Anda di halaman 1dari 33

KULIAH MINGGU KE – 1

PENGANTAR UMUM

a. Istilah dan pengertian hukum perdata


Yang dimaksud dengan hukum perdata atau civil law adalah hukum yang mengatur
hubungan antara perorangan didalam masyarakat .perkataan hukum perdata dalam arti yang luas
meliputi semua hukum privat materill dan dapat dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
b. Hukum perdata materiil dan hukum perdata formil.
Hukum privat materil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan hukum sipil ,tapi
oleh perkataan sipil juga sebagai lawan dari militer ,maka yang lebih umum digunakan nama
hukum perdata saja untuk segenap peraturan hukum privat materill. Hukum perdata materill
adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan
didalam masyarakat dan kepentingsn dari masing masing orang bersangkutan. Dalam arti hak
dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap
orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu. Sedangkan hukum perdata formil adalah peraturan
perundang undangan yang mengatur tentang pelaksanaan sanksi hukuman apabila terjadi
pelanggaran terhadap hak hak keperdataan seseorang sesuai dengan hukum perdata materill yang
menyebabkan kerugian bagi pihak lain.
c. Sumber dan dasar hukum berlakunya KUH perdata
Keadaan hukum perdat di indonesia bersifat majemuk yakni beraneka warna .ada dua faktor
sebagai penebab majemuk, yakni :
a) Faktor ethnis,disebabkan beranegaragam hukum adat bangsa indonesia
b) Faktor Hostia yuridis,di atur dalam pasal 163 LS yang membagi penduduk indonesia dalam
tiga golongan yaitu
1) Golongan Eropa yang dipersamakan
2) Golongan Bumi putera ( pribumi/bangsa indonesia asli) dan yang dipersamakan.
3) Golongan Timur asing( cina,india, arab )
Sedangkan dalam pasal 131 LS yaitu mengatur hukum hukum yang diberlakukan bagi masing
masing golongan yang diatur dalam pasal 163 LS di atas.selanjutnya untuk golongan bukan asli
yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa ( arab,india dan lainnya )berlaku sebagian dari BW
yaitu hanya bagian bagian mengenai hukum harta kekayaan benda ( vermorgenrecht) jadi tidak
mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan ( personenen familierecht)
Berdasarkan pedoman di atas ,di jaman Hindia Belanda telah ada beberapa peraturan
perundang undangan Eropa yang telah dinyatakan berlaku untuk bangsa indonesia asli.seperti
pasal 1601_ 1603 lama dari BW perihal :
1) Perjanjian kerja perburuhan pasal 1788 – 1791 BW
2) Dan beberapa pasal dari KUHD (WVK) yaitu sebagian besar dari hukum laut
d. Sejarah terbentuknya KUH perdata ( BW )
Isi kitab undang undang hukum perdata ( BW ) meliputi kelompok materi berdasarkan
sistem fungsional . sistem fungsional ini ada 2 macam yaitu menurut pembentuk undang undang
dan menurut ilmu pengetahuan hukum . BW dapat disebut juga kitab undang undang hukum
sipil ( KUHS ) sejak tahun 1948 di indonesia berlaku BW belanda yang bersumber dari code
civil des francais yang tidak lepas dari kodifikasi hukum romawi yaitu corpus luris civilis dari
kaisar justinianus.Hukum perdata di indonesia masih bersifat plurarism oleh karena adanya
beranega ragam adat karena banyak suku.Di samping itu penemuan hasil peninggalan Hindia
Belanda yaitu pasal 163 LS yang membagi golongan penduduk atas
 Golongan eropa yang dipersamakan
 Golongan indonesia asli ( Bumi putera )
 Golongan timur asing ( arab,hindia,cina )
Pembentuk BW terdiri dari
 Buku 1 mengenai orang
 Buku 2 mengenai benda
 Buku 3 mengenai perikatan
 Buku 4 mengenai pembuktian dan daluarsa

e. Kedudukan KUH perdata pada waktu sekarang.


BW tidak lagi sebagai suatu undang undang melainkan sebagai suatu dokumen yang
hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis .dengan kata lain BW bukan lagi
sebagai wetboek tetapi rechtsboek yang hanya dipakai sebagai pedoman.Berhubungan dengan ini
timbul suatu gagasan yang menggangap BW tidak sebagai suatu undang undang ,dari uraian di
atas dapatlah disimpulkan bahwa secara yuridis formil kedudukan BW tetap sebagai undang
undang sebab BW tidak pernah di cabut dari kedudukannya sebagai undang undang .namun pada
waktu sekarang BW bukan lagi sebagai kitab undang undang hukum perdata yang bulat dan utuh
seperti keadaan semula saat diundangkan .
f. Sistematika KUH perdata
Sistematika hukum perdata
 Buku 1 menatur tentang orang
 Buku 2 mengatur tentang benda
 Buku 3 mengenai tentang perikatan
 Buku 4 mengenai tentang pembuktian an daluarsa.
KULIAH MINGGU KE - 2
POKOK BAHASAN

a. Pengertian subjek hukum


Subyek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan
sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang
tentu berdasar dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan,
organisasi, institusi). Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak,
yakni manusia dan badan hukum

1) Manusia (natuurlijk persoon). Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi
subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah
dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan
sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan
pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang
menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai
subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan
hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain, seperti anak yang masih
dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah, dan orang yang berada
dalam pengampunan seperti orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
2) Badan Hukum (rechts persoon). Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari
kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan
kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak
manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para
anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa
hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman
penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

b. Hukum dihubungkan dengan hak dan kewajiban perdata

HAK itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya,
sedangkan KEWAJIBAN merupakan pembatasan dan beban (Sudikno Mertokusumo, 1986:
39)Hak- Hak harta benda (vermogenrechten) hak-hak yang mempunyai nilai uang.Hak-hak
kebendaan (zakelijkerechten): hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas
suatu benda.Hak-hak atas barang yang tidak berwujud (rechten op immateriale goederen): hak-
hak mengenai hasil pemikiran manusia, seperti hak cipta dan hak octroi.Hak Relatif : Hak yang
berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya dimiki terhadap orang-orang tertentu ( antara
kreditor dan debitor)

Kewajiban yang mutlak dan nisbi


Hak Keperdataan dibagi menjadi :
 Hak absout yang bersifat kebendaan: obyeknya benda: benda: hak milik, hipotek

 Hak absolut yang bukan bersifat kebendaan : seperti hak cipta, hak octroi, hak merek

Kewajiban yang mutlak dan nisbi

Mutlak : yang tidak mempunyai pasangan hak, seperti kewajiban yang dituju kepada diri sendiri
yang diminta oleh masyarakat pada umumnya.

Nisbi adalah yang melibatkan hak di lain pihak. Kewajiban publik dan perdata. Publik adalah
berkorelasi dengan hak-hak publik seperti kewajiban mematuhi hukum pidana.. Perdata adalah
korelatiif dari dari hak-hak perdata seperti kewajiban dalam perjanjian

c. Manusia sebagi subjek hukum


Manusia (natuurlijk persoon). Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi
subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap
sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia
meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai
subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada
beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap"
hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu
oleh orang lain, seperti anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah, dan
orang yang berada dalam pengampunan seperti orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
Kapan mulai dan berakhirnya seseorang sebagai subjek hokum? Seseorang mulai sebagai subjek
hokum atau sebagai pendukung hak dan kewajiban sejak dilahirkan sampai dengan meninggal
dunia dengan mengingat Pasal 2 KUHperdata.
Pasal 2 KUHPerdata menyatakan:
1. Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilaman juga kepentingan si anak menghendakinya.
2. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tidak pernah ada.
Kalau dilihat pasal 2 ayat (1) diatas dapat disimpulkan bahwa anak yang masih di dalam
kandungan seorang wanita juga sudah dianggap sebagai subjek hokum atau pembawa hak dan
kewajiban apabila kepentingan si anak menghendakinya.

d. Badan hukum

Badan hukum dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai organisasi atau perkumpulan
yang didirikan dengan akta yang otentik dan dalam hukum diperlakukan sebagai orang yang
memiliki hak dan kewajiban atau disebut juga dengan subyek hukum. Subyek hukum dalam ilmu
hukum ada dua yakni, orang dan badan hukum. Disebut sebagai subyek hukum oleh karena
orang dan badan hukum menyandang hak dan kewajiban hukum.
Dalam Pasal 1653 BW, Macam Macam Badan hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1) Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah (kekuasaan umum), contohnya pemerintah
daerah (pemerintah provinsi, kabupaten atau kota), bank-bank yang didirikan oleh negara
dan lain sebagainya.
2) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (kekuasaan umum), contohnya perkumpulan-
perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan lain sebagainya.
3) Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud yang tertentu, tidak bertentangan dengan
UU, kesusilaan, contohnya : perseroan terbatas, perkapalan, perkumpulan asuransi dan lain
sebagainya.

 Teori Fiksi (Fictie Theorie)

Menurut Teori dari Von Savigny badan hukum semata – mata buatan negara saja. Badan
hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidup-
kannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti
manusia. Teori ini juga diikuti oleh Houwing Teori ini juga disampaikan oleh sarjana Jerman
Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) dalam bukunya yang berjudul System des Hentingen
Romischen Recht. Teori ini menjelaskan bahwasanya badan hukum adalah fiksi hukum, dalam
teori ini diungkapkan “They have existence but no real personality save that given by law,which
regards them as ‘person’ “(Mereka diakui keberadaanya, tetapi bukan suatu pribadi nyata yang
dinyatakan oleh hukum,yang dianggap sebagai orang.). Maksudnya hanya manusialah yang
menjadi subjek hukum, sedangkan badan hukum sebagai subjek hukum hanyalah fiksi, yaitu
sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya. Badan
Hukum tersebut diciptakan Negara/pemerintah yang wujudnya tidak nyata, untuk menerangkan
suatu hal. Dengan kata lain, sebenarnya menurut Alam, manusia selalu subjek hukum, tetapi
orang menciptakan dalam bayangannya, badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan
sama dengan manusia. Jadi, orang-orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum lain, tetapi
wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan perbuatan, sehingga yang melakukan
ialah manusia sebagai wakil-wakilnya.

 Teori Harta Kekayaan Bertujuan (doel vermogents theorie)


Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun, kata
teori ini ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan
itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyainya dan yang terikat kepada
tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini timbul dari colltiviteitstheorie
dan dikemukakan oleh sarjana Jerman A. Brinz, dan diikuti oleh Van der Hayden dalam bukunya
yang berjudul Lehrbuch der Pandecten. Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum hanyalah
sebagai badan dengan kepentingan tertentu, dan manusialah yang menjadi subyek murni dari
hukum. Menrut penganut teori ini ; ”Only human beings can be considered correctly
as’Person’,the law,however protects purposes other than those concerning the interest of human
beings.The property ‘owned’ by corporations does not ‘belongs’ to anybody.But it may
considered as belongings for certain purposes and the device of the corporation is used to protect
those purposes”. (Hanya manusia yang dapat dianggap sebagai orang, hukum bagaimanapun
juga melindungi tujuan tujuan lain selain memperhatikan tujuan manusia. Harta kekayaan yang
dimiliki oleh perusahaan bukanlah milik setiap orang. Tetapi dianggap sebagai kepemilikan
untuk tujuan yang pasti dan merupakan perlengkapan perusahaan untuk melindungi tujuan tujuan
tersebut). Teori ini disebut juga teori Zweckvermogen.

 Teori Kekayaan Bersama (Propriete Collective Theorie)


Teori ini disampaikan oleh sarjana jerman Rudolf von Jheering yang kemudian diikuti
oleh Molengraaft, Marcel Planiol, dan Apeeldorn. Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum
tidak lain merupakan perkumpulan manusia yang mempunyai hak dan kewajiban masing-
masing, teori ini tidak menganggap badan hukum sebagai abstraksi maupun organisme, oleh
karena itu apa yang merupakan hak dan kewajiban badan hukum merupakan hak dan kewajiban
para anggotanya bersama sama, begitu juga kekayaan badan hukum itu adalah milik bersama,
tidak boleh dibagi-bagi. Karena itu, badan hukum merupakan suatau konstruksi yuridis saja.
Teori ini juga disebut Propriete Collective Theorie (Planiol), Gezmenlijke Vermogenstheorie
(Molengraaft) , dan Gezamenlijke eigendomstheorie/teorie kolektif (Utrecht).

 Teori Organ
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang
tidak bersubjek, tetapi badan hukum adalah sesuatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh
– sungguh dalam pergaulan hukum yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan
alat – alat yang ada padanya (pengurus, anggota -anggotanya) seperti manusia biasa, yang
mempunyai panca indera dan sebagainya. Pengikut teori organ ini antara lain Mr. L.C. Polano.
Teori ini juga dikemukakan oleh sarjana jerman, Otto von Gierke (1841-1921) dalam bukunya
yang berjudul Das Deutsche Cenossenchtsrecht. Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu
terbentuk, menjelma dalam pergaulan hukum (eine leiblichgeistige Lebensein Heit), dan bisa
memenuhi kehendaknya dari kepengurusan-kepengurusan (Verbandpersoblich Keit), perantara
alat-alat atau organ-organ tersebut misalnya anggotanya atau pengurusnya mengucapkan
kehendak dengan perantara mulutnya atau dengan tangannya jika kehendak tersebut ditulis diatas
kertas, seperti halnya organ tubuh manusia, Sehingga menurut teori ini, Badan Hukum itu nyata
adanya, Contoh : Kepengurusan ketua badan hukum seperti halnya kepala pada manusia

 Teori Kenyataan Yuridis (juridishe realiteitsleere)


Dikatakan bahwa, badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret, rill, walupun tidak
bisa diraba, bukan hayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda
E.M Meijers dan dianut oleh Paul scolten,menurut teori ini, Badan hukum adalah wujud yang riil
dan kongkrit seperti halnya manusia, meskipun tidak bisa diraba, menekankan bahwa hendaknya
dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
Teori ini adalah penghalusan dari teori Organ yang dikemukakan oleh Otto von Gierke. Meijers
sendiri menyebut teori ini sebagai teori kenyataan sederhana,karena hendaknya persamaan yang
diberikan pada manusia dan badan hukum ini hanya terbatas di bidang hukum saja.[2]

 Teori pemisah kekayaan, teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu dari aspek harta
kekayaan yang dipisahkan tersendiri.
 Teori harta karena jabatan, teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu ialah badan hukum
yang mempunyai harga dan berdiri sendiri, yang dimiliki oleh badan hukum itu sendiri, akan
tetapi badan hukum ini mempunyai pengurus dan jabatan untuk mengurusi harta tersebut.

1. Badan Hukum Memiliki Harta Kekayaan yang Terpisah


Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggotanya maupun perbuatan pemisahan yang dilakukan
seseorang (partikelir atau pemerintah) untuk suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini
dimaksudkan sebagai alat di dalam mencapai apa yang menjadi tujuan dari badan hukum yang
bersangkutan. Meskipun harta kekayaan ini berasal dari pemasukan anggota-anggotanya, namun
tetap terpisah dengan harta kekayaan kepunyaan pribadi anggota-anggotanya tersebut. Perbuatan
pribadi anggota-anggotanya tidak dapat mengikat harta kekayaan tersebut. Sebaliknya, perbuatan
badan hukum yang diwakili pengurusnya, tidak dapat mengikat harta kekayaan anggota-
anggotanya.

2. Badan Hukum Memiliki Tujuan Tertentu


Badan hukum ini memiliki tujuan tertentu yang dapat berupa tujuan yang idiil maupun
tujuan komersiil yang merupakan tujuan tersendiri daripada badan hukum. Tujuan badan hukum
ini bukan tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa anggotanya. Dalam usaha untuk mencapai
tujuan tersebut, dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang
hendak digapai itu dirumuskan dengan jelas di dalam anggaran dasar badan hukum yang
bersangkutan.

3. Badan Hukum Mempunyai Kepentingan Sendiri


Dalam mencapai tujuannya, badan hukum memiliki kepentingan sendiri yang dilindungi oleh
hukum. Kepentingan-kepentingan itu merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-
peristiwa hukum. Badan hukum ini memiliki kepentingan sendiri dan dapat menuntut serta
mempertahankannya terhadap pihak ketiga di dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan dari badan
hukum ini harus stabil, dalam artian tidak terikat pada suatu waktu yang pendek; akan tetapi untuk
jangka waktu yang sangat lama.

4. Badan Hukum Memiliki Organisasi yang Teratur


Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Sebagai subjek hukum disamping manusia, badan
hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya. Bagaimana tata
cara suatu organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak

 Bila organ Badan Hukum melakukan perbuatan yang ternyata melanggar batas
kewenangannya, maka yang bertanggung jawab bukanlah Badan Hukumnya, tapi pribadi
organ Badan Hukum tersebut. Kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan Badan
Hukum atau organ yang lebih tinggi menyetujuinya (Lihat Pasal 1656 KUHperdata).
 Pasal 45 KUHD juga mengatur batas-batas kewenangan dari organ Badan Hukum dalam
melakukan perbuatan untuk Badan Hukum serta sanksi atas pelanggaran terhadap atas
wewenang tersebut.

Tanggung jawab badan hukum


Perseroan sebagai badan hukum , secara hukum pada prinsipnya harta benda perseroan
terpisah dari harta benda pendiri / pemiliknya ,karena itu tanggung jawab secara hukum juga
dipisahkan dari harta benda pemilik perusahaan yang berbentuk badan hukum.Dengan
demikian,apabila perseroan melakukan suatu perbuatan dengan pihak lain,maka tanggung
jawabnya berada di pihak perseroan tersebut dan hanya sebatas harta benda yang dimiliki
perseroan.Tanggung jawab perseroan terlepas dari orang orang yang ada didalamnya ,apabila
timbul kerugian pada perseroan maka harta pribadi/pendiri tidak dapat ikut disita atau
dibebankan untuk tanggung jawab perseroan.

KULIAH MINGGU KE – 3
HUKUM TENTANG ORANG
SUB POKOK BAHASAN
1) Ketidak cakapan
Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah:
 Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak-anak yang belum berumur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo Pasal 47 UU
No.1 Tahun 1947).
 Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi
dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal
433 BW).
 Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo UU
kepailitan).
Orang-orang yang belum dewasa dan orang orang yang ditaruh dibawah pengampuan
(curatele) dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya,
walinya atau pengampunya (curator). Sedangkan penyelesaian hutang piutang orang-
orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan ( weeskamer ).
2) Nama
Nama merupakan identifikasi seseorang sebagai subjek hukum. Bahkan dari nama itu
sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang bersangkutan. Hal mana sangat
penting dalam urusan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan. Bagi
golongan Eropa tentang nama ini diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (Pasal 5a s.d.
12) yang menentukan tentang nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-
nama depan. Akan tetapi, dengan adanya Undang-Undang No. 4 Tahun 1961 yang
mengatur tentang penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah
diatur dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi.
3) Domisili/Tempat tinggal
 Pengertian
Domisili atau tempat tinggal (menurut pasal 17 KUHPerdata) adalah tempat
seseorang dianggap selalu hadir melakukan hak-haknya dan memenuhi
kewajibannya, meskipun ia bertempat tinggal di tempat lain.
 Macam-macam Domisili
- Tempat tinggal yang sesungguhnya
- Tempat tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak bergantung
pada hubungannya dengan orang lain.
- Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang terikat
hubungannya dengan pihak lain.
 Tempat tinggal yang dipilih
Ketentuan mengenai tempat tinggal dimuat dalam BW Buku I Pasal 17 s.d. 25,
juga berlaku dalam memperlakukan undang-undang tata usaha maupun undang-
undang lainnya, sepanjang undang-undang itu tidak menentukan lain.

4) Keadaan Tidak Hadir (Afwezigheid)


Ketentuan mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tidak hadir (afwezigheid)
termuat dalam BW Buku I Pasal 463 s.d. 495 dan dalam Stb. 1946 No.137 jo Biblad V
dan Stb. 1949 No. 451. Undang-undang mengatur keadaan tidak ditempat atas tiga masa
atau tingkatan, yaitu :
 Masa Persiapan (Pasal 463 s.d. 466)
 Masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang meninggalkan
tempat itu mungkin meninggal dunia (Pasal 467 s.d. 483), masa yang
berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu
mungkin meninggal dunia yaitu setelah 5 tahun.
 Masa pewarisan secara definitif, masa dimana persangkaan bahwa orang yang
tidak ditempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30
tahun sejak hari pertanyaan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau
100 tahun terhitung sejak hari lahir.

5) Catatan Sipil
Catatan Sipil (Burgelijke Stand) artinya catatan mengenai peristiwa perdata yang dialami
oleh seseorang atau untuk memastikan status perdata seseorang. Ada lima peristiwa
hukum dalam kehidupan manusia yang perlu dilakukan pencatatan, yaitu :
 Kelahiran, menentukan status hukum seseorang sebagai subyek hukum
pendukung hak dan kewajiban.
 Perkawinan, menentukan status hukum seseorang sebagai suami atau isteri dalam
ikatan perkawinan menurut hukum.
 Perceraian, menentukan status hukum seseorang sebagai janda atau duda yang
bebas dari ikatan suatu perkawinan.
 Kematian, menentukan status hukum seseorang sebagai ahli waris, sebagai janda
atau duda dari almarhum/almarhumah.
 Penggantian nama, menentukan status hukum seseorang dengan identitas tertentu
dalam hukum perdata.
Fungsi Catatan Sipil ialah untuk memperoleh kepastian hukum tentang status perdata seseorang
yang mengalami peristiwa hukum. Kepastian hukum sangat penting dalam setiap perbuatan
hukum, apakah ada hak dan kewajiban hukum yang sah antara pihak-pihak yang berhubungan
hukum tersebut.
 Kepastian hukum mengenai Kelahiran, menentukan status perdata seseorang apakah
sudah dewasa atau belum dewasa.
 Kepastian hukum mengenai Perceraian menentukan status perdata seseorang untuk bebas
mencari pasangan hidup.
 Kepastian hukum mengenai Kematian, menentukan status perdata seseorang sebagai ahli
waris maupun keterbukaan ahli waris.

KULIAH MINGGU KE – 4
HUKUM PERKAWINAN
SUB POKOK BAHASAN
1) Arti dan syarat-syarat perkawinan
Perkawinan, adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama. Perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Burgerlijk
Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya pekawinan, ialah :
 Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang,
yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun;.
 Harus ada persetujuan antara kedua pihak;
 Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu
sesudahnya putusan perkawinan pertama;
 Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak;
 Untuk pihak yang masih dibawah umur, harus ada izin dari orang tua walinya.
Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu :
 Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil
(Ambitenaar Burgerlijk Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan
pernikahan;
 Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut tentang aka dilangsungkan pernikahan
itu.

2) Pelangsungan Perkawinan
Sebelum dilangsungkan perkawinan maka pegawai Catatan Sipil menanyakan surat surat
yang disyaratkan untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Surat-surat yang
dimaksudkan, adalah :
 Akta kelahiran kedua orang calon mempelai;
 Akta yang berisi persetujuan pihak ketiga yang diperlukan untuk perkawinan itu;
 Akta kematian dan sebagainya yang termuat dalam pasal 71 BW.
Dalam pasal 72 dan 73 BW disebutkan apa yang dapat dipakai sebagai pengganti kalau
tidak ada akta kelahiran atau akta kematian dari seseorang yang harus memberi izin kawin.
Sedang dalam pasal 74 BW diatur apa yang dilakukan oleh kedua calon mempelai kalau pegawai
Catatan Sipil menolak untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan tidak lengkapnya surat-
surat untuk melangsungkan perkawinan itu. Dalam hal itu dapatlah para pihak minta putusan dari
Pengadilan Negeri yang kemudian akan memutus perkara ini secara sumir tanpa adanya
kemungkinan untuk banding.
Dalam pasal 76 BW dikatakan bahwa pelangsungan pernikahan itu :
- Harus dilakukan di muka umum;
- Harus dilakukan di gedung tempat akta Catatan Sipil itu dibuat;
- Di muka pegawai Catatan Sipil salah satu pihak calon suami isteri itu;
- Harus disaksikan oleh 2orang saksi (keluarga atau bukan keluarga) yang sudah
meerderjariq dan bertempat tinggal di Indonesia.
Dalam pasal 77 BW diberikan kemungkinan bahwa bilamana salah satu pihak berhalanga n
untuk pergi ke gedung yang telah di tentukan maka perkawinan dapat dilangsungkan di rumah
lain asal saja di dalam resort (daerah kekuasaan pegawai Catatan Sipil). Halangan itu harus
wettig (dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan hukum) sedangkan pembuktian wettig
tidaknya bergantung pada pegawai Catatan Sipil itu sendiri
3) Pembuktian Adanya Perkawinan.
Pasal 100 BW menentukan,bahwa sebuah perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara
lain kecuali dengan akta perkawinan yang dibuat oleh pegawai Catatan Sipil yang
melangsungkan perkawinan tersebut. Akta perkawinan itu dianggap sah kecuali kalau
dapat dibuktikan adanya kepalsuan. Sebagai alat bukti maka akta perkawinan itu
mempunyai 3 buah sifat :
- Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak (eenig
bewijsmiddel);
- Sebagai alat bukti penuh; artinya di samping akta perkawinan itu tidak dapat
dimintakan alat-alat bukti lain (volledig bewijsmiddel}
- Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga lawannya (tegenbewijs) tidak
dapat melemahkan akta perkawinan itu.

4) Beristri lebih dari satu


Pada prinsipnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Ps 3 (1) UU No. 1/74)
 Alasan poligami
Adapun alasan yang dpedomani oleh Pengadilan untuk dapat memberi izin poligami,
ditegaskan dalam pasal 4 (2) UU perkawinan :
Pengadilan yang dimaksud dala ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
 Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
 Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
 Istri tidak dapat melahirkan keturunan
 Syarat-syarat poligami
Dalam pasal 5 UU perkawinan dijelaskan :
- Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
 Adanya persetujuan istri/istri-istri
 Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
 Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka
- Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istrinya selama sekurang-kurangnya 2(dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian Hakim Pengadilan.
- Prosedur Poligami
Pasal 56 KHI menyebutkan :
 Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
pengadilan agama
 Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)dilakukan menurut tata
cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No 9 tahun
1975
 Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa
izin dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
5) Hak dan kewajiban suami isteri
Hak dan kewajiban suami isteri dibedakan dalam 2buah hal :
 Akibat-akibat yang timbul dari hubungan suami isteri itu sendiri
 Akibat-akibat yang timbul dari kekuasaan suami (maritale macht)

 Akibat-akibat yang timbul dari hubungan suami istri itu sendiri


Pasal 106BW mengandung asas, tentang suami isteri wajib tinggal bersama.suami
harus menerima isterinya dirumah kediamannya sedang si isteri wajib mengikuti suami
nya kemana suaminya memandang baik untuk bertempat tinggal. Isteri tiada diwajibkan
mengikuti suaminya, kalau suaminya hanya untuk sementara waktu saja diam pada
sebuah pada sebuah tempat atau jika rumah kediaman mereka mereka merupakan tempat
yang tiada layak atau tidak senonoh (buitensporigheid).Perlu dikemukakan bahwa BW
tidak mengenal upaya pemaksa agar isteri wajib tinggal bersama dengan suaminya di
rumah suaminya atau supaya suami menerima isterinya kembali dirumahnya. Hanya
hakimlah yang dapat menentukan terjadinya buitensporigheid dan kwaalidwilliege
verlating itu. Pasal 107 menyatakan bahwa suami wajib, memberikan kepada isterinya
segala sesuatu yang diperlukan dan berpatutan sesuai dengan kedudukan dan
kemampuannya. Pemberian nafkah dihubungkan dengan kewajiban tinggal bersama.
Pasal 834.a Rv dan selanjutnya mengatur cara beracara dalam gugatan pemberian nafkah.
Pasal 329.a dan 329.b BW (Titel XIV.a) memberikan peraturan tentang 3 buah persoalan,
yaitu :
a. Pemberian nafkah;
b. Perubahan pemberian nafkah; dan
c. Pencabutan pemberian nafkah.
Pasal 329.a dan 329.b BW menyatakan antara lain, bahwa jumlah nafkah yang diberikan
harus seimbang dengan keperluan orang yang berhak atas nafkah itu dihubungkan dengan
besarnya kekayaan orang yang wajib memberikan nafjkah tersebut denganmemperhitungkan
juga jumlah tanggungan orag yang wajib memberikan nafkah itu. Seorang isteri pun dapat
diwajibkan pula untukmemberikan nafkah kepada suaminya. Pikiran ini dapat kita simpulkan
dari ketentuan-ketentuan tentang perjanjian kawin walaupun tidak tegas-tegas dinyatakan dalam
ketentuan-ketentuan undang-undang (BW). Pasal 104 BW ini mengatakan bahwa dengan adanya
perkawinan suami isteri itu saling mengikatkan diri secara timbal balik untuk memelihara dan
mendidik anak-anaknya.
 Akibat-akibat yang timbul dari Kekuasaan suami (=Maritale Macht)
Didalam pasal 105BW kita menjumpai asas maritale macht yang menentukan
bahwa suami adalah kepala keluarga sedang isteri harus taat dan patuhkepada suaminya.
Hal ini dapat kita telaah dalam pasal 106 BW. Suatu asas yang bergerak pada isteri tidak
cakap mempunyai hubungan yang erat dengan pendapat kuno yang menganggap bahwa
seorang perempuan mengganggap bahwa seorang perempuan dianggap tidakcakap
(capable = bekwaam) mengurus harta benda atau harta kekayaannya. Asas maritable
macht bermaksud agar suami menjaga kesatuan dalam perkawinan disamping harus ikut
mengurus pula harata kekayaan isteri-nya. Maka asas mariatale macht mempunyai akibat
pula :
- Isteri harus mengikuti kwarganegaraan suaminya (diatur dalam undang-
undang tentang kewarganegaraan Republik Indonesia; UU no. 62 1958,
pasal 7; sekalipun dimungkinkan adanya kekecualiannya)
- Suami menentukan tempat kediaman bersama (pasal 21 BW)
- Suami berhak menentukan pada tingkat terakhir kalau timbul perselisihan
antara kedua orang tua dalam menjalankan kekuasaan orang tu (pasal 300
ayat 1 BW)

KULIAH MINGGU KE – 5
HUKUM KELUARGA
SUB POKOK BAHASAN
a. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
- Pencegahan Perkawinan
Berdasarkan Pasal 13 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 suatu perkawinan dapat dicegah
berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dapat dijadikan alas an untuk adanya pencegahan
perkawinan disebutkan dalam Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974, yaitu:
1) Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi umur
yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, maka perkawinan itu dapat dicegah
untuk dilaksanakan. Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya sampai umur calon
mempelai memenuhi umur yang ditetapkan undang-undang.
2) Melanggar pasal 8, yaitu mengenai larangan perkawinan. Misalnya saja antara kedua
calon mempelai tersebut satu sama lain mempunyai hubungan darah dalam satu garis
keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas berhubungan darah semenda, satu susuan
ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Dalam
hal ini perkawinan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bahkan dapat dicegahkan
pelaksanaannya untuk selama-lamanya misalnya perkawinan yang akan dilakukan oleh
kakak-adik, bapak dengan anak kandung dan lain-lain.
3) Pelanggaran terhadap pasal 9 yaitu mengenai seseorang yang masih terikat perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali apabila memenuhi pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 tentang syarat-syarat untuk seorang suami yang diperbolehkan berpoligami.
4) Pelanggaran terhadap pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau istri yang telah kawin cerai
dua kali tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya sepanjang menurut
agamanya (hokum) mengatur lain.
5) Pelanggaran terhadap pasal 12 yaitu melanggar syarat formal untuk melaksanakan
perkawinan yaitu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu dimulai dengan
pemberitahuan, penelitian dan pengumuman (lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975).
Sedangkan yang boleh melakukan pencegahanberlangsungnya suatu perkawinan adalah:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
2) Saudara
3) Wali nikah
4) Wali
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 pegawai pencatat perkawinan
tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila dia mengetahui
adanya pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-
Undang ini.
Bahkan pegawai pencatat perkawinan berhak dan berkewajiban untuk menolak melangsungkan
suatu perkawinan apabila benar-benar adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang ini (Pasal
21 ayat (1)).
Jadi pencegahan perkawinan itu dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Akibat hokum
dari pencegahan perkawinan ini adalah adanya penangguhan pelaksanaan perkawinan bahkan
menolak untuk selama-lamanya suatu perkawinan dilangsungkan.

- Pembatalan Perkawinan
Seperti halnya pencegahan, pembatalan perkawinan juga terjadi apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22). Syarat-syarat yang tidak
dipenuhi dimuat dalam Pasal 26 ayat (1) yaitu:
1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang.
2) Dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.
3) Tidak dihadiri oleh dua orang saksi.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas dapat digugurkan pembatalannya apabila
suami/istri yang mengajukan pembatalan tersebut sudah hidup bersama sebagai suami istri dan
dapat memperlihatkan akta perkawinan yang cacat hokum tersebut supaya perkawinan itu dapat
diperbaharui menjadi sah. Berdasarkan Pasl 23, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh:
1) Para keluarga dalam garis keturunan harus ke atas dari suami/istri.
2) Suami atau istri.
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4) Pejabat berdasarkan Pasal 16 ayat (2)
5) Setiap orang yang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut asal perkawinan itu telah putus.
Seorang suami/istri dapat juga mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila:
1) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hokum.
2) Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
istri
Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah adanya keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hokum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pembatalan perkawinan terjadi setelah perkawinan dilangsungkan sedang akibat hokum dari
adanya pembatalan perkawinan adalah:
1) Perkawinan itu dapat dibatalkan
2) Perkawinan dapat batal demi hokum artinya sejak semula dianggap tidak ada perkawinan,
misalnya suatu perkawinan yang dilangsungkan di mana antara suami istri itu
mempunyai hubungan darah menurut garis keturunan ke atas atau ke bawah ataupun satu
susuan.
Akibat hokum pembatalan perkawinan terhadap anak, suami atau istri dan pihak ketiga berlaku
surut:
1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap merupakan anak yang sah.
2) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila
pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam point 1 +2 sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembtalan
mempunyai kekuatan hokum tetap.

b. Akibat Hukum Perkawinan:


- Hak dan Kewajiban Suami Istri
Hak dan kewajiban suami istri menurut UU No. 1 Tahun 1974 tercantum dalam Bab VI Pasal 30
sampai Pasal 34. Dalam Pasal 30 dinyatakan bahwa: “Suami isteri memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Kemudian dalam Pasal 31 dinyatakan:
1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Mengenai kewajiban sumi istri selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 33:
“Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satu kepada yang lain”.
Dalam Pasal 34 dinyatakan:
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan.
Mengenai rumah tangga sebagai tempat kediaman suami-istri dijelaskan dalam Pasal 32 sebagai
berikut:
1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami
isteri bersama.

- Harta Benda dalam Perkawinan


Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35 disebutkan bahwa
terdapat dua jenis harta benda dalam perkawinan yaitu harta bersama dan harta bawaan. Pasal 35
ayat (1) menjelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan mejadi harta
bersama. Yang termasuk dalam harta bersama adalah semua harta yang terbentuk atau terkumpul
sejak tanggal terjadinya perkawinan. Sedangkan pasal 35 ayat (2) menjelaskan bahwa harta
bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain. Artinya harta benda yang tidak termasuk harta gono-gini atau harta
bersama adalah harta bawaan yang diperoleh sebelum menikah dan harta benda yang diperoleh
oleh masing-masing pihak baik istri maupun suami sebelum menikah maupun selama pernikahan
yang berupa hadiah atau warisan dari orang tua. Penggolongan harta bawaan ini pun bisa
berbeda dan diijinkan oleh Undang-undang sepanjang ada kesepakatan bersama kedua belah
pihak seperti Perjanjian Pernikahan atau Prenuptial Agreement
Untuk menghindari konflik masalah keuangan perlu dilakukan pencatatan terhadap daftar
kekayaan yang dimiliki masing-masing pasangan. Baik sebelum menikah, saat proses menikah
maupun selama pernikahan. Banyak pasangan yang mengesampingkan untuk mencatat dengan
detail harta yang dimiliki padahal hal tersebut sangat penting, terutama bagi pasangan suami-istri
yang sama-sama bekerja dan memperoleh pendapatan. Dengan membuat kesepakatan dan
melakukan pencatatan terhadap harta benda perkawinan akan meminimalkan resiko konflik
dimasa yang akan datang. Berikut beberapa manfaat yang bisa diperoleh dalam perkawinan jika
pasangan suami-istri membuat kesepakatan dan melakukan pencatatan terhadap Harta benda
perkawinan.
1) Memudahkan pembagian warisan
Sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita tidak bisa memastikan apakah
kita diberikan umur yang panjang atau tidak. Begitu juga dengan pasangan kita, apakah
ditakdirkan untuk menemani kita hingga kakek-nenek atau hanya sesaat.
Jika hal tersebut terjadi, baik kita yang terlebih dahulu dipanggil Sang Pencipta akan
sangat membantu pasangan atau ahli waris dalam menghitung pembagian waris. Begitu
juga sebaliknya jika yang terlebih dahulu menghadap Sang Pecipta adalah pasangan kita.
Pembagian waris terhadap harta bawaan salah satu pasangan yang meninggal bisa
langsung dibagi menurut ketentuan hukum waris yang berlaku. Sedangkan harta bersama
atau harta gono-gini sebelum dilakukan pembagian waris terlebih dahulu dibagi menjadi
dua yaitu bagian pasangan yang masih hidup dan bagian pasangan yang meninggal. Harta
yang kemudian menjadi dasar perhitungan pembagian waris adalah bagian pasangan yang
meninggal.
2) Meminimalkan perceraian atau meminimalkan terjadinya konflik saat perceraian
Sudah sangat sering kita mendengar konflik perebutan harta baik selama perkawinan
yang bisa menjadi pemicu perceraian maupun setelah perceraian. Menurut Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 37 Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Artinya harta yang
akan dibagi dan diatur menurut undang-undang adalah harta yang merupakan harta
bersama atau harta gono-gini. Sedangkan harta bawaan tidak akan tetap menjadi milik
masing-masing pasangan. Biasanya ketidakjelasan mana yang merupakan harta bersama
dan harta bawaan sejak dari awal inilah yang bisa memperumit pembagian harta gono-
gini setelah perceraian.

- Kedudukan Anak
1) Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah (Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
3) Anak yang lahir di luar perkawinan hanya menjadi ahli waris ibunya dan keluarga
ibunya, tetapi tidak menjadi ahli ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya.
4) Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya, bila ia dapat
membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu akibat perzinaan tersebut.
5) Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010:
6) Anak luar kawin masih tetap dapat dikaitkan memiliki hubungan perdata dengan
ayahnya, sepanjang hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
hukum.

- Perwalian
Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 50 disebutkan : Anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai
pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Syarat-syarat Perwalian:
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa
syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah:
1) Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
2) Anak-anak yang belum kawin.
3) Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
4) Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
5) Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :
1) Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua
sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.
2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Kewajiban Wali
Menurut pasal 51 Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan:
1) Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada
waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak
tersebut .
3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya
serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini,
yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan
perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.
Berakhirnya Perwalian
Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya , dalam hal-
hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini, yaitu dalam hal :
1) Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.
2) Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
3) Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai (pasal 53
(2) UU No.1 tahun 1974).
Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal 54
UU No.1 tahun 1974 menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak
yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan
keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
KULIAH MINGGU KE – 6
HUKUM KELUARGA
SUB POKOK BAHASAN
A. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan :
- Kematian
- Perceraian
- Putusan pengadilan
Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38 sampai dengan Pasal
41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36. Menurut Pasal 38 Undang-
Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
- Kematian.
- Perceraian, dan
- Atas Keputusan Pengadilan.

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian


Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.
Kematian ini tentu mengakibatkan akibat hukum. Kematian dalam hal perkawinan merupakan
suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum
dalam perkawinan.
Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya
kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta
benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan
dengan cara diwariskan.
Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli
waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama islam,
banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam
budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga
banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima waris.
Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya
tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan
kemudian hari akan menimbulkan sengketa di antara ahli waris.
Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih, setelah harta yang
ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah, hutang-
hutang dan penunaian wasiat.
Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai
kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi, yang dipergunakan untuk
membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan bersifat lebih umum
sedangkan harta warisan lebih khusus karena harta warisan juga dapat disebut dengan harta
benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah,
hutang-hutang dan penunaian wasiat.
Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah di saat kematian
muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan dengan bayi yang masih berada
dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak mempunyai halangan
sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang penghalang kewarisan yang telah
ditentukan..

2. Putusnya Perkawinan karena Perceraian


Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan,
sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang
dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya
perceraian.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan batasan
mengenai istilah perceraian. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang
Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri
itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal
yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu:
 Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
 Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-turut.tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
 Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat selama perkawinan berlangsung;
 Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
 Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak lain;
 Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai
bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera kepala.
Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan perceraian yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan
oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk
memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan
bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak
pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat
hukum putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian :
 Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
 Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban
tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
 Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Pasal di atas memberikan pengertian bahwa :
 Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak , Pengadilan memberikan keputusan.
 Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya
tersebut;
 Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.
Kemudian dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu:
 zinah,
 meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
 penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang
lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.
 melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri atau
suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau
dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.
Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian. Mengenai Talak telah diatur
dalam Pasal 117-122 KHI yang menentukan talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Cerai talak diajukan
oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap
istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh suami yang telah, riddah (keluar dari agama Islam),
produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi
talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama
memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah
istri, mut'ah, nafkah iddah dan harta bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan
cerai gugat. Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat
mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama. Dalam perkara cerai
gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang
mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur
dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan istri atas dasar alasan suami zina,
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan
pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan Pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina.
Akhirnya Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
pengadilan. Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, maka harta diatur menurut
hukumnya masing-masing. Penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud
dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
positif yang lain.

3. Putusnya Perkawinan karena Putusan Pengadilan


Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi, karena adanya seseorang
yang meninggalkan tempat kediamana bersama, sehingga perlu diambil langkah-langkah
terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan keluarga yang ditinggalkan. Perceraian
membawa akibat yang luas bagi perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan
maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya
permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju
dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini
pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan
dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam
Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama.
Putusnya Perkawinan atas Putusan Pengadilan dapat terjadi apabila dilakukan di depan
Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri
yang menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama
Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh
suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi
segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum perceraian itu.
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah
pihak. Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan
Pengadilan Agama (Undang-undang N0. & tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sedangkan
bagi pemeluk agama non Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan
Negeri.
Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun
kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur-tangan dari Pemerintah,
namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga
demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan.
Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada
dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan namun karena ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah
pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.
Akibat perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Ketika suatu saat ada perselisihan
mengenai hak penguasaan atas anak, maka Pengadilan akan memberikan keputusannya. Dan
harus diterima oleh para pihak. Dalam hal ini kekuasaan orang tua menurut Undang-undang No.
1 tahun 1974 bersifat tungga. Artinya, walaupun telah terjadi perceraian, kekuasaan orang tua
atas anak yang masih di bawah umur tetap berjalan, tidak berubah menjadi perwalian seperti
pengaturan dalam KUH Perdata (pasal 298, 299).
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat
mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat:
• Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami,
• Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak,
• Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang
menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 24 PP No. 9
tahun 1975)
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat menentukan bawhwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya (pasal 41)
Perwalian tidak timbul setelah terjadinya perceraian, pewalian menurut Undang-undang
Perkawinan ialah bagi anak yang belum mencapai usia genap 18 tahun atau belum
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Mereka yang di
bawah kekuasaan orang tua adalah anak sah yang belum genap berumur 18 tahun.

B. Akibat Putusnya Perkawinan


Akibat putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak,maka seluruh harta
peninggalan diwarisi oleh suami atau istri yang masih hidup beserta keturunannya,apabila ada
anak yang belum dewasa,maka anak berada dalam perwalian. Akibat-akibat hukum putusnya
perkawinan karena perceraian yaitu:
 Ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya.
 Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan anak-anak, pengadilan
juga dapat menentukan lain.
 Pengadilan dapat mewajibkan biaya pada bekas suami untuk memberikan penghidupan
dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi istrinya (Pasal 41 UU nomor 1 tahun 1974).

C. Perkawinan Campuran
Menurut Undang-undang perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Perkawinan Campuran adalah Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan
Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan
anda lakukan adalah perkawinan campuran.
Prosedur perkawinan campuran
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang
Perkawinan dan harus memenuhi syarat- syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada
persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21
tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk
memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda
dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan
bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan.
Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat
meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak
beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan). Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti
Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum
dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi
(pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).
Surat-surat yang harus dipersiapkan :
Untuk calon suami
Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara
asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan Surat Keterangan yang
menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
 Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
 Fotokopi Akte Kelahiran
 Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin, atau
 Akte Cerai bila sudah pernah kawin, atau
 Akte Kematian istri bila istri meninggal
 Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah
yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut
yang ada di Indonesia.
Untuk calon istri harus melengkapi diri anda dengan :
 Fotokopi KTP
 Fotokopi Akte Kelahiran
 Data orang tua calon mempelai serta Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan
bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan

Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)


Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan
(kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan
dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai
Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Legalisir Kutipan Akta PerkawinaN
Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di
Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan
negara asal suami. Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima
secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di
Indonesia
Konsekuensi Hukum
Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang
WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU
Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria
WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini
sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan
berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus
menentukan pilihannya.
Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran 2 Kewarganegaraan
Anak Sebagai Subjek Hukum
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia
dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan
dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam
keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban
dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas
hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang
digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang
dibawah pengampuan.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh
orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan
campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda
sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan
yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji
karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi
hukum.

Pengaturan Mengenai Anak Dalam Perkawinan Campuran


Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan
antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan
pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum
dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar
nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara
common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law
berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum
personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah
keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan
kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem
kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti
misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya
pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak
dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka
(ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip
dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik
yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu
terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan
membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut
masih dibawah umur.
Menurut UU Kewarganegaraan Baru
 Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran. Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: Asas ius
sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. Asas ius soli (law of
the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Asas kewarganegaraan tunggal
adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Asas
kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda
bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
 Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)
ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan
kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai
hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu
(apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara
otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
 Kewarganegaraan Ganda Anak Hasil Perkawinan Campuran. Berdasarkan UU ini anak
yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang
lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai
warga negara Indonesia.
 Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau
sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut
harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah
kawin.
 Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-
anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian
kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak.
Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki
potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas
nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila
ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada
masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang
lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu
bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara
yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat
materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun
hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti
hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan.
Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas),
berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun
1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut
diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Manfaat Perkawinan Campuran Bagi Anak


Meskipun dalam prakteknya Undang-Undang Kewarganegaraan (UUKW) memiliki
kelemahan, namun dalam prakteknya juga mendatangkan manfaat. Setelah diundangkannya
UUKW “ Seluruh anak hasil kawin campuran baik yang sah maupun yang tidak, kini bisa
menjadi WNI, tidak terkecuali bagi anak hasil kawin campuran yang ibunya berasal dari luar
negeri”.
Anak yang dimaksud dalam pasal 41 UUKW tersebut mengacu dalam status anak pasal 4
UUKW, yang ukurannya, Pertama, anak yang lahir karena perkawinan yang sah. Kedua, anak
yang lahir dari perkawinan yang tidak sah. “Dan ketiga adalah anak yang lahir dalam wilayah
teritori Republik Indonesia. Status warga negara dari perkawinan campuran, merupakan hal yang
paling revolusioner pada UUKW baru itu. “Dulu, bila sang ayah WNA, maka kewarganegaraan
mengikuti ayahnya, “ Kini anak tersebut bisa menjadi WNI atau memilih mengikuti
kewarganegaraan ayahnya".
Menurut menteri Hukum dan HAM, “sejak diberlakukan Undang-Undang No. 12 Tahun
2006, tercatat 700 anak hasil perkawinan campuran disahkan WNI”. Anak hasil perkawinan
campuran yang telah mendapati Surat Keputusan selanjutnya disebut SK kewarganegaraan
Indonesia, kini bisa memiliki paspor yang diterbitkan di Indonesia. Mereka pun tetap berhak
menggunakan dan memiliki paspor luar negeri yang diterbitkan oleh negara asal orang tua
mereka.
Dengan diperolehnya SK WNI, maka anak hasil perkawinan campur tidak perlu lagi
mengurus visa, Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) maupun Kartu Izin Tinggal Menetap
(KITAP), danbila hendak bepergian ke luar negeri, paspor mereka sudah bisa didapat di Kantor
Imigrasi setempat, akan tetapi jika pergi menggunakan passpor RI, maka pulang juga harus
menunjukkkan paspor RI.
Dalam UUKW yang baru tidak dijelaskan mengenai sanksi keterlambatan Pendaftaran
WNI ke Departemen Hukum dan HAM, setelah melewati batas 3 tahun dari usia 18 tahun,
seharusnya pemberian sanksi lebih baik ada. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan
perlindungan hukum. Bilamana anak mendapat harta warisan, hibah, maupun wasiat dari kedua
orang tuanya, hanya WNI yang mempunyai hak milik (UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria pasal 21). WNI yang menjadi WNA wajib melepaskan hak milik
dalam jangka waktu satu tahun, jika lewat waktu maka akan dihapus haknya karena hukum dan
tanahnya jatuh ke negara.
Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tidak menyebutkan hak
dan kewajiban hukum anak, tetapi secara tersirat anak-anak di bawah umur dari hasil perkawinan
campuran yang dilahirkan di Indonesia, berhak memiliki kewarganegaraan Republik Indonesia.
Untuk menjamin kepastian perlindungan hukum anak. Penerapan Undang-undang No. 12 Tahun
2006 dilakukan kepada anak-anak dari hasil perkawinan campuran dan orang-orang yang
kehilangan kewarganegaraan. Penereapan prosedur pndaftaran kewarganegaraan anak yang lahir
dari perkawinan campuran telah dilaksanakan di Departemen Hukum dan HAM, tanpa ada
campur tangan Notaris atau akta lainnya. Masalah-masalah yang dihadapi anak hasil perkawinan
campuran adalah memiliki status kewarganegaraan ganda. Karena hal ini membuat anak akan
memiliki duapaspor sekaligus, yaitu WNI dan WNA. Namun, manfaat Undang-Undang No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, anak hasil dari perkawinan campuran dapat memperoleh
SK WNI, sehingga tidak perlu lagi mengurus Kartu Izin Tinggal Menetap (KITAP).

D. Perkawinan di Luar Negeri


A.Pengertian Perkawinan Diluar Negeri
Perkawinan yang dilakukan diluar negeri menurut pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, perkawinan diluar negeri adalah perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia
antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga
Negara asing. Menurut Prof. Waryono Darmabarata “Perkawinan selain harus memperhatikan
hukum negara, seperti yang tersimpul dalam pasal 2 ayat (2) UU perkawinan dan penjelasannya,
juga harus memperhatikan agama dan kepercayaan suami isteri.Dengan demikian perkawinan
adalah sah jika dilakukanmenurut hukum Negara dan kepercayaan mereka itu.”
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, menentukan :
 Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara 2 orang warga negara Indonesia
atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan
dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini.
 Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat
tinggal mereka.
Ketentuan ini sama bunyinya dengan Pasal 83 dan 84 KUHPerdata. Dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 24/2013 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23/2006 Tentang
Administrasi kependudukan jangka waktu ini disingkat menjadi tiga puluh hari (Pasal 37 ayat
(4))
Prof. Wahyono Darmabarata , SH, MH. Dalam bukunya Hukum Perkawinan Menurut KUH
Perdata buku kesatu, mengatakan bahwa :
perkawinan dapat dilangsungkan secara sah diluar negeri baik perkawinan antara warga Negara
maupun perkawinan antar warga Negara dengan orang bukan warga Negara, jika terpenuhi
syarat-syaratsebagai berikut:
 Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara yang berlaku dimana perkawinan itu
dilangsungkan.
 Calon suami-istri warganegara Indonesia tidak melanggar syarat-syarat perkawinan yang
tercantum dalam Bagian I Bab IV Buku I Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
Syarat Melegalkan Perkawinan Diluar Negara Indonesia Menurut
Undang-Undang Perkawinan
Dalam pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan disebutkan:
“Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau
seorang warganegara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku dinegara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
Prinsip pokok yang terkandung dalam pasal 56 tersebut cukup jelas, yaitu suatu
perkawinan warga Negara Indonesia yang dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara
tempat perkawinan itu dilangsungkanbaru dianggap sah apabila pelaksanaan perkawinan
dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam, perkawinan harus memenuhi ketentuan
hukum syara’, artinya selain memenuhi persyaratan Undang-Undang juga harus memenuhi
persyaratan ketentuan agama islam. Dalam hal ini, status Perwakilan RI sebagai wilayah
ekstrateritorial RI disuatu Negara mengandung pengertian bahwa hukum RI, yang urusan
administrasinya diselesaikan oleh bidang konsuler. Pemerintah Indonesia dalam hal ini
Perwakilan RI diluar negeri diharuskan mengadakan pengawasan, pendaftaran, dan pencatatan
terhadap perkawinan warga Negara Indonesia menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan ketentuan agama islam bagi yang beragama islam. Untuk itu disusunlah petunjuk
pelaksanaan perkawinan Indonesia diluar negeri.
Zulfa Djoko Basuki menyatakan bahwa :
“Untuk sahnya perkawinan diperlukan 2 (dua) syarat, yaitu syarat formal dan syarat
materill.Syarat formal diatur dalam pasal 18 AB yakni tunduk pada hukum dimana perkawinan
tersebut dilangsungkan (lec loci selebration).Jika di Negara dimana perkawinan dilanggsungkan
secara sipil, maka perkawinan dilakukan secara sipil. Untuk syarat materill misalnya mengenai
persetujuan kedua mempelai, ijin orang tua, batas usia kawin untuk pria 19 (Sembilan belas)
tahun dan 16 (enam belas) tahun, berlaku hukum nasional yakni hukum perdata (dalam hal ini
Indonesia )”.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang
dilaksanakan di luar negeri tetap harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Undang-Undang
Perkawinan.
Sudargo Gautama menyatakan bahwa :
“Hukum mengenai perkawinan termasuk bidang status personal. Sehingga warga negara
Indonesia ataupun warga Negara asing yang ingin melangsungkan pernikahan wajib memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum nasionalnya.”
Jadi, keabsahan perkawinan yang dilakukan diluar Indonesia adalah dicatatkan pada
Catatan Sipil dinegara setempat, dilaporkan pada pejabat konsulert dan Instansi Pelaksana di
Indonesia dalam waktu 30 hari setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia .
Pengesahan perkawinan ( itsbat nikah) bagi warga Negara Indonesia yang berdomisili
diluar Indonesia. Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan
menurut syariat Agama Islam, akan tetapi tidak dicatatkan pada pejabat konsuler dan instansi
pelaksana di Indonesia , sehingga pasangan tersebut tidak memiliki dokumen atau akta
pernikahan yang berimplikasi tidak diakuinya pernikahan tersebut menurut hukum positif
diIndonesia.
Melihat keadaan tersebut, Kementrian Luar Negeri meminta kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia agar dapat membantu warga Negara Indonesia yang berada diluar negeri,
agar warga Negara Indonesia yang berada diluar Indonesia agar dapat dicatatkan secara otentik
perkawinanya yang tidak tercatat sebelumnya, sehinga dapat memperoleh bukti otentik dari
perkawinannya.

Anda mungkin juga menyukai