Anda di halaman 1dari 84

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

Disusun Oleh

RINA DAYANTI

4006180012

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
DHARMA HUSADA BANDUNG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

PERILAKU KEKERASAN

A. Definisi
Perilaku kekerasan menurut Maramis (2004) merupakan suatu keadaan
dimana klien mengalami perilaku yang dapat diri sendiri, lingkungan termasuk
orang lain dan barang-barang. Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap
stressor yang dihadapi oleh seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku actual
melakukan kekerasan baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan,
secara verbal maupun non verbal bertujuan untuk melukai orang lain secara
fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000). Perilaku kekerasan merupakan
suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan (Fitria, 2009).
Dari ketiga pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan
dapat dilakukan secara verbal ataupun nonverbal.
B. Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan
1. Faktor predisposisi
a. Terori biologik
1) Neurologic factor
Sistem limbic sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respon agresif.
2) Genetic factor
Adanya faktor den yang diturunkan melalui orangtua menjadi
potensi perilaku agresif. Berdasarkan hasil penelitian gen tipe
karyotype XYY pada umumnya dimiliki oleh pelaku tindak criminal
serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif.
3) Cyrcardian Rhytm (Irama sirkadian tubuh)
Berdasarkan hasil penelitian pada jam-jam tertentu manusia
mengalami peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk
seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhir pekerjaan
sekitar jam 9 dan jam 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah
terstimulasi untuk bersikap agresif.
4) Biochemistry factor ( faktor biokimia tubuh)
Peningkatan hormon androgen dan norepinephrine serta penurunan
serotonin dan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
5) Brain Area disorder, ganggaun pada sistem limbik dan lobus
temporal, sindrom otak organic, tumor otak, trauma otak, penyakit
ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan
yang didapat pada masa anak-anak misalnya kasih sayang,
perlindungan rasa aman yang mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbukan dari rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku tindak
kekerasan.

2) Immitation, modeling, and information processing theory


Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau
lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku
tersebut.
3) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya.
c. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor presdiposisi terjadinya perilaku kekerasan.
d. Aspek religious
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan
dorongan dan bisikan syetan yang sangat menyukai kerusakan agar
manusia menyesal.
2. Faktor presipitasi
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau symbol solidaritas.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku antisosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
C. Tanda dan gejala
Menurut Yusuf, dkk (2015) dan Yosep (2009), tanda dan gejala klien
dengan perilaku kekerasan sebagai berikut:
Emosi Intelektual Fisik Verbal
a. Tidak adekuat a. Mendominas a. Muka merah a. Bicara kasar
b. Tidak aman i b. Pandangan b. Suara tinggi,
dan nyaman. b. Bawel tajam membentak
c. Rasa c. Sarkasme c. Napas pendek atau berteriak
terganggu. d. Berdebat d. Keringat c. Mengancam
d. Marah e. Meremehkan e. Tangan secara verbal
(dendam) f. kasar mengepal atau fisik
e. Jengkel f. Jalan mondar d. Mengumpat
f. Bermusuhan mandir dengan kata-
g. Tidak berdaya g. Postur tubuh kata kotor
h. Menyalahkan kaku e. Suara keras
dan menuntut h. Rahang f. Ketus
mengatup
Perilaku Spiritual Sosial Perhatian

a. Melempar atau a. Merasa diri a. Menarik diri a. Bolos.


memukul berkuasa b. Pengasingan b. Mencuri
benda/orang b. Merasa diri c. Penolakan c. Melarikan diri.
lain. benar d. Kekerasan d. Penyimpangan
b. Menyerang c. Mengkritik e. Ejekan seksual
orang lain. pendapat f. Sindiran
c. Melukai diri orang lain.
sendiri/orang d. Menyinggu
lain. ng perasaan
d. Merusak orang lain
lingkungan. e. Tidak
e. Amuk/agresif peduli dan
kasar.

D. Rentang respon
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan
Klien mampu Klien gagal Klien merasa Klien Perasaan
mengungkapkan mencapai tidak dapat mengekspresikan marah dan
marah tanpa tujuan mengungkapkan secara fisik, tapi bermusuhan
menyalahkan kepuasan/ perasaannya, masih terkontrol, yang kuat
orang lain dan saat marah tidak berdaya, mendorong dan hilang
memberikan dan tidak menyerah orang lain kontrol
kelegaan dapat dengan ancaman. disertai
menemukan amuk,
alternative merusak
lingkungan

E. Mekanisme koping
Menurut Yosep (2009), mekanisme koping yang umum digunakan adalah
sebagai berikut :
1. Displacement, dapat mengungkapkan kemarahan pada objek yang salah
misalnya pada saat marah pada dosen, mahasiswa mengungkapkan dengan
memukul tembok.
2. Proyeksi, kemarahan dimana secara verbal mengalihkan kesalahan diri
sendiri pada orang lain yang dianggap berkaitan, misalnya pada saat nilai
buruk seorang mahasiswa menyalahkan dosennya atau menyalahkan sarana
kampus atau menyalahkan administrasi yang tidak becus mengurus nilai.
3. Represi, dimana individu merasa seolah-olah tidak marah dan tidak kesal,
ia mencoba menyampaikannya kepada orang terdekat atau express feeling,
sehingga rasa marahnya tidak terungkap dan ditekan sampai ia
melupakannya.

F. Proses terjadinya marah


Ancaman atau
kebutuhan

Stress

Cemas

Marah

Mengungkapkan secara
Merasa kuat vertical Merasa tidak adekuat
↓ ↓ ↓
Menantang Menjaga keutuhan Mengingkari marah
↓ ↓ ↓
Masalah tidak selesai Lega Menantang orang lain
↓ ↓ ↓
Marah berkepanjangan Ketegangan menurun Marah tidak terungkap

Rasa marah teratasi

Muncul rasa
bermusuhan

Rasa bermusuhan
menahun
Marah pada orang
marah pada diri sendiri lain/lingkungan
↓ ↓
Depresi psikosomatik Agresif/mengamuk

Konsep Marah (Beck, Rawlins, Williams, 1986: 447 dikutip oleh Keliat dan Sinaga,
1991:8) dalam buku Yosep (2009).

G. Kemungkinan data focus


Data Subyektif Data Obyektif
- Klien mengatakan ada yang - Agitasi
mengejek - Meninju
- Klien mengatakan mengancam - Membanting
orang yang telah mengejek - Melempar
dirinya. - Menjauh dari orang lain
- Klien berbicara keras dan kasar - Katatonia
- Klien mendengar suara yang
menjelekkan
- Klien mengatakan merasa orang
lain mengancam dirinya.
- Mengumpat

Fokus pengkajian untuk perilaku kekerasan adalah


1. Faktor predisposisi
Pelaku Korban Saksi
Aniaya fisik ______ th _____th _____th
Aniaya seksual ______ th _____th _____th
Penolakan ______ th _____th _____th
Kekerasan dalam keluarga ______ th _____th _____th
Tindakan criminal ______ th _____th _____th
2. Status mental
a. Aktivitas motoric
[ ] Lesu [ ] Tegang [ ] Gelisah [ ] Agitasi
[ ] Tik [ ] Grimasen [ ] Tremor [ ] Kompulsif
b. Interaksi selama wawancara
[ ] Bermusuhan [ ] tidak kooperatif [ ] mudah tersinggung
[ ] kontak mata kurang [ ] defensive [ ] curiga

H. Pohon Masalah
Risiko tinggi
mencederai orang lain
↑ Perubahan persepsi
Perilaku kekerasan sensori halusinasi
↑ ↑
Inefektif proses Gangguan harga diri Isolasi sosial
Terapi kronis
↑ ↑
Koping keluarga tidak Berduka disfungsional
efektif

I. Masalah keperawatan
1. Perilaku kekerasan
2. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
4. Harga diri rendah kronis
5. Isolasi sosial
6. Berduka disfungsional
7. Inefektif proses terapi
8. Koping keluarga inefektif
J. Analisa data
Data Masalah
Data subyektif : Perilaku Kekerasan
- Klien mengatakan ada yang
mengejek
- Klien mengatakan mengancam
orang yang telah mengejek
dirinya.
- Klien berbicara keras dan kasar
Data obyektif :
- Agitasi
- Meninju
- Membanting
- Melempar
- Menjauh dari orang lain

K. Diagnosa keperawatan
1. Perilaku kekerasan
L. Rencana tindakan keperawatan
No Dx keperawatan Rencana Tindakan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1 Defisit perawatan Pasien mampu : Setelah …. x pertemuan, SP 1 :
diri - Mengidentifikasi pasien mampu : - Identifikasi dan diskusikan dengan
penyebab dan tanda - Menyebutkan klien penyebab, tanda dan gejala serta
perilaku kekerasan. penyebab, tanda dan akibat dari PK
- Menyebutkan jenis gejala dan akibat dari - Latih cara fisik I : tarik nafas dalam
perilaku kekerasan perilaku kekerasan. - Masukan dalam jadwal harian klien.
yang pernah dilakukan. - Memperagakan cara
- Menyebutkan akibat mengontrol perilaku
dari perilaku kekerasan kekerasan dengan cara
yang dilakukan. fisik 1 .
- Menyebutkan cara Setelah…x pertemuan SP 2
mengontrol perilaku pasien mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1)
kekerasan secara : - Menyebutkan kegiatan - Latih cara fisik 2 : pukul
 Fisik yang sudah dilakukan. bantal/kasur
 Sosial/verbal - Memperagakan cara - Masukan dalam jadwal harian
 Spiritual fisik 2 untuk pasien.
 Patuh obat mengontrol perilaku
kekerasan.
Setelah …x pertemuan SP 3
pasien mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu ( SP 1,2)
- Menyebutkan kegiatan - Latih secara sosial/verbal : menolak
yang sudah dilakukan. dengan baik, meminta dengan baik,
- Memperagakan cara mengungkapkan dengan baik.
sosial/verbal untuk - Masukan dalam jadwal harian
mengontrol perilaku pasien.
kekerasan.
Setelah …x pertemuan SP 4
pasien mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu ( SP
- Menyebutkan kegiatan 1,2,3)
yang sudah dilakukan. - Latih cara spiritual : berdoa, sholat
- Memperagakan cara - Masukkan dalam jadwa; harian
spiritual pasien
Setelah …x pertemuan SP 5
pasien mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu ( SP
- Menyebutkan kegiatan 1,2,3 & 4)
yang sudah dilakukan. - Latih patuh obat :
- Memperagakan cara  Minum obat secara teratur
patuh obat dengan prinsip 5 B
 Susun jadwal minum obat secara
teratur
- Masukan dalam jadwal harian
pasien.
Keluarga mampu : Setelah …x pertemuan SP 1
merawat pasien dirumah keluarga mampu : - Identifikasi masalah yang dirasakan
- Menjelaskan keluarga dalam merawat pasien.
penyebab, tanda dan - Jelaskan tentang PK : penyebab,
gejala, akibat serta akibat, cara merawat.
mampu - Latih 2 cara merawat
memperagakan cara - RTL keluarga/jadwal untuk merawat
merawat. pasien.
Setelah….x pertemuan SP 2
keluarga mampu : - Evaluasi SP 1
- Menyebutkan kegiatan - Latih (simulasi) 2 cara lain untuk
yang sudah dilakukan merawat pasien.
- Latih langsung ke pasien.
- Merawat serta dapat - RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
membuat RTL merawat pasien.
Setelah….x pertemuan SP 2
keluarga mampu : - Evaluasi SP 1 & 2
- Menyebutkan kegiatan - Latih langsung ke pasien.
yang sudah dilakukan - RTL keluarga/jadwal keluarga untuk
- Merawat serta dapat merawat pasien.
membuat RTL
Setelah …x pertemuan SP 4
keluarga mampu : - Evaluasi SP 1,2,3 & 4
- Melaksanakan follow - Latih langsung ke pasien
up dan rujukan - RTL keluarga
- Menyebutkan kegiatan  Follow up
yang sudah dilakukan.  Rujukan
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan
Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health Nursing. Bandung : Refika
Aditama.
Yusuf, Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

ISOLASI SOSIAL

A. Definisi
Isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian dan mampu membina hubungan yang berarti dan tidak mampu
membina hubungan dengan orang lain (Keliat, 2006). Menurut Depkes (2000),
isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptive dna mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa isolasi sosial atau menarik diri
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain ( Pawlin, 1993 dikutip Budi Kelliat,
2001).
Dari ketiga pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa isolasi
sosial merupakan suatu keadaan dimana seseorang berupaya untuk
menghindari komunikasi atau berinteraksi dengan orang lain karena
beranggapan bahwa orang lain tidak menerima dirinya.

B. Proses Terjadinya Masalah


Menurut Yosep (2009) berikut proses terjadinya masalah isolasi sosial :
Pattern of Ineffective coping Lack of Stressor internal
parenting (pola (koping individu development task and external
asuh keluarga) tidak efektif) (gangguan tugas (stress internal
perkembangan) dan eksternal)
Missal : pada anak Misal : saat individu Misal : kegagalan Misal : stress
yang kelahirannya menghadapi menjalin hubungan terjadi akibat
tidak dikehendaki kegagalan intim dengan ansietas yang
(unwanted child) menyalahkan orang sesama jenis atau berkepanjang dan
akibat kegagalan lain, lawn jenis, tidak terjadi bersamaan
KB, hamil diluar ketidakberdayaan, mampu mandiri dan dengan
nikah, jenis menyangkal tidak menyelesaikan keterbatasan
kelamin yang tidak mampu menghadapi tugas, bekerja, kemampuan
diinginkan, bentuk kenyataan dan bergaul, sekolah, individu untuk
fisik kurang menarik diri dari menyebabkan mengatasinya.
menawan lingkungan, terlalu ketergantungan Ansietas terjadi
menyebabkan tingginya self ideal pada orang tua, akibat berpisah
keluarga dan tidak mampu rendahnya dengan orang
mengeluarkan menerima realitas ketahanan terhadap terdekat, hilangnya
komentar- dengan rasa syukur. berbagai kegagalan. pekerjaan atau
komentar negative, orang yang dicintai
merendahkan,
menyalahkan anak.

Harga Diri Rendah


Kronis

Isolasi Sosial

C. Faktor predisposisi
1. Faktor perkembangan
Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari
ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan
tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun
lingkungan di kemudian hari.
2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Berikut beberapa hal yang dapat membuat seseorang menjadi isolasi
sosial :
a. Sikap bermusuhan/hostilitas
b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang
tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan
masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
e. Ekspresi emosi yang tinggi
f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat).
3. Faktor Sosial Budaya
Disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu
keluarga seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
4. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang
menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar
monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%,
sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur
otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak
serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
D. Faktor presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal, meliputi:
1. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan
orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena
ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat
menimbulkan isolasi sosial.
2. Stressor Biokimia
a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya
MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
c. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada
pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan
karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan
maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan
tingkah laku psikotik.
d. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala
psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-
sel otak.
3. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
4. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk
mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan pada tipe psikotik.

E. Tanda dan gejala


Menurut Yosep (2009), tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial sebagai
berikut:
1. Gejala subyektif
a. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
b. Klien merasa tidak aan berada dengan orang lain.
c. Respon verbal kurang dan sangat singkat.
d. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
e. Klien merasa tidak berguna
f. Klien merasa ditolak.
2. Gejala obyektif
a. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
b. Banyak berdiam diri dikamar.
c. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat.
d. Klie tampak sedih, ekpresi datar dan dangkal.
e. Kontak mata kurang.
f. Apatis.
g. Rendah diri.
h. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
i. Kurang spontan
j. Ekspresi wajah kurang berseri.
F. Rentang respon

Adaptif Maladaptif
Menyendiri Merasa sendiri Menarik diri
Otonomi Depedensi Ketergantungan
Bekerjasama Curiga Manipulasi
Interdependen Curiga
(Yosep, 2009)
G. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang umum digunakan adalah sebagai berikut :
1. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emoasi
kepada orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
2. Regresi, menghindari stress, kecemasan dengan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perkembangan anak.
3. Represi, menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan atau
konflik atau ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat
mekanisme ego.
H. Kemungkinan data focus
Data Subyektif Data Obyektif
- Klien mengatakan malas - Menyendiri
berinteraksi dengan orang lain. - Kontak mata kurang
- Klien mengatakan merasa - Klien banyak diam dan tidak
ditolak. mau bicara.
- Klien mengatkan merasa tidak - Mengurung diri
berguna. - Mematung
- Klien mengatakan merasa - Mondar-mandir tanpa arah
orang lain tidak selevel - Tidak berinisiatif berhubungan
dengannya. dengan orang lain.
- Curiga dengan orang lain.

Fokus pengkajian pada isolasi sosial yaitu pada psikososial yakni


1. Hubungan sosial
a. Orang yang berarti :
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok :
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain :
I. Pohon Masalah
Resiko gangguan sensori persepsi
halusinasi

Isolasi sosial Defisit perawatan diri

Mekanisme koping tidak efektif

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
J. Masalah keperawatan
1. Isolasi sosial
2. Harga diri rendah kronis
3. Defisit perawatan diri
4. Gangguan persepsi sensori : halusinasi
K. Analisa data
Data Masalah
Data subyektif : Isolasi sosial
- Klien mengatakan malas
berinteraksi dengan orang lain.
- Klien mengatakan merasa
ditolak.
- Klien mengatkan merasa tidak
berguna.
Data obyektif :
- Menyendiri
- Kontak mata kurang
- Klien banyak diam dan tidak
mau bicara.

L. Diagnosa keperawatan
1. Isolasi sosial
M. Rencana tindakan keperawatan
No Dx keperawatan Rencana Tindakan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1 Isolasi sosial Pasien mampu : Setelah …. x pertemuan, pasien SP 1
- Pasien mampu mampu : - Identifikasi dan diskusikan
menyadari - Membina hubungan saling dengan klien penyebab dari
penyebab dari percaya isolasi sosial yang dialami.
isolasi sosial. - Menyadari penyebab isolasi  Siapa yang satu rumah
- Berinteraksi dengan sosial. dengan pasien ?
orang lain. - Menyebutkan keuntungan  Siapa yang dekat dengan
dan kerugian berinteraksi pasien ?
dengan orang lain.  Siapa yang tidak dekat
- Memperagakan cara dengan pasien ?
berkenalan. - Diskusikan dengan klien
keuntungan dan kerugian dari
berinteraksi dengan orang lain.
- Latih klien berkenalan.
- Masukan dalam jadwal harian
klien.
Setelah …x pertemuan, pasien SP 2
mampu : - Evaluasi latihan sebelumnya (SP
- Menyebutkan kegiatan yang 1)
sudah dilakukan - Latih klien untuk berhubungan
- Memperagakan cara sosial secara bertahap (dengan 1
berkenalan secara bertahap orang lain yang baru).
(dengan 1 orang baru). - Masukan dalam jadwal harian
klien
Setelah ….x pertemuan, pasien SP 3
mampu : - Evaluasi latihan sebelumnya
- Menyebutkan kegiatan yang (SP 1,2)
dilakukan sebelumnya. - Latih klien berhubungan sosial
- Memperagakan cara dengan 2 orang atau lebih.
berhubungan sosial dengan - Masukan dalam jadwal harian
2 orang atau lebih. klien.
Keluarga mampu : Setelah ….x pertemuan SP 1
merawat pasien isolasi keluarga mampu menjelaskan - Identifikasi masalah yang
sosial dirumah tentang : dihadapi keluarga dalam
- Masalah isolasi sosial dan merawat pasien.
dampaknya pada pasien - Penjelasan tentang isolasi sosial
- Penyebab isolasi sosial - Cara merawat pasien isolasi
- Sikap keluarga untuk sosial
membantu pasien mengatasi - Latih (simulasi)
isolasi sosialnya. - RTL keluarga/jadwal keluarga
- Pengobatan yamg untuk merawat pasien.
berkelanjutan dan SP 2
mencegah putus obat. - Evaluasi SP 1
- Tempat rujukan dan - Latih (langsung ke pasien)
fasilitas kesehatan yang - RTL keluarga/jadwal keluarga
tersedia bagi pasien. merawat pasien
SP 3
- Evaluasi SP 1,2
- Latih (langsung ke pasien)
- RTL keluarga/jadwal keluarga
merawat pasien
SP 4
- Evaluasi kemampuan keluarga
- Evaluasi kemampuan pasien
- RTL keluarga
 Follow up
 Rujukan
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna, dkk. 2006. Proses Keperawatan Jiwa Edisi 2. Jakarta : EGC.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health Nursing. Bandung : Refika
Aditama.
Yusuf, Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

GANGGUAN KONSEP DIRI : HARGA DIRI RENDAH

A. Definisi
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti,
rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri (keliat, 2011). Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan
perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative terhadap diri sendiri,
hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal dalam mencapai
keinginan(Herman, 2011). Gangguan harga diri dapat dijabarkan sebagai
perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, yang menjadikan hilangnya rasa
percaya diri seseorang karena merasa tidak mampu dalam mencapai keinginan
(Fitria, 2009).
Dari ketiga pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri
rendah yaitu suatu keadaan dimana seorang individu mengalami gangguan
penilaian terhadap diri sendiri, selalu berpikiran negatif terhadap kemampuan
yang dimilikinya dan tidak memiliki rasa percaya diri.
B. Klasifikasi
Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan,
perubahan).
2. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami
evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu
lama.
C. Proses Terjadinya Masalah
Dari hasil penelitian Malhi (2008) mengatakan bahwa harga diri rendah
diakibatkan dari rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan.
Dalam tinjauan life span history, penyebab dari terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang
dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal
sering gagal disekolah, pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul
ketika lingkungan mengucilkannya dan menuntut lebih dari kemampuannya
(Yosep, 2009).
D. Faktor predisposisi
Menurut Yosep (2009), faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah
adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan terhadap orang
lain, ideal diri yang tidak realistis.
E. Faktor presipitasi
Menurut Yosep (2009), faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah
biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,
kegagalan atau produktivitas yang menurun.
Secara umum gangguan konsep diri yaitu harga diri rendah dapat terjadi
secara situasional atau kronik. Secara situasional misal karena trauma yang
muncul secara tiba-tiba seperti harus dioperasi, kecelakaan, diperkosa atau
dipenjara. Sedangkan secara kronik biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau
sebelum dirawat klien sudah berpikiran negatif dan meningkat saat dirawat.

F. Tanda dan gejala harga diri rendah


Menurut Yosep (2009) berikut tanda dan gejala dari harga diri rendah :
1. Mengejek dan mengkritik diri.
2. Merasa bersalah dan khawatir
3. Pandangan hidup yang pesimistis.
4. Perasaan tidak mampu
5. Menarik diri dari realitas, cemas, panic, curiga.
6. Penolakan terhadap kemampuan diri.
7. Lebih banyak menunduk.
8. Bicara lambat dengan nada suara lemah.
9. Produktivitas menurun.
G. Rentang respon

Adaptif Maladaptif
Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi
diri positif rendah identitas

H. Mekanisme koping
Dalam Yusuf, dkk (2015) berikut mekanisme koping dari harga diri rendah :
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis, seperti
kerja keras, nonton, dan lain-lain.
b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara, seperti
ikut kegiatan sosial, politik, agama, dan lain-lain.
c. Aktivitas yang sementara dapat menguatkan perasaan diri, seperti
kompetisi pencapaian akademik.
d. Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat masalah
identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti
penyalahgunaan obat.
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas
Adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang yang penting bagi
individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi, dan potensi diri
individu.
b. Identitas negatif
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai-nilai
harapan masyarakat.
3. Mekanisme pertahanan ego
a. Fantasi
b. Disosiasi
c. Isolasi
d. Proyeksi
e. Displacement
f. Marah/amuk pada diri sendiri
I. Kemungkinan data fokus
Data Subyektif Data Obyektif
- Klien mengatakan tidak - Kontak mata kurang
memiliki kelebihan apapun - Bicara lambat.
- Klien mengatakan putus asa - Pakaian tidak rapi
- Klien mengatakan malu dengan - Lebih banyak menunduk
dirinya yang tidak berguna. - Produktivitas menurun
- Klien mengeluh hidup tidak - Tidak berinisiatif berinteraksi
bermakna. dengan orang lain.
- Klien mengatakan ingin mati. - Tampak malas-malasan.

Fokus pengkajian pada harga diri rendah yaitu pada psikososial


1. Konsep diri
a. Citra tubuh :
b. Identitas :
c. Peran diri :
d. Ideal diri :
e. Harga diri :

J. Pohon masalah
Resiko tinggi perilaku kekerasan

Perubahan persepsi sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial

Harga diri rendah kronis

Koping individu tidak efektif

Traumatic tumbuh kembang

K. Masalah keperawatan
1. Harga diri rendah kronis
2. Koping individu tidak efektif
3. Isolasi sosial
4. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
5. Resiko tinggi perilaku kekerasan.

L. Analisa data
Data Masalah
Data subyektif : Harga diri rendah
- Klien mengatakan tidak
memiliki kelebihan apapun
- Klien mengatakan putus asa
- Klien mengatakan malu dengan
dirinya yang tidak berguna.
Data obyektif :
- Kontak mata kurang
- Bicara lambat.
- Pakaian tidak rapi
- Lebih banyak menunduk

M. Diagnose keperawatan
1. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
N. Rencana tindakan keperawatan
No Dx keperawatan Rencana Tindakan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1 Gangguan Pasien mampu : Setelah…..x pertemuan, pasien SP 1
konsep diri : - Mengidentifikasi mampu : - Identifikasi dan diskusikan
harga diri rendah kemampuan dan aspek - Mengidentifikasi dengan klien kemampuan dan
positif yang dimiiki kemampuan, aspek positif aspek positif yang dimiliki
- Menilai kemampuan yang dimiliki klien
yang dpaat digunakan - Memiliki kemampuan yang - Bantu klien dalam menilai
- Menetapkan/memilih dpat digunakan kemampuan yang masih dapat
kegiatan yang sesuai - Memilih kegiatan sesuai dilakukan.
dengan kemampuan kemampuan - Bantu klien untuk memilih
- Malatih kegiatan yang - Melakukan kegiatan yang kegiatan sesuai kemampuan
sudah dipilih sesuai sudah dipilih - Latih klien dalam kegiatan
kemampuan - Merencanakan kegiatan yang yang sudah dipilih sesuai
- Merencanakan sudah dilatih dengan kemampuan.
kegiatan yang sudah - Masukan dalam jadwal harian
dilatih klien.
SP 2
- Evaluasi SP 1
- Latih klien untuk melakukan
kegiatan kedua yang sudah
dipilih sesuai dengan
kemampuan
- Masukan dalam jadwal harian
klien
SP 3
- Evaluasi SP 1,2
- Latih klien kegiatan ketiga
yang sudah dipilih sesuai
dengan kemampuan.
- Masukan dalam jadwal harian
klien.
Keluarga mampu : Setelah …x pertemuan keluarga SP 1
merawat pasien dengan mampu : - Identifikasi masalah yang
HDR di rumah dan - Mengidentifikasi dirasakan keluarga dalam
menjadi sistem pendukung kemampuan yang dimiliki merawat pasien
yang efektif bagi pasien pasien - Jelaskan proses terjadinya
- Menyediakan fasilitas HDR
untuk pasien melakukan - Jelaskan tentang cara merawat
kegiatan pasien HRD
- Mendorong pasien - Main peran dalam merawat
melakukan kegiatan pasien HDR
- Memuji pasien saat pasien - Susun RTL keluarga/jadwal
dapat melakukan kegiatan keluarga untuk merawat pasien
- Membantu melatih pasien
- Membantu menyusun
jadawal kegiatan pasien
- Membantu perkembangan
pasien
SP 2
- Evaluasi kemampuan SP 1
- Latih keluarga langsung ke
pasien
- Menyusun RTL
keluarga/jadwal keluarga
merawat pasien
SP 3
- Evaluasi kemampuan keluarga
- Evaluasi kemampuan pasien
- RTL keluarga :
 Follow up
 Rujukan
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Herman, T.H. 2011. International Diagnosis Keperawatan. Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Keliat, B.A. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN(basic course). Buku Kedokteran. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health Nursing. Bandung : Refika
Aditama.
Yusuf, Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Definisi
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan toileting) (Nurjanah, 2004).
Menurut Depkes (2000), defisit perawatan diri yaitu suatu kondisi pada
seseorang yang mengalami kelemahan dalam melakukan aktifitas perawatan
diri secara mandiri seperti mandi, berpakaian/berhias, makan, BAB/BAK.
Pendapat lain menurut Keliat (2007) defisit perawatan diri pada pasien dengan
gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir. sehingga
kemampuan untuk melakukan perawatan diri menurun.
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa defisit
perawatan diri merupakan suatu kondisi atau keadaan dimana seseorang
mengalami penurunan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri
seperti mandi, berhias, makan, dan BAB/BAK yang diakibatkan adanya
gangguan atau perubahan proses pikir.
B. Lingkup defisit perawatan diri
Menurut Yusuf, dkk (2015), berikut ruang lingkup defisit perawtan diri :
1. Kebersihan diri
Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, pakaian kotor, bau badan,
bau napas, dan penampilan tidak rapi.
2. Berdandan atau berhias
Kurangnya minat dalam memilih pakaian yang sesuai, tidak menyisir
rambut, atau mencukur kumis.
3. Makan
Mengalami kesukaran dalam mengambil, ketidakmampuan membawa
makanan dari piring ke mulut, dan makan hanya beberapa suap makanan
dari piring.
4. Toileting
Ketidakmampuan atau tidak adanya keinginan untuk melakukan defekasi
atau berkemih tanpa bantuan.
C. Faktor Presdiposisi dan Presipitasi
Faktor presdiposisi dan presipitasi menurut Depkes (2000) sebagai
berikut :
1. Faktor predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi atau memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas klien menurun
Klien dengan gangguan jiwa kemampuan realitas yang kurang akan
menyebabkan ketidakpedulian terhadap dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri dari
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
perawatan diri.
2. Faktor presipitasi
Beberapa faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga individu kurang mampu melakukan perawatan
diri.
D. Tanda dan gejala
Menurut Depkes (2000), tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan
diri adalah :
1. Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor.
b. Rambut dan kulit kotor.
c. Kuku panjang dan kotor.
d. Gigi kotor disertai mulut bau.
e. Penampilan tidak rapi.
2. Psikologis
a. Malas, tidak ada inisiatif.
b. Menarik diri, isolasi diri.
c. Merasa tidak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3. Sosial
a. Interaksi kurang.
b. Kegiatan kurang.
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
d. Cara makan tidak teratur.
e. BAB/BAK di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu
sendiri.
E. Rentang respon

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan Kadang melakukan Tidak melakukan


seimbang perawatan kadang tidak perawatan
F. Mekanisme koping
1. Regresi : kemunduran akibat stress terhadap perilaku dan merupakan ciri
khas dari suatu taraf perkembangan lebih dini.
2. Penyangkalan : menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan
mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling
sederhana dan primitive.
3. Isolasi diri, menarik diri : sikap mengelompokkan orang atau keadaan
hanya sebagai semuanya baik atau semuanya buruk, kegagalan untuk
memadukan nilai-nilai positif dan negative di dalam diri sendiri.
4. Intelektualisasi : pengguna logika dan alas an berlebih untuk menghindari
pengalaman yang mengganggu perasaannya.
G. Kemungkinan data fokus
Data Subyektif Data Obyektif
- Klien mengatakan malas mandi - Badan kotor
- Klien mengatakan tidak tahu - Dandanan tidak rapi
cara makan yang baik. - Makan berantakan
- Klien mengatakan tidak tahu - BAB/BAK sembarang tempat
cara dandan yang baik - Tidak tersedia alat kebersihan.
- Klien mengatakan tidak tahu - Tidak tersedia alat makan.
cara eliminasi yang baik. - Tidak tersedia alat toileting.
- Klien mengatakan merasa tak
perlu mengubah penampilan.
- Klien mengatakan tidak ada
yang peduli terhadapnya.

H. Proses terjadinya masalah


Effect Gangguan pemeliharaan kesehatan

Core problem Defisit perawatan diri

Cause Isolasi sosial : menarik diri
I. Masalah keperawatan
1. Defisit perawatan diri
2. Isolasi sosial
J. Analisa data
Data Masalah
Data subyektif : Defisit perawatan diri
- Klien mengatakan malas mandi
- Klien mengatakan tidak tahu
cara makan yang baik.
- Klien mengatakan tidak tahu
cara dandan yang baik
- Klien mengatakan tidak tahu
cara eliminasi yang baik
Data obyektif :
- Badan kotor
- Dandanan tidak rapi
- Makan berantakan
- BAB/BAK sembarang tempat

K. Diagnosa keperawatan
1. Defisit perawatan diri
L. Rencana tindakan keperawatan
No Dx Rencana Tindakan
keperawatan Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi Rasional
1 Defisit a. Pasien mampu Setelah...x pertemuan, SP 1 Untuk
perawatan diri melakukan pasien mampu - Identifikasi : kebersihan mengidentifikasi
kebersihan diri menjelaskan tentang diri, berdandan, makan, dan
secara mandiri. manfaat : BAB & BAK menjelaskan
b. Pasien mampu - Kebersihan diri - Jelaskan pentingnya pentingnya
melakukan - Berdandan/berhias kebersihan diri. perawatan
berhias/berdandan - Makan - Jelaskan alat dan cara diri
secara baik. - BAB/BAK kebersihan diri.
c. Pasien mampu - Melakukan cara - Masukan dalam jadwal
melakukan makan perawatan diri harian klien.
dengan baik. .
d. Pasien mampu SP 2 Melatih klien
melakukan - Evaluasi SP 1 agar dapat
BAB/BAK secara - Jelaskan pentingnya mempraktekan
mandiri. berdandan Latihannya
- Latih cara berdandan
 Klien laki-laki :
berpakaian, menyisir
rambut, bercukur
 Klien wanita :
berpakaian, menyisir
rambut, berhias
- Masukan dalam jadwal
harian klien
SP 3 Keluarga dapat
- Evaluasi SP 1,2 mampu
- Jelaskan cara dan alat mengedakuasii
makan yang benar Dan mengetahui
 Cara mempersiapkan cara berdandan
makan. Yang baik dan
 Cara merapikan alat benar
makan.
 Cara merapikan
peralatan makan
setelah digunakan.
 Praktek makan sesuai
dengan tahapan
makan yang baik.
- Masukan dalam jadwal
harian klien.
SP 4 : Keluarga dapat
- Evaluasi SP 1,2,3 mampu
- Latih cara BAB dan mengedakuasi
BAK Dan mengetahui
 Jelaskan tempat cara berdandan
BAB/BAK yang Yang baik dan
sesuai. benar
 Jelaskan dan ajarkan
cara membersihkan
diri setelah BAB dan
BAK
 Masukan dalam
jadwal harian klien
Keluarga mampu : Setelah ….x pertemuan SP 1 Keluarga dapat
merawat anggota keluarga mampu : - Identifikasi masalah merawat pasien
keluarga yang - Meneruskan melatih keluarga dalam merawat
mengalami masalah pasien dan pasien : kebersihan diri,
defisit perawatan diri mendukung agar berdandan, makan,
kemampuan pasien BAB/BAK
dalam perawatan - Jelaskan tentang defisit
dirinya meningkat perawatan diri
- Jelaskan cara merawat :
kebersihan diri,
berdandan, makan,
BAB/BAK
- Bermain peran cara
merawat
- RTL keluarga/jadwal
keluarga untuk merawat
pasien.
SP 2
- Evaluasi SP 1
- Latih keluarga merawat
langsung ke pasien :
kebersihan diri dan
berdandan
- RTL keluarga/jadwal
keluarga untuk merawat
pasien
SP 3 Keluarga dapat
- Evaluasi SP 1,2 merawat dan
- Latih keluarga merawat mengetahui
langsung ke pasien cara keadaan pasien
makan
- RTL keluarga/jadwal
keluarga untuk merawat
pasien
SP 4 Megevaluasi
- Evaluasi kemampuan kemampuan dan
keluarga pengetahuan
- Evaluasi kemampuan keluarga
pasien
- RTL keluarga
 Follow up
 Rujukan
DAFTAR PUSTAKA

Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan Jiwa.


Keliat, B. A. 2007. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Nurjanah, Intansari. 2004. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia.
Yusuf, Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

A. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006).
Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal (Stuart & Sunden,1998). Menurut Ramdi (2000) menyatakan
bahwa itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai
dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang
kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak
dapat diubah-ubah.
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waham
merupakan suatu gangguan kesehatan jiwa dimana seseorang memiliki
keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang salah namun dipertahankan secara
terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
B. Klasifikasi waham
1. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini
direktur sebuah bank swasta lho..” atau “Saya punya beberapa perusahaan
multinasional”.
2. Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak
sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya tahu..kalian semua memasukkan racun
ke dalam makanan saya”.
3. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Kalau
saya mau masuk surga saya harus membagikan uang kepada semua
orang.”
4. Waham somatik
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit,
serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya,
“Saya sakit menderita penyakit menular ganas”, setelah pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus
mengatakan bahwa ia terserang kanker.
5. Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan
alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh”.
C. Proses terjadinya waham
Dalam Yosep (2009), ada 6 fase terjadinya waham yakni :
a. Fase lack of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis sehingga seseorang terdorong untuk melakukan
kompensasi yang salah agar keinginan untuk memenuhi kebutuhannya
terpenuhi.
b. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yag tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah
melampaui kemampuannya.
c. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang
ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai
dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu
yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk
dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam
hidupnya. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan
secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
d. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri
dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
f. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang
muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-
kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman
diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang keyakinan klien
dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa
apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi
sosial.
D. Faktor Presdiposisi dan Presipitasi
1. Faktor predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir
dengan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien
menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan
emosi tidak efektif.
b. Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepia dapat menyebabkan
timbulnya waham.
c. Faktro Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
d. Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel
diotak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbic.
e. Faktor Genetik
2. Faktor presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti atau diasingkan dari kelompok.
b. Faktor Biokimia
Dopamine,norepinefrin dan zat halusinogen diduga dapat menjadi
penyebab waham seseorang.
c. Faktor Psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan.
E. Tanda dan gejala
Menurut Yusuf, dkk (2015) tanda dan gejala dari waham
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kognitif
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya.
c. Sulit berpikir realita.
d. Tidak mampu mengambil keputusan.
e. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan kenyataan
f. Mendominasi pembicaraan.
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Afek tumpul.
3. Perilaku dan hubungan sosial
a. Hipersensitif
b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c. Depresif
d. Ragu-ragu
e. Mengancam secara verbal
f. Aktivitas tidak tepat
g. Streotif
h. Impulsif
i. Curiga
4. Fisik
a. Kebersihan kurang
b. Muka pucat
c. Sering menguap
d. Berat badan menurun
e. Nafsu makan berkurang dan sulit tidur
F. Rentang respon

Adaptif Maladaptif
Pikiran logis Proses pikir kadang-kadang Gangguan proses pikir : waham
Persepsi akurat Kadang ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Emosi labil Kerusakan emosi
Perilaku sesuai Perilaku tidak sesuai Perilaku tidak sesuai
Hubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial terorganisir
(Stuart dan Laraia, 1998)

G. Mekanisme koping
Menurut Hernawati (2008), mekanisme koping yang biasanya digunakan
sebagai berikut :
1. Regresi, berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas.
2. Proyeksi : upaya menjelaskan kerancuan persepsi.
3. Menarik diri
4. Pada keluarga : mengingkari.

H. Kemungkinan data fokus


Data Subyektif Data Obyektif
- Klien mengatakan sebagai - Marah-marah tanpa sebab
orang hebat. - Banyak kata (logorrhoe)
- Klien mengatakan memiliki - Menyendiri
kekuatan luar biasa - Sirkumtasial
- Klien merasa sudah mati - Menyendiri
- Klien merasa sakit/rusak organ - Mudah tersinggung
tubuh - Sangat waspada
- Klien merasa diancam/diguna- - Tidak tepat menilai
guna lingkungan/realitas
- Klien merasa curiga - Merusak
- Klien merasa orang lain
menjauh
- Klien merasa tidak ada yang
mau mengerti

I. Pohon masalah
Effect Resiko tinggi perilaku kekerasan

Core problem Gangguan isi pikir : Waham

Cause Isolasi sosial : menarik diri

Harga diri rendah kronis

J. Masalah keperawatan
1. Resiko tinggi perilaku kekerasan
2. Gangguan isi pikir : waham
3. Isolasi sosial
4. Harga diri rendah kronis

K. Analisa data
Data Masalah
Data subyektif : Defisit perawatan diri
- Klien mengatakan sebagai orang
hebat.
- Klien mengatakan memiliki
kekuatan luar biasa

Data obyektif :
- Banyak kata (logorrhoe)
- Menyendiri
- Menyendiri
- Mudah tersinggung
- Sangat waspada
- Tidak tepat menilai
lingkungan/realitas

L. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan isi pikir : Waham
M. Rencana tindakan keperawatan
No Dx keperawatan Rencana Tindakan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1 Gangguan isi Pasien mampu : Setelah...x pertemuan, pasien SP 1
pikir : waham - Berorientasi kepada dapat memenuhi kebutuhannya. - Identifikasi kebutuhan pasien.
realitas secara - Bicara konteks realita (tidak
bertahap. mendukungatau membantah
- Mampu berinteraksi waham pasien).
dengan orang lain - Latih pasien untuk memenuhi
dan lingkungan. kebutuhannya “dasar”.
- Menggunakan obat - Masukkan dlam jadwal harian
dengan prinsip 6 pasien.
benar.
Setelah ...x pertemuan, pasien SP 2
mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
- Menyebutkan kegiatan - Identifikasi potensi/ kemampuan
yang sudah dilakukan. yang dimiliki.
- Pilih dan latih potensi/atau
kemampuan yang dimiliki
- Mampu menyebutkan serta - Masukan dalam jadwal harian
memilih kemampuan yang pasien
dimiliki
Setelah ...x pertemuan, pasien SP 3
dapat menyebutkan kegiatan - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1
yang sudah dilakukan dan & 2)
mampu memilih kemampuan - Pilih potensi/ kemampuan yang
lain yang dimiliki. dimiliki
- Pilih dan latih potensi kemampuan
lain yang dimiliki
- Masukan dalam jadwal kegiatan
pasien.
Setelah...x pertemuan, keluarga SP 1
mampu mengidentifikasi - Identifikasi masalah keluarga
masalah dan menjelaskan cara dalam merawat pasien
merawat pasien. - Jelaskan proses terjadinya waham
- Jelaskan tentang cara merawat
waham pasien waham
- Latih (simulasi) cara merawat
- RTL keluarga/jadwal merawat
pasien.
Setelah...x pertemuan keluarga SP 2
mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
- Menyebutkan kegiatan - Latih keluarga cara merawat
sesuai dilakukan pasien
- Mampu memperagakan - RTL keluarga
cara merawat pasien.
Setelah...x pertemuan keluarga SP 3
mampu mengidentifikasi - Evaluasi kemampuan keluarga
masalah dan mampu (SP 2)
menjelaskan cara merawat - Evaluasi kemampuan pasien
pasien - RTL keluarga
Follow Up
Rujukan
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta :
EGC.
Stuart Sundeen’s, Laraia. 1998. Principles and Practice Psychiatric Nursing. Sixth
edition. St. Louis Missiouri : Mosby Year Book.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung : Refika Aditama
Yusuf, Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

RESIKO BUNUH DIRI

A. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan tindakan yang secara
sadar dilakukan oleh pasien untuk mengakhiri hidupnya (Direja, 2011).
Sedangkan Fitria (2009) bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu
mengalami resiko untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang
dapat mengancam nyawa.
Jika menurut Stuart (2006) bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri
karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh
diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu
gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi
masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi,
dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan
hubungan yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat
merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan.
Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa resiko bunuh diri
adalah suatu keadaan dimana seseorang beresiko untuk menyakiti atau
menciderai diri sendiri untuk mengakhiri hidupnya.
B. Klasifikasi bunuh diri
Menurut Yusuf, fkk (2015), terdapat 3 jenis bunuh diri yaitu
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.

3. Bunuh diri anomik


Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.

C. Proses terjadinya bunuh diri


Berikut bagan proses terjadinya bunuh diri menurut Yusuf, dkk (2015) :

Motivasi Niat Penjabaran Krisis Tindakan


gagasan bunuh diri bunuh diri

Hidup atau Konsep  Jeritan minta tolong


mati bunuh diri  Catatan bunuh diri

D. Tahapan bunuh diri


1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak
langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga
anak-anak karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih
baik tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman dan percobaan
bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa
bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan
hal-hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan
dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien
telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak disertai dengan percobaan
bunuh diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum pernah mencoba
bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja
dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai
diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba
bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi,
atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.
E. Faktor predisposisi
Menurut Yusuf, dkk (2015),faktor predisposisi dari resiko bunuh diri adalah
sebagai berikut :
1. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
2. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal
atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
3. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusasaan. Tangisan minta tolong.
Faktor penyebab tambahan terjadinya bunuh diri antara lain sebagai berikut
(Cook dan Fontaine, 1987).
1. Penyebab bunuh diri pada anak
a. Pelarian dari penganiayaan dan pemerkosaan.
b. Situasi keluarga yang kacau.
c. Perasaan tidak disayangi atau selalu dikritik.

d. Gagal sekolah.
e. Takut atau dihina di sekolah.
f. Kehilangan orang yang dicintai.
g. Dihukum orang lain.
2. Penyebab bunuh diri pada remaja.
a. Hubungan interpersonal yang tidak bermakna.
b. Sulit mempertahankan hubungan interpersonal.
c. Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan.
d. Perasaan tidak dimengerti orang lain.
e. Kehilangan orang yang dicintai.
f. Keadaan fisik.
g. Masalah dengan orang tua.
h. Masalah seksual.
i. Depresi.
3. Penyebab bunuh diri pada mahasiswa.
a. Self ideal terlalu tinggi.
b. Cemas akan tugas akademik yang terlalu banyak.
c. Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih sayang
orang tua.
d. Kompetisi untuk sukses.
4. Penyebab bunuh diri pada usia lanjut.
a. Perubahan status dari mandiri ke ketergantungan.
b. Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi.
c. Perasaan tidak berarti di masyarakat.
d. Kesepian dan isolasi sosial.
e. Kehilangan ganda, seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan.
f. Sumber hidup bergantung.
F. Faktor Presipitasi
1. Psikososial dan klinik
a. Keputusasaan
b. Ras kulit putih
c. Jenis kelamin laki-laki
d. Usia lebih tua
e. Hidup sendiri
2. Riwayat
a. Pernah mencoba bunuh diri.
b. Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri.
c. Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat.
3. Diagnostis
a. Penyakit medis umum
b. Psikosis
c. Penyalahgunaan zat
G. Tanda dan gejala
Menurut Carpenito (1998) dan Keliat (1994, tanda dan gejala dari resiko
bunuh diri adalah sebagai berikut :
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit.
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
3. Merendahkan martabat.
4. Gangguan hubungan sosial.
5. Percaya diri kurang
6. Mencederai diri.

H. Rentang respon
Menurut Yosep (2009) rentang respon resiko bunuh diri tergambar dalam bagan
berikut :

Adaptif Maladaptif
Peningkatan Pertumbuhan Perilaku Pencederaan Bunuh diri
diri peningkatan destruktif diri
berisiko diri tak
langsung

I. Mekanisme koping
1. Pengingkaran (denial).
2. Rasionalisasi.
3. Intelektualisasi.
4. Regresi.

J. Kemungkinan data fokus


Data Subyektif Data Obyektif
- Klien mengatakan hidupnya tak - Ekspresi murung.
berguna lagi. - Tak bergairah
- Klien mengatakan ingin mati. - Ada bekas percobaan bunuh
- Klien menyatakan pernah diri
mencoba bunuh diri. - Perubahan kebiasaan hidup
- Klien mengancam bunuh diri. - Perubahan perangai.
- Klien mengatakan ada yang
menyuruh bunuh diri.
- Klien mengatakan lebih baik
mati saja.
- Klien mengatakan sudah bosan
hidup.

K. Pohon masalah
Resiko Bunuh Diri

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

L. Masalah keperawatan
1. Resiko bunuh diri.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
M. Analisa data
Data Masalah
Data subyektif : Resiko bunuh diri
- Klien mengatakan hidupnya tak
berguna lagi.
- Klien mengatakan ingin mati
- Klien mengatakan sudah bosan
hidup.

Data obyektif :
- Ekspresi murung.
- Tak bergairah

N. Diagnosa keperawatan
1. Resiko bunuh diri.
VII. Rencana tindakan keperawatan
No Dx keperawatan Rencana Tindakan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1 Resiko bunuh diri Pasien tetap aman dan Setelah...x pertemuan, pasien SP 1
selamat. mampu : - Identifikasi benda-benda yang
- Mengidentifikasi benda- dapat membahayakan pasien.
benda yang dapat - Amankan benda-benda yang
membayakan dirinya. dapat membahayakan pasien.
- Mengendalikan diri - Lakukan kontrak treatment
terhadap dorongan bunuh - Ajarkan cara mengendalikan
diri. dorongan bunuh diri.
- Latih cara mengendalikan
dorongan bunuh diri
- Masukkan dalam jadwal harian
pasien.
Setelah ...x pertemuan, pasien SP 2
mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
- Menyebutkan kegiatan - Identifikasi potensi/ aspek positif
yang sudah dilakukan. pasien.
- Mengidentifikasi aspek - Dorong pasien untuk berpikir
positif dan menghargai diri positif terhadap dirinya.
sebagai individu yang - Dorong pasien untuk menghargai
berharga. diri sebagai individu yang
berharga.
Setelah ...x pertemuan, pasien SP 3
mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1
- Mengidentifikasi pola & 2)
koing yang konstruktif dan - Identifikasi pola koping yang
menerapkannya. diterapkan pasien.
- Nilai pola koping yang bisa
dilakukan.
- Identifikasi pola koping yang
konstruktif.
- Dorong pasien memilih pola
koping yang konstruktif.
- Anjurkan pasien menerapkan pola
koping yang konstruktif dalam
kegiatan harian.
Setelah ….x pertemuan pasien SP 4 :
mampu : - Buat rencana masa depan yang
- Membuat rencana masa realistis bersama pasien.
depan yang realistis dan - Identifikasi cara mencapai
melakukan kegiatan rencana masa depan yang
realistis.
- Beri dorongan pada pasien untuk
melakukan kegiatan dalam
meraih masa depan yang realistis.
Keluarga mampu Setelah...x pertemuan, keluarga SP 1
merawat pasien dengan mampu : - Diskusikan masalah yang
resiko bunuh diri. - Merawat pasien dan dirasakan keluarga dalam
menjelaskan pengertian, merawat pasien.
tanda dan gejala serta jenis - Jelaskan pengetian, tanda dan
perilaku bunuh diri. gejala resiko bunuh diri dan jenis
perilaku bunuh diri yang dialami
pasien beserta proses terjadinya.
- Jelaskan cara-cara merawat pasien
resiko bunuh diri.
Setelah...x pertemuan keluarga SP 2
mampu : - Latih keluarga mempraktekan
- Merawat pasien dan cara merawat pasien dengan
melakukan langsung cara resiko bunuh diri.
merawat pasien. - Latih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada pasien
resiko bunuh diri.
Setelah...x pertemuan keluarga SP 3
mampu : - Bantu keluarga membuat jadwal
- Membuat jadwal aktivitas aktivitas dirumah termasuk
dirumah dan melakukan minum obat.
follow up - Jelaskan follow up pasien setelah
pulang.
DAFTAR PUSTAKA

Direja, Ade Hermawan Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Nuha Medika.
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba Medika :
Jakarta.
Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung : Refika Aditama
Yusuf, Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI

A. Definisi
Menurut Varcarolis, dkk (2006), halusinasi didefinisikan sebagai
terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tipe
halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (auditory-hearing
voices or sound), penglihatan (visual-seeing persons or things), penciuman
(olfactory-smelling odors), dan pengecapan (gustatory-experiencing tastes).
Jika menurut Stuart (2007), halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman
yang salah. Pendapat lain pun mengatakan bahwa halusinasi merupakan
gangguan akan perubahan persepsi sensori dimana klien mempersiapkan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada
rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang mengalami suatu persepsi
melalui panca indra tanpa stimulus atau persepsi palsu (Maramis, 2005).
Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah
suatu gangguan pada persepsi sensori dimana seseorang merasakan atau
mendapat respon pada pancaindranya namun tanpa stimulus atau stimulusnya
tidak nyata atau tidak ada.
B. Tipe halusinasi
Berikut tipe halusinasi menurut Videback (2004) :
Jenis Halusinasi Data Subyektif Data Obyektif
Halusinasi  Mendengar suara  Mengarahkan
pendengaran menyuruh teling pada sumber
(auditory-hearing melakukan sesuatu suara.
voices or sound). yang berbahaya.  Bicara atau tertawa
 Mendengar suara sendiri.
atau bunyi.  Marah-marah tanpa
sebab.
 Menutup telinga.
 Mendengar suara  Mulut komat-
yang mengajak kamit.
bercakap-cakap.  Ada gerakan tangan
 Mendegar
seseorang yang
sudah meninggal.
 Mendengar suara
yang mengancam
diri klien atau orang
lain atau suara lain
yang
membahayakan.
Halusinasi  Melihat seseorang  Tatapan mata pada
penglihatan (visual- yang sudah tempat tertentu.
seeing persons or meninggal, melihat  Menunjuk kea rah
things). makhluk tertentu, tertentu.
melihat bayangan,  Ketakutan pada
hantu atau sesuatu obyek yang dilihat.
yang menakutkan,
cahaya, monster
yang memasuki
perawat.
Halusinasi penciuman  Mencium sesuatu  Ekspresi wajah
(olfactory-smelling seperti bau mayat, seperti mencium
odors), darah, bayi, feses, sesuatu dengan
atau bau masakan, gerakan cuping
parfum yang hidung,
menyenangkan. mengarahkan
 Klien sering hidung pada tempat
mengatakan tertentu.
mencium bau
sesuatu.
 Tipe halusinasi ini
sering menyertai
klien demensia,
kejang atau
penyakit
serebrovaskuler.
Halusinasi  Klien seperti sedang  Seperti mengecap
pengecapan merasakan makanan sesuatu. Gerakan
(gustatory- tertentu, rasa mengunyah,
experiencing tastes).
tertentu atau meludah atau
mengunyah sesuatu muntah.
Halusinasi perabaan  Klien mengatakan  Mengusap,
(Tactile-feeling bodily ada sesuatu yang menggaruk-garuk,
sensations) menggerayangi meraba-raba
tubuh seperti permukaan kulit.
tangan, binatang  Terlihat
kecil atau makhluk menggerak-
halus. gerakan badan
 Merasakan sesuatu seperti merasakan
dipermukaan kulit, sesuatu rabaan.
merasakan sangat
panas atau dingin,
merasakan tersengat
aliran listrik.
Cenesthetic &  Klien melaporkan  Klien terlihat
Kinestetic bahwa fungsi menatap tubuhnya
hallucinations tubuhnya tidak sendiri dan terlihat
dapat terdeteksi merasakan sesuatu
misalnya tidak yang aneh tentang
adanya denyutan di tubuhnya.
otak atau sensasi
pembentukan urin
dalam tubuhnya,
perasaan tubuhnya
melayang diatas
bumi.

C. Proses terjadinya halusinasi


Berikut bagan proses terjadinya halusinasi menurut Yosep, dkk (2009) :

2
Comforting

1 3
Sleep Disorder Comforting

5 4
Conquering Controlling
Berikut penjelasan dari bagan proses terjadinya halusinasi :

Stage I : sleep disorder Klien merasa banyak masalah, ingin


Fase awal seseorang sebelum menghindari dari lingkungan, takut
muncul halusinasi. diketahui orang lain kalau dirinya
banyak masalah.
Masalah semakin terasa menekan karena
terakumulasi sedangkan support system
kurang dan persepsi terhadap masalah
sangat buruk. Sulit tidur berlangsung
terus-menerus sehingga terbiasa terbiasa
menghayal. Klien menganggap
lamunan-lamunan awal tersebut sebagai
pemecah masalah.
Stage II : comforting Klien mengalami emosi yang berlanjut
Moderate level of anxiety seperti adanya perasaan cemas,
Halusinasi secara umum ia kesepian, perasaan berdosa, ketakutan
terima sebagai sesuatu yang dan mencoba memusatkan pemikiran
alami pada timbulnya kecemasan. Ia
beranggapan bahwa pengalaman pikiran
dan sensorinya dapat ia kontrol bila
kecemasannya diatur, dalam tahap ini
adalah kecenderungan klien merasa
nyaman dengan halusinasinya.
Stage III : Condeming Pengalaman sensori klien menjadi sering
Severe level of anxiety datang dan mengalami bias. Klien mulai
Secara umum halusinasi sering erasa tidak mampu mengontrolnya dan
mendatangi klien mulai menjaga jarak antara dirinya
dengan obyek yang dipersepsikan klien
mulai menarik diri dari orang lain
dengan intensitas waktu yang lama.
Stage IV : Controlling Klien mencoba melawan suara-suara
Severe level of anxiety atau sensory abnormal yang datang.
Fungsi sensori menjadi tidak Klien dapat merasakan kesepian bila
relevan dengan kenyataan. halusinasinya berakhir. Dari sinilah
dimulai fase gangguan Psycotic.
Stage V : Conquering Pengalaman sensorinya terganggu, klien
Panic level of anxiety mulai merasa terancam dengan
Klien mengalami gangguan datangnya suara-suara terutama bila
dalam menilai lingkungannya klien tidak dapat menuruti ancaman atau
perintah yang ia dengar dari
halusinasinya. Halusinasi dapat
berlangsung selama minimal 4 jam atau
seharian bila klien tidak mendapatkan
komunikasi terapeutik. Terjadi
gangguan psikotik berat.

D. Faktor predisposisi
Menurut Yosep (2009), faktor predisposisi dari halusinasi adalah sebagai
berikut :
1. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu, misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
keci, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2. Faktor sosiokultural
Seseorang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted
child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3. Faktor biokimia
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya terjadi
ketidakseimbangan acetycholin dan dopamine atau ketidakseimbangan
dopamine dan serotonin.
4. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam hayal.
5. Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkanbahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
dengan skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasl studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
E. Faktor Presipitasi
Respon klien halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman,
gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak
nyata. Menurut Rawlin dan Heacock (1993) dalam Yosep (2009) halusinasi
dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu :
1. Dimensi fisik
Ditimbulkan dari kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,
penggunaan obat-obatan, demam hingga derilium, intoksikasi alkohol dan
sulit tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas berlebihan akibat masalah yang tidak teratasi.
3. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.
4. Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, mengganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan halusinasi dan mengganggap
halusinasi dapat memenuhi kebutuhan interaksi sosial, kontrol diri dan
harga diri yang tidak di dapatkan di dunia nyata.
5. Dimensi spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, hilangnya
aktivitas ibadah serta jarang berupaya untuk menyucikan diri.
F. Tanda dan gejala
1. Tahap 1 : tertawa tidak sesuai dengan situasi, menggerakan bibir tanpa
bicara, bicara lambat, diam dan pikirannya dipenuhi pikiran yang
menyenangkan.
2. Tahap 2 : cemas, konsentrasi menurun, ketidakmampuan membedakan
relalita.
3. Tahap 3 : pasien cenderung mengikuti halusinasi, kesulitan berhubungan
dengan orang lain, perhatian dan konsentrasi menurun, afek labil,
kecemasan berat (berkeringat, gemetas, tidak mampu mengikuti petunjuk).
4. Tahap 4 : pasien mengikuti halusinasi, pasien tidak mampu mengendalikan
diri, tidak mampu mengikuti perintah yang nyata, beresiko mencederai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan.

G. Rentang respon

Respon adaptif Respon Maladaptif


Pikiran logis Kadang proses pikir Gangguan isi
terganggu pikir/delusi
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Emosi berlebih Perubahan proses
dengan pengalaman emosi
Perilaku sesuai Berperilaku yang tidak Perilaku tidak
biasa terorganisir
Hubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial
harmonis
H. Mekanisme koping
1. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2. Proyeksi : menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab pada orang lain.
3. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal (Stuart, 2007).

I. Kemungkinan data fokus


Data Subyektif Data Obyektif
- Klien mengatakan mendengar - Klien berbicara dan tertawa
bunti yang tidak berhubungan sendiri.
dengan stimulus nyata. - Klien bersikap seperti
- Klien mengatakan melihat mendengar atau melihat
gambaran tanpa stimulus yang sesuatu.
nyata. - Klien berhenti bicara ditengah
- Klien mencium bau tanpa kalimat untuk mendengar
stimulus sesuatu.
- Klien merasakan sesuatu. - Disorientasi
- Klien merasa ada sesuatu pada - Melamun
kulitnya. - Menyendiri
- Klien takut pada - Marah tanpa sebab
suara/bunyi/gambar yang dilihat
dan didengar.
- Klien ingin memukul/melempar
barang-barang.
J. Pohon masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan

Gangguan persepsi sensori : Halusinasi

Isolasi sosial : menarik diri.

K. Masalah keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori : halusinasi.
2. Risiko bunuh diri.
3. Isolasi sosial
L. Analisa data
Data Masalah
Data subyektif : Gangguan persepsi sensori :
- Klien mengatakan mendengar Halusinasi
suara bisikan seseorang.
- Klien mengatakan senang dengan
suara-suara tersebut.
Data obyektif :
- Klien tertawa sendiri.
- Klien berbicara sendiri

M. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori : halusinasi
N. Rencana tindakan keperawatan
No Dx keperawatan Rencana Tindakan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
1 Gangguan Pasien mampu : Setelah...x pertemuan, pasien SP 1
persepsi sensori : - Mengenali halusinasi mampu : - Bantu pasien mengenali
halusinasi yang dialaminya. - Menyebutkan isi, waktu, halusinasi : isi, waktu terjadinya,
- Mengontrol frekuensi, situasi pencetus, frekuensi, situasi pencetus,
halusinasinya. perasaan. perasaan saat terjadi halusinasi.
- Mengikuti program - Memperagakan cara dalam - Latih mengontrol halusinasi
pengobatan secara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.
optimal dengan menghardik. - Masukkan dalam kegiatan harian
pasien.
Setelah ...x pertemuan, pasien SP 2
mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
- Menyebutkan kegiatan - Latih berbicara/bercakap dengan
yang sudah dilakukan. orang lain saat halusinasi muncul.
- Memperagakan cara - Masukkan dalam jadwal kegiatan
bercakap-cakap dengan harian pasien.
orang lain.
Setelah ...x pertemuan, pasien SP 3
mampu : - Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1
- Menyebutkan kegiatan & 2)
yang sudah dilakukan. - Latih kegiatan agar halusinasi
- Membuat jadwal kegiatan tidak muncul
sehari-hari dan mampu Tahapannya :
memperagakannya.  Jelaskan pentingnya aktivitas
yang teratur untuk mengatasi
halusinasi
 Diskusikan kegiatan yang
biasa dilakukan.
 Latih pasien dalam
melakukan aktivitas.
 Susun jadwal kegiatan sehari-
hari sesuai dengan aktivitas
yang telah dilatih (dari
bangun pagi-tidur malam).
- Pantau pelaksanaan kegiatan
tersebut, berikan penguatan pada
pasien.
Setelah ….x pertemuan pasien SP 4 :
mampu : - Evaluasi kegiatan lalu (SP 1,2,3)
- Menyebutkan kegiatan - Tanyakan program pengobatan.
yang sudah dilakukan. - Jelaskan pentingya penggunaan
- Menyebutkan manfaat dari obat pada gangguan jiwa.
program pengobatan. - Jelaskan akibat bila tidak
digunakan sesuai program.
- Jelaskan akibat putus obat.
- Jelaskan cara mendapatkan
obat/berobat.
- Jelaskan pengobatan (5B).
- Latih pasien minum obat.
- Masukkan dalam jadwal harian
pasien.
Keluarga mampu Setelah...x pertemuan, keluarga SP 1
merawat pasien dirumah mampu menjelaskan tentang - Identifikasi masalah keluarga
dan menjadi sistem halusinasi. dalam merawat pasien.
pendukung yang efektif - Jelaskan tentang halusinasi :
untuk pasien.  Pengertian halusinasi
 Jenis halusinasi yang dialami
pasien.
 Tanda dan gejala halusinasi
 Cara merawat pasien
halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian
obat & pemberian aktivitas).
- Sumber-sumber pelayanan
kesehatan yang bisa dijangkau
- Bermain peran cara merawat.
- Rencana tindak lanjut keluarga,
jadwal keluarga untuk merawat
pasien.
Setelah...x pertemuan keluarga SP 2
mampu : - Evaluasi kemampuan keluarga
- Menyelesaikan kegiatan (SP 1).
yang sudah dilakukan - Latih keluarga merawat pasien.
- Memperagakan cara - Rencana tindak lanjut (RTL)
merawat pasien keluarga/jadwal keluarga untuk
merawat pasien.
Setelah...x pertemuan keluarga SP 3
mampu : - Evaluasi kemampuan keluarga
- Menyebutkan kegiatan (SP 2).
yang sudah dilakukan. - Latih keluarga merawat pasien.
- Memperagakan cara - RTL keluarga/jadwal keluarga
merawat pasien serta untuk merawat pasien.
mampu membuat RTL
Setelah …x pertemuan keluarga SP 4
mampu : - Evaluasi kemampuan keluarga.
- Menyebutkan kegiatan - Evaluasi kemampuan pasien.
yang sudah dilakukan. - RTL keluarga :
 Follow up rujukan.
- Melaksanakan follow up
rujukan.
DAFTAR PUSTAKA

Varcolis, Carson, Shoemaker. 2006. Foundations of Psychiatric Mental Health


Nursing, a Clinical Approach.
Videback. 2004. Psychiatric Mental Health, Lippincott, Williams & Wilkins.
Yosep, Iyus dan Titin Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung : Refika Aditama
Yusuf, Ah, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai