Anda di halaman 1dari 9

Meishe Anisa Vina Triesa Pramita

1165030109/III-C
The Novel: Final Exam

Penggunaan Konsep Byronic Hero pada Tema dan Penokohan


Novel Frankenstein karya Marry W. Shelley

A. Definisi Byronic Hero


Pertama kali istilah Byronic Hero dipopulerkan oleh Lord Byron (1788-1824) dalam
karya-karyanya pada masa Romantik di Inggris dan negara Eropa lainnya (romantic
movement). Byronic Hero adalah suatu penokohan yang bersifat kompleks yang banyak
mengalami perubahan suasana hati (mood), cenderung kontroversial. Tokoh Byronic dalam
realitasnya banyak digambarkan sebagai tokoh yang awalnya dianggap antagonis, seperti
vampir, setan, monster, dan sebagainya. Namun, pada akhirnya diketahui bahwa tokoh-tokoh
ini sebenarnya bermanifestasikan perilaku seorang pahlawan.
Ciri yang sangat khas dari tokoh Byronic ini sering disebut sebagai villainous hero atau
pahlawan setengah jahat dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa atau disebut
sebagai algolagnia, yaitu perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka, rasa cinta
dan rasa benci, kelembutan dan kekasaran yang bercampur jadi satu.
Konsep Byronic Hero digunakan untuk menemukan ciri-ciri perilaku yang
digambarkan oleh penokohan Victor Frankenstein dan Sang Monster dalam novel
Frankenstein dengan menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi perilaku tersebut, yang
memotivasi, dan bagaimana perilaku tersebut digambarkan dalam novel.
Lewat Byronic Hero juga menghubungkan bagaimana tema dari novel mempengaruhi
karakter yang dimiliki oleh para tokoh, yang nantinya penulis juga bisa merasakan perasaan-
perasaan serta perubahan karakter dalam cerita, dari perubahan emosi positif menjadi negatif
dari setiap tokoh.

B. Tema Novel
Sebelum masuk dalam penggambaran karakter, pembahasan tentang tema juga perlu
dijelaskan agar bisa membayangkan karakter-karakter dari tokoh yang nantinya akan
dimunculkan dalam novel. Novel Frankenstein memiliki dua tema yang sangat menonjol
dalam ceritanya, yaitu tentang keluarga, masyarakat, dan pengasingan dan prasangka,
ketidakadilan, dan rasa dendam. Dua topik tersebut mampu menggambarkan perubahan
karakter dari kedua tokoh utama dalam novel, Victor Frankenstein dan monsternya yang
nantinya disebut dalam istila Byronic Hero.
Tema tentang keluarga, masyarakat, dan pengasingan terletak pada bagian awal cerita,
tentang bagaimana gambaran kasih sayang yang diterima Victor Frankenstein dari
keluarganya, kebahagian yang ia peroleh lewat keluarganya, mempunyai orang tua yang begitu
baik, adik angkat yang sangat dicintainya sebagai teman terdekat dan menjadi pendamping
hidupnya kelak, dan adik-adik kesayangannya sehingga ia tidak merasakan perasaan-perasaan
yang menimbulkan penderitaan. Penjelasannya ada dalam kutipan sebagai berikut:
“No human being could have passed a happier childhood than myself. My
parents were possessed by the very spirit of kindness and indulgence. We felt
that they were not the tyrants to rule our lot according to their caprice, but the
agents and creators of all the many delights which we enjoyed. When I mingled
with other families I distinctly discerned how peculiarly fortunate my lot was,
and gratitude assisted the development of filial love.” (Frankenstein pg. 39)
Namun, gambaran kebahagiaan itu sirna kala kehidupan Victor mulai diwarnai dengan
kematian, kesedihan, keputusasaan dan kehancuran saat ia mulai belajar di Ingolstadt. Ada pun
kutipan-kutipannya:
“Yet from whom has not that rude hand rent away some dear connection? And
why should I describe a sorrow which all have felt, and must feel?”
(Frankenstein pg.40)
“Chance—or rather the evil influence, the Angel of Destruction, which asserted
omnipotent sway over me from the moment I turned my reluctant steps from my
father’s door—“ (Frankenstein pg. 43)
Hal-hal tersebut menimbulkan rasa amarah, lalai dan timbulnya sifat jahat sebagai
akibat kurangnya kontak terhadap sesamanya. Contohnya ada ketika Victor mengasingkan diri
dari lingkungan sosialnya selama proses pembuatan ciptaannya hingga membuat dia menjadi
tidak terkendali tanpa sadar karena tidak ada sesamanya yang mengawasi jalan pikirannya.
Berikut kutipannya:
“In a solitary chamber, or rather cell, at the top of the house, and separated
from all the other apartments by a gallery and staircase, I kept my workshop of
filthy creation; my eyeballs were starting from their sockets in attending to the
details of my employment.” (Frankenstein pg. 55)
Akibat dari kesendirianya itu lah menyebabkan Victor kurang menyadari konsekuensi
yang nantinya harus ia pikul dalam hidupnya dan menimbulkan akibat lainnya, membuat ia
menjadi rapuh karena ia tetap dalam keadaan sendiri memikul penderitaan yang ia terima dan
membuatnya merasa menjadi orang yang paling bersalah dengan satu perbuatan yang sangat
ia sesalkan.
Perasaan mengasingkan diri juga serupa dengan apa yang dialami oleh Sang Monster.
Berawal saat ia diciptakan dalam keadaan individu, tidak memiliki sebuah keluarga yang
secara fisik serupa dengan dirinya. Bahkan penciptanya saja diliputi rasa takut dan jijik saat
melihat Sang Monster pertama kali dan langsung meninggalkannya. Sang Monster semakin
merasa terasingkan saat ia pergi ke dunia luar menampakkan dirinya namun yang ia dapat
hanya serangan, ketakutan, dan rasa benci karena rupa fisiknya, sehingga ia harus memikul
beban untuk hidup sendiri tanpa bimbingan siapa pun, kutipannya sebagai berikut:
“When I looked around I saw and heard of none like me. Was I, then, a monster,
a blot upon the earth, from which all men fled and whom all men disowned?”
(Frankenstein pg. 141)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengasingan yang didapat kedua tokoh
tersebut membuat mereka memiliki perilaku tidak terpuji yang menunjukkan perubahan
karakter masing-masing.
Selanjutnya dalam tema prasangka, ketidakadilan, dan balas dendam ada dalam cerita
yang dialami Sang Monster. Manusia umumnya melihat suatu lainnya bergantung dari apa
yang dilihat terlebih dahulu, sebagai contoh masyarkat yang melihat Sang Monster saat
pertama kali ia menunjukkan wujudnya yang buruk rupa melakukan serangan terhadap Sang
Monster, mengusirnya dengan teriakan ketakutan mereka karena berprasangka bahwa seorang
atau sesuatu yang memiliki paras yang buruk berpotensi memiliki perangai yang buruk juga
seperti jahat, barbar, maupun berbahaya. Berikut kutipannya:
“All men hate the wretched; how then, must I be hated, who am miserable
beyond all living things!” (Frankenstein pg. 113)
Padahal kenyataannya, Sang Monster tidaklah memiliki sifat yang seburuk fisiknya,
pada awalnya, memiliki hati yang baik dan manusiawi sebagai manusia baru lahir pada
umumnya. Penampilan fisik seseorang tidak dapat sepenuhnya menjamin baik atau buruk
perilakunya. Perbedaan perlakuan inilah menyebabkan adanya rasa ketidakadilan oleh orang
yang merasakan hujatan dan pengucilan. Selain itu, munculnya perasaan benci dan dendam
yang merusak perangai baik yang sudah dimiliki Sang Monster karena tindakan masyarakat
terhadap keburukan rupanya ditambah kehidupannya yang sebatang kara dan menempuh
perjalanan hidupnya yang berliku sendiri seperti pada kutipan berikut:
“I was benevolent and good; misery made me a fiend. Make me happy, and I
shall again be virtuous” (Frankenstein pg. 114)
Pelampiasan rasa benci dan dendam yang sekarang dimiliki Sang Monster berdampak
pada Victor. Sang Monster meminta Victor untuk menciptakan makhluk yang mirip dengannya
agar ia tidak merasa kesepian dan kesedihan yang ia pikul dari perbuatan manusia yang
mengucilkannya. Sayangnya, Victor menolak permintaan Sang Monster, saat itu juga Sang
Monster langsung bersumpah dan memberi ancaman kepada Victor dengan kutipan sebagai
berikut:
“…Shall I respect man when he condemns me? Let him live with me in the
interchange of kindness, and instead of injury I would bestow every benefit upon
him with tears of gratitude at his acceptance. But that cannot be; the human
sense are insurmountable barriers to our union. Yet mine shall not be the
submission of abject slavery. I will revenge my injuries; if I cannot inspire love,
I will cause fear and chiefly towards you my arch-enemy, because my creator,
do I swear inextinguishable hatred. Have a care; I will work at your
destruction, nor finish until I desolate your heart, so that you shall curse the
hour of your birth.” (Frankenstein pg.175)

C. Byronic Hero dalam Penokohan Victor Frankenstein


Banyak ditemukan penggambaran konflik batin yang terjadi dalam penokohan Victor
Frankenstein sebagai tokoh utama dalam novel menjadikan konflik tersebut sebagai salah satu
ciri khas penggambaran Byronic Hero yang digunakan Mary W. Shelley. Ciri-ciri Byronic lain
yang ditunjukkan Victor dengan konfliknya timbul karena ia mempunyai banyak gagasan atau
keinginan yang dilihat dari kemampuannya menguasai tingkah lakunya cukup bertentangan,
mengakibatkan ia sering merasa tertekan, diperlakukan tidak adil, dan sering menyendiri.
Seperti yang dijelaskan tadi, kelemahan Victor yang tidak bisa menguasai kemampuan dirinya
dan memanfaatkan peluang membuatnya seperti kehilangan arah, merasa bingung untuk
bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dilakukannya.
Victor sendiri memiliki sifat arogan, labil, dan suka melakukan hal-hal yang menantang
serta berbahaya karena bawaan dari sifat positifnya sendiri yang terpelajar, berkeinginan keras,
tekun, dan penyayang. Sifat-sifat positifnya yang berubah arah menjadi negatif disebabkan
konflik batin yang tak mampu ia kendalikan untuk menentukan keputusan, kebingungan untuk
memilih mana salah atau benar, mana yang pantas atau tidak pantas untuk dilakukan. Karena
ketidakmampuan untuk mengendalikan itu lah membuat Victor menjadi depresi dan memlih
untuk mengasingkan diri dari kehidupan sesamanya.
Ibunya meninggal saat Victor berusia tujuh belas tahun yang sedang berkuliah di
Universitas Ingolstadt belajar ilmu kedokteran membawa perubahan karakter dalam diri Victor
dengan memiliki pribadi anti sosial. Victor merasa adanya kehampaan dalam dirinya, merasa
terasingkan dari lingkungan universitas, dan kesulitan untuk berkenalan dengan orang baru
ketika meninggalkan rumah beberapa hari setelah kematian, lalu muncul lah perasaan depresi
pada diri Victor. Berikut kutipannya:
“I was now alone. In the university whither I was going I must form my own
friends and be my own protectore. My life had hitherto been remarkeably
secluded and domestic, and this had given me invincible repugnance to new
countenances. I loved my brothers, Elizabeth, and Clerval; these were “old
familiar faces,” but I believed myself totally unfitted for the company of
strangers.” (Frankenstein pg. 42)
Konflik muncul kembali saat Victor berbeda pendapat dengan Professor Krempe,
pengajar di universitasnya dengan meragukan teori yang selama ini Victor sudah anut. Dari
situ ia berambisi untuk mulai mempelajari berbagai eksperimen tidak lazim yang dibantu oleh
pengajar lain yang mendukunya, Professor M. Waldman. Waldman mengajarkan ilmu-ilmu
yang tidak ia dapati dari Krempe. Ia semakin menjadi optimis dengan berani menantang
keterbatasan sains dengan kutipan sebagai berikut:
“…I was surprised that among so many men of genius who had directed their
inquiries towards the same science, that I alone should be reserved to discover
so astonishing a secret.
Remember, I am not recording the vision of a madman. The sun does not more
certainly shine in the heavens than that which I now affirm is true. Some miracle
might have produced it, yet the stages of the discovery were distinct and
probable.” (Frankenstein pg.52)
Konflik batin kembali dialami Victor ketika ia berhasil menciptakan seorang monster
namun wujud dari monsternya tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ia sangat menyesal apa yang
sudah ia perbuat dengan menolak kenyataannya itu sendiri, menarik diri dari kenyataan yang
menghancurkan ambisi dan harapan yang selama ini ia rasakan sangat perlu untuk
direalisasikan. Ada pun kutipannya sebagai berikut:
“How can I describe my emotions at this catastrophe, or how delineate the
wretch whom with such infinite pains and care I had endeavored to form?”
(Frankenstein pg. 58)
“…but now that I had finished, the beauty of the dream vanished, and breathless
horror and disgust filled my heart. Unable to endure the aspect of the being I
had created, I rushed out of the room and continued a long time traversing my
bed-chamber, unable to compose my mind to sleep.” (Frankenstein pg. 59)
“I passed the night wretchedly. Sometimes my pulse beat so quickly and hardly
that I felt the palpitation of every artery… I felt the bitterness of disappointment;
dreams that had been my food and pleasant rest for so long a space were now
become a hell to me; and the change was so rapid, the overthrow so complete!”
(Frankenstein pg. 60)
Akibat dari larinya Victor dari kenyataan yang seharusnya ia terima, ia harus rela
kenyataan pahitnya karena orang-orang yang disayanginya mati terbunuh oleh Sang Monster
ciptaannya yang merasa diabaikan dan ditinggalkan begitu saja. Konflik batin ini hadir ketika
Victor merasa apatis dan merasa bersalah lalu mengasihani dirinya sendiri, dilanjutkan pada
tahap akhir keinginan balas dendam yang ingin Victor lakukan disertai amarah dengan mencari
Sang Monster untuk mengakhiri penderitannya. Berikut kutipan-kutipannya:
“…I was seized by remorse and the sense of guilt, which hurried me away to a
hell of intense tortures such as no language can describe.” (Frankenstein pg.
93)
“…I am a blasted tree; the bolt has entered my soul; and I felt then that I should
survive to exhibit what I shall soon cease to be-a miserable spectacle of wrecked
humanity, pitiable to others and intolerable to myself.” (Frankenstein pg.165)
“Yet at the idea that the fiend should live and be triumphant, my rage and
vengeance returned, and like a mighty tide, overwhelmed every other feeling.
After a slight repose, during which the spirits of the dead hovered round and
instigated me to toil and revenge, I prepared for my journey.” (Frankenstein
pg. 195)

D. Byronic Hero dalam Penokohan Sang Monster


Penokohan dan peran Sang Monster diceritakan khusus dalam novel yang dimulai dari
bagian tengah cerita hingga akhir cerita. Di awal penceritaannya Sang Monster mengalami
kesulitan beradaptasi untuk mendapatkan makanan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
karena kesendiriannya tanpa ada bimbingan siapapun, namun ia kemudian menjadi terbiasa
seiring keingintahuannya yang tinggi dengan mempelajari hal-hal yang bisa membantunya
bertahan hidup.
Konflik batin Sang Monster dimulai saat ia mencoba berpindah tempat dari hutan
kemudian ingin melihat suasana permukiman desa. Ia merasa gembira saat melihat
pemandangan permukiman desa yang belum pernah lihat sebelumnya. Perasaan positif yang
timbul seperti senang, kagum, dan takjud tiba-tiba berubah menjadi rasa takut dan kecewa yang
ia dapatkan dari masyarakat desa karena melihat wujudnya yang buruk dengan melakukan
serangan untuk menyakiti Sang Monster. Berikut kutipannya:
“How miraculous did this appear! The huts, the neater cottages, and stately
houses engaged my admiration by turns. The vegetables in the gardens, the milk
and cheese that I saw placed at the windows of some of the cottages, allured
my appetite. One of the best of these I entered, but I had hardly placed my foot
within the door before the children shrieked, and one of the women fainted. The
whole village was roused; some fled, some attacked me, until, grievously
bruised by stones and many other kinds of missile weapons, I escaped to the
open country and fearfully took refuge in a low hovel,…” (Frankenstein pg.
123)
Konflik batin kembali muncul saat keinginan Sang Monster tidak jadi diwujudkan oleh
Victor untuk membuat makhluk yang serupa dengannya. Ia semakin merasakan kebencian
yang amat sangat karena tidak diizinkan untuk merasakan cinta dan kasih sayang sedikit pun.
Sang Monster merasa harapannya dihancurkan begitu saja, rasa benci dan kecewa semakin
tumbuh dalam dirinya. Berikut kutipannya:
“The wretch saw me destroy the creature on whose future existence he
depended for happiness, and with a howl of devilish despair and revenge,
withdrew.” (Frankenstein pg. 203)
“…“You have destroyed the work which you began; what is it that you intend?
Do you dare to break your promise? I have endured toil and misery; I left
Switzerland with you; I crept along the shores of the Rhine, among its willow
islands and over the summits of its hills. I have dwelt many months in the heaths
of England and among the deserts of Scotland. I have endured incalculable
fatigue, and cold, and hunger; do you dare destroy my hopes?”” (Frankenstein
pg. 204-205)
Perasaan benci dan balas dendam bercampur keputusasaan dimiliki Sang Monster
menanyakan tujuan untuk apa ia diciptakan jika hanya untuk merasakan perlakuan tidak adil
secara terus-menerus. Berikut kutipannya:
“Cursed, cursed creator! Why did I live? Why, in that instant, did I not
extinguish the spark of existence which you had so wantonly bestowed? I know
not; despair had not yet taken possession of me; my feelings were those of rage
and revenge. I could with pleasure have destroyed the cottage and its
inhabitants and have glutted myself with their shrieks and misery.”
(Frankenstein pg. 162)
Konflik batin selanjutnya berbeda dari yang sudah dijelaskan. Sang Monster merasakan
kesedihan yang sangat mendalam namun tidak disertai emosi negatif seperti rasa benci mau
pun balas dendam. Perasaan itu muncul saat ia melihat Victor yang sudah dalam keadaan tidak
bernyawa karena mengejarnya untuk sama-sama melakukan balas dendam. Sang Monster
seolah mengalami kehancuran dalam hatinya melihat jasad Victor yang sudah terbujur kaku
karena sebenarnya bukan ini yang diinginkan olehnya. Ia merasa menyesal telah merebut
kebahagiaan Victor yang penderitaannya tidak seberapa dibanding miliknya. Saat itu ia
menyadari ia benar-benar sendiri dan sebatang kara. Ada pun kutipan dari penjelasan tersebut:
“But now crime has degraded me beneath the meanest animal. No guilt, no
mischief, no malignity, no misery, can be found comparable to mine. When I
run over the frightful catalogue of my sins, I cannot believe that I am the same
creature whose thoughts were once filled with sublime and transcendent visions
of the beauty and the majesty of goodness. But it is even so; the fallen angel
becomes a malignant devil. Yet even that enemy of God and man had friends
and associates in his desolation; I am alone.” (Frankenstein pg. 274)
“…They were forever ardent and craving; still I desired love and fellowship,
and I was still spurned. Was there no injustice in this? Am I to be thought the
only criminal, when all humankind sinned against me?...” (Frankenstein pg.
275)

E. Kesimpulan
Konsep Byronic Hero sangat membantu untuk menganalisis perubahan emosi dan
karakter yang dialami setiap tokoh. Bisa memperoleh kesamaan yang ada dalam para tokoh
untuk melampiaskan perubahan emosi dan karakternya lewat tindakan yang mereka lakukan
seperti Victor yang ingin melakukan balas dendam kepada Sang Monster karena telah
membuat anggota keluarga dan sahabatnya, begitu pun Sang Monster yang tak kuat menahan
amarahnya karena ia dibenci oleh umat manusia dan Victor tidak ingin menciptakan makhluk
yang serupa dengan Sang Monster.
Hal yang membedakan dari kedua tokoh ini adalah jika Victor yang sampai akhir
hayatnya tetap ingin melakukan balas dendam terhadap Sang Monster dengan tujuan utama
membunuhnya, beda lagi dengan Sang Monster sendiri. Sang Monster seolah kembali ke
karakternya sebelumnya, seolah menjadi “jinak” kembali setelah melihat Victor yang sudah
tak bernyawa karena ia menyadari bahwa kali ini ia benar-benar sebatang kara dan di akhir
cerita Sang Monster mengatakan akan pergi sejauh-jauhnya dan membakar diri untuk
menyusul Victor.
DAFTAR PUSTAKA
Pranachitra, Bima. 2010. “Representasi Byronic Hero dalam Novel Mary Shelley Frankenstein
Karya Mary Shelley”. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wollstonecraft Shelley, Marry. 1818. Frankenstein.

Anda mungkin juga menyukai