Anda di halaman 1dari 13

Pendekatan untuk Kreativitas

Pendekatan biologis untuk kreativitas

a. Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol emosi telah menjadi sebuah tema sentral
dalam dua dekade terakhir untuk ahli saraf, dan sekarang ini telah diterima suatu pernyataan bahwa
proses emosional tidak lagi dianggap sebagai perilaku tidak teratur yang perlu ditindas, tetapi
sebaliknya sebagai proses adaptive dari peristiwa penting bagi individu dan sebagai mekanisme
kelangsungan hidup yang memungkinkan untuk respon flexibilitas untuk perubahan dalam
lingkungan. Proses informasi emosional berbasis tubuh ini penting untuk kesejahteraan.

Temuan ini mengubah paradigma pada terapi, dimana pengaruh terapi regulasi sebagai lawan
untuk terapi perilaku kognitif menampilkan hasil yang lebih baik mengenail perubahan
psikoterapiotik dan kesejahteraan yang bertahan lama.

Schore (2012) menekankan pentingnya aktivitas hemisfer kanan dan mempengaruhi kesadaran
sebagai fungsi motivasi adaptif. Dan respon terhadap perubahan eksternal. Hal ini juga menjadi
tantangan perilaku tradisional dari terapis, sebagai pendekatan terapeutik yang paling
menyembuhkan dalam ART didasarkan pada kemampuan terapis untuk merespon dari
ketidaksadaran relasionalnya sendiri (reaksi hemisfer kanan), untuk mendukung perubahan terapi
pada klien. Paradigma lama dan pemahaman tentang perilaku terapeutik, di mana terapis tetap
netral, obyektif dan analitis seperti yang disarankan oleh Freud, tidak dapat lagi ditegaskan oleh
penelitian neuropsikologis (Schore, 2012).

b. Pentingnya memiliki fokus pada transferensi dan pengalaman kontratransferensi yang menjadi
lebih penting pada paradigm baru, karena kesadaran terapis akan emosi pribadi kini menjadi bagian
dari hubungan terapeutik. Dari temuan ini kesejahteraan terapis sendiri serta hubungan interaktif
dengan klien termasuk dalam hasil terapeutik apa pun sebagai faktor yang penting untuk hasil yang
baik.
(Menggunakan seni dalam terapi sangat sesuai dengan paradigm baru karena akses mudah ke
emosi dan kenangan dibalik emosi sebagai bagian dari proses transformative.).

Schore (2012) mempunyai investigasi pada relasi psikhotherapeutik dengan suatu fokus pada
hubungan ketidaksadaran antara klien dan terapis (transferensi dan kontratransferensi), and tidak
termasuk penggunaan modalitas seni sebagai penerima peraagaan kembali emosional.

Secara pribadi saya menemukan bahwa kemungkinan bekerja dengan emosi jauh lebih
tersedia ketika modalitas seni digunakan dalam terapi, dari pada dalam terapi verbal saja. Karena
klien mungkin tidak menyadari emosi ketika karya seni benar-benar dibuat, hanya dalam dialog
yang mengikuti dengan terapis, aspek emosional menjadi sadar atau berubah menjadi emosi yang
berbeda.

(Menggunakan karya seni sebagai tempat untuk tetap fokus pada emosi memberi klien lebih
banyak ruang bebas untuk menyelidiki emosi tanpa menggunakan terapis sebagai wadah, seperti
halnya kasus dalam analisis tradisional).

Ini tidak mengesampingkan hubungan transferensi dan kontratransferensi dalam terapi antara
terapis dan klien, tetapi hanya menggantikan konten regresif dari transferensi ke karya seni, seperti
yang dijelaskan oleh Schaverien (1999), di mana fungsi terapis dapat menjadi lebih mendukung dan
kurang konfrontatif. . Penting untuk proses kreatif untuk terungkap dalam terapi karena itu akan
menciptakan ruang yang aman untuk pelepasan emosional, yang kemudian dapat diintegrasikan
dalam kesadaran selama dialog verbal kemudian terkait dengan karya seni.
Hemisfer kanan mempengaruhi penggunaaan regulasi menurut Schore (2009,p.125) dilihat pada
gambar 4.1.

Hemisfer kiri Hemisfer kanan

Bahasa Bahasa

System Limbic

Motivasi dan Emosi

Batang otak

Gambar 4.1 Pengaruh regulasi

Pergerakan impuls dari batang otak (mempengaruhi) ke sistim limbik (emosi) perlu melalui
hemisfer kanan untuk terjadinya integritas kognitif dalam kesadaran menggunakan bahasa dan
aktivitas hemisfer kiri (Schore,2012). Terkait dengan proses terapi seni, model ini menunjukan
bahwa ekspresi seni tanpa mengikuti dialog terapiutik, tidak mendukung integritas kognitif dan
perubahan terapeutik, tetapi akan mempunyai lebih ketidaksadaran dan fungsi compensator.

Ketika melihat depresi yang terkait dengan model ini, implus tampaknya terjebak dalam system
limbik, yang menurut Schore (2012) menunjukan bahwa emosi ditahan kembali bukannya
dilepaskan. Oleh karena itu kontrol emosional tidak terbentuk, karena emosi diluar dari kesadaran.

(Untuk emosi mencapai hemisfer kanan, imaginasi dan aktivitas ekpresiv akan tampak sesuai
untuk karakteristik aktivitas dari hemisfer kanan. Itu juga merupakan indikasi dari pentingnya
menyeimbangkan aktivitas kreativ dengan dialog therapeutik untuk menyelesaikan proses
neurological menuju control emosional)
Dari perspektiv neuropsikologikal, kreativitas dipandang sebagai “Produksi ide yang baru dan
bermanfaat dalam lingkungan sosial tertentu” (Schore, 2012, p.141). Pencarian untuk solusi baru
dan mengejutkan dalam situasi social tertentu adalah spesialisasi hemisfer kanan, hemisfer kiri lebih
dapat memprediksi dan strategis dalam fungsi linearnya.

Dalam dialog terapeutik yang terkait dengan karya seni, klien lebih banyak kesempatan untuk
mengalami solusi baru yang mengejutkan, karena isi proyeksi dari ketidaksadaran, yang menjadi
tersedia melalui karya seni dan imajinasi. Dalam dialog dengan klien karya seni, saya sering
mendengar klien yang mengatakan,“Saya tidak melakukan ini dengan sengaja” atau “saya tidak
tahu saya melakukan itu” sebagai alasan untuk membiarkan ketidaksadaran mengungkapkan
informasi baru. Itu terasa seolah-olah mereka tidak menganggapnya serius menggambarkan mereka
lebih banyak tentang control dan pengetaHuan. Dan mungkin mengabaikan informasi kecuali
keterikatan emosional yang berkembang selama percakapan. Kemudian menjadi link yang tak
terduga menuju kesadaran aktivitas hemisfer kanan.

Hemisfer kanan memiliki dua fungsi penting yang berbeda terkait dengan kreativitas. Salah
satunya adalah mempengaruhi fungsi regulasi, dimana proses ekspresi dan proses pembuatan
makna adalah aktivitas inti, dan yang lainnya adalah kemampuan untuk menggunakan potensi
pencarian kreativ baru yang terhubung dengan perubahan. Ketika kreativitas diblok dan
kemampuan untuk membuat perubahan yang menungkatkan kualitas hidup tidak tersedia, itu
tampaknya relevan untuk fokus pada pengaruh fungsi regulatif dari hemisfer kanan, menggunakan
modalitas hemisfer kiri dengan solusi baru yang tidak mungkin.

Pendekatan Psykologikal untuk Kreativitas

Perpektif saya tentang kreativitas adalah metode partikal yang bisa menjadi bagian dari penampilan
seni dan atau sebuah therapeutik dan waktu interaksi yang terbatas ( yang mungkin atau tidak
mungkin mempunyai pengaruh pada kehiduapan individual yang terlibat), tetapi juga keadaan
pikiran, diharapkan akan meningkatkan kualitas pengalaman hidup peserta dalam kehidupan sehari-
hari.

Kreativitas Setiap Hari


Richards (2010) menjelaskan pentingnya kreativitas sehari-hari terkait dengan kualitas hidup dan
menyajikan keempat isu utama :

1. Membangun kreativitas sehari-hari, dengan fokus pada produk dan proses yang kreatif.

2. Manfaat kesehatan dari kreativitas sehari-hari.

3.Cara-cara alternative dari pengetahuan dan kreativitas

4.”

Dia menganggap bahwa kreativitas seharihari adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup kita
sebagai individual , dan oleh karena itu penting untuk kita semua dan bukan hanya beberapa yang
dipilih.

Dari penelitiannya. Dia menemukan kompensasi untuk kreativitas sehari-hari, yang dapat
memiliki efek positif dan negative tergantung pada materi kerja secara tidak sadar yang muncul
selama proses kreatif. Salah satu sikap inti untuk hasil positif kreativitas adalah keterbukaan
terhadap pengalaman, yang dalam istilah neuropsikologi akan berarti keterbukaan terhadap aktivitas
hemisfer kanan. Tinggal di masyarakat hemisfer kiri, diasumsikan bahwa kebayakan orang akan
memiliki harapan negative terhadap proses dan hasil otak kanan. Ini sekali lagi dapat menghentikan
impuls kreatif dari suatu proses, dimana perubahan pengalaman positive menghilang. Mempercayai
proses kreatif selama fase dimana itu tidak tampak rasional untuk menjadi sikap bekerja yang
bermanfaat dalam proses kreatif.

Kompleks dan model kerja internl

Dalam buku ini saya memiliki focus khusu pada struktur mental internal, beberapa diantaranya Jung
menyebutnya ego, bayangan, animus/anima dan diri. Proses internalisasi model eksternal dijelaskan
oleh Bowlby (1969); Fordhem (1969); Neumann(1973); dan Schore (2009),2012); dan merupakan
bagian penting dari teori dan pengembangan ego. Model kerja internal adalah dasar untuk sebagian
besar pekerjaan psikoterapi saat ini. Dari perpektif Jungian representasi mental internal membentuk
isi kompleks. Sebagai kompleks dan pengalaman pribadi selalu terhubung ke sebuah pola dasar
“Gambar skema”(Knox,2003), interaksi antara pengalaman pribadi dan pola dasar gambar dapat
membawa kemungkinan untuk menambahkan sesuatu yang baru dari pola dasar, yang mungkin
mengubah ikatan emosional pada gambar 4.2 dapat dilihat bagaimana keempat pengalaman
emosional yang berbeda bisa melekat pada inti pola dasar misalnya ibu.

Pengalaman
Emosional

Pengalaman
IBU Pengalaman
Emosional
Emosional

Pengalaman
Emosional

Gambar 4.2 Gambar pola dasar dan pengalaman emosional

Untuk mengubah atau mengatur pengalaman negative dari ibu (yang mungkin merupakan hasil
suara internal negative) pengalaman aspek positif dari pola dasar ibu bisa mengubah suatu
pengaruh negatif. Bekerja dengan symbol (sebagai representasi untuk pola dasar) oleh karena itu
memiliki potensial regulasi diri yang sulit didapatkan ketika focus hanya pada pengalaman pribadi.

Pengalaman emosional pribadi bisa diterapkan melalui gambar pola dasar dan membantu untuk
mengatur jalur baru pada struktur otak. Hal ini merupakan dasar transformasi pada symbol
pekerjaan.
Menurut Jung ada banyak kompleks sebagai pola dasar dan situasi psikis, yang berarti bahwa
kompleks dari struktur dasar pikiran manusia. Kesulitan terletak pada keterkaitan kompleks, yang
mengapa itu bias menjadi sulit untuk mengetahui urutan dari bagaimana mereka berinteraksi
dengan orang lain. Saya berpikir bahwa bagian dari tantangan dalam memahami kunci untuk
perubahan terapeutik tersembunyi dalam keterkaitan yang kompleks. Ini merupakan kombinasi dari
narasi pribadi dan faktor X magis yang terkait dengan individualitas.

Itu juga menyulitkan untuk menyamaratakan proses perubahan terapeutik, tetapi mungkin untuk
memahami beberapa fakta operasional umum tentang bagaimana mengubah kompleks pribadi
dengan mendapatkan akses ke inti pola dasar. Ketika sebuah kompleks bersifat patologis, itu
mengganggu hubungan ego-diri karena pengalaman traumatis dan fungsi sebagai kesatuan yang
terisolasi dalam jiwa. Dieckmann menunjukkan bahwa kompleks adalah "patogenik hanya ketika
ditekan, ditekan, atau ditolak dalam arti bahwa kita berpikir bahwa kita tidak memilikinya" (1999,
p. 9).

Ini adalah salah satu kualitas kuat dalam terapi seni, karena kompleks dapat ditemukan melalui
simbol dan kejutan ini sering tidak dapat diprediksi. Ini tiba-tiba hanya sebuah kenyataan ketika
klien mengeksplorasi gambar. Bagi saya, ini adalah bagian dari proses penyembuhan dan cara
bagian jiwa yang tertindas, ditekan atau disangkal dapat hidup kembali dalam bentuk yang aman
dan terproyeksi karena sebagian masih terwakili dalam gambar. Mungkin itu adalah kualitas dalam
seni. terapi yang menciptakan beberapa resistensi dari institusi terhadap metode, karena proses
kreatif tidak dapat sepenuhnya dikendalikan. Itu terjadi begitu saja. Keyakinan pribadi saya adalah
bahwa ketika individu mampu menemukan kompleks dalam karya seni, itu mencerminkan kesiapan
menghadapi kenangan dan emosi yang melekat pada kompleks. Ketika sebuah kompleks kolektif
berfungsi sebagai sumber daya dalam proses transformatif, itu karena kompleks kolektif

"berada tidak pernah sebelumnya sadar dan karena itu tidak bisa ditekan (Dieckmann, 1999, p43).
Mereka tersedia potensi dalam jiwa yang diaktifkan melalui pengalaman hidup. Selanjutnya,
karakter kompleks pribadi didefinisikan oleh identifikasi awal dengan seseorang dari keluarga
(Dieckmann, 1999). Hal ini menjelaskan mengapa kompleks ibu dan ayah adalah salah satu
kompleks yang paling aktif dalam terapi, dan seperti Dieckmann (1999) menunjukkan "Pola dasar
Ibu yang Agung dan Bapa Besar yang agung bersama-sama membentuk diri" (px) Ketika sumbu
ego-diri tidak terhubung, ibu dan ayah kompleks tampaknya menjadi kunci untuk mengubah
hubungan ego-diri Kompleks kolektif dapat diaktifkan melalui mimpi dan karya seni menggunakan
amplifikasi sebagai metode membuka gambar yang berkaitan dengan tema mitologis. Hubungan
antara simbol dan mitos ini tidak selalu mudah ditemukan, tetapi kadang-kadang mereka muncul
dengan cara yang meyakinkan dan mengomunikasikan kepada klien hubungan yang lebih dalam
dengan jiwa pola dasar dan ke diri sendiri. Kejutan yang dialami individu ketika mereka memahami
mitologi di balik gambar yang mereka pikir terkait murni dengan pribadi, selalu menjadi salah satu
keajaiban dan inspirasi.

Pendekatan social untuk kreativitas

Pasca-Jungians telah mengembangkan lebih lanjut teori Jung tentang kompleksitas pribadi dan
kolektif dan memperkenalkan konsep kompleks budaya (Singer dan Kimbles, 2004) Sebuah
kompleks budaya seperti jembatan antara kompleks pribadi dan inti tipenya, dan dapat lebih mudah
dijangkau daripada kompleks kolektif, karena lebih dekat ke kesadaran daripada kompleks pola
dasar. Salah satu keuntungan dari bekerja dengan pengembangan pribadi dalam kelompok adalah
bahwa kompleks pribadi ketika dibagikan dapat diakui oleh orang lain dalam kelompok karena
keterhubungan budayanya. Fakta bahwa kita hidup dalam masyarakat patriarkal (di mana hubungan
dan feminin kurang berharga daripada menjadi produktif) menciptakan ketidakseimbangan yang
hidup berdampingan dalam jiwa individu dan membuat orang menerima keadaan dan cara hidup
yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan makna dalam kehidupan. Hanya beberapa hari yang lalu
ada acara di televisi tentang seorang ibu dan ayah yang keduanya bekerja dan hanya menghabiskan
2 jam sehari dengan putri mereka yang berusia 2 tahun. Dia dikirim ke taman kanak-kanak pada
pukul 5 pagi, dan dijemput pada jam 5 sore. Selama 2 jam bersama mereka juga akan melakukan
semua hal praktis di rumah mereka, seperti memasak, mencuci. pembersihan dll. Temuan
Dissanyake yang berkaitan dengan kebutuhan akan keintiman dan kepemilikan, mungkin sulit
dipenuhi dengan prioritas semacam itu. Ketika gadis kecil ini tumbuh setelah menginternalisasi
kode moral untuk membuat prioritas, dia mungkin tidak tahu bagaimana memenuhi kebutuhan yang
dia ajarkan tidak ada.

Jung berpikir bahwa orang-orang yang sociey dan kelompok-kelompok pada umumnya memiliki
pengaruh destruktif mendasar terhadap pengembangan diri, mengacu pada Perang Dunia Kedua di
Jerman. Setelah bekerja dengan kelompok selama 30 tahun, saya pikir yang sebaliknya juga bisa
benar, selama upaya sadar dan kesadaran dinamika kelompok menjadi bagian dari proses terapeutik.
Dengan demikian, kreativitas dan pengembangan diri berhubungan dengan konstitusi moral dan
etika dari suatu masyarakat atau kelompok serta hubungan yang intim dalam kehidupan individu.
Berusaha untuk mengembangkan kepribadian kreatif dalam proses terapeutik, stereotip budaya
dapat mempengaruhi penilaian perilaku manusia sedemikian rupa. cara kreativitas seorang individu
dapat menjadi ancaman terhadap kekakuan dan perubahan budaya (Richards, 2010).

Apa yang diharapkan dari masyarakat agar dapat dimasukkan sebagai individu mungkin berlawanan
dengan kebutuhan individu, dan dapat individu kemudian mempertahankan koneksi ke fungsi
kreatif dan aktualisasi diri, atau akan kompleks budaya mengalahkan dorongan individu terhadap
perubahan ?

Oleh karena itu, pemahaman tentang kompleks budaya dapat menjadi masalah penting dalam
kaitannya dengan pengalaman hidup berkualitas rendah, karena mungkin mengarah pada masalah
yang lebih politis dan kultural dalam kaitannya untuk depresi, karena perhatian kemudian akan
perlu untuk memfokuskan lingkungan menjadi defensif terhadap perubahan. Gambar 4.3 (Skov,
2013) menggambarkan berbagai lapisan kompleks di pryche.

Gambar 4.3 Lapisan-lapisan kompleks yang berbeda dalam jiwa.

Pendekatan biopsikososial untuk kreativitas

Menggabungkan temuan neuropsikologi dengan teori-teori psikologis dan sosial, pemahaman


kreativitas saat ini didasarkan pada teori-teori keterikatan dan proses hemisfer kanan, model kerja
internal dan isu-isu budaya mengenai definisi normalitas versus kreativitas. Dalam buku ini saya
menggunakan perspektif yang mirip dengan Dacey dan Lennon (1998), sebagai "Sekarang ada
sedikit keraguan bahwa tiga faktor-biologis, psikologis dan sosial-memainkan peran dalam setiap
tindakan kreatif" (Dacey dan Lennon, 1998, p). .225). Ketertarikan saya pada kreativitas didasarkan
pada ketiadaannya dalam keadaan depresi, yang memberi kita pertanyaan bagaimana kita sebagai
terapis dapat membantu mentransformasi keadaan depresi menjadi kreativitas sehari-hari. Dari
perspektif sosial, saya pikir kita juga perlu menyadari situasi lingkungan yang terkait dengan
individu yang depresi, dan apakah kekuatan kompleks budaya terlalu kuat untuk individu unuk
mengatasi. Tantangan terapi kemudian harus focus pada strategi penanggulangan yang berkaitan
dengan kekakuan lingkungan, dan tidak hanya pada individu.

Perspektif social dengan kompleksitas kultural dalam focus lebih ditegaskan oleh psikologi
evolusioner. Slomen (2000) menyebutkan sensivitas penolakan sebagai faktor kerentanan terhadap
depresi, yang dapat mengaktifkan Strategi Penentang Tak Sengaja (IDS) sebagai strategi yang kalah
terhadap lingkungan. IDS dianggap sebagai konsep inti dalam teori Rank, dan dapat fleksibel atau
kaku dalam fungsinya.

Strategi yang fleksibel dan kaku terkait dengan cara memecahkan konflik. Mereka adalah ekspresi
dari pola perilaku ketika individu dihadapkan dengan ancaman terhadao ekspresi kreatif untuk
bertahan hidup dan menghindari pengecualian dari kelmpok. Ketika IDI tidak afektif dalam
mengakhiri agresi, itu dapat berkontribusi pada pengembangan penyakit depresi (Sloman dan
Gilbert, 2000,p.65).

Masalah yang penting bukanlah kekalahan dan kehilangan pertempuran dalam situasi sosial, karena
ini adalah masalah kelangsungan hidup, sama seperti bagaiman individu merespon kekalahan.
Dapatkah individu menerima kehilangan dalam konfrontasi dan mengembangkan cara hidup baru,
atau apakah individu merasa terjebak dalam situasi tanpa kemungkinan bergerak kea rah baru
menggunakan strategi kreatif, juga disebut ketidakberdayaan yang dipelajari (Sloman, 2000). “Cara
lain untuk menghubungkan IDS denga depresi adalah untuk menunjukan kesamaan antara
perubahan biologis yang terkait dengan kekalahan dan dengan depresi” (Sloman,2000,p.52).
Hubungan biopsikologis ini mengarah ke perilaku depresif juga memiliki hubungan dengan stress
tinggi yang mengarah ke control yang rendah, menurut Gilbert (2000) yaitu strategi evolusi dan
bukan kesalahan biologis. Menurur hasil ini, masalah paling penting yang terkait dengan depresi
adalah apa yang menyebabkan stress dan bukan perilaku depresif seperti itu. Saya menemukan ini
menjadi pertanyaan penting yang perlu diatasi karena itu mungkin berarti bahkan jika perilaku
depresif berubah menjadi lebih aktif dalam hidup, melakukan naluri kreatif untuk bertahan hidup
tidak lagi melindungi individu dari bahaya efek biologis dari stress? Dan apakah itu juga berarti
bahwa masalah kualitas hidup yang rendah berpengaruh terhadap bidang biologis, seperti penyakit
fisik, bukannya ketidakseimbangan psikologis? akhirnya bisakah kita bergerak kea rah lain dan
menganggap penyakit fisik sebagai reaksi terhadap keadaan psikologis yang tidak ditangani dengan
benar?.
Pendekatan Spiritual untuk Kreativitas

Dalam psikologi Jung, konsep diri berkaitan dengan dimensi spiritual yang disebut sebagai realitas
psikoid (Rafft, 2006; Stevens,1993). Contoh yang baik dari ini adalah dialog Jung dengan
Philemon, yang merupakan orang imajinatif dengan kebijaksanaan besar dan sangat penting bagi
Jung (2009). Salah satu perbedaan paling signifikan antara konsep diri Jung dan konsep diri dalam
teori keterikatan (Bowlby,1969; Schore, 2012) adalah bahwa diri dalam defenisi Jung tidak
berubah, itu selalu ada dan oleh karena itu kita hanya dapat dapat mengubah hubungan dengan diri
dan cara kita memahami siapa diri kita sebagai individu.

Dalam teori lampiran (Bowlby, 1969; Schore, 2012), diri berkembang melalui relasi objek dan
interaksi otak kanan-ke-kanan antara orang tua dan anak. Dalam psikologi Jung dengan Fordham
(1969) dan Neumann (1973) sebagai wakil psikologi perkembangan, diri dianggap sebagai potensi
psikosomatis yang menunggu untuk terungkap melalui interaksi relasional objek, dan karena itu
dianggap sebagai struktur a priori dalam jiwa Knox (2003).

Knox (2003) memecahkan pertentangan ini dengan mengatakan bahwa, "Kita dapat
merekonsiliasi posisi-posisi ini dengan mempertimbangkan diri menjadi konsep abstrak, cara
mengkonseptualisasikan semua fitur yang muncul dari pikiran manusia, baik yang terealisasi dalam
pembangunan dan itu bukan "(p.59). Saya pikir dia termasuk konsep diri dari teori-teori lampiran ke
dalam definisi Jung dengan mengambil sikap yang lebih abstrak, yang bagi saya tidak memecahkan
masalah pendekatan yang berbeda pada diri. Juga saya pikir perbedaannya adalah sifat spiritual dan
bukan perkembangan. Dalam pemahaman Jung tentang diri ada aspek membimbing dan disengaja,
yang tidak termasuk dalam konsep diri dalam teori keterikatan dan saya pikir konsekuensi praktis
dari perbedaan ini perlu secara jelas ditangani ketika menggunakan karya seni secara terapi, karena
itu juga mendefinisikan pendekatan terapis untuk gambar dan harapan dari potensi klien.

Salah satu konsep paling sentral dalam psikologi Jungian ketika menyangkut perubahan dan
transformasi adalah konsep fungsi transenden, yang tidak hanya menyatukan kebalikan ke dalam
solusi novel ketiga untuk konflik antara dua bagian, tetapi juga mengatur keseluruhan jiwa menuju
keutuhan. . Fungsi transenden tampaknya memiliki kualitas yang dapat dikenali dalam definisi
kreativitas terkait yang fleksibel dan dapat diasumsikan bahwa fungsi transenden terkait dengan
kemampuan transformatif fungsi hemisfer kanan. Misteri yang terhubung dengan transformasi
aktual struktur-struktur emosional tak sadar (personal complexes) ke dalam suatu sikap sadar yang
baru mencakup konsep-diri yang didasarkan pada pemahaman spiritual atas diri yang tidak hanya
bersifat regulatif tetapi juga berusaha membimbing ego menuju pemenuhan.

Dalam hal ini kita membutuhkan kompleks kolektif untuk memimpin jalan karena mereka tidak
dipengaruhi oleh penindasan pribadi, tetapi menonjol sebagai potensi asli dalam jiwa.

Sebagian besar penelitian dalam terapi seni dan individuasi ditemukan dalam terapi individu
(Eisendrath, 1977). Buku Merah Jung dari 2009 adalah dokumen yang diilustrasikan dengan baik
berdasarkan pengembangan pribadi Jung dengan menggunakan imajinasi aktif dan gambar
mandala. Selama periode ketika Jung membuat mandala, dia mengalami transformasi besar sebagai
akibat dari putusnya dirinya dengan Freud. Dia menemukan tokoh-tokoh dalam ketidaksadaran
yang muncul dalam fantasinya, dan mampu menciptakan dialog imajinatif verbal dengan
kepribadian batin tanpa bantuan eksternal dari analis lain. Dengan cara ini ia mampu
menyembuhkan dirinya sendiri dan bahkan mengacu pada salah satu suara batin (Filemon) sebagai
"guru" nya (Jung, 2009).

Bertelsen (1975) telah mempelajari mimpi dalam kaitannya dengan proses individuasi dan telah
menunjukkan proses sebagai serangkaian mimpi bergerak dari simbolisme koniunctio, ke kelahiran
kembali psikologis. Dia menggambarkan periode transformasi ini sebagai proses yang berlangsung
sembilan bulan, di mana bulan kelima dialami sebagai kondisi nigredo (kegelapan) dalam
kesadaran, yang dapat dirasakan sebagai depresi. menurut studi bertelsen tentang transformasi
batin, keadaan depresi menjadi kondisi pikiran yang penting jika kondisinya menjadi proses
transformatif, bukan gangguan mental. ini akan melibatkan sikap yang lebih mendengarkan-ke-
tidak sadar yang menunjukkan hubungan diri ego yang lebih kuat.

Saya pikir transformasi autentitas menuju ketidaksadaran mungkin merupakan hasil yang paling
penting dari proses seni terapeutik, karena itu juga mengubah gangguan mental potensial menjadi
keingintahuan seumur hidup yang berhubungan dengan arketipe diri.

Ringkasan.

Pendekatan Jung dapat menambahkan dimensi baru pada pemahaman dan penyembuhan depresi,
yang merupakan tanda akan sesuatu yang perlu diubah dalam kehidupan. Dari pemahaman spiritual
diri sebagai panduan ner menuju keutuhan, prosedur untuk memfasilitasi koneksi ke diri
digambarkan sebagai proses individuasi. Pada bagian pertama buku ini, pemahaman Jung tentang
depresi, sebagai hubungan ego-diri yang terluka, telah dijelaskan dalam kaitannya dengan
kreativitas dan perubahan terapeutik. Telah diperdebatkan bahwa kreativitas psikologis adalah
kebutuhan untuk perubahan terapeutik, dan bahwa penggunaan imajinasi adalah kualitas penting
dalam proses transformatif tersebut. Faktor-faktor yang sesuai antara Jung, depresi dan kreativitas
telah ditekankan melalui penyajian konsep-konsep inti berdasarkan pada pemahaman biopsikologis,
sosial dan spiritual tentang depresi. Pada bagian selanjutnya dari buku ini, saya akan membahas
pendekatan yang berbeda dalam terapi seni klinis yang berusaha untuk menguraikan secara lebih
rinci metodologi klinis yang mencakup potensi penuh terapi seni.

Anda mungkin juga menyukai