Aribowo
Daftar Isi
A. Pendahuluan..................................................................................................... 2
B. Definisi Kemiskinan......................................................................................... 3
C. Lima teori kemiskinan kontemporer................................................................ 4
1. a. Kemiskinan yang disebabkan oleh ketidak mampuan individu................... 4
b. Program anti kemiskinan dari perspektif teori individual............................ 6
2. a. Kemiskinan yang disebabkan oleh sistem budaya kemiskinan ................... 7
b. Program anti kemiskinan dari perspektif budaya kemiskinan..................... 9
3. a. Kemiskinan yang disebabkan oleh distorsi sistem ekonomi, sosial,
maupun politik, atau diskriminasi............................................................... 10
b. Program-program pemberantasan kemiskinan akibat distorsi sistem
ekonomi, sosial, politik, maupun diskriminasi............................................. 13
4. a. Kemiskinan karena kesenjangan geografis................................................... 15
b. Program Pemberantasan Kemiskinan dari Perspektif kemiskinan
geografis....................................................................................................... 16
5. a. Kemiskinan Holistik dan Lingkaran Ketergantungan yang Rumit............. 17
b. Program anti kemiskinan dari perspektif teori siklus kemiskinan.............. 19
A. Pendahuluan.
B. Definisi Kemiskinan.
Kemiskinan dalam pengertian umum, merupakan suatu kondisi kurang
terpenuhinya kebutuhan orang. Kebutuhan pangan dasar, perumahan, pelayanan
kesehatan, serta rasa aman pada umumnya dilandaskan pada nilai ketercukupan yang
diakui bersama sesuai dengan martabat manusia. Namun demikian, apa yang
dianggap cukup oleh satu orang belum tentu dianggap cukup pula oleh orang lain.
Kebutuhan merupakan sesuatu yang bersifat relatif tentang apa yang mungkin dan
semuaya itu ditentukan oleh definisi yang diakui bersama yang berlandaskan pada
pengalaman masa lalu (Sen, 1999). Valentine (1968) mengatakan bahwa esensi
kemiskinan adalah ketidaksamaan. Dengan kata lain, makna dasar dari kemiskinan
adalah ketidaksamaan atau kesenjangan relatif.
Definisi sosial (relatif) dari kemiskinan memungkinkan terjadinya fleksibilitas
dalam memaksa kepedulian lokal, dengan demikian, definisi obyektif kemiskinan
yang dilandaskan pada perbandingan dengan wilayah lain, juga banyak digunakan.
Definisi paling umum tentang kemiskinan obyektif adalah ukuran-ukuran statistik
yang biasanya dilakukan oleh pemerintah, misalnya penghasilan minimal untuk
bertahan hidup. Konsep garis kemiskinan pertama kali dikembangkan oleh Mollie
Orshansky dari Departemen Pertanian Amerika Serikat tahun 1963. Definisi tentang
batas kemiskinan ini sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah dalam rangka
mengatasi masalah tersebut. Ilmu pengetahuan tentang kemiskinan (science of
poverty), atau yang oleh O’Connor disebut sebagai “knowledge of poverty” , sangat
Teori yang pertama ini terdiri dari berbagai macam penjelasan luas yang
terfokus pada anggapan bahwa individu sepenuhnya bertanggung jawab atas situasi
kemiskinan yang dihadapinya. Secara khusus, para ahli politik konservatif
menyalahkan orang miskin itu sendiri dalam menciptakan masalahnya sendiri.
Mereka berargumentasi bahwa hanya dengan kerja keras dan pilihan-pilihan yang
sesuai, maka para orang miskin tersebut dapat keluar dari kemiskinannya. Variasi lain
dari teori kemiskinan individual ini mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh
kualitas genetika yang menyebabkan kemiskinan.
Intelegensi yang rendah, merupakan salah satu penyebab kemiskinan yang tak
mungkin dapat dipungkiri lagi. Keyakinan bahwa kemiskinan merupakan berasal dari
ketidak mampuan individual merupakan suatu pendapat yang sudah sangat tua.
Doktrin keagamaan yang meyakini bahwa kekayaan disamakan dengan kebaikan hati
Tuhan merupakan gagasan utama dalam reformasi Protestan (Weber, 2001), dan
kecacatan seperti kebutaan, kepincangan, dan berbagai kecacatan lainnya, merupakan
hukuman dari Tuhan bagi orang tuanya atau nenek moyangnya. Dengan munculnya
konsep tentang intelegensi yang diturunkan nampaknya akan sangat mendasari
rasionalisasi atas kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan intelegensi serta
keterbatasan fisik lainnya.
Rainwater (1970) mengkritik teori kemiskinan individualistik ini sebagai suatu
“perspektif moralisasi”, dalam arti bahwa orang yang miskin disebabkan kegagalan
moral yang telah dilakukan oleh para orang tuanya pada jaman terdahulu. Mereka
hidup dalam “neraka” dunia sebagai ganjaran atas dosa-dosa para nenek moyangnya.
Ironisnya, para ahli teori ekonomi neoklasik memperkuat teori individualistik ini.
Premis utama dalam paradigma ini adalah bahwa individu akan berupaya
memaksimalkan kesejahteraannya sendiri dengan cara membuat pilihan sendiri serta
mengadakan investasi sendiri. Jika seseorag memilih untuk mengikuti pendidikan
yang berkualitas rendah dan murah, maka dia akan memetik hasil yang rendah pula.
Dengan demikian, dia juga harus bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya.
Jika seseorang memutuskan untuk bersekolah pada sekolah yang buruk, maka pada
saatnya nanti dia akan memperoleh penghasilan yang rendah pula, karena dia
memiliki penghasilan yang rendah, maka dia akan mengambil keputusan untuk
memberikan pendidikan yang murah dan berkualitas rendah pula untuk anak-anaknya
yang pasti mengakibatkan dampak yang sama dengan orang tuanya. Begitu seterusnya
untuk anak cucunya yang juga mengikuti hukum yang sama.
Literatur yang banyak membahas tentang upaya-upaya self help menggaris
bawahi bahwa orang miskin itu menghadapi masalah karena kurang bekerja dengan
keras. Tradisi Dale Carnegie misalnya, salah satu aliran self help, yang menonjolkan
pentingnya tujuan pribadi untuk meningkatkan kemampuan diri merupakan langkah
konkrit yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Carnegie
menawarkan mengatakan, bahwa semua orang dapat mencapai sukses hanya dengan
menerapkan formula yang sederhana, yaitu “tujuan yang terfokus serta kerja keras”.
Dengan demikian, bagi orang yang memutuskan untuk tidak mau bekerja keras, maka
dia harus bertanggung jawab sendiri atas keputusan yang diambilnya itu. Walaupun
secara ilmiah teori ketidak mampuan individual ini kurang mendapat tempat dalam
perbincagan tentang pemberantasan kemiskinan, namun sangatlah mudah melihat
bagaimana teori ini mengarahkan kebijakan pemberantasan kemiskinan, yang
memperlihatkan pandangan bahwa hukuman dan ganjaran dapat megubah perilaku.
dalam ativitas dan interaksi dengan budaya induk masyarakat luas. Penolakan ini
sebenarnya hanya wujud dari kekecewaan-kekecewaan masa lampau. Sub budaya ini
kemudian berkembang terus dengan yang menghambat potensi mereka untuk maju.
Akibat lanjutannya adalah kemiskinan.
Situasi sub budaya lainnya tentang kemiskinan mungkin tidak sama dengan
negro, misalnya sub budaya pendatang Timur Tengah dan India di Perancis. Mereka
memiliki kesulitan tersendiri dalam menyesuaikan dengan budaya masyarakat induk.
Mereka mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan warga keturunan lainnya,
sehingga mereka mengembangkan sendiri sub budaya mereka sendiri yang berbeda
dengan budaya induk. Interaksi inilah yang menghambat mereka untuk mengadop
nilai dan tata kelakuan budaya utama, menghambat mereka untuk terlibat dalam
proses-proses sosial ekonomi, akibatnya mereka mengalami keterasingan dan
kemiskinan. Sub budaya ini diturunkan dari generasi ke generasi melalui proses
sosialisasi kepada anak keturunannya.
3.a. Kemiskinan yang disebabkan oleh distorsi sistem ekonomi, sosial, maupun
politik, atau diskriminasi
budaya liberal, maka yang ketiga, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh distorsi
sosioekonomik dan pilitik dikedepankan oleh teori sosial progresif. Para ahli teori
dalam tradisi ini tidak melihat individu sebagai sumber kemiskinan, akan tetapi
melihat pada sistem sosial, ekonomi, dan politik yang mengakibatkan orang
mengalami keterbatasan dalam kesempatan memperoleh sumber daya yang
diperlukan bagi pencapaian kesejahteraan maupun penghasilan yang mencukupi.
Penelitian maupun teori-teori dalam tradisi ini berupaya mengkaji kemiskinan melalui
pandangan yang dikemukakan oleh Rank, Yoon, maupun Hirschl. Mereka
menyatakan bahwa para peneliti kemiskinan terlalu memusatkan perhatian pada
fenomena “siapa yang kalah dalam permainan ekonomi” ketimbang memberikan
perhatian pada fakta bahwa “permainan ekonomi maupun politik telah merancang
siapa yang bakal kalah”.
Para ahli teori sosial abad ke sembilan belas telah menolak teori kemiskinan
individual dan menyajikan fakta yang menunjukkan bagaimana sistem ekonomi
maupun sosial telah menyingkirkan dan menciptakan situasi yang mengakibatkan
kemiskinan. Marx, misalnya, telah menggambarkan dengan gamblang bagaimana
sistem ekonomi kapitalis telah secara sadar dan sengaja menciptakan pengangguran
yang besar dengan tujuan untuk membuat upah tetap rendah. Kemudian Durkheim
yang juga menggambarkan bahwa aksi personal (bunuh diri / suicide) juga didorong
oleh sistem sosial.
Banyak literatur tentang kemiskinan menjelaskan bahwa sistem ekonomi yang
ada sekarang ini distrukturisasi sedemikian rupa oleh kelompok non miskin yang
membuat kelompok miskin tetap berada terpuruk di bawah, tidak peduli
sebagaimanapun kemampuan yang dimilikinya. Kita ambil contoh saja adalah
struktur gaji minimum yang ada sekarang ini tidak memungkinkan seorang orang tua
tunggal untuk menghidupi keluarganya dengan layak. (Jenicks, 1996). Masalah yang
dihadapi oleh orang miskin yang bekerja adalah masalah struktur gaji mereka yang
berhubungan dengan hambatan struktural yang ada yang membatasi kelompok atau
keluarga miskin untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Kondisi ini diperparah
oleh terbatasnya pekerjaan yang ada, terutama pekerjaan yang dapat dilakukan tanpa
ketrampilan khusus. Penelitian banyak yang membuktikan bahwa lapangan
pekerjaanyang tersedia bagi orang miskin tidak menunjukkan peningkatan dari tahun
ke tahun, tetapi upah yang diberikan kepada mereka selalu menurun jika dikaitkan
dengan inflasi dan penurunan nilaiuang yang ada. Kondisi ini dikombinasikan dengan
semakin langkanya pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada kelompok miskin.
Blank (1997) dan Quigley (2003) menyebutnya sebagai sistem sosial yang
meningkatkan kesulitan bagi kelompok miskin untuk memperoleh hak-haknya
sebagai warga negara. Kelangkaan ini jelas sekali dibuat oleh kelompok non miskin,
bahkan oleh negara sebagai suatu kesatuan. Dengan demikian dapat dikatakan
struktur yang timpang ini sengaja diciptakan oleh dunia ini bagi kesengsaraan orang
miskin.
Pengurangan hambatan struktural untuk memperoleh pekerjaan dan
pendidikan yang lebih baik maupun pelatihan-pelatihan yang dipusatkan untuk
peningkatan sumber daya. Program-program semacam ini mungkin dapat berhasil
untuk membantu kelompok miskin menerobos hambatan yang dihadapi, akan tetapi
banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa program semacam ini banyak
mengalami kegagalan. Banyak program pendidikan yang juga menunjukkan
kesenjangan antara kelompok miskin dengan non miskin. Pengeluaran per murid di
daerah terpencil dengan daerah perkotaan jelas menunjukkan kesenjangan tersebut.
Belanja negara untuk pendidikan per murid di daerah terpencil jauh lebih kecil
dibandingkan dengan belanja per murid di daerah perkotaan, padahal pengeluaran
murid di daerah terpencil lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran murid di
daerah perkotaan. Selain itu, guru-guru di daerah terpencil yang kurang terlatih,
pelengkapan atau fasilitas pendidikan yang kurang memadai, buku, sarana
transportasi, penerangan, akses informasi yang buruk, serta kurikulum yang kurang
memadai semakin melengkapi kesenjangan yang ada. Hasilnya, murid yang berasal
dari daerah terpencil yang miskin dapat dipastikan memiliki kemampuan yang lebih
rendah dibandingkan dengan murid di daerah perkotaan. Begitu pula dengan program
kesehatan serta program pelayanan publik lainnya. Kegagalan sistematik dalam
program pendidikan seperti inilah yang menjadi penyebab mengapa kelompok miskin
tetap memiliki prestasi yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok non miskin,
lulusan yang lebih rendah, serta rendahnya kemampuan mereka untuk masuk dalam
sistem pendidikan yang lebih tinggi (Chubb & Moe, 1996).
Hambatan struktural seperti tersebut di atas juga terjadi dalam sistem politik,
dimana interest serta partisipasi kelompok miskin jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok non miskin. Berbagai penelitian menunjukkan bukti yang
Jika masalah kemiskinan berada pada tingkatan sistem, dan bukan berada pada
diri orng miskin itu sendiri, maka respon pengembangan masyarakat harus diarahkan
pada upaya untuk mengubah sistem itu sendiri. Kenyataan ini memang sangat mudah
diucapkan, akan tetapi akan merupakan suatu upaya yang sangat sulit untuk
diterapkan. Program pengentasan kemiskinan yang diarahkan untuk mengubah sistem
ini memerlukan suatu penjelasan yang sistematis mengapa sebagian besar kebijakan
publik yang diarahkan untuk memberantas kemiskinan hnya terarah pada peningkatan
kemampuan orang miskin itu saja. Mengapa tidak banyak kebijakan pengentasan
a. Pada tingkatan akar rumput (grassroots level), gerakan sosial dapat diupayakan
dengan memberikan tekanan kepada pihak yang rawan terkena diskrimansi untuk
melakukan tekanan terhadap sistem dalam mencapai perubahan yang dikehendaki.
Rank (2004) menjelaskan bagaimana kelompok yang terkena diskriminasi
merupakan kekuatan utama dalam mengubah diskriminasi tersebut. Kelompok
miskin Negro di Amerika membuat gerakan sosial untuk memperoleh kesetaraan
dalam upah yang diperoleh. Gerakan ini merupakan gerakan yang sangat efektif
dalam mempengaruhi sistem utama dalam masyarakat. Beberapa hal harus
dilakukan terlebih dahulu, yaitu penumbuhan asosiasi-asosiasi atau yang oleh
Rank (2004) disebut dengan unionization yang akan menjadi wadah bagi gerakan
yang akan dilakukan. Gerakan hak-hak sipil seperti ini banyak dilakukan di
Amerika, terutama golongan miskin negro, perempuan orang tua tunggal, yang
memiliki dampak kuat dalam menembus hambatanhambatan sosial formal.
Gerakan-gerakan seperti inilah yang kemudian memperkuat posisi community
organization sebagai suatu profesi yang sangat berpengaruh di Amerika (Alinski,
1945 dalam Rank, 2004).
c. Strategi perubahan yang dilakukan melalui proses kebijakan (Page & Simon,
2000).
Perubahan kebijakan seperti ini meliputi perubahan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang diarahkan untuk mendorong pergeseran perhatian pada
pengurangan kemiskinan. Naskah-naskah kebijakakan yang disampaikan pada
dewan legislatif merupakan suatu rangkaian gerakan yang harus dilakukan. Selain
itu, pembentukan dan perubahan sistem hukum merupakan suatu langkah strategis
yang harus dilakukan. Dengan demikian, kaum miskin serta para pembelanya
harus memiliki kemampuan untuk masuk dalam sistem legislatif yang ada untuk
memperjuangkan perundang-undangan yang membela kaum miskin. Media
massa juga memiliki peran yang sangat penting dalam mengarahkan dan
mengubah opini publik tentang sub sistem yang rentan terhadap perlakuan
diskriminatif.
kemiskinan, tetapi pada kenyataanya memang kemiskinan seperti ini banyak ditemui
di berbagai tempat tertentu. Teori ini menyatakan bahwa orang-orang, institusi, serta
budaya dalam suatu wilayah geografis tertentu memiliki kekurangan sumber daya
yang dimiliki sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya mencapai
kesejahteraan. Shaw (1996) menegaskan bahwa ruang (space) bukanlah latar
belakang bagi kapitalisme, melainkan sengaja dibuat dan diciptakan oleh kapitalisme
yang memiliki fungsi bagi sistem tersebut agar tetap hidup. Dengan demikian,
kemiskinan geografis sebagai ruang yang sengaja diciptakan oleh kapitalisme, yang
berfungsi memberikan tenaga kerja bagi bekerjanya mesin kapitalisme.
Kemiskinan yang terjadi dalam area geografis tertentu sudah banyak dibahs
dalam literatur tentang mengapa daerah tertentu kurang memiliki daya untuk
berkompetisi dengan daerah lain. Salah satu penyebabnya adalah kurang
dikembangkannya daerah tersebut, kurangnya sumber daya alam, sehingga tidak
potensial jika dikembangkan. Perspektif teori tentang konsentrasi kemiskinan berasal
dari teori ekonomi. Biasanya digunakan untuk menganalisis tumbuhnya rumpun
industri besar, dimana masing-masing industri bagian akan memberikan dukungan
pelayanan maupun pasar bagi industri lainnya dalam rumpun tersebut yang akan
memperkuat industri lain. Demikian pula sebaliknya, rumpun kemiskinan serta
kondisi-kondisi lain yang menjadi dampak dari kemiskinan tersebut (seperti
kriminalitas serta pelayanan sosial yang tidak memadai) akan memberikan penguatan
bagi kondisi lain untuk menjadi lebih buruk dan semakin buruk sehingga menjadi
begitu kuat berurat berakar menjadi suatu area miskin. Kondisi perumahan yang
buruk dalam area tersebut akan mendorong anggotanya untuk menjadi orang yang
lebih miskin. Kemiskinan yang terjadi merupakan kelanjutan dari kesalahan
penyetaraan pembangunan, terutama dalam pembangunan ekonomi. Suatu wilayah
menjadi tidak menarik untuk penanaman modal bagi perkembangan industri. Setelah
perkembangan industri menjadi maju, maka masyarakat menjadi maju.
4.b. Program Pemberantasan Kemiskinan dari Perspektif kemiskinan geografis
Teori kemiskinan dari perspektif geografis menganjurkan bahwa respons-
respons untuk mengatasinya harus diarahkan pada kunci dinamika yang menyebabkan
tekanan pada satu wilayah dan menyebabkan kemajuan di wilayah lain. Sebagai
pengganti penempatan fokus pada individu, bisnis, pemerintahan, sistem
kesejahteraan, atau proses-proses budaya, perspektif teori kemiskinan geografis ini
pengaruh mempengaruhi. Teori kemiskinan ini lahir dari studi yang dilakukan oleh
Myrdal (1957) yang mengembangkan teori “interlocking, circular, dan inter-
dependence” dalam proses akumulasi penyebab. Myrdal menyatakan bahwa
kesejahteraan masyarakat sangat berhubungan dengan konsekuensi negatif yang
sangat banyak pula. Pembangunan industri serta berbagai pembangunan pada sektor
lain akan membawa dampak sampingan yang banyak seperti meningkatnya masalah
personal maupun kemasyarakatan yang berkepanjangan. Demikian pula kemiskinan
yang juga akan membawa dampak yang bekepanjangn dan berputar terus saling
memperkuat. Misalnya pada tingkat masyarakat, kurangnya kesempatan kerja dan
pengangguran mengakibatkan terjadinya migrasi ke luar daerah secara besar-besaran,
dengan migrasi itu maka bisnis lokal menjadi ambruk, akibatnya terjadi penurunan
penerimaan pajak, yang mengakibatkan memburuknya sistem pendidikan dan
kesehatan, selanjutnya pemburukan sistem pendidikan mengakibatkan semakin
buruknya kualitas kemampuan warga untuk bekerja, yang mengakibatkan
pengangguran yang semakin besar, industri tidak dapat bersaing, dan akhirnya roboh,
yang semuanya akan semakin meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Lingkaran masalah juga akan mengalami hal yang sama pada tingkat
individual. Pengangguran yang dialami akan mengakibatkan hilangnya penghasilan
yang menyebabkan terhentinya kemampuan untuk mendidik atau melatih anak-anak,
banyaknya remaja tak terdidik dan tak terlatih, rendahnya kemampuan untuk masuk
dalam dunia kerja, hancurnya pasar, kehancuran keluarga dan pada tingkat komunitas
akan kembali pada lingkaran seperti di atas. Diiringi dengan lingkaran-lingkaran
sejenis seperti kesehatan yang buruk, lingkungan yang buruk, nilai kehidupan
bersama yang buruk, meningkatnya kriminalitas dan sebagainya yang menyebabkan
situasi kemiskinan tersebut begitu rumit, masyarakat sangat tak berdaya.
Lingkaran kerusakan lain dalam kemiskinan ini adalah rendahnya kepercayaan
diri dari kaum miskin, rendahnya motivasi, serta mengalami depresi. Masalah
psikologis dari individu-individu miskin ini akan diperkuat oleh individu lain dalam
masyarakat, oleh rusaknya budaya, dan juga oleh kebiasaan-kebiasaan serta perilaku
buruk yang telah berurat dan berakar menjadi budaya kemiskinan. Dalam masyarakat
pedesaan, kerusakan budaya seperti ini juga akan berpengaruh terhadap perilaku
pemimpinnya, mereka akan mengembangkan perasaan ketidak berdayaan, hal ini
sangat fatal akibatnya bagi masyarakat.
Miller (2004) meyakinkan bahwa tak ada jalan lain yang dapat digunakan
untuk mengatasi siklus kemiskinan tanpa terlebih dahulu mengembangkan kapital
sosial dalam masyarakat atau dalam budaya masyarakat miskin. Miller sangat yakin
bahwa hubungan antara anggota masyarakat serta hubungan dengan organisasi lain
yang lebih terorganisasi dengan baik dapat memberikan bantuan satu sama lain yang
tak dapat dilakukan oleh pekerja sosial itu sendiri. Kunci utamanya adalah membantu
kelompok masyarakat miskin untuk membentuk komunitas yang saling dukung
mendukung yang berlandaskan pada rasa saling percaya serta mutuality. Program
seperti ini berarti mengembangkan masyarakat untuk memecahkan masalahnya
sendiri berdasarkan kekuatan etnisitasnya, agamanya, riwayat keluarga-keluarganya,
kelompok-kelompok sosial non formal yang ada di masyarakat, atau berbagai macam
sumber daya yang berasal dari hubungan persaudaraan yang erat. Dengan demikian
program anti kemiskinan seperti ini berupaya mengkaitkan antara faktor finansial,
material, politikal, serta kontrak sosial yang terwujud dalam ikatan sosial masyarakat.
Kretzman & McKnight (1993) menjelaskan bahwa program ini lebih
diutamakan untuk menggali dan memperkuat apapun yang ada dan dapat dijadikan
kekuatan masyarakat, ketimbang hanya menghabiskan waktu untuk menganalisis apa
yang menjadi penyebab dari kemiskinan yang ada tanpa jawaban yang pasti tentang
apa yang menjadi faktor penyebab. Lebih lanjut, Kretzman dan McKnight
meyakinkan bahwa organisasi-organisasi maupun kelompok-kelompok yang memiliki
akar dalam masyarakat akan mempunyai kekuatan yang lebih baik dalam menjalin
hubungan kerjasama yang diarahkan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi,
ketimbang hanya berlandaskan pada kemampuan salah satu organisasi besar yang
kuat. Mekanisme atas persyaratan yang dibutuhkan dalam program pemberantasan
kemiskinan seperti ini seperti juga lingkaran kemiskinan yang ada, memerlukan
beraneka ragam strategi dan tools yang berbeda dan kompleks. Akan tetapi minimal
memuat 3 komponen utama yaitu :
REFERENCES
Blakely, E. J., & Bradshaw, T. K. (2002). Planning Local Economic Development.
Thousand Oaks: Sage.
Blank, R. M. (2003). Selecting Among Anti-Poverty Policies: Can an Economics Be
both Critical and Caring? Review of Social Economy, 61 (4), 447-471.
Bradshaw, T., & MuUer, B. (2003). Shaping policy decisions with spatial analysis. In