PENGANTAR UMUM
1) Manusia (natuurlijk persoon). Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi
subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah
dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan
sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan
pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang
menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai
subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan
hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain, seperti anak yang masih
dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah, dan orang yang berada
dalam pengampunan seperti orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
2) Badan Hukum (rechts persoon). Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari
kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan
kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak
manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para
anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa
hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman
penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
HAK itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya,
sedangkan KEWAJIBAN merupakan pembatasan dan beban (Sudikno Mertokusumo, 1986:
39)Hak- Hak harta benda (vermogenrechten) hak-hak yang mempunyai nilai uang.Hak-hak
kebendaan (zakelijkerechten): hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas
suatu benda.Hak-hak atas barang yang tidak berwujud (rechten op immateriale goederen): hak-
hak mengenai hasil pemikiran manusia, seperti hak cipta dan hak octroi.Hak Relatif : Hak yang
berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya dimiki terhadap orang-orang tertentu ( antara
kreditor dan debitor)
Hak absolut yang bukan bersifat kebendaan : seperti hak cipta, hak octroi, hak merek
Mutlak : yang tidak mempunyai pasangan hak, seperti kewajiban yang dituju kepada diri sendiri
yang diminta oleh masyarakat pada umumnya.
Nisbi adalah yang melibatkan hak di lain pihak. Kewajiban publik dan perdata. Publik adalah
berkorelasi dengan hak-hak publik seperti kewajiban mematuhi hukum pidana.. Perdata adalah
korelatiif dari dari hak-hak perdata seperti kewajiban dalam perjanjian
d. Badan hukum
Badan hukum dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai organisasi atau perkumpulan
yang didirikan dengan akta yang otentik dan dalam hukum diperlakukan sebagai orang yang
memiliki hak dan kewajiban atau disebut juga dengan subyek hukum. Subyek hukum dalam ilmu
hukum ada dua yakni, orang dan badan hukum. Disebut sebagai subyek hukum oleh karena
orang dan badan hukum menyandang hak dan kewajiban hukum.
Dalam Pasal 1653 BW, Macam Macam Badan hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1) Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah (kekuasaan umum), contohnya pemerintah
daerah (pemerintah provinsi, kabupaten atau kota), bank-bank yang didirikan oleh negara
dan lain sebagainya.
2) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (kekuasaan umum), contohnya perkumpulan-
perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan lain sebagainya.
3) Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud yang tertentu, tidak bertentangan dengan
UU, kesusilaan, contohnya : perseroan terbatas, perkapalan, perkumpulan asuransi dan lain
sebagainya.
Menurut Teori dari Von Savigny badan hukum semata – mata buatan negara saja. Badan
hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidup-
kannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti
manusia. Teori ini juga diikuti oleh Houwing Teori ini juga disampaikan oleh sarjana Jerman
Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) dalam bukunya yang berjudul System des Hentingen
Romischen Recht. Teori ini menjelaskan bahwasanya badan hukum adalah fiksi hukum, dalam
teori ini diungkapkan “They have existence but no real personality save that given by law,which
regards them as ‘person’ “(Mereka diakui keberadaanya, tetapi bukan suatu pribadi nyata yang
dinyatakan oleh hukum,yang dianggap sebagai orang.). Maksudnya hanya manusialah yang
menjadi subjek hukum, sedangkan badan hukum sebagai subjek hukum hanyalah fiksi, yaitu
sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya. Badan
Hukum tersebut diciptakan Negara/pemerintah yang wujudnya tidak nyata, untuk menerangkan
suatu hal. Dengan kata lain, sebenarnya menurut Alam, manusia selalu subjek hukum, tetapi
orang menciptakan dalam bayangannya, badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan
sama dengan manusia. Jadi, orang-orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum lain, tetapi
wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan perbuatan, sehingga yang melakukan
ialah manusia sebagai wakil-wakilnya.
Teori Organ
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang
tidak bersubjek, tetapi badan hukum adalah sesuatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh
– sungguh dalam pergaulan hukum yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan
alat – alat yang ada padanya (pengurus, anggota -anggotanya) seperti manusia biasa, yang
mempunyai panca indera dan sebagainya. Pengikut teori organ ini antara lain Mr. L.C. Polano.
Teori ini juga dikemukakan oleh sarjana jerman, Otto von Gierke (1841-1921) dalam bukunya
yang berjudul Das Deutsche Cenossenchtsrecht. Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu
terbentuk, menjelma dalam pergaulan hukum (eine leiblichgeistige Lebensein Heit), dan bisa
memenuhi kehendaknya dari kepengurusan-kepengurusan (Verbandpersoblich Keit), perantara
alat-alat atau organ-organ tersebut misalnya anggotanya atau pengurusnya mengucapkan
kehendak dengan perantara mulutnya atau dengan tangannya jika kehendak tersebut ditulis diatas
kertas, seperti halnya organ tubuh manusia, Sehingga menurut teori ini, Badan Hukum itu nyata
adanya, Contoh : Kepengurusan ketua badan hukum seperti halnya kepala pada manusia
Teori pemisah kekayaan, teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu dari aspek harta
kekayaan yang dipisahkan tersendiri.
Teori harta karena jabatan, teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu ialah badan hukum
yang mempunyai harga dan berdiri sendiri, yang dimiliki oleh badan hukum itu sendiri, akan
tetapi badan hukum ini mempunyai pengurus dan jabatan untuk mengurusi harta tersebut.
Bila organ Badan Hukum melakukan perbuatan yang ternyata melanggar batas
kewenangannya, maka yang bertanggung jawab bukanlah Badan Hukumnya, tapi pribadi
organ Badan Hukum tersebut. Kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan Badan
Hukum atau organ yang lebih tinggi menyetujuinya (Lihat Pasal 1656 KUHperdata).
Pasal 45 KUHD juga mengatur batas-batas kewenangan dari organ Badan Hukum dalam
melakukan perbuatan untuk Badan Hukum serta sanksi atas pelanggaran terhadap atas
wewenang tersebut.
KULIAH MINGGU KE – 3
HUKUM TENTANG ORANG
SUB POKOK BAHASAN
1) Ketidak cakapan
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah:
Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak-anak yang belum berumur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo Pasal 47 UU
No.1 Tahun 1947).
Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi
dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal
433 BW).
Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo UU
kepailitan).
Orang-orang yang belum dewasa dan orang orang yang ditaruh dibawah pengampuan
(curatele) dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya,
walinya atau pengampunya (curator). Sedangkan penyelesaian hutang piutang orang-
orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan ( weeskamer ).
2) Nama
Nama merupakan identifikasi seseorang sebagai subjek hukum. Bahkan dari nama itu
sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang bersangkutan. Hal mana sangat
penting dalam urusan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan. Bagi
golongan Eropa tentang nama ini diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (Pasal 5a s.d.
12) yang menentukan tentang nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-
nama depan. Akan tetapi, dengan adanya Undang-Undang No. 4 Tahun 1961 yang
mengatur tentang penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah
diatur dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi.
3) Domisili/Tempat tinggal
Pengertian
Domisili atau tempat tinggal (menurut pasal 17 KUHPerdata) adalah tempat
seseorang dianggap selalu hadir melakukan hak-haknya dan memenuhi
kewajibannya, meskipun ia bertempat tinggal di tempat lain.
Macam-macam Domisili
- Tempat tinggal yang sesungguhnya
- Tempat tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak bergantung
pada hubungannya dengan orang lain.
- Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang terikat
hubungannya dengan pihak lain.
Tempat tinggal yang dipilih
Ketentuan mengenai tempat tinggal dimuat dalam BW Buku I Pasal 17 s.d. 25,
juga berlaku dalam memperlakukan undang-undang tata usaha maupun undang-
undang lainnya, sepanjang undang-undang itu tidak menentukan lain.
5) Catatan Sipil
Catatan Sipil (Burgelijke Stand) artinya catatan mengenai peristiwa perdata yang dialami
oleh seseorang atau untuk memastikan status perdata seseorang. Ada lima peristiwa
hukum dalam kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu :
Kelahiran, menentukan status hukum seseorang sebagai subyek hukum
pendukung hak dan kewajiban.
Perkawinan, menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau isteri dalam
ikatan perkawinan menurut hukum.
Perceraian, menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda yang
bebas dari ikatan suatu perkawinan.
Kematian, menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, sebagai janda
atau duda dari almarhum/almarhumah.
Penggantian nama, menentukan status hukum seseorang dengan identitas tertentu
dalam hukum perdata.
Fungsi Catatan Sipil ialah untuk memperoleh kepastian hukum tentang status perdata seseorang
yang mengalami peristiwa hukum. Kepastian hukum sangat penting dalam setiap perbuatan
hukum, apakah ada hak dan kewajiban hukum yang sah antara pihak-pihak yang berhubungan
hukum tersebut.
Kepastian hukum mengenai Kelahiran, menentukan status perdata seseorang apakah
sudah dewasa atau belum dewasa.
Kepastian hukum mengenai Perceraian menentukan status perdata seseorang untuk bebas
mencari pasangan hidup.
Kepastian hukum mengenai Kematian, menentukan status perdata seseorang sebagai ahli
waris maupun keterbukaan ahli waris.
KULIAH MINGGU KE – 4
HUKUM PERKAWINAN
SUB POKOK BAHASAN
1) Arti dan syarat-syarat perkawinan
Perkawinan, adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama. Perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Burgerlijk
Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya pekawinan, ialah :
Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang,
yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun;.
Harus ada persetujuan antara kedua pihak;
Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu
sesudahnya putusan perkawinan pertama;
Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak;
Untuk pihak yang masih dibawah umur, harus ada izin dari orang tua walinya.
Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu :
Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil
(Ambitenaar Burgerlijk Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan
pernikahan;
Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut tentang aka dilangsungkan pernikahan
itu.
2) Pelangsungan Perkawinan
Sebelum dilangsungkan perkawinan maka pegawai Catatan Sipil menanyakan surat surat
yang disyaratkan untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Surat-surat yang
dimaksudkan, adalah :
Akta kelahiran kedua orang calon mempelai;
Akta yang berisi persetujuan pihak ketiga yang diperlukan untuk perkawinan itu;
Akta kematian dan sebagainya yang termuat dalam pasal 71 BW.
Dalam pasal 72 dan 73 BW disebutkan apa yang dapat dipakai sebagai pengganti kalau
tidak ada akta kelahiran atau akta kematian dari seseorang yang harus memberi izin kawin.
Sedang dalam pasal 74 BW diatur apa yang dilakukan oleh kedua calon mempelai kalau pegawai
Catatan Sipil menolak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan tidak lengkapnya surat-
surat untuk melangsungkan perkawinan itu. Dalam hal itu dapatlah para pihak minta putusan dari
Pengadilan Negeri yang kemudian akan memutus perkara ini secara sumir tanpa adanya
kemungkinan untuk banding.
Dalam pasal 76 BW dikatakan bahwa pelangsungan pernikahan itu :
- Harus dilakukan di muka umum;
- Harus dilakukan di gedung tempat akta Catatan Sipil itu dibuat;
- Di muka pegawai Catatan Sipil salah satu pihak calon suami isteri itu;
- Harus disaksikan oleh 2orang saksi (keluarga atau bukan keluarga) yang sudah
meerderjariq dan bertempat tinggal di Indonesia.
Dalam pasal 77 BW diberikan kemungkinan bahwa bilamana salah satu pihak berhalanga n
untuk pergi ke gedung yang telah di tentukan maka perkawinan dapat dilangsungkan di rumah
lain asal saja di dalam resort (daerah kekuasaan pegawai Catatan Sipil). Halangan itu harus
wettig (dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan hukum) sedangkan pembuktian wettig
tidaknya bergantung pada pegawai Catatan Sipil itu sendiri
3) Pembuktian Adanya Perkawinan.
Pasal 100 BW menentukan,bahwa sebuah perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara
lain kecuali dengan akta perkawinan yang dibuat oleh pegawai Catatan Sipil yang
melangsungkan perkawinan tersebut. Akta perkawinan itu dianggap sah kecuali kalau
dapat dibuktikan adanya kepalsuan. Sebagai alat bukti maka akta perkawinan itu
mempunyai 3 buah sifat :
- Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak (eenig
bewijsmiddel);
- Sebagai alat bukti penuh; artinya di samping akta perkawinan itu tidak dapat
dimintakan alat-alat bukti lain (volledig bewijsmiddel}
- Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga lawannya (tegenbewijs) tidak
dapat melemahkan akta perkawinan itu.
KULIAH MINGGU KE – 5
HUKUM KELUARGA
SUB POKOK BAHASAN
a. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
- Pencegahan Perkawinan
Berdasarkan Pasal 13 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 suatu perkawinan dapat dicegah
berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dapat dijadikan alas an untuk adanya pencegahan
perkawinan disebutkan dalam Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974, yaitu:
1) Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi umur
yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, maka perkawinan itu dapat dicegah
untuk dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya sampai umur calon
mempelai memenuhi umur yang ditetapkan undang-undang.
2) Melanggar pasal 8, yaitu mengenai larangan perkawinan. Misalnya saja antara kedua
calon mempelai tersebut satu sama lain mempunyai hubungan darah dalam satu garis
keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas berhubungan darah semenda, satu susuan
ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Dalam
hal ini perkawinan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bahkan dapat dicegahkan
pelaksanaannya untuk selama-lamanya misalnya perkawinan yang akan dilakukan oleh
kakak-adik, bapak dengan anak kandung dan lain-lain.
3) Pelanggaran terhadap pasal 9 yaitu mengenai seseorang yang masih terikat perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali apabila memenuhi pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 tentang syarat-syarat untuk seorang suami yang diperbolehkan berpoligami.
4) Pelanggaran terhadap pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau istri yang telah kawin cerai
dua kali tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya sepanjang menurut
agamanya (hokum) mengatur lain.
5) Pelanggaran terhadap pasal 12 yaitu melanggar syarat formal untuk melaksanakan
perkawinan yaitu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu dimulai dengan
pemberitahuan, penelitian dan pengumuman (lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975).
Sedangkan yang boleh melakukan pencegahanberlangsungnya suatu perkawinan adalah:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
2) Saudara
3) Wali nikah
4) Wali
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 pegawai pencatat perkawinan
tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila dia mengetahui
adanya pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-
Undang ini.
Bahkan pegawai pencatat perkawinan berhak dan berkewajiban untuk menolak melangsungkan
suatu perkawinan apabila benar-benar adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang ini (Pasal
21 ayat (1)).
Jadi pencegahan perkawinan itu dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Akibat hokum
dari pencegahan perkawinan ini adalah adanya penangguhan pelaksanaan perkawinan bahkan
menolak untuk selama-lamanya suatu perkawinan dilangsungkan.
- Pembatalan Perkawinan
Seperti halnya pencegahan, pembatalan perkawinan juga terjadi apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22). Syarat-syarat yang tidak
dipenuhi dimuat dalam Pasal 26 ayat (1) yaitu:
1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang.
2) Dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.
3) Tidak dihadiri oleh dua orang saksi.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas dapat digugurkan pembatalannya apabila
suami/istri yang mengajukan pembatalan tersebut sudah hidup bersama sebagai suami istri dan
dapat memperlihatkan akta perkawinan yang cacat hokum tersebut supaya perkawinan itu dapat
diperbaharui menjadi sah. Berdasarkan Pasl 23, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh:
1) Para keluarga dalam garis keturunan harus ke atas dari suami/istri.
2) Suami atau istri.
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4) Pejabat berdasarkan Pasal 16 ayat (2)
5) Setiap orang yang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut asal perkawinan itu telah putus.
Seorang suami/istri dapat juga mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila:
1) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hokum.
2) Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
istri
Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah adanya keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hokum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pembatalan perkawinan terjadi setelah perkawinan dilangsungkan sedang akibat hokum dari
adanya pembatalan perkawinan adalah:
1) Perkawinan itu dapat dibatalkan
2) Perkawinan dapat batal demi hokum artinya sejak semula dianggap tidak ada perkawinan,
misalnya suatu perkawinan yang dilangsungkan di mana antara suami istri itu
mempunyai hubungan darah menurut garis keturunan ke atas atau ke bawah ataupun satu
susuan.
Akibat hokum pembatalan perkawinan terhadap anak, suami atau istri dan pihak ketiga berlaku
surut:
1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap merupakan anak yang sah.
2) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila
pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam point 1 +2 sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembtalan
mempunyai kekuatan hokum tetap.
- Kedudukan Anak
1) Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah (Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
3) Anak yang lahir di luar perkawinan hanya menjadi ahli waris ibunya dan keluarga
ibunya, tetapi tidak menjadi ahli ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya.
4) Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya, bila ia dapat
membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu akibat perzinaan tersebut.
5) Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010:
6) Anak luar kawin masih tetap dapat dikaitkan memiliki hubungan perdata dengan
ayahnya, sepanjang hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
hukum.
- Perwalian
Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 50 disebutkan : Anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai
pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Syarat-syarat Perwalian:
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa
syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah:
1) Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
2) Anak-anak yang belum kawin.
3) Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
4) Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
5) Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :
1) Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua
sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.
2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Kewajiban Wali
Menurut pasal 51 Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan:
1) Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada
waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak
tersebut .
3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya
serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini,
yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan
perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
Berakhirnya Perwalian
Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya , dalam hal-
hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini, yaitu dalam hal :
1) Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.
2) Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
3) Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai (pasal 53
(2) UU No.1 tahun 1974).
Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal 54
UU No.1 tahun 1974 menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak
yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan
keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
KULIAH MINGGU KE – 6
HUKUM KELUARGA
SUB POKOK BAHASAN
A. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan :
- Kematian
- Perceraian
- Putusan pengadilan
Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38 sampai dengan Pasal
41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36. Menurut Pasal 38 Undang-
Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
- Kematian.
- Perceraian, dan
- Atas Keputusan Pengadilan.
C. Perkawinan Campuran
Menurut Undang-undang perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Perkawinan Campuran adalah Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan
Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan
anda lakukan adalah perkawinan campuran.
Prosedur perkawinan campuran
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang
Perkawinan dan harus memenuhi syarat- syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada
persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21
tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk
memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda
dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan
bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan.
Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat
meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak
beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan). Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti
Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum
dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi
(pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).
Surat-surat yang harus dipersiapkan :
Untuk calon suami
Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara
asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan Surat Keterangan yang
menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
Fotokopi Akte Kelahiran
Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin, atau
Akte Cerai bila sudah pernah kawin, atau
Akte Kematian istri bila istri meninggal
Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah
yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut
yang ada di Indonesia.
Untuk calon istri harus melengkapi diri anda dengan :
Fotokopi KTP
Fotokopi Akte Kelahiran
Data orang tua calon mempelai serta Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan
bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan