Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KULIAH MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

“Resurgensi Hama”

Oleh :
Rizky Septiyawati (175040200111018)
Rochmawati Noermawaadah (175040200111046)
M. Musthofa Al Akhyar (175040200111065)
Puspa Agatha Diah Santika (175040200111073)

FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
1. Definisi Resurgensi
Resurgensi hama adalah peristiwa peningkatan populasi hama sasaran lebih
tinggi daripada tingkat populasi tertentu. Penyebabnya dapat berupa butiran
semprot tidak mengenai sasaran, terbunuhnya musuh alami, kurangnya pengaruh
residu pestisida untuk membunuh nimfa atau larva yang menetas setelah
penyemprotan bahkan justru bisa menimbulkan resistensi hama terhadap pestisida
tersebut(Rukmana dan Satria, 1997).

2. Mekanisme Terjadinya Resurgensi


Menurut Chelliah dan Heinrich (1984) dalam Winarto (2016) mekanisme
terjadinya resurgensi serangga hama dapat melalui satu atau kombinasi beberapa
faktor seperti meningkatnya keperidian (kemampuan berkembang biak), matinya
musuh alami, atau perubahan kandungan nutrisi tanaman ke arah yang lebih
disenangi oleh hama, sehingga meningkatkan kebugaran serangga. Contoh lain
penyebab terjadinya resurgensi pada hama tertentu yang disebabkan penggunaan
pestisida yang kurang bijaksana. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana dapat
membunuh musuh alami dan dapat menyebabkan resistensi pada hama sehingga
akan menjadi penyebab resurgensi. Di Indonesia, dampak meledaknya populasi
WBC di era awal tahun 1980-an mendorong diterbitkannya Intruksi Presiden No. 3
tahun 1986 yang salah satu diantaranya melarang penggunaan 57 jenis insektisida
untuk digunakan pada tanaman padi. Pestisida tersebut terbukti menyebabkan
terjadinya resistensi dan resurgensi baik di Indonesia maupun negara penghasil padi
lainnya.
3. Pencegahan Resurgensi Hama
Resurgensi hama dapat disebabkan oleh beberapa hal. Resurgensi dapat
disebabkan karena terbunuhnya musuh alami, peningkatan laju reproduksi dan
konsumsi makanan dari suatu hama, pengurangan lama stadium nimfa dan
perpanjangan lama stadium imago. Hal ini akibat adanya faktor jenis insektisida
yang tidak tepat, dosis subletal insektisida, waktu aplikasi insektisida yang lebih
awal pada tanaman, varietas tanaman yang rentan, dan frekuensi insektisida yang
lebih sering. Adanya resurgensi, dapat dicegah dengan adanya penggunaan
pestisida yang bijak, sehingga tidak berpengaruh negatif ke lingkungannya. Salah
satunya yaitu dengan penerapan pengendalian OPT berbasis ramah lingkungan.
Menurut Hasyim, dkk (2015), teknologi pengendalian hama yang ramah
lingkungan meliputi:
a. Pengelolaan Ekosistem dengan Cara Bercocok Tanam
Sistem maupun pola tanam sangat berpengaruh terhadap resiko serangan
hama. Ekosistem yang beranekaragam akan menjadikan tanaman lebih tahan, hal
ini dikarenakan ekosistem lebih seimbang. Adanya penanaman seperti refugia juga
akan menyeimbangkan ekosistem pertanian yang ada. Penanaman dengan pola
tumpangsari juga akan menekan perkembangan hama, karena musuh alami bisa
berkembang biak dengan baik. Pergiliran rotasi tanam akan memutus daur hidup
OPT sehingga populasinya akan ditekan dengan cara mencegah ketersediaan
makanan serta tempat hidup dan berkembang biak.
b. Perakitan Varietas Unggul
Semakin berkembangnya dinamik iklim maupun serangan hama. Maka perlu
diadakan tanaman yang lebih adaptif terhadap lingkungannya. Tanaman yang tahan
dari sifat genetiknya akan mengurangi penggunaan pestisida.
c. Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Domestik
Pemanfaatan sumber daya hayati domestik merupakan upaya
memaksimalkan peran musuh alami domestik. Hal ini dapat dilakukan dengan
menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh dan berkembangnya musuh
alami.
d. Pemanfaatan Biopestisida
Lebih dari 2.300 jenis tumbuhan diketahui dapat digunakan sebagai pestisida
nabati dan tidak kurang dari 100 jenis tumbuhan mengandung bahan aktif
insektisida. Tanaman yang dapat digunakan sebagai biopestisida seperti, serai
wangi, babadotan, nimba, legundi, dan berenuk.

4. Contoh Kasus Resurgensi Hama


a. Wereng Coklat Pada Tanaman Padi
Wereng cokelat (Nilaparvata lugens) merupakan hama utama tanaman padi
yang memiliki sifat berkembang biak dengan cepat, cepat menemukan habitat,
menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna lagi,
mudah beradaptasi dengan habitat baru membentuk populasi baru, dan mudah
mematahkan kemanjuran insektisida, sehingga menjadi resisten terhadap
insektisida. Resisten diartikan sebagai perubahan sensitivitas yang diwariskan
dalam populasi hama yang tercermin dalam kegagalan insektisida dalam
mengendalikan hama sesuai dengan dosis rekomendasi. Resurgensi wereng coklat
diartikan sebagai proses peningkatan populasi setelah aplikasi insektisida dengan
laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari yang tidak diaplikasikan dengan
insektisida. Resurgensi dapat terjadi karena perubahan fisiologis tanaman sehingga
lebih disukai serangga atau adanya rangsangan insektisida terhadap wereng untuk
bertelur, makan, dan bereproduksi.
Resistensi insektisida dapat terjadi, terutama karena penggunaannya yang
berlebihan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baehaki () yang dilakukan
di Desa Sukamandi dan Juwiring, mendapatkan hasil yang berbeda satu sama lain.
Wereng coklat pada Desa Sukamandi agak resisten terhadap insektisida
imidakloprid dan sipermethrin, disusul dengan resistensi rendah terhadap
insektisida pubrofezin, tetapi kerentanannya menurun terhadap insektisida fipronil,
tiametoksam, dan sihalothrin sedangkan terhadap etiprol, BPMC dan MIPC masih
rentan. Wereng coklat pada Desa Juwiring menunjukkan tingkat resistensi rendah
terhadap insektisida imidakloprid, buprofezin, sipermethrin, dan sihalothrin,
kerentanan menurun terhadap insektisida BPMC, etiprol, dan fipronil sedangkan
terhadap tiametoksam dan MIPC masih rendah. Berdasarkan hal tersebut
pencegahan yang dapat dilakukan terhadap kasus resistensi terhadap wereng coklat
ini, yaitu dengan menggunakan insektisida untuk pengendalian sesuai dengan nilai
resistensi, karena beberapa rekomendasi dosis insektisida sudah tidak ampuh
sehingga menyebabkan terjadinya pemborosan dan perusakan lingkungan.
b. Resurgensi Beberapa Hama Setelah Aplikasi Insektisida
Kasus resurgensi dapat terjadi karena disebabkan oleh terbunuhnya musuh
alami, peningkatan laju reproduksi dan konsumsi makanan suatu hama,
pengurangan lama stadium nimfa dan perpanjangan lama stadium imago. Salah satu
faktor yang dapat menimbulkan resurgensi hama yaitu jenis insektisida yang
diaplikasikan, dosis subletal insektisida, waktu aplikasi insektisida yang lebih awal,
dan varietas tanaman yang rentan. Penggunaan dosis subletal insektisida di satu sisi
dapat berpengaruh langsung terhadap peningkatan reproduksi serangga, tetapi di
sisi lain juga meningkatkan pertumbuhan dan kandungan nutrisi tanaman sebagai
pakan serangga hama.
Efek stimulasi secara kausal terkait perubahan daalam biokimia nutrisi
tanaman yang disebabkan oleh insektisida. Jumlah telur Tetranychus urticea selama
4 hari pertama pada tanaman kapas yang diperlakukan dengan metilparation lebih
besar daripada jumlah telur pada tanaman yang tidak diberi perlakuan. Salah satu
produk degradasi metilparation adalah asam fosfor yang berguna bagi pertumbuhan
tanaman. Interaksi tanaman dengan senyawa kimia dapat meningkatkan kesesuaian
nutrisi tanaman inang bagi hama. Sebagai contoh aplikasi bisultap dapat
meningkatkan kepekaan tanaman padi terhadap Nilaparvata lugens. Peningkatan
juga terjadi pada Aphis gossypii pada tanaman kapas setelah diaplikasikan
insektisida piretroid terkait dengan peningkatan total gula dan penurunan
kandungan fenol dalam daun kapas. Aplikasi insektisida pada tanaman juga dapat
meningkatkan konsentrasi hormon tertentu. Terdapat beberapa contoh kasus,
seperti peningkatan hormon molting pada larva instar empat Chilo suppressalis
yang diberikan tanaman padi yang telah disemprot imidakloprid sebagai
makanannya. Peningkatan hormon juga terjadi pada imago betina Tryporyza
incertulas hasil dari larva yang telah dipaparkan imidakloprid. Resurgensi juga
terjadi pada Phyllocoptruta oleivora akibat perlakuan metidation, diduga akibat
stimulasi keperidian oleh residu metidation. Reduksi lama stadium nimfa yang
menyebabkan siklus hidup pendek dan meningkatnya lama stadium imago yang
menyebabkan periode oviposisi lebih lama merupakan faktor yang membantu
resurgensi.
DAFTAR PUSTAKA
Baehaki, Iswanto. E.H., dan Munawar, D. 2016. Resistensi Wereng Coklat
Terhadap Insektisida yang Beredar di Sentra Produksi Padi. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 35 No.2

Hasyim, A., Setiawati, W., Lukman, L. 2015. Inovasi Teknologi Pengendalian OPT
Ramah Lingkungan pada Cabai: Upaya Alternatif Menuju Ekosistem
Harmonis. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 1: (8)

Ratna, Y., Trisyono, Y.A., Untung. K., dan Indradewa, D. 2009. Resurjensi
Serangga Hama Karena Perubahan Fisiologi Tanaman Dan Serangga Sasaran
Setelah Aplikasi Insektisida. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, vol.
15 No. 2.

Rukmana, R., dan S. Saputra. 1997. Hama Tanaman dan Teknik Pengendalian.
Kanisius, Yogyakarta

Winarto, Y.T. 2016. Krisis Pangan dan “Sesat Pikir” : Mengapa Masih Berlanjut?.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai