Anda di halaman 1dari 32

1

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Perairan umum merupakan sumberdaya alam yang bermanfat bagi

kesejahteraan manusia. Peningkatan pertumbuhan penduduk akan meningkatkan

kebutuhan akan sumberdaya perairan, sehingga tekanan yang besar dibebankan

kepada sumberdaya baik dari segi kualitas, kuantitas, struktur badan air, flora dan

fauna akuatik. Dewasa ini perairan umum banyak digunakan untuk berbagai sektor

kegiatan dalam berbagai kepentingan.

Salah satu organisme yang paling penting yang berada dalam perairan adalah

fitoplankton. Fitoplankton merupakan organisme yang mendukung berbagai

kegiatan biologi didalam periaran,baik secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh sebab itu, kaberadaan fitoplankton sangat penting diperairan sebagai

makanan dan produsen pada tingkat trofik level I diperairan.

Kelimpahan fitoplankton disuatu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya

matahari dan penetrasi kedalam perairan. Jumlah penetrasi cahaya matahari

ditentukan pada berbagai faktor, salahsatunya tingkat kekeruhan perairan.

Perhitungan kelimpahan plankton ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

keadaan dan keanekaragaman hewan makro dan mikro avertebrata ( plankton )

yang terdapat di perairan waduk FPK Universitas Riau.

Dalam proses kehidupan makhluk hidup oksigen sangat di perlukan untuk

bernapas maupun diperlukan untuk proses biologi, kimia dan fisika. Sumber

oksigen di perairan antara lain dapat diperoleh secara langsung dari atmosfer

melalui proses difusi dan melalui biota berklorofil yang mampu berfotosintesis.

Disamping itu juga terdapat faktor yang menyebabkan berkurangnya oksigen


2

dalam air laut yaitu karena respirasi biota, dekomposisi bahan organik dan

pelepasan oksigen ke udara. Oksigen mempunyai peranan penting dalam

kehidupan seluruh makhluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan. Makhluk darat

menghirup oksigen yang terdapat pada udara bebas, Sedangkan makhluk yang

hidup di dalam air menghirup oksigen yang terlarut di dalam air (terikat). Selain

itu, oksigen juga menentukan proses biologis yang dilakukan oleh organisme

aerobik dan anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk

mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien

yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan.

Kolam merupakan salah satu perairan tertutup yang tidak terlepas dari

aktivitas organisme-organisme yang membutuhkan oksigen dalam proses

kehidupanya. Pada kolam terdapat berbagai jenis organisme-organisme yang

memanfaatkan oksigen untuk proses respirasi, dan juga adanya proses fotosintesis

yang mengasilkan oksigen sehingga menyebabkan variasi oksigen di kolam

tersebut berbeda. Konsentrasi oksigen di air bervariasi dalam 24 jam. Pada siang

hari, produsen primer berfotosintesis yang mengasilkan oksigen, dan pada malam

hari pada tanaman dan hewan terjadi proses respirasi yang membutuhkan oksigen

sehingga kadar oksigen di perairan tersebut akan berkurang.

1.2. Tujuan Dan Manfaat


Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian

pupuk N terhadap kelimpahan fitoplanton di kolam percoban faerika Universitas

Riau. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai data dasar atau gambaran

mengenai keadaan lingkungan Kolam sebagai dasar dalam menetapkan langkah-

langkah pengelolaan lingkungan waduk yang tepat bagi usaha perikanan,

pertanian, maupun kelestarian biota perairan.


3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kolam
Kolam merupakan lahan yang dibuat untuk menampung air dalam jumlah

tertentu sehingga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan dan atau hewan air

lainnya. Berdasarkan pengertian teknis (Lani et al, 2005), kolam merupakan suatu

perairan buatan yang luasnya terbatas dan sengaja dibuat manusia agar mudah

dikelola dalam hal pengaturan air, jenis budidaya dan target produksinya. Kolam

selain sebagai media hidup ikan juga dapat berfungsi sebagai sumber makanan

alami bagi ikan, artinya kolam harus berpotensi untuk dapat menumbuhkan

makanan alami.

2.2.Perifiton
Perifiton dapat tumbuh pada substrat alami dan buatan. Berdasarkan

substrat menempelnya, perifiton dibedakan atas epilithic (perifiton yang tumbuh

pada batu), epipelic (perifiton yang tumbuh pada permukaan sedimen),

epiphytic (perifiton yang tumbuh pada batang dan daun tumbuhan),

dan epizoic (perifiton yang tumbuh pada hewan) (Widdyastuti, 2011).

Komunitas perifiton berpotensi sebagai indikator ekologis karena perifiton

berperan penting sebagai produsen utama dalam rantai makanan, dapat bertahan

pada perairan dengan kecepatan arus yang besar, dan kebanyakan jenis-jenis

perifiton dapat bersifat sensitif atau toleran terhadap pencemaran, baik terhadap

pencemaran organik maupun logam berat (Sitompul, 2000).

Menurut Graham dan Wilcox(2000), peranan perifiton di

perairantergenang lebih rendah darifitoplankton, sedangkan di perairanmengalir,

peranan perifiton lebih besar,kecuali di perairan yang keruh.


4

Biggs dan Kilroy (2000) menyatakan bahwa genus Nitzschia sp.,Navicula

sp dan Gomphonema sp. merupakan perifiton yang memiliki sifat toleran terhadap

bahan pencemar organik.

Faktor-faktor yang membatasiproduktivitas primer perifiton diperairan di

antaranya adalah intensitascahaya matahari, suhu, unsur hara danbiomassa

perifiton (Madubun, 2008).

Pengukuran produktivitas perifiton lebih sulit daripada fitoplankton yang

relatif homogen. Perifiton sangat merekat erat dengan substrat mereka

sehinggapemisahan perifiton yang menempel di batuan topografi yang

permukaannya tidakteratur atau daun yang rapuh akan sulit dilakukan. Oleh

karena itu penggunaansubstrat buatan seringkali dilakukan untuk pengamatan

kolonisasi perifiton (Azimet al., 2005).

2.3. Benthos
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai

petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke

habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya

perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos

terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Oey et al1 1978).

Di antara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap

perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok

invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrobentos (Rosenberg

dan Resh 1993).

Makrobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus

nutrien di dasar perairan. montagna et all menyatakan bahwa dalam ekosistem

perairan, makrobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam
5

aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi

(Montagna et all 1989).

Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh

berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang

berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber

makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang

diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD)

dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar

((Allard and Moreau 1987); APHA 1992).

Makrobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus

hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali

lubang (Kendeigh 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh 1993). Hewan ini

memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses

dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind

1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum

1993).

Makrobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik.

Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat

menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang

masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga

mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen

perairan (Ardi 2002).

Berdasarkan ukurannya, makrobentos dapat digolongkan ke dalam

kelompok makrobentos mikroskopik atau mikrobentos dan makros makroskopik.

Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh


6

sekurang-kurangnya 3 - 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. Menurut

APHA (1992) menyatakan bahwa makrobentos dapat ditahan dengan saringan

No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam Rosenberg and

Resh (1993) menyatakan bahwa makrobentos merupakan organisme yang tertahan

pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500

mikrometer.

Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa

berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrobentos yang hidupnya

merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea

dan larva serangga. Sedangkan makrobentos yang hidup pada substrat lunak di

dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.

Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif

tetap. Oleh karena sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan

substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun

kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrobentos bergantung pada

toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas

memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian

diri pada struktur komunitas. Lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan

kelimpahan makrobentos relatif tetap (APHA 1992).

Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrobentos

berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu

kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme

yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang

sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak

dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme


7

fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi

lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran.

Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan

organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran

yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi

lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang

berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap

berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan

yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan

toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.

Berdasarkan teori Shelford (1985) maka makrobentos dapat bersifat

toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang

memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga.

Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka

penyebarannya juga sempit (Odum 1993).

Penggunaan makrobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan

dalam bentuk indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan

pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan

tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang

hidup di perairan tidak tercemar. Oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini

dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan

karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan

(Abel 1989; Rosenberg and Resh 1993).

Menilai kualitas perairan secara kuantitatif dilakukan metode pendekatan

memakai model-model matematik. Metode ini dikembangkan berdasarkan


8

terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan yang terjadi

dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya pencemaran. Model

yng umum digunakan adalah dengan me-ngetahui indeks keragaman jenis,

keseragaman populasi dan dominansi jenis (Ma-gurran, 1988).

Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang

unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan.

Suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan

masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya ter-

dapat beberapa jenis yang melimpah. indeks keragaman jenis (H')

menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis, untuk

mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu masing-

masing jenis dalam suatu komunitas. Diantara Indeks ke-ragaman jenis ini adalah

Indeks keragaman Shannon – Wiener (Ardi 2002).

Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara faktor fisika dan kimia dan

struktur komunitas makrobentos dilakukan dengan menggunakan analisis regresi.

Analisa lebih detail dapat dilakukan dengan “principle components analysis”.

Gambaran ini diharapkan dapat diungkapkan jenis-jenis makrobentos yang diduga

dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan serta faktor fisika kimia apa

saja yang terutama mempengaruhi keberadaan makrobentos di perairan tersebut

(Ardi 2002).

2.4. Produktivitas Primer


Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organic

yang kaya energy dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organic

(biomassa) yang terbentuk dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas

primer kotor atau produksi kotor.


9

Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produksivitas

dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari

produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup,

respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah sisa

produksi primer kotor setelah sebagian digunakan untuk respirasi. Produksi

primer inilah yang tersedia bagi tingkatan-tingkatan trofik lain (Amstrong, 1994).

Produksi primer kotor maupun bersih pada umumnya dinyatakan dalam

jumlah gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per

interval waktu. Jadi, produksi dapat dilaporkan sebagai jumlah gram karbon per

m2 per hari (gC/m2/hari), atau satuan-satuan lain yang lebih tepat. Hasil tetap

(Standing crop) yang diterapkan pada tumbuhan ialah jumlah biomassa tumbuhan

yang terdapat dalam suatu volume air tertentu pada suatu saat tertentu. Di laut

khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang

menentukan produktivitas primer perairan. Produktivitas jumlah karbon yang

terdapat di dalam matenal hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah

gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (g

C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per

hari (g C/m3/hari). Selain jumlah karbon yang dihasilkan tinggi rendahnya

produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran

terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a. dimana kedua metode

ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Wardoyo, 1978).

2.5.Fitoplankton
Plankton (fitoplankton dan zooplankton) merupakan makanan alami larva

organisme di Perairan laut. Sebagai produsen primer, fitoplankton memiliki

kemampuan untuk memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi dalam


10

aktivitas kehidupannya, sementara itu zooplankton berkedudukan sebagai

konsumen primer dengan memanfaatkan sumber energi yang dihasilkan oleh

produser primer (Lagus et.al, 2004; Andersen et., 2010).

Zooplankton melakukan gerakan vertikal secara berkala dalam rentang

waktu tertentu di Perairan Laut. Sebagai contoh, zooplankton bergerak ke

permukaan pada malam hari dan menuju ke kedalaman menjelang cahaya

matahari kembali tersedia di kolom perairan pada siang hari. Penelitian yang

pernah dilakukan di Pulau Barrang Lompo membuktikan adanya kenyataan itu.

Pada siang hari zooplankton bergerak menyusup ke perairan yang lebih dalam,

baru pada malam hari mereka kembali ke permukaan perairan (Malida, 2010).

Pola hubungan antara zooplankton dan fitoplankton merupakan rangkaian

hubungan pemakan dan mangsa. Hubungan itu membentuk jalur rantai makanan.

Fitoplankton sebagai produsen primer dimangsa oleh zooplankton, pada

gilirannya zooplankton dimakan oleh ikan-ikan kecil pada tingkatan tropik yang

lebih tinggi (Bouman et.al, 2010).

Fungsi fitoplankton di perairan adalah sebagai produsen, penyedia oksigen

dalam perairan, Indikator pencemaran dan lain-lain. Fitoplankton dapat

melakukan aktivitas hidupnya sendiri dengan memanfaatkan cahaya matahari

karena adanya kandungan klorofil dalam selnya, adapun peran zooplankton adalah

sebagai konsumen primer. Peran plankton lainnya adalah sebagai adalah sebagai

indikator kesuburan perairan berdasarkan perhitungan kelimpahan plankton

(handayani, 2012).
11

Klasifikasi dalam biologi membedakan plankton dalam dua kategori utama

yaitu fitoplankton yang meliputi semua hubungan renik dan zooplankton yang

meliputi hewan yang umumnya renik (Rutter, 1973 dalam Sahrainy, 20011).

Plankton sebagai bioindikator kualitas suatu perairan menggenang dapat

ditentukan berdasarkan fluktuasi populasi plankton yang mempengaruhi tingka

tropik perairan tersebut. Fluktuasi dari populasi plankton sendiri dipengaruhi

terutama perubahan berbagai factor lingkungan. Salah satu factor yang dapat

mempengaruhi populasi plankton adalah ketersediaan nutrisi di suatu perairan.

Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang terakumulasi dalam suatu perairan

akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi fitiplankton dan proses ini akan

menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan

(Umar, 2010).

Berdasarkan ukurannya, plankton diklasifikasikan dalam beberapa

kelompok ukuran yaitu megaplankton (> 2 mm), makroplankton (0,2 mm-2 mm),

mikroplankton (20 µm-0,2 mm), nanoplankton (2 µm-20 µm), dan ultraplankton

(< 2 µm). Sedangkan berdasarkan daur hidupnya dibagi menjadi dua, yaitu

holoplankton (seluruh daur hidupnya bersifat

planktonik) dan meroplankton (sebagian dari daur hidupnya bersifat planktonik)

(Widodo dan Suadi, 2006)

Di lingkungan perairan Indonesia Produksi bagi ekosistem merupakan

proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam ekosistem. Pemasukan energy

dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy cahaya menjadi

energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan

adalah penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme, laju produksi


12

makhluk hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas. Produktivitas

primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen.

Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy

cahaya yang diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama

suatu periode waktu tertentu.

produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross

primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai

bahan organic pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang

tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut

sebagai bahan bakar organic dalam respirasinya.

Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan

energy kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer,

produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer

kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih

kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti

pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik

aktif. Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energy persatuan luas

persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik)

vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu

(g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya

tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat

pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop

Penambahan fitoplankton pada media pemeliharaan larva tidak hanya

berfungsi sebagai pakan larva secara langsung, tetapi juga berfungsi memperbaiki

kualitas air. Beberapa jenis fitoplankton efektif menyerap beberapa senyawa


13

beracun bagi larva, dapat meningkatkan oksigen terlarut karena aktivitas

fotosintesis dan mengendalikan kandungan CO2 (Dhert dan Sorgeloos, dalam

Yurisman dan Sukendi, 2004).

Fitoplankton hidup bebas di berbagai perairan, baik perairan tawar,

payau maupun laut dan mampu berkembang biak secara cepat. Keberadaan

fitoplankton di kolam dapat dipacu pertumbuhannya dengan pemupukan.

Pupuk yang dapat digunakan diantaranya adalah pupuk organik. Menurut

Sutejo (2002) pupuk organik juga dapat memperbesar populasi jasad renik di

perairan.

Dari beberapa penelitian mengenai kultur plankton yang telah

dilakukan, pupuk organik yang sering digunakan adalah pupuk kandang

seperti; pupuk kotoran kambing (Pamukas, 2004) dan kotoran burung puyuh

(Pamukas, 2006). Penggunaan pupuk kandang tersebut ternyata dapat

meningkatkan kelimpahan fitoplankton pada media budidaya, akan tetapi

karena kandungan unsur haranya (N, P dan K ) yang rendah mengakibatkan

dalam penggunaannya dibutuhkan dalam jumlah yang besar. Hal tersebut

memberikan dampak negatif terhadap beberapa parameter kualitas air seperti;

terjadinya peningkatan kekeruhan, kandungan CO2 bebas dan peningkatan

suhu pada proses penguraiannya. Untuk mengatasi hal tersebut pupuk kandang

dapat diganti dengan pupuk organik cair yang dibutuhkan dalam jumlah yang

sangat kecil (hanya 1 l/ha pada tambak-tambak udang), sehingga relatif tidak

memberikan dampak negatif terhadap kualitas air.

Menurut ACI Indonesia (2005) pupuk organik cair dapat; memperbaiki

standar kualitas air, meningkatkan DMA (Daya Menggabung Asam) air yang

berfungsi sebagai pencegah terjadinya perubahan pH air secara mendadak,


14

menekan angka kematian (mortalitas) larva, meningkatkan ketersediaan

makanan alami udang dan ikan (plankton), mempunyai aroma yang khas, yang

mampu meningkatkan daya rangsangan makan udang dan ikan, meningkatkan

daya tahan udang dan ikan terhadap serangan penyakit dan dapat menetralisir

kadar garam/salinitas air tambak, sehingga dapat meningkatkan hasil budidaya

tambak.

Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) menyatakan bahwa pada kultur

plankton sangat dibutuhkan berbagai macam senyawa an organik baik sebagai

hara makro (N, P, K, S, Na, Si dan Ca) maupun hara mikro (Fe, Zn, Mn, Cu,

Mg, Mo, Co, B dan lain-lain). Setiapunsurhara berperan untuk pembentukan

klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan dinding

sel atau cangkang. lain-lain). Setiapunsurhara mempunyai fungsi-fungsi

khusus, N, P dan S penting untuk pembentukan protein, K berfungsi dalam

metabolisme karbohidrat, Fe dan Na berperan untuk pembentukan klorofil,

sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel atau

cangkang.

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah dosis pupuk cair

organik yang diberikan dapat meningkatkan kelimpahan fitoplankton pada

media budidaya.
15

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2009 bertempat di

Laboratorium Pengelolaan Kualitas Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Riau.

3.2. Bahan Dan Alat


Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pupuk organik cair

dengan grade 15,7-1,71-8,40, kantong plastik, soil dispersing reagent, akuades,

kertas indikator universal, larutan standar turbidity, larutan stok standar NO 3 (1000

ppm), larutan standar NO3 (100 ppm), NaCl, H2SO4, brusin sulfanilat, amonium

molibdate, SnCl2, larutan standar Orthofospat, larutan KMnO4 0,1 N, larutan

KMnO4 0,01 N, larutan Natrium Oksalat 0,1 N, larutan Oksalat 0,01, H2SO4,

kertas saring dan lugol. Air yang digunakan sebagai media adalah air kolam

percobaan Faperika UNRI yang disaring dengan plankton net.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa bak kayu yang dilapisi

plastik hitam berukuran 50 cm x 45 cm x 40 cm sebanyak 18 buah, pipa

paralon 0,5 cm, tabung La Motte, rak tabung, gelas ukur, timbangan analitik

merk Ohaus, thermometer, pH meter, DO meter model 51B, erlenmeyer, pipet

tetes, buret, statis, spektrofotometer model 21D, vacum pump, turbidimeter

model 2100 A, oven, plankton net, haemocytometer, mikroskop binokuler, kaca

objek dan kaca penutup serta buku identifikasi.


16

3.3. Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen

dengan menggunakan rancangan acak lengkap (Gaspersz, 1991), dengan 1

faktor dan 6 taraf perlakuan. Sebagai perlakuan yang akan dicobakan pada

penelitian ini adalah dosis pupuk organik cair grade : N : P : K (15,70 : 1,71 :

8,40) yang berbeda, dimana dosis pupuk ditetapkan berdasarkan dosis yang

dianjurkan ACI (2005) yaitu 1 liter/hektar atau 0,1 ml/m2. Maka taraf

perlakuan pada penelitian ini adalah; tanpa pemberian pupuk/kontrol (P0),

pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,025 ml/m2 atau 0,133 ml/m3

(P1), pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,05 ml/m2 atau 0,244 ml/m3

(P2), pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,1 ml/m2 atau 0,511 ml/m3

(P3), pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,2 ml/m2 atau 1,00 ml/m3

(P4) dan pemberian pupuk organik cair dengan dosis 0,4 ml/m2 atau 2,00

ml/m3 (P5).

3.4 Prosedur Pratikum


Pertama kita per-siapan wadah dan tanah penelitian Pengukuran parameter

kualitas tanah seperti: tekstur tanah, pH tanah, kandungan bahan organik

tanah,, pemupukan dengan pupuk organik cair sesuai dengan dosismyang sudah

ditetapkan Pengukuran kualitas tanah (tekstur tanah, pH tanah, kandungan

bahan organik tanah, Nitrat dan Fospor).


17

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Hasil pengamatan jenis fitoplanton selama penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut:

Total kelimpahan fitoplankton


(Ind/l)

TAKSA Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Chlorophyta
Cladophora sp. 9167 12500 13333 14167 15000 16667
Clamidomonas sp. 5833 7500 10000 14167 13333 18333
Coelastrum sp. 8333 7500 5833 7500 10000 14167
Docidium sp. 0 4167 10833 6667 10833 15833
Microspora sp. 5000 5000 5000 7500 12500 10833
Pleurotaenium sp. 5833 7500 10000 10000 8333 11667
Scenedesmus
sp. 7500 4167 6667 8333 8333 10833
Spirotaenia sp. 5833 5833 4167 10000 10000 12500
Ulothrix
sp. 4167 8333 20000 8333 16667 16667
Cyanophyta
Aphanizomenon sp. 6667 6667 6667 9167 20000 14167
Chroococcus
sp. 5833 8333 7500 10000 12500 12500
Lyngbia
sp. 6667 5833 6667 10000 11667 10000
Microcystis sp. 6667 4167 5833 5833 10833 15000
Bacillariophyta
Fragilaria sp. 8333 7500 5833 13333 10833 8333
Navicula sp. 2500 5000 4167 8333 10000 10833
Nitzschia sp. 7500 8333 9167 5000 8333 12500
Synedra
sp. 0 4167 9167 7500 9167 12500
Keterangan perlakuan (dosis P0 = Tanpa pemberian pupuk, P1 = 0,133
pupuk): ml/m3,
P2 = 0,244 ml/m3, P3 = 0,511 ml/m3, P4 = 1,00 ml/m3dan P5 = 2,00 ml/m3

Pada Tabel 2 dapat dilihat selama penelitian didapat 17 jenis fitoplankton

yang berasal dari tiga divisi terdiri dari Chlorophyta (9 spesies), Cyanophyta (4
18

spesies), dan Bacillariophyta (4 spesies). Jumlah spesies yang dijumpai pada

semua perlakuan selama penelitian sebanyak 17 spesies kecuali pada P0 hanya

diterima 15 spesies. Kelimpahan tertinggi pada P0 dan P1dijumpai pada jenis

Cladophora sp dengan total kelimpahan pada P0 9167 ind/l dan P1 12500 ind/l,

pada P2 dijumpai pada jenis Ulotrix sp dengan total kelimpahan 20000 ind/l, pada

P3 dijumpai pada jenis Cladophora sp dan Clamidomonas sp dengan total

kelimpahan 14167 ind/l, pada P4 dijumpai pada jenis Aphanizomenon sp dengan

total kelimpahan 20000 sedangkan pada P5 dijumpai pada jenis Clamidomonas sp

dengan total kelimpahan 18333 ind/l.

Hasil perhitungan total kelimpahan fitoplankton pada masing-masing

perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat

diketahui bahwa puncak kelimpahan pada masing-masing perlakuan terjadi pada

waktu dan jumlah yang berbeda-beda. Puncak populasi fitoplankton pada masing-

masing perlakuan terjadi pada hari ke-8 untuk perlakuan P2 (14167 ind/l), pada

hari ke-10 untuk perlakuan P1 (12500 ind/l), P3 (16667 ind/l) dan P4 (20.000

ind/l) dan pada hari ke-12 untuk perlakuan P5 (21667 ind/l). Sedangkan pada P0

tidak terjadi puncak populasi dan kelimpahan fitoplankton terus menurun sampai

akhir penelitian. Secara keseluruhan, dari semua perlakuan, kelimpahan tertinggi

terjadi pada perlakuan P5 pada hari ke-12 dengan kelimpahan 21667 ind/l dan

terendah pada perlakuan P0 sebesar 2500 ind/l pada hari ke-28.


19

Total Kelimpahan Fitoplankton (Idn/I)

Hari Ke Perlakuan
P0 P1 P2 P3 P4 P5
0 9167* 9167 9167 9167 9167 9167
2 8333 8333 11667 10000 10000 12500
4 7500 10000 12500 8333 12500 15000
6 8333 10000 13333 10833 15833 17500
*
8 8333 8333 14167 14167 17500 16667
* * *
10 5833 12500 13333 16667 20000 19167
12 6667 10833 10833 13333 16667 21667**
14 8333 8333 8333 11667 14167 14167
16 7500 6667 9167 10000 12500 17500
18 5833 5833 6667 12500 11667 15000
20 4167 7500 7500 10833 15000 13333
22 4167 5000 7500 10000 11667 13333
24 5000 4167 5833 7500 10833 14167
26 4167 5000 5000 5833 10833 12500
28 2500 3333 5833 5000 10000 11667
Rata-rata 6389a 7500a 9389b 10389b 13222c 14889d

Tabel 2. Rata-rata Total Kelimpahan Fitoplankton (Ind/l) pada Masing-masing


Perlakuan Selama Penelitian
Indeks keanekaragaman dan indeks dominansi pada semua perlakuan

selama penelitian berbeda-beda yaitu; pada P0 berkisar 0,97-2,72, P1 berkisar

1,46-2,87, P2 berkisar 1,50-2,75, P3 berkisar 1,92-2,92, P4 berkisar 2,35-3,05,

dan pada P5 berkisar 2,31-2,91. Indeks keanekaragaman tertinggi terjadi pada hari

ke-12 yaitu sebesar 3,05 pada perlakuan P4 sedangkan yang terendah terjadi pada

hari ke-10 yaitu sebesar 0,97 pada perlakuan P0. Indeks keanekaragaman

tergolong sedang. Indeks dominansi (C’) pada setiap perlakuan adalah ; pada P0

berkisar 0,16-0,52, pada P1 berkisar 0,15-0,39, pada P2 berkisar 0,16-0,39, pada

P3 berkisar 0,14-0,28, pada P4 berkisar 0,13-0,22 dan pada P5 berkisar 0,14-0,20.

Indeks dominansi tertinggi terjadi pada hari ke-20 yaitu sebesar 0,52 pada

perlakuan P0, sedangkan yang terendah terjadi pada hari ke-12 yaitu sebesar 0,13

pada perlakuan P4. Indeks Dominansi pada semua perlakuan tergolong rendah.

Dari hasil pengukuran kualitas tanah selama penelitian didapat tekstur tanah di
20

awal penelitian pada semua perlakuan adalah lempung, pada akhir penelitian

berubah menjadi lempung berpasir. Hal ini karena terjadinya perubahan fraksi

tanah pada masing-masing perlakuan, yaitu ; pada perlakuan P0 persentase pasir

dari 63,75% turun menjadi 58,45%, fraksi lempung meningkat dari 18,54%

menjadi 22,45%, sedangkan kandungan liat naik dari 17,71% menjadi 20%.

Untuk P1, P2, P3, P4 dan P5 juga terjadi penurunan fraksi pasir berturut-turut dari

awal penelitian 63,75% menjadi 57,90%, 55,20%, 54,90%, 52,67% dan 52,40%.

Selanjutnya kandungan lempung juga mengalami peningkatan berturut-turut dari

awal penelitian 18,54% menjadi 24,40% pada P1, 30,20% pada P2, 28,75% pada

P3, 32,00% pada P4, dan 29,50% pada P5. Kandungan liat pada masing-masing

perlakuan juga mengalami perubahan. Pada awal penelitian kandungan liat

sebesar 17,71%, pada perlakuan P4 sedangkan yang terendah terjadi pada hari ke-

10 yaitu sebesar 0,97 pada perlakuan P0. Indeks keanekaragaman tergolong

sedang. Indeks dominansi (C’) pada setiap perlakuan adalah ; pada P0 berkisar

0,16-0,52, pada P1 berkisar 0,15-0,39, pada P2 berkisar 0,16-0,39, pada P3

berkisar 0,14-0,28, pada P4 berkisar 0,13-0,22 dan pada P5 berkisar 0,14-0,20.

Indeks dominansi tertinggi terjadi pada hari ke-20 yaitu sebesar 0,52 pada

perlakuan P0, sedangkan yang terendah terjadi pada hari ke-12 yaitu sebesar 0,13

pada perlakuan P4. Indeks Dominansi pada semua perlakuan tergolong rendah.

Dari hasil pengukuran kualitas tanah selama penelitian didapat tekstur tanah di

awal penelitian pada semua perlakuan adalah lempung, pada akhir penelitian

berubah menjadi lempung berpasir. Hal ini karena terjadinya perubahan fraksi

tanah pada masing-masing perlakuan, yaitu ; pada perlakuan P0 persentase pasir

dari 63,75% turun menjadi 58,45%, fraksi lempung meningkat dari 18,54%

menjadi 22,45%, sedangkan kandungan liat naik dari 17,71% menjadi 20%.
21

Untuk P1, P2, P3, P4 dan P5 juga terjadi penurunan fraksi pasir berturut-turut dari

awal penelitian 63,75% menjadi 57,90%, 55,20%, 54,90%, 52,67% dan 52,40%.

Selanjutnya kandungan lempung juga mengalami peningkatan berturut-turut dari

awal penelitian 18,54% menjadi 24,40% pada P1, 30,20% pada P2, 28,75% pada

P3, 32,00% pada P4, dan 29,50% pada P5. Kandungan liat pada masing-masing

perlakuan juga mengalami perubahan. Pada awal penelitian kandungan liat

sebesar 17,71%. Nilai kekeruhan pada semua perlakuan selama penelitian

mengalami kenaikan. Pada perlakuan P0, kekeruhan berada pada kisaran 38 – 127

NTU, P1 berkisar antara 38– 220,67 NTU, P2 38 – 228 NTU, P3 38 – 198,33

NTU, P4 38 – 187,67 NTU dan pada P5 38 – 203 NTU.

Kandungan karbondioksida bebas pada masing-masing wadah mengalami

fluktuasi naik dan turun. Kandungan CO2 bebas pada semua perlakuan berkisar

anatara 5,4-11,99 ppm. Rata-rata kandungan Nitrat pada awal penelitian 0,234

ppm, namun pada akhir penelitian, rata-rata kandungan nitrat air pada masing-

masing perlakuan mengalami kenaikan menjadi 0,386 ppm (39,4 %) pada P0,

0,425 ppm (44,9 %) pada P1, 0,844 ppm (27,7 %) pada P2, 1,537 (84,8 %), P4

menjadi 1,893 ppm (87,6 %), dan P5 menjadi 2,605 ppm (91,0 %). Persentase

kenaikan Nitrat tertinggi terjadi pada perlakuan P5 yaitu sebesar 91%. Kandungan

Orthopospat pada P0 dan P1 diakhir penelitian mengalami penurunan dari 0,234

mg/l menjadi 0,079 mg/l dan 0,082 mg/l, sedangkan pada P2, P3, P4 dan P5

terjadi peningkatan menjadi 0,182 mg/l, 0,376 mg/l, 0,286 mg/l dan 0,427 mg/l.

4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini dijumpai tiga divisi fitoplankton yaitu

Bacillariophyta, Chlorophyta dan Cyanophyta, hal ini sama dengan yang

ditemukan Pamukas (2004) untuk kotoran kambing dan Pamukas (2006) untuk
22

kotoran puyuh. Jumlah spesies terbanyak dijumpai pada divisi Chlorophyta, hal

ini terlihat dengan warna permukaan air pada saat penelitian berwarna hijau.

Menurut Sachlan (1980) Chlorophyta merupakan fitoplankton yang banyak

ditemukan di perairan tawar. Chlorophyta dapat berkembang dengan pemberian

pupuk organik dan anorganik serta merupakan produser primer yang dapat

dimanfaatkan langsung oleh zooplankton, larva dan benih ikan seperti ikan

tambakan (Helostoma temminckii).

Selanjutnya Davis (1995) juga menyatakan bahwa mikro alga dari divisi

Chlorophyta berperan penting di perairan tawar. Terutama sebagai pakan alami

yang dapat secara langsung dikonsumsi oleh ikan herbivora dan juga sebagai

produsen primer. Umumnya Chlorophyta paling banyak dijumpai di perairan

tawar dan di dalam air yang terlihat berwarna hijau karena Chlorophyta banyak

mengandung klorofil.

Selama penelitian ditemukan jenis Scenedesmus sp, Nitzchia sp dan

Diatom (Bacillariophyta) yang merupakan makanan ikan. Menurut Djarijah

(1996) jenis fitoplankton yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan antara lain

adalah; Scenedesmus sp, Pediastrum sp, Diatom, dan Nitzchia sp. Selanjutnya

menurut Syandri (2004) jenis-jenis fitoplankton yang merupakan pakan alami

tawes (Puntius javanicus CV) dan ikan nilem (Osteochilus haselti CV) adalah

Osillatoria sp, Scenedesmus sp, Chlorella sp dan Diatom. Sedangkan jenis yang

ditemukan berasal dari divisi Bacillariophyta juga merupakan kelompok

fitoplankton yang disenangi oleh ikan dan larva udang (Arsil 1999).

Dari enam taraf perlakuan, masing-masing perlakuan memiliki kelimpahan

yang berbeda setiap jenis. Hal ini diduga akibat perbedaan dosis dan kandungan

unsur hara yang dimasukkan ke dalam air. Hal ini sesuai dengan pendapat Kilham
23

dan Kilham (1978) yang menyatakan bahwa setiap jenis fitoplankton mempunyai

respon yang berbeda terhadap perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam

badan air. Fenomena ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam suatu badan

air mempunyai struktur dan dominansi jenis yang berbeda dengan badan air

lainnya.

Fitoplankton yang dominan ditemukan selama penelitian adalah jenis

Cladophora sp, dari divisi Chlorophyta dengan total kelimpahannya adalah 9167

ind/l pada P0, 12500 ind/l pada P1, 13333 pada P2, 14167 ind/l pada P3, 15000

pada P4 dan 16667 ind/l pada P5. Tingginya kelimpahan Cladophora sp ini

karena pada media penelitian yang digunakan kandungan fosfatnya tergolong

baik. Kandungan fosfat yang baik dalam perairan menurut Syafriadiman,

Pamukas dan Saberina (2005) adalah besar dari 0,01 ppm sehingga dapat

meningkatkan perkembangan fitoplankton. Sedangkan jenis fitoplankton yang

mempunyai kelimpahan tertinggi pada semua perlakuan dijumpai pada P2 yaitu

Ulotrix sp dan pada P4 (1,00 ml/m3) adalah Aphanizomenon sp.

Menurut Sachlan (1980) tingginya kandungan nitrat dan posfat diperairan

dapatmen yebabkan kelimpahan Cladophora sp di perairan. Berdasarkan hasil

penelitian menggunakan pupuk organik cair diperoleh kelimpahan tertinggi

terdapat pada perlakuan P5 (2,00 ml/m3) pada hari penyamplingan ke-12 sebesar

21667 Ind/l, kemudian kelimpahan terendah terjadi pada perlakuan P0 pada hari

ke-28 yaitu sebanyak 2500 ind/l. Hal ini disebabkan penambahan unsur hara pada

P5 lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Harefa (2009) menyatakan bahwa

kelimpahan fitoplankton tertinggi dengan menggunakan ekstrak pupuk organik


24

dijumpai pada dosis pupuk 25 g/m2 yaitu sebesar 18333,33 ind/l, dimana puncak

kelimpahan terjadi pada hari ke-12.

Sedangkan pada penelitian Pamukas (2010) kelimpahan fitoplankton

tertinggi dengan menggunakan pupuk organik Humic Acid (Ha) dijumpai pada

dosis pupuk 27 g/m2 yaitu sebesar 23333,33 ind/l, dimana puncak kelimpahan

terjadi pada hari ke-8. Dibandingkan dengan penelitian tersebut, maka kelimpahan

fitoplankton dengan menggunakan pupuk organik cair ini dapat dikatakan lebih

baik. Selain bermanfaat sebagai makanan alami bagi ikan, fitoplankton juga

berperan dalam perbaikan kualitas air. Sachlan (1980) menjelaskan bahwa

fitoplankton berperan penting dalam proses fotosintesis dengan menyerap CO2

dalam perairan dan menghasilkan O2 juga berperan dalam mengikat N2 dari udara

yang berasal dari divisi Cyanophyta (alga hijau biru).

Kelimpahan fitoplankton selama penelitian berfluktuasi dan puncak

populasi terjadi pada hari ke-8 sampai ke-12 dengan kelimpahan yang berbeda-

beda. Hal ini disebabkan dosis pupuk yang diberikan berbeda, sehingga besarnya

kandungan nutrien yang disumbangkannya berbeda pula. Disamping itu juga

disebabkan siklus hidup masing-masing jenis fitoplankton berbeda. Nutrien yang

didapat dari pemberian pupuk dengan dosis lebih tinggi akan mampu

meningkatkan kelimpahan fitoplankton dalam wadah, kemudian perubahan

parameter fisika kimia pada air dan tanah merupakan faktor yang mengakibatkan

kelimpahan fitoplankton pada tiap-tiap perlakuan tidak sama. Cornelius (1999),

menyatakan bahwa salah satu penyebab kelimpahan fitoplankton menurun karena

kurangnya nutrien di dalam perairan.


25

Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan juga dipengaruhi oleh berbagai

faktor seperti suhu, nutrien, cahaya matahari, pH, oksigen terlarut, dan

karbondioksida bebas. Menurut Garno (1998) unsur hara yang larut dalam badan

air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya sehingga

populasi dan kelimpahannya meningkat. Selanjutnya menurut pendapat Odum

(1993), populasi plankton bervariasi dari musim ke musim, dan dari satu perairan

ke perairan lain. Hal ini disebabkan adanya variasi faktor-faktor fisik lingkungan

seperti suhu, intensitas cahaya, dan kekeruhan, serta faktor-faktor kimia seperti

pH, oksigen terlarut, CO2 terlarut, fosfat, nitrat, dan nitrit.

Selain ketersediaan unsur hara, faktor lain yang turut mempengaruhi

kelimpahan fitoplankton dalam air adalah aktivitas pemangsaan oleh zooplankton.

Hal ini terlihat dalam setiap sampling yang dilakukan selalu ditemukan

zooplankton pada hampir semua sampel penelitian. Ini sesuai dengan pendapat

Garno (1998) yang menyatakan bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton akan

diikuti dengan peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya

adalah fitoplankton.

Hasil uji homogenitas menunjukkan data dari lima dosis yang berbeda

berasal dari varian yang sama (sig>0,05). Selanjutnya dari uji ANAVA, diketahui

bahwa pemberian dosis pupuk organik cair yang berbeda berpengaruh nyata

terhadap kelimpahan fitoplankton (sig < 0,05), dengan kata lain hipotesa diterima.

Secara statistik, dari hasil uji lanjut diketahui bahwa perlakuan P5 memiliki rerata

kelimpahan tertinggi yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan P3

tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan

lain. Perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P0 tetapi berbeda nyata

terhadap perlakuan lain.


26

Rata-rata kelimpahan pada masing-masing perlakuan sebanyak 6389 ind/l

pada P0, 7500 ind/l pada P1, 9389 ind/l pada P2, 10389 ind/l pada P3, 13222 ind/l

pada P4 dan 14889 ind/l pada P5. Kelimpahan tersebut termasuk tinggi jika

dibandingan dengan kelimpahan di perairan alami seperti danau dimana

kelimpahan mencapai 1968 ind/l (Torang, 1995); 2358 ind/l (Buchar 1998); dan

Kusakabe et al. (2000) 183 – 684 ind/ml, namun masih tergolong rendah jika

dibandingkan dengan kelimpahan pada media dengan sistem kultur murni yang

mencapai 1513 x 104 ind/ml. Hal ini disebabkan oleh kandungan unsur hara dan

jumlah bibit yang berbeda yang diinokulasikan pada awal penelitian.

Selanjutnya, berdasarkan hasil uji regresi hubungan antara dosis pupuk

yang diberikan terhadap kelimpahan fitoplankton berhubungan linear positif yang

artinya bahwa semakin tinggi dosis yang diberikan maka kelimpahan fitoplankton

akan semakin tinggi pula. Dari hasil analisa regresi diketahui bahwa nilai R2

sebesar 0,47 yang berarti bahwa kontribusi pupuk terhadap kelimpahan

fitoplankton adalah sebesar 47% sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor lain,

dan menunjukkan hubungan antara dosis pupuk dengan kelimpahan fitoplankton

adalah positf kuat (r=0,68).

Indeks keanekaragaman (H’) berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Pole

(dalam Widyastuti, 2002) pada semua perlakuan termasuk dalam golongan

keanekaragaman sedang (1< H’ < 3) yang artinya bahwa dosis pupuk yang

diberikan masih pada batas yang dapat ditoleransi oleh fitoplankton.

Keanekaragaman dan jumlah organisme dalam komunitas plankton di badan air

tawar biasanya merupakan fungsi dari banyaknya jumlah bahan organik yang

tersedia. Clark (dalam Syafrizal, 2007) menyatakan bahwa keragaman spesies


27

menunjukkan keseimbangan ekosistem, semakin tinggi keragaman spesies maka

semakin seimbang ekosistem tersebut.

Sebaliknya semakin rendah keragaman spesies maka

menandakan ekosistem perairan tersebut mengalami tekanan dan kondisinya

menurun. Dari nilai indeks dominasi secara keseluruhan yang berkisar antara 0.13

- 0.52 menunjukan tidak terdapatnya fitoplankton yang mendominasi selama

penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Krebs (1978) bila indeks dominansi

(C) mendekati 1 berarti ada organisme yang dominan dan jika indeks dominansi

mendekati 0 berarti tidak ada organisme yang dominan. Dengan demikian

pemberian ekstrak pupuk organik dapat ditoleransi oleh organisme dalam media

kultur.

Secara keseluruhan parameter fisika kimia air dan tanah selama penelitian

dapat mendukung kehidupan fitoplankton dengan baik. Dapat dikatakan dosis

pupuk yang diberikan masih dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh media

budidaya. Disamping itu fitoplankton yang terdapat di media budidaya selain sebagai

pakan alami juga berfungsi sebagai penyangga kualitas air. Sachlan (1980)

menjelaskan bahwa fitoplankton yang berasal dari divisi Cyanophyta (alga hijau biru)

berperan penting dalam proses fotosintesis dengan menyerap CO 2 dalam perairan dan

menghasilkan O2 serta dapat berperan dalam mengikat N2 dari udara.


28

V. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair dengan

dosis yang berbeda memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap

kelimpahan fitoplankton. Dosis pupuk terbaik dijumpai pada perlakuan P5

(2,00 ml/m3), dengan kelimpahan fitoplankton tertinggi sebesar 21667 ind/l.

Jenis-jenis fitoplankton yang dijumpai selama penelitian berasal dari 3 divisi

yaitu; Chlorophyta 9 spesies yaitu : Cladophora sp, Clamidomonas sp,

Coelastrum sp, Docidium sp, Microspora sp, Pleurotaenium sp, Scenedesmus

sp, Spirotaenia sp dan Ulothrix sp. Cyanophyta 4 spesies yaitu :

Aphanizomenon sp, Chroococcus sp, Lyngbia sp dan Microcystis sp serta

Bacillariophyta 4 spesies yaitu Fragilaria sp, Navicula sp, Nitzschia sp dan

Synedra sp. Dari 17 jenis yang dijumpai, beberapa diantaranya dapat

bermanfaat untuk makanan ikan yaitu Scenedesmus sp, Navicula sp, Nitzchia

sp dan Synedra sp. Pemberian pupuk organik cair pada penelitian ini

memberikan perubahan yang positif terhadap beberapa parameter kualitas air

dan tanah seperti pH, kekeruhan, oksigen terlarut, karbondioksida bebas,

orthopospat dan nitrat.

Dari hasil penelitian ini belum didapatkan dosis optimal, untuk itu perlu

dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan pupuk organik cair dengan

dosis yang lebih tinggi sehingga didapatkan kelimpahan fitoplankton yang

lebih optimal.
29

DAFTAR PUSTAKA

Arfiati, Diana. 2009. Strategi Peningkatan Kualitas Sumberdaya pada Ekosistem


Perairan Tawar. Universitas Brawijaya : Malang.
Azim, M.E., Verdegem, M.C.J., Van Dam, A.A. and Beveridge, M.C.M., 2005,
Periphyton: Ecology, Exploitation and Management, CABI Publishing,
USA
Abel, P. 1989. Water Pollution Biology. Department of Biology. Sunderland
Polytechnic. Ellis Horwood limited. England.
Allard, M. and G. Moreau. 1987. Effect of Experimental Acidification on Lotic
Macroinvertebrate Community. Hydrobiologia 144
APHA. 1992. Standart Methods for the Examination of Water and Waste Water.
18th edition. Washington.
Amstrong, Michael. 1994. Seri Pedoman Manajemen, Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Gramedia.
Andersen, JH., Schluter L & Aertebjerg G. 2010. Coastal eutrophication : recent
development in definitions and implication for monitoring strategis.
Journal of Plankton Research, 28 (7) : 621-628. Andersen, JH., Schluter L
& Aertebjerg G. 2010. Coastal eutrophication : recent development in
definitions and implication for monitoring strategis. Journal of Plankton
Research, 28 (7) : 621-628.

Bouman, H. A., T. Platt, S. Sathyendranath, W. K. W. Li, V. Stuart, C. Fuentes


Yaco, H. Maass, E. P. W. Horne, O. Ulloa, V. Lutz, and M.

Barnes, R. S. K. and R. N. Hughes. 1999. An Introduction to Marine Ecology 3rd


Edition.Blackwell Science Ltd. London.
Biggs, B. J. F., dan Kirloy, C. 2000. Stream Periphyton Monitoring Manual.
Niwa,Christchurch. New Zealand.
Bouman, H. A., T. Platt, S. Sathyendranath, W. K. W. Li, V. Stuart, C. Fuentes-
Yaco, H. Maass, E. P. W. Horne, O. Ulloa, V. Lutz, and M. Kyewalyanga.
2010. Temperature as Indicator of Optical Properties and Community
Structure of Marine Phytoplankton: Implications for Remote Sensing. Mar
Ecol Prog Ser. Vol. 258: 19-30.

Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2002. Biologi (terjemahan), Edisi


Kelima Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Cummins, K. W. 1975. Fishes dalam Whitton B. A. (ed.). River Ecology. Black-


well Scient Publ. Oxford
Djumara, 2007. Modul 3 : Sumber Daya Alam Lingkungan Terbarukan dan Tidak
30

Terbarukan Diklat Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup di


Daerah. Jakarta: Environmental Assesment and Management.
Djarijah, A. S. 1995. Pakan Ikan Alami. Penerbit Kanisius. 87 hal.
Efendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan SumberDaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius
Graham, L.E dan L.W. Wilcox. 2000. Algae. Prentice Hall, New York.
Kendeigh, S. C. 1980. Ecology with Special Reference to Animal and
Man. Pren-tice Hall of India. Private Limited. New Delhi.
Garno, Y.S (1998): Regenerasi Nitrogen oleh Zooplankton;Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Lingkungan Kawasan Akuakultur Secara Terpadu.
BPPT-OCEANOR-Dep.pertanian Jakarta.

Gaspersz,V.1991.Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung. 427 hal.


Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton.Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 116 hal.
Krebs, C.J. 1978. Ecology: The ExperimentalAnalysis of Distribution and
Abundance. Harper and Row. New York.
Kyewalyanga. 2010. Temperature as Indicator of Optical Properties and
Community Structure of Marine Phytoplankton: Implications for Remote
Sensing. Mar Ecol Prog Ser. Vol. 258: 19-30. Lind, O. T. 1985. Handbook
of Common Methods in Limnology. CV. Mosby. St.Louis.

Malida, H. S. 2010. Model Migrasi Zooplankton Secara Temporal Dengan


Pendekatan Optik Laut Di Perairan Pulau Barrang Lompo, Makassar.
Skripsi, Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP Universitas Hasanuddin, Makassar.

Madubun, U. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Kaitannya Dengan


Unsur Hara dan Cahaya di Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta.
Bogor:Institut Pertanian Bogor.
Montagna, P. A., J. E. Bauer, D. Hardin and R. B., Spies. 1989. Vertical
Distribution of
Microbial and Meiofaunal Populations in Sediments of Natural Coastal
Hydrocarbon Seep.Journal of Marine Science.

Nybakken, J. W. 1997. Marine Biology An Ecological Approach. 4th. edition An


Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. New York.
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogayakarta. Gajah Mada
University press.
Oey, B. L., R. E. Soeriaatmadja, W. Parjatmo. 1978. Faktor lingkungan Penentu
dalam Ekosistem Sungai. Seminar Pengendalian Pencemaran Air Dirjen.
Pengairan Dept. PU-RI. Bandung.
31

Pamukas, N. A. 2004. Perkembangan Jenis dan Kelimpahan Plankton dengan


Pemberian Dosis Pupuk Kotoran Kambing Yang Berbeda. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. 103 hal (tidak diterbitkan).
2006. Perkembangan Jenis dan Kelimpahan Fitoplankton dengan
Pemberian Dosis Pupuk Kotoran Puyuh yang Berbeda dalam Jurnal
Perikanan dan Kelautan, XI (2) : 109-118.

PT. Anugrah Cemerlang Indonesia (2002). Pupuk Organik Cair. www.aci


indonesia.co.id (diakses tanggal 16 Februari 2009).

Rosenberg, D. M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic


Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London.

Sastrawidjaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.


Sudaryanti. 2004. Produktivitas Perairan (Primer). Malang: Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.
Sutarman. 1993. Petunjuk Praktek Pembenihan Ikan Air Tawar Skala Rumah
Tangga.Yogyakarta: Kanisius.

Sitompul, S. 2000. Struktur Komunitas Perifiton di Sungai Babon Semarang.


Skripsi Universitas Diponegoro.
Supriyanti, S., 2001, Struktur Komunitas Perifiton pada Substrat Kaca di Lokasi
Pemeliharaan Kerang Hijau (Perna viridis L.), Perairan Kamal Muara,
Teluk Jakarta, Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.
Syarifuddin. 2000. Sains Geografi. Jakarta : Bumi Aksara
Sachlan, M. 1980. Planktonologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI.
Pekanbaru. 98 hal (tidak diterbitkan).
Sutejo, M. M., 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Cetakan ke-7. Rineka Cipta.
Jakarta. 177 hal.

Syafriadiman, Pamukas, N. A., dan Saberina. 2005. Prinsip Dasar Pengelolaan


Kualitas Air. M.M. Press Mina Mandiri. Pekanbaru. 132 hal.

Telaumbamia, Betzy Victor. Terna Alexander dan Ani Suryani. 2013.


Produktivitas Primer Perifiton Di Sungai Nobursahan Sumatera Utara.
Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara : Medan.
Widdyastuti, R. 2011. Produktivitas Primer Perifiton di Sungai Ciampea, Desa
Ciampea Udik, Bogor Pada Musim Kemarau 2010. Skripsi IPB. Bogor.
Wardoyo. 1978. Pengelolaan Kualitas Air Bagian Akuakultur. Bogor: Fakultas
Perikanan IPB
Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi dan Kultur Pakan Alami. UNRI Press.
Pekanbaru. 140 hal.
32

Anda mungkin juga menyukai