Anda di halaman 1dari 106

Tasya Valiana Bambang

Halaman 3-12
Bab 1
Kematian karena Hipotermia
Penemuan Morfologis, Patogenesis, dan Nilai
Diagnostiknya

Burkhard Madea, Michael Tsokos, dan Johanna Preuß

Daftar Isi

1.1 Pendahuluan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.2 Temuan Epidemiologi dan Adegan Kematian . . . .. . . . . . . . . . . . . . 7
1.3 Temuan Morfologis pada Fatalitas Karena Hipotermia . . . . . . . . . . 7
1.3.1 Darah Berwarna Merah Terang dan Kepucatan . . . . . . . . . . . 8
1.3.2 Perubahan Kulit. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
1.3.3 Bintik Perdarahan pada Mukosa Lambung.. . . . . . . . . . . . . . 11
1.3.4 Lesi Gatrointestinal Lain……. . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . 12
1.3.5 Perubahan Pankreas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . 13
1.3.6 Perdarahan ke Dalam Otot Inti Tubuh…... . . . . .. . . . . . . . . . 14
1.3.7 Akumulasi Lemak… . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . 15
1.3.8 Kelenjar Endokrin . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ….. . . . . . . . . . 17
1.4 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . 18
Referensi .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . 18

Abstrak Penemuan morfologis pada fatalitas karena hipotermia bermacam-


macam dan tidak spesifik. Jika penurunan suhu tubuh berlangsung cepat dan
durasi proses pendinginan hingga kematian pendek, penemuan pada otopsi
akan sulit ditemukan atau bahkan benar-benar hilang. Penemuan morfologis
tipikal pada hipotermia terdiri dari eritema beku, erosi lambung hemoragik,
dan akumulasi lipid dalam sel epitel tubulus proksimal ginjal dan organ
lainnya. Walaupun sifatnya tidak spesifik sebagai temuan eksklusif, temuan
tersebut memiliki nilai diagnostik tinggi mengenai keadaan kasus.
Mekanisme patogenetik utama dari perubahan morfologis karena hipotermia
adalah gangguan mikrosirkulasi, perubahan reologi, stres dingin, dan
hipoksidosis. Temuan morfologis yang khas dapat ditemukan pada dua
pertiga dari semua kasus.

Kata kunci Hipotermia Bercak Wischnewsky Eritema beku Temuan


morfologis Patogenesis

B. Madea
Institute Kedokteran Forensik, Rheinische Friedrich-Wilhelms-Universitas
Bonn,
Bonn, Jerman
e-mail: b.madea@uni-bonn.de
1.1 Pendahuluan

Dingin adalah bahaya umum bagi manusia tetapi sering diremehkan [1,
2, 3, 4]. Hipotermia dapat terjadi tidak hanya pada suhu sekitar 0̊ C atau lebih
rendah tetapi juga pada suhu di atas 10̊ C. Hipotermia didefinisikan sebagai
suhu inti tubuh di bawah 35̊ C. Pada organisme homeotermik, suhu tubuh
normal dipertahankan pada kisaran suhu lingkungan yang jauh lebih besar
daripada yang disebut suhu indifferent [5] (Gbr. 1.1). Istilah suhu indifferent
mengacu pada suhu sekitar di mana laju metabolisme dasar cukup untuk
mempertahankan suhu tubuh normal. Ketika suhu tubuh menurun,
perpindahan panas diturunkan oleh vasokonstriksi dan piloereksi sebagai
mekanisme pengaturan pertama. Secara bersamaan, produksi panas
meningkat dengan menggigil dan termogenesis kimia [5].
Jika mekanisme counterregulation ini tidak cukup, suhu tubuh akan
menurun. Berapa lama suhu tubuh normal dapat dipertahankan atau tidak
cukupnya mekanisme counterregulation terutama tergantung pada hasil bagi
antara perpindahan panas dan produksi panas. Perpindahan panas ke media
sekitarnya berbanding lurus dengan perbedaan antara suhu tubuh dan suhu
lingkungan: semakin tinggi perbedaan, semakin tinggi perbedaannya,
semakin cepat penurunan suhu tubuh. Namun, penurunan suhu tubuh
melambat saat mendekati suhu sekitar.

Gambar 1.1 Hubungan antara


suhu tubuh, pertukaran energi
dan suhu lingkungan sekitar
pada organisme homeotermik.
Suhu tubuh normal dapat
dipertahankan pada rentang
yang jauh lebih luas daripada
indifferent karena mekanisme
counterregulation seperti
vasokonstriksi, pilaereksi, dan
thermogenesis kimia
(dimodifikasi sesuai dengan
[73])
Kecepatan penurunan suhu tubuh tergantung pada luas permukaan
medium dan panas yang disimpan. Semakin besar permukaan tubuh, semakin
cepat pendinginan tubuh. Karena rasio permukaan dibandingkan volume
semakin besar dengan meningkatnya tinggi badan, penurunan suhu tubuh
pada anak-anak kecil lebih cepat daripada orang dewasa.
Selain itu, kecepatan pendinginan bergantung pada adanya perpindahan
panas secara konduksi atau konveksi, misalnya di dalam air. Dalam
hipotermia yang terjadi di dalam air, kehilangan panas tubuh sekitar tiga kali
lebih cepat daripada paparan suhu yang sama di udara dingin kering [3, 4].
Memahami patofisiologi hipotermia tersebut juga penting untuk
memahami temuan morfologis yang didapat pada kematian akibat
hipotermia. Jika pendinginan tubuh sangat cepat dan durasi proses
pendinginan hingga kematian singkat, temuan otopsi karena hipotermia dapat
menjadi sulit ditemukan atau bahkan sama sekali tidak ada, terutama dalam
kasus hipotermia di dalam air [2, 3, 4, 6, 7, 8 , 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16,
17, 18]. Namun, data durasi paparan dingin sebelum kematian, yang tentu
saja berkorelasi positif dengan suhu sekitarnya, jarang dapat ditemukan
dalam literatur. Pada hipotermia imersi dengan suhu air sekitar 5̊ C, kematian
terjadi setelah sekitar 1 jam [4, 15, 19].
Untuk suhu lingkungan kering, Hirvonen [20] telah menerbitkan
pengalamannya mengenai durasi paparan. Perkiraan durasi paparan berkisar
antara sekitar 1,5 jam pada –30̊ C hingga 12 jam pada suhu 5̊ C; pada
kebanyakan kasusnya, diperkirakan durasi paparan berkisar antara 3 hingga 6
jam pada suhu -10̊ C. Biasanya, kematian terjadi pada suhu inti tubuh sekitar
25̊ C [4, 15, 19]. Namun, pada suhu yang lebih rendah dapat bertahan,
terutama ketika pendinginan tubuh berlangsung cepat [15]. Penyebab akhir
kematian adalah fibrilasi ventrikel atau asistol [5, 19]. Asfiksasi internal atau
hipoksia akibat pergeseran kiri kurva oksigen-hemoglobin-disosiasi,
kegagalan enzim, dan disregulasi elektrolit dapat berkontribusi pada
penyebab akhir kematian. Menurut percobaan pada hewan, fibrilasi ventrikel
tampaknya lebih dominan dibandingkan dengan asistol.
Untuk tujuan didaktis, beberapa fase hipotermia dibedakan, dimulai
dengan fase eksitasi dan diikuti oleh fase adinamik, fase paralitik, dan fase
kematian yang tampak jelas (Tabel 1.1). Meskipun suhu inti tubuh diberikan
untuk fase yang berbeda ini, harus diingat bahwa gambaran klinis pada suhu
tubuh tertentu dapat sangat bervariasi [3, 4, 21]. Fase klinis terutama ditandai
oleh perubahan fungsional, misalnya, pada otot akibat menggigil hingga
menurunnya tonus otot hingga peningkatan rigiditas muskular, dalam sistem
kardiovaskular dari takikardia hingga sinus bradikardia menjadi bradaritmia,
dan dalam sistem paru dari hiperventilasi hingga depresi nafas dan bradipneu.
Perubahan hemodinamik dan reologis pada hipotermia sangat penting
untuk perkembangan perubahan morfologis, yang terutama berlaku untuk
peningkatan resistensi akibat vasokonstriksi dan peningkatan viskositas darah
[22, 23, 24].

Fase 1 Phase 2 Phase 3 Phase 4


36–33̊ C 33–308C 30–278C Below 278C
Sistem Penurunan tonus Peningkatan rigiditas Penurunan fungsi vital
Otot Menggigil otot otot lebih lanjut atau henti
Jantung karena fibrilasi
Ventrikel atau asistol

Jantung Takikardia Sinus bradikardia Bradiaritmia


Menurunnya perfusi Peningkatan Peningkatan resistensi
Sistem permukaan resistensi karena
karena peningkatan viskositas
sirkulasi tubuh vasokonstriksi darah

Depresi napas Bradipneu, apnoic Berhentinya napas,


Ventilasi Stimulasi pernapasan, sentral pause; apneu
Hiperventilasi Turunnya compliance
Meningkatnya Tidak sadar, hilangnya
Sistem kewaspadaan, Disorientasi, apatis; refleks
Menurunnya
saraf Kebingungan; rasa sakit
‘‘Vita reducta’’ –
“Eksitasi” “Kelelahan” ‘‘Paralisis’’ kematian
Tabel 1.1 Fase Klinis Hipotermia

Perubahan fungsional ini adalah hal yang penting bagi medikolegal


karena peningkatan kekakuan otot tidak boleh disalahartikan sebagai rigor
mortis [25, 26]. Namun, diagnosis banding dapat dibuat dengan mudah
karena, pada kekakuan otot akibat hipotermia, lividitas postmortem hilang
sedangkan dalam kasus dengan rigor mortis, terdapat lividitas postmortem.
Ada beberapa laporan kasus dalam literatur mengenai orang yang hidup
dinyatakan meninggal karena kekakuan otot yang disalahartikan sebagai rigor
mortis [25, 26].

1.2 Temuan Epidemiologi dan Adegan Kematian

Sebagaimana diuraikan di atas, kematian akibat hipotermia tidak hanya


terbatas pada musim dingin tetapi juga dapat ditemui pada musim semi atau
musim gugur dalam periode yang lebih dingin. Selain itu, kematian
hipotermia tidak hanya terjadi di luar bangunan tetapi juga di dalam ruangan,
terutama pada orang tua. Dalam beberapa seri otopsi sebelumnya, kematian
akibat hipotermia terutama terlihat pada orang di atas 60 tahun [18, 20, 27,
28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 34]; selain pikun dan imobilitas, kurangnya bahan
bakar untuk pemanasan dan jendela terbuka untuk udara segar diidentifikasi
sebagai faktor risiko khusus. Kelompok orang lain yang paling mungkin
menderita hipotermia tak disengaja adalah sebagai berikut:
– Orang mabuk (kebanyakan karena alcohol, namun dapat juga disebabkan
oleh obat-obatan lain seperti obat penenang atau opiat)
– Neonatus
– Orang-orang yang terlibat dalam aktivitas luar yang berbahaya seperti
mendaki, mendaki gunung, berlayar, atau memancing [7, 13, 15, 31, 36].
Pada kematian akibat hipotermia baik di dalam maupun di luar
ruangan, orang dapat ditemukan sebagian atau seluruhnya tidak berpakaian
dengan goresan dan hematoma pada lutut, siku, dan kaki atau terletak dalam
posisi tersembunyi di bawah tempat tidur atau di belakang lemari pakaian [2,
9, 20, 37, 38]. Sindrom paradoks membuka pakaian dan bersembunyi hingga
meninggal ini dapat diamati pada 20% dari kasus. Sindrom bersembunyi
hingga meninggal tampaknya merupakan pola reaksi primitif terminal
sementara pelepasan pakaian dapat disebabkan oleh perasaan hangat
paradoks pada individu yang terpegaruh [38]. Namun, hingga kini
patofisiologi kedua fenomena itu tidak dipahami dengan jelas.

1.3 Temuan Morfologis pada Fatalitas Karena Hipotermia

Diagnosis hipotermia didasarkan pada bukti tidak langsung, eksklusi


penyebab kematian lain, dan pengukuran suhu (misal jika suhu tubuh jauh
lebih rendah dari yang diharapkan untuk interval postmortem yang diberikan)
[39, 40]. Namun, pada akhir abad kesembilan belas, perubahan morfologis
dengan validitas diagnostik tertinggi untuk kematian akibat hipotermia telah
dijelaskan: frost erythema dilaporkan oleh Keferstein pada tahun 1893 [22]
dan pada tahun 1895 bintik hemoragik pada mukosa lambung dinamai
Wischnewsky [41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48]. Perubahan morfologis karena
hipotermia dapat diklasifikasikan sebagai berikut (lihat juga Tabel 1.2)
tentang pengaturan suhu tubuh, counterregulation, dan patogenesis. Pada
Tabel 1.3, semua perubahan morfologis akibat hipotermia seperti yang
dilaporkan dalam literatur diatur sesuai dengan jalur patogenetik utama dan
signifikansi diagnostik.

Pemeriksaan organ yang berkontribusi terhadap suhu tubuh


– Tiroid
– Adrenal
Perubahan biokimia karena mekanisme counterregulation pada hipotermia
– Hilangnya glikogen pada beberapa organ
– Pelepasan katekolamin dan ekskresi urin
– Perubahan berlemak (Fatty) organ
Pemeriksaan organ yang bertanggung jawab atas kematian
– kerusakan myocardium
Pemeriksaan jaringan beku dan jaringan di permukaan-inti-perbatasan
– Frost erythema
– Perdarahan pada otot inti tubuh
Kerusakan organ lainnya (stress dingin)
– Erosi lambung hemoragik
– Perubahan pankreas
– Infark hemoragik
– Mikroinfark

Tabel 1.2 Klasifikasi Temuan Morfologis dan Biokimia pada kasus hipotermia yang
fatal (menyangkut pengaturan suhu tubuh, patogenesis)

1.3.1 Darah Berwarna Merah Terang dan Kepucatan

Tentu saja, pada korban hipotermia, warna darah yang merah cerah
serta kepucatan postmortem dapat ditemukan, tetapi telah dinyatakan pada
abad kesembilan belas bahwa hal ini bukan temuan kematian akibat
hipotermia yang spesifik karena hal ini juga dapat dilihat pada kematian
karena penyebab lainnya yang juga terjadi pada suhu lingkungan rendah.
Mekanisme mengenai warna darah yang merah terang dan lividitas adalah
pergeseran kiri kurva disosiasi oksigen-hemoglobin.
Pada hipotermia, darah dalam ventrikel kiri sering ditemukan berwarna
merah cerah jika dibandingkan dengan ventrikel kanan [49]. Penjelasannya
adalah bahwa darah yang kemudian masuk ke dalam ventrikel kiri
didinginkan ketika melewati paru dan dengan demikian berubah menjadi
merah terang. Namun, temuan ini tidak konstan dan warna merah muda juga
dapat dilihat pada pembekuan postmortem.

Tabel 1.3 Perubahan morfologis pada hipotermia


Pergeseran ke kiri kurva disosiasi oksigen-hemoglobin Signifikansi
diagnostik
• Warna darah merah terang dan lividitas –
• Darah pada ventrikel kiri berwarna merah terang
dibandingkan darah pada ventrikel kanan –

Artefak postmortem
• Cutis anserina –
• Fraktur tengkorak karena pembekuan otak –
Perdarahan dan eritema
• Eritema beku +
• Erosi lambung hemoragik +
• Pankreatitis hemoragik –
• Perdarahan otot inti tubuh (+)

• Perdarahan sinovia, perdarahan ke dalam cairan synovial


Perubahan berlemak (Fatty changes)
• Hati –
• Ginjal +
• Jantung (+)
Perubahan tidak spesifik
• Edema otak –
• Perdarahan subendocardial –
• Pneumonia –
• Kontraksi lien (?)
Mekanisme counterregulation
• Vakuolisasi hati, pankreas, ginjal (tubulus proksimal), sel
adrenal, kehilangan glikogen
• Deplesi koloid dan aktivasi tiroid (+)

1.3.2 Perubahan Kulit


Perubahan kulit pada hipotermia umum berbeda dari yang terlihat pada
hipotermia lokal. Pada hipotermia lokal, terlihat tiga tingkat frostbite [50, 51,
52]:
1. Perubahan warna terutama pada ujung jari, jari kaki, atau hidung
(dermatitis congelation erythematosus)
2. Lepuh berisi cairan bening atau berdarah (dermatitis congelationis
bullosa)
3. Warna kebiruan dengan pembentukan lepuh dan nekrosis jaringan
(dermatitis congelationis gangrenosa)
Mekanisme utama terjadinya frostbites adalah pembekuan jaringan dan
obstruksi aliran darah ke jaringan [12, 23, 52]. Jika dilihat pada mikroskop,
dapat terjadi kerusakan sel endotel, kebocoran serum ke jaringan dan endapan
sel darah merah [3, 24].
Pada hipotermia umum, cidera yang menyerupai frostbite dapat dilihat
bersamaan dengan pembengkakan telinga, hidung, dan tangan namun
Temuan yang lebih mencolok adalah kulit merah atau ungu dan bercak ungu
pada lutut atau siku atau di luar sendi pinggul [2, 9, 20] (Gambar 1.2).
Eritema beku tidak boleh disalahartikan sebagai hematoma karena
mereka secara makroskopis dan histologis bebas dari ekstravasasi eritrosit.
Patogenesisnya masih belum jelas. Namun, mereka dapat berkembang karena
kerusakan kapiler dan kebocoran plasma ke jaringan [4, 22]. Hemoglobin
plasma bocor ke jaringan karena kerusakan akibat kerusakan eritrosit
(Gambar 1.3) seperti yang dapat ditunjukkan oleh visualisasi
imunohistokimia dari hemoglobin dalam eritema beku [53]. Pada 1893
Keferstein [22] telah mengasumsikan bahwa aliran darah masuk pada area
kulit yang terpapar pertama kali berhenti dan setelah dihangatkan kembali,
difusi hemoglobin ke dalam jaringan ekstravaskular terjadi.
(A) (B)

(C)

Gambar 1.2 A – C Frost erythema. (A) Di atas sendi panggul. (B) Di atas lutut. (C)
Tidak ada perdarahan subkutan tetapi tampak kemerahan hemolitik pada jaringan
subkutan

(A) (B)

Gambar 1.3 A, B Reaksi positif difus struktur intra dan ekstraseluler dalam
hemoglobin immunostaining dari eritema beku

Tabel 1.4 Frekuensi bintik ungu (eritema beku)


n %
Mant [34] 19/43 44%
Gillner and Waltz [7] 18/25 72%
Hirvonen [20] 12/22 54%
Thrun [73] 10/23 43%
Material sendiri (Bonn and Greifswald) 82/145 56.6%

Oleh sebuah studi imunohistokimia, proposal difusi hemoglobin,


terutama di daerah kulit yang terpapar, dapat didukung meskipun
penghangatan kembali seperti yang disarankan oleh Keferstein lebih dari 100
tahun yang lalu tidak terjadi [53]. Namun, mengapa difusi ini terjadi atau
bagaimana pemaparan terhadap dingin akan tetap menjadi spekulasi dan
harus diperiksa dengan investigasi lebih lanjut di masa depan.
Terjadinya telinga dan hidung yang bengkak pada suhu kamar yang
dingin disebabkan oleh pembentukan edema. Perubahan kulit dapat
ditemukan pada sekitar 50% kasus hipotermia (Tabel 1.4).

1.3.3 Bintik Perdarahan pada Mukosa Lambung


Wischnewsky [41] adalah yang pertama menggambarkan lesi lambung
hemoragik multipel sebagai tanda yang menunjukkan hipotermia (Gambar
1.4). Lesi bervariasi dalam diameter dari 1 mm sampai sekitar 2 cm dan
dalam jumlah dari hanya beberapa hingga lebih dari 100 tersebar di seluruh
mukosa lambung. Lesi tidak boleh disalahartikan sebagai perdarahan (erosi
hemoragik sebenarnya) pada mukosa lambung [3, 45, 54, 55, 56, 57]. Secara
histologis, apa yang disebut bintik-bintik Wischnewsky ditandai oleh
nekrosis mukosa dengan pembentukan hematin [6].

(A) (B)

Gambar 1.4 Bintik Wischnewsky. (A) Penampilan kotor.(B) Histologi

Bintik Wischnewsky adalah temuan tidak spesifik mengenai etiologi


yang mendasari: perubahan serupa pada mukosa lambung ditemukan sebagai
konsekuensi dari penyalahgunaan obat atau alkohol dan dalam stres atau
syok. Gangguan mikrosirkulasi (hemokonsentrasi) dan jaringan amina
histamin dan serotonin tampaknya terlibat dalam patogenesis mereka [10].
Hipotermia lokal atau pembekuan mukosa lambung dapat dikesampingkan
sebagai faktor patogenetik karena hipotermia lokal lambung digunakan
sebagai terapi pada perdarahan saluran cerna bagian atas dan suhu lambung
lokal 2–6̊ C selama 24 jam diperkirakan tidak berbahaya [4, 58, 59]. Sebuah
studi imunohistokimia terbaru tentang patogenesis bintik-bintik
Wischnewsky menggunakan antibodi spesifik terhadap hemoglobin
mengungkapkan imunopositivitas terhadap hemoglobin [60, 61]. Mungkin
pendinginan tubuh karena suhu sekitar yang dingin terutama menyebabkan
perdarahan kelenjar lambung secara in vivo atau selama periode agonal.
Selanjutnya, karena autolisis, eritrosit dihancurkan dan hemoglobin
dilepaskan. Setelah terpapar asam lambung, hemoglobin kemudian
dihematinisasi yang mengarah ke penampilan khas Wischnewsky yang
berwarna kecoklatan yang terlihat pada pemeriksaan makroskopis [60].
Insiden erosi lambung bervariasi (Tabel 1.5). Mereka tampaknya lebih sering
pada orang tua yang terpapar stres dingin untuk waktu yang lama tetapi
mereka juga dapat ditemukan pada bayi baru lahir [4].

Tabel 1.5 Frekuensi erosi lambung hemoragik (‘‘Bintik Wischnewsky’’)


N %

Wischnewsky [41] 40/44 90.9%


Krjukoff [45] 44/61 72%
Dyrenfurth [56] – –
Altmann/Schubothe (hewan), Mu¨ller/Rotter (manusia) Sangat sering
Mant [34] 37/43 86%
Gillner dan Waltz [7] 22/25 88%
Hirvonen [20] 10/22 45%
Thrun [73] 21/23 91.3%
Birchmeyer dan Mitchell [54] 15 60%
Takada et al. [57] 17 88%
Dreßler dan Hauck [55] 29 86%
Kinzinger et al. [37] 30 40%
Mizukami et al. [76] 23 44%
Material sendiri (Bonn and Greifswald) 117/145 80.7%

1.3.4 Lesi Gastrointestinal Lain


Erosi hemoragik tidak hanya dapat ditemukan pada mukosa lambung
tetapi juga pada duodenum dan jejunum, namun lebih jarang [32, 33, 34, 59,
62, 63, 64]. Ketika lesi ini ditemukan di lokasi gastrointestinal lainnya,
mereka
Arnaldo Manggala Rahardja
Halaman 13-22
(A) (B)

Gambar. 1.5A, B Infark hemoragik pada usus besar yang fatal akibat
hipotermia. Penampilan kotor. B Histologi: perdarahan ke dinding kolon
dengan trombosis vena submukosa dan infiltrat inflamasi akut

selalu ada di perut juga. Selain ulserasi usus besar dan ileum, infark
hemoragik usus juga telah dijelaskan (Gbr. 1.5). Infark ini disebabkan oleh
perubahan reologi dan hemodinamik selama hipotermia dengan pembentukan
lumpur sel darah merah dan trombosis vena submukosa (Tabel 1.6). Itu
adalah temuan yang sangat jarang; penulis ini telah melihat infark usus besar
seperti itu dalam asosiasi dengan hipotermia fatal dalam dua kasus; mereka
dikaitkan dengan episode syok hemoragik sebelum kematian [62].

1.3.5 Perubahan Pankreas

Berbagai perubahan pankreas telah dijelaskan dalam kaitannya dengan


hipotermia: pankreatitis fokal atau difus, pankreatitis hemoragik, bercak
nekrosis lemak di atas permukaan organ, peningkatan kadar amilase serum,
perdarahan, dan infiltrasi interstitial focal atau difus leukosit [20, 29, 30, 32,
33, 35, 65, 66, 67] (Tabel 1.7). Pada otopsi, perdarahan ke parenkim pankreas
serta di bawah mukosa saluran pankreas dapat terlihat. Dalam percobaan
hewan, Fisher et al. [66] mampu mereproduksi perubahan pankreas ini;
mereka menemukan pankreatitis nonhemoragik dengan nekrosis lemak pada
10% kasus mereka. Sebuah analisis retrospektif baru-baru ini dari 143 kasus
kematian akibat hipotermia mengungkapkan bahwa pendarahan pankreas
tidak memiliki signifikansi diagnostik dalam kematian akibat
Tabel 1.7. Perubahan pankreas pada hipotermia menurut
berbagai penulis

Perubahan pankreas pada Hipotermia Author

Pankreatitis fokal atau difus pada 10% pasien (n = Sano dan


50) Smith [67]
diobati dengan hipotermia
Di antara 13 kasus hipotermia 2 kasus pankreatitis Duguid et al.
hemoragik, 3 [28]
kasus pankreatitis dengan nekrosis lemak di
permukaannya (38%)
Pankreatitis fokal atau pankreatitis hemoragik pada
29 dari 43 kasus (67%) Mant [34]
Pendarahan ke kelenjar pada 4 dari 22 kasus (18%) Hirvonen [20]
Meningkatkan serum amilase pada 11 dari 15 kasus Duguid et al.
(73%) [28]
Pankreatitis non-hemoragik fokal dengan bercak Fisher et al.
nekrosis lemak pada [66]
10% hewan dalam hipotermia eksperimental
Preuß et al.
Vakuola kosong dalam sel adenoid pankreas [68]

hipotermia [68] - mereka diamati sangat jarang dan terlihat pada


penyebab kematian lain dengan frekuensi yang sama.
Tingginya insiden perubahan pankreas yang dijelaskan oleh Mant
[32, 33, 34] mungkin disebabkan oleh komposisi bahan kasusnya -
kebanyakan orang tua; pada populasi autopsi yang bias seperti itu,
pembatasan penyakit yang sudah ada mungkin sulit.
Preuß et al. [68] ditemukan pada 24 dari 62 kasus hipotermia fatal
(38,7%) dalam penyelidikan mikroskopis yang tampaknya vakuola
kosong pada sel adenoid pankreas (Gambar 1.6). Vakuola ini tidak
diamati pada kelompok kontrol tanpa hipotermia sebelum kematian dan
pada kelompok kontrol pecandu alkohol kronis. Meskipun vakuola ini
tampaknya signifikan secara diagnostik, patogen-esisnya masih belum
jelas.

1.3.6 Pendarahan ke Inti Otot

Perdarahan ke otot-otot yang termasuk dalam inti tubuh, misalnya otot


iliopsoas, sebagai kriteria diagnostik kematian akibat hipotermia
pertama kali dijelaskan oleh Dirnhofer dan Sigrist [69]. Perubahan
morfologis ini
Gambar. 1.6
vakuola dalam sel
adenoid pankreas

tampaknya hanya dikenal dalam literatur Jerman [70, 71]. Perdarahan


otot dalam kasus hipotermia telah dijelaskan dalam buku teks von
Hofmann dan Haberda [42], tetapi masih belum jelas apakah
perdarahan ini berkembang selama hidup sebagai respons terhadap
hipotermia atau post mortem sebagai resusitasi atau artefak
transportasi. Pengamatan hemor-rhage menjadi otot inti terutama di
otot iliopsoas telah dikonfirmasi oleh penulis lain tetapi tampaknya
menjadi temuan yang langka. Secara histologis, degenerasi vakuolisasi
lapisan subendotelial dari dinding pembuluh darah dengan mengangkat
sel-sel epitel terlihat. Perubahan ini dianggap mewakili kerusakan
hipoksia dan perdarahan karena diapedesis. Kerusakan hipoksia
pembuluh otot inti ditafsirkan sebagai akibat dari sirkulasi yang tidak
cukup karena hipotermia yang diinduksi vasokonstriksi. Namun,
dibandingkan dengan otot-otot permukaan, kebutuhan oksigen dari
otot-otot inti tidak berkurang. Ketidakseimbangan perfusi berkurang
dan kebutuhan oksigen normal dianggap sebagai penyebab kerusakan
hipoksia sel epitel dengan hasil peningkatan permeabilitas [69].

1.3.7 Akumulasi Lipid

Perubahan lemak pada jantung, hati, dan ginjal telah dideskripsikan


berulang kali dalam kematian akibat hipotermia [46] tetapi data tentang
nilai diagnostik dan sensitivitas temuan ini masih hilang. Karena
perubahan lemak pada hati mungkin memiliki banyak penyebab dan
sering ditemukan, mereka tidak memiliki signifikansi diagnostik untuk
diagnosis kematian akibat hipotermia.
Investigasi terbaru menunjukkan bahwa akumulasi lipid dalam sel
epitel tubulus ginjal proksimal tampaknya memiliki signifikansi
diagnostik yang tinggi, menunjuk ke arah hipotermia individu yang
terkena sebelum kematian [72, 73] (Gbr. 1.7). Akumulasi lipid ini
selalu terlihat di dasar sel epitel; tidak ada perubahan bersamaan dari
nukleus sel atau plasma. Perubahan lemak dapat merupakan hasil dari
penipisan energi setelah hipoksia yang diinduksi goncangan atau
disebabkan oleh resorpsi tubular setelah peningkatan mobilisasi
trigliserida [72, 73]. Ada korelasi positif yang kuat antara tingkat
perubahan lemak dengan terjadinya tanda-tanda hipotermia
makroskopis (frost eritema dan bintik-bintik Wischnewsky) [72]. Pada
kasus kontrol, hanya sedikit perubahan lemak yang dapat ditemukan.
Tingkat degenerasi lemak tubulus ginjal dapat digunakan sebagai
penanda yang sangat membantu untuk diagnosis kematian akibat
hipotermia dan memiliki nilai sensitivitas diagnostik yang sama
dibandingkan dengan bintik-bintik Wischnewsky [72]. Juga untuk otot
jantung, degenerasi lemak miosit dapat diamati pada kasus hipotermia
fatal (Gbr. 1.8) [74]. Namun, degenerasi lemak ini hanya memiliki
signifikansi diagnostik jika pewarnaan lipofuscin juga dilakukan dan
perbedaan yang nyata antara pewarnaan lipid dan pewarnaan lipofuscin
jelas dalam kasus yang bersangkutan (Gbr. 1.9). Ada juga korelasi
antara degenerasi lemak miosit jantung dan bintik-bintik Wischnewsky.
Namun, degenerasi lemak otot jantung tidak memiliki sensitivitas
diagnostik degenerasi lemak tubulus ginjal proksimal [72, 74].

(A)
(B)

0 (×200) +1 (×200)

+2 (×200) +3 (×200)

Gambar 1.7A, B Akumulasi lipid dalam tubulus proksimal ginjal. A


Noda lipid selalu terletak di dasar sel. B Perubahan lemak dalam sel
tubulus proksimal ginjal

grade 0 grade +1

grade +2 grade +3

Gambar. 1.8 Perubahan lemak miosit jantung pada hipotermia


1.3.8 Kelenjar Endokrin

Karena kelenjar endokrin bertanggung jawab atas pemeliharaan suhu


tubuh normal, penurunan suhu tubuh mengaktifkan fungsi sebagian
besar kelenjar endokrin, terutama tiroid dan adrenal [6, 10, 11, 75].

grade 0 grade +1

grade +2 grade +3

Gambar. 1.9 Pewarnaan lipofuscin dari kardiomiosit

Namun, temuan morfologis hanya dapat diharapkan dalam hipotermia


tahan lama, tidak setelah paparan biasa untuk suhu lingkungan dingin
hanya beberapa jam [6]. Dalam percobaan pada hewan, tidak ada
perubahan morfologis yang terdeteksi setelah terpapar suhu dingin
selama 49 jam, tetapi aktivasi tiroid telah diamati setelah pajanan yang
tahan lama (5-9 hari dengan penurunan suhu dari 37,5 ke 368C;
penipisan koloid, peningkatan sel epitel). Hanya setelah hipotermia
yang berlangsung lama memiliki penipisan lipid dari korteks adrenal
telah ditemukan dalam percobaan pada hewan (10 hari dengan suhu inti
338C) tidak setelah paparan singkat 4-7 jam [6].

1.4 Kesimpulan

Perubahan morfologis penting karena paparan dingin mungkin langka


pada kematian hipotermia. Sebagian besar temuan tidak spesifik dan
secara klinis tidak relevan. Namun, temuan eksternal dan internal
memiliki signifikansi diagnostik, tidak hanya sebagai satu-satunya
temuan fery erythema tetapi terutama ketika mereka ditemukan dalam
kombinasi seperti keberadaan frost eritema dan Wischnewsky.
Meskipun tidak spesifik sebagai temuan eksklusif, frost eritema dan
bercak Wischnewsky spesifik untuk hipotermia dalam kombinasi. Hal
ini juga berlaku untuk perubahan lemak tubulus ginjal proksimal yang
memiliki korelasi kuat dengan tanda-tanda hipotermia makroskopis
yang disebutkan di atas. Patogenesis perubahan morfologis yang
disebabkan oleh hipotermia sangat berbeda (perubahan hipoksia, stres,
gangguan mikrosirkulasi dengan vasokonstriksi dan peningkatan
hematokrit) karena berbagai organ dan jaringan yang terpengaruh.

Daftar Pustaka

1. Blatteis CM (1998) Physiology and pathophysiology of temperature


regulation. World Scientific Publishing, Singapore
2. Hirvonen J (2004) Ka¨lte. In: Brinkmann B, Madea B (eds.)
Handbuch Gerichtliche Medizin, Bd. 1. Springer, Berlin Heidelberg
New York, pp 875–889
3. Madea B, Preuß J, Lignitz E (2003) Unterku¨hlung: Umsta¨nde,
morphologische Befunde
und ihre Pathogenese. Rechtsmedizin 14: 41–49
4. Madea B, Preuß J, Henn V, Lignitz E (2004) Morphological findings
in fatal hypothermia and their pathogenesis. In: Oehmichen M (ed)
Hypothermia. Clinical, pathomorphologi-cal and forensic features.
Schmidt-Romhild,¨ Lu¨beck, pp 181–204
5. Singer D (1991) Pathophysiologie der akzidentellen Hypothermie –
eine Betrachtung aus vergleichend-physiologischer Sicht. In:
Siegenthaler W, Haas R (ed) Publikationen der Jung-Stiftung fu¨r
Wissenschaft und Forschung, Bd. 3, Thieme, Stuttgart
6. Bu¨chner F (1943) Die Pathologie der Unterku¨hlung. Klin Wschr
22: 89–92
7. Gillner E, Waltz H (1971) Zur Symptomatik des Erfrierens. Kriminal
Forens Wiss 5: 179–185
8. Gordon J, Shapiro HA, Berson SD (1988) Forensic medicine. A
guide to principles, 3rd edn. Churchill Livingstone, Edinburgh
London Melbourne New York
9. Hirvonen J (1977) Local and systemic effects of accidental
hypothermia. In: Tedeshi CG, Eckert WG, Tedeshi LG (eds)
Forensic medicine, vol 1. WB Saunders Co, Philadelphia London
Toronto, pp 758–774
10.Hirvonen J, Elfving R (1974) Histamine and serotonin in the gastric
erosions of rats dead from exposure to cold: a histochemical and
quantitative study. Z Rechtsmed 74: 273–281
11.Hirvonen J, Huttunen P, Lapinlampi T (1987) The markers of
hypothermia deaths. Abstract J Canad Soc Forens Sci 20: 226
12.Killian H (1981) Cold and frost injuries. Springer, Berlin Heidelberg
New York
13.Kloss¨ Th (1983) Pathophysiologie, Diagnose und Behandlung
akzidentieller Unterku¨hlungen. I Ana¨sth Intensivmed 24, 6-11. II
Ana¨sth Intensivmed 24: 43–50
14.Knight B (1987) Legal aspects of medical practice, 4th edn.
Churchill Livingstone, Edinburgh London Melbourne New York
15.Oehmichen M (2004) Hypothermia. Clinical, pathomorphological
and forensic features. Schmidt-Romhild,¨ Lu¨beck
16.Polson L, Gee D, Knight B (1985) The essentials of forensic
medicine. Pergamon Press, Oxford New York Sydney Paris
Frankfurt
17.Simpson K, Knight B (1985) Forensic medicine, 9th edn. Edward
Arnold, London
¨
18. Unterdorfer H (1977) Statistik und Morphologie des
Unterku¨hlungstodes. Arztl Praxis
29: 459–460
19. Hegenauer AH (1959) Lethal hypothermic temperatures for dog
and man. Ann N Y Acad Sci 315–319
20. Hirvonen J (1976) Necropsy findings in fatal hypothermia cases.
Forensic Sci 8: 155–164
¨
21. Kahle W, Burchard E (1984) Uberleben in der Ka¨lte:
Entstehung allgemeiner
¨
Ka¨ltescha¨den und therapeutische Maßnahmen. Dtsch Arztebl 81:
3743–3748
22.Keferstein (1893) Leichenbefund beim Erfrierungstod. Z
Medizinalbeamte 6: 201–208
23.Killian H (1966) Der Ka¨lteunfall. Allgemeine Unterku¨hlung.
Dustri Verlag, Mu¨nchen
24.Staemmler M (1944) Die Erfrierung. Thieme, Leipzig
¨
25. Madea B (2006) Die Arztliche Leichenschau. Rechtsgrundlagen –
Praktische Durchfu¨hrung – Problemlosungen,¨ 2 nd edn. Springer,
Berlin Heidelberg New York
26. Rautenberg E (1919) Ein bemerkenswerter Fall von Scheintod.
Dtsch Med Wochens-chrift 45: 750–751
27. Coe JI (1984) Hypothermia: autopsy findings and vitreous glucose.
J Forensic Sci
29: 289–395
28. Duguid H, Simpson G, Stowers J (1961) Accidental hypothermia.
Lancet 2: 1213–1219
29. Emslie-Smith D (1958) Accidental hypothermia. Lancet 2: 492–495
30. Fruehan AE (1960) Accidental hypothermia. Arch Int Med 106:
218–229
31. Gee G (1984) Deaths from physical and chemical injury, starvation
and neglect. In: Mant AK (ed) Taylor’s principles and practice of
medical jurisprudence. Churchill Livingstone, Edinburgh London
Melbourne New York
32. Mant AK (1964) Some post-mortem observations in accidental
hypothermia. Med Sci Law 4: 44–46
33. Mant AK (1967) The pathology of hypothermia. In: Simpson K
(ed.) Modern trends in forensic medicine, vol 2. Butterworths,
London, pp 224–232
34. Mant AK (1969) Autopsy diagnosis of accidential hypothermia. J
Forensic Med
16: 126–129
35. Read AE, Emslie-Smith D, Gough KR, Holmes R (1961)
Pancreatitis and accidential hypothermia. Lancet 2: 1219–1221
36. Coniam WS (1979) Accidental hypothermia. Anaesth 34: 250–256
37. Kinzinger R, Risse M, Pu¨schel K (1995) ‘‘Ka¨lteidiotie’’:
Paradoxes Entkleiden bei
Unterku¨hlung. Arch Kriminol 187: 47–56
38. Rothschild MA, Mu¨lling C, Luzar (2004) Lethal hypothermia: the
phenomena of paradoxical undressing and hide and die syndrome.
In: Oehmichen M (ed.) Hypothermia. Clinical, pathomorphological
and forensic features. Schmidt-Romhild,¨ Lu¨beck, pp 167–173

39.39. Madea B, Henßge C (1990) Electrical excitability of skeletal


muscle postmortem in case-work. Forensic Sci Int 47: 207–227
40.Pu¨schel K, Tu¨rk EE (2004) Determination of the rectal
temperature as an important tool for establishing the diagnosis of
vital hypothermia. In: Oehmichen M (ed) Hypothermia. Clinical,
pathomorphological and forensic features. Schmidt-Romhild,¨
Lu¨beck, pp 175–180
41.Wischnewsky S (1895) Ein neues Kennzeichen des Todes durch
Erfrieren. Bote f gerichtl Med 3: 12
42.Hofmann E v, Haberda A (1927) Lehrbuch der gerichtlichen
Medizin, 11th edn. Urban
und Schwarzenberg, Wien
¨
43. Ignatowsky (1901) Uber die Ursachen der Blutungen in der
Schleimhaut des Magens beim Tode des Erfrierens. Bote d gerichtl
Med 10: 1649
44. Kratter J (1921) Lehrbuch der gerichtlichen Medizin. Enke,
Stuttgart
45. Krjukoff A (1914) Beitrag zur Frage der Kennzeichen des Todes
durch Erfrieren. Vjschr gerichtl Med 47(3F): 79–101
46. Meixner K (1932) Ein Fall von Tod durch Erfrieren. Dtsch Z
gerichtl Med 18: 270–284
47. Reuter F (1933) Lehrbuch der gerichtlichen Medizin. Urban und
Schwarzenberg, Berlin Wien
48. Strassmann F (1895 ) Lehrbuch der gerichtlichen Medizin. Enke,
Stuttgart
49. Richter M (1905) Gerichtsa¨rztliche Diagnostik und Technik.
Hirzel, Leipzig
50. Bourne MH, Piepkorn MW, Clayton F, Leonard LG (1986)
Analysis of microvascular changes in frostbite injury. J Surg Res
40: 26–35
51. Kreyberg L (1946) Tissue damage due to cold. Lancet 338–340
52. Wilkerson JA, Bangs CC, Hayward J (1986) Hypothermia, frostbite
and other cold injuries. The Mountaineers, Seattle
53. Tu¨rk EE, Sperhake JP, Madea B, Preuß J, Tsokos M (2006)
Immunohistochemical detection of haemoglobin in frost erythema.
Forensic Sci Int 158: 131–134
54. Birchmeyer MS, Mitchel EK (1989) Wischnewski revisited: the
diagnostic value of gastric
mucosa ulcers in hypothermic deaths. Am J Forensic Med Pathol 10:
28–30
55. Dreßler J, Hauck JG (1996) Zum Beweiswert ka¨lteassoziierter
histologischer Befunde beim Verdacht auf ‘‘Ka¨ltetod’’. Kriminol
Forens Wiss 85:39–44
¨
56. Dyrenfurth F (1916) Uber den Wert zweier neuer Kennzeichen des
Todes durch Ka¨lteeinwirkung. Vjschr gerichtl Med 51: 234–241
57. Takada M, Kusano I, Yamamoto H, Shiraishi T, Yatani R, Haba K
(1991) Wischnevsky’s gastric lesions in accidental hypothermia.
Am J Forensic Med Pathol 12: 300–305
58. Cali JR, Glaubitz JP, Crampton RS (1965) Gastric necrosis due to
prolonged local gastric hypothermia. JAMA 191: 154–155
59. Tidow R (1943) Ka¨ltescha¨den des Magendarmkanals unter
besonderer Beru¨cksichtigung der Abku¨hlung. Mu¨nch Med Wschr
90: 597–600
60. Tsokos M, Rothschild MA, Madea B, Risse M, Sperhake JP (2006)
Histological and immunhistochemical study of Wischnewsky spots
in fatal hypothermia. Am J Forensic Med Pathol 27: 70–74
61. Sperhake JP, Rothschild MA, Risse M, Tsokos M (2004)
Histomorphology of Wischnewsky spots: contribution to the
forensic histopathology of fatal hypothermia. In: Oehmichen M (ed)
Hypothermia. Clinical, pathomorphological and forensic features.
Schmidt-Romhild,¨ Lu¨beck, pp 211–220
62. Madea B, Oehmichen M (1989) Ungewohnliche¨ Befunde in einem
Fall von Unterku¨h-lung. Z Rechtsmedizin 102: 59–67
63. Otto HF, Wanke M, Zeitlhofer J (1976) Darm und Peritoneum. In:
Doerr W, Seifert G, Uehlinger E (eds) Spezielle pathologische
Anatomie, Bd 2, Teil 2. Springer, Berlin Heidelberg New York
64. Stoddard JC (1962) Mesenteric infarction during hypothermia. Brit
J Anaesth 34: 825–830
65. Becker V (1973) Bauchspeichelddru¨se. In: Doerr W, Seiffert G,
Uehlinger E (eds) Spezielle pathologische Anatomie, Bd. 6,
Springer, Berlin Heidelberg New York
66. Fisher ER, Fedor EJ, Fischer B (1957) Pathology and histochemical
observations in experimental hypothermia. Arch Surg 75: 817–827
67.Sano ME, Smith CW (1940) Fifty post-mortem patients with cancer
subjected to local or generalized refrigeration. J Lab Clin 26: 443
68.Preuß J, Dettmeyer R, Lignitz E, Madea B (2007) Pancreatic
changes in cases of death due to hypothermia. Forensic Sci Int 166:
194–198
69.Dirnhofer R, Sigrist T (1979) Muskelblutungen im Korperkern¨ –
ein Zeichen vitaler Reaktion bei Tod durch Unterku¨hlung? Beitr
Gerichtl Med 37: 159–166
70.Schneider V, Klug E (1980) Tod durch Unterku¨hlung. Z Rechtsmed
86: 59–69
71.Schneider V, Wessel J (1987) Zum geha¨uften Auftreten von
Todesfa¨llen an Unterku¨hlung bei u¨berraschenden
Ka¨lteeinbru¨chen. Lebensvers Med 39: 58–61
72.Preuß J, Dettmeyer R, Lignitz E, Madea B (2004) Fatty
degeneration in renal tubule epithelium in accidental hypothermia
victims. Forensic Sci Int 141: 131–135
73.Thrun C (1992) Verfettung der Tubulusepithelien der Niere – ein
Hinweis fu¨r Hypothermie? Rechtsmedizin 2: 55–58
74.Preuß J, Dettmeyer R, Lignitz E, Madea B (2006) Fatty
degeneration of myocardial cells as a sign of death due to
hypothermia versus degenerative deposition of lipofuscin. Forensic
Sci Int 159: 1–5
75.Simon A, Mu¨ller E (1971) Einige Aspekte zur Physiologie und
Morphologie des Ka¨ltetodes unter besonderer Beru¨cksichtigung
der sogenannten Ka¨lteschilddru¨se. Kriminal Forens Wiss 6: 131–
138
76.Mizukami H, Shimizu K, Shiono H, Uezono T, Sasaki M (1999)
Forensic diagnosis of death from cold. Legal Med 1: 204–209
Natasha Bharat Sindunata
Halaman 23-33
KEJATUHAN FATAL DARI TEMPAT TINGGI

Abstrak : Dalam kota, kejatuhan dari tempat tinggi merupakan suatu fenomena yang
signifikan berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas. Cedera yang terjadi berbagai
macam variasi, tergantung pada ketinggian jatuh, permukaan, posisi tubuh saat mendarat
dan beberapa faktor individu usia,berat badan dan penyakit lain yang diderita. Kasus jatuh
fatal dari ketinggian akan membawa relevansi forensik lebih sering karena pada saat
tubuuh ditemukan, cara kematiann sering tidak jelas. Cedera yang terjadi sebelum terjatuh
dari ketinggian, yang mungkin ditimbulkan oleh orang lain , dapat tertutupi oleh dampak
cidera.
Karena itu sangat penting dalam hal ini untuk mempertimbangkan tidak hanya temuan
otopsi tapi hasil toksikologi , temuan di adegan kematian, dan riwayat medis, psikiatris dan
sosial korban. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk meringkas temuan paling penting
dalam kasus jatuh fatal dari ketinggian dan mendiskusikan kemugkinan dan batasan
temuan khususnya pada kasus kematian.

Kata kunci : Kejatuahn dari tempat tinggi, trauma tumpul, pola cedera, forensik patologis

2.1 Pendahuluan
Kebanyakan kasus kejatuhan ketinggian yang fatal adalah bunuh diri. Namun,
dibandingkan dengan metode bunuh diri yang lain, menjatuhkan diri darri ketinggian
jarang terjadi, telah diselidiki merupakan metode yang disukai untuk bunuh diri pada orang
yang sudah tua. Kecelakaan yang terjadi saat kerja, contohnya pada kerja konstruksi dan
pembersih jendela, luar maupun dalam ruangan, maupun olahraga rekreasi seperti panjat
tebing dan mendaki gunung. Kasus pembunuhan jarang terjadi. Pada kasus pembunuhan,
biasanya terdapat cedera lain yang tidak dapat disebabkan karena jatuh dari ketinggian
saja, seperti luka akibat pertahanan diri atau baku hantam. Namun, luka tersebut dapat
tidak ditemukan apabila kasus terjadi secara tiba-tiba, lawan lebih kuat daripada korban,
atau korban tidak dapat melawan sama sekali, contohnya karena intoksikasi. Terkadang
cedera yang muncul sulit dibedakan dengan cedera akibat jatuh itu sendiri. Ketika seorang
patolog-forensik dihadapkan dengan kasus seperti itu akan bergantung dari semua
informasi yang didapat, dari berbagai multidisiplin seperti patolog-forensik, polisi, dokter,
dan keluarga.

2.2 Temuan pada lokasi kematian


Pertama-tama, lokasi kematian dapat memberikan informasi berharga yang berhubungan
dengan tingkat fatalitas kasus. Jatuh atau lompatan dari tempat yang tidak normal seperti
atap rumah, tebing atau jembatan yang terisolasi, meningkatkan curiga pada kasus bunuh
diri. Jatuh dari ketinggian yang berasal dari jendela bangsal jiwa cenderung merupakan
kasus bunuh diri yang alami. Bunuh diri biasanya dapat terjadi di dalam rumah begitu pula
pembunuhan, sedangkan jatuh yang tidak disengaja jarang terjadi pada rumah korban,
biasanya terjadi pada tempat kerja korban. Terutama pada tempat kerja yang berisiko
tinggi sebagian besar kasus cenderung disebabkan karena kecelakaan, namun kemungkinan
pembunuhan atau kasus bunuh diri tetap tidak boleh disingkirkan saat korban pertama kali
ditemukan. Pada kasus-kasus bunuh diri, korban cenderung memilih gedung yang tinggi,
sedangka pada kasus kecelakaan ketinggian cenderung lebih bervariasi. Temuan ini sejalan
dengan korban bunuh diri yang biasanya ditemukan dalam kondisi sudah meninggal,
sedangkan pada kasus kecelakaan masih ada usaha untuk bertahan hidup. Dari beberapa
penelitian ditemukan apabila seseorang terjatuh dari ketinggian kurang dari 4 lantai masih
bisa selamat, namun apabila sudah lebih dari 7 lantai kemungkinan akan fatal. Pada
kecelakaan kerja biasanya terjadi pada jam kerja, sedangkan pada kasus bunuh diri
biasanya pada malam atau dini hari.
Surat wasiat biasanya merupkan indikasi dari kasus bunuh diri, namun tidak semua kasus
bunuh diri akan terdapat surat wasiat. Surat wasiat biasanya ditemukan pada 10-25% kasus
bunuh diri akibat jatuh dibandingkan bunuh dri dengan cara lain.
Tanda perkelahian pada tempat kematian menandakan kemungkinan terjadi kasus
pembunuhan. Pada kasus jatuh karena kecelakaan, tempat terjadinya perkara dapat
mengindikasikan korban bekerja pada tempat yang berisiko tinggi sebelum jatuh
terjadi,contohnya pembersih jendela. Tanda penggunaan obat terlarang sebelum terjatuh
(botol minuman kosong, jarum suntik dan sejenisnya), menandakan bahwa jatuh
berhubungan dengan kehilang keseimbangan akibat obat-obatan atau halusinasi akibat obat
(contohnya kokain atau obat psikotropika). Penghalang yang dapat mencegah terjadinya
kecelakaan jatuh, seperti jendela, railing, pagar, dan lain sebagainya harus
didokumentasikan. Kecelakaan tidak akan terjadi jika penghalang lebih tinggi dari
setengah tinggi korban. Pada kasus bunuh diri, tangga atau kursi dapat dijumpai karena
digunakan untuk melewati penghalang. Sistem keamanan gedung yang mecegah terjadinya
jatuh harus diinvestigasi lebih lanjut . Meskipun pada sebagian besar kasus jatuh dari
jendela yang tertutup merupakan kasus kecelakaan, namun bisa juga ditemukan pada kasus
bunuh diri.
Beberapa penulis mengatakan bahwa jarak tubuh dari tempat jatuh dapat digunakan
sebagai informasi tambahan untuk menentukan penyebab jatuh. Penelitian menunjukan
bahwa jarak jatuh pada kasus bunuh diri akan lebih jauh dibandingkan karena kecelakaan.
Walaupun jarak dari tempat jatuh dapat menandakan penyebab kematian, akan tetapi
temuan harus diinterpretasi secara hati-hati untuk beberapa alasan. Jatuh bunuh diri tidak
harus melompat secara aktif namun bisa saja dengan membiarkan terjatuh sendiri. Namun
jarak jatuh bisa membingungkan antara jatuh yang akktif dan pasif. Lompatan yang aktif
tidak selalu mengindikasikan keinginan bunuh diri, beberapa penggunaan obat- obatan
psikotropika dapat menyebabkan korban lompat dari ketinggian karena merasa bisa
terbang. Korban dengan gangguan psikotik mencoba melarikan diri dari “orang yang
mengejarnya” atau orang normal yang berusaha melarikan diri dari bahaya seperti kasus
kebakaran. Jarak dari tempat awal lompat dapat bervariasi tergantung dari bagian tubuh
yang pertama menyentuh tanah. Pada beberapa kasus, jarak pasti atau posisi tubuh tidak
dapat ditentukan karena telah diubah setelah kejadian jatuh, contoh oleh tim investigasi.
Dapat disimpulkan investigasi lokasi kematian yang menyeluruh menjadi petunjuk penting
utama dalam kasus kematian akibat jatuh dari ketinggian.

RIWAYAT KEJIWAAN
Riwayat orang yang mempunyai kelainan jiwa biasanya yang sering melakukan lompatan
bunuh diri. Kelainan jiwa biasanya meliputi depresi, skizofrenia, dan/atau penyalahgunaan
obat, dan juga gangguan kepribadian. Pada jatuh karena kecelakaan, penyalahgunaan obat
merupakan gangguan jiwa yang paling sering pada kasus ini, sedangkan riwayat depresi
biasanya akan menyebabkan jatuh bunuh diri. Dari berbagai kasus ini, upaya bunuh diri
dapat dijelaskan. Penolakan ide bunuh diri oleh perawat medis korban tidak dapat
dianggap mutlak dalam kasus-kasus ini, karena sering ada potensi konflik kepentingan
yang terlibat dan pemberi perawatan mungkin dituduh penilaian yang salah tentang situasi
mental pasien . Skizofrenia ditemukan dalam kasus bunuh diri, tetapi juga dalam kasus-
kasus yang tidak diklarifikasi (seperti dalam pelarian dari ‘‘ pengejar ’). Dalam banyak
kasus, kombinasi penyakit kejiwaan dapat ditemukan, terutama penyalahgunaan zat dalam
kombinasi dengan zat lain.
2.4 Pola Cedera
Pola cedera jatuh dari ketinggian, tentu saja, tergantung pada bagian tubuh yang
menyentuh tanah terlebih dahulu, serta pada ketinggian jatuh, usia dan berat badan korban,
pakaian dan tanah.
2.4.1 Pemeriksaan Eksternal
Pemeriksaan pakaian sudah dapat memberikan beberapa petunjuk tentang sifat jatuh dari
ketinggian. Pada tumbukan pertama kaki, robekan longitudinal di daerah pinggang celana
karena peregangan inguinal mungkin ada. Pada musim gugur dari ketinggian, pakaian
mungkin tidak secara teratur terletak setelah tumbukan. Kekotoran dan kerusakan jaringan
akibat kontak langsung dengan permukaan tanah dapat mengisyaratkan lokasi dampak.
Secara umum, cedera yang terlihat pada pemeriksaan eksternal cenderung relatif ringan
dibandingkan dengan cedera parah yang sering terungkap pada otopsi (Gambar 2.1A, B).
Hal ini terutama berlaku untuk jatuh ke air tetapi juga telah diamati pada jatuh ke tanah

Lividitas postmortem mungkin jarang karena kehilangan darah eksternal atau internal
utama. Sesuai dengan luka, pada tumbukan pertama kaki, robekan longitudinal dari daerah
inguinal dapat dilihat sesekali. Selain itu, cedera plantar dengan fraktur terbuka sendi
pergelangan kaki atau kalkaneus adalah karakteristik dalam kasus ini. Memar di daerah
perineum sebagai sekuel dari pergerakan relatif wilayah itu terhadap pakaian juga terjadi
pada dampak kaki pertama dan dapat disalahartikan sebagai tanda pelecehan seksual
sebelum musim gugur, sehingga salah mengarah pada asumsi penurunan pembunuhan.
Dalam sebuah penelitian baru-baru ini diamati bahwa air mata kulit palmar dan fraktur
terbuka pada pergelangan tangan dan lutut juga merupakan cedera umum dalam jatuh
bebas yang fatal dan mungkin merupakan tanda dari upaya korban untuk menahan
benturan. Cedera tumpul seperti abrasi dan hematoma di lokasi dampak utama, disebut
dampak planar, adalah temuan yang sering. Tergantung pada struktur permukaan
tumbukan, tekstur tanah mungkin tercermin dalam cedera bermotif. Jika korban menabrak
benda-benda setengah jadi di tengah jalan, misalnya balkon, mungkin ada tambahan cedera
non-planar . Bergantung pada permukaan benturan dan komposisi tanah, tubuh atau
bagian-bagiannya dapat dipenggal dengan parah. Beberapa cedera biasanya tidak
disebabkan langsung oleh jatuh dari ketinggian dan karena itu mungkin mengungkapkan
tentang keadaan di sekitar jatuh. Luka-luka Palmar seperti lecet ('tali terbakar'), akibat
upaya korban untuk memegang benda-benda yang mencegah jatuh, menyarankan
pembunuhan atau jatuh secara tidak sengaja.
Sebaliknya, sayatan pergelangan tangan lama atau segar ('' tanda ragu-ragu ') adalah
indikasi niat bunuh diri. Namun, sebagai peringatan, harus dicatat bahwa tanda-tanda
keragu-raguan lama tentu saja dapat hadir dalam kecelakaan dan pembunuhan yang tidak
tergantung pada kejatuhan saat ini. Tanda-tanda bunuh diri yang kompleks, misalnya luka
tembak atau tikaman tambahan, mungkin ada pada kasus bunuh diri tetapi, tentu saja, juga
dapat ditemukan pada kasus pembunuhan. Hematoma pada permukaan bagian dalam
lengan atas, sesuai dengan tanda ambil, biasanya tidak ditemukan jatuh secara tidak
disengaja atau bunuh diri dari ketinggian dan oleh karena itu sangat menandakan adanya
komplikasi oleh orang lain.

2.4.2 Pemeriksaan Internal


Cedera parah pada organ internal dan / atau sistem muskuloskeletal dapat ditemukan pada
semua penurunan fatal dari ketinggian. Secara umum diterima bahwa ketinggian jatuh
adalah penentu utama keparahan cedera yang diderita dalam jatuh, dan beberapa cedera
lebih sering terjadi pada ketinggian jatuh yang lebih besar.Model matematika telah
dikembangkan untuk mengkorelasikan tingkat keparahan cedera dengan ketinggian jatuh,
dan telah ditemukan bahwa ketinggian jatuh dan usia korban adalah faktor utama yang
menentukan keparahan cedera. Oleh karena itu, telah diusulkan untuk menggunakan skor
keparahan cedera, usia dan jenis cedera organ untuk menghitung perkiraan band ketinggian
jatuh. Namun, juga telah ditunjukkan bahwa skor keparahan cedera saja tidak
memungkinkan perkiraan yang tepat dari ketinggian jatuh karena variasi cedera yang luas
dan ketergantungan pada terlalu banyak faktor tambahan. Pada tumbukan pertama, trauma
deselerasi vertikal menyebabkan cedera khas seperti laserasi aorta dan fraktur cincin pada
dasar tengkorak. Laserasi aorta juga telah terbukti sering jatuh dengan posisi pendaratan
lainnya. Bergantung pada lokasi tumbukan pertama, beragam pola cedera dapat diamati.

2.4.2.1 Cidera Kepala


Cidera kepala sering terlihat pada ketinggian jatuh dan termasuk perdarahan subaraknoid,
subdural dan epidural, perdarahan intraserebral dan kontusi otak serta gangguan parah dan
hilangnya struktur otak secara keseluruhan atau sebagian. Trauma kepala yang parah
dengan perdarahan intrakranial dan / atau gangguan struktur otak telah terbukti sebagian
besar terkait dengan fraktur tengkorak dan jarang terlihat jatuh ke permukaan air. Fraktur
tengkorakterbuka kominutif dengan fraktur tulang wajah tambahan dan cipratan otak pada
area yang luas sebagian besar terlihat pada tumbukan pertama di kepala. Dalam kasus ini,
kepala tampaknya melindungi sebagian besar dampak karena cedera parah pada organ
internal lainnya telah diamati jarang terjadi pada ketinggian jatuh dari ketinggian di bawah
25 m yang mengakibatkan trauma kepala parah. Cidera batang otak seperti laserasi, memar
atau transeksi sering ditemukan pada tumbukan pertama kaki dengan fraktur cincin pada
dasar tengkorak. Perdarahan subaraknoid traumatis dapat dilihat dalam kasus-kasus di
mana tidak ada bukti trauma kepala langsung, menunjukkan bahwa kekuatan geser dan
rotasi juga berperan dalam cedera kepala yang disebabkan oleh jatuh dari ketinggian. Ini
telah dikuatkan dengan pengamatan laserasi corpus callosum. Namun, cedera aksonal difus
jarang terlihat pada pemeriksaan histologis, sesuai dengan waktu kelangsungan hidup
sebagian besar korban jatuh bebas. Menariknya, meskipun beberapa penulis telah
menggambarkan peningkatan dan keparahan cedera kepala dengan meningkatnya
ketinggian jatuh, yang lain telah menunjukkan bahwa trauma kepala parah terutama terjadi
pada jatuh dari yang lebih kecil (di bawah 10 m) dan sangat hebat (lebih dari 25 m)
ketinggian, sementara itu lebih jarang jatuh dari ketinggian menengah.

2.4.2.2 Cidera Leher


Ketika cedera leher hadir, ahli patologi forensik selalu harus mempertimbangkan
pencekikan sebelum musim gugur, dan kemungkinan infeksi pembunuhan pada cedera
harus selalu diperhitungkan, terutama jika konjungtiva perdarahan tambah petekie. Dalam
jatuh dari ketinggian, bagaimanapun, cedera leher gaya tumpul yang secara langsung
disebabkan oleh jatuh sering ditemukan dan mungkin menyesatkan mengenai cara
kematian di tempat pertama. Cedera tersebut termasuk perdarahan ringan hingga sedang
pada lapisan subkutan dan otot serta hematoma tiroid, tetapi cedera parah seperti tulang
hyoid dan fraktur tulang rawan tiroid juga dapat terjadi pada jatuh bebas bukan
pembunuhan Secara keseluruhan, cedera leher tumpul telah diamati dengan frekuensi
hingga 33% jatuh dari ketinggian.

2.4.2.3 Cidera Thoracic


Sangkar Thoracic Cidera sangkar toraks seperti lecet dan memar dari dinding dada dan
patah tulang rusuk ditemukan di hampir semua jatuh fatal dari ketinggian.Patah tulang
rusuk bisa soliter, tetapi paling sering bilateral. Dalam jatuh dari ketinggian di atas 25 m,
banyak fraktur dari seluruh kandang toraks, termasuk tulang dada dan tulang belakang
dada, sering ditemukan. Dalam jatuh ke air, prevalensi patah tulang rusuk sedikit lebih
rendah daripada jatuh ke tanah padat, tetapi patah tulang rusuk masih merupakan temuan
umum bahkan dalam kasus ini. Fraktur tulang rusuk penetrasi dapat menyebabkan cedera
sekunder pada organ toraks atau dapat menyebabkan pneumotoraks dan / atau hemotoraks.
Namun, pendarahan intrathoracic yang signifikan telah dilaporkan relatif jarang mengingat
tingginya prevalensi organ yang parah dan cedera pembuluh darah utama. Ini telah
dikaitkan dengan terjadinya langsung kematian dalam banyak kasus seperti itu
Cidera Jantung
Jantung sering terlihat jatuh secara fatal dari ketinggian. Dalam penelitian berbasis otopsi
baru-baru ini, cedera tumpul pada jantung terlihat pada 54% dari semua kasus, 79% di
antaranya adalah multipel, persentase yang sesuai dengan pengamatan sebelumnya. Cedera
ini berkontribusi signifikan terhadap kematian pada keturunan dari ketinggian. Frekuensi
dan keparahan trauma jantung meningkat dengan meningkatnya ketinggian musim gugur.
Robekan perikardial ditemukan pada sebagian besar kasus, sebagian besar menunjukkan
cedera jantung tambahan. Robekan perikardial paling mungkin terjadi di bagian posterior
kanan perikardium dan cenderung berorientasi longitudinal, meskipun robekan yang tidak
teratur juga sering terjadi. Robekan epikardial yang dapat dikaitkan dengan peregangan
epikardium serta perdarahan epikardial sering dapat dideteksi dan tampaknya terjadi
terutama pada jatuh dari ketinggian di bawah 15 m. Area yang paling rentan terhadap
cedera epikardial adalah sekitar masuknya vena cava inferior ke atrium kanan. Berbeda
dengan robekan perikardial, robekan endokard lebih mungkin ditemukan pada penurunan
dari ketinggian yang lebih tinggi. Robekan transmural jantung yang lengkap atau tidak
lengkap (Gbr. 2.2A, B) memengaruhi jantung kanan lebih sering daripada jantung kiri dan
dapat memengaruhi atrium dan ventrikel.

Robekan dari septum interatrial lebih umum daripada Robekan septum interventricular. Di
atrium, area perlekatan vaskular paling sering terkena. Frekuensi dan keparahan ruptur
jantung dengan ketebalan penuh berkorelasi positif dengan tinggi jatuh. Meskipun cedera
ini dapat bertahan, ruptur transmural terutama dari ventrikel kiri atau lebih dari satu bilik
jantung dalam banyak kasus akan menjadi penyebab kematian atau berkontribusi
signifikan terhadap hasil fatal. Ruptur otot papiler lebih jarang terlihat dan dapat
melibatkan katup. Hematoma miokard tidak jarang diamati pada keturunan fatal dari
ketinggian dan dapat luas, sehingga berkontribusi pada hasil fatal, atau bahkan mungkin
menjadi satu-satunya penyebab kematian. Jantung kiri lebih sering terlibat daripada
jantung kanan, dan perdarahan terbatas pada miokardium ventrikel kiri pada sebagian besar
kasus.
Terutama saat jatuh dari ketinggian yang lebih tinggi, katup jantung jantung mungkin
pecah. Sekali lagi, jantung kanan lebih sering terkena daripada jantung kiri, dan secara
keseluruhan, katup atrioventrikular lebih mudah pecah daripada katup aorta dan paru.
Ruptur arteri koroner lengkap jarang terjadi dan hampir secara eksklusif terbatas pada
ketinggian jatuh yang hebat. Pada saat jatuh dari ketinggian yang sangat tinggi, jantung
dapat benar-benar atau secara subtotal terlepas dari pembuluh darah besar, yang sering
dikaitkan dengan cedera jantung lebih lanjut seperti beberapa atrium ketebalan penuh dan /
atau robekan ventrikel yang biasanya mengakibatkan kematian dengan segera. Dalam uji
klinis, telah disarankan bahwa cedera jantung lebih mungkin terjadi ketika fraktur sternum
hadir, sebuah pengamatan yang sejalan dengan korelasi dari dua jenis cedera yang terlihat
pada otopsi
Namun, tampaknya tidak ada korelasi yang signifikan antara fraktur sternum dan tipe
cedera jantung. Cedera ringan, terutama kontusio / gegar otak, dapat terjadi pada trauma
tumpul pada dada dan dapat berkontribusi pada hasil yang fatal tetapi, karena perubahan
morfologis kecil, sulit dideteksi pada otopsi tanpa investigasi histologis. Relevansi dan
mekanisme kematian mereka masih relatif kurang dipahami. Pada korban yang selamat
dari trauma dada tumpul, penting untuk mendiagnosis memar jantung / gegar otak.
Penggunaan troponin sebagai penanda telah disarankan dalam kasus ini.

Pembuluh Darah Thoracic


Ruptur aorta toraks (Gbr. 2.3) adalah temuan umum pada korban jatuh bebas dan sebagian
besar terletak di daerah isthmus. Keterlibatan keliling lengkap atau tidak lengkap sering
ditemukan. Margin pecah halus di sebagian besar kasus, memberikan cedera penampilan
transeksi yang tajam. Ketebalan penuh tetapi tidak ruptur melingkar dapat hadir dan dapat
bertahan dalam kasus diagnosis dini dan intervensi operasi. Frekuensi pecahnya aorta
meningkat dengan ketinggian jatuh yang lebih besar. Perdarahan mediastinum terjadi
sebagai sekuel dari ruptur aorta, tetapi hemotoraks dari rongga toraks kiri juga dapat
ditemukan. Ruptur aorta bisa multipel dan tidak jarang disertai dengan cedera jantung.
Arteri paru dan ruptur vena terlihat lebih jarang. Frekuensi ruptur arteri besar lainnya,
misalnya arteri aksila, tidak diketahui karena mereka dapat lolos dari deteksi saat otopsi
karena menonjolnya cedera besar lainnya dan perlunya pencarian yang sangat rajin untuk
menemukan ruptur tersebut.

Paru-paru
Kontusio minor atau mayor pada paru-paru dapat ditemukan pada hampir semua jatuh fatal
dari ketinggian, dengan prevalensi dan keparahan meningkat dengan jarak jatuh yang lebih
besar. Terutama pada ketinggian jatuh yang lebih besar, ruptur paru atau ruptur hilus
komplit dapat ditemukan. Pada sebagian besar kasus, cedera paru disertai oleh fraktur
tulang rusuk (multipel). Fraktur rusuk penetrasi dengan cedera paru terkait juga sering
terjadi. Aspirasi darah, baik sebagai fenomena sekunder pada cedera paru atau sebagai
sekuel cedera kepala, sering ditemukan dan tampaknya tidak menunjukkan preferensi
untuk ketinggian jatuh yang lebih tinggi
Ahmad Rifqi Rizal
Halaman 34-44
Rizky Hasbi Yudhi Azhari
Halaman 45-55

Kolagen uratsaraf viskositas. Dengan penuaan, kulit mengubah diri di ketentuan dari
komposisi, organisasi struktural dan karenanya sifat-sifatnya. Namun, meski begitu dari
banyak penelitian, belum mungkin untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang
perubahan yang disebabkan oleh berlalunya waktu (penuaan sejati) atau dengan paparan
sinar matahari berulang atau merokok (penuaan aktinik). Secara umum, kulit menjadi
intrinsik kurang dapat diperpanjang sebagai Sebuah hasil dari sebuah meningkat di itu
modulus dari elastisitas, dan ada penurunan kemampuan kulit untuk kembali ke bentuk
semula setelahnya makhluk mengalami untuk deformasi [29]. Ini menimbulkan itu
pertanyaan dari itu signifikansi forensik dari parameter yang diukur. Meskipun kita tahu
secara anekdot bahwa kulit yang lebih tua lebih rapuh daripada kulit yang lebih muda,
gagasan kerapuhan, kekencangan, warna atau elastisitas tidak dapat direduksi menjadi
pengukuran fisik sederhana. Oleh karena itu tetap sulit bagi para ahli forensik untuk
mengambil keuntungan dari literatur yang diterbitkan dalam merekonstruksi peristiwa
traumatis di Australia tua.
Variasi yang bergantung pada lokasi dan jenis kelamin pada ketebalan kulit dan sifat
mekanis diperiksa in vivo oleh Diridollou et al. [30]. Mereka menunjukkan bahwa kulit
lebih tebal, kaku dan kurang tegang dan elastis di dahi daripada di lengan ventral. Mereka
juga menunjukkan bahwa kulit pada dahi pria secara signifikan lebih besar daripada wanita
sekitar 13%, dan bahwa modulus Young untuk kulit kepala tidak secara signifikan lebih
tinggi untuk wanita daripada pria.
Etnis perbedaan di itu biomekanik properti dari kulit memiliki telah dieksplorasi minimal.
Banyak dari apa yang diketahui tentang kulit manusia berasal dari penelitian kulit
caucasoid, namun sebagian besar populasi bumi berpigmen gelap . Namun, perbedaan
nyata antara kelompok etnis dalam ekstensibilitas kulit , pemulihan dan modulus elastis
telah didokumentasikan [31, 32]. Apalagi pigmennya lebih gelap mata pelajaran memiliki
telah ditampilkan untuk menahan lebih muda kulit properti dibandingkan dengan itu lebih
entengberpigmen kelompok [33]. Meskipun perbedaan di kohesi antar yang jelas antara
kelompok-kelompok etnis yang berbeda, temuan ini penggunaan diragukan dalam
interpretasi saat benda tumpul trauma.
Salah satu sifat intrinsik kulit yang memiliki pengaruh besar pada interpretasi forensik
laserasi adalah adanya garis-garis ketegangan kulit (garis Langer). Dalam serangkaian
makalah Langer menggambarkan hasil metodenya sistematis menusuk apa yang disebut
sebagai mayat 'relatif segar' [34, 35]. Dia menemukan bahwa luka tusuk yang disebabkan
oleh objek melingkar, dalam banyak kasus, memiliki bentuk oval. Ini menunjukkan bahwa
kulit berada di bawah jumlah yang berbeda dari ketegangan alami dalam arah yang
berbeda. Dari sini ia memperoleh peta garis-garis dari tegangan lintas-bagian paling kecil
dari tubuh manusia - garis-garis yang sekarang disebut sebagai garis Langer. Sejak itu Lee
et al. [6] telah menunjukkan bahwa sebagai respons terhadap trauma tumpul pada wajah,
kulit memecah sepanjang garis yang paling tidak resistan ini, dan karenanya pola laserasi
yang dihasilkan ditentukan oleh sifat-sifat struktural dan biomekanis kulit yang melekat,
bukan dari keterikatan subkutan. Byard et al. [36] baru-baru ini meminta perhatian cara di
mana garis Langer dapat mempersulit penilaian luka di otopsi. Garis-garis ketegangan kulit
dapat mengubah luka kulit bundar menjadi cacat seperti celah yang menyerupai luka
tusukan gaya yang tajam.Oleh karena itu, garis-garis ini perlu dipertimbangkan
pertimbangan kapan kraniofasial tumpul memaksa trauma aku s dinilai di autopsi.
3.1 Ekstrinsik Faktor-faktor

Sebuah pertanyaan yang jelas yang timbul dari apa yang kita ketahui tentang kulit dan
responnya untuk tumpul trauma berhubungan untuk itu perkiraan dari itu memaksa dari
itudampak. Untuk a diberikan lokasi dan Sebuah diberikan daerah dari kulit, tidak itu
memaksa dari dampak menentukan bentuk dari itu yg dihasilkan laserasi? Di lain kata-
kata, bisasebuah pengamat mengambil kesimpulan itu kekuatan serangan dari bentuk
cedera kekuatan tumpul? Seperti yang telah kita lihat, sejumlah faktor intrinsik
mempengaruhi morfologi luka. Pertanyaannya sekarang , bagaimana melakukan kita
mengukur itu tumpul memaksa dibutuhkan untuk menembus manusia kulit?
Masalahnya, tentu saja, adalah kulit sangat cacat bentuknya. Telah dikatakan bahwa kulit
ditekankan pada tingkat yang jauh di bawah bahan-bahan teknik, tetapi mungkin lebih
tegang karena pesanan yang lebih besar. Oleh karena itu, energi regangan yang disimpan di
kulit pipi selama menguap mirip dengan baja ringan pada tekanan teknik normal
[37].Akibatnya, sulit mengukur resistensi terhadap fraktur. Doran et al. [37] Namun, telah
menghitung resistensi sampel kulit manusia menjadi 2,32 - 0,40 kJm –2 .
Sederhana, kulit adalah selaput tipis, multilayer yang menutupi otot, lemak, dan tulang.
Ketebalan pengaturan ini tergantung pada lokasi. Pemodelan peristiwa kontak sangat
penting untuk berbagai bahan dan struktur teknik dan telah menghasilkan pengembangan
mekanika dasar yang kuat dari masalah ini. Kejadian dampak memainkan peran penting
dalam tribologi serta dampak kerusakan struktur terutama di lokasi dampak yang
dilokalisasi. Misalnya, timbulnya perilaku terinduksi retak pada bahan rapuh sangat
penting untuk memastikan keandalannya. Peristiwa kontak yang disengaja adalah dasar
dari metode sederhana untuk menentukan sifat mekanik seperti kekerasan dan modul
elastis bahan. Pendekatan ini telah menjadi semakin populer dengan pengembangan
lapisan tipis pada sebagian besar bahan terutama di industri optik dan mikro-elektronik.
Studi perintis mekanika kontak dimulai lebih dari 100 tahun yang lalu dengan studi klasik
Bousinesq dan Hertz yang menyelidiki tekanan yang dihasilkan oleh kontak titik dan
kontak bola atau tumpul [38]. Respon awal dapat memiliki dengan mempertimbangkan
kontak elastis sederhana antara benda relevansi, yaitu mengatakan misalnya tongkat
baseball dari 60 mm diameter kontak dengan tengkorak yang mungkin con- sidered bola
dari 150 mm diameter. Mengetahui sifat elastis dari kedua bahan yang satu dapat
menentukan dimensi kontak dan bentuk yang dihasilkan oleh spesifik memaksa. Di itu
kasus dari kulit atasnya tulang itu masalah aku s lebih kompleks bahwa ketebalan dan sifat
kulit dan tulang yang mendasarinya perlu dimasukkan. Ini adalah masalah utama untuk
pemuatan kontak bahan berlapis-banyak. Sekali lagi, sebagai perkiraan pertama, kontak
dapat dianggap elastis karena ini akan memungkinkan tekanan dalam jaringan kulit untuk
dikuantifikasi dan membantu mengidentifikasi lokasi tegangan tarik maksimum dan arah
retakan yang paling mungkin terjadi. memperpanjang.
Shergold dan Fleck [39] telah berusaha memahami mekanika fraktur manusia kulit dan
Sebuah tiruan (silikon karet) oleh mengembangkan Sebuah mikromekanis

Gbr. 3.4 Shergold dan Flek model untuk itu penetrasi dari kulit oleh Sebuah tumpul
meninju ( kiri ) dan pukulan tajam ( kanan ) (menurut [38])

model untuk dalam penetrasi dari Sebuah tumpul dan berujung tajam berbentuk silinder
meninju. Model mereka menunjukkan bahwa itu mekanisme dari penetrasi tergantung atas
itugeometri dari meninju tip. Sementara Sebuah tumpul tip menembus oleh itu
pertumbuhan dari Sebuah cincin (mode II atau merobek) retak, Sebuah tajam tip irisan
Buka Sebuah planar(mode saya - pembukaan) retak. Pukulan tumpul menembus oleh
kemajuan retak yang tidak stabil dan menghasilkan tekanan kolom dari bahan di itu bawah
dari itu berbentuk silinderrongga demikian dibuat (Gbr. 3.4). Di kontras, itu tajam meninju
terowongan ke itu tisu di Sebuah tekanan penetrasi beberapa waktu menurunkan dari
bahwa dari Sebuah tumpulmeninju. Ini tersirat bahwa kekuatan tumpul cedera
membutuhkan lebih energi dari tajam memaksa cedera, dan bahwa itu yang pertama akan
menghasilkan yang lebih besar, lebih tidak teratur melukai.

3.2 Biomekanis Pemodelan

Trauma gaya tumpul memainkan peran sentral dalam rekonstruksi forensik cedera. Seperti
yang telah kita lihat, ada banyak bukti empiris, eksperimental, dan teoretis bahwa
interpretasi seperti itu sangat kompleks dan multifaktorial. Apa yang diperlukan adalah
model sederhana trauma tumpul yang dapat digunakan untuk mengungkapkan mekanisme
biomekanik dasar yang mengontrol pola luka yang diberikan di bawah beban variabel dan
dari berbagai permukaan dampak. Salah satu model tersebut adalah model Thali et al. [40]
yang menggunakan tabung drop dengan tubuh berbobot yang berdampak pada sudut ke
model kulit-tengkorak-otak. Meskipun mereka tidak menganalisis hasil mereka, mereka
mendokumentasikan kemiripan dengan cedera kekuatan tumpul nyata, seperti jembatan
jaringan buatan kulit.
Model drop-tube kami sendiri terdiri dari busa poliuretan bersel terbuka dengan kerapatan
sedang yang terikat pada kulit silikon. Busa diizinkan

Gambar 3.5 Top : pandangan postmortem khas laserasi linier (milik Prof Michael Tsokos,
Berlin, Jerman). Bawah : bentuk luka linier khas yang dihasilkan dari tumbukan tegak
lurus ke spons berisi cairan
untuk menyerap air, dimana saya t aku s ditempatkan di bawah itu droptube dan
mengalami untuk berbagai level dari dampak energi. Sebagai dinyatakan sebelumnya, kulit
pameranelastis tingkat-tergantung properti (Ara. 3.1), yang adalah sangat cairan
tergantung. Di lain kata-kata, kulit telah Sebuah ambang dari energi penyerapan per satuan
waktu; karenanya,cepat dampak akan
(A)

(B)

Gbr. 3.6 Atas : khas postmortem melihat dari seperti bintang laserasi (kesopanan dari Prof.
Michael Tsokos, Berlin, Jerman). Bawah : ciri seperti bintang luka bentuk dihasilkan dari
Sebuah dampak tumpul tegak lurus terhadap cairan sepon
dipenuhi dengan kekakuan lebih dari dampak yang lebih lambat. Untuk meniru ini, kami
membiarkan spons menyerap air sebelum percobaan melukai.
Awal, hasil yang tidak dipublikasikan menunjukkan bahwa ada empat bentuk luka diskrit
dibuat oleh tegak lurus 5 kg tumpul dampak di kami kulit tiruan model. Ini adalah
rahasiasebagai seperti bintang, linier, dua kali lipat sabit atau Berbentuk Y dan sesuai
dengan laserasi gaya tumpul yang terlihat pada otopsi (Gambar 3.5 dan 3.6). Persentase
distribusi dariintern luka jenis dihasilkan oleh kami kulit model simulan (dikenakan untuk
49 N dan 24.5 J) aku s diberikan di Ara. 3.7, dan menyarankan bahwa Laserasi berbentuk
Y adalah hasil paling umum dari trauma gaya tumpul tegak lurus , diikuti oleh linear dan
stellate formulir.
Terlepas dari apakah laserasi eksternal diciptakan mengikuti tegak lurus dampak, sebuah
intern ''luka'' adalah dibuat. Menariknya, ini menyarankan bahwa dalam kehidupan, trauma
gaya tumpul dapat menyebabkan kavitasi subkutan, bahkan ketika kulit tidak benar-benar
dilanggar. Ini mungkin menghasilkan pembentukan hematoma, dan mungkin memiliki
implikasi untuk analisis pola noda darah, karena kavitasi yang dipenuhi darah dapat
menjadi reservoir darah yang akan dihamburkan oleh pukulan-pukulan berikutnya.

Referensi

1. Messerer O (1884) Experimentelle Untersuchungen u¨ber Scha¨delbru¨che. Rieger,


Mu¨nchen
2. Walcher K (1929) Ueber traumatische Spalt- und Ho¨hlenbildungen innerhalb der
weichen Scha¨delbedeckungen und deren praktische diagnostische Bedeutung. Dtsch
Z Gerichtl Med 28:128–134
3. Tornheim P, Liwnicz B, Hirch C, Brown D, McLaurin R (1983) Acute responses to
blunt head trauma. J Neurosurg 59:431–438
4. Zugibe F, Costello J (1986) Identification of the murder weapon by intricate patterned
injury measurements. J Forensic Sci 31:773–777
5. Saukko P, Knight B (2004) Knight’s forensic pathology, 3rd edn. Arnold, London
6. Lee RH, Gamble WB, Mayer MH, Manson PN (1997) Patterns of facial laceration
from blunt trauma. Plast Reconstr Surg 99:1544–1554
7. Ankers J, Birkbeck AE, Thomson RD, Vanezis P (1999) Puncture resistance and
tensile strength of skin simulants. Proc Inst Mech Eng (H) 213:493–501
8. Ambade V, Godbole H (2006) Comparison of wound patterns in homicide by sharp
and blunt force. Forensic Sci Int 156:166–170
9. Murphy G (1991) Beaten to death: an autopsy series of homicidal blunt force injuries.
Am J Forensic Med Pathol 12:98–101
10. Strauch H, Wirth I, Taymoorian U, Geserick G (2001) Kicking to death – forensic and
criminological aspects. Forensic Sci Int 123:165–171
11. Ong T, Dudley M (1999) Craniofacial trauma presenting at an adult accident and
emergency department with an emphasis on soft tissue injuries. Injury 30:357–363
12. Stron C, Nordenram A, Johanson G (1991) Injuries due to violent crimes: a study of
police reported assaults during 1979, 1982 and 1985 in a police district of Stockholm,
Sweden. Med Sci Law 31:251–258
13. Avis SP (1996) Homicide in Newfoundland: a nine-year review. J Forensic Sci
41:101–105
14. Rogde S, Hougen HP, Poulsen K (2003) Homicide by blunt force in two Scandinavian
capitals. Am J Forensic Med Pathol 24:288–291
15. Henderson JP, Morgan SE, Patel F, Tiplady ME (2005) Patterns of non-firearm homi-
cide. J Clin Forensic Med 12:128–132
16. Lo S, Aslam N (2005) Mechanisms and pattern of facial lacerations in the accident
department. Int J Clin Pract 59:333–335
17. DiMaio V, DiMaio D (1993) Forensic pathology. CRC Press, Boca Raton
18. Henry T (2003) Blunt force injuries. In: Froede R (ed) Handbook of forensic
pathology, 2nd edn. College of American Pathologists, Illinois
19. Pollak S, Saukko P (2000) Blunt injury. In: Siegel J, Saukko P, Knupfer G (eds) Ency-
clopaedia of forensic sciences. Academic Press, San Diego
20. Payne P (1991) Measurement of properties and function of skin. Clin Res Physiol
Meas 12:105–129
21. Dunn MG, Silver FH (1983) Viscoelastic behaviour of human connective tissues:
relative contribution of viscous and elastic components. Connect Tiss Res 12:59–70
22. Silver FH, Kato YP, Ohno M, Wasserman AJ (1992) Analysis of mammalian
connective tissue: relationship between hierarchical structures and mechanical
properties. J Long- term Effect Med Implants 2:165–198
23. Silver FH, Freeman JW, DeVore D (2001) Viscoelastic properties of human skin and
processed dermis. Skin Res Tech 7:18–23
24. Gordon JE (1978) Structures. Plenum, New York
25. Bischoff JE, Arruda EM, Grosh K (2000) Finite element modeling of human skin
using an isotropic, nonlinear elstic constitutive model. J Biomech 33:645–652
26. Daly CH (1982) Biomechanical properties of dermis. J Invest Dermatol 79(Suppl 1):
17s–20s
27. Ashby MF, Gibson LJ, Wegst U, Olive R (1995) The mechanical properties of natural
materials. 1 Material property charts. Proc Math Phys Sciences 450:123–140
28. Silver FH, Seehra GP, Freeman JW, DeVore D (2002) Viscoelastic properties of
young and old human dermis: a proposed molecular mechanism for elastic energy
storage in collagen and elastin. J Appl Polym Sci 86:1978–1985
29. Batisse D, Bazin R, Baldeweck T, Querleux B, Leveque JL (2002) Influence of age on
the wrinkling capacities of skin. Skin Res Tech 8:148–154
30. Diridollou S, Black D, Lagarde JM, Gall Y, Berson M et al. (2000) Sex and site
dependent variations in the thickness and mechanical properties of human skin in vivo.
Int J Cosmet Sci 22:421–435
31. Berardesca E, DeRigal J, Leveque JL, Maibach HI (1991) In vivo biophysiological
characterisation of skin physiological differences in races. Dermatologica 182:89–93
32. Wesley NO, Maibach HI (2003) Racial (ethnic) differences in skin properties. Am J
Clin Dermatol 4:843–860
33. Rawlins AV (2006) Ethnic skin types: are there differences in skin structure and
function? Int J Cosmet Sci 28:79–93
34. Langer K (1978) On the anatomy and physiology of the skin I. Cleavability of the
cutis. Brit J Plastic Surg 31:3–8
35. Langer K (1978) On the anatomy and physiology of the skin II. Elasticity of the cutis.
Brit J Plastic Surg 31:185–199
36. Byard RW, Gehl A, Tsokos M (2005) Skin tension and cleavage lines (Langer’s lines)
causing distortion of ante- and postmortem wound morphology. Int J Legal Med
119:226–230
37. Doran CF, McCormack BAO, Macey A (2004) A simplified model to determine the
contribution of strain energy in the failure process of thin biological membranes
during cutting. Strain 40:173–179
38. Lawn BR, Wilshaw TR (1973) Indentation fracture: principles and applications. J
Mater Sci 10:1049–1073
39. Shergold OA, Fleck NA (2004) Mechanisms of deep penetration of soft solids, with
application to the injection and wounding of skin. Proc Roy Soc A Math Phys Eng Sci
460:3037–3058
40. Thali MJ, Kneubuehl BP, Dirnhofer R (2002) A skin-skull-brain model for the biome-
chanical reconstruction of blunt forces to the human head. Forensic Sci Int 125:195–
200
Bab 4
Sengatan listrik dan Otopsi
Regula Wick dan Roger W. Byard

Abstrak Kematian jatuh tempo untuk itu bagian dari listrik arus
melalui itu tubuh adalah paling sering tidak disengaja, meskipun bunuh
diri dan pembunuhan kadang - kadang dapatterjadi. Kelistrikan energi
mewakili elektron mengalir, atau arus, antara dua poin dengan
berbeda potensi, diukur di voltase. Itu jumlah dari arus aku s ditentukan
oleh perlawanan dari itu melakukan bahan. Sengatan listrik melibatkan
manusia mungkin
menjadi jatuh tempo untuk rendah tegangan ( < 1000 V), tinggi voltase
( > 1000 V), atau untuk petir. Kematian adalah disebabkan oleh Sebuah
langsung efek dari arus di itu jantung,dihasilkan di ventrikel
fibrilasi, pada otot pernapasan yang menyebabkan kelumpuhan
pernapasan atau pada pusat pernapasan batang otak . Kematian juga
dapat disebabkan oleh efek termal dari arus, atau oleh trauma atau
tenggelam terkait dengan paparan arus listrik, atau untuk multiorgan
kegagalan rumit awal cedera. Itu autopsi ment assess- kemungkinan
listrik yang rumit oleh non-kekhususan dan kehalusan lesi. Para korban
mungkin mengalami luka bakar listrik targetoid klasik pada kulit
dengan pelapisan tengah , pucat di sekelilingnya dan pelek
hiperemis.Mungkin juga ada berdekatan nodul dari dibakar keratin
jatuh tempo untuk pencetusan dari arus. Korban dari sambaran petir
dapat menunjukkan pola pakis yang khas dari tokoh-tokohLichtenberg .
Sebaliknya, kasus-kasus lain, misalnya, sengatan listrik yang terjadi di
air, mungkin tidak memiliki indikator patologis cedera listrik . Untuk
alasan ini, penyelidikankemungkinan listrik memerlukan evaluasi yang
cermat dari adegan kematian dan penilaian keselamatan listrik
bangunan dan peralatan listrik setiap yang telah digunakan.
Pemeriksaancermat terhadap semua permukaan tubuh untuk luka bakar
listrik yang halus dengan pengambilan sampel histologis juga wajib.

Kata kunci Electrocution · Petir · Bakar listrik · Tanda masuk ·


Metallisasi · Patologi forensik

4.1 pengantar

Sengatan listrik mengacu pada kematian yang disebabkan oleh


lewatnya arus listrik melalui tubuh. Meskipun tidak semua kasus
mematikan, efek potensial dari kontak dengan listrik telah dikenali
dengan baik, dengan kata '' setrum '' berasal dari kombinasi kata '' listrik
'' dan '' eksekusi ''. Kematian seperti itu tidak biasa dan biasanya karena
kecelakaan yang disebabkan oleh perangkat yang salah, atau karena
kecerobohan atau penyalahgunaan peralatan listrik. Bunuh diri dan
pembunuhan yang berhubungan dengan listrik bahkan lebih jarang
terjadi. Eksekusi yudisial dengan listrik terjadi di negara-negara seperti
Amerika Serikat [1, 2].
Listrik mungkin memiliki berbagai efek pada tubuh, mulai dari hanya
kejutan kecil yang tidak berhubungan dengan cedera, hingga aritmia
jantung yang mematikan. Temuan morfologis setelah paparan fatal
terhadap arus listrik juga dapat sangat bervariasi, dengan beberapa
kasus tidak memiliki fitur patologis yang dapat dibuktikan, yang lain
menunjukkan luka bakar listrik khas yang mungkin terpola yang
mencerminkan sifat permukaan yang dihubungi, dan yang lain
menunjukkan pembakaran yang luas dan dalam. Berbagai temuan ini
kadang-kadang membuat diagnosis sengatan listrik pada postmortem
sulit dan menekankan perlunya penyelidikan adegan kematian yang
cermat dalam semua kasus [1, 2].

4.2 Listrik

Listrik adalah bentuk energi yang dihasilkan dari aliran elektron antara
dua titik dengan beda potensial. Aliran elektron, atau arus, adalah
diukur dalam ampere (A), dan perbedaan potensial dalam volt (V).
Langkah pembatas laju dalam aliran arus sering kali merupakan
resistensi terhadap aliran elektron dari materi di antara titik-titik
potensial yang berbeda. Ini diukur dalam ohm. Hubungan ampere, volt
dan ohm dinyatakan dalam hukum Ohm sebagai ampere = volts / ohm
(A = V / R). Ini berarti bahwa jumlah aliran arus (ampere) sebanding
dengan tegangan sumber dan berbanding terbalik dengan resistansi. dari
bahan yang melakukan arus [1].
Untuk sebuah listrik arus untuk lulus melalui itu tubuh Sebuah sirkuit
telah untuk menjadi selesai [2]. Jumlah kerusakan jaringan dan efek
fisiologis dari paparan arus listrik maka tergantung pada jenis arus (AC
= arus atau DC = arus searah bolak), jumlah arus, tegangan, perlawanan
yang dihadapi, itu lamanya dari itu peristiwa, dan itu rute dari itu arus
[3].

4.2.1 Jenis Arus

Bergantian arus aku s lebih berbahaya dari langsung arus sebagai saya t
penyebab kematian di bawah arus listrik, aku s lebih mungkin untuk
menghasilkan jantung aritmia, dan mungkinmencegah korban
melepaskan genggaman konduktor karena kejang otot tetanik. Saya t
telah telah dianggap empat untuk enam waktu lebih mungkin untuk
sebab kematian [4, 5].

4.2.2 Arus

Ampere adalah faktor terpenting dalam listrik, tetapi jelas terkait


dengan tegangan dan resistansi melalui Hukum Ohm. Telah
memperkirakan itu sebuah individu terpapar untuk Sebuaharus dari 40
ma akan kalah kesadaran dan kematian itu aku s mungkin setelah
beberapa detik dari paparan untuk arus lebih 50–80 ma [5]. Efek dari
peningkatan arus dirangkum dalam Tabel 4.1.

Meja 4.1 Itu efek dari meningkat arus mengalir (menurut untuk [1]); ma
= miliamperes, A = ampere
1 ma Persepsi hampir tidak menggelenyar
16 ma Arus yang bisa dipahami dan dilepaskan
16–20 ma Berotot kelumpuhan
20–50 ma Pernafasan kelumpuhan
50–100 ma Fibrilasi ventrikel
> 2000 ma Kemacetan ventrikel
Rizki Padelia
Halaman 56-66
4.2.3 Tegangan
Kematian yang disebabkan oleh sengatan listrik disebabkan oleh
tegangan rendah (<1000V), tegangan tinggi (> 1000 V) atau petir [3, 6],
dengan sebagian besar kematian terjadi pada tegangan 110-380V, yang
merupakan rentang tegangan rumah dan pekerjaan industri [7].
Sengatan listrik pada tegangan yang sangat rendah (<80 V) jarang
terjadi, meskipun ini dapat terjadi jika kelembaban mengurangi
resistensi atau ada kontak yang berkepanjangan [8, 9]. Sengatan listrik
tegangan tinggi dapat terjadi tanpa kontak langsung antara korban dan
karena konduktor melengkung di udara. Arcs dapat menghasilkan suhu
yang sangat tinggi (hingga 50008C) dan kematian bisa disebabkan oleh
aliran arus itu sendiri, atau luka bakar yang parah [1]. Cedera yang
signifikan juga dapat terjadi akibat jatuh jika korban terlempar dari
konduktor karena kontraksi otot; misalnya seorang pekerja yang jatuh
dari tempat yang tinggi akibat tegangan listrik .

4.2.4 Perlawanan
Jaringan tubuh memiliki resistensi yang sangat bervariasi terhadap arus
listrik yang kadar tertinggi ditemukan dalam tulang, lemak dan tendon,
dan yang terendah di saraf, darah, lendir membran, dan otot. Dengan
demikian, berbagai paparan bagian tubuh tegangan yang sama akan
menghasilkan arus yang berbeda (arus listrik). Resistansi internal
adalah diperkirakan antara 500 dan 1000 ohm. Kulit memiliki resistensi
menengah tergantung pada ketebalan dan juga kelembabannya.
Misalnya kulit kering mungkin memiliki resistensi 100.000 ohm,
sedangkan untuk kulit yang basah atau air keringat resistensi sering
turun menjadi 1000 ohm [1,6,10]. Resistensi yang sangat rendah dari
selaput lendir yang lembab dan tipis meningkatkan bahaya cedera
orofasial yang parah pada anak-anak kecil yang mungkin meletakkan
timah listrik di mulut mereka [11, 12].Tangan yang menebal dan
kapalan memiliki resistensi terbesar.

4.2.5 Durasi Kontak


Kemungkinan kejadian mematikan sering meningkat seiring dengan
waktu kontak dengan konduktor. Untuk alasan ini, kematian telah
dilaporkan dengan voltase serendah 24V ketika kontak telah
dipertahankan selama beberapa jam. Ini juga menjelaskan paradok
bertahan hidup dengan sengatan listrik tegangan tinggi, ketika kejang
otot mengakibatkan korban terlempar menjauh dari konduktor,
sehingga secara dramatis mengurangi durasi paparan saat ini.
Sebaliknya, kejang otot yang menyebabkan korban menggenggam
konduktor mungkin memiliki efek sebaliknya dengan memperpanjang
kontak.

4.2.6 Rute Arus


Jalur arus melalui tubuh adalah faktor penting lain yang menentukan
hasil, dan perjalanan arus melalui jantung atau melalui otak meningkat
risiko hasil yang fatal [2, 13]. Arus umumnya lewat dari titik kontak ke
titik pembumian terdekat. Ini sering dari tangan ke kaki atau dari
tangan ke tangan.

4.3 Petir
Petir disebabkan oleh listrik atmosfer dan dapat menghasilkan suhu
hingga 30.0008C dengan arus 20.000 A dan potensi hingga
100.000.000 V [14]. Kematian akibat petir adalah peristiwa langka dan
hasil dari efek arus searah tegangan tinggi dengan berbagai mekanisme
[15]. Petir dapat langsung menyerang korban atau dapat dilakukan
melalui objek lain. Contoh dari dua situasi ini termasuk pegolf yang
dipukul secara langsung sambil berdiri di atas lintasan, atau secara tidak
langsung dipukul melalui klub logam yang terangkat. Serangan kilat
samping mengacu pada situasi di mana objek yang berdekatan dengan
korban menderita serangan langsung yang diikuti oleh pelepasan
sekunder dari objek, misal pemain golf yang berlindung di bawah
pohon dapat terkena dampak sekunder. Dengan potensi, petir mengenai
tanah dan kemudian masuk ke tubuh korban melalui satu kaki dan
keluar dari yang lain. Akhirnya, seorang korban sangat mungkin terisi
daya selama pemogokan sehingga mereka mengeluarkan 'streamer' ke
atas [14]. Petir mungkin berubah-ubah dalam efeknya dengan kasus
yang terjadi di mana hanya satu orang dalam kelompok yang terpapar
pada kondisi yang sama menderita cedera mematikan [16].
Fenomena flash-over mengacu pada aliran arus listrik dari kilat di
permukaan tubuh, sering menyebabkan penguapan permukaan air
dengan efek ledakan pada pakaian dan sepatu [1]. Pakaian dan sepatu
yang sobek mungkin menyarankan kepada penyelidik bahwa korban
telah mengalami trauma gaya tumpul seperti kecelakaan kendaraan
bermotor dari pada sambaran petir. Jarang sekali kematian terjadi di
dalam rumah ketika seorang korban menggunakan telepon dan
sambungannya disambar petir. Satu kematian per tahun telah dikaitkan
dengan cedera petir yang berhubungan dengan telepon di Amerika
Serikat, yang selamat memanifestasinya tuli akibat membran timpani
yang pecah, vertigo sementara, ataksia, defisit neurologis, dan kejang
[17, 18]. Selain temuan patologis dari sambaran petir yang dirinci di
bawah ini, korban mungkin telah hangus rambut dan ablasi retina [14].

4.4 Mekanisme Kematian


Pada kematian akibat sengatan listrik, peristiwa mematikan mungkin
secara langsung karena energi listrik itu sendiri, atau akibat sekunder
dari luka bakar atau cedera tumpul akibat jatuh yang diendapkan oleh
sengatan listrik [10]. Mekanisme kematian langsung karena aliran arus
melalui tubuh biasanya melibatkan satu atau lebih dari itu [2, 19].
Kematian yang tertunda mungkin karena komplikasi multisistem
mengikuti awal [20].

4.4.1 Fibrilasi Ventrikular


Ini dianggap sebagai penyebab kematian tersering dan mengikuti aliran
arus listrik melalui jantung. Efek dari arus listrik pada miokardium
kurang dipahami; namun kemungkinan besar melibatkan aksi langsung
pada miosit jantung, jaringan nodul dan saluran konduksi.

4.4.2 Paralisis Pernafasan


Ini jauh lebih jarang dari pada aritmia jantung dan melibatkan
perjalanan arus melalui dada dengan paralisis pernapasan karena
kontraksi otot-otot pernapasan yang parah, seperti diafragma dan otot-
otot interkostal, asfiksia dan henti jantung. Ini lebih sering terlihat pada
kematian karena tegangan tinggi.

4.4.3 Kelumpuhan Pusat Pernafasan


Ini mungkin jarang terjadi jika arus melewati pusat pernapasan di
batang otak yang menyebabkan gangguan fungsi saraf karena efek
langsung dari arus listrik atau yang kedua akibat hipertermia.

4.4.4 Trauma tumpul


Kontak dengan arus listrik dapat menyebabkan seseorang terlempar ke
belakang dengan kekuatan yang besar sehingga berpotensi
menimbulkan cedera trauma yang mematikan.

4.4.5 Tenggelam
Kasus telah dilaporkan di mana seseorang tenggelam di kolam renang
setelah sengatan listrik [21].
4.5 Faktor Lingkungan
Jumlah arus listrik melalui korban seringkali banyak dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan dan inilah alasan lain mengapa penuh evaluasi
lokasi kematian harus dilakukan oleh personal yang berpengalaman
untuk penilaian kematian listrik. Misalnya, seseorang yang memakai
sepatu bot karet dan berdiri di atas bahan isolasi kering hanya dapat
menopang guncangan minimal dari sirkuit yang sama dapat membunuh
orang kedua yang berdiri dengan kaki telanjang di permukaan logam
yang basah.

4.6 Temuan Otopsi


4.6.1 Keterangan Umum
Cedera listrik dapat dipisahkan menjadi tiga kelompok utama:
kerusakan jaringan langsung yang disebabkan oleh arus listrik itu
sendiri, kerusakan termal dari konversi listrik menjadi energi termal,
dan cedera traumatis dari kontraksi otot yang menyebabkan patah
tulang atau cedera akibat jatuh [1, 13, 22 ] Pola cedera tertentu dapat
terjadi di berbagai bagian dan jaringan tubuh.

4.6.2 Kulit
Lesi kulit yang khas karena arus listrik umumnya muncul pada cedera
tegangan rendah saat terbakar di pintu masuk dan keluar dari tempat
saat ini. Mereka tidak selalu hadir, namun, hanya ditemukan pada 57-
83% kasus, karena kejadian dan tingkat keparahan luka bakar
tergantung pada beberapa faktor, seperti jumlah aliran arus waktu
persatuan, tegangan dan lama waktu paparan. Sebagai contoh, jika ada
arus yang lewat rendah untuk waktu yang singkat, tidak ada luka bakar
yang diproduksi dan tidak ada tanda yang terdeteksi pada kulit [1, 2, 6,
15, 23]. Luka bakar listrik pada jari juga mungkin sulit untuk
divisualisasikan jika fleksi jari dipertahankan oleh kaku mayat.
Efek awal dari arus listrik pada kulit ketika ada kontak yang baik
adalah menyebabkan pemanasan dan penguapan cairan yang
menghasilkan terbentuknya lepuh. Setelah arus berhenti, lepuh itu
kempis, kadang-kadang membelah epidermis. Penampilan yang biasa
adalah dari kecil, terbatas, seperti kawah, lesi yang keras memiliki
pusat abu-abu atau hitam (jika terbakar) dikelilingi oleh zona pucat
yang disebabkan oleh spasme arteriol dan nekrosis koagulatif.
Gambar 4.1
Luka bakar elektrik pada kulit menunjukkan terbakar dari pusat dengan
memucat sekitarnya dan tepi hiperemis.

Gambar. 4.2
Serangkaian ‘‘ percikan ’ lesi yang disebabkan oleh lengkung arus
tegangan tinggi yang menghasilkan pernggabungan nodular keratin
yang melebur.

Terkadang ada zona hiperemis di sekitarnya (Gbr. 4.1) dengan vesikel


kecil. Percikan luka bakar terjadi ketika kontaknya kurang kuat dan
tegangan tinggi yang mengakibatkan timbulnya arus dengan keratin
mencair menjadi nodul kecil (Gbr. 4.2). Luka bakar listrik sering
menunjukkan pencampuran dua jenis lesi ini. Mungkin juga untuk lesi
tersebut terbentuk setelah kematian sehingga lesi antemortem dan
postmortem tidak dapat dipisahkan secara histopatologis jika kematian
terjadi dengan cepat sebelum respons inflamasi jaringan terjadi.
Tanda masuk umumnya menunjukkan bentuk dan ukuran konduktor
[2];misalnya luka bakar linier dari kawat hidup (Gbr. 4.3), atau tiga
jarak yang merata terbakar dari steker listrik. Pola luka bakar listrik
dapat memberikan indikasi penyiksaan atau pembunuhan. Tidak ada
tanda pada kulit yang terlihat jika titik kontaknya luas, misalnya dengan
sengatan listrik dalam bak mandi, di mana sebagian besar permukaan
tubuh terpapar ke konduktor dan resistensi berkurang karena air, yang
juga mendinginkan kulit, sehingga mencegah luka bakar [21]. Dalam
keadaan ini mungkin ada tanda linier pada kulit di tingkat air, meskipun
ini tidak spesifik untuk kematian listrik [24].

Gambar 4.3
Luka bakar jari secara linear disebabkan memegang kabel listrik yang
hidup.

Kadang-kadang fenomena 'metalisasi' dapat diamati, memberikan bukti


bahwa luka bakar disebabkan oleh arus listrik. Metalisasi terjadi ketika
jaringan anion bergabung dengan logam dari elektroda untuk
membentuk garam logam itu dapat dilihat pada permukaan kulit. Jika
busur listrik terbentuk, kulit mungkin dilapisi dengan lapisan tipis
logam yang diuapkan. Warna hijau cerah dapat dilihat dengan elektroda
kuningan atau tembaga. Residu logam juga dapat ditunjukkan dengan
pengujian kimia atau divisualisasikan dengan memindai mikroskop
elektron [5]. Sengatan listrik tegangan tinggi dapat menyebabkan
terbakar parah pada beberapa area tubuh dengan terbakar dalam (Gbr.
4.4). Mungkin juga ada beberapa busur arus sehingga terjadi banyak
percikan api (Gbr. 4.5) yang menghasilkan efek‘ kulit buaya ’.
Gambar 4.4
Terbakar bagian kaki dalam pada kasus sengatan listrik tegangan tinggi.

Gambar 4.5
Banyak luka bakar bertitik pada lengan akibat kontak dengan saluran
listrik tegangan tinggi. Korban saat itu sedang memindahkan tiang
logam perahu bersentuhan dengan saluran listrik. Lesi disebabkan oleh
busur arus.

Tegangan tinggi karena petir juga dapat menyebabkan apa yang disebut
punjung, pakis, gambar Lichtenberg atau tanda keraunografis. Ini
adalah beberapa makula linier bata merah hingga coklat dalam pola
pakis pada kulit yang mungkin disebabkan oleh denaturasi panas sel
darah merah yang menghasilkan pola khas hemolisis [6]. Pemeriksaan
histologis dari angka-angka Lichtenberg menunjukkan tidak ada
tampilan spesifik selain kongesti vaskular dermal dan subkutan [16].
Pola ini akan hilang dalam 24 jam jika korban selamat [18]. Lebih
umum daripada angka Lichtenberg adalah luka bakar linier yang
mengikuti lipatan kulit (Gbr. 4.6).

Gambar 4.6
Luka bakar linier yang tidak teratur dalam kasus pemogokan
pencahayaan lebih umum dari pada pola percabangan klasik halus,
yang disebut angka Lichtenberg.
Sementara konjungtiva dan internal peteki telah dilaporkan hingga tiga
perempat kasus sengatan listrik dalam beberapa seri, ini bukan
pengalaman umum [15, 23].
Temuan histologis pada cedera listrik pada dasarnya disebabkan oleh
efek panas tanpa lesi patognomonik, meskipun literatur sebelumnya
yang menyarankann. Sering ada transisi tiba-tiba dari kulit normal ke
abnormal pemisahan sel epidermis bawah dengan pembentukan
mikrovesikel (Gbr. 4.7), nekrosis koagulatif meluas ke dalam dermis
[2]. Inti sel menunjukkan piknosis dan elongasi dengan keselarasan.
Meskipun 'nuklir aliran' ini dianggap oleh arus listrik, ini bukan
temuan spesifik dan dapat ditemukan pada jenis luka bakar lain dan
hipotermia [24].

Gambar 4.7.
Bagian histologis dari luka bakar listrik dengan nekrosis koagulatif
fokal dan melepuh dari epidermis.

4.6.3 Organ Lainnya


Jantung menunjukkan fokus nekrosis miokard yang tersebar dengan
perdarahan subendocardial dan pita kontraksi, namun pada dasarnya
adalah temuan yang tidak spesifik. Cedera vaskular dapat menyebabkan
kerusakan pembuluh intima dan dapat menyebabkan trombosis, ruptur
atau pembentukan aneurisma jika ada survival [10, 13].
Cedera jaringan lunak dan visceral dapat terjadi akibat jatuh karena
listrik yang menyebabkan kontraksi otot. Fraktur tulang panjang, patah
tulang belakang dan dislokasi sendi dapat secara langsung disebabkan
oleh kontraksi otot, di samping dampak dari jatuh [1, 22]. Perdarahan
intramuskular adalah temuan langka yang disebabkan oleh kontraksi
otot yang diinduksi arus tetanik [25]. Pita kontraksi pada otot rangka
adalah temuan biasa tetapi tidak spesifik [26]. Sengatan listrik tegangan
tinggi dapat menyebabkan pemanasan tulang yang ditandai yang
disebut 'mutiara osseous' yang ditemukan di korteks tulang yang
terbakar [2]
Kontak yang terlalu lama dengan arus listrik juga dapat menyebabkan
tanda internal. Misalnya, Anders et al melaporkan bunuh diri dengan
menyetrum listrik di mana korban terhubung ke arus selama beberapa
hari. Pada otopsi, tanda linear kehitaman dengan perubahan histologis
yang dikaitkan dengan arus listrik ditemukan di pleura parietal rongga
dada kiri antara tanda kulit eksternal [24].
Efek sistem saraf pusat tidak spesifik dengan laporan edema serebral,
perdarahan petekie, demielinisasi, dan vakuolisasi seluler [10, 13].
Pecahnya membran timpani telinga telah dijelaskan setelah sambaran
petir [16, 27, 28].

4.7 Cara Kematian


4.7.1 Kecelakaan
Kecelakaan adalah cara kematian yang paling umum penyebab utama
setrum dari kelima kematian terkait pekerjaan di Amerika Serikat.
Biasanya, korbannya adalah laki-laki muda dan kecelakaan itu terjadi di
bulan musim panas [7, 15, 29, 30], kemungkinan besar terkait dengan
peningkatan aktivitas di luar ruangan selama tahun ini, dan mungkin
mengurangi berkeringat resistensi kulit [7]. Sengatan listrik yang tidak
disengaja lebih umum di negara-negara di mana standar perumahan
tidak optimal dan persyaratan keselamatan listrik tidak diterapkan
secara ketat [2]. Kecelakaan tegangan rendah biasanya terjadi pada
kegiatan rumah tangga dan pekerjaan. Kecelakaan tegangan tinggi
terjadi dengan aktivitas di luar atau terkait pekerjaan tertentu. Sambaran
petir selalu merupakan kejadian luar ruangan. Kematian autoerotik, di
mana korban telah menggunakan perangkat listrik untuk rangsangan
seksual, bentuk yang berbeda dan sebagian kelompok yang tidak umum
dari kematian karena kecelakaan listrik [31, 32].

4.7.2 Bunuh Diri


Sengatan bunuh diri jarang terjadi dan dapat dipisahkan menjadi dua
kelompok. Satu grup terdiri dari individu yang memiliki pengetahuan
listrik seperti ahli listrik atau insinyur listrik. Mereka sering
menggunakan sistem yang rumit dengan saklar waktu, kadang-kadang
kombinasi dengan obat-obatan. Kelompok lain terdiri dari mereka yang
secara oportunis menggunakan listrik untuk mengakhiri hidup mereka,
seperti individu yang duduk di bak mandi dan menjatuhkan perangkat
seperti pengering rambut atau lampu ke dalam air [4, 9, 15, 24, 33, 34,
35, 35 ]
4.7.3 Pembunuhan
Sangat sedikit kasus pembunuhan sengatan listrik yang telah
dilaporkan, Karger dkk menemukan dua pembunuhan dalam 37 kasus,
Wright dan Davis hanya menemukan satu pembunuhan dari 220 kasus
kematian listrik, dan penelitian lain melaporkan tidak ada pembunuhan
[3, 6, 15, 23].

4.8 Investigasi Kematian Listrik


Investigasi kematian mungkin karena sengatan listrik membutuhkan tim
pendekatan dengan deskripsi yang jelas tentang adegan kematian,
termasuk fotografi dokumentasi tubuh, tempat kejadian dan setiap alat
atau konduktor listrik di dekatnya. Analisis terhadap rangkaian listrik di
dalam, dan kadang-kadang menghubungkan ke tempat bangunan
korban ditemukan selain pemeriksaan peralatan apa pun yang berada di
dekat tubuh oleh individu. sepenuhnya memenuhi syarat dalam
penilaian listrik [6]. Diperlukan otopsi lengkap dengan pemeriksaan
cermat terhadap pakaian dan permukaan tubuh untuk luka bakar listrik
yang halus. Pakaian dapat menunjukkan luka bakar yang sesuai dengan
kontak dengan konduktor logam dan pakaian robek dengan sepatu
terbakar dapat berakibat petir [13, 28]. Pemeriksaan tubuh untuk bukti
penyakit alami yang mendasarinya seperti kardiovaskular juga penting,
karena hal ini mungkin membuat korban cenderung untuk melakukan
kontak dengan sirkuit hidup, atau mungkin telah mengurangi kapasitas
korban untuk selamat dari sengatan listrik.
Kasus-kasus yang paling sulit seringkali adalah kasus-kasus di mana
tubuh dihadirkan untuk otopsi dengan riwayat ‘‘ runtuh ’atau‘
‘ditemukan mati’, tanpa indikasi bahwa tersengat listrik adalah suatu
kemungkinan. Mungkin perlu untuk meminta polisi untuk kembali ke
hubungkan dan periksa apakah ada peralatan listrik jika tersengat
listrik. Sejarah menjerit, mengumpat, atau berteriak diikuti dengan
collapsemay menunjukkan sengatan listrik. Perkembangan awal atau
sebagian kaku mayat juga dapat menunjukkan sengatan listrik karena
tetani dari arus listrik dapat menjadi kaku. Pemeriksaan yang baik pada
semua permukaan tubuh, termasuk permukaan fleksor jari, dengan
fotografi dan pengambilan sampel histologis dari luka bakar akibat
listrik .
Bagian yang tidak signifikan dalam mengidentifikasi sengatan listrik
sebagai penyebab kematian perlu melindungi orang lain yang mungkin
terpapar pada lingkungan berbahaya yang sama atau peralatan yang
tidak aman kecuali penilaian faktor-faktor yang akurat mengarah ke
episode fatal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Koumbourlis AC (2002) Electrical injuries. Crit Care Med 30:S424–
430
2. Al-Alousi LM (1990) Homicide by electrocution. Med Sci Law
30:239–246
3. Mellen PF, Weedn VW, Kao G (1992) Electrocution: a review of
155 cases with emphasis
on human factors. J Forensic Sci 37:1016–1022
4. Budnick LD (1984) Bathtub-related electrocutions in the United
States, 1979–1982.JAMA 252:918–920
5. Saukko P, Knight B (2004) Knight’s forensic pathology, 3rd edn.
Arnold, London,pp 326–338
6. Wright RK, Davis JH (1980) The investigation of electrical deaths: a
report of 220 fatalities. J Forensic Sci 25:514–521
7. Fatovich DM (1992) Electrocution in Western Australia, 1976–1990.
Med J Aust.157:762–764
8. Peng Z, Shikui C (1995) Study on electrocution death by low-
voltage. Forensic Sci Int.76:115–119
9. Marc B, Baudry F, Douceron H, Ghaith A, Wepierre J-L, Garnier M
(2000) Suicide by electrocution with low-voltage current. J Forensic
Sci 45:216–222
10. Leibovici D, Shemer J, Shapira SC (1995) Electrical injuries:
current concepts. Injury .26:623–627
11. Thompson JC, Ashwal S (1983) Electrical injuries in children. Am
J Dis Child.137:231–235
12. Yamazaki M, Bai H, Tun Z, Ogura Y, Wakasugi C (1997) An
electrocution death of an
infant who had received an electrical shock from an uncovered oval
shaped lamp switch in
his mouth while in a hospital. J Forensic Sci 42:151–154
13. Anders S, Tsokos M, Pu¨ schel K (2002) Nachweis der
Stromwirkung und des Stromweges
im Ko¨ rper. Rechtsmedizin 12:1–9
14. Blumenthal R (2005) Lightning fatalities on the South African
highveld. A retrospective
descriptive study for the period 1997–2000. Am J Forensic Med Pathol
26:66–69
15. Hyldgaard L, Søndergaard E, Leth P (2004) Autopsies of fatal
electrocutions in Jutland.
Scand J Forensic Sci 1:8–12
16. Resnik BI, Wetli CV (1996) Lichtenberg figures. Am J Forensic
Med Pathol 17:99–102
17. Andrews CJ (1992) Telephone-related lightning injury. Med J Aust
157:823–826
18. Qureshi NH (1995) Indirect lightning strike via telephone wire.
Injury 26:629–630
19. Lee WR (1965) The mechanisms of death from electric shock. Med
Sci Law 18:23–28
20. Bailey B, Forget S, Gaudreault P (2001) Prevalence of potential risk
factors in victims of electrocution. Forensic Sci Int 123:58–62
21. Goodson ME (1993) Electrically induced deaths involving water
immersion. Am J Forensic Med Pathol 14:330–333
22. Martinez JA, Nguyen T (2000) Electrical injuries. South Med J
93:1165–1168
23. Karger B, Su¨ ggeler O, Brinkmann B (2002) Electrocution –
autopsy study with emphasis
on ‘‘electrical patekie’’. Forensic Sci Int 126:210–213
24. Anders S, Matschke J, Tsokos M (2001) Internal current mark in a
case of suicide by electrocution. Am J Forensic Med Pathol 22:370–373
25. Anders S, Schulz F, TsokosM(2000) Ausgepra¨ gte intramuskula¨
re Ha¨ morrhagien vitaler
Genese bei letaler suizidaler Strombeibringung. Rechtsmedizin 10:105–
109
26. Pu¨ schel K, Brinkmann B, Lieske K (1985) Ultrastructural
alterations of skeletal muscles
after electric shock. Am J Forensic Med Pathol 6:296–300
27. Kristensen S, Tvetera˚ s K (1985) Lightning-induced acoustic
rupture of the tympanic
membrane: (a report of two cases). J Laryngol Otol 99:711–713
28. Cherington M, Kurtzman R, Krider EP, Yarnell PR (2001)
Mountain medical mystery.
Unwitnessed death of a healthy young man, caused by lightning. Am J
Forensic Med
Pathol 22:296–298
29. Taylor AJ, McGwin G Jr, Davis GG, Brissie RM, Rue LW III
(2002) Occupational
electrocutions in Jefferson County, Alabama. Occup Med 52:102–106
30. Taylor AJ, McGwin GJr, Valent F, RueLWIII (2002) Fatal
occupational electrocutions
in the United States. Inj Prev 8:306–312
31. Shields LBE, Hunsaker DM, Hunsaker JC III, Wetli CV, Hutchins
KD, Holmes RM
(2005) Atypical autoerotic death: Part II. Am J Forensic Med Pathol
26:53–62
32. Klintschar M, Grabuschnigg P, Beham A (1998) Death from
electrocution during
autoerotic practice: case report and review of the literature. Am J
Forensic Med Pathol
19:190–193
33. Bligh-Glover WZ, Miller FP, Balraj EK (2004) Two cases of
suicidal electrocution. Am
J Forensic Pathol 25:255–258
34. Fernando R, Liyanage S (1990) Suicide by electrocution. Med Sci
Law 30:219–220
35. Byard RW, Hanson KA, Gilbert JD, James RA, Nadeau J,
Blackbourne B, Krous HF
(2003) Death due to electrocution in childhood and early adolescence. J
Paediatr Child
Health 39:46–48
Pradissa Avia Emeralda
Halaman 67-77

BAB 5
Gangguan Sistem Saraf Pusat pada
Penyalahgunaan Alkohol
Andreas Bu¨ttner and Serge Weis

Contents
5.1Introduksi 70
5.2Neuroimaging 71
5.3Intoksikasi Akut 72
5.4Atrofi Otak 72
5.5Perubahan Glial 74
5.6Perubahan Dendritik dan Sinaptik 75
5.7Central Pontine Myelinolysis 75
5.8Wernicke-Korsakoff Syndrome 77
5.9Ensefalopati Hepatikum 80
5.10Marchiafava-Bignami Syndrome 81
5.11Ensefalopati Pellagra 81
5.12Stroke 81
5.13Gangguan Fungsi Genom 82
Referensi 82

Abstrak Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol adalah masalah


medis dan ekonomi yang serius di negara-negara Barat sebagaimana
efeknya yang beragam pada sistem saraf pusat (SSP). Faktor utama
yang berkontribusi pada kerusakan otak yang diinduksi alkohol
dikaitkan dengan kekurangan gizi dan sindrom withdrawal yang
berulang. Lesi SSP yang berhubungan dengan alkoholisme termasuk
atrofi otak dan central pontine myelinolysis. Setidaknya empat kondisi
berbeda yang mengarah ke demensia, yaitu sindrom Wernicke-
Korsakoff, degenerasi hepatocerebral, penyakit Marchiafava-Bignami,
dan ensefalopati pellagrous, memiliki hubungan erat dengan
alkoholisme kronis, di mana peran alkohol adalah penyebab sekunder.
Hilangnya white-matter otak yang tidak proporsional relatif terhadap
korteks serebral menunjukkan bahwa efek neurotoksik utama dari
konsumsi alkohol kronis mempengaruhi white-matter. Atrofi otak pada
pecandu alkohol telah ditunjukkan dalam berbagai penelitian.
Terdapat selektivitas regional, dengan lobus frontal sangat terpengaruh
yang mungkin menjelaskan tingginya insiden disfungsi kognitif yang
diamati pada pecandu alkohol. Dalam studi genomik fungsional
dilaporkan sejauh ini, identitas dan jumlah gen yang tidak teratur, jalur
spesifik yang terlibat dan arah perubahan menunjukkan variasi dalam
penelitian yang mendalam dan, dengan demikian, tetap tidak
meyakinkan.
Kata kunci: Alkohol, Sistem saraf pusat, Sentral pontine myelinolysis,
Sindrom Wernicke-Korsakoff, Neuropathology, Patologi forensik

5.1Introduksi

Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol adalah masalah medis dan


ekonomi yang serius di negara-negara Barat sebagaimana efek alkohol
yang beragam pada sistem saraf pusat (SSP). Toksisitas etanol dan
metabolit pertama dari asetaldehida menyebabkan beberapa efek ini
dengan mengubah fisiologi dasar dan fungsi neurokimia, yang akhirnya
menghasilkan kerusakan struktural. Pada tingkat sel, alkohol
mempengaruhi fungsi otak terutama dengan mengganggu kerja
glutamat, gamma amino butyric acid (GABA), dan neurotransmitter
lainnya. Serupa dengan penyalahgunaan obat lain, dopaminergik
mesolimbik merupakam jalur yang sangat penting untuk memperkuat
efek alkohol dan memainkan peran sentral dalam kecanduan alkohol.
Penelitian terbaru tentang dasar neruobiologis alkoholism menunjukkan
bahwa secaa farmakologis dan perilaku penyalahguunaan alkohol
dimediasi melalui kerjanya pada transduksi jalur sinyal neuron, saluran
ion, G-protein coupled receptors dan reseptor lainnya.
Kematian mendadak pada pecandu alkohol hampir merata antara
trauma, penyebab alami, keracunan akut dan penyakit terkait alkohol.
Berdasarkan otopsi forensik, kelainan otak pada pecandu alkohol telah
dijelaskan terjadi pada hingga 70% dari orang. Lesi SSP berhubungan
dengan alkoholisme termasuk atrofi otak dan mielinolisis pontine
sentral. Temuan sering lainnya adalah mielopati, neuropati, hematoma
subdural, dan / atau kontusio kortikal dan lesi serebrovaskular. Sekitar
10% pecandu alkohol berkembang menjadi gangguan mental organik /
gangguan kognitif berat. Setidaknya empat kondisi dementing yang
berbeda - sindrom Wernicke-Korsakoff, degenerasi hepatocerebral
yang didapat, penyakit Marchiafava-Bignami, dan pellagrous
ensefalopati - memiliki hubungan erat dengan alkoholisme kronis;
namun, peran alkohol dalam penyebabnya adalah sekunder. Demensia
alkohol adalah terdiri dari amnesia berat dan gangguan intelektual.
Namun, pertanyaan apakah ada demensia persisten yang disebabkan
oleh efek racun alkohol secara langsung pada otak masih belum jelas.
Ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa demensia alkohol primer
tidak memiliki ciri khas patologi yang jelas. Oleh karena itu,
patomekanismenya harus tetap ambigu sampai saat ini.

Meskipun berbagai perubahan neuropatologis dalam otak pecandu


alkohol kronis telah dijelaskan, sulit untuk menjelaskan mekanisme
patogenesis yang tepat yang menyebabkan kerusakan SPP karena
orang-orang sering memiliki kerusakan pada organ lain dalam waktu
yang bersamaan, misalnya, sirosis hati, cedera kepala traumatis
berulang malnutrisi. Perkembangan kerusakan otak selanjutnya
mungkin rumit karena penyalahgunaan zat-zat lain. Kerusakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti jenis dan jumlah
minuman beralkohol, usia saat mulai minum, konsumsi alkohol seumur
hidup dan kerentanan genetik. Dengan demikian, lesi neuropatologis
yang ditemui pada pecandu alkohol kronis adalah kemungkinan hasil
akhir dari berbagai faktor etiologi. Bukti yang semakin meningkat
menunjukkan bahwa faktor utama yang berkontribusi pada kerusakan
otak yang diinduksi alkohol dikaitkan dengan kekurangan gizi dan
sindrom withdrawal. Dua faktor ini dapat menyebabkan neurotoksisitas
dengan peningkatan transmisi glutamatergik dan overaktivasi reseptor
NMDA yang diinduksi eksitotoksisitas. Namun demikian, sekarang
sudah diketahi bahwa pecandu alkohol, yang tidak memiliki masalah
neurologis atau masalah hepar tertentu, menunjukkan tanda-tanda
disfungsi kognitif dan kerusakan otak. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap kerusakan otak
yang diinduksi alkohol daripada laki-laki, namun, bukti tetap tidak
meyakinkan.

5.2Neuroimaging

Studi neuroradiologis telah menunjukkan atrofi serebral yang terjadi


kadang disertai dengan defisit kognitif dan setidaknya sebagian
reversibel. Studi Computed tomography (CT) telah menunjukkan
peningkatan yang signifikan pada ukuran ventrikel [28] dan atrofi
kortikal pada orang alkoholik, sebagian besar lobus frontal. Studi
magnetic resonance imaging (MRI) mengkonfirmasi temuan CT bahwa
lobus frontal lebih rentan terhadap penyalahgunaan alkohol kronis.
Selain itu, defisit volume yang signifikan telah terdeteksi di anterior
hippocampus, gray matter fronto-parietal dan temporal serta di batang
otak, diencephalon, dan nucleus kaudatus. Pada alkoholisme kronis,
volume hippocampal yang lebih kecil telah ditunjukkan sebanding
dengan pengurangan volume otak. MRI kuantitatif menunjukkan bahwa
defisit memori karakteristik pada sindrom Korsakoff melibatkan defisit
volume hipokampus bilateral yang signifikan dan patologi
diencephalon. Pola gangguan sirkuit diidentifikasi melalui studi MRI
struktural dan fungsional menunjukkan peran sentral untuk degradasi
node neuronal fronto-serebelar dan sirkuit penghubung mempengaruhi
wilayah otak yang luas dan berkontribusi pada kognitif dan defisit
motorik pada pecandu alkohol.
Studi dengan positron emission tomography (PET) telah menunjukkan
penurunan pemanfaatan glukosa serebelum dan lobus frontal pada
pecandu alkohol, mengkonfirmasi keterlibatan spesial dari daerah otak
ini dalam kasus penyalahgunaan alkohol. Analisis Single photon
emission computed tomography (SPECT) menunjukkan penurunan
yang signifikan dari aliran darah otak regional (rCBF) pada pecandu
alkohol dibandingkan dengan kontrol. Rasio rCBF berkurang terutama
di lobus frontal dan pengurangan aliran terbesar terlihat pada orang
dengan sirosis hati.

Dengan menggunakan proton magnetic resonance spectroscopy (MRS),


suatu pengurangan N-asetilase (NAA) / kolin dan NAA / rasio kreatin
total dibandingkan dengan kontrol sesuai usia telah dijelaskan. Seperti
yang dinyatakan oleh penulis, pengurangan NAA konsisten dengan
hilangnya neuron, sedangkan pengurangan kolin menunjukkan
perubahan signifikan dalam lipid membran pada alkoholik.
Menggunakan magnetic resonance diffusion tensor imaging (MRDTI)
untuk mengukur struktur mikrokskopik jaringan otak, pecandu alkohol
menunjukkan defisit white-matter yang luas, yang berbeda dengan
defisit yang sangat spesifik untuk wilayah yang terlihat di sindrom
defisiensi nutrisi yang dapat menyertai alkoholisme.

5.3Intoksikasi Akut

Dalam keracunan alkohol akut tidak ada perubahan karakteristik SSP.


Otak edema dan kongesti vaskular sering terlihat (gambar 5.1), kadang-
kadang bersamaan dengan perdarahan subaraknoid fokal
5.4Atrofi Otak

Meskipun frekuensi dan tingkat keparahan atrofi otak pada pecandu


alkohol adalah kontroversial, beberapa penelitian otopsi menunjukkan
penurunan berat otak dan volume. Penurunan terbesar dalam berat otak
terlihat pada pecandu alkohol dengan komplikasi tambahan, seperti
defisiensi nutrisi atau kerusakan hati. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa otak ini mengalami atrofi, sering disebut sebagai 'penyusutan
otak', bukan karena hilangnya gray matter tetapi karena pengurangan
volume white matter.

Fig. 5.1 Kongesti vaskular pada intoksikasi alkohol akut (hematoxylin


dan eosin, magnifikasi 100×)

Hilangnya white matter otak yang tidak proporsional relatif terhadap


korteks serebral menunjukkan bahwa efek neurotoksik utama dari
konsumsi alkohol kronis mempengaruhi white matter.
Telah diketahui bahwa hilangnya white matter bisa disebabkan oleh
perubahan hidrasi. Namun, studi postmortem tidak dapat mendukung
hipotesis ini. Kerusakan yang disebabkan oleh alkohol pada serat
mielin dalam white matter tidak dapat ditunjukkan. Menariknya,
kelainan ini dapat dibalikkan dengan tidak mengkonsumi alkohol.
Selain perubahan white matter, konsumsi alkohol kronis juga terkait
dengan kerentanan neuron selektif, dengan lobus frontal lebih banyak
terkena dibandingkan daerah kortikal lainnya. Dalam korteks frontal,
proses neurodegeneratif ini terbatas pada asosiasi korteks frontal
superior yang mempengaruhi neuron piramidal non-GABA.
Studi terbaru telah mengkonfirmasi bahwa lobus frontal sangat rentan
dengan kerusakan otak yang berhubungan dengan alkohol (Gbr. 5.2),
dimana penyusutan di sebagian besar area ini adalah karena hilangnya
white matter. Apalagi gangguan sirkuit frontocerebellar dan fungsi
telah ditunjukkan dalam alkoholisme. Lobus frontal memiliki koneksi
yang luas ke berbagai area kortikal dan subkortikal otak, dan perubahan
luas dalam fungsi fungsi otak. Ini mungkin menjelaskan tingginya
insiden disfungsi kognitif yang diamati pada pecandu alkohol yang
sering mengembangkan gejala lobus frontal dengan kepribadian dan
perubahan perilaku, disinhibisi, pengabaian sosial dan pribadi,
kurangnya wawasan, empati dan kontrol emosional. Gejala seperti itu
sering meningkatkan risiko keterlibatan dan paparan terhadap tindak
kekerasan yang mengandung risiko kerusakan fisik termasuk trauma
kepala dan kematian karena kekerasan.
Kehilangan neuronal telah lebih lanjut terbukti terjadi pada
diencephalon, terutama pada pasien dengan sindrom Westicke-
Korsakoff, dan pada otak kecil diperkirakan hampir setengah dari
semua pecandu alkohol berat memiliki atrofi vermis serebelar superior,
yang secara klinis ditandai dengan ataksia dan inkoordinasi tungkai
bawah. Selain kerugian yang signifikan pada sel-sel Purkinje, lapisan
molekul serebelum tampaknya area yang rentan pada pecandu alkohol
kronis. Secara mikroskopis, ada juga proliferasi bergmann glia dalam
kasus ini.
Namun, kelompok lain tidak menemukan perubahan yang konsisten
pada jumlah sel Purkinje atau volume struktural di area serebelar pada
pecandu alkohol kronis tanpa ensefalopati Wernicke, dengan demikian
diduga bahwa konsumsi alkohol kronis per se belum tentu merusak
otak kecil.

Fig. 5.2 Atrofi otak depan pada pencandu alkohol dalam jangka waktu
panjang

Data tentang kehilangan neuron dalam hippocampus dari pecandu


alkohol kronis menunjukkan terdapat kontradiksi. Beberapa penulis
menyebutkan terdapat kehilangan neuron awal, sedangkan yang lain
tidak dapat menemukan kehilangan neuron yang signifikan di subregio
hippocampus, meskipun ada penurunan volume hippocampal yang
terjadi secara eksklusif pada white matter.
Tidak ada perubahan signifikan yang dilaporkan untuk temporal atau
korteks motorik, basal ganglia, nukleus basalis of Meynert, atau dalam
nucleus raphe serotonergik.. Di dalam batang otak, terjadi pengurangan
jumlah neuron serotonergik dideskripsikan dalam alkoholik kronis,
sementara jumlah sel-sel berpigmen di lokus coeruleus tidak berubah.
Pengurangan signifikan dari corpus callosum telah terdeteksi pada
pecandu alkohol yang lebih tua dibandingkan dengan kontrol yang
sesuai dengan usia. Penipisan callosal ini bahkan ada pada pecandu
alkohol kronis tanpa gejala klinis penyakit hepar yang parah, amnesia,
atau demensia alkohol. Tingkat atrofi ini tampaknya berkorelasi dengan
tingkat keparahan asupan alkohol.
Singkatnya, atrofi otak pada pecandu alkohol telah ditunjukkan dalam
berbagai penelitian. Terdapat selektivitas regional pada lobus frontal
yang terpengaruh secara khusus. Namun, besarnya dan topografi atrofi,
dan faktor kontribusi masih belum sepenuhnya diketahui. Mekanisme
patogenesis mengarah ke kerentanan pada daerah otak tertentu yang
terpengaruh terhadap alkoholisme tidak diketahui. Peneliti menduga
bahwa perbedaan dalam kepadatan persarafan glutamatergic atau dalam
komposisi subunit dari reseptor glutamat pada struktur otak yang
berbeda dapat berkontribusi pada selektivitas ini.

5.5Perubahan Glial

Pada pecandu alkohol, morfologi astrosit sangat berubah dengan


menunjukkan pembesaran sel tubuh mereka dan proses seluler. Selain
itu, astrosit positif GFAP terlihat di dalam dan di sekitar kelompok
neuron magnoseluler di basal otak depan dan hipotalamus. Hilangnya
bercak GFAP yang merata terlihat pada sebagian besar kasus parah
yang tidak mungkin terjadi secara eksklusif terkait dengan alkoholik
dengan patologi hepar. Hilangnya sel glial yang signifikan secara
statistik ditemukan secara global di hippocampus pecandu alkohol
dibandingkan dengan kontrol. Pengurangan astrosit dan oligodendrosit
dan, pada tingkat lebih rendah, sel-sel mikroglial diperhitungkan dalam
kerusakan ini.
Dalam model hewan dan kultur sel manusia telah terbukti kronis
perawatan etanol kronis merangsang astrosit, meningkatkan produksi
dan ekspresi mediator inflamasi di otak, dan mengaktifkan pensinyalan
jalur dan faktor transkripsi. Selanjutnya, perawatan alkohol
meningkatkan sitokrom P4502E1 dan stres oksidatif yang diinduksi
pada astrosit yang mungkin menyebabkan neurotoksisitas. Selain itu,
data yang muncul menunjukkan bahwa alkohol memengaruhi
perkembangan dan fungsi sel mikroglial.

5.6Perubahan Dendritik dan Sinaptik

Perubahan dendritik dan sinaptik telah didokumentasikan pada orang


dengan alkoholik dan ini, bersama dengan perubahan reseptor dan
neurotransmitter, dapat menjelaskan perubahan fungsional dan defisit
kognitif yang mendahului perubahan struktural neuron struktural. Pada
‘‘ peminum berat ’, kerusakan sinaptik telah ditemukan di lapisan
frontal superior Brodmann area 10, yang tidak terkait dengan penyakit
hati.

5.7Central Pontine Myelinolysis

Central pontine myelinolysis (CPM) adalah penyakit demielinasi dari


pusat bagian pangkal pons (Gambar 5.3A, B) sering dikaitkan dengan
demielinasi area otak lain. Kasus pertama dijelaskan pada pasien
dengan riwayat penyalahgunaan alkohol dan malnutrisi lama, dan
alkoholisme kronis masih merupakan kondisi yang sering mendasari
orang dengan CPM. Namun, dalam laporan berikutnya, CPM terbukti
terjadi paling sering dikaitkan dengan koreksi cepat hiponatremia.
Terutama alkoholisme dan penyakit hati membuat pasien lebih rentan
terhadap pengembangan CPM. Penyebab lain termasuk pasien
transplantasi, dengan pengembangan CPM dikaitkan dengan agen
imunosupresif dan HIV-1 infeksi.

(A) (B)

Fig. 5.3A,B Central pontine myelinolysis:lesi destruktif pada pons

Tergantung pada keterlibatan struktur SSP lainnya, gambaran klinis


dapat sangat bervariasi. CPM paling sering merupakan kelainan tanpa
gejala, dengan lesi kecil, pada garis tengah pontine. Lesi destruktif pada
kortikospinal dan traktus kortikobulbar pada pons menyebabkan
kelumpuhan pseudobulbar disfagia, disartria, kelemahan lidah, dan
emosi yang labil. Besar lesi pontine sentral dapat menyebabkan locked-
syndrome yang mengganggu kemampuan pasien untuk bicara dan
kapasitas untuk merespons dengan cara apa pun kecuali dengan tatapan
vertikal dan berkedip. Lesi yang melibatkan traktus okulosimpatis
menurun menyebabkan miosis bilateral, sedangkan lesi yang
melibatkan pons lebih rendah dapat menyebabkan kelumpuhan dari
saraf kranial keenam. Selain lesi di pons, area lain di SSP dapat
terpengaruh. Lesi tersebut secara kolektif disebut sebagai ekstrapontine
myelinolysis (EPM) dan terjadi, dalam urutan frekuensi, dalam otak
kecil, lateral geniculate body, thalamus, putamen, dan korteks serebral.
CPM dan EPM dirangkum dengan istilah osmotic demyelination
disorders.
Hasilnya sangat bervariasi, dari pemulihan yang hampir lengkap hingga
sedikit atau tidak sama sekali terjadi peningkatan dan kematian
selanjutnya. Karena kematian yang tidak dapat dijelaskan dapat terjadi,
oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap
pons yang dilakukan saat otopsi. Pada pemeriksaan neuropatologis,
biasanya muncul CPM sebagai fokus simetris besar demielinasi di
bagian tengah pangkalan pons, dengan sparing silinder sumbu (Gbr.
5.4). Tidak ada perubahan inflamasi pada lesi dan pembuluh darah
tidak terpengaruh. Etiologi dan patogenesis dari hilangnya mielin masih
belum jelas.

Fig. 5.4 Central pontine myelinolysis: ditandai dengan demyelination


(Luxol Fast Blue, magnifikasi 100×)

5.8Wernicke-Korsakoff Syndrome

Tergantung pada keterlibatan struktur SSP lainnya, gambaran klinis


dapat sangat bervariasi. CPM paling sering merupakan kelainan tanpa
gejala, dengan lesi kecil, pada garis tengah pontine. Lesi destruktif pada
kortikospinal dan traktus kortikobulbar pada pons menyebabkan
kelumpuhan pseudobulbar disfagia, disartria, kelemahan lidah, dan
emosi yang labil. Besar lesi pontine sentral dapat menyebabkan locked-
syndrome yang mengganggu kemampuan pasien untuk bicara dan
kapasitas untuk merespons dengan cara apa pun kecuali dengan tatapan
vertikal dan berkedip. Lesi yang melibatkan traktus okulosimpatis
menurun menyebabkan miosis bilateral, sedangkan lesi yang
melibatkan pons lebih rendah dapat menyebabkan kelumpuhan dari
saraf kranial keenam. Selain lesi di pons, area lain di SSP dapat
terpengaruh. Lesi tersebut secara kolektif disebut sebagai ekstrapontine
myelinolysis (EPM) dan terjadi, dalam urutan frekuensi, dalam otak
kecil, lateral geniculate body, thalamus, putamen, dan korteks serebral.
CPM dan EPM dirangkum dengan istilah osmotic demyelination
disorders.
Hasilnya sangat bervariasi, dari pemulihan yang hampir lengkap hingga
sedikit atau tidak sama sekali terjadi peningkatan dan kematian
selanjutnya. Karena kematian yang tidak dapat dijelaskan dapat terjadi,
oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap
pons yang dilakukan saat otopsi. Pada pemeriksaan neuropatologis,
biasanya muncul CPM sebagai fokus simetris besar demielinasi di
bagian tengah pangkalan pons, dengan sparing silinder sumbu (Gbr.
5.4). Tidak ada perubahan inflamasi pada lesi dan pembuluh darah
tidak terpengaruh. Etiologi dan patogenesis dari hilangnya mielin masih
belum jelas.

Fig. 5.5 Wernicke encephalopathy: dengan perdarahan luas simetris di


sekitar sistem vaskular
Merdina Andrysa Faiza
Halaman 78-88

Gambar 5.6 Ensefalopati Wernicke: perdarahan simetris pada badan


mammillary

Subjek dengan penyakit akut dan subakut tampaknya memiliki lesi


yang lebih luas dan parah daripada yang kronis [122]. Perubahan
mikroskopis dapat dikaitkan dengan durasi penyakit [123, 124].
Perubahan paling awal terdiri dari penghilangan neuropil oleh
pembentukan edema dan perdarahan petekie. Dalam beberapa kasus ini
meluas ke dalam parenkim untuk membentuk 'perdarahan mikro' seperti
bola. Dalam 1-2 hari ada hipertrofi dan proliferasi endotel, yang
maksimal pada sekitar hari ke 7-10. Nekrosis jaringan kadang-kadang
terlihat tetapi lebih sering terjadi pada nukleus thalamik. Neuron relatif
terhindar dengan pengecualian

Gambar 5.7. Gambar skematis dari struktur utama yang terkena dalam
sindrom Wernicke-Korsakoff
neuron thalamic dan olivary. Pada hari ketiga atau keempat, ada reaksi
astrositik dengan meningkatnya jumlah nukleus dan sitoplasma
eosinofilik. Myelin dan akson sering dihancurkan. Biasanya tidak ada
reaksi inflamasi. Berbeda dengan lesi yang terlihat pada mamillary
body, ada kehilangan besar neuron dengan hemat neuropil, dan hanya
pembengkakan endotel ringan di dalam talamus [122, 123, 124].

Temuan makroskopis yang paling konsisten dalam WKS kronis adalah


susut dan perubahan warna coklat dari mamillary body yang bervariasi
dari hampir tidak terlihat hingga kehancuran subtotal jaringan [122,
123, 124]. Secara mikroskopis, ada kehilangan mielin dan akson,
astrogliosis, dan peningkatan vaskularitas pada tubuh mamillary yang
menyusut, tetapi merupakan pelestarian relatif neuron. Makrofag sarat
hemosiderin sering terlihat dan mewakili residu mikrohemor-rhage
(Gambar 5.8). Perubahan inti hipotalamus lainnya menunjukkan pola
yang sama tetapi perubahan biasanya jauh lebih parah [122, 123, 124].

Pada sebagian besar kasus kronis, lesi terbatas pada badan mamillary
dan thalamus. Mirip dengan perubahan dalam tubuh mamillary, lesi di
thalamus bervariasi dari sedikit astrogliosis pada nukleus dorsomedial
hingga kehilangan sel saraf yang luas pada beberapa nukleusnya [122,
123, 124]. Sementara pasien dengan ensefalopati Wernicke sering
menunjukkan kehilangan neuron pada nukleus dorsomedial thalamus,
hanya pasien dengan psikosis Korsakoff yang tampaknya mengalami
kehilangan sel di medial [117] serta di nukleus thalamic anterior[125].

Selanjutnya, pada kedua kelompok pasien, ditemukan hilangnya neuron


yang mengandung serotonin dan asetilkolin secara mendalam [117].
Pengamatan ini menunjukkan bahwa lesi kumulatif berkontribusi
terhadap amnesia yang terlihat pada pecandu alkohol dengan WKS,
termasuk defisit pada jalur serotonergik, kolinergik, dan thalamik.

Terlepas dari lesi yang tampak ini, dasar morfologis yang tepat dari
gangguan ini masih kontroversial. Studi otopsi dan MRI pada pasien
alkoholik dengan WKS menunjukkan lesi gliotik pada tubuh
mamillary; Namun, lesi pada tubuh mamillary sering ditemukan tanpa
adanya sindrom amnestik [122, 126, 127]. Tampaknya thalamus
tampaknya sangat rentan kerusakan pada WKS [122, 128]. Studi
selanjutnya menunjukkan bahwa lesi nukleus mediodorsal thalamus
berkorelasi dengan sindrom amnestik [118, 119, 122, 127] dan peran
badan mamillary dalam gangguan memori ini sebagian besar, meskipun
tidak seluruhnya, dihilangkan [128].
Gambar 5.8 Ensefalopati Wernicke: fag makro hemosiderin-sarat dalam
badan mammillary mewakili residu perdarahan mikro (Noda besi,
perbesaran 200)

Studi otopsi telah menunjukkan bahwa hingga 80% pasien dengan


WKS tidak didiagnosis seperti itu selama hidup [129, 130, 131, 132,
133, 134]. Oleh karena itu, dalam kasus dengan koma dari penyebab
yang tidak diketahui atau pasien yang ditemukan meninggal yang
mungkin pecandu alkohol, pemeriksaan neuropatologis menyeluruh
sangat penting.

5.9 Ensefalopati Hepatik


Ensefalopati hepatik dapat timbul sebagai komplikasi penyakit hati
pada pecandu alkohol, terutama dalam perjalanan sirosis hati, yang
mengakibatkan gangguan kognitif, psikiatrik, dan motorik [135, 136,
137]. Hati yang rusak tidak dapat lagi membersihkan zat neurotoksik
dari darah yang kemudian masuk ke otak dan merusak neuron dan
astrosit. Gambaran klinis terdiri dari penurunan tingkat kesadaran
disertai dengan penurunan (atau kadang-kadang meningkat) aktivitas
psikomotorik yang, jika tidak diobati, berkembang menjadi peningkatan
rasa kantuk, pingsan dan akhirnya koma [135, 136, 137]. Ketika
ensefalopati berlangsung, tanda-tanda disfungsi saluran piramidal
seperti hipertonia, hiperrefleksia adalah hal yang umum, akhirnya
digantikan oleh hipotonia ketika koma berkembang. Pengobatan
sebagian besar mendukung. Prognosis pasien yang mengembangkan
ensefalopati pathep hati buruk. Setelah episode pertama ensefalopati
hati terbuka, kelangsungan hidup 1 tahun adalah sekitar 40%, turun
menjadi sekitar 15% setelah 3 tahun Penyebab utama kematian pada
ensefalopati hepatik adalah edema otak dan hipertensi intrakranial
[138].

Meskipun patogenesis ensefalopati hepatik tidak sepenuhnya dipahami,


ada bukti yang cukup bahwa disfungsi astro-cytes yang diinduksi
amonia adalah faktor kontribusi utama [136, 139, 140]. Defisit dalam
penyerapan glutamat oleh astrosit dari ruang ekstraseluler dapat
menyebabkan abnormal glutamatergic dan GABAergic-mediated
neurotransmission dan berikutnya neurotoksitoksisitas neuronal [139,
141]. Selain itu, permeabilitas sawar darah-otak yang berubah [141,
142] dan kekacauan kombinasi osmolaritas seluler ditambah dengan
hiperemia serebral [138] tampaknya terlibat dalam generasi edema.

Pada kegagalan hati fulminan di mana ensefalopati hati berkembang


dalam waktu 8 minggu dari timbulnya penyakit hati, otopsi
mengungkapkan edema otak dan pembengkakan astrosit [139, 142].
Pada pasien dengan sirosis hati dan pintasan portal-sistemik, temuan
khasnya adalah astrosit tipe Alzheimer II, yang merupakan ciri
patologis dari ensefalopati hepatik [140]. Sel-sel ini menunjukkan
bentuk bengkak yang khas dengan nukleus pucat yang besar, nukleolus
yang menonjol dan margin kromatin, dan ditemukan di daerah otak
yang luas termasuk korteks dan lenticular, thalamic lateral, dentate, dan
nuklei merah [140, 141]. Mayoritas sel-sel ini menunjukkan
imunoreaktivitas yang menonjol untuk S100P tetapi tidak untuk GFAP,
terutama pada materi abu-abu [143, 144]. Dengan demikian, reaksi glial
ini dengan defisit metabolisme GFAP yang agak selektif telah disebut
'distrofi gliofibrillary' [143].

5.10 Sindrom Marchiafava-Bignami


Penyakit Marchiafava-Bignami adalah gangguan neurologis yang
sangat langka, parah dan biasanya fatal yang terkait dengan
alkoholisme kronis [145]. Ini ditandai dengan demielinasi primer /
nekrosis dan atrofi korpus callosum berikutnya [124, 145, 146].
Namun, lesi ini tidak hanya terbatas pada corpus callosum tetapi juga
mempengaruhi proyeksi kortiko-kortikal dan kortiko-subkortikal karena
pemutusan, dan menyebabkan sindrom lobus frontal dan demensia
[145, 146].

Terlihat adanya lesi makroskopis, nekrotikan, dan sering kistik korpus


callosum. Secara mikroskopis, ada demielinasi yang menonjol dengan
hemat akson. Oligodendrosit berkurang jumlahnya dan ada banyak
makrofag yang sarat lipid. Astrosit hanya menunjukkan perubahan
reaktif ringan, tetapi lebih menonjol di dalam dan sekitar lesi
nekrotikans. Pembuluh darah sering menunjukkan proliferasi dan
hialinisasi dinding mereka [124, 146].

5.11 Pellagra Encephalopathy


Defisiensi nikotinamid dapat menyebabkan kondisi yang jarang,
ensefalopati pellagra beralkohol, yang sering memiliki presentasi klinis
yang mirip dengan sindrom Wernicke-Korsakoff yang mencakup
kebingungan dan / atau pengaburan kesadaran, ditandai oleh hypertonus
dan myoclonus [147, 148]. Pada pemeriksaan neuropatologis, biasanya
tidak ada perubahan makroskopis berat. Secara mikroskopis, temuan
utama adalah kromatolisis sentral neuron, terutama di batang otak dan
di inti dentate cerebellar. Neuron yang terkena dibengkak dengan
hilangnya substansi Nissl dan inti yang eksentrik. Nukleus saraf kranial,
nukleus retikular, nukleus arkuata, dan sel-sel tanduk posterior,
mungkin juga terlibat. Sel glial, mielin atau pembuluh darah tidak
terpengaruh [149, 150].

5.12 Stroke
Asupan alkohol berat baru-baru ini tampaknya menjadi faktor risiko
independen untuk semua subtipe utama stroke [151] dan dikaitkan
dengan infark serebral yang terlokalisasi dalam putamen dan area arteri
serebral anterior superior [152]. Mekanisme pamungkas yang mengarah
pada peningkatan risiko ini tidak jelas [151].

Mengenai hubungan antara konsumsi alkohol moderat dan risiko


stroke, ada bukti epidemiologis yang tidak cukup untuk menyimpulkan
apakah penggunaan alkohol baru-baru ini mempengaruhi risiko stroke
iskemik atau hemoragik [153]. Baik keracunan etanol sesekali dan
minum banyak secara teratur tampaknya membawa peningkatan risiko
perdarahan subaraknoid [154].

5.13 Perubahan Genomik Fungsional


Meskipun studi genomik fungsional telah gagal mengidentifikasi gen
alkoholisme tunggal, mereka telah menunjukkan jalur penting dan
produk gen yang dapat berkontribusi pada risiko penyalahgunaan
alkohol dan alkoholisme [155, 156, 157, 158]. Beberapa kelompok
penelitian telah mencari gen yang responsif alkohol menggunakan
microarray. Dapat ditunjukkan bahwa perubahan dalam ekspresi gen
yang terlibat dalam perbaikan DNA, mielinisasi, transduksi sinyal,
ubiquitinasi serta gen yang berhubungan dengan proteasome mewakili
perubahan umum yang terlihat dalam berbagai penelitian yang
dilakukan pada pengguna alkohol. Namun, identitas dan jumlah gen
tidak teratur dilaporkan sejauh ini, jalur spesifik yang terlibat, dan arah
perubahan sangat berbeda antara laporan dan dengan demikian tetap
tidak meyakinkan [11, 158].
Referensi

1. Zimatkin SM, Deitrich RA (1997) Ethanol metabolism in the


brain. Addiction Biol 2:387–399
2. Oscar-Berman M, Shagrin B, Evert DL, Epstein C (1997)
Impairments of brain and behavior: the neurological effects of
alcohol. Alcohol Health Res World 21:65–75
3. Appel SB, McBride WJ, Diana M, Diamond I, Bonci A, Brodie
MS (2004) Ethanol effects on dopaminergic ‘‘reward’’ neurons in
the ventral tegmental area and the mesolimbic pathway. Alcohol
Clin Exp Res 28:1768–1778
4. Boileau I, Assaad J-M, Pihl RO, Benkelfat C, Leyton M, Diksic M
et al. (2003) Alcohol promotes dopamine release in the human
nucleus accumbens. Synapse 49:226–231
5. Diana M, Brodie M, Muntoni A, Puddu MC, Pillolla G, Steffensen
S et al. (2003) Enduring effects of chronic ethanol in the CNS:
basis for alcoholism. Alcohol Clin Exp Res 27:354–361
6. Herz A (1997) Endogenous opioid systems and alcohol addiction.
Psychopharmacol-ogy 129:99–111
7. LeˆAD, Kiianmaa K, Cunningham CL, Engel JA, Ericson M,
Soderpalm B et al. (2001) Neurobiological processes in alcohol
addiction. Alcohol Clin Exp Res 25: 144S–151S
8. Noble EP (1996) Alcoholism and the dopaminergic system: a
review. Addict Biol
1:333–348
9. Tupala E, Tiihonen J (2004) Dopamine and alcoholism:
neurobiological basis of ethanol abuse. Prog
Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry 28:1221–124

10. Basavarajappa BS, Hungund BL (2005) Role of the


endocannabinoid system in the development of tolerance to
alcohol. Alcohol Alcohol 40:15–24
11. Flatscher-Bader T, van der Brug MP, Landis N, Hwang JW,
Harrison E, Wilce PA (2006) Comparative gene expression in brain
regions of human alcoholics. Genes Brain Behav 5(Suppl 1):78–84
12. Clark JC (1988) Sudden death in the chronic alcoholic. Forensic
Sci Int 36:105–111
13. Skullerud K, Andersen SN, Lundevall J (1991) Cerebral lesions
and causes of death in male alcoholics. A forensic autopsy study.
Int J Legal Med 104:209–213
14. Torvik A (1987) Brain lesions in alcoholics: neuropathological
observations. Acta Med Scand Suppl 717:47–54
15. Fadda F, Rossetti ZL (1998) Chronic ethanol consumption:
from neuroadaptation to neurodegeneration. Prog Neurobiol
56:385–431
16. Victor M (1994) Alcoholic dementia. Can J Neurol Sci 21:88–
99
17. Cutting J (1978) The relationship between Korsakoff ’s
syndrome and ‘‘alcoholic demen-tia’’. Br J Psychiat 132:240–251
18. Martin PR, Adinoff B, Weingartner H, Mukherjee AB, Eckardt
MJ (1986) Alcoholic organic brain disease: nosology and
pathophysiologic mechanisms. Prog Neuropsycho-pharmacol Biol
Psychiatry 10:147–164
19. Willenbring ML (1988) Organic mental disorders associated
with heavy drinking and alcohol dependence. Clin Geriatr Med
4:869–887
20. Butterworth RF (1995) Pathophysiology of alcoholic brain
damage: synergistic effects of ethanol, thiamine deficiency and
alcoholic liver disease. Metab Brain Dis 10:1–8
21. Harper C (1998) The neuropathology of alcohol-specific brain
damage, or does alcohol damage the brain? J Neuropathol Exp
Neurol 57:101–110
22. Harper C, Dixon G, Sheedy D, Garrick T (2003)
Neuropathological alterations in alcoholic brains. Studies arising
from the New South Wales Tissue Resource Centre. Prog
Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry 27:951–961
23. Harper C, Matsumoto I (2005) Ethanol and brain damage. Curr
Opin Pharmacol 5:73–78
24. Wuethrich B (2001) Does alcohol damage female brains more?
Science 291:2077–2079
25. Harper CG, Smith NA, Kril JJ (1990) The effects of alcohol on
the female brain – a neuropathological study. Alcohol Alcohol
25:445–448
26. Hommer DW (2003) Male and female sensitivity to alcohol-
induced brain damage. Alcohol Res Health 27:181–185
27. Rosenbloom M, Sullivan EV, Pfefferbaum A (2003) Using
magnetic resonance imaging and diffusion tensor imaging to assess
brain damage in alcoholics. Alcohol Res Health 27:146–152
28. Fox JH, Ramsey RG, Huckman MS, Broske AE (1976)
Cerebral ventricular enlarge-ment. Chronic alcoholics examined by
computerized tomography. JAMA 236:365–368
29. Carlen PL, Wortzman G, Holgate RC, Wilkinson DA, Rankin
JG (1978) Reversible cerebral atrophy in recently abstinent chronic
alcoholics measured by computed tomographic scans. Science
200:1076–1078
30. Ron MA (1977) Brain damage in chronic alcoholism: a
neuropathological, neuroradio-logical and psychological review.
Psychol Med 7:103–112
31. Rosse RB, Riggs RL, Dietrich AM, Schwartz BL, Deutsch SI
(1997) Frontal cortical atrophy and negative symptoms in patients
with chronic alcohol dependence. J Neurop-sychiatry Clin Neurosci
9:280–282
32. Wilkinson DA (1982) Examination of alcoholics by computed
tomographic (CT) scans. A critical reviews. Alcohol Clin Exp Res
6:31–45
33. Pfefferbaum A, Sullivan EV, Mathalon DH, Lim KO (1997)
Frontal lobe volume loss observed with magnetic resonance
imaging in older chronic alcoholics. Alcohol Clin Exp Res 21:521–
529

34. Jernigan TL, Butters N, DiTraglia G, Schafer K, Smith T, Irwin


M et al. (1991) Reduced cerebral grey matter observed in
alcoholics using magnetic resonance imaging. Alcohol Clin Exp
Res 15:418–427
35. Sullivan EV, Marsh L, Mathalon DH, Lim KO, Pfefferbaum A
(1996) Relationship between alcohol withdrawal seizures and
temporal lobe white matter volume deficits. Alcohol Clin Exp Res
20:348–354
36. Bloomer CW, Langleben DD, Meyerhoff DJ (2004) Magnetic
resonance detects brain-stem changes in chronic, active heavy
drinkers. Psychiatr Res 132:209–218
37. Agartz I, Momenan R, Rawlings RR, Kerich MJ, Hommer DW
(1999) Hippocampal volume in patients with alcohol dependence.
Arch Gen Psychiatry 56:356–363
38. Sullivan EV, Marsh L (2003) Hippocampal volume deficits in
alcoholic Korsakoff ’s syndrome. Neurology 61:1716–1719
39. Sullivan EV, Pfefferbaum A (2005) Neurocircuitry in
alcoholism: a substrate of disruption and repair.
Psychopharmacology (Berlin) 180:583–594
40. Adams KM, Gilman S, Koeppe RA, Kluin KJ, Brunberg JA,
Dede D et al. (1993) Neuropsychological deficits are correlated
with frontal hypometabolism in positron emission tomography
studies of older alcoholic patients. Alcohol Clin Exp Res 17:205–
210
41. Dao-Castellana MH, Samson Y, Legault F, Martinot JL, Aubin
HJ, Crouzel C et al. (1998) Frontal dysfunction in neurologically
normal chronic alcoholic subjects: meta-bolic and
neuropsychological findings. Psychol Med 28:1039–1048
42. Gilman S, Koeppe RA, Adams K, Johnson-Greene D, Junck L,
Kluin KJ et al. (1996) Positron emission tomographic studies of
cerebral benzodiazepine-receptor binding in chronic alcoholics.
Ann Neurol 40:163–171
43. Gilman S, Adams K, Koeppe RA, Berent S, Kluin KJ, Modell
JG et al. (1990) Cere-bellar and frontal hypometabolism in
alcoholic cerebellar degeneration studied with position emission
tomography. Ann Neurol 28:775–785
44. Sachs H, Russell JA, Christman DR, Cook B (1987) Alteration
of regional cerebral glucose metabolic rate in non-Korsakoff
chronic alcoholism. Arch Neurol 44:1242–1251
45. Samson Y, Baron JC, Feline A, Bories J, Crouzel C (1986)
Local cerebral glucose utilisation in chronic alcoholics: a positron
tomographic study. J Neurol Neurosurg Psychiatr 49:1165–1170
46. Volkow ND, Wang GJ, Hitzemann R, Fowler JS, Wolf AP,
Pappas N et al. (1993) Decreased cerebral response to inhibitory
neurotransmission in alcoholics. Am J Psychiatr 150:417–422
47. Wik G, Borg S, Sjogren I, Wiesel FA, Blomqvist G, Borg J et
al. (1988) PET determination of regional cerebral glucose
metabolism in alcohol-dependent men and healthy controls using
11C-glucose. Acta Psychiat Scand 78:234–241
48. Gansler DA, Harris GJ, Oscar-Berman M, Streeter C, Lewis RF,
Ahmed I et al. (2000) Hypoperfusion of inferior frontal brain
regions in abstinent alcoholics: a pilot SPECT study. J Stud
Alcohol 61:32–37
49. Melgaard B, Henriksen L, Ahlgren P, Danielsen UT, Sorensen
H, Paulson OB (1990) Regional cerebral blood flow in chronic
alcoholics measured by single photon emission computerized
tomography. Acta Neurol Scand 82:87–93
50. Nicolas JM, Catafau AM, Estruch R, Lomena FJ, Salamero M,
Herranz R et al. (1993) Regional cerebral blood flow-SPECT in
chronic alcoholism: relation to neuropsycholo-gical testing. J Nucl
Med 34:1452–1459
51. Valmier J, Touchon J, Zanca M, Fauchere V, Bories P, Baldy-
Moulinier M (1986) Correlations between cerebral grey matter
flow and hepatic histology in alcoholism. Eur Neurol 25:428–435
Hunter R, McLuskie R, Wyper D, Patterson J, Christie JE, Brooks DN
et al. (1989) The pattern of function-related regional cerebral blood
flow investigated by single photon emission tomography with 99 mTc-
HMPAO in patients with presenile Alzheimer’s disease and Korsakoff
’s psychosis. Psychol Med 19:847–855
53. Shimojyo S, Scheinberg P, Reinmuth D (1967) Cerebral blood
flow and metabolism in the Wernicke-Korsakoff Syndrome. J Clin
Invest 46:849–854
54. Jagannathan NR, Desai NG, Raghunathan P (1996) Brain
metabolite changes in alcoholism: an in vivo proton magnetic
resonance spectroscopy (MRS) study. Magn Reson Imaging
14:553–557
55. Pfefferbaum A, Adalsteinsson E, Sullivan EV (2006)
Supratentorial profile of white matter microstructural integrity in
recovering alcoholic men and women. Biol Psychia-try 59:364–372
56. Pfefferbaum A, Sullivan EV (2005) Disruption of brain white
matter microstructure by excessive intracellular and extracellular
fluid in alcoholism: evidence from diffusion tensor imaging.
Neuropsychopharmacology 30:423–432
57. Courville CB (1964) Forensic neuropathology. XII. The
alcohols. J Forensic Sci 9:209–235
58. Harper CG, Kril J (1985) Brain atrophy in chronic alcoholic
patients: a quantitative pathological study. J Neurol Neurosurg
Psychiatr 48:211–217
59. Harper CG, Kril JL (1990) The neuropathology of alcoholism.
Alcohol Alcohol 25:207–216
60. Krill JJ (1995) The contribution of alcohol, thiamine deficiency
and cirrhosis of the liver to cerebral cortical damage in alcoholics.
Metab Brain Dis 10:9–16
61. Harper CG, Kril JJ, Holloway RL (1985) Brain shrinkage in
chronic alcoholics: a pathological study. Br Med J 290:501–504
62. Kril JL, Halliday GM (1999) Brain shrinkage in alcoholics: a
decade on and what have we learned? Prog Neurobiol 58:381–387
63. Kril JJ, Halliday GM, Svoboda MD, Cartwright H (1997) The
cerebral cortex is damaged in chronic alcoholics. Neuroscience
79:983–998
64. Eisenhofer G, Johnson RH (1982) Effects of ethanol ingestion
on plasma vasopressin and water balance in humans. Am J Physiol
242:522–527
65. Harper CG, Kril J, Daly JM (1988) Brain shrinkage in
alcoholics is not caused by changes in hydration: a pathological
study. J Neurol Neurosurg Psychiatry 51:124–127
66. Tang Y, Pakkenberg B, Nyengaard JR (2004) Myelinated nerve
fibres in the subcortical white matter of cerebral hemispheres are
preserved in alcoholic subjects. Brain Res 1029:162–167
67. de la Monte SM (1988) Disproportionate atrophy of cerebral
white matter in chronic alcoholics. Arch Neurol 45:990–992
68. Jensen GB, Pakkenberg B (1993) Do alcoholics drink their
neurons away? Lancet 342:1201–1204
69. Trabert W, Betz T, Niewald M, Huber G (1995) Significant
reversibility of alcoholic brain shrinkage within 3 weeks of
abstinence. Acta Psychiatr Scand 92:87–90
70. Kril JJ, Harper CG (1989) Neuronal counts from four cortical
regions of alcoholic brains. Acta Neuropathol 41:67–80
71. Moselhy HF, Georgiou G, Kahn A (2001) Frontal lobe changes
in alcoholism: a review of the literature. Alcohol Alcohol 36:357–
368
72. Sullivan EV, Harding AJ, Pentney R, Dlugos C, Martin PR,
Parks MH et al. (2003) Disruption of frontocerebellar circuitry and
function in alcoholism. Alcohol Clin Exp Res 27:301–309
73. Brun A, Andersson J (2001) Frontal dysfunction and frontal
cortical synapse loss in alcoholism – the main cause of alcohol
dementia? Dement Geriatr Cogn Disord 12:289–294
74. Cavanagh JB, Holton JL, Nolan CC (1997) Selective damage to
the cerebellar vermis in chronic alcoholism: a contribution from
neurotoxicology to an old problem of selective vulnerability.
Neuropathol Appl Neurobiol 23:355–363

75. Courville CB (1964) Cerebellar degeneration as a consequence


of chronic alcoholism. Bull Los Angeles Neurol Soc 29:198–207
76. Karhune PJ, Erkinjuntti T, Laippala P (1994) Moderate alcohol
consumption and loss of cerebellar Purkinje cells. Br Med J
308:1663–1667
77. Nicola´s JM, Ferna´ndez-Sola` J, Robert J, Antu´nez E, Cofa´n
M, Cardenal C et al. (2000) High ethanol intake and malnutrition in
alcoholic cerebellar shrinkage. QJM 93:449–456
78. Pfefferbaum A, Sullivan EV, Rosenbloom MJ, Mathalon DH,
Lim KO (1998) A con-trolled study of cortical gray matter and
ventricular changes in alcoholic men over a 5-year interval. Arch
Gen Psychiatry 55:905–912
79. Torvik A, Torp S (1986) The prevalence of alcoholic cerebellar
atrophy. A morpho-metric and histological study of an autopsy
material. J Neurol Sci 75:43–51
80. Phillips SG, Harper CG, Kril J (1987) A quantitative
histological study of the cerebellar vermis in alcoholic patients.
Brain 110:301–314
81. Andersen BB (2004) Reduction of Purkinje cell volume in
cerebellum of alcoholics. Brain Res 1007:10–18
82. Baker KG, Harding AJ, Halliday GM, Kril JJ, Harper CG
(1999) Neuronal loss in functional zones of the cerebellum of
chronic alcoholics with and without Wernicke’s encephalopathy.
Neuroscience 91:429–438
83. Bengochea O, Gonzalo LM (1990) Effect of chronic alcoholism
on the human hippocam-pus. Histol Histopathol 5:349–357
84. Harding AJ, Wong A, Svoboda MD, Kril JL, Halliday GM
(1997) Chronic alcohol consumption does not cause hippocampal
neuron loss in humans. Hippocampus 7:78–87
85. Korbo L (1999) Glial cell loss in the hippocampus of alcoholics.
Alcohol Clin Exp Res 23:164–168
86. Baker KG, Halliday GM, Kril JJ, Harper CG (1996) Chronic
alcoholics without Wernicke-Korsakoff syndrome or cirrhosis do
not lose serotonergic neurons in the dorsal raphe nucleus. Alcohol
Clin Exp Res 20:61–66
87. Halliday G, Ellis J, Heard R, Caine D, Harper C (1993)
Brainstem serotonergic neurons in chronic alcoholics with and
without the memory impairment of Korsakoff ’s psycho-sis. J
Neuropathol Exp Neurol 52:567–579
88. Halliday G, Ellis J, Harper C (1992) The locus coeruleus and
memory: a study of chronic alcoholics with and without the
memory impairment of Korsakoff ’s psychosis. Brain Res 598:33–
37
89. Estruch R, Nicolas JM, Salamero M, Aragon C, Sacanella E,
Fernandez-Sola J, Urbano-Marquez A (1997) Atrophy of the corpus
callosum in chronic alcoholism. J Neurol Sci 146:145–151
90. Pfefferbaum A, Lim KO, Desmond J, Sullivan EV (1996)
Thinning of the corpus callosum in older alcoholic men. A
magnetic resonance imaging study. Alcohol Clin Exp Res 20:752–
757
91. Pfefferbaum A, Adalsteinsson E, Sullivan EV (2006)
Dysmorphology and microstructural degradation of the corpus
callosum: Interaction of age and alcoholism. Neurobiol Aging
27:994–1009
92. Crews FT, Collins MA, Dlugos C, Littleton J, Wilkins L,
Neafsey EJ et al. (2004) Alcohol-induced neurodegeneration: when,
where and why? Alcohol Clin Exp Res 28:350–364

93. Randoll LA, Wilson WR, Weaver MS, Spuhler-Phillips K,


Leslie SW (1996) N-Methyl-D-aspartate-stimulated increases in
intracellular calcium exhibit brain regio-nal differences in
sensitivity to inhibition by ethanol. Alcohol Clin Exp Res 20:197–
200
94. Cullen KM, Halliday GM (1994) Chronic alcoholics have
substantial glial pathology in the forebrain and diencephalon.
Alcohol Alcohol Suppl 2:253–257

95. Davis RL, Syapin PJ (2004) Ethanol increases nuclear factor-


kappa B activity in human astroglial cells. Neurosci Lett 371:128–
132
96. Syapin PJ, Hickey WF, Kane CJM (2005) Alcohol brain
damage and neuroinflammation: Is there a connection? Alcohol
Clin Exp Res 29:1080–1089
97. Valle´s SL, Blanco AM, Pascual M, Guerri C (2004) Chronic
ethanol treatment enhances inflammatory mediators and cell death
in the brain and in astrocytes. Brain Pathol 14:365–371
98. Montoliu C, Sancho-Tello M, Azorin I, Burgal M, Valle´s SL,
Renau-Piqueras J et al. (1995) Ethanol increases cytochrome
P4502E1 and induces oxidative stress in astrocytes. J Neurochem
65:2561–2570
99. Gocht A, Colmant HJ (1987) Central pontine and extrapontine
myelinolysis: a report of 58 cases. Clin Neuropathol 6:262–270
100. Kleinschmidt-DeMasters BK, Rojiani AM, Filley CM (2006)
Central and extrapontine myelinolysis: then . . . and now. J
Neuropathol Exp Neurol 65:1–11
101. Lampl C, Yazdi K (2002) Central pontine myelinolysis. Eur
Neurol 47:3–10
102. Newell KL, Kleinschmidt-DeMasters BK (1996) Central
pontine myelinolysis at autopsy; a twelve year retrospective
analysis. J Neurol Sci 142:134–139
103. Wright DG, Laureno R, Victor M (1979) Pontine and
extrapontine myelinolysis. Brain 102:361–385
104. Adams R, Victor M, Mancall E (1959) Central pontine
myelinolysis. A hitherto undescribed disease occurring in alcoholic
and malnourished patients. Arch Neurol Psychiatr 81:154–172
105. Brown WD (2000) Osmotic demyelination disorders: central
pontine and extrapontine myelinolysis. Curr Opin Neurol 13:691–
697
106. Norenberg MD, Leslie KO, Robertson AS (1982) Association
between rise in serum sodium and central pontine myelinolysis.
Ann Neurol 11:128–135
107. Kumar S, Fowler M, Gonzalez-Toledo E, Jaffe SL (2006)
Central pontine myelinolysis, an update. Neurol Res 28:360–366
108. Sterns RH, Riggs JE, Schochet SS (1986) Osmotic
demyelination syndrome following correction of hyponatremia. N
Engl J Med 314:1535–1542
109. Haibach H, Ansbacher LE, Dix JD (1987) Central pontine
myelinolysis: a complication of hyponatremia or of therapeutic
intervention? J Forensic Sci 32:441–451
110. Miller RF, Harrison MJG, Hall-Craggs MA, Scaravilli F (1998)
Central pontine myelinolysis in AIDS. Acta Neuropathol 96:537–
540
111. Messert B, Orrison WW, Hawkins MJ, Quaglieri CE (1979)
Central pontine myelinolysis: considerations on etiology, diagnosis
and treatment. Neurology 29:147–160
112. Menger H, Jorg¨ J (1999) Outcome of central pontine and
extrapontine myelinolysis. J Neurol 246:700–705
113. Wilske J, Henn R (1983) Zentrale pontine Myelinolyse -
Ursache unklarer Todesfa¨lle. In: Barz J, Bosche¨ J, Frohberg H,
Joachim H, Ka¨ppner R, Mattern R (eds) Fortschritte der
Rechtsmedizin. Festschrift fu¨r Georg Schmidt. Springer, Berlin
Heidelberg New York, pp 123–128
114. Endo Y, Oda M, Hara M (1981) Central pontine myelinolysis.
A study of 37 cases in 1,000 consecutive autopsies. Acta
Neuropathol 53:145–153
115. Ashrafian H, Davey P (2001) A review of the causes of central
pontine myelinosis: yet another apoptotic illness? Eur J Neurol
8:103–109
116. Cravioto H, Korein J, Silberman J (1961) Wernicke’s
encephalopathy. A clinical and pathological study of 28 autopsied
cases. Arch Neurol 4:510–519
117. Halliday G, Cullen K, Harding A (1994) Neuropathological
correlates of memory dysfunction in the Wernicke-Korsakoff
syndrome. Alcohol Alcohol Suppl 2:245–251
118. Victor M, Adams RD, Collins GH (1971) The Wernicke-
Korsakoff syndrome: a clinical and pathological study of 245
patients, 82 with post-mortem examinations. Contemp Neurol Ser
7:1–206

119. Malamud N, Skillicorn SA (1956) Relationship between the


Wernicke and the Korsakoff syndrome: a clinicopathologic study of
seventy cases. Arch Neurol Psy-chiatr 76:585–596
120. Kopelman MD (1995) The Korsakoff syndrome. Br J Psychiatr
166:154–173
121. Berger JR (2004) Memory and the mammillothalamic tract.
AJNR Am J Neuroradiol 25:906–907
122. Torvik A (1987) Topographic distribution and severity of brain
lesions in Wernicke’s encephalopathy. Clin Neuropathol 6:25–29
123. Torvik A (1985) Two types of brain lesions in Wernicke’s
encephalopathy. Neuropathol Appl Neurobiol 11:179–190
124. Harper C, Butterworth R (2002) Nutritional and metabolic
disorders. In: Graham DI, Lantos PL (eds) Greenfield’s
neuropathology, 7th edn. Arnold Publishers, London, pp 607–652
125. Harding A, Halliday G, Caine D, Kril J (2000) Degeneration of
anterior thalamic nuclei differentiates alcoholics with amnesia.
Brain 123:141–154
126. Shear PK, Sullivan EV, Lane B, Pfefferbaum A (1996)
Mammillary body and cerebellar shrinkage in chronic alcoholics
with and without amnesia. Alcohol Clin Exp Res 20:1489–1495
127. Visser PJ, Krabbendam L, Verhey FRJ, Hofman PAM,
Verhoeven WMA, Tuinier S et al. (1999) Brain correlates of
memory dysfunction in alcoholic Korsakoff’s syndrome. J Neurol
Neurosurg Psychiatr 67:774–778
128. Victor M (1987) The irrelevance of mammillary body lesions in
the causation of the Korsakoff amnesic state. Int J Neurol
21/22:51–57
129. Harper C (1983) The incidence of Wernicke’s encephalopathy
in Australia – a neuropathological study of 131 cases. J Neurol
Neurosurg Psychiatr 46:593–598
130. Harper CG, Giles M, Finlay-Jones R (1986) Clinical signs in the
Wernicke-Korsakoff complex: a retrospective analysis of 131 cases
diagnosed at necropsy. J Neurol Neurosurg Psychiatr 49:341–345
131. Naidoo DP, Bramdev A, Cooper K (1996) Autopsy prevalence
of Wernicke’s encepha-lopathy in alcohol-related disease. S Afr
Med J 86:1110–1112
132. Thomson AD (2000) Mechanisms of vitamin deficiency in
chronic alcohol misusers and the development of the Wernicke-
Korsakoff syndrome. Alcohol Alcohol Suppl. 35:2–7
133. Charness ME (1993) Brain lesions in alcoholics. Alcohol Clin
Exp Res 17:2–11
134. Rodda R, Cummings R, Milligens KS (1978) Wernicke-
Korsakov syndrome lesions in coronial necropsies. Clin Exp Neurol
15:114–126
135. Butterworth RF (2003) Hepatic encephalopathy. Alcohol Res
Health 27:240–246
136. Lewis M, Howdle PD (2003) The neurology of liver failure.
QJM 96:623–633
137. Lizardi-Cervera J, Almeda P, Guevara L, Uribe M (2003)
Hepatic encephalopathy: a review. Ann Hepatol 2:122–130
138. Vaquero J, Chung C, Cahill ME, Blei AT (2003) Pathogenesis
of hepatic encephalopathy in acute liver failure. Semin Liver Dis
23:259–269
139. Blei AT, Larsen FS (1999) Pathophysiology of cerebral edema
in fulminant hepatic failure. J Hepatol 31:771–776
140. Norenberg MD (1998) Astroglial dysfunction in hepatic
encephalopathy. Metab Brain Dis 13:319–335
141. Ha¨ussinger D, Kircheis G, Fischer R, Schliess F, vom Dahl S
(2000) Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: a clinical
manifestation of astrocyte swelling and low-grade cerebral edema?
J Hepatol 32:1035–1038
142. Kato M, Hughes RD, Keays RT, Williams R (1992) Electron
microscopic study of brain capillaries in cerebral edema from
fulminant hepatic failure. Hepatology 15:1060–1066
143. Kimura T, Budka H (1986) Glial fibrillary acidic protein and S-
100 protein in human hepatic encephalopathy:
immunoyctochemical demonstration of dissociation of two glia-
associated proteins. Acta Neuropathol 70:17–2
Matius Muntay Langit
Halaman 89-108
Bab 6
Evaluasi Medicolegal dari Delirium
James R. Gill
Isi
6.1Pendahuluan 92
6.2Patogenesis dan Patofisiologi. 94
6.3 Studi Kasus 94
6.4 Diseksi dan Toksikologi. 96
6.4.1 Patologi Kotor. 97
6.4.2 Toksikologi. 97
6.4.3 Neuropatologi. . 98
6.5 Aspek Medicolegal dari Delirium yang Gembira. 99
6.5.1 Peran Pengekangan / Asfiksia Posisional dan Penyebab Kematian. 99
6.5.2 Peran Cedera Mekanis dan Penyebab Kematian 101
6.5.3 Peran Perangkat Gangguan Elektromuskular (EMDD)
dan Penyebab Kematian 101
6.5.4 Peran Stres dan Penyebab Kematian. 103
6.5.5 Sertifikasi Kematian. 105
6.5.6 Keluarga, Pers, dan Jaksa Penuntut. . 107
Referensi. 108

Abstrak
Delirium yang menggairahkan adalah sindrom yang mengancam jiwa
yang dapat dimulai oleh berbagai penyebab termasuk keracunan obat
dan penyakit kejiwaan.Orang yang mengalami delirium yang
bersemangat dapat menunjukkan paranoid, agresif, dan perilaku tidak
koheren . Karena tindakan mereka, orang-orang dalam delirium yang
bersemangat mungkin datang ke perhatian penegak hukum. Tantangan
bagi forensic ahli patologi muncul ketika kematian ini terjadi selama
atau segera setelah kekerasanperjuangan, sering melibatkan agen
penegak hukum. Tiga contoh bersemangat delirium dijelaskan untuk
menunjukkan lebih sindrom dan untuk melayani sebagai dasar untuk
diskusi tentang aspek medikolegal delirium tereksitasi. Sana
Ada beberapa teori untuk sindrom ini dan banyak perhatian
telah diberikan untuk peran pengekangan dan
perjuangan. Selain mekanisme asfiksia ,

JR Gill
Kantor Kepala Pemeriksa Medis, New York, NY 10016
e-mail: jgill@ocme.nyc.gov
M. Tsokos (ed.), Ulasan Patologi Forensik, Volume 5 ,
doi : 10.1007 / 978-1-59745-110-9_6, _ Humana Press, Totowa, NJ
2008
91
kelainan neurokimia lainnya yang memerlukan dopamin,
peningkatan kalium Konsentrasi, asidosis laktat, dan peningkatan efek
katekolamin pada hati telah berbicara. Kokain dan amfetamin adalah
dua dari banyak zat yang dapat menyebabkan gejala delirium
tereksitasi. Tujuan dari otopsi pada dugaan kematian delirium yang
tereksitasi adalah untuk menentukan (atau memerualikan) suatu
penyakit
atau terluka yang cukup untuk menjelaskan kematian mendadak dalam
konteks yang diselidiki
keadaan. Pada kematian akibat delirium yang tereksitasi, tidak ada
patognomonik
temuan otopsi dan luka ringan (tip, memar, luka) adalah
tipikal. Karena
untuk interaksi fisiologis, kimia, lingkungan, dan traumatis yang
kompleks
yang terjadi, mungkin tidak ada jenis kematian lain yang sangat penting
Terapkan pepatah forensik setiap kematian harus dievaluasi '' satu per
satu ''. Itu
peran alat pengekang, gangguan elektromuskuler (mis.
Tasers 1 ), mekanis
trauma, stres, dan penyakit alami harus dipertimbangkan dalam
sertifikasi kematian.

Kata kunci Forensik patologi _ Terganggu delirium _ Delirium


yang gembira _
Taser 1 _ Psikosis kokain _ Menahan diri

6.1 Pendahuluan
Delirium adalah sindrom konusional akut dengan gangguan
sementara pada
Kesadaran dan kognisi yang memiliki berbagai sebab (Tabel 6.1)
[6.1]. Sana
adalah bagian dari pasien dengan delirium yang melibatkan agitasi
dan kekerasan
perilaku. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah
dipublikasikan individu dengan delirium
yang hadir dalam keadaan sangat gelisah dan mati mendadak [2, 3, 4, 5,
6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13]. Delirium gembira adalah jenis Delirium
gembira perilaku kekerasan .
Delirium dan delirium tereksitasi bukan sinonim.
Bersemangat (gelisah) deliriumis Apa yang bisa dimulai?
oleh berbagai sebab. Saat ini, sindrom ini sebagian besar terkait
dengan obat
intoksikasi (kokain, metamfetamin) dan penyakit kejiwaan [2, 3]. ini
ditandai dengan kematian mendadak selama atau setelah episode
delirium tereksitasi
di mana otopsi gagal untuk perlindungan penyakit atau perlindungan
fisik yang luasnya
atau keparahan untuk menjelaskan kematian dan penyembuhannya
dengan
sindrom [3]. Ini adalah diagnosis klinis berdasarkan otopsi dan
hasil toksikologis di dalam konteks sejarah dan situasi.
Delirium yang aneh ditandai dengan serangan tiba-tiba yang aneh dan
keras
perilaku dan dapat menantang dengan agresifitas, kebingungan,
hiperaktif,
delusi paranoid, berteriak tidak jelas, halusinasi, hipertermia, dan
kematian mendadak [4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13]. Jika orang-orang
ini datang ke
perhatian orang lain (biasanya penegakan hukum), mereka sering
dipanggil di suatu
Coba untuk mencegah mereka melukai diri sendiri atau orang
lain. Selama ini
berjuang mempertahankan diri, berjuang melawan sering terjadi. Tak
lama setelah perjuangan
berakhir, individu tiba-tiba menjadi tidak responsif dan ditemukan di
kardiopulmoner penangkapan [5, 6, 12]. Sindrom ini lebih sering
terjadi pada saat inihangat dan lembab [6, 11].
Tantangan bagi ahli patologi forensik muncul saat kematian
terjadi selama atau segera setelah berjuang yang keras, berjuang
menegakkan hokum agen Jika kematian terjadi selama perjuangan dan
pengekangan berikutnya, perbedaan itu diagnosis penyebab kematian
trauma fisik termasuk kompresi leher atau dada gantung diri, cedera
benturan tumpul, cedera listrik akibat penggunaan elektromuskuler
alat gangguan (mis. Tasers 1 ), atau cedera kimia akibat semprotan
merica [14,15]. Episode yang diambil dari episode ini diakhiri oleh a
berjuang dengan polisi atau tenaga medis [3]. Pengamatan ini, belum,
memiliki a Bias pilihan karena orang dalam keadaan delirium senang
yang datang ke perhatian orang lain, biasanya akan diumumkan polisi
atau medis. Namun, ada kematian karena delirium tereksitasi kokain,
tetapi tidak datang ke perhatian polisi atau petugas medis [11]. Tanpa
hati-hati investigasi adegan, kematian ini mungkin tidak disetujui
sebagai contoh gembira igauan. Sebaliknya, mereka hanya
disertifikasi, misalnya, sebagai keracunan kokain akut.Oleh karena itu,
beberapa kematian dengan perubahan delirium yang bersemangat
mungkin tidak
Tabel 6.1 Penyebab delirium / psikosis
(menurut [1, 10, 67])
Intoksikasi / dukungan obat
Psikosis Fungsional Akut (skizofrenia, mania akut)
Penyakit endokrin / metabolik
Hipertiroidisme, hipotiroidisme ('' kegilaan miksedema '')
Hipoglikemia
Penyakit hipofisis dengan efek endokrin sekunder
Psikosis pascapartum
Porfiria
Gagal hati dan ginjal ( uremia )
Gangguan elektrolit
Ketidakseimbangan basa asam,
Gangguan gizi
Kekurangan tiamin / vitamin B12 ('' kegilaan megaloblastik '')
Infeksi
Meningitis, ensefalitis, sepsis
Neoplasia ( tumor otak )
Gangguan kejang
Kejang parsial kompleks ('' temporal lobe '' atau '' psychomotor ''
epilepsy), keadaan postictal
Gangguan pembuluh darah
Ensefalopati hipertensif / infark serebral
Lupus erythematosus sistemik
Koagulasi intravaskular diseminata
Trauma
Gegar
Hematoma subdural, epidural, subarachnoid
Hipotermia / Hipertermia
Hipoksia
Psikosis / berpura-pura sakit
6 Evaluasi Medicolegal dari Delirium

diterima oleh pemeriksa Medis / koroner dan hanya disertifikasi


sebagai keracunan yang mendasarinya. Satu-satunya bukti delirium
senang yang tidak disaksikan mungkin apartemen yang rusak di mana
almarhum ditemukan, atau tidak dihapus kerusakan tidak berhenti.
Evaluasi dan sertifikasi kematian ini dapat menjadi tantangan bagi
pemeriksa Medis / koroner [2, 3, 16, 17, 18]. Tidak hanya tekad
Penyebab kematian menjadi pemulihan, tetapi juga merupakan
tantangan yang tidak berubah oleh keluarga, pers, dan badan hukum
lain yang memercayai polisi yang menyebabkan kematian.

6.2 Patogenesis dan Patofisiologi


Ada beberapa teori untuk sindrom ini [2, 3, 6, 12,
19]. Secara historis memang demikian Bell's mania telah diakui
pada pasien psikiatris sebagai mania lengkap akut [2, 3]. Banyak
perhatian telah diberikan pada peran pengekangan dan perjuangan
[7,9,20, 21, 22, 23, 24, 25, 26].
Selain itu transisi asfiksia , neurokimia lainnya kelainan yang
membutuhkan dopamin, Meningkatkan konsentrasi kalium, asidosis
laktat, disfungsi otonom, dan Peningkatan katekolamin efek pada
jantung telah meningkat [3, 12, 27, 28, 29]. Kokain
dan amfetamin adalah dua dari banyak zat yang dapat
menyebabkan sindrom delirium gembira. Secara kimia, kokain
mempengaruhi dopamin dan katekolamin sistem tubuh. Beberapa
orang mengaitkan sindrom ini dengan Ganas neuroleptik sindrom
(NMS) [6]. Obat-obatan yang terlibat dengan aktivitas dopamin
juga mengambil dalam NMS. Didalilkan itu kelainan dalam jumlah
dan jenis reseptor dopamin menyebabkan sindrom. Lingkungan
yang lebih tinggi Untuk menciptakan morbiditas dan mortalitas
dengan kokain pulih [30]. Kematian akibat kegembiraan delirium
dilakukan lebih banyak terjadi sering di musim panas (Juni hingga
September) dari di musim lain [6, 11].

6.3 Studi Kasus


Tiga contoh delirium tereksitasi selanjutnya ini untuk lebih
lanjut mendemonstrasikan dialog dan untuk melayani sebagai dasar
untuk diskusi aspek medikolegal dari delirium tereksitasi.
Kasus # 1: Delirium Gembira Klasik Seorang pria melepaskan
37 tahun menyerang seorang wanita jalan dan ditemukan berlarian
dengan celananya hingga kompilasi polisi tiba. Dia menolak
ditangkap dan berlari bolak-balik, membanting menolak di atas trotoar,
dan penanaman tanah dari perkebunan. Unit layanan darurat diundang
untuk membantu menahannya. Dia menggigit sepatu dan sarung
petugas. Butuh lebih dari sepuluh orang untuk menahan dan
memborgolnya. Saat layanan medis darurat tiba, mereka Sangat
rentan dan agresif. Dia ditempatkan di atas tandu. Sejak dia diam
agresif, diluncurkan di sisi kirinya dan diikat ke tandu olehnya bahu,
panggul, dan tungkai bawah. Teknisi Medis darurat menyatakan itu
mereka perlu menunggu dan mereka melihat polisi menahannya
hanya dengan memegang ekstremitasnya. Tidak ada polisi yang
terlihat ditahan oleh polisi leher, kepala, atau dengan berdiri atau duduk
di atas. Tanda-tanda vital awalnya adalah denyut nadi 220
dan tingkat pernapasan 22. Diaforis dan '' panas untuk
disentuh''. Suhunya tidak tertunda. Dia memiliki jalan napas
paten. Setelah memasukkannya ke ambulans, ia menjadi apnea dan
tidak berdaya. Resusitasi jantung paru dimulai. Dia dinyatakan
meninggal di Departemen Darurat. Tidak ada semprotan
merica( oleresin capsicum)atau perangkat
gangguan elektromuskuler digunakan.
Saat otopsi, ia mengukur 5 0 11 00 dan beratnya £ 195. Dia
memiliki suhu dubur dari 91 8 F diperoleh 11,5 jam setelah
kematian. Dia banyak menyembuhkan luka tumpul kepala, leher,
belalai, dan ekstremitas. Ada banyak memar panjang ini
kepala dengan area fokus perdarahan subaraknoid . Tidak ada
tengkorak fraktur, perdarahan epidural / subdural , atau memar
otak. Disana ada hipertrofi jantung ringan dan steatosis
hati. Ada pendarahan dibaik otot sternokleidomastoid dan otot
leher posterior. Ada tidak ada patekiae. Ada banyak luka di dada,
punggung,dan bokong (0,5-1,5 00 ). Ada banyak luka memar / lecet
ekstremitas atas dan bawah termasuk luka memar / lecet Bertindak
tangan (konsisten dengan borgol). Tidak ada patah tulang atau visceral
cedera. Konsentrasi kokain darahnya adalah 0,16 mg / L. Selain itu,
etanol (0,04 gram), pseudoefedrin ( < 0,1 mg / L), dan bupropion
( < 0,1 mg / L) adalah diterima. Penyebab kematiannya disertifikasi
karena keracunan akut untuk efek gabungan dari kokain, etanol,
bupropion, dan pseudoefedrin dengan delirium gelisah. Cara kematian
disertifikasi sebagai kecelakaan

Kasus # 2: Delirium yang Gembira Tanpa Penahanan Seorang


pria yang mengunjungi 31 tahun ditemukan meninggal di apartemennya
yang dipindahkan dan diamankan pada Juni di New York
Kota. Malam sebelumnya dia bersama istri dan sepupunya yang
menyatakan itu almarhum telah di pesta kokain tiga hari dan
"bertingkah gila". Pada satu Intinya, dia mengambil pisau dapur dan
mengambil mereka. Dia mulai membantah menaiki apartemen dan
menikam dinding dan pintu. Istri dan sepupunya pergi
Apartemen. Istri itu segera kembali ke apartemen untuk mengambil
sandalnya tetapi orang yang meninggal tidak akan diizinkan
masuk. Sang istri masih bisa mendengar almarhum memecahkan
barang-barang di apartemen. Sang istri dapat kembali ke hari
berikutnya dan tidak bias memperoleh pintu masuk apartemen. Dia
pergi keluar darurat dan bisa melihat
almarhum di lantai kamar tidur dengan darah di sekelilingnya. Jendela
dan gerbang jendela tertunda terbuka dan 911 disebut. Dia
dinyatakan meninggal di TKP jam 1 siang. Ada percikan darah di
lantai, menyelamatkan, dan langit-langit. Kerangka tempat tidur patah
dan pisau ditemukan kembali tempat tidur. Almarhum berdarah
memiliki kantong plastik dengan bubuk putih yang menonjol
dari mulutnya. Di tempat kejadian, 7 jam setelah dia ditemukan, dia
dalam kondisi penuh dengan suhu tubuh 96 8 F (suhu kamar
88 8 F).Saat otopsi, ia memindahkan luka di telapak tangan, jari, dan
lengan kanannya
tanpa cedera pembuluh darah utama. Dia memiliki kontusinya yang
tersebar 6 Evaluasi Medicolegal dari Delirium yang Bersemangat 95
ekstremitas atas dan tidak ada luka lain pada tubuh termasuk
leher. Sana bukan patekie. Konsentrasi kokain darahnya adalah 6,2
mg / L. Bubuk itu residu dalam kantong plastik adalah
kokain. Kematiannya disahkan sebagai kokain delirium gembira
dengan cara yang tidak disengaja. Cedera tajam tidak berkontribusi
pada kematiannya.

Kasus # 3: Delirium yang Gembira dengan Restraint, Direkam


dalam Darurat Departemen Seorang pria 40 tahun senang berteriak
dan berperilaku dalam Secara paranoid di trotoar di New York
City. Dia memiliki sejarah Panjang memulai zat. Menurut dia, dia
baru-baru ini mulai menggunakan narkoba lagi dan dia telah
mengeluarkan dia keluar dari rumah beberapa hari sebelumnya. Dua
petugas polisi tiba dan berbicara. Dia berjalan sendiri ke
ambulans. Dia diangkut dengan layanan medis darurat ke rumah
sakit. Dalam keadaan darurat departemen, ia terus berteriak dan
menyatakan bahwa 'orang mengikutinya' 'Dia menjadi tidak kooperatif
dan lebih gelisah. Petugas keamanan dan polisi membahas ke lantai
dan memborgolnya. Tabib yang merawat hadir untuk ini, menyatakan
bahwa ia terus agresif secara verbal dan fisik saat di lantai.Dia
ditempatkan di atas brankar menghadap ke bawah saat seorang dokter
hadir. Dia segera digulingkan ke ruang penerimaan. Pasien masih
diam berteriak dan bergerak sambil di brankar. IV dimulai dan pasien
muntah Dia membalik dan, saat dia sedang pakaian, dikembalikan
apnea.
Dia memiliki aktivitas kelistrikan tanpa denyut jantung dan
penunjang kehidupan jantung lanjut sudah dimulai. Upaya resusitasi
tidak berhasil. Suhu lawan ditangani normal. Peristiwa di departemen
darurat adalah Deskripsi kamera yang diberikan dan deskripsi verbal
yang diberikan oleh dokter dan petugas keamanan. Perjuangan dan
penempatan di brankar sebelum dibawa ke ruang ujian berlangsung
kurang dari 2 menit.
Saat otopsi, ia memiliki berat 218 lbs dan tinggi 6500. Ada yang
bertebaran dangkal lecet dan memar pada ekstremitas atas dan
dada. Ada Laserasi 0,25 00 pada bibir atas. Tidak ada patekie,
cedera leher, atau jalan napas tersumbatnya. Dia tidak memiliki
jantung, hati, paru-paru, atau ginjal yang mendasarinya
penyakit. Toksikologi positif untuk kokain (0,10 mg / L),
benzoylecgonine(1,2 mg / L), dan metadon (1,2 mg / L). Kematiannya
disahkan sebagai kokain delirium gembira dengan cara yang tidak
disengaja.
6.4 Diseksi dan Toksikologi

Tujuan otopsi dalam dugaan hukuman delirium yang tereksitasi


adalah untuk menyetujui (atau mengecualikan) penyakit atau cedera
yang cukup untuk menjelaskan kematian mendadak dalam konteks dari
keadaan yang diselidiki. Untuk membuat diagnosis delirium
tereksitasi, satu harus mencari penyebab delirium, memiliki keinginan
yang berkembang dengan Penyebab, dan mengecualikan penyebab
intervensi lainnya. Diagnosis dibuat melalui investigasi kasus
lengkap, otopsi, dan studi toksikologi.

6.4.1 Patologi

Pada kematian akibat delirium yang tereksitasi, tidak ada


temuan otopsi patognomonik, dan luka ringan (tip, memar, luka) adalah
tipikal. Itu biasa untuk orang-orang dalam delirium yang senang
memiliki banyak luka tumpul dan / atau bahkan tajam tanpa upaya
mempertahankan diri atau intervensi oleh polisi atau tenaga medis. Ada
laporan tentang orang-orang dalam delirium yang diminta yang telah
membanting mereka kepala ke dinding bata, melompat menuruni
tangga, menyelam melalui jendela, dan menabrak mobil [5, 10, 31,
32].
Dalam hal ini, seseorang harus hati-hati memperbaiki
kecelakaan dan mencari potensi kematian lainnya. Untuk Contohnya,
apakah luka-luka yang terluka dan jumlah darah di tempat kejadian
cukup untuk menghasilkan emboli udara? Perluasan hematoma
subdural atau hemoperitoneum karena laserasi limpa adalah contoh
potensi penyebab intervensi yang efisien dalam kondisi tereksitasi
igauan.
Pada otopsi, foto seluruh tubuh menunjukkan semua positif dan
negative Temuan harus dilakukan. Ada atau tidaknya petekie
(konjungtiva,mukosa wajah, dan mulut) dan harus
dilakukan pendarahan otot leher
didokumentasikan. Radiografi postmortem dan diseksi subkutan
untuk okultisme memar, sebagian besar pada individu berpigmen gelap,
juga dapat bermanfaat.Beberapa pasien yang berhasil diresusitasi
berlalu kemudian di rumah sakit
karena rhabdomiolisis, gagal ginjal akut, dan penyebaran intravaskular
pembekuan. Orang mungkin melihat bukti persetujuan ini termasuk
luas perdarahan gastrointestinal mukosa atau mioglobin berperan
dalam tubulus ginjal.

6.4.2 Toksikologi
Analisis toksikologis harus dilakukan pada kematian ini. Umum dan
tidak umum obat pelecehan (kokain, metamfetamin, PCP, dan
halusinogen lainnya) harus diselidiki, selain berbagai obat psikiatris
dan obat antikolinergik. Studi elektrolit vitreous dapat
dilindungi hiperglikemia dan uremia. Kokain dan amfetamin sering
dipilih pada kasus koreksi ini delirium gembira. Mereka adalah obat
terlarang dan tidak mengherankan itulah mereka telah menjadi
penyebab umum dari delirium yang bersemangat [2, 4, 11]. Meski
anteseden yang paling umum untuk delirium tereksitasi adalah pesta
kokain baru-baru ini, Konsentrasi kokain pada orang yang mati karena
kegigihan tidak selalu tinggi [5, 20, 33]. Namun, kokain dan
amfetamin bukan satu-satunya toksikologis penyebab sindrom
ini. Obat-obatan terlarang dan terapeutik lainnya (misalnya,
psikotropika obat-obatan) berkaitan dengan delirium tereksitasi dan /
atau dapat menyebabkan delirium dan psikosis akut

(Tabel 6.2). Terkadang, menjadi penyebab kegembiraandelirium tidak


ditentukan [10]. Di rumah sakit karena tertunda gembira delirium,
sampel darah dapat diambil untuk forensik ujian toksikologi.

6.4.3 Neuropatologi

Tidak ada temuan Kematian yang disebabkan oleh delirium


Menyenangkan. Pemeriksaan neurokimia postmortem pada otak(
reseptor sinaptik dopamin di striatum dan hipotalamus) Telah disetujui
oleh beberapa orang untuk mendiagnosis delirium tereksitasi [6,
12]. Ini memeriksa perlu otak untuk dibekukan dan dikirim pada es
kering ke khusus laboratorium untuk pengujian.Tes-tes ini dapat
memberikan dukungan untuk diagnosis gembira delirium tetapi mereka
tidak mendiagnosis penyebab kematian langsung. Sebagai tambahan,
mereka tidak akan menentukan apakah ada penyebab kematian yang
efisien terjadi pada seseorang dalam delirium
menyenangkan. Keadaan dan otopsi Temuan Biasanya lebih penting
dari analisis neurokimia ini. Ini analog dengan menemukan fokus
kejang di otak penderita epilepsi. Temuan seperti itu mungkin
mendukung orang ini adalah epilepsi tetapi, dengan sendirinya, tidak
membuktikan hal itu orang tersebut meninggal karena kejang.
Trauma craniocerebral yang serius dalam kasus delirium tereksitasi
[32]. Cidera kepala insidental ini tidak menyebabkan atau
berkontribusi pada Kematian. Ada laporan tentang orang yang
disetujui oleh karena senang delirium tetapi juga memiliki kerusakan
kepala (misalnya, fraktur tengkorak) [32]. hati-hati dievaluasi dalam
konteks situasi kematian. Misalnya, pendarahan subaraknoid
kecil atau terbatas memar otak, dalam situasi biasa, tidak cukup untuk
menjelaskan kematian [32]. Tidak boleh melebihi-kebanyakankan
temuan ini, terutama tanpa menempatkan mereka dalam situasi
transisi. Sebelum seseorang mengalami cedera Tabel 6.2 Obat yang
berhubungan dengan psikosis akut
Etanol
Keracunan etanol
Penarikan etanol
Obat simpatomimetik
Kokain
Amfetamin
Antidepresan trisiklik
Inhibitor monoamine oksidase
Methylphenidates
Obat penenang
Penarikan obat penenang
Halusinogen
Lysergic acid diethylamide (LSD)
Mescaline
Phencyclidine (PCP)
Psilocybin
Obat antikolinergik
Selain obat dengan efek samping antikolinergik, agen antipsikotik,
antihistamin, dll.
Kortikosteroid

sebagai penyebab kematian, cidera harus mekanis dan


mendalam cocok dengan kematian. Apakah kerusakan pada kepala
dengan kematian yang tertunda dengan jelas Interval (naik hematoma
subdural) atau ketidakmampuan langsung (Trauma aksonal difus
cedera)? Ini membutuhkan pemahaman menyeluruh trauma
craniocerebral termasuk interpretasinya, kematian, dan perubahan
sekunder. Seperti yang dinyatakan Karch , '' Mengganti kematian
dengan penggantian kepala yang sepele masih merupakan godaan 12].

6.5 Aspek Medicolegal dari Delirium


Peran pemeriksa medis / koroner dalam kematian-kematian ini pada
akhirnya harus disertifikasi penyebab dan cara kematian. Karena
kompleks fisiologis, kimia, interaksi lingkungan, dan traumatis yang
terjadi, ini bisa menjadi tantangan. Mungkin tidak ada jenis kematian
yang lain di mana sangat penting untuk menerapkannya pepatah
forensik setiap kematian harus dievaluasi '' satu per satu ''. Tertentu
pedoman, belum, perlu untuk meminta konsistensi dan
objektivitas. Konsistensi sangat penting jika pemeriksa / coroner
medis menginginkannya peserta yang objektif dan objektif dalam
sistem peradilan [34]. Dalam kematian ini, keadaan menyediakan
informasi penting untuk sertifikasi yang tepat. Penyelidik harus
langsung ke sumber utama informasi (saksi) dan tidak tergantung pada
dokter gawat darurat yang menerima informasi dari residen medis yang
menerimanya dari layanan Medis Darurat (EMS). Analisis bingkai
beku selangkah demi selangkah
Peristiwa seperti yang dibahas oleh Luke dan Reay [18], harus
dilakukan. Satu kebutuhan untuk bertanya kepada para peserta 'apa
yang Anda lihat dan dengar? Apakah ada leher atau dada
kompresi? Jika ya, untuk berapa lama? Apakah orang tersebut
berbicara, berteriak, atau membuatsuara-suara? Apakah ini terus
menerus, dan jika demikian untuk lama? Kapan orang itu menjadi
tidak responsif? "" Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting
tidak termasuk penyebab kematian tertentu. Misalnya, itu tidak masuk
akal secara fisiologis untuk menyebabkan kematian menjadi sengatan
listrik pada seseorang yang menjadi tidak responsif
10 menit setelah syok perangkat
gangguan elektromuskuler (EMDD). Saat kokainpengguna dengan
delirium mati gembira, keracunan kokain harus memenangkan
Penyebab Kematian, Kecuali Ada Bukti yang Jelas Kematian karena
Perubahan
selain keracunan kokain, seperti asfiksia mekanik [6].

6.5.1 Peran Pengekangan / Asfiksia Posisional dan Penyebab


Kematian

Beberapa penelitian tentang delirium yang menyenangkan


tertahan sebelum mati [7, 9, 20, 21]. Ini tidak mengherankan karena
ini contoh delirium Berharap yang telah menjadi perhatian polisi /
EMS.Pengekangan biasanya dilakukan pada orang yang memperbaiki
kesulitan dalam upaya untuk menghindari mereka melukai diri sendiri
atau orang lain. Namun, ada laporan kematian karena kegembiraan
delirium yang tidak terjadi dalam tahanan polisi dan / atau
dengan pincang memegang diri [7, 11]. Menahan asfiksia adalah salah
satu penyebab kematian yang diusulkan dalam kematian ini [21, 31,
35].
Studi awal memegang pincang di rawan Posisi pengambilan
saturasi oksigen perifer dan denyut jantung berikut olahraga. Para
penulis menyimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengekangan posisional Dapat diperpanjang dari olahraga disetujui
oleh perubahan perifer saturasi oksigen dan denyut jantung [36].
Penelitian ini diikuti oleh tiga kasus laporan yang disajikan asfiksia
posisional [37]. Studi selanjutnya yang telah menggunakan lebih
banyak Mendapatkan dan menyelesaikan [38, 39, 40, 41]. Penulis
studi awal kemudian mengakui itu Posisi pincang harus dilihat sebagai
posisi yang pada posisi netral tanpa Kehadiran fisiologis yang
signifikan pada orang normal [42]. Studi-studi selanjutnya oleh Chan
dan lainnya membahas peran yang pincang Tahan diri pada fungsi paru
[38, 41, 43]. Dalam satu penelitian, mereka berusaha tentukan efek
pada fungsi pernapasan dengan berat 25 dan 50 lb kembali relawan
manusia dalam posisi menahan diri rawan ini. Mereka mengukur
oksimetri nadi, konsentrasi CO2 pasang surut akhir, kapasitas vital
dipaksa (FVC), dan volume ekspirasi paksa dalam 1 s
(FEV1). Mereka memutuskan itu rawan menahan diri dengan dan
tanpa berat 25 dan 50 lb dilakukan paru restriktif pola fungsi tetapi
tidak ada bukti hipoksia atau hipoventilasi [39].
Orang mungkin mempertanyakan apakah valid untuk menyamakan
studi tentang normal Percaya diri pada orang yang berjuang (meraih) di
delirium gembira. Upaya yang dilakukan di laboratorium untuk
mereproduksi beberapa faktor-faktor ini juga. Efek dari latihan yang
diambil oleh pertengkaran pada pria berusia 17 tahun hingga 40 tahun
[38].
Tes fungsi paru diperoleh dengan subyek dalam posisi duduk,
terlentang, rawan, dan gantung diri. Setelah periode latihan 4 menit,
subyek duduk di posisi duduk sambil nadi, saturasi oksigen, dan arteri
gas darah dipantau. Subjek mengulangi latihan dan kemudian
ditempatkan di posisi penahan. Ada penurunan yang signifikan pada
statistik pada berarti FVC dan FEV1 membandingkan posisi duduk
dengan posisi memegang diri. Tidak ada bukti hipoksia pada posisi dan
karbon rata-rata Memilih dioksida (PCO2) untuk kedua kelompok tidak
berbeda setelah 15 menit istirahat dalam posisi duduk vs posisi
memegang diri. Dalam studi mereka populasi sehat Subjek, posisi
menahan menghasilkan fungsi paru restriktif pola tapi tidak
menghasilkan perubahan yang relevan dengan klinis dalam oksigenasi
atau ventilasi [38]. Pada otopsi, diferensiasi kematian akibat keracunan
versus asfiksia mungkin sulit. Pertanyaan umum tidak dijawab
sepenuhnya oleh otopsi.Mendukung wajah dengan patekie konjungtiva
kemerahan yang mendukung leher atau Kompresi dada dan bisa
menjadi kuat dalam konteks yang tepat. Tapi mereka tidak dapat
mengkompensasi kompresi leher cara [44].
Pernyataan pendapat bisa sangat membantu tanggapan dada
kompresi yang menyebabkan kematian. Agar orang berbicara,
berbicara, atau menyambut, mereka harus bisa menggerakkan udara
melalui laring mereka. Jika mereka bisa menggerakkan udara, mereka
bias nafas. Agar tanggap dengan kompresi dada, seseorang harus
memiliki a Gangguan yang berkepanjangan. Selama waktu ini, orang
akan mengharapkannya tidak mendengar vokalisasi. Jarang, asfiksia
posisional dapat memenangkan dalam kematian ini. Beberapa
individu, biasanya mereka yang tidak sehat, mungkin memiliki
gangguan pernapasan jika untuk Contohnya, mereka ditempatkan di
pijakan pijakan di lantai mobil dengan mereka
perut di atas punuk transmisi [45, 46].
6.5.2 Peran Cedera Mekanis dan Penyebab Kematian

Delirium yang tereksitasi adalah penyebab langsung kematian


yang kompeten dan non-fatal lainnya Tidak perlu. Sebagai Wetli et
al. tercatat dalam hal untuk delirium tereksitasi kokain: '' sering
tergoda untuk mengaitkan penyebabnya Kematian pada salah satu
cedera ringan, seperti cedera kepala ringan. Tidak perlu litigasi
menyetujui merupakan hasil '' [6]. Cidera yang tidak diaktifkan terjadi
dalam proses menundukkan seorang individu tidak harus ditanyakan
secara berlebihan [32]. Harus dilewatkan Kematian dalam konteks
keseluruhan Kematian untuk Menghindari Jebakan Yang Menganggap
Kematian Sebagai perdarahan subarachnoid atau fraktur tengkorak
linier sementara kompilasi dengan kematian karena cedera
kepala. Ada godaan untuk fokus pada yang siap Apa yang bisa
dilihat? Tidak bisa.Efek Fungsional dari Kematian Keracunan Obat.
Dalam studi oleh Stratton et al., Semua 18 orang mati berjuang dengan
penegakan hokum anggota dan memiliki lecet dan memar termasuk
tubuh kepala [9]. Cedera eksternal yang disebabkan oleh perjuangan
mungkin tampak menarik dan sulit untuk diatasi abaikan membatalkan
dengan penyebab kematian. Namun, sebagai ahli patologi forensik,
satu harus membahas tentang pelepasan cedera dengan
kematian. Harus mencari cedera internal yang sesuai cukup untuk
menjelaskan kematian (contoh limpa yang terkoyak dengan
hemoperitoneum). Tanpa hubungan mekanis, kerusakan eksternal ini
biasanya tahan insidental dan Bukan penyebab kematian. Penafsiran
ini bisa sulit bagi keluarga ingat.

6.5.3 Peran Perangkat Gangguan Elektromuskular (EMDD)


dan Penyebab Kematian
Perangkat gangguan elektromuskular (EMDD) dapat digunakan pada
orang dalam keadaan delirium gembira. Menggunakan kekuatan di
Angkat mereka untuk dipekerjakan sebagai pertahanan. Ini dimulai
dengan perintah verbal dan dilanjutkan ke kontak fisik, kimia agen
(semprotan merica), EMDD, dan senjata api. EMDD bertenaga baterai
Perangkat listrik yang digunakan oleh penegak hukum untuk
melumpuhkan sementara orang dengan durasi pendek, tegangan tinggi,
dan arus listrik arus listrik rendah. Itu tidak terbatas pada jalur antara
dua elektroda dan akan menemukan rendah rute resistensi di dalam
tubuh (misalnya, pembuluh darah dan jalur saraf) yang
menghasilkan efek lumpuh pada seluruh tubuh [47]. Dengan EMDD,
muncul pertanyaan, apa peran yang dimainkannya dalam kematian?
Jika itu menyebabkan atau berkontribusi pada kematian, apa
mekanismenya? Melakukannya menyebabkan gangguan listrik
langsung di jantung atau melakukan stres dari itu
hasil aplikasi dalam aritmia jantung?
Risiko EMDD langsung menyebabkan aritmia jantung melalui suatu
Perubahan kelistrikan tampak sangat langka [17, 28, 48]. Dalam satu
penelitian, 32 penetapan orang dewasa menerima aplikasi 5-s EMDD
[28]. EKG dan tes darah dilakukan dilakukan sebelum dan sesudah
aplikasi. Tidak ada pengaruh pada listrik jantung aktivitas setelah
menerima aplikasi. Sebuah studi oleh Levine et al. digunakan terus
menerus Memutar elektrokardiografi sebelum, selama, dan setelah
aplikasi EMDD. Mereka tidak menemukan disritmia jantung atau
perubahan EKG pada subjek manusia yang menerima kejutan EMDD
[ 48].
Orang mati karena delirium yang gembira tanpa diserang
oleh anEMDD Di sebuah Studi tentang kematian 18 orang dengan
tanda - tanda deliriumahlawan (semua disaksikan oleh teknisi medis
darurat), EMDD digunakan dalam 28%. Dalam penelitian lain dari 61
kematian delirium tereksitasi, EMDD digunakan pada 5% dari
kematian [7]. EMDD tidak diperlukan untuk kematian terjadi pada
seseorang dalam delirium tereksitasi. Oleh karena itu, haruskah itu
digunakan untuk penyebab kematian? Bisa jadi orang yang dulu dalam
delirium mati bersemangat dari efek listrik EMDD langsung pada
jantung menyebabkan aritmia jantung yang mematikan? Ini pada
dasarnya menanyakan apakah EMDD mampu menyebabkan kematian
dengan tersengat listrik.
Selama bertahun-tahun, kelas pelatihan dilakukan pada EMDD
oleh pabrikan mereka telah memberikan lebih dari 100.000 aplikasi
EMDD untuk peserta tanpa serangan jantung yang dilaporkan atau
kematian [28]. Meskipun populasi ini mungkin tidak mewakili suatu
individu dalam delirium tereksitasi, itu adalah bukti kuat bahwa EMDD
jarang, jika pernah, menyebabkan kematian dengan mekanisme listrik.
Beberapa mungkin berpendapat bahwa studi ini bukan perbandingan
yang valid karena ini populasi berbeda dengan orang-orang yang
mengalami delirium yang bersemangat. Pasien dalam bersemangat
delirium telah meningkatkan denyut jantung, konsentrasi adrenalin
yang tinggi, dan mungkin lainnya '' aritmogenik '' Bahan kimia
dalam sistem mereka. Apakah faktor-faktor ini lebih rendah aritmia ''
ambang batas '' dalam kelompok ini sehingga hati mereka rentan
terhadap hal ini arus listrik yang, pada orang '' normal '', tidak akan
menyebabkan masalah? Ini mungkin (dan tidak mungkin untuk
dikecualikan) tetapi kekurangan listrik jantung perubahan dalam studi
di atas dan analisis ambang durasi kekuatan untuk eksitasi miosit dan
induksi fibrilasi ventrikel mendukung EMDD jangan menghasilkan
arus di jantung yang cukup tinggi untuk menggairahkan miosit atau
memicu VF [49 ] Astudy pada domba di mana kulit dan jaringan
subkutan berada tercermin, bagaimanapun, dapat memicu VF jika
panah ditanamkan dalam 2,3 cm hati [50, 51].
Laporan terbaru tentang seorang pria dengan alat pacu jantung implan,
yang selamat dari aplikasi EMDD, menggambarkan miokard
ventrikel menangkap pada tingkat tinggi sesuai dengan waktu yang
tepat dari aplikasi barb yang ditentukan oleh interogasi berikutnya dari
alat pacu jantung [52]. Sengatan listrik menyebabkan kematian dengan
dua mekanisme. Yang pertama adalah non-jantung kontraksi otot
(termasuk pernapasan) yang dapat menyebabkan kematian oleh
mekanisme asfiksia jika aplikasi saat ini kontinu dan berkepanjangan
(berdasarkan urutan menit). Mekanisme kedua adalah aliran listrik
melalui organ vital yang rentan terhadap gangguan oleh aliran listrik
(misalnya, otak dan jantung) [53]. Aritmia jantung fatal biasanya
disebabkan oleh arus lebih tinggi (50mA selama 2 detik) daripada yang
dilaporkan terjadi dengan EMDD (1 pabrikan melaporkan rata-rata
2.1mA dan yang lainnya dilaporkan rentang: 3,3-10,9mA) [17, 47,
54]. Selain besarnya saat ini, satu juga harus mempertimbangkan berat
badan, durasi, frekuensi saat ini, dan apakah itu kontinu [54]. Sebuah
studi baru-baru ini melaporkan bahwa EMDD menghasilkan jauh lebih
banyak daya dan arus daripada yang diklaim oleh pabrikan [55].
Analisis studi ini oleh orang lain (termasuk produsen) telah
menunjukkan beberapa kesalahan dan ketidakmampuan untuk
mereproduksi hasil tertentu [56, 57]. Pernyataan saksi dapat membantu
memperjelas lebih lanjut peran, jika ada, bahwa EMDD dimainkan
dalam menyebabkan kematian. Jika kematian (tidak responsif) tidak
terjadi sampai beberapa menit setelah EMDD habis maka patofisiologi
sengatan listrik atau aritmia jantung mendadak telah dikeluarkan [58].
Berkepanjangan aplikasi EMDD berpotensi menyebabkan masalah
dengan respirasi;Namun, jika orang tersebut sadar setelah penghentian
goncangan, ini mekanisme listrik dapat dikecualikan. EMDD
menyebabkan rasa sakit dan peran stres ini juga harus dipertimbangkan.

6.5.4 Peran Stres dan Penyebab Kematian

Stres telah digunakan untuk menjelaskan kematian tertentu. Contoh


klasiknya adalah '' Pembunuhan karena serangan jantung '' [59, 60].
Pembunuhan karena serangan jantung adalah hal yang diterima dengan
baik sertifikasi kematian yang melibatkan yang tidak mengancam jiwa,
cedera fisik atau serangan (tindakan yang mengancam kerusakan
fisik). Dalam hal ini, kematian biasanya disebabkan oleh penyakit
jantung iskemik yang mendasari yang sangat ditekankan oleh serangan
dan / atau baterai. Tekanan dari aktivitas bermusuhan ilegal
berkontribusi pada penyebab kematian dan kematian tersebut
disertifikasi sebagai pembunuhan. Komponen penting dari tekad ini
adalah sifat perselisihan yang ilegal dan mengancam. Menekankan dari
ancaman ini adalah hubungan yang tersirat antara tindakan ilegal,
penyakit jantung, dan aritmia jantung yang dihasilkan. Stres, karena
menahan diri atau berjuang, dapat juga terjadi pada kematian karena
kegembiraan igauan. Orang yang mengalami delirium yang
bersemangat, sudah mengalami menekankan. Mereka berada di tengah-
tengah sindrom akut, efisien secara independen itu dapat menyebabkan
kematian, dengan atau tanpa pengekangan. Seseorang dengan jantung
iskemik yang stabil
penyakit juga membawa risiko kematian mendadak tetapi dengan
pembunuhan karena serangan jantung, hubungan duniawi antara
serangan dan kematian begitu memikatyang menghubungkan keduanya
yang menghasilkan sertifikasi pembunuhan.
Temporal ini hubungan perjuangan juga dapat terjadi pada beberapa
kematian delirium yang bersemangattetapi perjuangan bukanlah faktor
penghasut utama dan tidak diperlukan untuk kematian
terjadi. Tetapi untuk serangan itu, tidak mungkin seseorang dengan
jantung iskemik penyakit akan mati pada saat yang tepat. Namun,
seseorang di sebuah
delirium bersemangat, bahkan tanpa perjuangan, cedera EMDD, atau
pincang kendali, adalah
sudah pada risiko yang meningkat untuk mati pada waktu tertentu [7].
Pudiak dan Bozarth [61] meneliti efek fatal kokain dan stres pada
tikus laboratorium. Tikus diinjeksi dengan kokain atau saline dan
kemudian keduanya
dikembalikan ke kandang mereka atau mengalami tekanan
pengekangan selama 30 menit. Pengekangan
Stres terdiri dari memasukkan tikus ke dalam silinder plastik yang
membatasi tikus tetapi
tidak melarang semua gerakan atau mengganggu pernapasan (disebut
pengurungan menekankan). Kematian dicatat pada akhir 30 menit dan
tes itu diulang selama 5 hari berturut-turut. Pada akhir seri injeksi 5
hari, 58% dari kelompok kokain-plus-pengekang meninggal (25%
meninggal setelah paparan pertama) dan 17% kokain tanpa kendali
mati. Tak satu pun dari hewan yang menerima injeksi salin-plus-
kurungan mati. Secara signifikan (hlm < 0,025) lebih banyak
kematian terjadi pada kelompok kokain-plus-pengekangan
[61]. Namun, beberapa tikus mati bahkan tanpa tekanan
kurungan. Tidak diketahui apakah ada tikus berada dalam delirium
bersemangat, atau apa tingkat kematian akan dengan dan tanpa
menahan diri pada tikus-tikus itu. Kokain dan stres, dari sebab apa pun,
bukan campuran yang bagus. Studi veteriner juga telah melaporkan
fenomena yang tidak terdugakematian mengikuti pengejaran dan
penangkapan hewan buruan besar karena '' penangkapan myopathy ''
(atau '' myopathy exertional '') [7, 62].
Studi klinis telah menunjukkan efek dari stres ('' miokard menakjubkan
'') di hati [63, 64]. Katekolamin plasma meningkat telah dilaporkan dan
stimulasi simpatis yang berlebihan adalah mekanisme yang diusulkan
[63]. Orang yang menahan keinginannya mungkin mengalami
stres. Untuk Sebagai contoh, pasien dengan demensia menjadi gelisah
dan perlu terkendali. Bagaimana jika, selama perjuangan untuk
menahan pasien, pasien mati dan penyakit koroner yang ditandai
ditemukan di otopsi? Ada pengekangan dan perjuangan,namun apakah
ini akan disertifikasi sebagai pembunuhan? Perawatannya sesuai dan
hukum Ini mirip dengan pasien delirium yang bersemangat yang
berjuang dengan polisi atau
tenaga medis dan ditahan. Apakah perjuangan itu menghasilkan
stres? Mungkin,tetapi pemicu utama stres bukanlah pengekangan dan
perjuangan. Jika adaindependen, memprakarsai penyebab stres,
penyebab mendasar ini harus menentukan cara kematian dan tidak ada
potensi stres tambahan dari pengekangan.Selalu, orang dalam delirium
yang bersemangat sudah mengalamitingkat stres yang tinggi bahkan
sebelum kontak dengan penegak hukum atau medispersonil. Apakah
perjuangan dan pengekangan selanjutnya
berkontribusi kematianmelalui penambahan lebih banyak stres? Stres
tambahan tentu saja idak membantu, tetapi apakah itu perlu
dipanggil? Orang yang mengalami delirium yang bersemangat bisa
mati (atau bertahan) dengan atau tanpa kendali polisi [11]. Karena
delirium yang bersemangat adalah memulai dan sumber utama stres,
pengekangan hukum berikutnya tidak dipertimbangkan dalam
sertifikasi kematian.

6.5.5 Sertifikasi Kematian

Kematian ini harus diperiksa berdasarkan kasus per


kasus. Beberapa menyatakan bahwa, karena perjuangan keras telah
terjadi antara dua atau lebih individu, klasifikasi terbaik dari cara
kematian mungkin adalah pembunuhan [45]. Yang lain punya
menyatakannya sebagai kecelakaan (dengan atau tanpa pengekangan
fisik) [7, 21].
Beberapa telah mencatat variabilitas yang cukup besar, bahkan
pada pemeriksa medis yang sama kantor, dalam penentuan cara
kematian (kecelakaan vs pembunuhan vs tidak ditentukan) dan kata-
kata penyebab kematian [17, 21]. Sebelum sertifikasi caranya,
seseorang harus terlebih dahulu menentukan penyebab kematian karena
akan, sebagian, mendikte cara tersebut. Potensi penyebab kematian
harus dievaluasi dalam konteks keadaan kematian. Karena kematian ini
sangat potensial pembunuhan, seseorang harus memiliki tingkat
kepastian yang lebih tinggi (tingkat yang wajar kepastian medis)
daripada kematian alami. Untuk tingkat medis yang wajar
kepastian, apakah kontak fisik menyebabkan atau berkontribusi secara
patologis terhadap kematian? Pengekangan fisik, perjuangan keras, atau
penggunaan EMDD atau semprotan merica, di Indonesia dan tentang
diri mereka sendiri, seharusnya tidak secara otomatis membuat cara
kematian pembunuhan.Sindrom delirium tereksitasi berpotensi
mematikan dengan sendirinya, seperti halnya ruptur aneurisma arteri
serebral dan emboli paru [65]. Meskipun gembira delirium adalah
diagnosis klinis, setelah dibuat, ia memiliki potensi yang mirip dengan
emboli paru dan harus diperlakukan seperti itu. Karena Namun, karena
kurangnya temuan otopsi yang meyakinkan, biasanya tidak diberikan
berdiri sama. Pernyataan deskriptif atau situasional yang mencakup
identifikasi faktor dalam kematian telah diusulkan untuk menyatakan
kematian ini [42].
Bahkan, dibeberapa kematian, pemeriksa medis / koroner mungkin
tidak dapat membedakan asosiasi dari kausalitas atau memisahkan atau
menetapkan persentase kausalitas. Dalam kematian di mana tidak ada
faktor tunggal yang cukup meyakinkan untuk berdiri sendiri sebagai
penyebab kematian tak terbantahkan, adalah masuk akal untuk ''
menutupi tepi laut '' [42]. diagnosis delirium tereksplorasi dengan baik,
namun cukup meyakinkan berdiri sendiri. Penambahan sertifikat
kematian dari faktor lain dalam kematian seperti itu
berpotensi mengaburkan penyebab langsung kematian dan pergantian
asosiasi menjadi penyebab yang tidak didukung [66]. Umumnya,
kematian ada di tangan orang lain, atau karena permusuhan atau ilegal
tindakan (atau tidak bertindak) orang lain, disertifikasi sebagai
pembunuhan. Pengecualian ada, namun, termasuk sebagian besar
tabrakan kendaraan bermotor dan olahraga kontak acara Orang harus
menyadari bahwa pembunuhan dan pembunuhan tidak dapat
dipertukarkan dan bahwa mensertifikasi kematian sebagai pembunuhan
tidak selalu melibatkan criminal aktivitas. Perampok bank bersenjata
yang fatal ditembak oleh polisi (apakah dibenarkan atau tidak) juga
disertifikasi sebagai pembunuhan (seperti halnya eksekusi yudisial).
Jika pengekangan fisik sejauh itu menyebabkan cedera mematikan
(misalnya, asfiksia dari kompresi dada ), maka cara kematiannya adalah
pembunuhan [34]. Jika ada pengekangan / perjuangan, tanpa kompromi
fisiologis yang mematikan, caranya harus ditentukan oleh patologi yang
mendasari kegembiraan igauan. Setiap pergumulan / pengekangan, per
se, seharusnya tidak secara otomatis menghasilkan sertifikasi
pembunuhan. Konfrontasi fisik ('' perjuangan '') menyebabkan beberapa
orang menyimpulkan ini kematian disertifikasi sebagai
pembunuhan. Tetapi apakah kematian ini disebabkan oleh tangan
lain atau apakah mereka kematian yang disebabkan oleh sindrom
delirium tereksitasi dengan kontak insidental? Kontak fisik dengan
orang lain tidak diperlukan untuk orang meninggal karena delirium
bersemangat. Kontak fisik paling banyak dilaporkan contoh delirium
bersemangat fatal aku s konsekuensi dari delirium bersemangat. Ini
adalah contoh dari post hoc, ergo propter hoc ('' setelah ini, oleh karena
itu ini '') kesalahan di mana kedekatan temporal dari suatu tindakan
dikacaukan hubungan sebab dan akibat. Apa yang kebanyakan studi
tentang kekurangan delirium tereksitasi, adalah deskripsi dari semua
kematian karena untuk delirium bersemangat, bukan hanya mereka
yang terjadi selama atau mengikuti tindakan polisi. Sayangnya,
kematian tahanan polisi biasanya satu-satunya yang dilaporkan sebagai
kematian delirium bersemangat. Ahli patologi forensik dan pemeriksa
medis melihat tidak hanya kematian profil tinggi di mana penegakan
hukum terlibat tetapi yang lain tidak mendapat perhatian publik. Ini
termasuk delirium bersemangat kematian di mana orang tersebut
meninggal sendirian di sebuah apartemen atau dalam keadaan darurat
departemen selama pengekangan yang diterapkan secara medis.
Kamera pengintai miliki mencatat beberapa peristiwa ini yang
mengkonfirmasi tidak ad anya leher atau dada kompresi. Sebagai
contoh, seorang pria setengah telanjang ditemukan di apartemennya
yang aman botol kokain kosong, beberapa memar akut, dan sebuah
apartemen berantakan dengan cermin hancur. Pada otopsi tidak ada
cedera atau penyakit yang menjelaskan kematiannya. Kokain kemudian
terdeteksi dalam darah dan kematian disertifikasi sebagai keracunan
kokain akut. Apakah ini contoh yang dilewatkan dari kegembiraan yang
disebabkan oleh kokain igauan? Mungkin saja, tetapi pemeriksa medis /
koroner tidak perlu mengejar mekanisme ini karena kalaupun ada,
penyebab langsung masih kokain kemabukan. Begitu itu menjadi
kematian intoksikasi kokain akut dan tidak ditangkap ketika seseorang
secara retrospektif meninjau semua kematian delirium yang
bersemangat yang diselidiki oleh kantor itu. Dalam sebuah studi
kematian terkait kokain, Ruttenber et al. menemukan bahwa 45,6%
kematian disertifikasi sebagai kokain akut
toksisitas adalah ditemukan tewas di tempat kejadian [8].Penyakit
alami yang mendasari dapat menyebabkan delirium. Pasien dengan
tanda hipoksia, ketoasidosis diabetikum,
atau perdarahan intraserebral mungkin memiliki mental perubahan
status ( keadaan kebingungan akut ) dan beberapa mungkin menjadi
gelisah [1, 67, 68]. Dalam upaya untuk mencegah pasien seperti
melukai diri mereka sendiri, mereka mungkin ditahan [69]. Tergantung
pada penyebab yang mendasari delirium, mereka mungkin
mati. Bagaimana jika, pada otopsi, emboli paru (ruptur aneurisma arteri
serebral atau ketoasidosis diabetik) ditemukan?
Kebanyakan ahli patologi akan mengalami sedikit kesulitan dalam
menentukan penyebab kematian karena patologi yang mendasarinya
tanpa perlu memohon menahan diri atau berjuang. Salah satu alasan
tingkat kenyamanan ini adalah adanya Temuan anatomi yang menarik
di mana mekanisme mematikan secara structural dibuktikan sebagai
lawan dari penyebab fungsional murni. Menariknya, dalam ulasan
dari 20 pasien yang disaksikan EMS dan ditahan dalam keadaan ''
delirium tereksitasi '' yang kemudian meninggal mendadak, satu
kematian dikeluarkan dari penelitian karena paru emboli telah
didiagnosis pada otopsi [9].
Satu tersangka penyebabnya kematian dalam hal ini tidak disertifikasi
sebagai tromboemboli paru karenauntuk flebothrombosis kronis selama
pengekangan polisi.Penyebab intervensi yang efisien harus selalu
dipertimbangkan. Seseorang dalam sebuahdelirium yang bersemangat
mungkin masih mati karena cengkeraman. Investigasi terhadap
keadaan, termasuk pernyataan saksi, dapat membantu memasukkan
atau mengecualikan kemungkinan ini. Jika ada cedera leher atau saksi
yang buruk menguatkan peristiwa, kemudian pembunuhan atau
sertifikasi yang tidak ditentukan kematian harus dipertimbangkan.
Penggunaan EMDD dan semprotan merica dapat mempersulit
penentuan cara (Pembunuhan vs non-pembunuhan) dari kematian
ini. Semprotan merica menyebabkan ketidaknyamanan
dan iritasi tetapi jarang menyebabkan kematian. Namun telah
dijelaskan, menyebabkan bronkospasme yang dibuktikan dengan florid
bronchiolitis dan yang cepatonset dispnea setelah paparan semprotan
[14]. Ini akan menjadi efisien penyebab campur tangan dan karenanya
penyebab dan cara pernyataan kematian harus mencerminkan ini
(pembunuhan ) .Lebih banyak penelitian laboratorium baru-baru ini
tentang efek paru dari oleresin capsicum, bagaimanapun, belum
menunjukkan spirometri yang abnormal, hipoksemia, atau
hipoventilasi [70]. Demikian pula, EMDD jarang, jika pernah,
menyebabkan mati karena tersengat listrik. Tetapi mereka pasti
menyebabkan rasa sakit dan stres. Dalam almarhum dengan penyakit
jantung lanjut, masuk akal untuk menggunakan stresor eksternal ini
penyebab kematian jika keadaan dan urutan waktu kejadian
mendukungnya. Setelah ini stresor eksternal termasuk dalam penyebab
kematian, itu cara kematian paling baik disertifikasi sebagai
pembunuhan.Tidak ada penyakit lanjutan yang mendasari atau
penyebab intervensi efisien, ini stresor eksternal biasanya tidak perlu
dipanggil karena orang itu sudah di tengah-tengah sindrom akut,
mandiri-efisien-mematikan yang mungkin menyebabkan kematian
dengan atau tanpa stres tambahan. Namun, jika EMDD atau semprotan
merica menyebabkan kematian dengan mekanisme independennya
sendiri, maka itu adalah penyebab campur tangan yang efisien, dan cara
kematian disertifikasi sebagai pembunuhan.

6.5.6 Keluarga, Pers, dan Jaksa Penuntut


Dibutuhkan diskusi dengan anggota keluarga dalam dugaan kematian
delirium yang bersemangat termasuk penjelasan prosedur dan masalah
yang terlibat dengan kematian ini. Sebuah kematian karena delirium
tereksitasi biasanya tidak disertifikasi pada hari otopsi. saya akan
membutuhkan waktu untuk penyelidikan untuk melanjutkan, pengujian
toksikologi, dan lainnya studi tambahan. Harus dijelaskan kepada
keluarga bahwa mungkin perlu waktu berminggu-minggu sebelum
penentuan akhir dibuat. Beberapa keluarga mungkin ingin
mempertahankan ahli patologi forensik untuk melihat otopsi atau
melakukan otopsi kedua. Permintaan oleh keluarga untuk otopsi kedua
biasanya bernilai kecil jika benar otopsi forensik yang dilakukan telah
dilakukan; Namun, itu tidak sampai ke medis pemeriksa / pemeriksa
mayat untuk mengizinkan atau melarangnya. Setelah keluarga
mengklaim tubuh, mereka mungkin melakukan otopsi lain atas biaya
mereka. Beberapa kantor mungkin bahkan memungkinkan otopsi kedua
dilakukan di fasilitas mereka. Tentu saja, jika benar dilakukan di
fasilitas Anda, Anda dapat menontonnya. Ini menghindari beberapa
masalah yang mungkin terjadi ketika otopsi kedua dilakukan setelah
tubuhdibalsem. Membalsem membuat luka memar tampak lebih buruk
(lebih besar, lebih gelap) daripada yang terjadi sebelum dibalsem. Ini
karena efek cairan pembalseman pada darah dancara pembalseman
dilakukan. Biasanya, cairan pembalseman diinjeksikan sistem arteri
yang mendorong sisa darah intravaskular melalui dan
keluar dari tubuh. Jika ada pembuluh darah yang rusak (misalnya,
memar), darah akan didorong keluar dari cacat ini. Ini akan
menghasilkan memar yang lebih besar. Jika luka memar dari tubuh
yang dibalsem dibandingkan dengan memar yang dijelaskan dalam
tubuh pra-balsem, akan ada perbedaan yang jelas. Perbedaan ini adalah
artefak dari pembalseman tetapi mungkin tampak oleh orang awam
bahwa forensic ahli patologi mengecilkan cedera atau mencoba untuk
menutupi mereka. Nilai foto seluruh tubuh (bahkan jika tidak ada atau
temuan eksternal minimal) tidak bisa dilebih-lebihkan. Foto-foto yang
menunjukkan temuan 'negatif' (misalnya, the tidak adanya cedera)
kadang-kadang bisa sama pentingnya dengan foto-foto yang
menunjukkan cedera. Setelah penyelidikan selesai termasuk
laboratorium yang sesuai studi, komunikasi yang jelas tentang
penyebab dan cara kematian kepada keluarga dan lembaga penegak
hukum yang tepat dilakukan
Referensi
1. Brown TM, Boyle MF (2002) Delirium. BMJ 325: 644-647
2. Wetli C (2005) Delirium gembira. Dalam: Payne-James J, Byard
RW, Corey TS, Henderson C
(eds) Ensiklopedia kedokteran forensik dan hukum. Elsevier Academic
Press, Amsterdam,
hlm 276–281
3. DiMaio TG, DiMaio JM (2006) Excited delirium
syndrome, edisi pertama . CRC, Boca Raton,
FL
4. Raval MP, Welti CV (1995) Sudden death from cocaine
induced excited delirium: 45 cases
(abstract). Am J Clin Pathol 104:329
5. Wetli CV, Fishbain DA (1985) Cocaine-induced psychosis and
sudden death in
recreational cocaine users. J Forensic Sci 30:873–880
6. Wetli CV, Mash D, Karch SB (1996) Cocaine-associated
agitated delirium and the
neuroleptic malignant syndrome. Apakah J Emerg Med 14:425–428
7. Ross D (1998) Factors associated with excited delirium deaths in
police custody. Mod
Pathol 11:1127–1137
108 JR Gill
8. Ruttenber AJ, McAnally HB, Wetli CV (1999) Cocaine-
associated rhabdomyolysis and
excited delirium: different stages of the same syndrome. Am J Forensik
Med Pathol
20:120–127
9. Stratton SJ, Rogers C, Brickett K, Gruzinski G (2001) Factors
associated with sudden
death of individuals requiring restraint for excited delirium. Apakah
J Emerg Med
19:187–191
10. Hayes J (1991) Sudden death during excited
delirium, etiology tidak diketahui. ASCP Check
Sample 91-5 (FP-178), pp 1–7
11. Ruttenber AJ, Lawler- Heavner J, Yin M et al. (1997) Fatal
excited delirium following
cocaine use: epidemiologic findings provide new evidence for
mechanisms of cocaine
toksisitas. J Forensic Sci 42:25–31
12. Karch S (2002) The pathology of drug abuse, 3rd edn . CRC
Press, Boca Raton, FL
13. Fishbain DA, Wetli CV (1981) Cocaine intoxication, delirium,
and death in a body
packer. Ann Emerg Med 10:531–532
14. Steffee CH, Lantz PE, Flannagan LM, Thompson RL, Jason DR
(1995) Oleoresin
capsicum (pepper) spray and ''in-custody deaths''. Am J Forensik
Med Pathol
16:185–192
15. Reay DT, Eisele JW (1982) Death from law enforcement neck
holds. Am J Forensik Med
Pathol 3:253–258
16. Lifschultz BD, Donoghue ER (1991) Deaths in custody. Leg
Med 45–71
17. Kornblum RN, Reddy SK (1991) Effects of the Taser in fatalities
involving police
confrontation. J Forensic Sci 36:434–438
18. Luke J, Reay D (1992) The perils of investigating and certifying
deaths in police custody.
Am J Forensik Med Pathol 13:98–100
19. Allam S, Noble JS (2001) Cocaine-excited delirium and severe
acidosis. Anaesthesia
56:385–386
20. Pollanen MS, Chiasson DA, Cairns JT, Young JG (1998)
Unexpected death related to
restraint for excited delirium: a retrospective study of deaths in police
custody and in the
masyarakat. CMAJ 158:1603–1607
21. O'Halloran RL, Lewman LV (1993) Restraint asphyxiation in
excited delirium. SAYA
J Forensic Med Pathol 14:289–295
22. Karch SB, Wetli CV (1995) Agitated delirium versus
positional asphyxia. Ann Emerg
Med 26:760–761
23. Laposata EA (1993) Positional asphyxia during law enforcement
transport. SAYA
J Forensic Med Pathol 14:86–87
24. Farnham FR, Kennedy HG (1997) Acute excited states and sudden
death. BMJ
315:1107–1108
25. Pounder D (1998) Acute excited states and sudden death. Death
after restraint can be
avoided. BMJ 316:1171
26. Stratton SJ, Rogers C, Green K (1995) Sudden death in individuals
in hobble restraints
during paramedic transport. Ann Emerg Med 25:710–712
27. Jauchem J, Sherry C, Fines D, Cook M (2006) Acidosis, lactate,
electrolytes, muscle
enzymes, and other factors in the blood of Sus scrofa following
repeated Taser exposures.
Forensic Sci Int 161:20–30
28. Ho JD, Miner JR, Lakireddy DR, Bultman LL, Heegaard WG
(2006) Cardiovascular
and physiologic effects of conducted electrical weapon discharge in
resting adults. Acad
Emerg Med 13:589–595
29. Rosh A, Sampson BA, Hirsch CS (2003) Schizophrenia as a cause
of death. J Forensic Sci
48:164–167
30. Marzuk P, Tardiff K, Leon A et al. (1998) Ambient
temperature and mortality from
unintentional cocaine overdose. JAMA 279:1795–1800
31. Park KS, Korn CS, Henderson SO (2001) Agitated delirium and
sudden death: two case
laporan. Prehosp Emerg Care 5:214–216
6 The Medicolegal Evaluation of Excited Delirium 109
32. Mirchandani HG, Rorke LB, Sekula -Perlman A, Hood IC
(1994) Cocaine-induced
agitated delirium, forceful struggle, and minor head injury. A further
definition of sudden
death during restraint. Am J Forensik Med Pathol 15:95–99
33. Karch SB, Stephens BG (1998) Acute excited states and sudden
death. Acute excited
states are not caused by high blood concentrations of cocaine. BMJ
316:1171
34. Hirsch CS (1994) Restraint asphyxiation [letter]. Am J Forensik
Med Pathol 15:266
35. O'Halloran RL, Frank JG (2000) Asphyxial death during prone
restraint revisited:
a report of 21 cases. Am J Forensik Med Pathol 21:39–52
36. Reay DT, Howard JD, Fligner CL, Ward RJ (1988) Effects of
positional restraint
on oxygen saturation and heart rate following exercise. Am J Forensik
Med Pathol
9:16–18
37. Reay D, Fligner C, Stilwell A, Arnold J (1992) Positional
asphyxia during law enforcement
mengangkut. Am J Forensik Med Pathol 13:90–97
38. Chan TC, Vilke GM, Neuman T, Clausen JL (1997) Restraint
position and positional
asphyxia. Ann Emerg Med 30:578–586
39. Chan TC, Neuman T, Clausen J, Eisele J, Vilke GM (2004)
Weight force during prone
restraint and respiratory function. Am J Forensik
Med Pathol 25:185–189
40. Schmidt P, Snowden T (1999) The effects of positional restraint on
heart rate and oxygen
saturation. J Emerg Med 17:777–782
41. Roeggla M, Wagner A, Muellner M et al. (1997)
Cardiorespiratory consequences to
hobble restraint. Wein Klin Wochenschr 109:359–361
42. Reay DT, Howard JD (1999) Restraint position and positional
asphyxia. Am J Forensic
Med Pathol 20:300–301
43. Chan TC, Vilke GM, Neuman T (1998) Reexamination of
custody restraint position and
positional asphyxia. Am J Forensik Med Pathol 19:201–205
44. Ely SF, Hirsch CS (2000) Asphyxial deaths and patekie: a
review. J Forensic Sci
45:1274–1277
45. DiMaio V, DiMaio D (2001) Forensic pathology,
2nd edn . CRC Press, Boca Raton, FL
46. Adelson L (1974) Pathology of homicide. Charles C Thomas,
Springfield
47. Robinson MN, Brooks CG, Renshaw GD (1990) Electric shock
devices and mereka
effects on the human body. Med Sci Law 30:285–300
48. Levine S, Sloane C, Chan T, Vilke G (2006) Cardiac monitoring
of human subjects
exposed to the Taser (abstract). Acad Emerg Med 13:S 47
49. Stratbucker R, Kroll M, McDaniel W, Panescu D (2006)
Cardiac current density
distribution by electrical pulses from Taser devices. Conf Proc
IEEE Eng MED Biol
Soc 1:6305–6307
50. Wu JY, Sun H, O'RourkeAPet Al. (2007) Taser dart-to-heart
distance that causes ventricular
fibrillation in pigs. IEEE Trans Biomed Eng 54:503–508
51. Nanthakumar K, Masse S, Umapathy K et al. (2008) Cardiac
stimulation with high
voltage discharge from stun guns. CMAJ 178(II):1451–1457
52. Cao M, Shinbane JS, Gillberg JM, Saxon LA (2007) Taser-
induced rapid ventricular
myocardial capture demonstrated by pacemaker intracardiac
electrograms. J Cardiovasc
Electrophysiol 18:876–879
53. Spitz W (2006) Spitz and Fisher's medicolegal investigation of
death, 4th edn . Charles C
Thomas, Springfield
54. O'Brien DJ (1991) Electronic weaponry – a question of
safety. Ann Emerg Med
20:583–587
55. Ruggieri J (2005) Forensic engineering analysis of electro-shock
weapon safety. J Nat
Acad Forensik Eng 23:19–48
56. Anglen R (2006) Study raises concerns over Taser's safety, The
Arizona Republic,
Phoenix, AZ
57. Yamaguchi G (2006) Letter on preliminary testing results on Taser
M18, 2/3/06
110 JR Gill
58. Ordog GJ, Wasserberger J, Schlater T, Balasubramanium
S (1987) Electronic gun (Taser)
cedera. Ann Emerg Med 16:73–78
59. Davis JH (1978) Can sudden cardiac death be murder? J Forensic
Sci 23:384–387
60. Turner SA, Barnard JJ, Spotswood SD, Prahlow JA (2004)
''Homicide by heart attack''
revisited. J Forensic Sci 49:598–600
61. Pudiak CM, Bozarth MA (1994) Cocaine fatalities increased by
restraint stress. Life Sci
55:PL379–382
62. Kock MD, Jessup DA, Clark RK, Franti CE, Weaver RA (1987)
Capture methods in five
subspecies of free-ranging bighorn sheep: an evaluation of drop-net,
drive-net, chemical
immobilization and the net-gun. J Wildl Dis 23:634–640
63. Wittstein IS, Thiemann DR, Lima JA et al. (2005) Neurohumoral
features of myocardial
stunning due to sudden emotional stress. N Engl J Med 352:539–548
64. Cebelin M, Hirsch C (1980) Human stress cardiomyopathy:
myocardial lesions in victims
of homicidal assaults without internal injuries. Hum Pathol 11:123–
132
65. Carson JL, Kelley MA, Duff A et al. (1992) Clinical course of
pulmonary embolism.
N Engl J Med 326:1240–1245
66. Amnesty International (2004) United States of America: excessive
and lethal force?
Amnesty International's concerns about deaths and ill-treatment
involving police use
of Tasers. 1-94 (report)
67. Kasper D, Braunwald E, Fauci A et al. (2004) Harrison's
principles of internal medicine,
16th edn . McGraw-Hill Professional, New York
68. Meagher DJ (2001) Delirium: optimising management. BMJ
322:144–149
69. Zun LS (2003) A prospective study of the complication rate of
use of patient restraint in
the emergency department. J Emerg Med 24:119–124
70. Chan TC, Vilke GM, Clausen J et al. (2002) The effect of
oleoresin capsicum ''pepper''
spray inhalation on respiratory function. J Forensic Sci 47:299–304

Anda mungkin juga menyukai