Anda di halaman 1dari 16

MAHKAMAH AGUNG

Makalah Tentang

Peninjauan Kembali Sekali

Dan Peninjauan Kembali Berkali -Kali

Disusun oleh:

Andreas Wahyu Kurniawan / 150512021

Mariella Miliarto Triyani / 150512009

Monica Anggi Tyas K. / 150512017

C. Tyas Nurlita Anggraeni / 150512025

Elisabeth Dian Ningtyas / 150512045

Nola Kardila / 150512048

Venny Kosasih / 150512059

UNIVERSITAS ATMA JAYA

YOGYAKARTA

2017
A. LATAR BELAKANG

Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana


dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang salah
satu tugasnya merupakan concern dari pembahasan ini adalah terkait tugas Peninjauan Kembali
yang dilakukan Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali sendiri merupakan upaya hukum luar
biasa bagi seseorang terpidana untuk memohonkan peninjauan ulang atas putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan final. Mengenai peninjauan kembali ini, diatur dalam Pasal 263
KUHAP, Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan pada Pasal 52 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum & Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia juga
dapat mengatur lebih lanjut terkait hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan keadilan,
yang apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang Mahkamah Agung.
Dalam hal ini Mahkamah Agung dapat membuat pengaturan ataupun ketentuan sendiri yang
tentunya terdapat korelasi dengan penyelenggaraan keadilan, selama lingkupnya masih dalam
batasan Undang-undang tentang Mahkamah Agung. Salah satunya adalah kewenangan
Mahkamah Agung dalam membuat Surat Edaran Mahkamah Agung yang merupakan suatu
bentuk pengaturan terkait pelaksaanan keadilan. SEMA ini merupakan bentuk edaran dari
pimpinan Mahkamah Agung kepada seluruh jajaran peradilan yang bersifat administratif. SEMA
yang merupakan produk Mahkamah Agung tersebut terkait dengan pelaksanaan Peninjauan
Kembali tersebut dikeluarkan dua kali, yakni SEMA Nomor 10 Tahun 2009 dan SEMA Nomor 7
Tahun 2014. Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA tersebut dengan tujuan agar terciptanya
dan terlaksananya asas kepastian hukum dan asas bahwa setiap perkara harus ada akhirnya.
Pada SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali, Mahkamah
Agung (MA) menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari 1 kali, yakni berdasarkan poin nomor 2
(SEMA Nomor 10 Tahun 2009), dikatakan bahwa PK dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali
hanya dengan alasan apabila terhadap suatu objek yang sama, terdapat 2 (dua) putusan PK yang
saling bertentangan, hal ini merupakan salah satu bentuk pengecualian (eksepsional) dalam
Peninjauam Kembali yang dilakukan dan disepakati Mahkamah Agung. Sedangkan pada SEMA
Nomor 7 Tahun 2014, menyatakan bahwa Mahkamah Agung memberikan permohonan
peninjauan kembali dalam perkara pidana yang dibatasi hanya 1 (satu) kali. Yang dalam hal
terkait penyelenggaraan proses peradilan, Mahkamah Agung lebih menitik beratkan ataupun
dapat dikatakan lebih mengutamakan penegakkan kepastian hukum dibanding dengan keadilan,
yang dapat dilihat dari batasan jumlah pemberlakuan Peninjauan Kembali (PK).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa sajakah tugas dan kewenangan Mahkamah Agung terkait dengan proses
peradilan?
2. Bagaimana kedudukan Surat Edaran MA dan Putusan MK?
3. Apa sajakah keuntungan dan kerugian peninjauan kembali (PK) yang dilakukan
sekali dan peninjauan kembali (PK) yang dilakukan berkali-kali?

C. PEMBAHASAN

Tugas dan wewenang Mahkamah Agung terkait jalannya Proses Peradilan

Tugas Mahkamah Agung terkait kasasi. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi,


Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman
dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar
semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara Republik Indonesia
diterapkan secara adil, tepat dan benar. Hal ini menjelaskan bahwa putusan pengadilan
ditingkat banding dalam lingkungan peradilan umum dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak yang berkepentingan dengan cara yang diatur dalam
undang-undang.

Tugas Peninjauan Kembali merupakan tugas Mahkamah Agung yang diatur


dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 13 tahun 1965
tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilam Umum & Mahkamah Agung, dalam
tugas ini Mahkamah Agung bertugas meninjau kembali atas hasil putusan dari pengadilan
yang memiliki kekuatan hukum yang tetap yang dapat diajukan oleh pihak yang memiliki
kepentingan.

Kemudian tugas Memutuskan Sengketa yang diatur dalam pasal 46 ayat 3


Undang-undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilam
Umum & Mahkamah Agung. Adanya tugas ini menyebabkan Mahkamah Agung menjadi
tempat memutus perkara dengan melakukan aju banding.

Selain itu untuk tugas menguji Peraturan Perundang-undangan (Judicial Review)


yang tingkatannya berada di bawah undang-undang diatur dalam pasal 26 Undang-
undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Berdasarkan pasal tersebut Mahkamah Agung berhak menguji peraturan
yang lebih rendah dari Undang-undang terhadap sah atau tidaknya suatu perkara Undang-
undang yang lebih tinggi dilakukan dengan jalan putusan kasasi oleh Mahkamah Agung.

Kemudian berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24A ayat (1),


Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.

KEDUDUKAN SEMA DAN PUTUSAN MK

Putusan MK pada dasarnya bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Namun,


sifat dari putusan MK adalah mengubah undang-undang, jelas diterangkan hierarki peratutan
perundang undangan dalam Pasal 7 ayat (1) angka 3 UU No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Apabila ada putusan MK yang membatalkan suatu
pasal, atau kata, atau frasa, dalam satu undang-undang, atau satu undang-undang tersebut
dibatalkan, maka dengan sendirinya putusan MK tersebut mengubah undang-undang tersebut.
Dalam pasal 10 ayat (1) huruf a UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi disebutkan
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”
Sedangkan disisi lain, Jelas dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2), pada intinya, menyatakan bahwa
peraturan yang salah satunya dikeluarkan oleh Mahkamah Agung diakui keberadaannya dan
memiliki hukum mengikat selama diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Apabila kita melihat kepada pasal 79 UU 14/1985 jo. UU 5/2004 jo. UU 3/2009 tentang
Mahkamah Agung, maka disebutkan bahwa: “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut
hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang
belum cukup diatur dalam Undang-undang ini” dimana penjelasannya berbunyi: “Apabila dalam
jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah
Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan
pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-
undang ini”. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan
dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan
yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara
keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui
pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur
sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian.

Hubungan antara Undang-Undang dan SEMA sebenarnya tidak dijelaskan hierarki nya,
karena dalam pasal 7 ayat (1) UU 12 tahun 2011 hanya memasukkan UUD NRI 1945, Tap MPR,
UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hierarki nya, sedangkan SEMA dan peraturan
lainnya seperti yang diterbitkan BI, BPK, dan lain sebagainya, disebut diakui keberadaannya dan
mengikat dengan syarat seperti yang telah dijelaskan di atas, tanpa dijelaskan hierarki nya
dimana. Namun, dalam praktik ketatanegaraan SEMA dan peraturan-peraturan lainnya tersebut
secara hierarki diletakkan dibawah UUD NRI 1945, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi, dan Peraturan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sehingga, berdasarkan hal-hal ini dapat dikatakan bahwa
aturan dalam putusan MK, secara sifat, lebih tinggi dari SEMA yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung.

Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal sebuah lex superior derogat inferior, yang
artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan,
mengesampingkan, dan membatalkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah jika
mengatur hal yang sama. Dengan berkaca kepada teori ini, dan melihat secara sifat bahwa
SEMA, secara hierarkis berada di bawah undang-undang yang diubah dengan putusan MK, maka
sangat jelas bahwa, pada dasarnya, SEMA tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
yang telah diubah dengan putusan MK, atau dengan kata lain, SEMA tidak boleh bertentangan
dengan putusan MK.

PENINJAUAN KEMBALI SATU KALI


Berdasarkan Undang-undang no 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP Pasal 268 ayat (3) dikatakan bahwa,
“Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali”. Ketentuan
di atas juga dipertegas dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebut bahwa putusan PK tidak dapat diajukan PK
kembali. Kemudian dalam Undang-undang Nomorr 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1) yang menyatakan Peninjauan
Kembali hanya dapat dilajukan 1 kali. Yang kemudian dikukuhkan kembali dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan
Kembali dalam Perkara Pidana, yang sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah
Konstitusi terkait Peninjauan Kembali (PK) dapat dilakukan lebih dari satu kali. Kewenanan
Mahkamah Agung terkait pembentukan SEMA ini, adalah kewenangan atribusi atau
kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang. Berdasarkan pasal 79 UU No.14/1985 jo.
UU No. 5/2004 jo. UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung, maka disebutkan bahwa:
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur
dalam Undang-undang ini” dimana penjelasannya berbunyi:
Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum
dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap
untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah
Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang
belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan
dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan
peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum
acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri
dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan
tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun
pembagian beban pembuktian. Pada konteks ini, memang antara Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi terdapat benturan terkait pelaksanaan Peninjauan Kembali.
Pengukuhan Mahkamah Agung terkait dengan pelaksanaan Peninjauan Kembali
yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 7 Tahun 2014
tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, dimana
SEMA ini, dalam poin nomor 3, mempertegas kembali aturan mengenai pengajuan
permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana yang hanya dapat dilakukan
1 (satu) kali. Meski demikian, Mahkamah Agung (MA) mengakui PK dapat dilakukan
lebih dari 1 kali, yakni berdasarkan poin nomor 2, PK dapat dilakukan lebih dari 1 (satu)
kali hanya dengan alasan apabila terhadap suatu objek yang sama, terdapat 2 (dua)
putusan PK yang bertentangan, sesuai dengan SEMA RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali.
SEMA ini pada dasarnya, lahir sebagai tanggapan atas putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014, yang menyatakan
ketentuan pasal 268 ayat (3) KUHAP (yang mengatur tentang PK hanya dapat dilakukan
1 kali) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, sehingga dengan putusan MK ini, PK dalam perkara pidana dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali, tanpa batasan. Dalam pertimbangan poin nomor 1 dan 2 SEMA
7/2014 dinyatakan bahwa MK hanya menghapus ketentuan PK dalam pasal 268 (3)
KUHAP, dan tidak menghapus ketentuan PK di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung. Yang dilatarbelakangi oleh kasus Mantan ketua KPK yakni Antasari.
Antasari Azhar, dalam hal terkait dengan Peninjauan Kembali (PK) hanya
meminta supaya diperbolehkannya PK diajukan lebih dari 1 kali, hanya untuk alasan
yang terdapat dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, yaitu terdapat keadaan baru
(novum). Namun, MK ternyata menghapuskan pasal 268 ayat (3) KUHAP secara
keseluruhan, sehingga bukan hanya terkait novum yang dapat diajukan PK lebih dari satu
kali, namun juga 2 syarat lain, yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf b dan c
KUHAP, yaitu terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau
keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
telah bertentangan satu dengan yang lain; dan apabila putusan itu dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 263 ayat
(2) KUHAP). Sehingga, dapat dilihat, MK dalam perkara ini memutus melebihi yang
dimintakan oleh pemohon, atau yang biasa disebut ultra petita.

Terkait dengan Peninjauan Kembali (PK) yang hanya dilakukan 1 kali, sesuai
dengan yang ada pada ketentuan KUHAP, Undang-undang tentang Kekuasaaan
Kehakiman serta Undang-undang tentang Mahkamah Agung, memiliki keuntungan antara
lain:
a. Sebagai panduan bagi para hakim untuk mempertimbangkan serta memutus suatu
perkara.
Yang dalam hal terkait Peninjauan Kembali (PK) sekali, tidak menimbulkan kerancuan
serta keragu-raguan terkait penjatuhan putusan maupun eksekusi putusan tersebut.
b. Meminimalizir penumpukan perkara pada Mahkamah Agung.
Terpidana yang pernah ditolak PK-nya tentu tidak lagi dapat mengajukan kembali
(Peninjauan Kembali), baik dengan alasan yang sama maupun berbeda. Selain itu juga
dikarenakan adanya asumsi bahwa terpidana akan selalu menggunakan upaya hukum
yang tersedia, merupakan faktor peningkatan penumpukan perkara pada MA.
c. Memberikan kepastian hukum.
Hal ini terkait dengan eksekusi suatu putusan.
d. Asas perkara cepat, sederhana dan biaya murah.
Dengan peninjauan kembali yang dilakukan hanya sekali maka sesuai dengan asas yang
terdapat dalam KUHAP atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apabila Peninjauan
Kembali dilakukan hanya sekali. Maka terkait proses peradilannya jauh lebih sederhana.

Sedangkan kerugian dari Peninjauan Kembali yang dilakukan sekali meliputi :


a. Tidak memberikan kesempatan ditemukannya novum baru.
Dalam hal Peninjaun Kembali hanya dilakukan satu kali maka akan menutup
kemungkinan terkait dengan ilmu bantu (mengungkap kebenaran materiil) yang dapat
dijadikan dasar untuk mengubah hukuman ataupun putusan terhadap seseorang, dari yang
bersalah menjadi tidak bersalah ataupun sebaliknya.
b. Hak asasi terpidana tertinggalkan / keadilan terpidana dikesampingkan.
Dalam hal ini akan menutup kesempatan bagi terpidana untuk membuktikan dirinya tidak
bersalah ( jika dalam putusan kasasi dirinya dinyatakan bersalah). Hal ini maka berakibat
pada tidak adanya kemungkinan bagi terpidana untuk mendapatkan status bahwa apabila
ternyata terpidana tidak bersalah, serta menutup kemungkinan adanya asas remedi dan
rehabilitasi yang terdapat dalam hukum acara pidana, apabila memang terbukti tidak
bersalah.
c. Menyimpang dari hak asasi orang yang mencari keadilan.
Dalam hukum acara pidana, terkait dengan beban pembuktian secara prinsipil memang
tidak dibebankan kepada terdakwa (dalam hal ini terpidana). Namun terdakwa (dalam hal
ini terpidana) tetap mempunyai hak untuk membuktikan sesuatu (dalam hal ini novum)
yang tidak ditemukan pada saat proses peradilan berlangsung sampai adanya putusan
kasasi, yakni ditemukan setelah adanya putusan kasasi, hal ini bertalian untuk
meringankan putusan maupun merubah putusan yang bersangkutan.

Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali (Berkali-kali)


Untuk Peninjauan Kembali yang dilakukan lebih dari 1 kali (berkali-kali)
pengaturannya didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
Tanggal 6 Maret Tahun 2014. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini maka
Peninjauan Kembali dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari 1 kali (berkali-kali)
tanpa batasan.
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini hanya mengesampingkan (dalam hal ini
membatalkan serta mengalahkan) ketentuan Peninjauan Kembali yang ada pada Pasal
268 ayat (3) KUHAP.
Adapun yang menjadi alasan bagi MK untuk membatalkan Pasal 268 ayat (3)
KUHAP) antara lain :
1. Dengan dalih keadilan, MK membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang
membatasi pengajuan PK hanya satu kali.
2. MK berpendapat upaya hukum luar biasa PK secara historis-filosofis merupakan
upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana.
3. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran
materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang
membatasi upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin
saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang
substansial baru ditemukan saat PK sebelumnya belum ditemukan.
4. Syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau
syarat yang sangat mendasar terkait kebenaran dan keadilan dalam proses
peradilan pidana seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
5. PK sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam
kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. MK
menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun,
tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia
yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum.
Keuntungan dari peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali diantaranya:
a. Membuka peluang terungkapnya kebenaran materiil
Melalui adanya peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari 1 kali maka dapat
membuka terungkapnya kebenaran materiil dalam artian dapat memberikan keadilan
hukum bagi terpidana. Kebenaran materiil ini dibuktikan melalui ditemukannya novum
(bukti baru) yang dalam proses peradilan yakni hingga putusan kasasi tidak ditemukan.
b. Pulihnya hak-hak orang yang sebenarnya tidak bersalah
Peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari 1 kali, dapat membuka kemungkinan untuk
memulihkan nama baik orang yang tidak bersalah (dalam hal ini semula diputus
bersalah), karena ada Peninjauan Kembali lebih dari 1 kali, maka memungkinkan adanya
pemulihan nama baik yakni baik berupa pemberian ganti rugi (remidi) ataupun
rehabilitasi
c. Menegakkan keadilan
Keadilan merupakan kebutuhan mendasar, yang secara prinsipil jika dikaji berdasarkan
landasan Hak Asasi Manusia, maka dalam hal ini bobotnya jauh lebih penting
dibandingkan dengan kepentingan hukum, sehingga dengan demikian diperlukan adanya
peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari 1 kali.
d. Melindungi kepentingan terdakwa
Kepentingan terdakwa terkait peninjauan kembali yang dapat dilakukan lebih dari 1 kali
terlindungi dan dijamin oleh ketentuan hukum, dalam hal ini berdasar pada Putusan
Mahkamah Konstitusi.
e. Membuka kesempatan untuk ditemukannya novum
Novum merupakan bukti baru yang ditemukan setelah dilakukannya proses peradilan,
yakni setelah adanya putusan pada pengadilan tingkat kasasi.

Adapun kerugian dari peninjauan kembali lebih dari satu kali diantaranya:
a. Penumpukan perkara di Mahkamah Agung
Melalui adanya peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari satu kali dapat menambah
penumpukan perkara di Mahkamah Agung karena menyebabkan terjadinya penambahan
arus perkara, terkait dengan adanya asumsi, bahwa terdakwa (dalam hal ini terpidana)
akan menempuh segala upaya terkait supaya hukuman yang dijatuhkan pada terpidana
yang bersangkutan yang harapannya dapat lebih ringan, namun tidak selalu demikian.
b. Menghilangkan kepastian hukum
Peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari sekali ini mengesampingkan segi kepastian
hukum, dikarenakan jauh lebih condong pada keadilan, karena kepastian hukum dengan
keadilan merupakan dua kutub yang saling bertolak belakang, dan sulit untuk
diselaraskan, hal ini terkait dengan status terpidana, apakah bersalah ataupun tidak, masih
menjadi perdebatan karena adanya proses peninjauan kembali yang lebih dari satu kali
ini.
c. Tidak sesuai dengan asas hukum peradilan cepat, sederhana dan biaya murah.
Peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari sekali tidak sesuai dengan asas tersebut
karena suatu persidangan seharusnya dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya
ringan, hal ini bertalian dengan apabila peninjauan kembali dilakukan lebih dari satu kali,
maka prosesnya jauh lebih panjang dan kompleks, hal ini tentu saja mengeluarkan biaya
yang lebih, ketimbang peninjauan kembali hanya dilakukan sekali.
d. Membuat eksekutor ragu untuk mengeksekusi
Hal ini dikarenakan, dengan adanya peninjauan kembali yang dilakukan lebih dari satu
kali akan membuka kemungkinan bahwa terpidana yang diputus berdasarkan putusan PK
sebelumnya bisa saja sebenarnya tidak bersalah begitupun sebaliknya.

D. Penutup

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari tugas dan wewenang Mahkamah Agung yaitu
tugas kasasi, tugas peninjauan kembali, tugas memutuskan sengketa, dan tugas menguji
sedangkan kewenangan dari Mahkamah Agung adalah kewenangan mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
terhadap Undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
Undang-undang.

Peninjauan kembali satu kali berdasarkan Undang-undang no 8 Tahun 1981


tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP
Pasal 268 ayat (3) dikatakan bahwa, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan
hanya dapat dilakukan satu kali”. Ketentuan di atas juga dipertegas dalam Pasal 24 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU
Kekuasaan Kehakiman”).
Keuntungan dari peninjauan kembali satu kali adalah menjadi panduan bagi para
hakim, meminimalisir penumpukan perkara, memberikan kepastian hukum, perkara
menjadi cepat, sederhana, dan biaya murah. Kekurangan dari peninjauan kembali satu
kali adalah tidak memberikan kesempatan terkuakmya novum baru, membuat hak asasi
tertinggalkan, menyimpang dari hak asasi orang yang mencari keadilan, membuat
keadilan terdakwa dikesampingkan, menutup kemungkinan untuk terpidana mendapatkan
status tidak bersalah.

Peninjauan kembali lebih dari satu kali pengaturannya didasarkan pada putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tanggal 6 Maret Tahun 2014. Dengan
putusan Mahkamah Konstitusi ini maka Peninjauan Kembali dalam perkara pidana dapat
dilakukan lebih dari 1 kali (berkali-kali) tanpa batasan. Mahkamah Konstitusi dalam hal
ini hanya menghapus ketentuan Peninjauan Kembali dalam pasal 268 ayat (3) KUHAP.
Keuntungan peninjauan kembali lebih dari satu kali adalah membuka peluang
terungkapnya kebenaran materiil, pulihnya hak-hak orang yang sebenarnya tidak
bersalah, menegakkan keadilan bagi terdakwa, melindungi kepentingan terdakwa,
menyatukan putusan pada perkara yang obyeknya sama tetapi diputus berbeda, membuka
kesempatan untuk ditemukannya novum. Sementara itu, kerugian dari peninjauan
kembali lebih dari sekali yaitu menambah tumpukan perkara di Mahkamah Agung,
menghilangkan kepastian hukum, tidak sesuai dengan asas hukum Contente Justice and
Fair Trial (cepat, sederhana, ringan), menimbulkan ketidakpastian hukum atas terpidana
dan membuat eksekutor ragu mengeksekusi.

SARAN
Dalam kasus ini, yang menjadi titik perhatian adalah bagaimana menegakan
keadilan atau kepastian hukum dalam waktu yang bersamaan. Menurut kelompok kami,
keadilan dan kepastian hukum adalah dua hal yang berlawanan satu sama lain, jika
keadilan di tegakan, maka kepastian hukumnya tidak tercapai, begitu juga jika kepastian
hukumnya tercapai, keadilannya tidak dapat terpenuhi. PK satu kali menitik beratkan
pada kepastian hukum, dan PK lebih dari sekali menitik beratkan pada mengejar
keadilan.
Menurut kelompok kami peninjauan kembali boleh dilakukan lebih dari satu kali
tetapi tetap harus ada batasannya. Batasan yang tepat terhadap peninjauan kembali
tersebut hanya sebanyak 2 kali (dua kali) dan tidak lebih dari itu. Hal itu berdasarkan
pada keuntungan yang dimiliki peninjauan kembali yang lebih dari sekali dan kekurangan
yang dimiliki peninjauan kembali satu kali. Batasan tersebut juga berdasarkan pada
SEMA Nomor 10 tahun 2009.
E. Daftar Pustaka
Undang-undang Dasar 1945

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2009

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2014

Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, halaman 10-11.

Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan


MK”, http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-
gagasan-pembentukan-mk/, diakses pada hari Kamis, 22 Januari 2015, pukul 16.00 WIB.

“MA Dinilai Membangkangi Konstitusi”, http://www.koran-


sindo.com/read/946663/149/ma-dinilai-membangkangi-konstitusi-1420520533, diakses
pada Selasa, 6 Januari 2015, pukul 12.00 WIB.

http://icjr.or.id/berdasarkan-tiga-putusan-mahkamah-konstitusi-mahkamah-agung-
harus-segera-mencabut-sema-no-7-tahun-2014/

http://www.edukasippkn.com/2015/09/tugas-dan-wewenang-ma-mahkamah-agung.html

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170125130329-12-188837/antasari-
akanajukan-peninjauan-kembali-dan-bongkar-rekaman/

http://nasional.kompas.com/read/2016/11/10/05300091/antasari.azhar.bebas.bersyarat.i
ni.perjalanan.kasusnya

http://news.okezone.com/read/2014/03/06/339/950979/gugatan-dikabulkan-antasari-
menangis

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk-produk-hukum-
ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma)

http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/prosedur-berperkara/prosedur-peninjauan-
kembali
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt54ae37fc15e14/menguji-efektivitas-sema-nomor-
7-tahun-2014-broleh--albert-aries-sh--mh-

https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi

Anda mungkin juga menyukai