TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman sawit (Elaeis guineensis, Jacq) merupakan tanaman monokotil dalam famili
Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion yang berarti minyak,
sedangkan guineensis berasal dari kata guines, yaitu nama tempat dimana seorang yang
bernama Jacquin seorang ahli botani Amerika yang menemukan tanaman sawit pertama kali
di Pantai Guines, Afrika Selatan. Tanaman sawit tumbuh dan diusahakan secara komersial di
Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara, Pasifik Selatan dan beberapa area tropis dalam
skala kecil, namun paling banyak diusahakan di daerah Asia Tenggara sejak abad ke-19 dan
termasuk 17 minyak utama sumber lemak dan minyak yang diproduksi dan diperdagangkan
di dunia (Koushski et al., 2015). Dua negara terbesar penghasil minyak sawit adalah
Indonesia dan Malaysia.
Kelapa sawit termasuk famili Arecaceae (dulu palmae) yang mempunyai 3 spesis
yaitu Elaeis guineensis Jacq, Elaeis oleifera (HBK) Cortes, dan Elaeis odora W dengan
spesis yang dominan diusahakan adalah spesis Elaeis guineensis Jacq (Allolerung dkk.,
2010). Tanaman kelapa sawit menurut botani dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisis : Embryophyta siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledonae
Famili : Arecaceae (Dahulu Palmae)
Sub-famili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : E. guineensis Jacq.
Pada tanaman E. guieenensis terdapat 3 penggolongan berdasakan warna buah, yaitu :
1) Tipe Nigrescens, buah muda berwarna ungu gelap sampai hitam lalu berubah jadi jingga
sampai merah setelah matang, 2) Tipe Virescens, buah muda berwarna hijau yang berubah
menjadi kuning kemerahan pada saat matang, dan 3) Tipe Albescens, buah muda berwarna
kuning dan pucat tembus cahaya karena kandungan karotennya dalam mesokarpnya rendah.
Tipe nigrescens adalah yang digunakan untuk komersial sedangkan sedangkan tipe lainnya
digunakan dalam program pemuliaan (Allolerung dkk., 2010).
1
Berdasarkan ketebalan cangkangnya, kelapa sawit dikelompokkan dalam tiga tipe
seperti pada GambarX, yaitu, 1) Dura, mempunyai cangkang (tempurung) tebal, 6 – 8 mm,
porsi mesokarp terhadap buah berkisar 35 – 65 % (dura Deli), kernel besar, tetapi minyak
terekstrak rendah, 17 –19 %. Cangkang tebal dura diduga dapat memperpendek umur mesin
pengolah, 2) Pisifera, tanpa cangkang, kernel kecil dengan lapisan fiber tipis, proporsi
mesokarp tinggi dan kadar minyak terekstrak tinggi, tetapi sebagian besar betinanya steril
sehingga sangat jarang menghasilkan buah, dan 3) Tenera, yaitu merupakan hasil silangan
antara dura dan pisifera sehingga mempunyai karakteristik gabungan antara dura dan pisifera
sehingga meminimalisir kelemahan masingmasing, kernel berukuran sedang dengan
cangkang menjadi lebih tipis (0,5 – 4 mm), tetapi bunga betina tetap fertile, proporsi
mesokarp tinggi (60 – 95%) dan kadar minyak 22 – 25%, bahkan ada yang mencapai 28%
(Allolerung dkk., 2010). Dengan demikian, maka hibrida tenera menjadi bahan tanam yang
digunakan dalam budidaya komersial, sedangkan dura dan pisifera terus digunakan untuk
menemukan varietas unggul baru.
Tanaman sawit dapat tumbuh hingga 20-30 meter, nilai ekonomis sekitar 25-30 tahun,
tandan buah dapat mencapai berat 30-40 kg mengandung sampai 2000 buah sawit/tandan,
bewarna hitam saat muda, lalu berubah merah-orange saat masak (Koushki et al., 2015). Saat
ini, Indonesia adalah negara terbesar yang memproduksi minyak sawit Minyak sawit dan
minyak kernel tercatat sebanayak 35% dari total produksi vegetable oil dunia. Minyak sawit
menempati urutan pertama kemudian minyak kedelai dan diikuti rapeseed oil, seperti yang
disajikan pada GambarX.
2
Gambar X. Produksi vegetable oil secara global
(Koushki et al., 2015)
3
mentah atau crude palm oil (CPO) (Ketaren, 2005). Minyak sawit terdiri dari gliserida dan
non-gliserida. Minyak sawit dikenal unik sebagai minyak nabati yang proporsi gliseria asam
lemak jenuh dan tak jenuh seimbang. Asam lemak tidak jenuhnya yaitu asam lemak oleat
42,5% dan linoleat 11,2% (Koushki et al., 2015). Pustaka lainnya menyebutkan 40% asam
oleat, 10% asam linoleat, 45% asam palmitat dan 5 % asam stearat (Dianingsih dkk., 2016).
komposisi asam lemak minyak sawit disajikan pada Tabel X.
Non-gliserida di dalam minyak sawit diantaranya asam lemak bebas, cemaran logam,
air, dan komponen minor. Komponen minor yang terdapat dalam minyak sawit adalah
karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, skualen dan tripterpenil dan hidrokarbon
alifatik (Nagendran dkk., 2000). Minyak sawit mentah kurang lebih mengandung 1%
komponen minor. Karoten, tokoferol dan tokotrienol adalah komponen penting yang
berkontribusi terhadap stabilitas dan karakteristik gizi minyak sawit. Karotenoid berpengaruh
terhadap karakteristik warna merah-orange pada CPO serta proteksi dari oksidasi minyak
sawit.
Minyak sawit kasar disebut juga crude palm oil (CPO) mengandung komponen utama
terbesar yakni asam palmitat 39-45% dan sasam oleat 37-44%. Komposisi asam lemak sawit
disajikan pada TabelX. Asam lemak palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang
yang memiliki karakteristik titik cair (melting point) yang tinggi, yakni 64°C, sehingga pada
suhu ruang minyak sawit kasar berbentuk semi padat (Belitz dan Grosh, 1999). Minyak sawit
kasar memiliki potensi mengalami okdiasi lebih besar dibanding minyak nabati lainnya
karena mengandung lemak jenuh yang tinggi. Selain itu, terdapat asam oleat sebagai asam
4
lemak tidak jenuh rantai panjang yang memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat
lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu 14°C (Ketaren, 2005).
TabelX. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar dan titik cairnya
Minyak sawit kasar mengandung komponen minor yang terdiri dari karotenoid,
tokoferol, sterol, fosfolipid, glikolipid dan gugus hidrokarbon alifatik, dan elemen lainnya.
Kompnen minor yang paling utama adalah karotenoid dan tokoferol sehingga minyak
kelapa sawit lebuh unggul dibanding minyak nabati lainnya. Kandungan karotenoid di dalam
sawir antara 500-700 µg/g dan tokoferol dan tokotrienol antara 600-1000 µg/g (Choo, 1994).
Komposisi minyak sawit kasar dan minyak nabati lainnya disajikan pada TabelX.
TabelX. Komposisi kimia minyak sawit kasar dan minyak nabati lain
Sifat fisika dan kimia minyak sawit kasar disajikan pada TabelX.
5
Bilangan Iod 44-58
Bilangan Penyabunan 195-205
(Winarno, 1999)
Minyak sawit kasar memiliki warna merah disebabkan kandungan karotenoid yang
larut minyak, sedangkan asam-asam lemak dan trigliserida tidak berwarna. Bau dan flavor
alami minyak sawit disebabkan oleh gugus beta ionone dari karotenoid, sedangkan bau yang
menyimpang dapat terjadi akibat asam-asam lemak khususnya rantai pendek mengalami
kerusakan membentuk asam lemak (Raharjo et al., 1998).
Pengolahan minyak sawit kasar secara komersial menjadi minyak goreng secara
umum melalui tahap ekstraksi, pemurnian dan fraksinasi. Pada tahap pemurnian idlakukan
pemisahan gum (degumming), pemisahan asam lemak bebas (deasidifikasi), pemucatan
(bleaching) dan penghilangan bau (deodorisasi). Pada tahap fraksinasi dilakukan pemisahan
fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin) dari minyak dengan winterisasi, proses
pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah
dengan cara pendinginan (chilling) hingga suhu 5-7°C (Ketarren, 2005). Standar CPO
berdasarkan SNI tahun 1998 disajikan pada Tabel X.
Tabel 4. Standar kualitas CPO
No Karakteristik SNI 01-0016-1998
1 Asam lemak bebas (sebagai palmitat) b/b Maks. 5,0 %
2 Kadar air (b/b) Maks. 2,0%
3 Kadar kotoran Maks. 0,02%
4 Bil. iod Min. 56
Pada pembuatan minyak sawit merah, proses bleaching tidak dilakukan untuk
menghindari kehilangan karotenoid dari minyak sawit kasar. Proses bleacing dapat
mengurangi karotenoid minyak sawit sekitar 80% (Helena, 2003), dan zat bleaching seperti
arang aktif 0,1-0,2% menyerap zat warna sebesar 95-97% dari total zat warna minyak sawit
kasar (Ketaren, 2005).
Minyak sawit kasar memiliki kandungan karotenoid tinggi sebesar 500-700 ppm
terutama α-karoten mencapai 30-35% dan β-karoten mencapai 50-56,2%, tokoferol 500-600
ppm, dan tokotrienol 1000-1200 ppm (Zou dkk., 2012). Adapun mikronutrien dan komponen
minor minyak sawit disajikan pada Tabel X.
6
Karotenid
α-karoten 30,0-35,16 b
β-karoten 50,0-56,02 b
Likopen 1,0-1,30 b
Total Karotenoid 500-700 b
Tokoferol
α-tokoferol 129-215 a
β-tokoferol 22-37 a
γ-tokoferol 19-32 a
δ-tokoferol 10-16 a
Total tokoferol 500-600 a
Tokotrienol
α-tokotrienol 44-73 a
β-tokotrienol 44-73 a
γ-tokotrienol 262-437 a
δ-tokotrienol 70-117 a
Total tokotrienol 1000-1200 a
Fitosterol 326-527 b
Fosfolipid 5-130 b
Squalen 200-500 b
Ubiqunion 10-80 b
Alkohol alifatik 100-200 b
Alkohol triterpena 40-80 b
Metil sterol 40-80 b
Hidrokarbon alifatik 50 b
a) O’brien, 2010; b) Zou et al., 2012
Minyak goreng adalah produk dari pengolahan CPO yang melibatkan bleaching.
Adapun mutu minyak goreng berdasarkan SNI 7709-2012, diantaranya nilai peroxide value
(PV) maksimum 10 meq/kg dan free fatty acid (FFA) maksimum 0,3% (SNI, 2012).
Ayustaningwrano, 2012
7
Prinsip pembuatan RPO dari CPO melalui tahapan degumming, deasidifikasi, deodorisasi,
dan fraksinasi (Ayustaningwarno dkk., 2012;
8
Metode pengukuran Ayu et al, 2016
9
Nanoemulsi dengan sistem emulsi minyak dalam air (o/w) merupakan salah satu
alternatif untuk meningkatkan kelarutan dan stabilitas komponen bioaktif yang terdapat
dalam minyak sawit merah. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan hasil karakterisasi
ukuran diameter droplet dan distribusi droplet nanoemulsi minyak sawit merah yang
disiapkan dengan high
pressure homogenizer. Faktor yang berpengaruh terhadap ukuran diameter droplet emulsi,
antara lain rasio fase minyak:fase air, konsentrasi emulsifier, dan tekanan homogenisasi.
Diameter droplet nanoemulsi minyak sawit merah yang dihasilkan berkisar 10,5 sampai 23,8
nm. Semakin kecil rasio fase minyak:fase air, semakin besar konsentrasi emulsifier, dan
semakin tinggi tekanan, diameter droplet nanoemulsi menjadi semakin kecil (Yuliasari dan
hamdan, 2012)
10
Proses deodorisasi merupakan upaya memisahkan senyawa mudah menguap dan residu air.
Proses dimulai dengan menghomogenkan RPO dengan cara mensirkulasikan dalam tangki
deodoriser selama 10 menit pada suhu 46+2°C, selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu
140°C pada kondisi vakum 20 mmHg selama 1 jam. Setelah proses deodorisasi, RPO
didinginkan hingga suhu 60°C pada kondisi vakum (Riyadi dkk., 2016).
Optimalisasi tahap deasidifikasi menggunakan analsis respon surface methode (RSM)
diketahui optimal pada suhu 61+ 2°C selama 26 menit, dengan konsentrasi 16°Be NaOH dan
excess 17,5% dari NaOH yang dibutuhkan, menghasilkan Neutralized RPO yang
pengurangan kadar asam lemak bebas sebanyak 96,35% , recovery β-karoten sebesar 87,30%
dan yield 90,16% (Widarta dkk., 2012).
Tingkat vakum yang tinggi akan mengurangi penggunaan gas dan mencegah
hidrolisis terhadap minyak (O’brien, 2004). Suhu yang tinggi dan waktu kontak yang lama
mengakibatkan terjadinya dekomposisi sebagian besar karoten sehingga perlu penentuan
yang meminimalkan kerusakan karoten. Namun secara komprehensif perlu ditinjau juga
pengaruhnya tidak hanya pada karoten tetapi pada tokoferol, tokotrienol, dan tingkat
retensinya, free fatty acids (FFA), peroxide value (PV), respon panelis terhadap palmyodor.
Red Palm Oil (RPO) dapat dipergunakan untuk pengembangan produk lebih lanjut
dalam bidang nutrasetikal, farmasetikal dan fortifikan. Red palm oil (RPO) dikenal sebagai
produk turunan crude palm oil (CPO) yang kaya karoten. Pengolahan CPO tanpa tahapan
bleaching akan diperoleh RPO (Sumarna, 2014). RPO merupakan fraksi olein dari hasil
fraksinasi minyak sawit CPO. Fraksi cair dan padat dalam CPO berturut-turut adalah 65-70%
olein dengan melting point 18-20°C dan 30-35% stearin dengan melting point 48-50°C. RPO
mengandung β-karoten 375 ppm, vitamin E 559-1000 ppm dalam bentuk tokoferol 18-22%
dan tokotrienol 78-82%, adapun karotenoid yang terkandung adalah β-karoten 54,4%, α-
karoten 36,2%, γ-karoten 3,3%, likopen 3,8% dan xantofil 2,2% (Mayamol et al., 2007).
Untuk menghasilkan minyak sawit merah dengan kandungan karotenoid yang tinggi
maka proses bleaching dan deodorisasi tidak dilakukan karena komponen minor seperti
karotenoid akan terserap oleh bleaching earth (tanah pemucat) dan rusak oleh suhu tinggi
(260 – 280 °C) dan tekanan vakum rendah pada proses deodorisasi (Ariana et al., 1996).
Bleaching earth dapat menyerap sekitar 20 sampai 50 % karotenoid dari degummed oil
(Rossi et al., 2001). Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui
proses pemucatan (bleaching) dengan tujuan mempertahankan kandungan karotenoidnya.
Dengan demikian, minyak sawit merah dapat digunakan sebagai pangan fungsional, karena
11
minyak sawit merah berperan sebagai sumber provitamin A dan vitamin E (Sumarna, 2014).
Minyak sawit merah tidak dianjurkan digunakan sebagai minyak goreng, karena karotenoid
yang terkandung didalamnya rusak pada suhu tinggi, lebih dianjurkan sebagai minyak makan
sebagai menumis sayur, daging dan bumbu. Minyak sawit merah juga baik digunakan dalam
pembuatan salad oil (minya k salad), serta dapat digunakan sebagai bahan fortifikan makanan
untuk produk pangan berbasis minyak atau lemak, seperti margarin dan selai kacang
(Andarwulan dkk., 2003).
Minyak sawit merah merupakan minyak sawit kasar kaya karotenoid yang diproses
secara minimal. Secara umum, proses produksi minyak sawit merah pada prinsipnya sama
dengan proses pembuatan minyak goreng komersial, namun tidak dilakukan tahapan
Bleaching. MSM masih berwarna merah dan memilki aktivitas provitamin A dan vitamin E
sehingga memiliki nilai gizi lebih baik dibanding minyak nabati lainnya. Keberadaan
provotamin A dan vitamin E pada MSM yang cukup tinggi menyebabkan penggunaannya
perlu dihindari dari proses panas tinggi yang lama, sebab vitamin di dalammnya mudah rusak
pada suhu tinggi. Lebih lanjut penggunaan MSM lebih banyak dalam menumis, minyak salad
dan fortifikan.
Pembuatan minyak sawit merah merah (MSM) telah dikembangkan sejak tahun 90-an
seiring dengan meningkatkatnya kesadaran pentingnya zat karotenoid bagi kesehatan
manusia. Ada tiga macam proses pembuatan MSM yaitu 1) proses menggunakan
deasidifikasi kimiawi dipadukan dengan penggunaan deodorizer konvensional untuk
menghilangkan bau, 2) proses menggunakan distilasi molekuler, dan 3) proses deasidifikasi
kimiawi dengan rotary evaporator untuk menghilangkan bau. Proses nomor 1 da 2 digunakan
dalam pembuatan MSM komersial, sednagkan proses nomor 3 telah dikembangkan oelh
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan (Jatmika dan Guritno, 1997).
Proses pembuatan MSM di PPKS Medan melalui tahapan degumming dengan asam
fosfat 85% dan deasidifikasi dengan natrium karbonat 20% pada suhu ruang, kemudian sabun
dipisahkan dengan penyaring vakum (Jatmika dan Guritno, 1997). Proses deasidifikasi dapat
12
menggunakan natrium karbonat 10% (Sirajjudin, 2003). Proses asidifikasi dapat dilakukan
dengan NaOH 11,1% pada suhu proses 60°C selama 25 menit (Mas’ud, 2007). Karakteristik
minyak sawit merah disajikan pada TabelX. Deasidifikasi setelah degumming untuk
memsisahkan gum, deasidifikasi dilakukan untuk memisahkan asam lemak bebas yang
terbentuk oleh aktivitaS enzim, uap air, dan oksigen pada pasca panen sawit. Kelebihan
NaOH akan menyabunkan trigliserida dan mereduksi minyak netral yang dihasilkan, dengan
suhu yang tepat berpengaruh pada kekompakan dan kecepatan pengendapan sabun serta total
karotenoid dalam minyak sawit merah (Widarta dkk., 2012).
Adapun red palm oil (RPO) memiliki karoten dan parameter kualitas lainnya stabil
selama 9 bulan bila disimpan pada 30°C dan lebih 1 tahun bila disimpan pada suhu 10°C
(Nagendran et al., 2000). Menurut Nagendran et al (2000), produk RPO yang sesuai standar
memiliki spesifikasi mempertahankan 80% karoten dan vitamin E dalam dari CPO, dengan
jumlah karoten >500 ppm, 90% terdiri dari α-karoten dan β-karoten, adapun vitamin E sekitar
800 ppm, t0% dalam bentuk tokotrienol (fraksi utama adalah α-, β-, dan γ- tokotrienol).
Berdasarkan aktivitas vitamin A dan biaya produksi RPO maka dapat dibuat
perbandingan biaya dengan sumber-sumber lainnya seperti pada TabelX.
13
RPO 61,39/g 6,5 g 0,0066
Tomat 1/g 400 g 0,7
Sayur berdaun 6,85/g 58 g 0,58
Wortel 20/g 20 g 0,023
Β-karoten 1000/kapsul 1 kapsul 0,041
Minyak hati ikan cod 1000/kapsul 1 kapsul 0,084
(Scrimshaw, 2000)
Aktivitas vitamin A RPO dibandingkan sumber tanaman lainnya disajikan pada TabelX
Tabel X. Aktivitas vitamin A RPO dibandingkan sumber tanaman lainnya
a
Sumber RE/100g Aktivitas
(edible relatif b
portion)
Crude Palm Oil (CPO) 30.000 1
Wortel 2.000 15
Sayur berdaun 685 44
Aprikot 250 120
Tomat 100 300
Pisang 8 3.750
Jeruk atau orange juice
a
Retinol Equivalent,
b
Aktivitas CPO dibandingkan sumber lainnya
(Scrimshaw, 2000)
14
Karoten dalam minyak sawit merah
Minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600 sampai 1000 ppm. Karotenoid
yang terdapat dalam minyak sawit terdiri dari α-karoten ± 36, 2 %, ß-karoten ± 54, 4 %, γ-
karoten ± 3,3 %, likopen ± 3,8 %, dan santofil ± 2,2 % (Naibaho, 1990). Kadar karoten
minyak sawit merah 60 kali lebih besar dibandingkan dengan minyak goreng (Jatmika dan
Guritno, 1997).
Kajian fotodegradasi klorofil, tokoferol dan karoten RPO selaam terpapar cahaya fluoresen
5.000, 10.000 dan 15.000 lux diketahui bahwa klorofil mengalami degradasi cepat 6 jam
pertama mengikuti ordo pertama mencapai 5,64x102 /hari, tokoferol mengalami degrasi
paling tinggi mencapai 17,33 x102/hari, dan paling rendah adalah degradasi karoten mencapai
1,98x102 /hari ketika paparan cahaya 15.000 lux sedangkan penchayaan normal ruang
laboratorium 476,25-484,89 lux (Ayu dkk., 2016). Laju fotodegradasi klorofil, tokoferol dan
karoten RPO disajikan pada TabelX.
Nilai Konstanta laju degradasi (k) pada variasi paparan cahaya
5.000 lux 10.000 lux 15.000 lux
Klorofil
15
Degradasi cepat 3,81x102 / hari 4,45x102 /hari 5,64x102 /hari
Degradasi lambat 1,41x102 / hari 3,01x102 /hari 4,59x102 /hari
Tokoferol 9,10x102 / hari 12,02x102 /hari 17,33 x102 /hari
Karoten 0,80x102 / hari 1,40x102 /hari 1,98x102 /hari
(Ayu dkk., 2016)
Minyak yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh rentah terhadap
fotooksidasi karena banyaknya elektron dalam ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh
(Min and Boff, 2002). Degradasi tokoferol selama fotooksidasi berhubungan dengan sifat
antioksidan (Choe and Min, 2009; Choe, 2013). Energi cahaya dapat menyebabkan
pemecahan ikatan O-H dan ikatan lainnya pada struktur tokoferol menghasilkan radikal
semoquinone dan quinone (Sabliov et al., 2009).
2.4. Antioksidan
Antioksidan
Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang dapat mendonorkan satu atau lebih atom
hidrogen sehingga mampu menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi. Senyawa
antioksidan biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh senyawa
radikal bebas. Senyawa radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya tidak
stabil yaitu mempunyai satu atau lebih elektron tanpa pasangan, sehingga untuk memperoleh
pasan gan elektron senyawa ini sangat reaktif dan merusak jaringan. Keberadaan antioksidan,
daat menstabilkan radikal bebas dan keruskan sel tubuh dapat dicegah.
2.5. Karotenoid
16
Analsis head space oksigen, droplet, lipid hidroperokside, headspace volatil (2014, berton carabin)
Karotenoid adalah kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga
serta larut dalam minyak (Winarno, 1991). Karotenoid banyak ditemukan pada minyak
kedelai, jagung, biji matahari dan minyak sawit kasar. Penyusun utama karotenoid adalah β-
karoten, yang diisolasi pertama kali pada tahun 1831 (Gross, 1991). Struktur karoten terdiri
dari ikatan hidrokarbon tidak jenuh dari 40 atom C dan memiliki 2 gugus cincin. Perbedaan
struktur uatam karotenoid terletak pada jumlah ikatan rangkap, serta jenis gugus pada cincin
yang mempengaruhi aktivitas biologisnya sebagai provitamin (Klaui dan Bauerafeind, 1981).
Karotenoid dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu karoten dan xantofil. Karoten
tersusun oleh C dan H yang terdiri dari α-, β-, γ- karoten, sedangkan xantofil tersusun oleh C
dan H yang terdiri dari kriptoxantin, kaptaxantin, dan zeaxantin. Karoten dapat berfungsi
aktif dalam bentuk β-karoten dan non-aktif dalam bentuk fucoxantin, neoxantin, dan
violaxantin (Gross, 1991).
Karotenoid termasuk lipid yang larut dlaam senyawa lipid lainnya, sehingga disebut
juga lipofilik dan pelarut lemak seperti aseton, alkohol, dietil eter dan kloroform. Karoten
dapat larut dalam pelarut non-polar seperti heksan, sedangkan xantofil larut sempurna dalam
pelarut polar seperti alkohol. Karotenoid juga disebut hidrofobik karena tidak dapat larut air.
Karotenoid tidak tersabunkan dan umumnya berbentuk padat pada suhu ruang (Gross, 1991).
Karotenoid dapat diukur menggunakan metode UV-Vis Spektrofotometeri sebagai β-karoten
dimana absorbansi maksimum terjadi pada panjang gelombang 446 nm dan menggunakan
pelarut heksan (Choo, 1994), dan terdeteksi juga antara panjang gelombang 430-480 nm
(Fennema, 1996).
Keberadaan ikatan rangkap pada karotenoid menyebabkan karotenoid peka terhadap
cahaya, oksigen, panas dan degradasi asam. Selama pengolahan pangan, bentuk trans pada
karotenoid dapat mengalami isomerasi menjadi bentuk cis sehingga aktivitas provitamin A
turun (Klaui dan Bauernfiend, 1981; Murakoshi, 1992).
Asam lemak tidak jenuh mudah merupakan lingkungan penyimpanan yanbg baik
untuk karotenoid karena asam lemak tidak jenuh mudah menerima radikal bebas
dibandingkan karotenoid, sehingga oksidasi pertama terjadi pada asam lemak tidak jenuh.
Pada suasana asam, karotenoid mudah mengalami isomerasi dari bemtuk trans menjadi cis.
Faktor utama yang mempengaruhi karoten selam pengplahan pangan dan
penyimpanan adalah oksidasi dan perubahan struktur oleh panas. Oksidasi karoten dipercepat
17
oleh keberdaan cahaya, panas, peroksida dan bahan pengoksida lainnya. Panas dapat
mendekomposisi karoten yang menyebabkan perubahan stereoisomer. Pemanasan sampai
dengan 60°C tidak mengakibatkan dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan
stereoisomer. Karoten akan menurun drastis pada pengolahan sekitar suhu 180-219°C
(Klaui dan Bauernfeind, 1981).
Reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat pada suhu relatif tinggi terutama
terdapat prooksidan misalnya katalis logam khususnya tembaga, besi, dan mangan. Oksidasi
akan membuka cincin β-ionone pada ujung molekul karoten sehingga terjadi kerusakan
aktivitas karoten. Kepekaan terhadap oksidasi yaitu sebagai perangkap oksigen, membuat
karotenoid digunakan sebagai antioksidan untuk mencegah oksidasi pada lemak (Iwasaki dan
Murakhosi, 1992).
Teknologi nano telah dikembangkan dalam dekade terakhir yang secara praktis
menjadi salah satu metode untuk membentuk material menjadi ukuran nano sehingga mampu
meningkatkan solubilitas substansi tertentu juga peningkatan bioavailabilitas. Emulsi β-
karoten dapat dibuat dengan melarutkan 0,3% β-karoten dalam larutan heksana sebagai fase
organik, dengan aqueous phase mengandung Tween 20 0,5% lalu dihomogenisasi dengan
alat high pressure homogenization, selanjutnya heksana dikeluarkan dengan rotary
evaporator (Tan and Nakajima, 2005). Peningkatan penggunaan tekanan dari 60 -140 MPa
khususnya dalam tiga siklus menghasilkan diameter partikel yang lebih kecil, namun retensi
β-karoten setelah penyimpanan 12 minggu semakin rendah dari 56% menjadi 32% (Tan and
Nakajima, 2005). Oleh karena itu perlu upaya meningkatkan retention β-karoten perlu
diupayakan.
Upaya mempertahankan nilai nutrisi seperti karoten dalam pengolahan minyak sawit
menjadi CPO dapat dilakukan dengan metode supercritical fluid extraction (SFE) dan
destilasi molekuler, namun investasinya mahal meskipun nutrisinya sangat tinggi
(Ayustaningwarno dkk., 2012). Adapun metode yang umum dilakukan untuk mendapatkan
minyak sawit CPO adalah seperti pada gambar X.
Karoten dalam minak sawit kasar terdapat dalam bentuk bebas dalam minyak sebagaiu
medium pelarutnya (Comb, 1992). Pada buah-buahan dan syuran, karoten biasanya
membenrtuk kompleks dengan protein atau teresterifikasi dengan asam lemak sehingga
versifat lebih stabil dibandingkan dengan karoten minyak sawit kasar. Perbandingan retonol
equivalen (RE) beberapa jenis bahan pangan nabati disajikan pada TabelX.
18
Tabel X. Retinol equivalent (RE) beberapa bahan pangan nabati
19
panas menurut Sanidin et al (2000) disebabkan β-karoten memiliki 11 ikatan rangkap yang
terkonjugasi dan labih terhadap oksidasi dan panas.
Selama oksidasi termal, β-karoten dikonversi menjadi dione, kemudian menjadi short
chain species atau isomer dan epoksida lalu menjadi apokaroten. Epoksidasi terjadi pada
daerah dekat cincin, yang meudah men jadi epoksi-apo-karotenal disajikan pada GambarX.
Gambar X. Skema mekanisme yang mungkin terjadi selama degradasi oksidasi termal
terhadap β-karoten minyak jagung (Zeb, 2012)
Pengunaan NaOH pada proses deasidifikasi selain untuk menetralkan asam lemak
bebas, juga dapat menghilangkan komponen minor dalam minyak sawit kasar berupa sterol,
klorofil, vitamin E da karotenoid namun hanya dalam jumlah kecil. Menurut Ketaren (2005)
maki tinggi konsentrasi laritan alkali yang digunakan dalam asidifikasi, makin besar jumlah
karotenoid yang hilang dan minyak yang dihasilkan berwarna lebih pucat. Menurut Jatmika
dan Guritno (1997) penurunan karoten pada minyak sawit merah disebabkan karena
terjadinya kerusakan oleh sifat basa dari alkali. Hal tersebut diperjelas oleh temuan pada
penggunaan natrium bikarbonat (NaCO3). Pengunaan larutan NaCO3 14% menghasilkan
MSM dengan kandungan karotenoid 509,3 ppm, sedangkan pada pengunaa larutan NaCO3
20% jumlah karotenoid menjadi 361,2 ppm. Penggnaan larutan NaCO3 10% saat
20
deasidifikasi dilaporkan oleh Sirajjudin (2003)tidak memberikan perubahan karotenoid MSM
yang berarti.
Manfaat karotenoid
Tabel X. Angka Kecukupan Vitamin A dan E yang dianjurkan untuk Orang Indonesia (per
orang per hari)
21
Kelompok umur Vitamin A (µg) Vitamin E (mg)
Bayi/anak
0-6 bulan 375 4
7-11 bulan 400 5
1-3 tahun 400 6
4-6 tahun 450 7
7-9 tahun 500 7
Laki-laki
10-12 tahun 600 11
13-15 tahun 600 12
16 + tahun 600 15
Perempuan
10-12 tahun 600 11
13+ tahun 600 15
Hamil (+an)
Trimester 1 +300 +0
Trimester 2 +300 +0
Trimester 3 +350 +0
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +350 +4
6 bulan kedua +350 +4
Ibu menyusui
18 tahun atau lebih muda 4.000
18 tahun atau lebih 4.333
(Kartono dkk., 2012)
Sifat karotenoid adalah peka terhadap oksidasi karena adanya ikayan rangkap
sehingga karotenoid berperan sebagai antioksidan alami. Tiga mikronutrien yakni β-karoten,
22
vitamin E dan vitamin C mempunyai aktivitas untuk melawan radikal bebas yang dipercayai
sebagai penyebab penyakit degeneratif.
Vitamin A
Sumber vitamin A terbesar adalah karoten seperti pada bahan sayuran hijau, buah-
buahan berwarna kuning dan merah. Bahan pangan sumber karotenoid dibagi dalam tiag
kelompok besar seperti pada TabelX.
Kandungan
Tinggi Sedang Rendah
(RE>20.000 µg/100 g) (RE 1000-20.000 µg/100 g) (RE < 1000 µg/100 g)
Minyak sawit kasar Hati kambing/domba Roti
Minyak Ikan Hati ayam Daging babi, sapi
Ubi jalar Kentang
Wortel Ikan
Bayam
(Winarno, 1991)
Karoten merupakan sumber vitamin A yang berasal dari pangan nabati dalam bentuk
provitamin A. Tubuh manusia mempuanyai kemampuan mengubah sejumlah besar karoten
menjadi vitamin A (retinol) seperti GambarX, sehingga karoten disebut provitamin A.
(Winarno, 1991). Struktur β-karoten dan isomernya disajikan pada GambarX.
GambarX. Retinol
23
GambarX. Struktur β-karoten dan isomernya, (a)All-E-β-carotene, (b) 9-Z- β-carotene, (c)
13-Z- β-carotene dan (d) 15-Z- β-carotene
(Zeb, 2012)
Kandungan komponen utama vitamin E dalam red palm oil adalah α-tokoferol sebesar 242
mg/kg, α-tokotrienol 266 mg/kg, γ-tokotrienol 367 mg/kg dan δ-tokotrienol 80 mg/kg (Yi et
al., 2011). Pada campuran palm olein dan minyak ikan lalu disimpan pada 30°C
dikonfirmasi mampu menurunkan konsentrasi relatif radikal bebas terutama pada
perbandingan palm olein: minyak ikan sebasar 4:1(Yi et al., 2011). Penggunaan palmitat
askorbil tunggal atau kombinasi dengan asam sitrat pada kadar 500 mg/kg lebih baik
dibandingkan kadar 200 mg/kg, dalam menghambat pembentukan radikal bila dibandingkan
kontrol (tanpa penambahan antioksidan) (Yie et al., 2011). Kombinasi antioksidan kadang
memberikan dampak mencegah oksidasi lipida, hal ini berkaitan dengan penambahan
radical-scavenging antioxidant yang mengakhiri rantai reaksi radikal, metal chelator untuk
deaktivasi metal dari aktivitas yang mempromosikan dekomposisi hidroperoksida (Yi et al.,
2011). β-tokotrienol, δ-tokotrienol dan γ-tokotrienol lebih stabil dibandingkan α-tokoferol
dan α-tokotrienol terhadap rekasi oksidasi pada penyimpanan 4 jam campuran palm olein
dan minyak ikan (Yi et al., 2011). Kadar α-tokoferol dan α-tokotrienol mengalami penurunan
24
selama penyimpanan, diyakini bahwa α-tokoferol mudah teroksidasi dan ditunjukkan dengan
meningkatkan peroxide value (PV) dan pengurangan headspace oxygen selama penyimpanan
6 hari pada minyak kedelai (Kim et al., 2007). Oksidasi pada α-tokoferol dilaporkan
membentuk radikal peroksida α-tokoferol, radikal oksida α-tokoferol, radikal hidroksida dan
oksigen singlet, selain itu menurnkan tegangan permukaan tegangan minyak sehingga terjadi
transfer oksigen ke minyak yang memudahkan reksi oksidasi lanjut (Kim et al., 2007).
Tokoferol adalah antioksidan alami yang paling banyak pada minyak sayuran. Tokoferol
memproteksi kejadian oksidasi lipida melalui donasi hidrogen dari gugus fenolik yang
berada pada cincin chromanol kepada radikal peroksida dalam tahap propagasi (Kamal-Eldin
and Appelqvist, 1996).
Oleh karena itu perlu diketahui konsentrasi optimum penggunaan RPO yang mengandung
karotenoid, vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) yang mampu meningkatkan stabilitas
oksidatif suatu minuman emulsi.
Food Lipids
Chemistry, Nutrition, and Biotechnology
Second Edition, Revised and Expanded
Ed. By Akoh, C.C and Min, A.B., Publisher Marcel Dekker Inc
25
GambarX. Struktur senyawa vitamin A
26
GambarX. Senyawa vitamin E
27
Vitamin E
Vitamin E yang terdiri dari kompenen tokoferol dan tokotrienol diyakini sebagai grup
uatam antioksidan larut lemak mencegah oksidasi lipida pangan. Secara struktural, vitamin E
memiliki gugus kepala chromanol dengandua cincin (fenolik dan heterosiklik) dan gugus
ekor lipofilik isoprenoid seperti Gambar X. Tokoferol memiliki ekor Fitil jenuh, sedangkan
tokotrienol memiliki tiga ikatan rangkap. Posisi dan jumlah grup metil pada chromanol
menentukan tipe spesifik tokoferol atau tokotrienol dengan penamaan α, β, γ, atau δ (Zou and
Akoh, 2015). Antioksidan tokofrtol dan tokotrienol berperan dalam donasi hidrogen fenolik
kepada radikal beabs lipida, dan kontribusinya rendah terhadap singlet oxygen quenching
(Eitenmiller & Lee, 2004 dalam Zou and Akoh, 2015). Banyaknya metil pada posisi ortho
dan atau para terhadap grup hidroksil akan lebih mudah merusak ikatan O-H (Johson, and
Dilabio, 2001). Perbedaan isomer menentukan efektivitas antioksidan dan efektivitas bentuk
α > β > γ > δ dalam mendonorkan hidrogen (Kamal-Eldin and Appelqvist, 1996).
28
Gambar Struktur tokoferol dan tokotrienol (Choe and Min, 2009)
Asam lemak bebas merupakan salah satu faktor penentu mutu minyak. Asam lemak bebas
dalam minyak tidak dikehendaki dan selalau diupayakan kadar serendah mungkin. Degradasi
asam lemak bebas tidak diinginkan dalam pengolahan minyak sebab menghasilkan bau yang
tidak disukai. Pada minyak sawit, kerusakan dapat disebabkan oleh hidrolisis dan oksidasi
(Rahardjo et al., 1998). Mekanisme reaksi hidrolisis dan oksidasi disajikan pada GambarX.
29
Hidrolisis terjadi pada ikatan ester dari molekul gliserida membentuk asam lemak
bebas dan gliserol. Enzim penyebab hidrolisis disebabkan oleh lipase yang terdapat alami di
dalam buah sawit, dan oleh mikroorganisme lipolitik. Lipase mulai aktif pada saat struktur
seluler buah menajdi pecah atau rusak., terutama pasca panen sawit. Kecepatan hidrolisis
oleh enzim lipase relatif lambat pada suhu rendah, tetapi pada kondisi yang sesuai akan
berjalan intensif. Lipase bekerja optimal antara suhu 66-75°C. Upaya mengurangi kecepatan
hidrolisis oleh lipase dapat dilakukan dengan perlkuan suhu tinggi (Hartley, 1977).
Kenaikan asam lemak bebas mempermudah proses oksidasi berantai dan
pembentukan senyawa peroksida, aldehid, keton, dan polimer. Oksidasi berantai
menyebabkan penguraian konstituen aroma, flavor, dan vitamin. Pembentukan senyawa
seperti peroksida, aldehid dan keton menyebabkan bau tengik, pencoklatan pada minyak dan
kemengkinan menimbulkan keracunan (Rahardjo et al., 1998).
Oksidasi minyak sawit melalui asam oleat yang merupakan komponen yang
jumlahnya hampir 50% dari keseluruhan asam lemak dalam minyak sawit. Namun, minyak
sawit relatif stabil terhadap oksidasi, sebab hanya sedikit mengandung asam lemak tidak
30
jenuh rantai panjang. Selain itu juga mengandung tokoferol dan karotenoid sebagai
antioksidan alami (Winarno, 1999).
Hasil penelitian Meridian (2000) yang melakukan deasidifikasi minyak sawit
menggunakan NaOH pada suhu 30-40°C selama 30 menit memperoleh MSM dengan kadar
asam lemak bebas 0,25%. Wulandari (2000) melakukan deasidifikasi dengan NaOH pada
suhu 35-40°C selama 30 menit menghasilkan minyak dengan kadar asam lemak bebas
0,23%. Mas’ud (2007) melakukan deasidifikasi minyak sawit dengan NaOH 11,1% pada
suhu 60°C selama 25 menit, menghasilkan monyak dengan kadar asam lemak bebas 0,16%.
Berdasarkan kajian fotodegradasi RPO, selama penyimpanan RPO, maka klorofil
mengalami laju degradasi paling cepat, tokoferol mengalami laju degradasi paling tinggi, dan
karoten mengalami laju degradasi paling lambat, secara umum klorofil paling sensitif
terhadap perubahan intensitas cahaya pada percobaan dengan intensitas cahaya 5000, 10.000
dan 15.000 lux (Ayu et al., 2016a). Keberadaan klorofil sebagai sensitizer umum fotooksidasi
karena klorofil terutama jenis klorofil-a dan feofitin-a menghasilkan oksigen singlet
walaupun pada konsentrasi rendah (0,07-1,2 mh/kg) (Jung dkk., 2011; Belitz dkk., 2009 lihat
ayu 2016a). Senyawa β-karoten berperan sebagai antioksidan melalui mekanisme quenching
oksigen singlet atau senyawa sensitizer lain yang tereksitasi oleh β-karoten (Chen dan Liu,
1998ayu 2016a).
dalam sistem secara bersamaan mengandung triasilgliserol, tokol, dan karoten maka
dapat menghambat fotooksidasi ditunjukkan dengan peroxide value yang terendah
dibandingkan sistem triasilgliserol+tokol, triasilgliserol+karoten, dan
triasil+tokol+karoten+klorofil (Ayu et al., 2016a).
lalu ditambahkan dalam jumlah kecil klorofil mengalami degradasi cepat 6 jam
pertama mengikuti ordo pertama mencapai 5,64x10-2 /hari, tokoferol mengalami degrasi
paling tinggi mencapai 17,33 x10-2/hari, dan paling rendah adalah degradasi karoten
mencapai 1,98x10-2 hari ketika paparan cahaya 15.000 lux dibandingkan kontrol pada
pencahayaan normal ruang laboratorium 476,25-484,89 lux dengan laju degradasi sebesar
1,9x10-3/hari untuk RPO dalam botol gelap dan 6,0x10-3/hari untuk RPO dalam botol
transparan (Ayu dkk., 2016). Pengaruh klorofil terhadap oksidasi juga telah diteliti pada
minyak kedelai yang menunjukkan bahwa keberadaan klorofil dalam jumlah kecil perlu
diproteksi dari cahaya sebab klorofil sangat responsif terhadap cahaya, dan terbukti pada
panjang gelombang 340 dan 660 nm terjadi eksitasi klorofil (Bianchi et al., 2015). Menurut
31
Choe dan Min (2006), klorofil merupakan sensitizer umum dalam fotooksidasi minyak sayur,
klorofil mampu menyerap cahaya kemudian mentrasfer energi sehingga sensitizer berdada
dalam bentuk tipllet oksigen (3O2) lalu membentuk singlet oksigen yang lebih reaktif. RPO
dalam sistem emulsi tentu mengalami laju degradasi yang berbeda tergantung sistem emulsi.
Kajian laju degradasi komponen minor RPO pada sistem emulsi yang stabil untuk
mengetahui umur simpan dan saran penanganan selama penyimpanan, distribusi hingga
pengguanaan bagi konsumen.
Kestabilan fotooksidatif sangat diperlukan oleh minuman emulsi karena produk minuman
selama proses, distribusi dan penyimpanan tidak lepas dari pengaruh lingkungannya seperti
cahaya. Pada produk minuman emulsi berbahan air tinggi akan mudah mengalami kerusakan
hidrolisis. Tinjauan keamanan pangan minuman emulsi perlu dipertimbangkan agar tidak
menjadi carrier produk oksidatif yang reaktif bersifat prooksidan dan karsinogenik.
Minuman emulsi RPO dan kinetika perubahan peroxide value (PV) telah dikaji oleh Mursalin
dkk (2015). Selain itu perlu dipelajari status keamanan produk emulsi RPO yang melibatkan
perkembangan mikroorganisme dalam produk yang menunjukkan batas aman dikonsumsi.
Berton-Carabin, C. C., Ropers, M.H., dan Genot, C. 2014. Lipid Oxidation in Oil-in-Water
Emulsions: Involvement of the Interfacial Layer. Comprehensive Review in Food Science
and Food Safety. Vol 13: 945-977
Solubilitas Fe rendah pada pH 7,0 menghasilkan presipitasi metal pada permukaan droplet
lipid dengan cara demikian membawa Fe lebih dekat untuk kontak dengan fase lipid
dibandingkan kondisi pH 3 (Mancuso dkk., 1999). Oksidasi lipid yang dikatalisis oleh
tembaga dalam emulsi yang distbailkan oleh WPI lebih rendah pada pH 3 dibandingkan pada
pH 7 (Osborn-barnes dan Akoh, 2003). Hal ini berkaitan dengan ketersediaan muatan negarif
droplet yang distabilkan oleh WPI pada pH 7 menarik muatan positif metal sehingga
mempromosikan oksiadasi lipid (Donnelly, 1998). Pada penggunaan antioksidan α-tokoferol
dan asam sitrat akan lebih efektif bila kondisi pH 3 dibandingkan pH 7, dengan kondisi pH
rendah meningkatkan kapasitas donasi hidrogen oleh antioksidan. Oksidasi lipid juga terjadi
lebih cepat pada pH 6,7 dibandingkan pH 3 in BLG dan Tween-20 sebagai emulsifier (Berton
dkk., 2011b).
32
keberadaan tinggi Fe (500µM) untuk konsentrasi NaCl yang sama meningkatkan oksidasi
lipid
Keberdaaan askorbat pada konsentrasi rendah berperan sebagai prooksidan pada Fe sebab
kemampuan askorbat mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Ferro ion berkaitan dengan
pemvbentukan ROS (reaksi 3 dan 5) dan dalam dekomposisi hidroperoksida (reaksi 7).
Askorbat disukai oksidasi dalam minyak ikan diperkayai dalam mayonaise . Sebaliknya bila
konsentrasi askorbat berlebih sampai besar dengan metal, askorbat berperan sebagai
antioksidan melalui direct scavenging redikal beba s hidrofilik.
2.7. Termaloksidasi
Gadhave 2018
Surfaktan adalah kombinasi grup hirofilik dan lipofilik dalam molekul tunggal dan persentase
berat kedua grup mengindikasikan sifat molekul surfaktan. Nilai Hydrophilic Lipophilic
Balance (HLB) menentukan aksi suatu surfaktan. HLB < 10 baik untuk emulsi W/O
sedangkan HLB >10 baik untuk emulsi O/W. Nilai ao adalah area relatif dari grup kepala
surfaktan dan v/Lc yang menyatakan are ekor surfaktan, jika ao > v/Lc untuk mikroemulsi
O/W, dan ao < v/Lc untuk mikroemulsi W/O (Gadhave dkk., 2018).Mikroemulsi adalah
suatu sistem yang stabil secara termodinamika, transparan, rendah viskositas, dispersi
isotropik yang terdiri dari minyak dan air yang distabilkan oleh molekul surfaktan, dan
kadang terdapat kosurfaktan, ukuran partikel 5-100 nm (Flanagan and Signh, 2006).
Preparasi emulsi minyak, air dan emulsifier yang berperan dalam menstabilkan lapisan
permukaan antara zat yang didispersikan dan fase kontinyu, hal ini dapat dilakukan dengan
aplikasi energi seperti mekanis dan suara, emulsifier (Flanagan and Singh, 2006). Emulsi atau
makroemulsi adalah suatu sistem dengan karakteristik keruh, ukuran droplet antara 0,2 – 10
µm, stabil secara kinetik namun tidka stabil secara termodinamika. Mikroemulsi adalah
suatu sistem yang stabil secara termodinamika, larutan isotropik transparan, ukuran partikel
antara 5-100 nm, secara spontan dapat dibentuk dengan adanya hidrofilik dan hidrofobik dari
33
bagian surfaktan. Penggunaan aplikasi mikroemulsi dalakm pangan terbatas oleh tipe
surfaktan yang dapat memfasilitasi pembentukan mikroemulsi sebba beberapa surfaktan tidak
diijinka untuk pangan atau hanya dapat digunakan dalam jumlah rendah.
Minuman emulsi dengan kadar air 30-40% mudah mengalami kerusakan akibat
hidrolisis dan oksidasi sehingga produk minuman emulsi perlu ditentukan kestabilan
oksidatif-termal untuk mendapatkan sttaus keamanan pangan produk tersebut. Minuman
emulsi minyak sawit merah selama penyimpanan mengalami peningkatan bilangan
peroksida. Laju peningkatan bilangan peroksida pada penyimpanan 9°C lebih rendah
dibandingkan pada suhu kamar. Produk minuman emulsi minyak sawit merah dibuat dengan
rasio minyak : air sebesar 7:3, Tween 80 1,25%, benzoat 0,2%, BHT 200 ppm, EDTA 200
ppm, flavor jeruk 1,5% dan gula pasir 15% memiliki masa simpan 11,8 minggu pada suhu
refrigerasi dan 5 minggu pada suhu kamar dengan membandingkan standar mutu minyak oleh
Palm Oil Refiners Association of Malaysia (PORAM) bahwa minyak yang baik tidak boleh
megandung bilangan peroksida 5,0 meq O2/Kg bahan (Mursalin dkk., 2014).
Penggunaan bahan α-tokoferol dan kaya tokotrienol (tocotrienol rich fraction/TRF)
seperti annato TRF (γ-tokotrienol dan δ-tokotrienol, tanpa tokoferol) dan palm TRF
(tokoferol dan tokotrienol dengan komposisi tokoferol mencapai 25-50%) sebagai
antioksidan dalam sistem emulsi o/w menunjukkan kemampuan menurunkan angka
peroksida dan p-anisidin secara berturut-turut δ-tokotrienol dan annato TRF lebih baik
dibandingkan α-tokoferol, δ-tokoferol dan palm TRF (Zou and Akoh, 2015). Hal ini
menunjukkan bahwa peran tokotrienol sangat besar dalam mempertahankan kestabilan
oksidatif dan menghambat pembentukan hidroperoksida.
Berdasarkan quality function deployment (QFD) menyebutkan bahwa ada enam
atribut mutu penting, atribut mutu yang menjadi prioritas adalah kestabilan emulsi, diikuti
atribut mutu penting lainnya secara berturut-turut adalah warna, rasa, aroma, viskositas dan
flavor adapun proses penting yang berhubungan dengan kualitas atribut mutu adalah
homogenisasi dan bahan komplementer (Wulandari dkk., 2015). Wulandari dkk (2015)
menggunakan rasio minyak sawit merah : air : fruktosa : CMC : Flavor jeruk sebesar 30:60:
4,5:0,36:5,55 (b/b) dengan hasil emulsi minyak sawit merah yang stabil selama 5 hari,
kekentalan masih terlalu tinggi 50,4 cP sehingga menurunkan tingkat kesukaan konsumen.
Red palm oil memiliki stabilitas oksidatif tinggi dan natural antioksidan tinggi seperti
vitamin E dan karotenoid (Kamruzaman et al., 2015). Pada nugget ayam yang dicampurkan
dengan RPO jenis formula NVRO (kaya karoten , mencapai 505 ppm), NVRO-50 (karoten
mencapai 53 ppm), dan NVRO-100 (karoten mencapai 113 ppm) kemudian disimpan
34
selama empat bulan pada suhu -18°C menunjukkan masih mengandung vitamin E yang lebih
tinggi, nilai thiobarbituric acid (TBA) dan peroxide value (PV) lebih rendah dibandingkan
kontrol (Kamaruzaman et al., 2015). Hal ini menunjukkan penggunaan RPO mempengaruhi
stabilitas vitamin E dan total karoten sehingga dapat dipertimbangkan dalam pengembangan
kualitas gizi dan mengurangi oksidasi lipida nugget ayam (Kamaruzaman et al., 2015)
Bentuk emulsi yang stabil dalam fase kontinyu akan memudahkan aplikasi RPO
dalam pangan. Penelitian pada pembentukan nanoemulsi β-karoten dilakukan dengan agen
pembawa medium chain triglyseride (MCT), long chain triglyseride (LCT) seperti minyak
jagung, dapat mempertahankan sistem dari agregasi, pemisahan akibat gravitasi, oksidasi,
meningkatkan kelarutan, bioaccessibility dan bioavailabilitas β-karoten (Qian et al., 2012).
Teknologi nano telah dikembangkan dalam dekade terakhir yang secara praktis
menjadi salah satu metode untuk membentuk material menjadi ukuran nano sehingga mampu
meningkatkan solubilitas substansi tertentu juga peningkatan bioavailabilitas. Emulsi β-
karoten dapat dibuat dengan melarutkan 0,3% β-karoten dalam larutan heksana sebagai fase
organik, dengan aqueous phase mengandung Tween 20 0,5% lalu dihomogenisasi dengan
alat high pressure homogenization, selanjutnya heksana dikeluarkan dengan rotary
evaporator (Tan and Nakajima, 2005). Peningkatan penggunaan tekanan dari 60 -140 MPa
khususnya dalam tiga siklus menghasilkan diameter partikel yang lebih kecil, namun retensi
β-karoten setelah penyimpanan 12 minggu semakin rendah dari 56% menjadi 32% (Tan and
Nakajima, 2005). Oleh karena itu perlu upaya meningkatkan retention β-karoten perlu
diupayakan.
Sistem emulsi minyak sawit merah dalam sistem minyak dalam air (o/w) dipengaruhi
oleh rasio fase minyak: air, konsentrasi emulsi, dan tekanan homogenisasi. Penggunaan high
pressure homogenizer 5000 psi dan 10 siklus pada fase RPO : air rasio 5:95, 1:9 dan 15:85
(v/v) dengan Tween 80 5% dan 10%, dapat menghasilkan nanoemulsi berukuran droplet
10,5-23,8 nm (Yuliasari dan Hamdan, 2012). Semakin kecil rasio fase minyak: air,
diperlukan konsentrasi emulsifier dan tekanan yang lebih tinggi. Belum kajian kestabilan
emulsi.
Emulsi menggunakan variasi asam lemak yakni grup oleat, linoleat, dan linlenat, optimum
rasio pembentukan komplek antioksidan-emulsi stabil untuik teknologi saos berbasis produk
emulsi red palm oil dan lesitin (Tereshchuk and Starovoitova, 2013)
35
Salah satu jenis kerusakan yang potensial pada produk minuman emulsi selama penyimpanan
adalah kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh cahaya yang menghasilkan produk oksidasi
berupa prooksidan dan radikal bebas yang sangat reaktif dan berbahaya bagi kesehatan
(Mursalin dkk., 2015).
Penyimpanan minuman emulsi minyak sawit merah menunjukkan peningkatan peroxside
value (PV) seiiring tingginya intensitas cahaya mengenai produk, pada penyimpanan botol
transparan maka laju peningkatan PV sebesar 0,372 meq O2//Kg bahan/minggu (Mursalin
dkk., 2015).
Minyak yang mengalami fotooksidasi akan mengkatalisis rantai reaksi oksidasi
menghasilkan penurunan mutu minyak (Belitz dan Grosh, 2009). Produk dengan kandungan
karoten yang tinggi seharusnya memiliki kestabilan oksidatif yang tinggi, karena terdapat
antioksidan (Mursalin dkk., 2015). Karotenoid tidak menunjukkan aktivitas antioksidan
Penggunaan palmitat askorbil tunggal atau kombinasi dengan asam sitrat pada kadar 500
mg/Kg dalam campuran palm olein :minyak ikan (4;1) mampu menghambat pembentukan
radikal bebas (Yie et al., 2011)
36
0,466 meq O2/kg bahan, dengan besar energi aktivasi (Ea) 0,75. 103 J/mol (Mursalin dkk.,
2015). Pengaruh klorofil terhadap oksidasi juga telah diteliti pada minyak kedelai yang
menunjukkan bahwa keberadaan klorofil dalam jumlah kecil perlu diproteksi dari cahaya
sebab klorofil sangat responsif terhadap cahaya, dan terbukti pada panjang gelombang 340
dan 660 terjadi eksitasi klorofil (Bianchi et al., 2015).
Emulsi
Emulsi adalah sistem heterogen mengandung sedikitnya satu cairan yang tidak larut
atau bercampur dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet dengan bantuan surfaktan
(Gadhave dkk., 2018). Ada dua tipe emulsi yaitu oil in water (O/W) untuk mennggambarkan
minyak sebagai fase terdispersi sedangkan air sebagai fase kontinyu dan water in oil (W/O)
untuk menggambarkan air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase kontinyu.
Berdasarkan ukuran partikel yang terdispersi emulsi dapat diklasifikasikan dalam
makroemulsi (ukuran droplet 1,5-100 µm), nanoemulsi (ukuran droplet 50-500 nm) dan
mikroemulsi (ukuran droplet 3-50nm) (Jafari dkk., 2008). Adapun penggambaran emulsi
berdasarkan ukuran droplet seperti pada Gambar x.
37
Gambar X. Representasi klasifikasi emulsi (Piorkowsi dan McClements, 2014)
38
Gambar X. Struktur kimia tokoferol dan tokotrienol
(Zou and Akoh, 2015)
Deasidifikasi merupakan salah satu metode umum yang paling banyak digunakan dalam
sklaa industri karena lebih murah dan efisien dalam mereduksi dalam mereduksi asam lemak
bebas pada minyak mentah/kasar sampai kadar tertentu. Alkali yang paling sering digunakan
adalah sodium hidroksida (Bhosle dan Subramanian 2004). Kelebihan penambahan NaOH
akan menyabunkan trigliserida dan mereduksi minyak netral yang dihasilkan. Selain itu suhu
39
yang tepat dan waktu kontak yang cukup juga merupakan hal yang penting, sebab
berpengaruh pada kekompakan dan kecepatan pengendapan sabun yang terbentuk dalam
minyak serta total karotenoid dalam minyak sawit merah yang sifatnya tidak stabil terhadap
proses pemanasan. Proses deasidifikasi CPO akan menghasilkan produk minyak sawit
merah dengan kadar asam lemak bebas yang rendah dan karoten yang relatif tinggi.
Umur Simpan
Umur simpan adalah selang waktu antara produksi hingga saat konsumsi dan produk
masih berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma,
tekstur dan nilai gizi. Umur simpan disebut juga waktu yang diperlukan oleh produk pangan
dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu tingkatan degradasi mutu tertentu
(Floros, 1993). Selama penyimpanan terjadi akumulatif reaksi pada bahan bahkan bersifat
irreversible yang mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima konsumen. Bahan pangan
yang telah mengalami penurunan mutu dan tidak dapat diterima konsumen disebut mencapai
batas kadaluarsa atau telah melewatai masa simpan optimum meskipun kenampakan produk
pangan masih baik.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas
(Syarief et al., 1989) adalah : 1) keadaan alamiah makanan dan mekanisme berlangsungnya
40
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air, cahaya, dan oksigen serta kemungkinan
terjaidnya perubahan kimia internal dan fisik, 2) Ukuran kemasan dalam hubungan dengan
volume, 3) Kondisi atmosfer (teruatma suhu dan kelembaban) diaman kemasan dapat
bertahan selama transit dan sebelum digunakan, 4) Kekuatan keseluruhan dari kemasan
terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-
bagian yang terlipat.
Pendugaan umur simpan dapat didekati dengan konsep studi penyimapan produk
pangan yaitu Extended Storage Studie (ESS) dan Accelarated Storage Studies (ASS) (Floros,
1993). ESS dikenal sebagai metode konvensional, yaiyu penentuan masa simpan dengan
menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan
terhadap penurunan mutunya hingga mencapai kadaluarsa. Metode ini cukup akurat namun,
membutuhkan waktu yang sangat lama dan parameter mutu yang relatif banyak. Adapun
metode AAS, membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat, dan masih memiliki
ketettapan dan akurasi yang tinggi. Dengan metode ASS, kondisi lingkungan yang digunakan
dapat mempercepat reaksi deteriorasi produk pangan sehingga kerusakan yang berlangsung
dapat diamati dengan cermat dan terukur. Hal ini dapat dilakuakn dengan mengontrol semua
lingkungan produk pangan dan mengamati parameter perubahan yang berlangsung (Arpah,
2001).
Pada dasarnya metode akselerasi adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk
produk tertentu. Model-model yang digunakan untuk penelitian akselerasi adalah Pendekatan
air kritis dan pendkeatan semi empiris. Pendekatan air kritis yang dapat diterapkan pada
produk-produk kering yang meggunakan kadar air atau aktivitas air sebagai kriteria
kadaluarsa. Pendekatan semi empiris menggunakan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu
pendekatan melalui teori kinetika yang umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk
produk pangan (Floros, 1993).
41