Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penderita kanker di Indonesia mulai mengalami peningkatan yang
cukup tajam, hal ini dapat dilihat dari data-data tentang kasus kanker
yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga kanker dan oleh pemerintah
sendiri. WHO memprediksi bahwa pada tahun 2030 akan terjadi
peningkatan hingga mencapai tujuh kali lipat dari kasus yang ada
sekarang. Dengan semakin meningkatnya penderita kanker juga akan
meningkatkan kasus kematian yang disebabkan oleh kanker (1).
Kanker adalah suatu keganasan yang terjadi karena adanya sel dalam
tubuh yang berkembang secara tidak terkendali sehingga
pertumbuhannya menyebabkan kerusakan bentuk dan fungsi dari organ
tempat sel tersebut tumbuh (Sjamsuhidajat & De Jong, 2004).
Pengobatan kanker harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah
terjadinya metastase. Pengobatan kanker meliputi operasi, kemoterapi,
radiasi dan juga hormonal terapi. Pasien kanker biasanya enggan ketika
dihadapkan pada pilihan pengobatan dengan kemoterapi karena efek
samping obat yang sangat tidak mengenakkan. Sedangkan tindakan
kemoterapi dinilai sebagai tindakan yang paling efektif dan akan sangat
membantu kenyamanan pasien bila diberikan dengan tepat (tepat
indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pemberian dan tepat
pemantauan efek obat) (2).
Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan harus mampu
memberikan pelayanan kesehatan yang memadai guna membantu
mengatasi masalah kanker di Indonesia serta menyediakan fasilitas
khusus untuk tujuan kuratif atau rehabilitatif bagi pasien kanker dan
meningkatkan usaha preventif bagi masyarakat luas dari bahaya kanker.
Dengan demikian, Apoteker sebagai bagian dari Instalasi Farmasi Rumah

1
Sakit harus ikut terlibat dalam perancangan, persiapan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi terapi untuk pasien (patient oriented),
termasuk dalam pelayanan kemoterapi (1).
Dalam pelaksanaannya, kemoterapi menggunakan obat-obatan
sitostatika. Sitostatika adalah kelompok obat (bersifat sitotoksik) yang
digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. Obat sitotoksik
adalah obat yang sifatnya membunuh atau merusakkan sel-sel
propaganda. Obat ini termasuk obat-obat berbahaya (OB), yaitu obat-
obat yang genotoksik, karsinogenik, dan teratogenik, dan atau
menyebabkan kerusakan fertilisasi (1).
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH, 2004)
mengemukakan bahwa bekerja dengan atau dekat dengan obat-obat
berbahaya di tatanan kesehatan dapat menyebabkan ruam kulit,
kemandulan, keguguran, kecacatan bayi, dan kemungkinan terjadi
leukemia dan kanker lainnya. Mengingat efek samping yang ditimbulkan
oleh obat-obatan kemoterapi pada pasien, petugas kesehatan yang
terlibat, dan lingkungan di sekitarnya, dibutuhkan standar operasional
prosedur kemoterapi yang menjadi acuan bagi petugas kesehatan untuk
melakukan pemberian kemoterapi yang aman. Prosedur pelaksanaan
yang dilakukan dengan baik dan sesuai SOP dapat meminimalisir risiko
(2).

B. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah mengetahui peran Farmasis
dalam pelayanan obat sitostatika di Rumah Sakit.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI KANKER
Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan
pertumbuhan tidak terkendali sel tubuh tertentu yang berakibat merusak
sel dan jaringan tubuh lain, bahkan sering berakhir dengan kematian (3).

B. ETIOLOGI
Penyebab primer untuk terjadinya kanker pada manusia belum
diketahui tahun 1755 Persival Pott, seorang ahli bedah dari Inggris
menemukan bahwa kanker scrotum banyak dijumpai pada orang yang
bekerja di pabrik yang memakai cerobong asap. Setelah dipelajari,
ternyata hidrocarbon yang berhasil diisolasi dari batubara merupakan
Carcinogenic agent (4). Berbagai faktor penyebab kanker dapat dilihat
pada lampiran 1.

C. OBAT-OBAT SITOSTATIKA
Obat sitostatika adalah obat yang digunakan untuk menghambat
pertumbuhan atau penyebaran tumor atau sel. Penggolongan obat anti
neoplastik berdasarkan mekanisme kerja terdapat pada lampiran 2.
Tujuan pemberian obat ini yaitu (5) :
1. Kuratif, untuk memperoleh remisi komplit dan menyembuhkan pasien.
2. Paliatif, untuk mengurangi gejala tetapi dengan hanya sedikit harapan
untuk memperoleh kesembuhan.
3. Adjuvan, untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan atau
memperpanjang masa survival bebas-penyakit tanpa ada kanker yang
terdeteksi, tetapi dicurigai ada sejumlah sel kanker payudara atau
kanker kolorektal sesudah reaksi bedah.

3
D. PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
Sesuai dengan SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang
Standar Pelayanan Rumah Sakit bahwa pelayanan farmasi rumah sakit
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan
rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien
penyediaan obat yang bermutu,termasuk pelayanan farmasi klinik yang
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Pelayanan diselenggarakan
dan diatur demi berlangsungnya pelayanan farmasi yang efisien dan
bermutu, berdasarkan fasilitas yang ada dan standar pelayanan
keprofesian yang universal (6).

E. Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome
terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat,
untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup
pasien (quality of life) terjamin (6).
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi (6) :
1. Pengkajian dan pelayanan Resep;
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, pengkajian Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap
tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian Obat (medication error).
2. Penelusuran riwayat penggunaan Obat;
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses perbandingan instruksi
pengobatan dengan Obat yang didapat pasien untuk memastikan
informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien;

4
mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter; dan mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terbacanya instruksi dokter
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan
dan pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen,
akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh
Apoteker kepada profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak
lain di luar Rumah Sakit.
5. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau
saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien
dan/atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga
kesehatan lain untuk mengamati kondisi klinis pasien secara
langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat
dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat
yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan pemastian terapi Obat aman, efektif dan rasional
bagi pasien. PTO bertujuan meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki

5
(efek samping obat), yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
a. mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki
b. mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko
tinggi mengalami ESO;
c. mengevaluasi laporan ESO;
d. mendiskusikan &mendokumentasikan ESO di Tim Farmasi &Terapi;
e. melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif.
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan dengan teknik aseptik
untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk, melindungi petugas,
serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
1. Pencampuran Obat Suntik
2. Penyiapan Nutrisi Parenteral
3. Penanganan Sediaan Sitostatik
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan
dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas
usulan dari Apoteker kepada dokter. Kegiatan PKOD meliputi:
melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan PKOD,
berdiskusi dengan dokter untuk persetujuan melakukan PKOD, dan
menganalisis hasil PKOD dan memberikan rekomendasi.

6
BAB III

PEMBAHASAN

A. KASUS
Diambil contoh kasus dari pasien penderita Acute Lymphoblastic
Leukaemia yang dirawat di RSPAD Gatot Subroto resep asli dapat dilihat
pada lampiran 3.
1. Data pasien
Nama Pasien : M. Wafa Kurinia F
No RM : 44-30-54
Umur/BB/TB : 9 tahun / 34,5 kg/ 136 cm
Jenis Kelamin : Laki-Laki
LPT : 1,14 m2
Diagnosa : Acute Lymphoblastic Leukaemia
2. Resep
R/ Injeksi MTX 5 mg no. III
Injeksi VCR 2 mg no. II
Simm
R/ Tab MTX 2,5 mg no. L
Suc
R/ Tab Mercaptopurin 50 mg no. L
Suc

B. PELAYANAN SITOSTATIKA KEPADA PASIEN


1. Pengkajian dan pelayanan resep
Meliputi persyaratan administrasi, farmasetik klinis (lampiran 5) serta
perhitungan dosis. Pemberian obat sitostatika pada umumnya disesuaikan
dengan Luas permukaan tubuh dan berat badan penderita. Sehingga
perlu dilakukan penyesuaian dosis. Perhitungan dosis pasien tersebut
dapat dilihat di lampiran 6.

7
2. Penelusuran riwayat pengobatan
Pengambilan riwayat penggunaan obat dilakukan bagi pasien yang
baru dirawat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan
adanya riwayat alergi, melihat efek samping dari penggunaan obat
sebelumnya, dan menyesuaikan terapi sebelum perawatan dan saat
perawatan di Instalasi Farmasi PKM RSPAD Gatot Soebroto.
Pengambilan riwayat penggunaan obat dilakukan dalam waktu 48 jam
saat pertama pasien datang. Ketika melakukan pengambilan riwayat
pengobatan, Apoteker menyiapkan lembar daftar obat sebelum
perawatan dan menanyakan tentang riwayat penggunaan obat pasien
sebelum dirawat di rumah sakit, meliputi: nama obat yang digunakan
(nama generik/ nama dagang), cara perolehan (resep,non-resep),
suplemen, dosis/aturan pakai, lama penggunaan obat (kapan mulai
menggunakan dan kapan dihentikan), dan kepatuhan (dengan jadwal
teratur). Selain itu, apoteker juga menanyakan riwayat alergi dan efek
samping obat yang pernah dialami pasien (7).

3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat
(medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis
atau interaksi obat (6).
Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu (6) :
a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai
diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta
efek samping obat yang pernah terjadi.
b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang
dan akan digunakan. Peran apoteker sebagi berikut :

8
1) Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan
ketidaksesuaian dokumentasi. Bila ada ketidaksesuaian, maka
dokter harus dihubungi kurang dar 24 jam.
2) Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau
perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi.

4. Pelayanan informasi obat


Apoteker perlu memberikan informasi kepada pasien meliputi (6) :
a. Tujuan kemoterapi
Tujuan kemoterapi pada pengobatan ini adalah untuk
menghancurkan sel-sel leukimia dan memungkinkan pembentukan sel-
sel normal di dalam tulang. Obat-obatan ini sangat berperan dalam :
 Tujuan induksi yaitu membunuh sel-sel leukimia dalam darah dan
sumsum tulang untuk menginduksi masa remisi contohnya dengan
diberikan Injeksi MTX 5 mg dan Injeksi Vincristin.
 Tujuan konsolidasi yaitu membunuh beberapa sel-sel leukemia
yang mungkin muncul walaupun sel-sel tersebut tidak tampak
dalam pemeriksaan. Jika sel-sel tersebut tumbuh kembali dapat
terjadi kekambuhan.
 Tujuan pemeliharaan untuk mencegah pertumbuhan sel-sel
leukemia yang tersisa dengan menggunakan obat-obatan
kemoterapi dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan
dosis yang dilakukan untuk tujuan induksi dan konsolidasi.
b. Jadwal kemoterapi : tergantung jenisnya, ada yang setiap hari,
seminggu sekali, dua minggu, tiga minggu ataupun sebulan sekali.
c. Cara pemberian obat kemoterapi, dijelaskan kepada pasien ; pada
pasien tersebut pengobatan akan diberikan MTX secara intratekal,
Vincristin intravena, dan MTX tablet serta merkaptopurin peroral.
d. Efek samping yang mungkin timbul harus diberitahukan kepada pasien
baik langsung setelah diberikan kemoterapi maupun beberapa hari
setelah kemoterapi. Rata-rata efek samping dari pengobatan tersebut

9
adalah mual dan muntah, leukopenia, dan untuk vinkristin efek samping
yang paling utama adalah neuritis perifer, sehingga pada pemberian
obat sitostatika harus dilakukan monitoring efek samping obat.
e. Antisipasi dan pengelolaan efek samping, harus diberitahukan kepada
pasien seperti pemberian obat mual antiemetik, transfusi darah,
kehilangan nafsu makan dan sebagainya.
f. Pasien disarankan mengkonsumsi makanan bergizi dan mengandung
antioksidan. Istirahat yang cukup dan tidak melakukan aktivitas yang
membuat pasien terlalu lelah.

5. Konseling
Konseling secara umum yang diberikan pada pasien yaitu penjelasan
tentang indikasi obat, regimen dosis, berapa lama obat diberikan,
penjelasan tentang pentingnya mematuhi terapi, penjelasan tentang efek
samping yang berpotensi muncul dan upaya pencegahan atau
manajemennya bila terjadi, penjelasan hal-hal yang perlu diperhatikan
pada penggunaan obat tersebut. Contoh monitoring fungsi hati dan ginjal
serta jantung, serta perlu ditanyakan riwayat obat yang digunakan atau
yang sedang digunakan untuk mencegah interaksi obat yang tidak
dikehendaki (6,7).
Konseling dilakukan pada saat prakemoterapi untuk mempersiapkan
mental pasien, menjelaskan ES yang akan muncul, kegunaan terapi,
menjelaskan tentang fungsi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal dan
fungsi hati. Hal-hal seperti harapan hidup pasien serta data-data
pendukung yang meningkatkan keyakinan pasien juga perlu dijelaskan.
Mendatangkan tim rohanis RS juga dapat dilakukan untuk membantu
kesiapan mental pasien. Setelah pasien pulang perlu diinformasikan untuk
melakukan pengobatan fase selanjutnya serta biodata pasien perlu
diketahui oleh apoteker agar mudah dihubungi (6,7).

10
6. Visite
Kegiatan visite dapat dilakukan oleh apoteker secara mandiri atau
kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan situasi dan
kondisi. Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam menggali latar belakang
permasalahan terkait penggunaan obat sitostatika. Sebelum memberikan
rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota tim secara aktif untuk
saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi informasi
penggunaan obat, Pada visite tim, rekomendasi lebih ditujukan kepada
dokter yang merawat dengan tujuan untuk meningkatkan hasil terapi,
khususnya dalam pemilihan terapi obat. Setelah rekomendasi disetujui
dokter yang merawat untuk diimplementasikan, apoteker harus memantau
pelaksanaan rekomendasi perubahan terapi pada rekam medik dan
catatan pemberian obat (8).
Setelah dilakukan visite pendokumentasian harus dilakukan dalam
setiap kegiatan pelayanan farmasi. Pendokumentasian pada praktik visite
meliputi: informasi penggunaan obat, perubahan terapi, catatan kajian
penggunaan obat (masalah terkait penggunaan obat, rekomendasi, hasil
diskusi dengan dokter yang merawat, implementasi, hasil terapi).
Pendokumentasian dilakukan pada lembar kerja praktik visite dan lembar
kajian penggunaan obat lihat contoh pada lampiran pemantauan terapi
obat (lampiran 7) (8).

7. Pemantauan Terapi Obat


Pasien penderita kanker merupakan pasien yang menerima obat resiko
tinggi yaitu obat sitostatika sehingga perlu dilakukan pemantauan terapi
obat. Data dasar pasien yang dibutuhkan untuk melakukan proses PTO
dapat diperoleh dari rekam medik, profil pengobatan pasien/pencatatan
penggunaan obat, wawancara dengan pasien pada saat visite, anggota
keluarga, dan tenagakesehatan lain (9).
Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi
adanya masalah terkait obat. Apoteker perlu membuat prioritas masalah

11
sesuai dengan kondisin pasien, dan menentukan masalah tersebut sudah
terjadi atau berpotensi akan terjadi. Tujuan utama pemberian terapi obat
sitostatika adalah peningkatan kualitas hidup pasien kanker. Setelah
ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan
pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki (9).
Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau kegagalan
mencapai sasaran terapi. Salah satu metode sistematis yang dapat
digunakan dalam PTO adalah Subjective Objective Assessment Planning
(SOAP) dapat dilihat pada lampiran 8. Hasil identifikasi masalah terkait
obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus
dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan
tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian
tujuan terapi (9).

8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Peran apoteker dalam monitoring dan evaluasi pasien post kemoterapi
adalah menilai tanda-tanda vital pasien, keadaan umum pasien, tanda-
tanda toksisitas (6). Formulir MESO dapat dilihat di lampiran 9.
 Immediate toxicities  Reaksi alergi
 Early onset toxicities  hematologi, mucosistis, nefrotoksik,
konstipasi, mual muntah, alopecia
 Delayed onset toxicities  neurotoksik, hepatotoksik, kardiotoksik
 Late onset toxicities obat menginduksi leukimia, second solid tumor
Berikut merupakan efek samping umum obat kemoterapi yang digunakan
dalam resep (10,11,12,13) :
Mual,
Muco Reaksi
muntah, Hematologi Alopecia Neurotoksis Nefrotoksis
sitis alergi
konstipasi
MTX   
Vinkristin       
Merkaptopurin   

12
Penanganan efek samping obat sitostatik:
 Pasien mual dan muntah diberikan obat anti emetik seperti golongan
antagonis dopamin (ondansentron, proklorperazin, metoklorpropamid)
atau gol. antagonis 5HT3 (lorazepam) dan larutan pencuci mulut.
 Pasien dengan resiko nefrotoksik diberikan hidrasi dan dieresis
 Pasien yang mengalami alopecia diberikan scalp tourniquet untuk
mengurangi aliran darah ke folikel rambut selama kemoterapi sehingga
obat tidak terbawa ke dalam sel rambut yang menyebabkan
kerontokan.
 Pasien yang mengalami neuritis perifer dapat diberikan multivitamin B
kompleks baik injeksi maupun oral.
 Sebisa mungkin pasien dijauhkan dari segala bentuk resiko infeksi
karena mengalami leukopenia

9. Evaluasi Penggunaan Obat


Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif. Secara garis besar evaluasi dapat dilakukan
pada tahap input, proses maupun output. Lingkup materi evaluasi
terhadap kinerja apoteker antara lain dalam hal pengkajian rencana
pengobatan pasien, pengkajian dokumentasi pemberian obat, frekuensi
diskusi masalah klinis terkait pasien termasuk rencana apoteker untuk
mengatasi masalah tersebut, rekomendasi apoteker dalam perubahan
rejimen obat (clinical pharmacy intervention) (6).

10. Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril khususnya obat-obat sitostatika yang
berbahaya harus dilakukan dengan teknik aseptik dan alat pelindung
khususuntuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk, melindungi
petugas, serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
Apoteker berperan dalam melakukan pencampuran obat sesuai

13
kebutuhan pasien untuk menjamin kompatibilitas dan stabilitas obat
maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan. Penyiapan Nutrisi
Parenteral secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga
stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur
yang menyertai (6).

11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah


Obat-obat anti kanker sangat toksis, karena itu pada pemberian
khemoterapi perlu dikerjakan pemantauan toksisitasnya melalui
pemantauan kadar obat dalam darah. Jika penderita tidak memberikan
reaksi terhadap terapi obat seperti yang diharapkan, maka obat dan
aturan dosis hendaknya ditinjau kembali dari segi kecukupan, ketelitian,
dan kepatuhan penderita (2).
Dokter hendaknya menentukan perlu atau tidak konsentrasi obat
dalam serum penderita diukur, karena tidak semua respon penderita
dikaitkan dengan konsentrasi obat dalam serum. Contoh : alergi dan rasa
mual ringan. Apoteker melakukan penilaian kebutuhan pasien yang
membutuhkan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD),
mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); serta menganalisis hasil
Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan memberikan
rekomendasi kepada dokter untuk terapi pengobatan (6,9).

14
BAB IV
KESIMPULAN

Peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik untuk pengobatan sitostatika


meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan Resep
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat
3. Rekonsiliasi obat
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
5. Konseling
6. Visite
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10. Dispensing Sediaan Steril
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Panduan Kemoterapi RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Diakses dari


https://www.scribd.com/doc/225587237/PANDUANKEMOTERAPI.
Tanggal 15/11/15
2. Donadear, A. Gambaran Pelaksanaan Kemoterapi DI RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Bandung: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Padjajaran; 2010.
3. Henry Naland. Pencegahan dan terapi kanker. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas kedokteran Indonesia; 2007.
4. Pasaribu, E. T. Epidemiologi dan Etiologi Kanker. Majalah Kedokteran
Nusantara 2006;39(3):266–269.
5. Hardman Jg, Limbrid LE.The Pharmacological basis of therapeutics ed
10th. USA : the mcGraw-Hill; 2001. h.1381-1445.
6. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2014. h.23-35.
7. Nurlam, Z. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo.Jakarta:
Fakultas Farmasi program profesi apoteker Universitas Indonesia;2014.
h. 59-61.
8. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Visite. Jakarta: Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI; 2011.
9. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan. Departemen Kesehatan RI; 2009.
10. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Informasi Spesialite Obat Indonesia
Volume 46. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia; 2011/2012.
11. MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 8. Jakarta: PT Info Master; 2008/2009.
12. American Society of Health-System Pharmacist. AHFS Drug Information.
American Hospital; 2010. h.1148-1151,1348.
13. Badan Pengawas Obat dan Makanan. METOTREKSAT. Di ambil dari
http://pionas.pom.go.id/monografi/metotreksat. Diakses tanggal 16/11/15.

16

Anda mungkin juga menyukai