1165030109/III-C
The Novel: Final Exam
B. Tema Novel
Sebelum masuk dalam penggambaran karakter, pembahasan tentang tema juga perlu
dijelaskan agar bisa membayangkan karakter-karakter dari tokoh yang nantinya akan
dimunculkan dalam novel. Novel Frankenstein memiliki dua tema yang sangat menonjol
dalam ceritanya, yaitu tentang keluarga, masyarakat, dan pengasingan dan prasangka,
ketidakadilan, dan rasa dendam. Dua topik tersebut mampu menggambarkan perubahan
karakter dari kedua tokoh utama dalam novel, Victor Frankenstein dan monsternya yang
nantinya disebut dalam istila Byronic Hero.
Tema tentang keluarga, masyarakat, dan pengasingan terletak pada bagian awal cerita,
tentang bagaimana gambaran kasih sayang yang diterima Victor Frankenstein dari
keluarganya, kebahagian yang ia peroleh lewat keluarganya, mempunyai orang tua yang begitu
baik, adik angkat yang sangat dicintainya sebagai teman terdekat dan menjadi pendamping
hidupnya kelak, dan adik-adik kesayangannya sehingga ia tidak merasakan perasaan-perasaan
yang menimbulkan penderitaan. Penjelasannya ada dalam kutipan sebagai berikut:
“No human being could have passed a happier childhood than myself. My
parents were possessed by the very spirit of kindness and indulgence. We felt
that they were not the tyrants to rule our lot according to their caprice, but the
agents and creators of all the many delights which we enjoyed. When I mingled
with other families I distinctly discerned how peculiarly fortunate my lot was,
and gratitude assisted the development of filial love.” (Frankenstein pg. 39)
Namun, gambaran kebahagiaan itu sirna kala kehidupan Victor mulai diwarnai dengan
kematian, kesedihan, keputusasaan dan kehancuran saat ia mulai belajar di Ingolstadt. Ada pun
kutipan-kutipannya:
“Yet from whom has not that rude hand rent away some dear connection? And
why should I describe a sorrow which all have felt, and must feel?”
(Frankenstein pg.40)
“Chance—or rather the evil influence, the Angel of Destruction, which asserted
omnipotent sway over me from the moment I turned my reluctant steps from my
father’s door—“ (Frankenstein pg. 43)
Hal-hal tersebut menimbulkan rasa amarah, lalai dan timbulnya sifat jahat sebagai
akibat kurangnya kontak terhadap sesamanya. Contohnya ada ketika Victor mengasingkan diri
dari lingkungan sosialnya selama proses pembuatan ciptaannya hingga membuat dia menjadi
tidak terkendali tanpa sadar karena tidak ada sesamanya yang mengawasi jalan pikirannya.
Berikut kutipannya:
“In a solitary chamber, or rather cell, at the top of the house, and separated
from all the other apartments by a gallery and staircase, I kept my workshop of
filthy creation; my eyeballs were starting from their sockets in attending to the
details of my employment.” (Frankenstein pg. 55)
Akibat dari kesendirianya itu lah menyebabkan Victor kurang menyadari konsekuensi
yang nantinya harus ia pikul dalam hidupnya dan menimbulkan akibat lainnya, membuat ia
menjadi rapuh karena ia tetap dalam keadaan sendiri memikul penderitaan yang ia terima dan
membuatnya merasa menjadi orang yang paling bersalah dengan satu perbuatan yang sangat
ia sesalkan.
Perasaan mengasingkan diri juga serupa dengan apa yang dialami oleh Sang Monster.
Berawal saat ia diciptakan dalam keadaan individu, tidak memiliki sebuah keluarga yang
secara fisik serupa dengan dirinya. Bahkan penciptanya saja diliputi rasa takut dan jijik saat
melihat Sang Monster pertama kali dan langsung meninggalkannya. Sang Monster semakin
merasa terasingkan saat ia pergi ke dunia luar menampakkan dirinya namun yang ia dapat
hanya serangan, ketakutan, dan rasa benci karena rupa fisiknya, sehingga ia harus memikul
beban untuk hidup sendiri tanpa bimbingan siapa pun, kutipannya sebagai berikut:
“When I looked around I saw and heard of none like me. Was I, then, a monster,
a blot upon the earth, from which all men fled and whom all men disowned?”
(Frankenstein pg. 141)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengasingan yang didapat kedua tokoh
tersebut membuat mereka memiliki perilaku tidak terpuji yang menunjukkan perubahan
karakter masing-masing.
Selanjutnya dalam tema prasangka, ketidakadilan, dan balas dendam ada dalam cerita
yang dialami Sang Monster. Manusia umumnya melihat suatu lainnya bergantung dari apa
yang dilihat terlebih dahulu, sebagai contoh masyarkat yang melihat Sang Monster saat
pertama kali ia menunjukkan wujudnya yang buruk rupa melakukan serangan terhadap Sang
Monster, mengusirnya dengan teriakan ketakutan mereka karena berprasangka bahwa seorang
atau sesuatu yang memiliki paras yang buruk berpotensi memiliki perangai yang buruk juga
seperti jahat, barbar, maupun berbahaya. Berikut kutipannya:
“All men hate the wretched; how then, must I be hated, who am miserable
beyond all living things!” (Frankenstein pg. 113)
Padahal kenyataannya, Sang Monster tidaklah memiliki sifat yang seburuk fisiknya,
pada awalnya, memiliki hati yang baik dan manusiawi sebagai manusia baru lahir pada
umumnya. Penampilan fisik seseorang tidak dapat sepenuhnya menjamin baik atau buruk
perilakunya. Perbedaan perlakuan inilah menyebabkan adanya rasa ketidakadilan oleh orang
yang merasakan hujatan dan pengucilan. Selain itu, munculnya perasaan benci dan dendam
yang merusak perangai baik yang sudah dimiliki Sang Monster karena tindakan masyarakat
terhadap keburukan rupanya ditambah kehidupannya yang sebatang kara dan menempuh
perjalanan hidupnya yang berliku sendiri seperti pada kutipan berikut:
“I was benevolent and good; misery made me a fiend. Make me happy, and I
shall again be virtuous” (Frankenstein pg. 114)
Pelampiasan rasa benci dan dendam yang sekarang dimiliki Sang Monster berdampak
pada Victor. Sang Monster meminta Victor untuk menciptakan makhluk yang mirip dengannya
agar ia tidak merasa kesepian dan kesedihan yang ia pikul dari perbuatan manusia yang
mengucilkannya. Sayangnya, Victor menolak permintaan Sang Monster, saat itu juga Sang
Monster langsung bersumpah dan memberi ancaman kepada Victor dengan kutipan sebagai
berikut:
“…Shall I respect man when he condemns me? Let him live with me in the
interchange of kindness, and instead of injury I would bestow every benefit upon
him with tears of gratitude at his acceptance. But that cannot be; the human
sense are insurmountable barriers to our union. Yet mine shall not be the
submission of abject slavery. I will revenge my injuries; if I cannot inspire love,
I will cause fear and chiefly towards you my arch-enemy, because my creator,
do I swear inextinguishable hatred. Have a care; I will work at your
destruction, nor finish until I desolate your heart, so that you shall curse the
hour of your birth.” (Frankenstein pg.175)
E. Kesimpulan
Konsep Byronic Hero sangat membantu untuk menganalisis perubahan emosi dan
karakter yang dialami setiap tokoh. Bisa memperoleh kesamaan yang ada dalam para tokoh
untuk melampiaskan perubahan emosi dan karakternya lewat tindakan yang mereka lakukan
seperti Victor yang ingin melakukan balas dendam kepada Sang Monster karena telah
membuat anggota keluarga dan sahabatnya, begitu pun Sang Monster yang tak kuat menahan
amarahnya karena ia dibenci oleh umat manusia dan Victor tidak ingin menciptakan makhluk
yang serupa dengan Sang Monster.
Hal yang membedakan dari kedua tokoh ini adalah jika Victor yang sampai akhir
hayatnya tetap ingin melakukan balas dendam terhadap Sang Monster dengan tujuan utama
membunuhnya, beda lagi dengan Sang Monster sendiri. Sang Monster seolah kembali ke
karakternya sebelumnya, seolah menjadi “jinak” kembali setelah melihat Victor yang sudah
tak bernyawa karena ia menyadari bahwa kali ini ia benar-benar sebatang kara dan di akhir
cerita Sang Monster mengatakan akan pergi sejauh-jauhnya dan membakar diri untuk
menyusul Victor.
DAFTAR PUSTAKA
Pranachitra, Bima. 2010. “Representasi Byronic Hero dalam Novel Mary Shelley Frankenstein
Karya Mary Shelley”. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wollstonecraft Shelley, Marry. 1818. Frankenstein.