STATUS PASIEN
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Pasien datang ke Poli Klinik THT RSPAD Gatot Soebroto dengan
keluhan pendengaran pada telinga kiri menurun sejak 3 minggu yang
lalu
b. Keluhan Tambahan
Pasien juga mengeluhkan keluar cairan bening tanpa bau pada telinga
kiri. Demam, bersin, hidung panas, dan berair serta tersumbat.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli klinik THT RSPAD Gatot Soebroto dengan
keluhan keluar cairan bening tanpa disertai bau dari telinga kiri sejak 3
bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan kuping terasa sakit disertai
suara berdenging. Pasien juga mengaku sempat mengeluarkan darah
pada liang telinga.
Cairan yang keluar dari telinga tidak berwarna dan tidak berbau.
Pasien mengaku sering mengalami bersin – bersin, hidung tersumbat
berair dan demam yang lebih dari 1 minggu.
Kebiasaan pasien, pasien mengaku gemar membersihkan telinganya
dengan menggunakan “cotton bud” sehabis mandi dan jika terasa gatal.
1
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku pernah mengalami penyakit yang sama, yaitu
keluar cairan dari telinga sekitar 1 tahun yang lalu, cairan yang keluar
bening dan tidak berbau.
Sebelumnya pasien juga tidak pernah melakukan operasi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang
sama dengan pasien
- Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat ketulian
dan infeksi pada telinga.
f. Riwayat Penyakit Lain
- Paru (-) - Alergi (-)
- Hipertensi (-)
- Diabetes mellitus (-)
- CVS (-)
- Ginjal (-)
g. Riwayat Kebiasaan : Merokok (-), alkoholik (-), obat-obatan (-)
h. Riwayat Alergi : Asma (-), obat (-)
i. Riwayat Operasi : Tidak ada
2
c. Status Generalis :
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-),
Respon cahaya (+/+), Pupil isokor, Diameter 3 mm
Mulut : T1-T1tenang, Deviasi uvula (-), Mallampati 2, Gigi
goyang (-), Gigi ompong (-), Gigi palsu (-), Buka mulut
maksimal 3 jari.
Leher : Tampak simetris, Jarak thyroid-mental 3 jari, Jarak
hyoid thyroid 2 jari, Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar
tiroid (-), Deviasi trakea (-), Retraksi otot bantu napas (-),
Ekstensi leher sempurna tanpa tahanan
Pulmo
Inspeksi : Pergerakkan dada simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Fremitur Vokal simetris, Fremitus Taktil simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II normal, regular, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, Caput medusa (-), Spider navy (-)
Auskultasi : BU (+), distensi abdomen (-) , nyeri tekan (-)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), Hepatosplenomegali (-),
Ascites (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Pinggang : Nyeri ketuk CVA (-/-)
Urogentital : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, oedem (-/-)
3
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium :
Hasil
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
Saat ini
HEMATOLOGI
Hematokrit 36 40-52%
MCV 89 80 – 96 fL
MCH 32 27 – 32 pg
MCHC 36 32 – 36 g/dL
KIMIA KLINIK
Ureum 21 20 – 50 mg/dl
4
b. Radiologi :
- Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
c. EKG :
- Sinus rhytm, st elevasi (-), gelombang P normal, PR interval < 0,2
detik, QRS complex < 0,12 detik
V. KESIMPULAN
a. Diagnosis Bedah
OMSK (Otitis Media Supuratif Kronis) Maligna
b. Diagnosis Anestesi
ASA I
PELAKSANAAN ANESTESI
1. Ko Induksi :
Midazolam 2 mg
Fentanyl 100 mcg
2. Induksi :
Propofol 150 mg
3. Medikasi :
Notrixum (Atracurium) 60 mg
5
Fentanyl 100 mcg
Dexamethasone 10 mg
Ranitidine 50 mg
Ondancentron 8 mg
Tramadol 100 mg
Ceftriaxone 1 gram
Sulfas Atropin 0,5 mg
Prostigmin 1 mg
Maintenance :
Isoflurance
O2
Air
Ventilator
Volume Tidal : 370
Respiration rate : 13
M.Volume : 4,7
PEEP :3
FiO2 : 62
Peak : 13
4. Pasca Anestesia
Pasien boleh makan dan minum bertahap bila sadar penuh, tidak ada mual
dan muntah. Sebelum dipindahkan ke ruang perawatan, dilakukan penilaian
Aldrete Score di ruang pemulihan dan didapatkan hasil :
6
Kesadaran :2
Warna kulit :2
Aktivitas :2
Respirasi :2
Kardiovaskuler :2
Total score = 10
PEMBAHASAN KASUS
7
- Hemodinamik pre – operatif pasien sampai dengan pukul 07:20 WIB baik
dengan :
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 138/76 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Suhu : 36,7
Pernapasan : 22 x/menit
- 07:20 – 07:25 WIB Setelah pasien diberikan midazolam 2 mg (sedative),
fentanyl 100 mcg (analgetik). Dilanjutkan dengan induksi dengan
menggunakan Propofol 100 mg. setelah reflek bulu mata tidak ada. Ketahap
selanjutnya yaitu preoksigenasi.
- 07:25 – 07:30 WIB Pasien diberikan anestesi inhalasi dengan isoflurance 1,5
Lpm dengan Oksigen 6 Lpm, yang sebelumnya kepala telah diekstensikan.
Melakukan preoksigenasi 3-5 menit. dan diberikan atracurium sebagai
pelumpuh otot agar mudah di intubasi.
- 07:30 – 07:35 WIB dilakukan intubasi ETT (Endotracheal Tube) no 7 dengan
balon, dengan batas bibir 19 cm, dihubungkan dengan mesin dragger. Dan
memasang guedel no.6.
- 07:40 WIB Operasi dimulai. Dengan Mantainance O2 2 Lpm, Isoflurance 1,5
Lpm.
DURANTE OPERASI :
Nadi : 62 – 78 x/menit
Saturasi Oksigen : 99 – 100%
Medikamentosa :
- Dexamethasone 10 mg
- Ranitidine 50 mg
- Ondancentron 8mg
- Tramadol 100 mg
- Ceftriaxone 1 gram
- Sulfas Atropine 0,5 mg
- Prostigmin 0,5 mg
8
- 09:45 – 09:55 WIB : Operasi selesai, pasien bangun dengan baik, suction
kemudian di ekstubasi.
- Kesadaran : Komposmentis
- Tekanan darah : 123/72 mmHg
- Nadi : 92 x/menit
- Suhu : 36,7
- Pernapasan : 18 x/menit
- 10:10 WIB : Pasien stabil dan dipindahkan ke ruang recovery room.
- 10:30 WIB : Pasien stabil dan dipindahkan ke ruangan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem saraf pusat (SSP)
secara reversibel. Anestesi umum diperoleh melalui penggunaan obat-obatan
secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri
(analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan
atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran
(unconsciousness).1,3
Anestesi umum memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan
pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi
menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan
kenangan yang tidak menyenangkan.3
2.2.Tujuan Anestesi
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut 3:
1. Hipnotik atau sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesik: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Relaksasi otot
Dahulu dikenal istilah “trias anesthesia” seperti diatas. Sekarang anesthesia
umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen seperti diatas namun lebih luas.
Secara umum komponen yang ada dalam anesthesia umum adalah :
1. Hypnosis (hilangnya kesadaran)
2. Analgesia (hilangnya rasa sakit)
3. Arefleksia (hilangnya refleks – refleks motoric tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien)
4. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal
5. Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)
10
2.3.Pilihan Cara Anestesi 3
Umur
Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum.
Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan
dilakukan dengan anestesi lokal atau umum.
Status fisik
Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Untuk mengetahui apakah pernah
dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi
anestesi dan pasca bedah.
Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesi umum.
Pasien gelisah, tidak kooperatif, atau disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
Pasien obesitas, jika disertai leher pendek dan besar, sering timbul gangguan
sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesi. Pilihan
anestesi adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian
juga pembedahan yang berlangsung lama.
Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah
plastik, dan lain-lain.
Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
Keinginan pasien
Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak mudah terbakar dan tidak eksplosif
adalah pilihan utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter
11
2.4. Fisiologi Hilangnya Kesadaran
2.5. Keuntungan dan kerugian anestesi umum
Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani dibawah
anesthesia umum. Namun demikian semua Teknik anesthesia harus dapat
sewaktu – waktu dikonversikan menjadi anesthesia umum. Oleh karena itu
disetiap tempat pelayanan anesthesia meskipun hanya monitored anesthesia
care (MAC) – harus tersedia perlengkapan untuk anesthesia umum.
a. Keuntungan anesthesia umum
- Pasien tidak sadar, mencegah ansietas selama prosedur medis
berlangsung
- Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperative yang mungkin
memberikan trauma psikologis
- Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama
- Memudahkan control penuh ventilasi pasien.
b. Kerugian anesthesia umum
- Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh
menjadi tumpul dibawah anesthesia umum.
- Memerlukan pemantauan yang lebih holistic dan rumit
- Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya
perubahan kesadaran.
- Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
- Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama
12
tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam
arteri pulmonaris.
Hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
1) Konsentrasi zat anestesi yang dihirup atau diinhalasi: makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam
alveolus.
2) Ventilasi alveolus: makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Faktor yang
mempengaruhi:
1) Perubahan tekanan parsial zat anestesi yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2) Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan
keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG
koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah,
sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi
keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita
mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi
diakhiri.
3) Aliran darah yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin
banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesi
yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga
induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anestesi yang adekuat.
13
3. Faktor jaringan
1) Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan
jaringan.
2) Koefisien partisi jaringan atau darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian
besar zat anestesi kecuali halotan.
3) Kecepatan metabolisme obat
4) Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (otak, jantung, hepar, ginjal).
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesi ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediet (otot skelet dan kulit)
c) Jaringan sedikit pembuluh darah
d) Relatif tidak ada aliran darah (ligament dan tendon).
14
1) Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak
diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini.
2) Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini terlihat adanya
eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak,
menangis, menyanyi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan
hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah,
midriasis, hipertensi serta takikardia. Stadium ini membahayakan penderita,
karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan
premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus
dan tepat.
3) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun). (mata berputar
kemudian terfiksasi)
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. (refleks kornea dan refleks
laring hilang)
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
15
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
(dilatasi pupil, refleks cahaya hilang)
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,
pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air
mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
(kelumpuhan otot interkostal, pernapasan menjadi abdominal dan dangkal)
4) Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah
tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan
buatan.
16
yang sering menimbulkan kelainan perioperatif. Penyakit lain yang sering
menimbulkan morbiditas bahkan mortalitas perioperative adalah penyakit paru,
ginjal dan diabetes.
Infeksi akut harus diatasi dulu sebelum operasi elektif. Infeksi
kronik yang masih aktif pun perlu disikapi dengan hati – hati. Berkonsultasi
dengan ahlinya merupakan pilihan yang tepat. Harus pula diketahui biohazard
lain pada pasien, misalnya hepatitis B, HIV, sifilis dan lain – lain.
Secara garis besar, dibawah ini adalah hal – hal yang biasa dikerjakan ketika
melakukan kunjungan pra anestesi.
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau
sesak napas pasca bedah sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan
baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang dapat menimbulkan masalah di
masa lalu sebaiknya jangan digunakan ulang misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu 3 bulan atau suksinilkolin yang menimbulkan apnea
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan
1-2 hari sebelumnya.10
(DARI BUKU)
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien.10
Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring (setengah duduk
atau menggunakan bantal yang tinggi), frekuensi napas, jenis pernapasan dan
17
tingkat saturasi HBO2 dari pulse oximeter. Pengamatan dan pemerksaan ini
penting karena terkadang pasien mengaku tidak sesak
Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau bunyi nafas
tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi abnormal lain.
3) Pemeriksaan Tambahan
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah (Hb,
leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia
pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks. 10
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada operasi sito, penundaan yang
tidak perlu harus dihindari.3
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko anestesi karena efek
samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. 10
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
Puasa satu rutinitas yang dilakukan pada periode ini adalah untuk
menentukan waktu puasa bagi pasien. lamanya puasa hendaknya disesuaikan
dengan umur pasien, kondisi fisik dan rencana operasinya. Pada umumnya
18
pasien dewasa memerlukan waktu 6-8 jam untuk mengosongkan lambung dan
makanan padat. Anak besar perlu 4-6jam, sedangkan anak kecil dan bayi 4 jam.
Cairan bening (clear fluid) boleh diminum sedikit – sedikit hingga 2 jam
prabedah. Pada pasien pediatric, harus diterangkan kepada orangtuanya bahwa
susu digolongkan setara dengan makanan padat. Sangat perlu juga menjelaskan
tujuan puasa adalah demi keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya
pneumonia aspirasi yang dapat fatal. Jika pasien rentan terhadap kondisi
dehidrasi (misalnya pasien polisitemia), perlu dipertimbangkan memberikan
cairan intravema selama periode puasa ini.
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-
8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh
manis sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.10
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi
diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun
dari anestesi di antaranya:3,10
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:
Kunjungan pre-anestesi.
Pengertian masalah yang dihadapi.
Keyakinan akan keberhasilan operasi.
19
b) Memberikan ketenangan (sedatif).
c) Membuat amnesia.
d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau narkotik).
e) Mencegah mual dan muntah.
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2 antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam,
secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus
yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak
pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat
efektif sebelum induksi. Jika pembedahan belum dimulai dalam waktu
1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuskuler, subkutan tidak
dianjurkan. Semua obat premedikasi jika diberikan secara intravena
dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropin dan hiosin. Hal ini
dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan
diencerkan.3
Obat-obat yang sering digunakan3:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
20
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis 0,1mg/kgBB
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis 0,001
mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB
Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien
tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai.10
Hal pertama yang dilakukan ketika masuk ruang bedah adalah memastikan
sumber listrik terpasang pada peralatan elektronik. Lampu ruangan, mesin anestesi,
berbafai alat pantau, mesin penghangat tempat tidur, infusion pumps, syringe pump,
defribilator, dan sebagainya adalah peralatan elektronik yang harus dipastikan
berfungsi.
Sumber gas terutama O2 harus disambungkan denga mesin anesthesia.
Pengecekan dilakukan dengan cara melihat gerakan flowmeter. Flowmeter adalah
indikator fresh gas flow. Indikator ini juga mempunyai indikator didalamnya, yang
dapat bermacam dan bentuk. Indikator yang berbentuk silinder dengan bidang datar
di puncak, pembacaanya setinggi puncak indikator.
(BUKU)
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S : Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
21
T : Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)yang
mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
22
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran
nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena
yang baik.
Propofol (diprivan, recofol)
Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol ) merupakan derivat fenol yang
banyak digunakan sebagai anastesia intravena. Dikemas dalam cairan
emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan
1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis
rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam, dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan
pada wanita hamil. Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih
kurang diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di
reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).
Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin,
merupakan “rapid acting non barbiturate general anesthesia”.
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-
muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi
salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg
dan untuk intramuskuler 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
23
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1
ml = 100 mg).
Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskuler
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan
jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl dosis 20-50
mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskuler 10
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi 3,9
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak
terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan
analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring-laring. Induksi
halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 =
3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan
diturunkan, untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat menyebabkan
depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi
refleks baroreseptor. Merupakan analgesik lemah tetapi anestesi kuat.
24
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah.
Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan tetapi
lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik
lebih baik dibanding halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik
anestesi hiperventilasi sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah
otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%) bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napas seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga
tidak digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8
vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.
d. Induksi per rektal 9,10
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya
sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung,
roentgen foto, pemeriksaan mata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb)
terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose
dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak.
25
Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
e. Induksi mencuri 10
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien tetapi kita
berikan jarak beberapa sentimeter sampai pasien tertidur baru sungkup muka
kita tempelkan.
26
Hidung menuju nasofaring
Mulut menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum
molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esofagus
dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang
rawan tiroid, krikoid, epiglottis, dan sepasang aritenoid, kornikulata, dan
kuneiform.
1. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
2) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3) Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas sehingga
gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
2. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang jalan napas mulut
faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-
pharyngeal airway).
3. Sungkup muka
Mengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan
gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
4. Sungkup laring (laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkainya dapat berupa pipa keras dari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
27
2) Sungkup laring dengan2 pipa yaitu 1 pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.
5. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
6. Laringoskopi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop merupakan
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal 2
macam laringoskop:
1) Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.
2) Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.
7. Intubasi
28
Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa
pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi. 2
29
Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal : 2
a. Pipa endotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea
dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa
berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun
hampir bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil
digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak
bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.
b. Laringoskop
30
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop :
Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)
31
4) Obat pelumpuh otot seperti: suksinil kolin, atrakurium, pavulon, dan lain-
lain.
5) Obat darurat seperti: adrenalin (efinefrin), SA, mielon, dan lain-lain.
Tindakan
1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.
2) Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+).
3) Jika fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira-kira 1 menit.
4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan
mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut membuka.
5) Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit
demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan menggeser lidah ke kiri.
6) Cari epiglotis → tempatkan bilah di depan epiglotis (pada bilah bengkok)
atau angkat epiglotis (pada bilah lurus).
7) Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten dengan menekan trakea
dar luar).
8) Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah.
9) Masukan ETT melalui rima glotis.
10) Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi dan atau alat bantu
napas (alat resusitasi)
32
Adapun komplikasi pada intubasi yaitu:
Selama intubasi
1) Trauma gigi geligi
2) Laserasi bibir, gusi, laring
3) Merangsang saraf simpatis
4) Intubasi bronkus
5) Intubasi esofagus
6) Aspirasi
7) Spasme bronkus
Setelah ekstubasi
1) Spasme laring
2) Aspirasi
3) Gangguan fonasi
4) Edema glotis-subglotis
5) Infeksi laring, faring, trakea
Sedangkan untuk pelaksanaan ekstubasi harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar jika:
Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring.
3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan
lainnya.
Pasca anestesi 3
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan anestesi umum maka perlu melakukan penilaian
terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke
ruangan atau masih perlu diobservasi di ruang recovery room (RR).
33
1) Aldrete score
Nilai warna
Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1
Apnea atau obstruksi 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2
Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0
Kesadaran
Sadar, siaga, dan orientasi 2
Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1
Tidak berespons 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
2) Steward score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernapasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
34
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
35
Berdasarkan sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi,
anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open, closed, dan semi
closed 9:
1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada hubungan fisik
secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat anestesi. Karena itu tidak
menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar
menuju udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi,
menimbulkan polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang
mudah terbakar maka akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar
operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak
dapat dilakukan respirasi kendali.
2. Dalam sistem semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag selain
reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1 arah, yang
mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreating valve. Dalam
sistem ini tingkat keborosan dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding
sistem open.
3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan
oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung CO2 yang
lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat
oleh sodalime. Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi
dan oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali.
Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi
diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan
kurang menimbulkan polusi kamar operasi.
4. Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada
udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen
dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan
hipoksia dan anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena
pemberian yang berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga.
menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat
obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi. Pada sistem closed dan semiclosed
36
juga disebut system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali,
sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2. Pada system open dan
semi open juga disebut sistem nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi
yang diinspirasi kembali, sistem ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar
pada sistem semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan
oksigen harus cepat, biasanya diberikan antara 2 – 3 kali menit volume respirasi
penderita.
Kontraindikasi Anestesi Umum 3,9
Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:
b. Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total
(tidak ada gelombang P).
c. Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik >110 mmHg),
diabetes melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis
akut.
Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan
anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT
(death on the table) meninggal di meja operasi atau selain itu. Kemudian
kontraindikasi relatif ialah pada saat itu tidak bisa dilakukan anestesi umum
tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga stabil mungkin baru bisa
diberikan anestesi umum.
37
BAB III
PEMBAHASAN
Penentuan PS ASA
Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik
yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan
tindakan anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi
pada pasien tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal
tersebut.
Teori Kasus
38
Jenis pembedahan dengan Timpanoplasti
Teori Kasus
39
anestesi dan sarananya, status rumah Indikasi anastesi umum :
sakit, dan permintaan pasien. Saat ini - Infant dan anak usia muda
sekitar 70-75% operasi rumah sakit - Dewasa yang memilih anestesi
dilakukan dengan anestesi umum umum
(general anesthesia). - Pembedahan luas/ekstensif
Operasi sekitar kepala, leher, dada, - Penderita sakit mental
dan abdomen sangat baik dilakukan - Pembedahan lama
dengan anestesi umum inhalasi - Pembedahan dimana anestesi local
dengan pemasangan pipa tidak praktis atau tidak memuaskan
endotrakheal, sejak diketahui bahwa - Riwayat penderita toksi atau alergi
dengan metode ini jalan nafas dapat obat anestesi local
dikontrol dengan baik sepanjang - Penderita dengan pengobatan
waktu. antikoagulansia
40
GABA 2 kali lebih kuat disbanding diazepam. Potensi 2 – 3 kali lebih kuat, cepat
diserap pada saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.
Fentanil digunakan secara luas untuk anestesi total intravena saat ini.
Fentanil merupakan opioid sintetik dengan seratus kali lebih poten dari morfin
sebagai analgesik, dan sebagai bagian dari anestesi berimbang, obat ini
menghilangkan nyeri, mengurangi respon somatik dan autonomik terhadap
manipulasi airway, dengan hemodinamik yang lebih stabil dengan mula kerja yang
cepat dan durasi kerja yang singkat. Tetapi disamping itu kelemahannya adalah
mempengaruh ventilasi pernafasan dan mual muntah pasca operasi. Untuk anestesi
opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit. Fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien berusia
lanjut. Hal ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak terhadap
opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik. yang paling
umum adalah penggunaan opioid dikombinasikan dengan obat lain yang
bertujuan untuk mendapakan efek hypnosis dan amnesia. Sebagai contoh,
kombinasi opioid dengan Propofol akan menghasilkan efek yang memuaskan,
opioid menghasilkn efek analgesia, kestabilan hemodinamik dan menumpulkan
respon terhadap stimulus bedah. Sedangkan Propofol menghasilkan efek
hypnosis, amnesia antiemetic. Kombinasi dengan lebih dari dua macam obat
dapat juga diberikan, misalnya kombinasi opioid, Propofol dan midazolam.
Pemeliharaan Bolus
Dosis Bolus
Infusan Tambahan
0,5 – 2
Alfentanil 25-100 mcg/kg 5 -10 mcg/kg
mcg/kg/min
0,5 – 1,5
Sufentanil 0,25 – 2 mcg/kg 2,5 -10 mcg
mcg/kg/hr
Fentanil 4 – 20 mcg/kg 2 – 10 mcg/kg/hr 25 – 100 mcg
0,1 – 1,0
Remifentanil 1-2 mcg/kg 0,1 – 1,0 mcg/kg
mcg/kg/min
41
Propofol merupakan anestetik intravena golongan nonbarbiturat yang
efektif dengan onset cepat dan durasi yang singkat sangat berguna pada pasien
usia lanjut. Pemulihan kesadaran yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap
susunan saraf pusat merupakan salah satu keuntungan penggunaan propofol
dibandingkan obat anestesi intravena lainnya. Propofol menurunkan tekanan
arteri sistemik kira – kira 30 % tetapi efek ini lebih disebabkan oleh vasodilatasi
perifer ketimbang penurunan curah jantung. Tekanan darah sistemik kembali
normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemia
otot jantung, tetapi terjadi sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Efek
propofol terhadap pernapasan mirip dengan efek thiopental sesudah pemberian
IV yakni terjadi depresi napas sampai apneu selama 30 detik. Hal ini diperkuat
bila digunakan opioid sebagai medikasi pra-anestetik.1 Pada usia lanjut, faktor
farmakokinetik dan farmakodinamik bertanggung jawab untuk peningkatan
sensitivitas otak terhadap propofol. Pasien usia lanjut membutuhkan kadar
propofol darah untuk anestesi yang hampir 50% lebih rendah dibandingkan
pasien yang lebih muda. Selain itu tingkat keseimbangan perifer dan klirens
sistemik untuk propofol berkurang secara signifikan pada pasien usia lanjut.
42
Palpasi : vocal
fremitus +/+,
krepitasi -/-
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara
napas vesikuler
+/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-
B2 Perfusi : Hipotensi akibat Pemberian
(Blood) Hangat, kering, perdarahan efedrin 10 mg.
merah Infus cairan
CRT : < 2 detik (kristaloid dan
Nadi : 60 x/menit koloid) yang
; SB : 36,9°C ; TD adekuat.
: 100/70 mmHg Observasi vital
Bunyi jantung I-II sign berkala.
regular, mur-mur
(-), gallop (-)
B3 Kesadaran : Peningkatan TIK (tekanan Evaluasi
(Brain) kompos mentis, intrakranial) akibat obat kemungkinan
GCS E4V5M6, anestesi. tanda-tanda
riwayat pingsan (- Nyeri kepala peningkatan
), riwayat kejang TIK.
(-), mual-muntah Pemberian agen
(-), pandangan analgesic
kabur (-), nyeri
kepala (-)
B4 Produksi urin Retensi urine akibat Monitoring
(Bladder) warna hipotensi. produksi dan
TDL warna urine
43
B5 Inspeksi : Perut Aspirasi isi lambung akibat Pemberian agen
(Bowel) tampak buncit. penurunan tonus sfingter H2- antagonist
gastroesofageal, dan PPI (proton
Palpasi : Supel,
pengosongan lambung pumps
nyeri tekan
lebih lambat, produksi inhibitors).
epigastrium (+),
cairan lambung lebih Pasien di
nyeri tekan banyak dan lebih asam, puasakan 8 jam
kuadran kanan tekanan lambung pada saat sebelum
atas (+) tertentu lebih tinggi. tindakan
Perkusi : timpani Mual dan muntah akibat operatif.
Auskultasi : hipotensi.
Bising usus (+) 3-
4x/ menit
B6 Fraktur (-), ulkus
(Bone) (-), oedem (-)
44
Kebutuhan cairan 1.100/jam
Replacement :
Output:
Kebutuhan replacement cairan
→
operasi.
Operasi kecil : 4 - 6 ml x BB
Operasi sedang : 6 - 8 ml x BB
Perdarahan:
Operasi besar : 8 - 10 ml x BB
→ Suction : - 15 cc
Operasi kecil, maka 4 x 70 = 280 cc
hingga 6 x 70 = 420 cc. → Kasa terpakai : 5 x 10 = 50 cc
Jam II :1382 cc
70 cc/KgBB x 70 kg = 4900 cc
Estimate Blood Loss (EBL) :
10 % = 490 cc
30 % = 1470 cc
50% = 2450 cc
POST OPERASI
Maintenance :
Kebutuhan elektrolit :
45
2 mEq x 70 kg = 140 mEq
Kebutuhan kalori :
1 x 70 kg = 70 mg/hari
2 x 70 kg = 140 mg/hari
46
Jadi kebutuhan asam amino perharinya
berkisar 70-140 mg/hari.
47
BAB IV
KESIMPULAN
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Siahaan O. Dr. Prof. 2015. Anastesi Umum dan Anastesi Lokal. Medan :
Fakultas Kedokteran UMI / UNPRI ; Hal : 1-38.
2. Latief S, dkk. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, cetakan kelima.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; Hal : 29-90.
3. A. Nurman. "Penatalaksanaan Batu Empedu". www.docu-track.com. Jakarta.
4. Widiastuty Astri Sri. 2010. "Patogenesis Batu Empedu". FK Universitas
Muhammadiyah Palembang.
5. R. sjamsuhidayat, De jong Wim. 2004. "Saluran Empedu-Cholelitiasis".
Jakarta. EGC.
6. Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran, Stanley L. Robbins. 2007. "Buku Ajar Patologi
Edisi 7 - Kolelitiasis". Jakarta. EGC.
7. Sabiston David C. 1994. "Buku Ajar Bedah-Sistem Empedu". Jakarta. EGC.
8. I W. Gustawan. 2007. "Kolelitiasis Pada Anak". Denpasar. Majalah Kedokteran
Indonesia.
9. Sudoyo Aru W. 2009. "Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam-Penyakit Batu
Empedu". Jakarta. IntemaPublishing. Rahman, Fathma Aisyah
10. Brimacombe J. The advantage of the LMA over the tracheal tube or face mask
: a meta analysis. Can J Anaest 2005 ; 42 : 1017 – 1023
11. Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fifth Edition. McGraw--‐Hill
Companies. 2013: 309 - 341.
12. El-Ganzouri A, Avramov MN, Budac S, Moric M, Tuman KJ. Proseal laryngeal
mask airway versus endotracheal tube : ease of insertion, hemodynamic
response and emergence characteristic. Anesthesiology 2003 ;99 : A57.
13. Peter F Dunn. Clinical Anestesia Procedures of the Massachusetts General
Hospital. Lippincot Williams Wilkins. 2007:213--‐217
14. Soenarjo, Djatmiko. 2010. Anestesiologi. FK UNDIP.
15. Thomas J Gal. Airway Management in Miller’s Anestesia, Chapter 42,.Elsevier
: 2005 : page 1617.
49