamakan
daripada kesejahteraan dan kemanfaatan (benefits) bagi individu peserta penelitian
(individual test subject).
Deklarasi Helsinski tersebut terus-menerus dilakukan revisi dan perbaikan
seperlunya, dan yang paling akhir dilakukan amandemen di kota Seoul dalam
tahun 2008.
Dibawah naungan Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun1994
dilakukanlah perundingan di kota Amsterdam mengenai hak-hak pasien
(European Consultation on the Rifhts of patients) yang dihadiri oleh 36 negara
anggota dari seluruh Eropa. Perundingan tersebut menghasilkan Deklarasi
Amsterdam guna lebih memantapkan lagi pentingnya menghormati hak-hak
pasien, utamanya hak pasien untuk membuat keputusan sehingga setiap upaya
medik yang dilaukan oleh dokter benar-benar merupakan hasil dari keputusan
bersama (a shared decision-making).
1. Kewajiban umum;
2. Kewajiban terhadap pasien;
3. Kewahjiban terhadap teman sejawat;
4. Kewajiban terhadap diri sendiri; dan
5. Penutup.
Melalui proses panjang dan berliku paada akhirnya Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia menetapkan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
baru, yang dikelompokkan menjadi:
1. Kewajiban Umum;
2. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien;
3. Kewaajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat; dan
4. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri.
Dari keempat kelompok tersebut kemudian dirumuskan menjadi 21 pasal,
yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dana tau janji dokter.
2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional
dalam ukuran yang tinggi.
3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
4. Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
5. Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya
dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
6. Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebebnarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat.
7. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
8. Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya memberikan
pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayaang (compassion) dan penghormatan
atas martabat manusia.
9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat
menangani pasien dia diketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan
10. Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya, dan
tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.
11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi
makhluk insani.
12. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-siosial-kultural pasiennya serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.
13. Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sectoral di
bidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling
menghormati.
14. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh
keilmuan dan keterampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas
persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter
yang mempunyai keahlian untuk itu.
15. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa
dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam
beribadat dana tau penyelesaian masalah pribadi lainnya.
16. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
17. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya.
18. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.
19. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya,
kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis.
20. Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
21. Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/ kesehatan.
Agar lebih mudah difahami dan diaplikasikan oleh setiap dokter yang
bekerja sebagai profesional maka dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
baru telah diberikan penejlasan pasal demi pasal walau sebenarnya penjelasan
menyangkut pasal-pasal dalam kode etik tersebut tidak perlu mengingat
penjelasan atau tafsiran itu tidak konsisten dengan penegrtian moral rules menurut
Michael Bayel.
Sayangnya lagi, kode etik tersebut hanya merumuskan kewajiban dokter
terhadap pasien (client) belaka dan belum merumuskan tentang kewajibannya
terhadap pesakit yang datang untuk berobat. Padahal kewajiban dokter seharusnya
sudah muncul ketika pesakit datang; antar lain wajib menerima mereka dengan
rasaa hormat sebagai insan bermartabat dan tidak boleh membeda-bedakan
mereka berdasaarkan latar-belakang politik, etnis, sosial, kesukuan, agama, dan
lain-lain.
Perlu ditambahkan bahwa kewajiban etik dan kewajiban hukum
merupakan dua hal yang berbeda. Kewajiban etik sudah muncul sejak pesakit
datang dan kewajiban hukum baru muncul setelah pesakit menjalin hubungan
terapetik dengan dokter, kecuali pesakit dalam keadaan emergensi. Maknanya,
status hukum pesakit berubah menjadi pasien (client) setelah dokter bersetuju
untuk mengobati pesakit yang datang mengingat hubungan terapetik dijalin diatas
asas konsensual. Jika dokter tidk bersetuju menerima pesakit yang datang berobat
maka hubungan terapetik tidak terjadi dan dengan sendirinya kewajiban hukum
tidak akan ada
Intinya, dari sisi etika dokter tidak boleh menolak pesakit tetapi dari sisi
hukum boleh sepanjang pesakit yang datang tidak dalam keadaan emergensi.
Bahkan Morris dan Moritz dalam bukunya “Doctor and patient and the law”,
mengatakan: “He may arbitrarily refuse to accept any person as a patient, even
though no other physician is available”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan, S., Setyo Trisnadi. 2016. Bioetika: Dari Filsafah Kedokteran
Sampai Ke Moral dan Etika. Semarang: Fakultas Kedokteran Unisula.
2. Wardhana, Made. 2016. Filsafat Kedokteran. Vaikuntha International
Publication.
3. Meliono. V.I. 2004. Paradigma Baru Dalam Dunia Pendidikan Ilmu Kedokteran:
Filsafat Ilmu Kedokteran. Universitas Indonesia: Ebers Papyrus Vol 10 No. 1
4. Helaluddin. 2018. Filsafat Moral. UIN Sultan Maulana Banten.
5. Marzuki. 2017. Etika Dan Moral Dalam Pembelajaran. Bahan Ajar.
Universitas Negeri Yogyakarta.
6. Rahman, A.A. 2010. Teori Perkembangan Moral Dan Model Pendidikan
Moral. Fakultas Psikologi Uin Sunan Gunung Djati Bandung. Psympathic,
2010, Vol. III, No.1: 37 – 44.
7. MUchson & Samsuri. 2013. Dasar – Dasar Pendidikan
Moral.Yogyakarta: Penerbit Ombak.
8. Dewantara A.W. 2017. Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian
Hidup Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
9. Bakhri, Syaiful. 2017. Filsafat, Etika Dan Hukum Dalam Profesi
Kedokteran. Universitas Muhammadiyah Jakarta.
10. Syamsiatun S., Nihayatul Wafiroh. 2013. Filsafat, Etika, dan Kearifan
Lokal untuk Konstruksi Moral Kebangsaan. Geneva: Globalethic.net.