Anda di halaman 1dari 26

KEJADIAN LUAR BIASA DIFTERI DI INDONESIA

OLEH
Amanda Tiodhoro M.
120100357

PEMBIMBING
dr. Putri Chairani Eyanoer, MS.Epi, Ph.D

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
KEJADIAN LUAR BIASA DIFTERI DI INDONESIA

OLEH
Amanda Tiodhoro M.
120100357

PEMBIMBING
dr. Putri Chairani Eyanoer, MS.Epi, Ph.D

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
KEJADIAN LUAR BIASA DIFTERI DI INDONESIA

“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi


persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara.”

OLEH
Amanda Tiodhoro M.
120100357

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : KEJADIAN LUAR BIASA DIFTERI DI INDONESIA

Nama : AMANDA TIODHORO MAGDALENA


NIM : 120100357

Medan, 01 Maret 2017


Pembimbing

dr. Putri Chairani Eyanoer, MS.Epi, Ph.D


NIP. 19720901999032001

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kejadian Luar Biasa Difteri Di Indonesia”. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi persyaratan Kepanitraan Klinik
Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr. Putri Chairani Eyanoer, MS.Epi, Ph.D atas kesediaan beliau meluangkan
waktu dan pikiran untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang turut
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini
di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan.
Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral
maupun spiritual, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 01 Maret 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Tujuan Makalah ............................................................................. 2
1.3. Manfaat Makalah ........................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1. Difteri ............................................................................................. 3
2.1.1. Definisi ............................................................................... 3
2.1.2. Epidemiologi ...................................................................... 3
2.1.3. Patofisiologi ....................................................................... 5
2.1.4. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis ..................................... 6
2.1.5. Diagnosis ............................................................................ 9
2.1.6. Komplikasi ......................................................................... 10
2.1.7. Tatalaksana......................................................................... 12
2.1.8. Prognosis ............................................................................ 14
2.2. Kejadian Luar Biasa Difteri di Indonesia Tahun 2017 .................. 14
BAB 3 KESIMPULAN ..................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 19

iii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
2.1. Prevalensi Kejadian Difteri 2017 15
2.2. Provinsi dengan Jumlah Difteri Terbayak Tahun 2017 16
2.3. Program Outbreak Response Imunization 17

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah
dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium
diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada
tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan
juga pada kulit. Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium
diptheriae. Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin,
muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit.1
Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan faring. Kematian
biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung,
serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal. Apabila tidak diobati dan penderita
tidak mempunyai kekebalan, angka kematian adalah sekitar 50 %, sedangkan
dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%. Angka kematian Difteri rata-rata
5– 10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun).1
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat
sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-
negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di
Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus
SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari
total kasus SEAR).1
Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun
2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada
tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016
menjadi 100 Kabupaten/ Kota.1
Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara
global pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus Difteri menurun lebih dari 90%.

1
Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali, yaitu
pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan. Selanjutnya Imunisasi lanjutan DT dimasukkan
kedalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk
semakin meningkatkan perlindungan terhadap penyakit Difteri, imunisasi lanjutan
DPT-HB-Hib mulai dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin pada usia 18
bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak
sekolah dasar.1
Kejadian luar biasa difteri di Indonesia kembali meningkat di tahun 2017
ini dimana menurut Kemenkes terdapat 593 kasus difteri yang telah dilaporkan
dari 95 kabupaten di 20 provinsi, sepanjang Januari hingga November 2017.2
Oleh sebab itu penulis membahas tentang kejadian luar biasa difteri di Indonesia
tahun 2017.

1.2. Tujuan Makalah


Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan wawasan
mengenai kejadian luar biasa difteri di Indonesia. Selain itu, penyusunan makalah
ini juga sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat Makalah


Manfaat yang didapatkan bagi para pembaca adalah pembaca menambah
wawasan mengenai kejadian luar biasa difteri di Indonesia, khususnya bagi para
mahasiswa sarjana kedokteran, mahasiswa P3D, mahasiswa pascasarjana
kedokteran dan PPDS, dan dapat menjadi referensi makalah berikutnya.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Difteri
2.1.1. Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini.3

2.1.2. Epidemiologi
Insiden difteri menurun setelah perang dunia II, ketika vaksin difteri
digunakan secara intensif dan luas. Di negara yang mempunyai cakupan imunisasi
tinggi, difteri terkontrol dan menurun secara drastis. Tapi, tahun 1990 insiden
kembali terjadi di bekas negara Uni Soviet, sebanyak 1.431 kasus difteri
dilaporkan dan 1.211 kasus diantaranya berasal dari Rusia.4
Pada tahun 1995, strategi kontrol difteri secara agresif (imunisasi massal
terhadap seluruh populasi) dijalankan dan hasilnya kasus difteri menurun menjadi
20.078. Tahun 1997 terus terjadi penurunan kasus difteri menjadi 7.149 kasus,
tahun 1998 menjadi 2.610 kasus dan tahun 2000 sebanyak 1.575 kasus. Total
terjadi lebih dari 170.000 kasus difteri dan lebih dari 4.000 diantaranya
meninggal.4
Pada era pre-vaksinasi di negara berkembang, difteri kulit merupakan
masalah yang lazim terjadi pada bayi di negara tropis. Penggunaan vaksin dimulai
akhir tahun 1970 dengan Expanded Program on Immunization (EPI).
Keberhasilan vaksinasi bervariasi antar negara. Selama outbreak difteri di Yaman
tahun 1981-1982, cakupan immunisasi hanya 10% dan 61% kasus terjadi pada
anak di bawah 5 tahun. Pada saat yang sama epidemik di Yordania, cakupan
imunisasi 70% dan 65% kasus terjadi pada usia di atas 15 tahun.4

3
Pada tahun belakangan outbreak terjadi di Cina, India, Equador, India,
Yordania, Sudan, Yaman, termasuk Indonesia. Dengan cakupan imunisasi yang
lebih baik, kasus di negara yang sedang berkembang serupa dengan negara maju.
Difteri kulit dan luka tersebar luas di negara tropis dan secara klinis sulit
dibedakan dari infeksi kulit lainnya sehingga sulit dieradikasi.4
Di Indonesia, kasus difteri masih terus terjadi di berbagai daerah, bahkan
cenderung mengalami peningkatan pada tahun-tahun terakhir. Peningkatan kasus
difteri sangat menyolok terjadi di Jawa Timur. Tahun 2003, teridentifikasi 5 kasus
positif, tahun 2004, 15 kasus (4 meninggal), tahun 2005 dan 2006, 52 dan 44
kasus (8 meninggal), tahun 2007, 86 kasus (6 meninggal), tahun 2008, 76 kasus
(12 meninggal), tahun 2009, 140 kasus (8 meninggal) dan tahun 2010, 304 kasus
(21 meninggal). Kasus terus meningkat pada tahun 2011, dalam rentang Januari –
November 2011, telah teridentifikasi 511 kasus (12 meninggal).4
Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri juga terjadi di daerah lain, seperti di
Kabupaten Tasikmalaya tahun 2005 dan 2006 sebanyak 55 kasus dan 15
diantaranya (27%) meninggal, di Cianjur Desember 2006, 1 kasus, di Garut
Januari 2007 sebanyak 17 kasus, 2 diantaranya (11,8%) meninggal, dan di Padang
November 2007 ditemukan 1 kasus.5
Pada cakupan imunisasi difteri di suatu daerah yang rendah akan
berdampak pada suatu keadaan wabah difteri di wilayah tersebut, sementara pada
cakupan yang cukup baik akan jarang dijumpai penyakit difteri. Berkurangnya
penyakit difteri akibat program imunisasi bukan berarti jenis bakteri tersebut tidak
ada sama sekali atau hilang pada tubuh seseorang, akan tetapi seseorang yang
terinfeksi, bakteri C.diphtheriae tetap dapat berkolonisasi walaupun orang
tersebut telah di imunisasi. Bahkan orang tersebut berpotensi dapat menjadi
carrier dan menjadi sumber penularan penyakit difteri dan berdampak pada
kejadian luar biasa (KLB) di suatu daerah.5

Di Asia Tenggara (South East Asia Regional Office) pada Tahun 2011
Indonesia menduduki peringkat kedua dengan 811 kasus difteri setelah India
jumlah kasus difteri 3485 dan Nepal merupakan negara ketiga 94 kasus difteri.

4
Pada Tahun 2011, jumlah kasus difteri di Indonesia tersebar 18 provinsi dengan
38 orang meninggal yaitu di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan
Bali.5
Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri menurun menjadi 296 kasus dengan
jumlah kasus meninggal sebanyak 16 orang. Dari 22 provinsi yang melaporkan
adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur yaitu
sebanyak 295 kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut,
sebanyak 37% tidak mendapakan vaksin campak. Kasus difteri meningkat setiap
tahunnya di Provinsi Jawa Timur yang tersebar di kabupaten/ kota yang dengan
angka kematian yang cukup tinggi.5

2.1.3. Patofisiologi
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.3
Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A
dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino
lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan
proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA
+ dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.3
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan

5
proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.3
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain
fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri
pada masa penyembuhan. Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi
infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes).3
Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas.
Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam
laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan
penetrasi kedalam sel.6
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi
sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14
hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan.6
Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada
serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot
dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia,
kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.6

6
2.1.4. Klasifikasi dan Manisfestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae (kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis.3
Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada
daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari.
Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita
keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain
tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.3

1. Difteri Saluran Pernapasan


Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan
pada tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39ºC..
2. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat.
3. Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna
putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil

7
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan
lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull
neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas
membrane.
Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat
terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu
sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur
dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane
akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna..
4. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita
dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa
terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi
dan toksemia..
5. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit

8
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
mereka biasanya bersama.
Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka
bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering
terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas.
Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau
infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita
dengan difteri kulit..
6. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada
tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta
dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud
klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu
membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.

2.1.5. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari.7
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek).7
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,
karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi
perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.7

9
2.1.6. Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi
tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema
jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan
ginjal. 7
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi
gejala kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun
pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok.
Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan
dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih
waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak. 7
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum
mematikan telah diuraikan.
Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna
obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk
yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik.
Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik,
dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari
tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan tanpa
pertimbangan wujud klinis yang teliti. 7
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri
dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara
dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua,
tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya
dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian
antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3
sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut seawall 1
minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi

10
lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan
dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf
otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada
elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. 7
Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti
blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi
ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi
atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan
keparahan mionekrosis. Disaritmia berat meramalkan kematian. Penemuan
histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan
respons radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat
mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari
miokardiopati toksik biasanya sempurna. 7
Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi
primer dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah
mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle.
Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai,
menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan
paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,
pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi.
Polineuropati simetris mulainya 1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi
orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor dengan hilangnya refleks
tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal dan lebih
sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat
dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom
Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi
penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada
disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau gagal
jantung. 7

11
2.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.7
1. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna,
cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan
setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas
tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
2. Pengobatan Khusus
a) Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit
dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000
secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam
garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif
bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi
(Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena.

12
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI
seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam
fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness)
b) Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan
tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat
jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
pemberantasan pengidap nasofaring.
Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14
hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-). Eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari. Penisilin G
kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4
dosis. Amoksisilin, Rifampisin, Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit
diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-
kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit)
yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai
dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk

13
mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5
mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
4. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi. 7

2.1.8. Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. (8) Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik,
lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara
lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat
disebabkan oleh karena (1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh
terlepasnya difteria, (2) Adanya miokarditis dan gagal jantung, (3) Paralisis
difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus. 7
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain
gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan
leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-
laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%).7

2.2. Kejadian Luar Biasa Difteri di Indonesia Tahun 2017


Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan minimal 1 suspek
difteri. Menurut WHO, tercatat ada 7.097 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh
dunia pada tahun 2016. Diantara angka tersebut, Indonesia turut menyumbang 342
kasus. Sejak tahun 2011, kejadian luar biasa (KLB) untuk kasus difteri menjadi

14
masalah di Indonesia. Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun 2011
sampai dengan 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia menjadi urutan ke-2
setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak.2
Dari 3.353 orang yang menderita difteri, 110 orang diantaranya meninggal
dunia. Hampir 90% dari orang yang terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi
difteri yang lengkap. Dan pada saat ini kasus difteri kembali mewabah di
Indonesia. Menurut Kemenkes terdapat 593 kasus difteri yang telah dilaporkan
dari 95 kabupaten di 20 provinsi, sepanjang Januari hingga November 2017 dan
66% dari jumlah prevalensi tidak melakukan imunisasi.8
Mayoritas 80% kasus dilaporkan dari tujuh provinsi (Banten, Jawa Barat
Jawa, Jawa Timur, Bangka Belitung, Jambi, dan Lampung). Beberapa kasus juga
telah dilaporkan di provinsi jakarta. Kebanyakan penderita adalah anak-anak di
bawah usia 18 tahun yang tidak divaksinasi atau divaksinasi namun tidak
lengkap.2

Gambar 2.1. Prevalensi Difteri Tahun 2017

15
Gambar 2.2. Provinsi dengan Jumlah Difteri Terbayak Tahun 2017

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 cakupan imunisasi DPT


(difteri, pertusis, dan tetanus) untuk anak berusia 2-6 tahun di Indonesia hanya
75,6 persen (idealnya di atas 90 persen). Artinya masih ada 24,6 persen anak yang
belum diimunisasi yang berpotensi terinfeksi difteri dan menjadi penyebab
penyebaran difteri di sekitarnya.8
Adapun usaha yang dilakukan pemerintah adalah dengan menjalankan
program Oubreak Response Imunization (ORI) yang diberikan kepada anak-anak
yang tinggal di daerah dengan risiko tinggi untuk menutup celah kekebalan tubuh
dengan memberikan booster vaksis difteri. Kampanye vaksinasi khusus
diluncurkan dari minggu kedua Desember dimulai di kabupaten terpilih di tiga
provinsi (Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat).
Jenis vaksin yang digunakan dalam ORI adalah; Anak di bawah 5 tahun:
vaksin Pentavalen. Anak berumur 5-7 tahun: vaksin DT. Anak di atas 7 tahun

16
sampai 19 tahun: vaksin Td Dosis tambahan. Pemberian vaksin ini bebas biaya
dan mulai diberikan dari tanggal 11 Desember 2017 melalui Puskesmas,
Posyandus dan rumah sakit. Program ORI ini akan diperluas ke daerah risiko
tinggi lainnya dalam beberapa minggu mendatang.

Gambar 2.3. Program Outbreak Response Imunization 2017

ORI dilakukan dalam 3 putaran. Jarak pemberian putaran pertama dan


kedua adalah 1 bulan, sedangkan jarak antara putaran kedua dan ketiga adalah 6
bulan. Putaran pertama dilaksanakan pada 11 Desember 2017, dilanjutkan pada 11
Januari dan 11 Juli 2018. Untuk saat ini ORI akan dilakukan di 12 kabupaten/kota
di tiga provinsi. Program ORI di DKI Jakarta akan dilakukan di Jakarta Utara
dengan target 512.208 orang dan Jakarta Barat dengan target 722.202 orang.
Sementara di Jawa Barat akan dilakukan di Purwakarta dengan target 310.150
orang, Karawang 713.087 orang, Kota Depok 668.835 orang, Kota Bekasi
836.660 orang, dan Kabupaten Bekasi 1.100.446 orang.

17
BAB 3
KESIMPULAN

Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah
dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium
diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada
tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan
juga pada kulit. Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas,
kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal. Apabila
tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematian adalah
sekitar 50 %, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%.
Imunisasi memegang peranan penting dalam menurunkan angka kejadi
penyakit difteri. Pada cakupan imunisasi difteri di suatu daerah yang rendah akan
berdampak pada suatu keadaan wabah difteri di wilayah tersebut, sementara pada
cakupan yang cukup baik akan jarang dijumpai penyakit difteri.
Adanya kejadian luar biasa difteri tahun 2017 ini, diperkirakan karena
belum tercapainya target imunisasi pada tahun 2013, sehingga beberapa anak
menjadi sumber penyebaran penyakit difteri tersebut. Untuk itu pemerintah segera
menjalankan program ORI yang dibebaskan dari biaya, untuk menekan angkat
kejadian difteri kedepannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan dan


Pengendalian Difteri. Kementrian Kesehatan RI. 2017.
2. WHO. Update on Diphteria in Indonesia. 2017. Available from
http://www.who.int/immunization/diseases/diphtheria/en/.
3. Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri,
1-18. 1992.
4. Sariadji, K., Sunarno, Pracoyo, N.E., et al. Epidemiologi Kasus Difteri di
Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2014. Media Litbangkes, Vol. 26
No. 1, Maret 2016, 37-44.
5. Kartono, B., Purwana, R., Djaja, I.M., Hubungan Lingkungan Rumah dengan
Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005-2006)
dan Garut Januari 2007, Jawa Barat. Makara. Kesehatan. Vol. 12, No. 1, Juni
2008: 8-12.
6. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm
7. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Meningkatnya Kasus Difteri, 3
Provinsi Sepakat Lakukan Respon Cepat. 2017. Avaiable from
www.depkes.go.id.

19

Anda mungkin juga menyukai