Anda di halaman 1dari 34

KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFERAT

RS BHAYANGKARA FEBRUARI 2019


PROVINSI SULAWESI TENGGARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO

ETIKA DASAR, ETIKA TERAPAN, DAN ETIK PROFESIONAL

OLEH :

Adelfina Maretti Hana ( K1A1 12 073)


Grace Hanna Christian (K1A1 12 015)

PEMBIMBING :
DR. dr. Mauluddin M., S.Sos, SH, MH, M.Kes, Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RS BHAYANGKARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
ETIKA DASAR, ETIKA TERAPAN, DAN ETIK PROFESIONAL
Adelfina Maretti Hana, Grace Hanna Christian, Mauluddin Mansyur

A. PENDAHULUAN

Filsafah keodokteran adalah bidang kajian yang berusaha mengeksplorasi


isu-isu fundamental mengenai teori, riset, dan Pratik ilmu kesehatan, khususnya
mengenai topik metafisik dan epistemologik.
Sekurang-kurangnya ada dua alasan utama mengapa orang, entah sebagai
professional, atau ilmuwan, perlu memahami filsafah lebih dahulu sebelum
mempelajari etika.
Pertama, karena etika dari segi hakekat dan historisnya merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari filsafah. Dengan mempelajari filsafah lebih dahulu
maka orang,, selain akan menemukan pintu masuk yang tepat juga akan
memperoleh pengetahuan tentang sejarahnya (yang secara tidak langsung akan
menemukan pula benang merahnya) sehingga pemahaman mengenai etika
menjadi lebih utuh. Oleh sebab itu Aguste Comte, seorang filosof kondang aliran
positivism dari Perancis, berkata :“you can know little of any idea until you know
the history of that idea”.
Kedua, karena perannya sebagai seorang ilmuwan ataupun profesional
tidak mungkin dapat dipisahkan dari umat manusia beserta kehidupanya. Melihat
pendekatan filsafati maka diharapkan para ilmuwan dan profesional akan lebih
mampu memahami manusia secara utuh, baik sebagai subjek (individu pelaku)
atau objek (individu sasaran) sesuai hakekat dan essensinya masing-masing guna
mendapatkan orientasi dan arahan. Dengan memahami diri sebagai individu
pelaku maka ia akan mampu melaksanakan peran apapun dengan benar, dan
dengan memahami manusia lain sebagai individu sasaran ia juga akan dapat
memerlukan mereka secara benar pula.
Schneider (2005) misalnya seorang PhD di bidang biologi yang pernah
dirawat karena kanker , melalui bukunya “Patient From Hell”, mengeluhkan
prilaku dokter yang memperlakukan sebagai kumpulan angka-angka, bukan
sebagai pasien dengan kebutuhan spesifiknya masing-masing (tailored to the
patient’s specific needs). Setiap pasien dianggap sama (“statically average
patient”), diperlaku kan sama, serta diobati berdasarkan “medicine by the book”
atau “medicine by the numbers”. Pasien diibaratkan sebagai kumpulan angka-
angka dan hanya terhadap angka yang menyimpang sajalah yang akan dikoreksi.
Selain itu, upaya penyembuhannya pun (curing) acapkali diberikan secara
berkepanjangan meski sebenarnya upaya tersebut sudah tidak lagi diperlukan
karena sudah bersifat mubazir (futile).
Dalam situasi yang ditandai oleh kemajuan yang amat pesat di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi (sebagai akibat peningkatan kegiatan riset, termasuk
riset terhadap manusia) mestinya pemahaman mengenai filsafah menjadi lebih
diperlukan lagi. Barangkali karena alasan inilah William Barrett dalam bukunya
“The Illusion of Technique”, sebagaimana dikutip oleh Titus dan kawan-kawan
dalam bukunya “ Living Issues in Phylosophy”, menyatakan bahwa untuk masa-
masa sekarang ini seharusnya lebih dari masa lalu, yaitu perlu menempatkan
kembali seluruh gagasan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam
jalinan baru dengan kehidupan umat manusia. Beliau mengingatkan agar filsafah
modern memberikan respon yang memadai atas kemajuan tersebut, atau kalua
tidak,maka umat manusia akan kehilangan tujuan, arahan dan kebebasan secara
permanen.

B. ETIKA DASAR

Etika Dasar atau basic ethics merupakan studi yang membahas dasar-dasar
etika secara umum, untuk dipakai sebagai landasan bagi memahami lebih jauh
isu-isu etika berkenaan dengan bidang-bidang spesifik. Didalamnya mengandung
teori etika (ethical theory), cara-cara pembuataan keputusan etik (ethical decision
making), dan model-model pembuatan keputusan etik (ethical decision making
model).
Tanpa memahami etika dasar lebih dahulu maka orang (meliputi pula para
profesional) akan mendapat kesulitan dalam menyelesaikan problem kehidupan,
yang pada hakekatnya merupakan problem etika.
Untuk memahami bioetika (etika terhadap kehidupan) misalnya, etika
dasar juga diperlukan untuk mengetahui akar moralnya (moral roots) dari bioetika
serta untuk memberikan landasan bagi bioetika dalam penentuan kebijakan
moralnya (moral judgment).

1. TEORI ETIKA
Teori etika merupakan sebuah system untuk menyelesaikan dilemma etik,
yaitu situasi yang memerlukan keputusan dari dua alternatif yang sama-sama tidak
menyenangkan atau saling bertentangan. Dilema tersebut banyak dijumpai dalam
pelayanan kesehatan sehari-haridan seringkali para profesional di bidang
kesehatan dan amalan perobatan tidak dapat menemukan jawaban yang tegas.
Maka tidaklah salah jika ada maxim yang menyatakan bahwa dalam etika akan
lebih banyak dijumpai pertanyaan daripada jawabannya.
Teori etika mencakup keyakinan-keyakinan dasar tentang apa yang secara
moral benar atau salah serta memberikan pertimbangan untuk mempertahankan
keyakinan tersebut. Ia menyediakan caraa-cara pembuatan keputusan dengan
menunjukkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan keputusan serta
prinsip-prinsip moral yang harus dipertimbangkan. Teori etika juga menyediakan
dasar-dasar bagi penyusunan Kode Etik sesuatu profesi, disamping menawarkan
berbagai macam model dalam pembuatan keputusan etik (berupa peta jalan yang
menunjukkan langkah-langkah yang mesti ditempu).
Dalam buku ini hanya akan dibahas secara singkat beberapa teori etika;
antara lain deontology, teleologi, egoism, obligationism, dan social contract
theory.

a. Teori Deontologi
Deontologi berasal dari dua buah kata, yaitu ‘deon’ yang artinya
kewajiban atau ikatan dan ‘logos’ yang berarti ilmu. Disebut demikian karena ia
merupakan sebuah cara pengambilan keputusan etik dengan mengacu pada adanya
kewajiban yang telah ditetapkan lebih dahulu berdasarkan prinsip-prinsip yang
tetap dan absolut (unchanging an absolute principles) yang merupakan inti dari
nilai agama-agama besar. Karena menekankan pada kewajiban terhadap orang
lain maka teori ini dinilai paling baik diterima sebagai teori pembuatan keputusan
di bidang layanan kesehatan dan perobatan.
Dalam teori deontologi, penentuan tentang benar-salahnya suatu
perbuatan/ tindakan didasarkan pada kualitas dari perbuatan/tindakan tersebut,
bukan pada konsekuensi atau akibatnya. Prinsip dasarnya dimaksudkan untuk
menjamin kelestarian spesies dengan memberikan seperangkat kewajiban
terhadap orang lain.
Ide kunci dari teori deontologi adalah sebagai berikut:
a. Bahwa deontology didasarkan atas prinsip yang tepat dan absolut
(unchanging and absolut principles) yang berasal dari nilai-nilai
universal agama-agama besar.
b. Bahwa prinsip dasarnya adalah untuk menjamin kelangsungn hidup
spesies dengan menetapkan suatu tugas atau kewajiban seseorang
terhadap orang lain.
c. Bahwa tindakan apapun yang sesuai dengan tugas atau kewajiban
(yang telah ditetapkan lebih dahulu) dianggap benar, sedangkan yang
berseberangan dengannya dianggap salah.
Kelemahan teori deontologi terletak pada dua hal; yaitu pertama pada
penetapan tugas dan kewajiban (yang mungkin saja dapat menimbulkan konflik
tersendiri), dan kedua pada pemecahan mengenai kewajiban mana yang
seharusnya didahulukan. Dipertanyakan pula tentang asal-muasal timbulnya tugas
dan kewajiban, misalnya tentang siapa yang harus mengidentifikasi dan
menetapkannya. Meski dikatakan lebih dapat diterima dalam bidang pelayanan
kesehatan namun teori ini dinilia tidak fleksibel.
b. Teori Teleologi
Teleologi berasal dari kata ‘telos’ yang maknanya adalah tujuan akhir dan
‘logos’ yang maknanya ilmu. Teori ini menawarkan cara pengambilan keputusan
etik dengan menetapkan benar dan salah suatu perbuatan didasarkan pada akibat
dari perbuatan tersebut. Oleh sebab itu perlu dilihat lebih dahulu situasinya dan
kemudian dikalkulasi baik buruknya, sehingga teori ini seringkali disebut
situation-ethics atau calculus morality.
Prinsip dasarnya adalah manfaat (utility), yang menetapkan berguna
tidaknya suatu perbuatan dilihat dari akibatnya. Perbuatan yang benar (right)
adalah yang menghasilkan maslahat (kebaikan), sementara perbuatan yang salah
adalah yang akan mendatangkan mudarat (kerugian).
Ide kuncinya adalah bahwa baik (good) didefinisikan sebagai kebahagiaan
atau kesenangan sehingga tindakan apapun baru bisa dikatakan benar manakala
dapat membawa kemaslahatan sebesar-besarnya dan kemudaratan sekecil-
kecilnya.
Teori teleology tidak memiliki prinsip-prinsip yang kaku, kode etik,
kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan tertentu untuk menyelesaikan situasi
spesifik. Asumsi dasarnya adalah bahwa baik dan buruk (good and harm) dapat
dikalkulasi seperti layaknya formula matematika sehingga seseorang (termasuk
profesional) akan dapat menilai sendiri tingkat baik dan buruknya dari sesuatu
kasus spesifik.
Pembuat keputusan dapat mempertimbangkan tindakannya untuk
kesejahteraan umum sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang saat
menghadapi situasi yang sama.
Kekurangan dari teori teleologi adalah karena ia lebih memantu
tercapainya kebahagiaan maksimum bagi segelintir orang dari pada kebanyakan
orang. Karena prinsip dasarnya adalah manfaat (utility) maka orang dapat
mengalami konflik yang tidak terselesaikan ketika sedang menentukan benar dan
salahnya sesuatu tindakan.
Pertanyaan yang muncul ialah, tindakan mana yang lebih menghasilkan
kebaikan sebesar-besarnya dan kerugian sekecil-kecilnya, sebab mengukur
kebaikan relatif dan kerugian relatif dari suatu tindakan sangat sulit atau banhkan
seringkali tidak mungkin. Tambahan lagi bahwa penentuan ‘the greatest good’
sangat subjektif dan seringkali menghasilkan inkonsistensi keputusan. Oleh
sementara ahli teori teleologi dinilai cenderung mengabaikan hak dan kebutuhan
individu.

c. Teori Egoisme
Teori egoisme adalah teori pengambilan keputusan yang
mempertimbangkan kepentingan dan perlindungan bagi diri sendiri sebagai satu-
satunya tujuan yang tepat dari tindakan manusia. Ia didasarkan pada
kecenderungan bawaan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri.
Ide kunci dari teori egoism didasarkan pada prinsip bahwa satu-satunya
keputusan yang benar adalah yang mampu memaksimalkan kesenangan bagi si
pembuat keputusan. Sesuatu dianggap baik dan benar jika invidu yang
bersangkutan menginginkannya. Pengambil keputusan dalam dilemma etik
membuat keputusan berdasarkan kenyamanan pribadi.
Keterbatasan dari egoism tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip moral
atau aturan diluar dirinya. Selain itu, inkonsistensi bisa muncul dari satu
keputusan ke keputusan berikutnya atau bahkan dalam situasi yang sama.
Kekacauan social dapat terjadi ketika individu bertindak semata-mata untuk
kepentingan diri mereka sendiri.
Karena tidak mempertimbangkan hak-hak orang lain, maka teori egoism
tidak dapat diterima bagi sebagian besar keputusan yang melibatkan situasi etis
dalam pelayanan kesehatan.

d. Teori Obligasionisme
Teori obligasionisme adalah teori pengambilan keputusan etis yang
mencoba menyelesaikan dilemma etik dengan menyeimbangkan keaadilan
distributive (membagi secaraa merata di antara semua warga negara) dengan
kebaikan (berbuat baik dan tidak membahayakan).
Teori ini utamanya ditujukan bagi kebijakan publik untuk mendorong
mereka memilih tindakan yang terbaik bagi semua warganya.
Ide kunci dari teori obligasionisme adalah bahwa pembuat keputusan harus
mampu mencegah atau menghilangkan apa yang berbahaya dan bersifat jahat.
Kebaikan dan tanggungjawab harus didistribusikan secara merata keseluruh
anggota masyarakat sehingga semua orang harus diperlakukan sesuai dengan
manfaat dan kebutuhan mereka.
Keterbatasan teori ini ialah bahwa kedua prinsip dasarnya (yaitu keadilan
dan kebaikan) mungkin menimbulkan konflik dalam situasi tertentu.
Teori obligasionisme memang bisa berguna banyak bagi penetuan
kebijakan publik tetapi tidak demikian halnya bagi pembuatan keputusan yang
akan mempengaruhi seseorang. Selain itu, teori ini memberikan sedikit panduan
untuk memecahkan dilemma etik spesifik yang dihadapi oleh pemberi pelayanan
di bidang kesehatan.

e. Teori Kontrak Sosial


Teori kontrak sosial (social contract theory)didasarkan pada konsep
original position. Dalam teori ini, orang-orang yang tidak beruntung dalam
masyarakat (seperti anak-anak, orang cacat, dan kelompok rentan lainnya) tetap
harus dipertimbangkan. Apakah tindakan itu benar atau salah ditentukan
normanya dari sudut pandang tersebut.
Ide kunci dari teori kontrak social didasarkan pada prinsip keadilan
distributif. Hal-hal mendasar (seperti pendapatan, kekayaan, kebebasan,
kesempatan, dan harga diri) harus didistribusikan secara merata.
Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebebasan yang
sebesar-besarnya.
Kesenjangan social harus dihilangkan dengan memberikan paling banyak
kepada yang tidak beruntung.
Keterbatasan dari teori ini ialah kurangnya pedoman bagi pembuatan
keputusan sehari-hari dalam layanan kesehatan. Disamping itu, kesenjangan social
itu sendiri tidak mungkin untuk menghilangkan.
2. PEMBUATAN KEPUTUSAN ETIK
Sebagai introduksi perlu dijelaskan lebih dahulu mengenai beberapa hal
penting, antara lain:
1. bahwa pembuatan keputusan atas dilemma etik dipengaruhi oleh banyak
faktor.
2. bahwa sejalan dengan perubahan dunia maka banyak dilemma baru
muncul, sementara dilema lama tetap eksis
3. bahwa salah satu perubahan terbesar dunia sekarang ini adalah kemajuan
di bidang ilmu dan teknologi, utamanya dalaam bidang pelayanan
kesehatan dan amalan perobatan, yang sering meninggalkan jauh
dibelakang kemampuan etika dan hukum dalam mengatasi problem yang
ditinggalkan oleh kemajuan itu.
Utamanya para profesional, harus mampu untuk:
a. Mengidentifikasi faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi
pembuatan keputusan, yaitu:
 faktor sosio-budaya (socio-cultural factors);
 faktor kemajuan ilmu dan teknologi (scientific and technological
advances);
 faktor isu-isu hukum (legal issues)
 faktor perubahan status pekerja dibidang kesehatan dan amalan perobatan
(changes in the occupational ststus of health care workers); dan
 faktor keterlibatan komsumen dalam pelayanan kesehatan (consumer
involvement in health care).
b. Mengaplikasikan keempat prinsip moral (the four moral principles) dalam
setiap pembuatan keputusan
Menurut Beauchamp and Childress (1983) keempat prinsip moral tersebut
terdiri dari:
a. beneficence;
b. nonmaleficence
c. autonomy; dan
d. justice
Sedangkan menurut Catalano, keempat prinsip moral tersebut meliputi:
a. beneficence;
b. fidelity;
c. autonomy; dan
d. justice
Prinsip beneficence merujuk pada kewajiban untuk berbuat baik (the
principle of doing good). Dengan prinsip ini maka setiap bentuk perbuatan,
termasuk layanan kesehatan dan perobatan, selayaknya dilakukan untuk
memaksimalkan keuntungan bagi individu dan masyarakat.
Menurut Oxford English Dictionary, terminology beneficence diartikan
sebagai perbuatan yang baik yang merukan penjelmaan dari kebajikan atau
kebaikan (benevolence atau kindly feeling).Terminologi beneficence itu sendiri
berasal dar Bahasa latin bene (well; from bonus, good) dan facere (to do) dimana
kebaikan atau kebajikan (benevolence) berakar pada bene dan volens (a strong
wish or intention). Para filosof (yang lebih menekankan pada pendekatan rasional
dan kalkulasi) cenderung memilih beneficence. Sedangkan mereka yang lebih
melihat etika (utamanya dalam kaitannya dengan kebajikan), watak (character)
dan dimensi-dimensi psikologik dari moral life lebih cenderung memilih
benevolence.
David Hume misalnya, menempatkan benevolence sebagai naluri yang
melekat pada manusia sejak awal. Namun Joseph Butler, Francis Hutcheson,
Adam Smith dan filosof lain dari Inggris abad XIX menanggap Hume tidak
banyak mengaitkan dengan penyelesaian problem etik, misalnya mengaitkan
dengan diskripsi peran dan tempat benevolence dalam pemetaan moralitas
manusia (moral topography of human beings).
Adam Smith menggunakan terminologi beneficence tetapi penggunaanya
untuk menggambarkan sifat dari kemauan baik sertaa menunjukkan semangat
moral, bukan prinsip moral.
Kesimpulannya, bahwa prinsip beneficence dapat didefinisikan secara luas
dan sempit. William Frankena misalnya, mendefinisikan beneficence secara luas,
yaitu sebagai prinsip yang didalamnya mengandung elemen pengekangan
terhadap perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian, pencegahan dan pelepasan
terhadap perbuatan buruk, serta elemen peningkatan terhadap kebaikan. Walau
James Childress mengadopsi elemen-elemen beneficence dari Frankena namun ia
mengklasifikasi kembali menjadi dua prinsip yang berbeda, yaitu prinip
beneficence dan prinsip nonmaleficence.
Prinsip nonmaleficence menghendaki agar setiap perbuatan (meliputi
tindakan di bidang kesehatan dan perobatan) tidak seharusnya merugikan individu
dimana perbuatan itu dilakukan. Prinsip ini diturunkan dari Sumpah Hippocrates
“first, do no harm”. Bahwa Catalano tidak mencantumkan prinsip ini
(sebagaimana yang dilakukan Beauchamp dan Childress) karena ia lebih bersetuju
dengan pemikiran William Frankena, bahwa prinsip nonmalefinance sudah tersirat
dalam prinsip beneficence sehingga tidak perlu dijadikan prinsip tersendiri.
Namun beliau kemudian memasukkan fidelity sebagaai prinsip moral, yang pada
intinya mewajibkan setiap profesional untuk menunjukkan iktikat baik, kejujuran,
kepatuhan dan kesetiaan terhadap tanggung jawab yang diembannya. Prinsip ini
dinilai olehnya sebagai elemen kunci dari akuntabilitas.
Prinsip autonomy merujuk pada adanya hak individu untuk membuat
keputusan menyangkut kepentingannya sendiri. Prinsip ini dimaksdukan untuk
menghormati maruah manusia (human dignity) serta untuk mempercayai bahwa
seseorang mempunyai kemampuan membuat keputusan yang baik. Namun dalam
kaitannya dengan pasien, prinsip autonomy punya batas dan tidak boleh
menerabas otonomi profesional disebabkan para profesional juga memiliki
professional autonomy yang pada batas tertentu tidak boleh diterabas oleh
otonomi pasien. Perlu difahami bahwa prinsip autonomy ini sesungguhnya
merupakan bentuk yang berlawanan (opposite) dari paternalism.
Dalam kaitannya dengan pasien, autonomy berarti hak pasien untuk
membuat keputusan atas layanan kesehatan yang direncanakan dokter ( the right
to make decisions about one’s health care). Dengan hak tersebut tidak berarti
pasien bebas meminta layanan kesehatan menurut keinginannya. Atas dasar itulah
otonomi pasien mesti dikendalikan dan dibatasi oleh prinsip-prinsip moral lainnya
(seperti beneficence dan non-maleficence) serta oleh otonomi profesional.
Jika misalnya pasien menginginkan persalinan lewat operasi Cesar maka
keinginan (yang merupakan bagian dari otonominya) perlu dipertimbangkan
masak-masak (dari segi benefit and risk) manakala tidak ditemukan adanya
indikasi medis untuk operasi. Memang ada banyak kelebihannya, namun operasi
Cesar memiliki risiko potensial yang bisa merugikan ibu dan janinnya akibat
tindakan operasi dan anestesi, kecuali kelak ada kajian ilmiah (evidence based
medicine) yang membuktikan operasi Cesar lebih menguntungkan dari persalinan
normal. Oleh sebab itu dalam merespon otonomi pasien mesti berhati-hati dan
mengaitkannya dengan prinsip justice, yaitu apakah benefits dan risks-nya
sepadan.
Prinsip justice (as a fairness maupun as a distributive justice) merujuk
pada adanya kewajiban atau perlakuan yang adil kepada setiap orang. Prinsip ini
juga mencerminkan adanya penghormatan terhadap hak-hak individu, hanya saja,
hak-hak seseorang menjadi terbatas manakala melanggar hak-hak orang lain.
Selain itu, prinsip ini menghendaki agar setiap keputusan senantiasa
mempertimbangkan benefits dan risks.

3. MEDIA PERUMUSAN NILAI DAN NORMA


Nilai-nilai dan norma-norma etika dapat dirumuskan dalam berbagai
media, antara lain: sumpah, Kode Etik, dan deklarasi.
Sumpah atau janji berasal dari Bahasa latin, yaitu professio,yang
kemudian dari kata itu muncullah terminology profesi, profesional (pengemban
profesi), dan profesionalisme (sifat profesional).
Pada awalnya sumpah dokter diucapkan oleh pengikut-pengikut
Pythagoras yang meraasa muak melihat praktek kedokteran pada maa itu
disebabkan para dokter lebih suka melakukan eutanasia dengan memberikan racun
ketika mendapatkan kesulitan dalam mengupayakan kesembuhan pasien, tidak
menghormati hidup insani dengan melakukan aborsi, menipu pasien serta
membocorkan rahasia kedokteran. Prilaku dokter yang demikian itu
mengakibatkan lunturnya kepercayaan masyarakaat terhadap profesi amalan
perobatan. Guna merebut kembali kepercayaan masyarakat (public trust) yang
telah luntur itu pengikut Phytagoras menyatakan sumpahnya.
Sumpah itu sendiri dalam Bahasa latin disebut ‘professio’. Dari kosa kata
itu kemudian muncul istilah profession (pekerjaan yang diawali dengan
mengucapkan sumpah serta memiliki ciri spesifik), professional (individu
memangku profesi), dan professionalism (ciri dari sesuatu pelaksanaan
pekerjaan/tugas seperti yang dilakukan oleh seoarang professional, yaitu by head,
by hand, by heart). Tidaklah disebut professionalism jika sesuatu pekerjaan atau
tugas dilaksanakan dengan tidak berlandaskan paada ilmu pengetahuan,
keterampilan dan attitude.
Meski sumpah pengikut Phytagoras tersebut lebih layak disebut
‘Manifesto Phytagorean’, namun entah karena Hippocrates juga telah memberikan
kontribusinya dalam merumuskan bunyi sumpah itu atau karena adanya keinginan
memberikan penghormatan kepada beliau sebagai bapak ilmu kedokteran modern
maka sumpah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ‘sumpah Hippocrates’.
Sekarang sumpah profesi sudah menjadi kelaziman bagi setiap orang
sebelum memulai keprofesiannya sebagai dokter, perawat, bidan atau nama
Dewa-Dewi pelindung umat manusia, namun sekarang diucapkan atas nama tuhan
yang maha esa. Demikian pula halnya dengan sumpah untuk profesi lain. Sumpah
seperti ini akan memberikan kesadaran terhadap tanggung jawab, bahwa setiap
profesional merupakan alat tuhan di dunia untuk menciptakan ‘rahmatan lil
alamin’ (instrument of god’s mercy on earth).
Begitu pentingnya sumpah tersebut sehingga pemerintah merasa perlu
untuk mengaturnya, misalnya ‘sumpah dokter indonesia’ yang diatur dalam
peraturan pemerintah.
Nilai dan norma juga dapat dirumuskan dalam bentuk Kode Etik, yang
pada hakekatnya merupakan daftar tertulis (written list) dari semua kaidah moral
(moral rules) untuk dipakai sebagai pedoman berperilaku. Mengingat pemangku
profesi menguasai cabang ilmu (body of knowledge) yang tidak dimengerti oleh
pasien(client) maka pasien merupakan kelompok rentan( vulnerable group) yang
harus dilindungi. Kaitannya dengan kelompok rentan inilah kode etik menjadi
penting bagi para dokter sebagai pengendali (self control) agar mereka tidak
menggunakan superioritasnya secara patut.
Umurnya sekarang tiap-tiap profesi mempunyai kode etik tersendiri:
antara lain kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI), kode etik kebidanan, kode
etik keperawatan, dan lain sebagainya.
Mengenai media deklarasi perlu dijelaskan bahwa dalam masalah penting
yang berkaitan dengan aspek tertentu dari kehidupan umat manusia perlu ada
kesepakatan sesuai dengan ajaran dalam etika diskursus. Dalam masalah
penelitian yang melibatkan manusia sebagai subjek misalnya, perlu dirumuskan
kesepakatan untuk menghindari terulangnya penelitian model zaman Nazi yang
tidak mengindahkan martabat manusia, moral, etika, dan hak asasi manusia. Itulah
latar belakang dibuatnya Declaration of Helsinki yang kemudian direvisi pada
tahun 1975, dan deklarasi-deklarasi lainnya.

4. BENTUK RUMUSAN NILAI DAN NORMA


Sebagaimana diuraikan di bagian depan bahwa nilai dan norma etika dapat
dirumuskan dalam bentuk, yaitu: prinsip/ asas, standar, dan aturan/kaidah.
Mengenai aturan/kaidah akan dikomplikasikan menjadi kode etik.
Masing-masing bentuk tersebut memiliki sifat dan fungsi berbeda. Prinsip/
asas berfungsi sebagai acuan dasar dalam penyusunan standard an moral rules,
standar sebagai tola ukur (parameter), dan moral rules sebagai pedoman praktiks
bagi sikap dan prilaku spesifik.
Prinsip lebi kokoh kedudukannya dan tidak mudah dipengaruhi oleh
perubahan, sedangkan moral rules sangat dinamis serta dipengaruhi oleh
perubahan masyarakat dan profesi. Oleh sebab itu moral rules yang tertuang
dalam kode etik akan selalu dilakukan penyusuaian menyusul perubahan yang
terjadi dalam masyarakat dan profesi.

5. MODEL PEMBUATAN KEPUTUSAN ETIK


Sebetulnya ada banyak model yang ditawarkan oleh para ahli dalam
pembuatan keputusan etik (ethical decision making model), namun dalam buku ini
hanya akan dibahas sebuah model yang diperkenalkan oleh Johnstone.
Beliau menganjurkan agar problem moral diselesaikan dengan
menggunakan pendekatan lima langkah, yaitu:
a. Menilai situasinya (assessing the situation)
b. Mengenali dan menentukan problem moralnya (diagnosing or identifiying
the moral prolem)
c. Menetapkan tujuan serta merancang tindakan yang sesuai (setting moral
goals and planning an appropriate)
d. Melaksanakan tindakan yang telah dirancang (immplementating the moral
plan of action)
e. Mengevaluasi hasilnya(evaluating the moral outcomes of action
implementating)
untuk lebih memahami model pendekatan lima langkah dari johnstone tersebut
perlu diberikan contoh kasus sebagai berikut: Seorang perempuan muda yang
sedang hamil dua bulan datang ke bagian bedah sebuah rumah sakit dikotanya
untuk memeriksakan benjolan pada payudaranya. Dalam pemeriksaan ternyata
benjolan tersebut merupakan kanker payudara yang masih mungkin dioperasi
(operable). Tindakan medis apakah yang menurut etika pantas atau dapat
dibenarkan?
Langkah pertama adalah menilai situasinya, bahwa perempuan tersebut
mengidap kanker payudara yang sangat berbahaya dan belum ada obatnya selain
operasi yang kemudian diikuti program penyinaran dan radioaktif atau
kemoterapi. Masalahnya perempuan tersebut sedang hamil dua bulan sehingga
tindakan operasi payudara akan dapat membahayakan janin yang dikandungnya,
disamping operasinya sendiri juga mangandung resiko potensial. Sebagaimana
diketahui bahwa sinar radioaktif dan kemoterapi dapat mengganggu pertumbuhan
janin selanjutnyaserta menyebabkan gen mengalami mutasi sehingga berpotensi
menjadi kanker.
Langka kedua adalah mengenali problem moralnya. Pertama, apakah etis
menunda operasi dan penyinaran atau kemoterapi sampai pasien melahirkan
mengingat konsekuensinya yang sama artinya dengan memberikan kesempatan
tujuh bulan lamanya kepada sel-sel kanker untuk berkembang dan mengancam
kesehatan perempuan itu? Kedua, apakah etis jika operasi dan penyinaran atau
pemberian kemoterapi dilakukan segera, yang konsekuensinya berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan yan serius pada janin sehingga menyulitkan
kehidupannya kelak? Ketiga, apakah etis jika kehamilannya diterminasi lebih
dahulu sebelum mengatasi penyakit kankernya?
Jawabannya sudah pasti bahwa ketiga alternatif tersebut diatas sebenarnya
bertentangan dengan moral. Namun dokter harus memilih alternatif yang dapat
dibenarkan dari sudut etika.
Langkah ketiga adalah menetapkan tujuan dan merancang tindakan terbaik
yang dibenarkan menurut etika. Pada langkah inilah ketiga pandangan mora diatas
dikritisi, dianalisis secara sistematis dan rasional untuk kemudian ditetapkan
jastifikasinya. Untuk itulah dokter harus mempertimbangkannya maslahat
(kebaikan) dan mafsadah(kerugian) dari tindakannya. Sudah pasti tidak mudah
sebab teori etika (termasuk etika klinik yang akan dibahas bagian belakang) harus
diaplikasikan pada moral, namun tidak semua tindakan yang bertentangan dengan
moralitas dikategorikan sebagai tindakan tidak etis.
Konkritnya, prinsip beneficence dan nonmaleficence perlu dijadikan
landasan utama (prima facie) dengan menimbang-nimbang benefit and risk dari
tiap-tiap pilihan tindakan yang ada. Prinsipautonomy yang memberikan hak
kepada pasien untuk menjatuhkan pilihannya juga perlu diperhitungkan walau
pilihan pasien tersebut dapat bersifat bias disebabkan mereka tidak memahami
ilmu kedokteran. Patut pula dipertimbangkan apakah keputusan pasien tersebut
telah menggunakan standar yang dapat dipertanggung jawabkan dari sisi ilmu
kedokteran. Oleh sebab itulah komunikasi efektif dengan pihak pasien harus
dikembangkan dengan berlandakan pada kejujuran dan itikad baik (utmostof good
faith).
Prinsip justice juga tidak boleh dilupakan dengan mempertanyakan apakah
tindakan yang dipilih merupakan tindakan yang juga diterapkan kepada pasien
lain yang sama kondisi dan problem moralnya.
Langkah keempat adalah mengimplementasikan pilihan tindakan yang
telah ditetapkan dan direncanakan tersebut.
Langkah kelima dan terakhir adalah mengevaluasi hasil dari apa yang telah
diimplementasikan. Langkah ini menjadi penting untuk dijadikan umpan balik
bagi dokter sebagai pertimbangan dalam beberapa kasus yang keputusan kliniknya
berupa terminasi kehamilan misalnya, seringakali pasien merasa berdosa dan
depresi karena ikut menyetujui tindakan terminasi. Atas dasar inilah sebaiknya
keputusan klinik dilaksanakan dengan melibatkan ahli agama, psikologi, dan
bahkan ali hukum sebagaimana diamanatkan oleh UU Kesehatan No. 36 Th.
2009).

C. ETIKA TERAPAN
Etika terapan atau applied ethics merupakan etika yang membahas aplikasi
etika dasar kedalam bidang-bidang khusus dari kehidupan.
Mengingat banyaknya bidang aplikasi dan bahkan masing-masing bidang
tersebut masih dapat dirinci lagi cabang-cabangnya maka etika terapan menjadi
banyak sekali jenisnya, yang rinciannya tergantung dari perspektif masing-masing
ahli yang merincinya. Namun dalam buku ini hanya akkan dibahas beberapa jenis
saja, utamnya yang berkaitan dengan bidang kehidupan, kesehatan dan amalan
perobatan; atau dengan kata lain membahas tentang bioetika dan etika biomedik.
Bioetika itu sendiri membahas prilaku terhadap makhluk hidup beserta
kehidupannya. Sedangkan etika biomedik (biomedical ethics) membahas etika
profesi, etika klinik (clinical ethics), etika kesehatan masyarakat (research ethics);
yang sebenarnya merupakan bagian dari bioetika juga.
Etika profesi membahas tentang bagaimana dokter, sebagai pemangku
profesi luhur (noble profession) berprilaku etis kaitannya dengan:
a. pesakit yang datang untuk berobat, sebab pada tahapan ini
kewajiban dokter sudah muncul;
b. pasien atau klien (pesakit yang telan menjalin hubungan terapetik
dengan dokter);
c. sejawat (healthcare team dan coworkers)
d. masyarakat; dan
e. profesinya sendiri.
Etika klinik membahas tentang bagaimana pembuatan keputusan moral
atau etikal sehari-hari terhadap pasien dalam kedokteran klinik (the day to day
moraldecisionmaking).
Etika kesehatan masyarakat (public health ethics) membahas tentang
bagaimana cara memperlakukan pasien secara etis dengan mempertimbangkan
aspek kesehatan masyarakat, yang pada intinya bagaimana meletakkan garis
keseimbangan yang adil antara hak dan kepentingan individu pasien (individual
rights dan individual interests).
Sedangkan etika penelitian (research ethics) membahas tentang bagaimana
memperlakukan pasien (termasuk kelompok pasien rentan seperti anak-anak,
wanita hamil, narapidana, dan pasien dengan kelainan jiwa) serta makhluk hewani
sebagai subjek penelitian, meliputi pula penelitian eksperimental.
Kesemuanya ini akan dibahas secara singkat pada bab-bab selanjutnya dari
buku ini sebagai pemicu guna mempelajari lebih dalam lagi.

D. ETIK PROFESIONAL KEDOKTERAN


Profesi kedokteran (profesi amalan perobatan) merupakan sebuah profesi
yang luhur (noble profession), sebab dalam pengabdiannya lebih mengutamakan
kepentingan orang lain dan masyarkat (altruistic). Disebabkan itulah maka salah
seorang penulis masalah-masalah etika dari Edinburgh (1772) menganjurkan agar
profesi yang luhur tersebut dipercayakan hanya kepada orang-orang terhomat,
sopan, dan memiliki jiwa paternalistik.
Profesi itu sendiri menurut Charaka Samhita, seorang dokter pengembara
dari benua India yang hidup empat ratus tahun sebelum masehi, merupakan
sebuah pekerjaan yang dicirikan memiliki:
1. Knowledge;
2. Cleverness;
3. Devotion; dan
4.Purity (physic and mind).

Knowledge merupaka ciri terpenting dari profesi disebabkan knowledge


inilah yang akan membimbing para profesional (seperti: dokter, dokter gigi,
perwat, dan bidan) menuju ke suatu tingkat kompetensi dan norma tertentu
sehingga mereka mampu melaksanakan tugas dan pengabdiannya dengan baik dan
benar. Sudah barang tentu knowledge yang dipersyaratkan pada zaman Caraka
Samhita itu adalah pengetahuan tentang tetumbuhan (herbal) dan bahan-bahan
dari hewan yang berkhasiat sebagai obat.
Cleverness merupakan ciri penting lainnya dari profesi di bidang amalan
perobatan sebab dalam mengatasi berbagai macam problem kesehatan diperlukan
kecerdasan, keterampilan, dan kecekatan.
Devotion juga merupakan ciri profesi yang tidak kalah penting, dan ia
diperlukan sebab dengan pengabdian yang tulus atas dasar kemanusiaan maka
para profesional di bidang amalan perobatan akan memperoleh orientasi dan
arahan dalam melaksanakan pengabdiannya.
Purity (physic and mind) merupakan ciri terakhir yang dipersyaratkan oleh
profesi, sebab dengan penampilan fisik yang bersih (yang melambangkan
kesucian) disertai jiwa yang jernih (yang melambangkan keikhlasan) maka pasien
dan masyarakat akan menaruh kepercayaan.
Menurut Potter dan Perry (2001), profesi digambarkan sebagai sebuah
pekerjaan dengan ciri sebagai berikut:
1. Memerlukan pendidikan berkelanjutan (extended education); yaitu
keharusan belajar terus-menerus agar para profesional dapat mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (obat, metode, teknologi,
dan sistem).
2. Menguasai cabang ilmu (body of knowledge); yaitu ilmu pengetahuan yang
akan menuntun para pengamal perobatan menuju ke tingkat kompetensi
dan norma tertentu sehingga mampu melaksanakan pekerjaannya dengan
baik dan benar;
3. Memberikan layanan khas (specific service); sebab yang dilayani adalah
manusia yang unuk yang memiliki harkat dan martabat, hak-hak (termasuk
hak asasi manusia), serta memiliki nilai dan kebutuhan sendiri-sendiri.
4. Memiliki kemandirian (autonomy); yaitu kebebasan dalam bertindak,
meliputi pembuatan keputusan (decision) dan pelaksanaannya (execution)
ketika melakukan sesuatu amalan perobataan.
5. Memiliki kode etik (a code of ethics for practice); yaitu daftar ketentuan
tertulis berisi kaidah (written list of moral rules)yang akan membimbing
dan sekaligus mengawal prilaku profesional di bidang amalan perobatan
serta dapat dijadikan acuan praktis dalam menyelesaikan problem etika.
Intinya, professi dibedakan dari okupasi (pekerjaan pada umumnya)
disebabkan ia memiliki ciri khas. Jik okupasi tidak memerlukan persyaratan
khusus maka profesi mensyaratkan adanya kecakapan atau kompetensi (“the
condition of being capable”) sebagai persyaratan agar mampu melaksanakan
tugas dan peran (“the capacity to perform task and role”) dengan baik dan benar
sebagai pengemban profesi.
Kaitannya dengan profesi di bidang amalan perobatan maka kompetensi
mutlak dipersyaratkan disebabkan profesi di bidang ini bukan merupakan hak
alami (natural right)yang boleh diamalkan oelh siapa saja. Hak melakukan
amalan perobatan lebih merupakan hak istimewa (privilege) yang diberikan hanya
kepada seseorang yang telah menguasai kompetensi yang cukup (adequate
minimum level of competence).
Untuk dapat dikatakan kompeten di bidang amalan perobatan maka
seseorang harus telah menguasai lima aspek kompetensi, yaitu:
1. Medical knowledge, yaitu menguasai ilmu kedokteran;
2. Clinical skill, yaitu menguasai keterampilan klinik;
3. Clinical judgement, yaitu memiliki kemamuan membuat keputusan dan
kebijakan klinik;
4. Humanistic quality, yaitu mampu memperlakukan setiap pesakit dan
pasien secara humanis; dan
5. Communication skill, yaitu menguasai keterampilan berkomunikasi.
Dengan menguasai kelima aspek itu maka kedudukan pengamal perobatan
menjadi lebih superior. Sementra pasien yang mendambakan problem
kesehatannya teratasi, umumnya tidak memahami ilmu kedokteran dan oleh
karena itu mereka termasuk golongan rentan (vulnerable group) yang berpotensi
bisa diombang-ambingkan atau dimanfaatkan oleh pengamal perobatan yang tidak
bertanggungjawab.
Untuk mencegah agar profesional tidak memanfaatkan superiotasnya
secara tidak paut dan pasien juag terlindungi kepentingan dan nilai-nilianya maka
kepada setiap pengamal perobatan perlu dibebani kewajiban moral, etika, dan
juga hukum.
Agar para profesional mematuhi nilai dan norma dalam profesi maka apa
yang telah dirintis oleh pengikut Phytagoras perlu dilestarikan dengan
mewajibkan kepada setiap lulusan dokter untuk mengucapkan sumpah atau janji
manakala ingin memulai pekerjaanya sebagai profesional dibidaang amalan
perobatan. Sumpah profesi (seperti sumpah dokter, perawat, sumpah bidan) pada
hakekatnya merupakan janji kepada masyarakat (sosial contract) yang diucapkan
atas nama tuhan yang maha esa, sehingga konsekuensinya, wajib dilaksanakan
guna menjaga mutu hubungan baik dengan sang pencipta (hablum minallah) dan
masyarkat (hablum minannas).
Jadi etika profesi (professional ethics)adalah semua kaidah yang
berlandaskan moral yang berlaku bagi setiap pemangku profesi. Ia berfungsi
mengawal prilaku profesional agar tidak keluar dari nilai-nilai moralitas dan
sekaligus memperindah peran mereka. Sama halnya dengan etika pada umumnya,
etika profesi juga merupakan kaidah yang keberlakuannya tidak dipaksakan dan
demikian pula saksinya. Oleh sebab itulah pelaksanaan etika profesi menuntut
hati-nurani berdasarkan bisikan dari dalam (inner voice).
Perlu dipahami bahwa pedoman etika bagi profesi apapaun tidak terbatas
hanya pada kode etik profesi belaka, sebab, untuk kode etik kedokteran Indonesia
misalnya hanya terdiri dari 21 pasal yang sudah pasti tidak akan mampu
mengkafer seluruh persoalan etika dalam profesi kedokeran. Kode etik hanya
merumuskan status etik untuk prilaku-prilaku spesifik lainnya harus merujuk pada
moral standars jika sudah ada atau merujuk pada moral principles jika moral
standars juga belum ada atau belum dibuat.
1. CAKUPAN ETIKA PROFESI
Berbeda dengan hukum yang memberikan hak dan kewajiban secara
seimbang, baik kepada dokter maupun pasien, maka etika (termasuk etika profesi)
hanya memberikan kewajiban tanpa disertai hak (misalnya :kewajiban dokter
untuk menghormati hak-hak pasien).
Adapun materi etika profesi (professional ethics) di bidang amalan
perbuatan mencangkup lima aspek, yaitu:

1. Kewajiban terhadap pesakit yang datang meminta diobati (people


who require medical care)
2. Kewajiban terhadap pasien atau klien (yaitu pesakit yang telah
menjalin hubungan terapetik dengan health care provider).
3. Kewajiban terhadap tim atau rekan sejawat(co-workers or health care
team).
4. Kewajiban yang berkaitan dengan masyarakat (social context),dan
5. Kewajiban terhadapprofesi amalan perobatan (profession)
Etika terhadap pesakit mewajibkan kepada setiap professional dibidang
amalan perobatan ntuk senantiasa bersedia menerima setiap pesakit yang datang
meminta pertolongan medis dengan rasa hormat serta tidak membeda-bedakan
mereka berdasarkan warna kulit, etnis, kebangsaan, agama, kepercayaan, tingkat
sosial, ekonomi, dan pandangan politiknya. Jadi kewajiban etik disini sudah
muncul sejak pesakit datang, meski belum menjadi pasien. Status hukum pesakit
berubah menjadi pasien (client) setelah pesakit tersebut menjalin perjanjian
terpetik dengan health care provider.
Etika terhadap pasien mewajibkan kepada setiap pemangku profesi di
bidang amalan perobatan untuk melakukan perobatan untuk melakukan tindakan
yang baik dan yang benar sesuai dengan standar layanan (standard of care),
menjunjung tinggi hak-hak pasien (termasuk HAM), memperhatikan kebutuhan
dan nilai yang berharga baginya, menghormati otonomi pasien untuk membuat
keputusan atas layanan kesehatan yang akan diterima merahasiakan informasi
mediknya, dan sebagainya.
Etika terhadap tim dan rekan sejawat mewajibkan agar setiap profesional
dibidang amalan perobatan untuk senantiasa bersedia meluruskan kesalahan yang
mungkin dibuat oleh anggota tim atau rekan sejawatnya, tida saling menjatuhkan
dihadapan pasien, tidak jegal menjegal, tidak saling menyerobot pasien, dan tidak
menafikan jasa mereka.
Etika terhadap masyarakat mewajibkan kepada setiap profesional agar
selalu bersikap jujur, berlaku adil, tidak mengumumkan dan menawarkan sesuatu
metode pengobatan yang belum teruji kebenarannya, tidak curang, dan tidak
menciderai kepercayaan masyarakat.
Etika terhadap profesinya sendiri menghendaki agar setiap pengamal
perobatan selalu meningkatka kompetensinya melalui berbagai macam cara
(seperti : pendidikan berkelanjutan, lokakarya, seminar, atau symposium),
konsisten menggunakan ilmu pengetahuan yang menjadi landasan profesi serta
tidak menggunakan cara-cara lain diluar ilmu perobatan modern (modern
medicine) yang telah diajarkan (misalnya: tidak melakukan upaya diagnosis
dengan keris atau dengan cara yang aneh-aneh, atau mengobati dengan membakar
kemenyan).
Sudah tentu tidak semua prilaku spesifik dalam profesi yang berkaitan
dengan kelima aspek tersebut diatas dapat dirumuskan dalam kode etik hanyalah
merupakan daftar ketentuan tertulis dari moral rules. Sementara moral rules itu
sendiri baru dapat dirumuskan manakala prilaku spesifik hampir selalu benar atau
hampir selalu salah. Pada kenyataannya, dalam profesi di bidang amalan
perobatan banyak sekali dijumpai hal-hal yang tidak dapat dipastikan moral
rulesnya secara hitam-putih. Oleh sebab itu moral standards dan modal principles
harus dijadikan acuan berikutnya manakala kode etik belum mampu menjawab
isu-isu etika.

2. SEJARAH KODE ETIK


Sejarah kode etik kedokteran tidak dapat dipisahkan dari sejarah ilmu
kedokteran mesir, yang sudah maju sejak 2000 tahun sebelum masehi. Pada era
itu konsep layanan kesehatan nasional sudah mulai dikembangkan, dimana
penderita tidak tertarik bayaran oleh petugas kesehatan yang dibiyai oleh
masyarakat. Dari papirus yang ditemukan membuktikan bahwa negeri itu juga
sudah memiliki undang-undang yang cukup bagus. Peraturan ketat diberlakukan
bagi pengobatan yang bersifat eksperimen. Tidak ada hukuman bagi dokter yang
disebabkan kegagalannya selama buku standar diikuti.
Pada era yang lebih kurang besamaan, ilmu kedokteran juga sudah maju
dibaylonia. Yaitu ketika diperintah oleh raja Hammurabi (2200 SM). Bahkan pada
zaman itu praktek pembedahan sudah dikembangkan. Sistem imbalan jasa bagi
dokter pun diatur berdasarkan hasil pengobatan, status pasien, serta kemampuan
membayar, justru hukum kesehatan yang pertama sebenarnya berasal dari negeri
ini, bukan dari Mesir.
Dalam kode Hammurabi yang sangat terkenal itu dapat dilihat dengan
jelas adanya beberapa ketentuan yang mengatur kelalaian dokter beserta daftar
hukumannya, mulai dari hukuman membayar denda sejumlah kepingan emas
sampai pada hukuman potong tangan yang mengerikan (paragraph 218). Masalah
perdata yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan pun sudah banyak
dirumuskan. Dalam paragraph 219 misalnya, dapat dilihat adanya ketentuan yang
mengharuskan doketer mengganti budak belian yang meninggal dunia karena
kelalaianya. Intinya dalam kode Hammurabi, selain hukum juga dapat dijumpai
kaidah-kaidah mengenai moral dan etika.
Era selanjutnya adalah era dimana ilmu kedokteran mengalami
sekularisasi selepas dibawa dari mesir dan babylonia ke yunani sekitar 500 tahun
sebelum masehi. Di negeri gudangnya para filosof itu pengaruh kuat pendeta
mulai meluntur dan selanjutnya ilmu kedokteran diambil ahli oleh mereka.
Melalui pemikiran logis, pengamatan dan deduksi mata para filosof berhasil
merubah praktek kedokteran yang berbau mistik menjadi lebih rasional. Sekolah
kedokteran pun dibangun di negeri itu dank ode intra-profesional juga
dirumuskan.
Salah seorang filosof Yunani yang berhasil meletakkan landasan bagi
sumpah dokter dan etika kedokteran adalah Hippocrates.
1. perlunya kewajiban melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek
kedokteran yang bersifat coba-coba
2. perlunya kewajiban untuk berusaha semaksimal mungkin bagi
kesembuhan pasien serta adanya larangan untuk melakukan hal-hal
yang merugikan
3. perlunya kewajiban menghormati mahluk insani melalui pelarangan
terhadap euthanasia dan aborsi.
4. perlunya meletakkan hubungan terapetik sebagai hubungan dimana
dokter dilarang mengambil keuntungan
5. perlunya kewajiban bagi pengamal perobatan untuk memegang teguh
rahasia pasien.

Bersama pemikiran Phytagoras, pemikiran Hyppocrates tersebut diatas


dirangkum menjadi sebuah sumpah, yaitu sumpah Hippocrates yang berisi antara
lain kesanggupan untuk:
b. merawat pesakit dengan sebaik-baiknya
c. menjaga rahasia pribadi pesakit yang berhubungan dengan
penyakitnya
d. mengajar ilmu kedokteran dan rahasia pengobatan kepada generasi
penerus
e. memberikan panduan serta nasehat tentang makanan yang
seimbang
f. menyadarkan pesakit tentang bahaya yang berpunca dari
penyakitnya
g. tidak dibenarkan melakukan euthanasia
h. memberikan pelajaran kepada para siswanya tenpa memungut
bayaran
i. tidak dibenaran melakukan pengguguran kandungan
j. tidak dibenarkan membuat hubungan yang menyulitkan pesakit,
dan
k. tidak menggunakan alat-alat tajam untuk melakukan pemebedahan.
Pada awalnya sumpah tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat yang sudah mengalami degradasi disebabkan
prilaku para dokter yang lebih suka melakukan euthanasia dengan memberikan
racun ketimbang berupaya dengan sekuat tenaga untuk menyembuhkan penyakit
pasien. Aborsi, penipua dan pembocoran rahasia pasien juga banyak dilakukan
oleh para dokter pada masa-masa itu.
Adalah pengikut-pengikut Phytagoras yang kemudian berinisiatif merebut
kembali kepercayaan masyarakat yang telah meluntur dengan mengucapkan
sumpah(bahasa latin: professio) atas nama dewa-dewi pelindung manusia,
sehingga tidaklah salah apabila ada sementara ahli yang menanamkan sumpah
tersebut sebagai “Manifesto Pythagorean” dan tidak salah pula apabila sumpah itu
disebut “Sumpah Hipporates” karena beliau memang banyak memberikan
kontrabusinya, disamping penamaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
penghormatan kepada beliau sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern.
Meski sekarang butir-butir dari Sumpah Hippocrates tidak lagi dipatuhi
secara utuh, namun diakui bahwa pengembangan etika profesi dibidang amalan
perobatan bertolak dari sumpah tersebut.
Dalam sidangnya di Geneva (Switzerland) pada tahun 1947, persatuann
dokter seluruh dunia (world medical association) memperbaharui sumpah dokter
tersebut menjadi lebih sempurna lagi sehingga dapat dijadikan acuan bagi banyak
Negara.
Berkaitan dengan rahasia pasien misalnya, kalimat “….. I will not divulge
(saya tidk akan membuka rahasia)….” Diganti menjadi “… I will respect the
secrets (saya akan menghormati rahasia)….” Sehingga dengan penggantian itu
terbuka peluang untuk ditafsirkan sebab dengan pernyataan “ I will not divulge”
tertutup sudah peluang bagi dokter untuk dapat membuka rahasia pasien meski
disertai alasan yang patut sekalipun.
Pada tahun 1949, PBB mengeluarkan pernyataan tentang Hak Asasi
Manusia (the united nations universal declaration of human rights) yang diterima
secara luas dijadikan acuan dalam penetapan kebijakan sosial, politik, ekonomi,
dan hukum. Mengacu pada bagian-bagian tertentu dari hak asasi inilah etika
profesi di bidang amalan perobatan dapat lebih dikembangkan, prinsip-prinsip
etika (fundamental ethical principles).
Hak asasi itu sendiri dibedakan pengertiannya dari hak-hak lain atas dasar
dua alasan, yaitu:
1. Hak asasi memiliki ciri-ciri:
a. melekat pada diri setiap manusia;
b. tidak dapat dicabut atau dipertukarkan;
c. berlaku sama untuk semua individu.
2. Kewajiban menghormati hak asasi beserta penjabarannya lebih
diamanatkan kepada negara dan otoritas public daripada kepada individu-
individu.

Mengenai butir-butir dari hak asasi manusia yang terkait dengan bidang
kedokteran antara lain
1. Hak untuk hidup (the right to life).
2. Bebas dari diskriminasi (freedom from discrimination).
3. Bebas dari penyiksaan dan kekejaman (freedom from torture and
cruel).
4. Bebas dari pengobatan yang tidak manusiawi atau rendah mutunya
(freedom from inhuman or degrading treatment).
5. Bebas berpendapat dan mengungkapkan persaannya (freedom of
opinion and expression).
6. Hak yang sama untuk mengakses ke pelayanan public (the right to
equal access to public service).
7. Hak memperoleh layanan kesehatan (the right to medical care).
Malangnya, tidak semua warga dunia memahami hak asasi yang berkaitan
dengan layanan di bidang amalan perobatan disebabkan kebodohan dan
kemisinannya. Oleh karena itu pada tahun 1949 persatuan dokter sedunia (World
Medical Association) merasa perlu merumuskan suatu kode etik guna memastikan
agar tatasusila terjaga dengan baik dan citra profesi yang mulia tidak terjejas.
Intinya, kepada setiap profesional di bidang amalan perobatan diwajibkan
antara lain: tidak memanfaatkan superiotasnya bagi mendapatkan keuntungan
finansial semata, tidak berkongsi dengan peusahaan farmasi atau perusahaan lain
yang dapat membelenggu kebebasan profesional dalam mengambil keputusan,
serta tidak melakukan aborsi kecuali untuk kepentingan perobatan (seperti
menyelamatkan nyawa ibu hamil).
Selanjutnya pada tahun 1970 Persatuan Dokter Sedunia mengeluarkan
Deklarasi Oslo yang menggariskan bahwa aborsi dapat dilakukan sekirahnya
faedahnya (benefit)lebih besar ketimbang risikonya serta mendapat restu dari
masyarakat setempat. Deklarasi tersebut menyebabkan Sumpah Hippocrates
sebagai lambing etika perobatan terkikis menyusul sikap tokoh-tokoh masyarakat
yang berubah mengikuti angina perubahan.
Selepas perang dunia kedua, penelitian medis yang tidak manusiawi
dianggap sebagai sebuah kejahatan perang oleh pengadilan di Nurenberg. Namun
demikian, menyadari pentingnya penelitian medis bagi kemaslahatan masyarakat
dan ketertiban manusia sebagai subjek penelitian tidak bisa dihindari sama sekali
maka pengadilan Nurenberg pun mersa perlu memberikan pedoman umum
(general rules) bagi pelaksanaan penelitian medis agar tidak melanggar kaidah
etika dan hukum.
Pedoman umum dalam Nurenberg Code (1974) tersebut dapat diringkas
menjadi lima poin, yaitu:
1. Penelitian medis pada subjek manusia (human subjects) memerlukan
persetujuan sukarela (voluntary consent) dari yang bersangkutan.
2. Persetujuan harus diperoleh dari subjek secara bebas berdasarkan
keinginannya sendiri, tidak boleh ada paksaan, tipu-daya atau intimidasi.
Persetujuan tersebut hanya bisa diberikan setelah subjek diberi informasi
mengenai tujuan, metode dan risiko terduga (foreseeable risks) dari
penelitian tersebut.
3. Penelitian dapat dibenarkan jika eksperimen terhadap binatang telah
dilakukan.
4. Kemanfaatan atau keuntungan (benefits) harus lebih besar darapada risiko
terduga (foreseeable risks) dalam kaitannya dengan kontribusi kepada
masyarakat.
5. Subjek penelitian harus diberi kebebasan untuk sewaktu-waktu bisa
menghentikan keikut-sertaannya ketika penelitian sedang berlangsung.
Spirit dari Nurenberg Code sebenarnya telah tercermin dalam Deklarasi
Helsinski (1964), yang secara tegas mensyaratkan informed consent dari subjek
penelitian biomedis.
Mengenai pemanfaatan temuan dari penelitian yang diperoleh di
laboratorium untuk pengembangan pengetahuan ilmiah (humas advances
scientific knowledge) dianggap sangat penting bagi penyelamatan umat manusia
dari kesakitan dan penderitaan. Kendati penting, kontribusi kepada pengetahuan
ilmiah dan kontribusi kepada masyarakat tidak seharusnya lebih diutamakan
daripada kesejahteraan dan kemanfaatan (benefits) bagi individu peserta penelitian
(individual test subject).
Deklarasi Helsinski tersebut terus-menerus dilakukan revisi dan perbaikan
seperlunya, dan yang paling akhir dilakukan amandemen di kota Seoul dalam
tahun 2008.
Dibawah naungan Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun1994
dilakukanlah perundingan di kota Amsterdam mengenai hak-hak pasien
(European Consultation on the Rifhts of patients) yang dihadiri oleh 36 negara
anggota dari seluruh Eropa. Perundingan tersebut menghasilkan Deklarasi
Amsterdam guna lebih memantapkan lagi pentingnya menghormati hak-hak
pasien, utamanya hak pasien untuk membuat keputusan sehingga setiap upaya
medik yang dilaukan oleh dokter benar-benar merupakan hasil dari keputusan
bersama (a shared decision-making).

3. KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA


Selepas World Medical Association mengeluarkan the WMA Ethics
Manual maka persatuan dokter diberbagai negara di dunia merespon secara positif
dengan menyusun ode etik Kedokteran di negaranya masing-masing dengan
mengacu pada manual tersebut. Bhkan kemudian dijadikan bagian dari kurikulum
pendidikan dokter. Sejak saat itu proses pengembangan the basic teaching on
medical ethics dimulai.
Dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran yang pertama di Jakarta
tahun 1969 disusunlah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan dalam Musyawarah
yang kedua di Jakarta pada tahun 1983 dilakukan penyempurnaan. Dengan SK
Menteri Kesehatan No. 434/1983 ditetapkan sebagai Kode Etik Kedokteran
Indonesia yang berlaku bagi semua dokter di Indonesia. Selanjutnya melalui
Rapat Kerja Nasional PB IDI di Semarang tahun 1993 Kode Etik Kedokteran
Indonesia lebih disempurnakan lagi.
Kode Etik Kedokteran Indonesia yang telah disempurnakan tersebut 17
pasal yang dikelompokkan menjadi:

1. Kewajiban umum;
2. Kewajiban terhadap pasien;
3. Kewahjiban terhadap teman sejawat;
4. Kewajiban terhadap diri sendiri; dan
5. Penutup.
Melalui proses panjang dan berliku paada akhirnya Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia menetapkan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
baru, yang dikelompokkan menjadi:
1. Kewajiban Umum;
2. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien;
3. Kewaajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat; dan
4. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri.
Dari keempat kelompok tersebut kemudian dirumuskan menjadi 21 pasal,
yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dana tau janji dokter.
2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional
dalam ukuran yang tinggi.
3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
4. Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
5. Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya
dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
6. Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebebnarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat.
7. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
8. Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya memberikan
pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayaang (compassion) dan penghormatan
atas martabat manusia.
9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat
menangani pasien dia diketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan
10. Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya, dan
tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.
11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi
makhluk insani.
12. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-siosial-kultural pasiennya serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.
13. Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sectoral di
bidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling
menghormati.
14. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh
keilmuan dan keterampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas
persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter
yang mempunyai keahlian untuk itu.
15. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa
dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam
beribadat dana tau penyelesaian masalah pribadi lainnya.
16. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
17. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya.
18. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.
19. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya,
kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis.
20. Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
21. Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/ kesehatan.
Agar lebih mudah difahami dan diaplikasikan oleh setiap dokter yang
bekerja sebagai profesional maka dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
baru telah diberikan penejlasan pasal demi pasal walau sebenarnya penjelasan
menyangkut pasal-pasal dalam kode etik tersebut tidak perlu mengingat
penjelasan atau tafsiran itu tidak konsisten dengan penegrtian moral rules menurut
Michael Bayel.
Sayangnya lagi, kode etik tersebut hanya merumuskan kewajiban dokter
terhadap pasien (client) belaka dan belum merumuskan tentang kewajibannya
terhadap pesakit yang datang untuk berobat. Padahal kewajiban dokter seharusnya
sudah muncul ketika pesakit datang; antar lain wajib menerima mereka dengan
rasaa hormat sebagai insan bermartabat dan tidak boleh membeda-bedakan
mereka berdasaarkan latar-belakang politik, etnis, sosial, kesukuan, agama, dan
lain-lain.
Perlu ditambahkan bahwa kewajiban etik dan kewajiban hukum
merupakan dua hal yang berbeda. Kewajiban etik sudah muncul sejak pesakit
datang dan kewajiban hukum baru muncul setelah pesakit menjalin hubungan
terapetik dengan dokter, kecuali pesakit dalam keadaan emergensi. Maknanya,
status hukum pesakit berubah menjadi pasien (client) setelah dokter bersetuju
untuk mengobati pesakit yang datang mengingat hubungan terapetik dijalin diatas
asas konsensual. Jika dokter tidk bersetuju menerima pesakit yang datang berobat
maka hubungan terapetik tidak terjadi dan dengan sendirinya kewajiban hukum
tidak akan ada
Intinya, dari sisi etika dokter tidak boleh menolak pesakit tetapi dari sisi
hukum boleh sepanjang pesakit yang datang tidak dalam keadaan emergensi.
Bahkan Morris dan Moritz dalam bukunya “Doctor and patient and the law”,
mengatakan: “He may arbitrarily refuse to accept any person as a patient, even
though no other physician is available”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan, S., Setyo Trisnadi. 2016. Bioetika: Dari Filsafah Kedokteran
Sampai Ke Moral dan Etika. Semarang: Fakultas Kedokteran Unisula.
2. Wardhana, Made. 2016. Filsafat Kedokteran. Vaikuntha International
Publication.
3. Meliono. V.I. 2004. Paradigma Baru Dalam Dunia Pendidikan Ilmu Kedokteran:
Filsafat Ilmu Kedokteran. Universitas Indonesia: Ebers Papyrus Vol 10 No. 1
4. Helaluddin. 2018. Filsafat Moral. UIN Sultan Maulana Banten.
5. Marzuki. 2017. Etika Dan Moral Dalam Pembelajaran. Bahan Ajar.
Universitas Negeri Yogyakarta.
6. Rahman, A.A. 2010. Teori Perkembangan Moral Dan Model Pendidikan
Moral. Fakultas Psikologi Uin Sunan Gunung Djati Bandung. Psympathic,
2010, Vol. III, No.1: 37 – 44.
7. MUchson & Samsuri. 2013. Dasar – Dasar Pendidikan
Moral.Yogyakarta: Penerbit Ombak.
8. Dewantara A.W. 2017. Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian
Hidup Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
9. Bakhri, Syaiful. 2017. Filsafat, Etika Dan Hukum Dalam Profesi
Kedokteran. Universitas Muhammadiyah Jakarta.
10. Syamsiatun S., Nihayatul Wafiroh. 2013. Filsafat, Etika, dan Kearifan
Lokal untuk Konstruksi Moral Kebangsaan. Geneva: Globalethic.net.

Anda mungkin juga menyukai