Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

FARMASI FORENSIK

Oleh :

Ngakan Gede Sunuarta

B.1.A/162200012

JURUSAN FARMASI

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Praktek praktek pengobatan dicatat dimulai di daratan Mesopotamia sekitar


2600 sebelum masehi. Naskah pengobatan ditulis diatas cetakan tanah liat, dalam
catatan tercantum simtom penyakit, resep dari campuran obat yang digunakan,
dan juga doa doa yang digunakan dalam penyembuhan. Di daratan Mesir, praktek
pengobatan telah dimulai sejak sekitar 2900 tahun sebelum masehi (SM). Dalam
mitologi mesir kuno dikenal dewa matahari (Iris/Ra/Holy Eye) dipercara sebagai
dewa pengobatan. Dalam praktek pengembuhan dewa matahari disimbulkan
dengan R/. Simbul ini saat ini digunakan oleh dokter sebagai simbul resep dalam
menuliskan resep obat yang ditujukan kepada apoteker (Wirasuta, 2014).

Naskah pengobatan dikenal dengan ”Papyrus Ebers” (1500 SM.) didalamnya


tercatat sekitar 800 resep dan tertulis dalam 700 jenis obat. Praktek pengobatan di
jaman ini dilakukan oleh dua atau lebih kelompok, yaitu sekelompok yang
mengiapkan obatobatan dan pimpinan produsen obat atau ketua farmasis.
Penyiapan obat dilakukan dilingkungan rumah tangga, resep dibacakan oleh ketua
ahli obat. Pimpinan juga bertindak sebagai penentu senyawa aktif yang digunakan
dalam campuran resep (Wirasuta, 2014).

Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat
dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam sejarahnya,
pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dibentuk untuk menghasilkan apoteker.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1990 tetang masa bakti dan ijin
kerja apoteker menyatakan, yang dimaksudkan dengan apoteker adalah sarjana,
farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker. Seorang apoteker guna dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian
memerlukan surat ijin kerja dari pemerintah.
Apoteker yang baru lulus oleh pemerintah diberikan Surat Penugasan, yang
diberikan kewenangan kepada apoteker yang besangkutan untuk menjalankan
pekerjaan kefarmasian dan memberi tanggungjawab dalam upaya pengendalian
dan pengawasan perbekalan farmasi. Profesi apoteker adalah keahlian yang
menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab apoteker sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan sumpah apoteker (PP no 41 tahun 1990, Pasal 21).
Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dikenal dengan
Pelayanan non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan
pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi sendiri bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri
guna mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman, dan rasional. Oleh sebab
itu peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE serta pelayanaan obat kepada
masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka pengobatan sendiri. Obat untuk
swamedikasi meliputi obat-obatan yang dapat digunakan tanpa resep yang
meliputi obat OWA, obat bebas, dan obat bebas terbatas (Wirasuta, 2014).

1.2 Tujuan
Mengetahui peraturan kesehatan yang bertentangan dengan kebijakan aturan
kefarmasian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek, Apoteker dan Pekerjaan kefarmasian


Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat
dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam sejarahnya,
pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dibentuk untuk menghasilkan apoteker.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1990 tetang masa bakti dan ijin
kerja apoteker menyatakan, yang dimaksudkan dengan apoteker adalah sarjana,
farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker. Seorang apoteker guna dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian
memerlukan surat ijin kerja dari pemerintah.
Apoteker yang baru lulus oleh pemerintah diberikan Surat Penugasan,
yang diberikan kewenangan kepada apoteker yang besangkutan untuk
menjalankan pekerjaan kefarmasian dan memberi tanggungjawab dalam upaya
pengendalian dan pengawasan perbekalan farmasi. Profesi apoteker adalah
keahlian yang menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab apoteker sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan sumpah apoteker (PP no 41 tahun 1990, Pasal
21).
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan, pengolahan, peracikan,
pengubahan bentuk,pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan
obat (UU no 7 tahun 1963 tentang Farmasi). Perluasan aspek tentang pekerjaan
kefarmasian dimuat dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, yaitu
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
2.1.1 Perkembangan bidang kefarmasian
Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat
dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Berdasarkan penjelasan
tetang pekerjaan kefarmasian dalam UU No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi,
menggambarkan bahwa pekerjaan kefarmasian lebih menekankan pada seni
meracik obat “ars preparandi”. Perkembangan aspek pekerjaan kefarmasian
dijelaskan dalam UU No 23 tahun 1992, yaitu disamping aspek ars preparandi
diperluas sampai pada aspek penyediaan penyendalian produk farmasi yang
bermutu, pengelolaan distribusi dan penyimpanan perbekalan farmasi yang aman,
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, serta pelayanan akan
informasi obat baik kepada pasien maupun rekan profesi kesehatan lainnya.
Pelayanan kefarmasian saat ini telah semakin berkembang selain
berorientasi kepada produk (product oriented) juga berorientasi kepada pasien
(patient oriented) seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kesehatan dan pergeseran budaya rural menuju urban yang
menyebabkan peningkatan dalam konsumsi obat terutama obat bebas, kosmetik,
kosmeseutikal, health food, nutraseutikal dan obat herbal.

2.1.2 Tren perkembangan pelayanan asuhan kefarmasian (pharmaceutical


care)
Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan
obat sebagai komoditi telah berkembang orientasinya menuju pelayanan yang
mengacu kepada pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian, yaitu pelayanan
yang konferhensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan obat kepada penderita melalui berbagai tahapan pekerjaan meliputi
diagnosis penyakit, pemilihan, penyiapan dan penyerahan obat kepada penderita
yang menunjukkan suatu interaksi antara dokter, farmasis, penderita sendiri dan
khusus di rumah sakit melibatkan perawat. Dalam pelayanan kesehatan yang baik,
informasi obat menjadi sangat penting terutama informasi dari farmasis, baik
untuk dokter, perawat dan penderita (Wirasuta, 2014).
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan prilaku agar dapat melaksanakan
interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain
adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk
mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik.
Apoteker harus menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan
(medication eror) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam
menjalankan pengabdian profesinya dalam asuhan kefarmasian, harus selalu
meningkatkan standardnya, dan apoteker harus mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam menetapakan terapi untuk mendukung
penggunaan obat yang rasional (Wirasuta, 2014).
Orientasi atau falsafah pekerjaan kefarmasian dalam tahun belakangan ini
lebih berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,
pelayanan farmasi (klinik) yang murah sehingga terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat. Tujuan pelayanan kefarmasian, seperti yang tercantum dalam
Kep.Menkes No 1197/Menkes/SK/X/2004, adalah:
a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien
maupun fasilitas yang tersedia.
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi.
c. Melaksanakan KIE (komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
e. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan.
f. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evalusai pelayanan.
g. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metode.
2.2 Swamedikasi
Dalam prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan
melakukan swamedikasi obat keras non OWA. Salah satu yang sering dijual
adalah obat-obatan antibiotik. Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan
antibiotik merupakan obat yang sudah lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi,
meskipun tanpa resep dokter. Padahal dalam kemasan antibiotik itu sendiri sudah
jelas terlihat tanda huruk K dalam lingkaran merah yang menandakkan itu
merupakan obat keras yang tidak boleh diperjualbelikan dengan bebas. Obat
keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat
berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai
tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di
dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik
(tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung
hormon (obat diabetes, obat penenang, dan lain-lain). Obat-obat ini berkhasiat
keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh,
memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan (Wirasuta, 2014).
Hal ini akan menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication
error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan
penggunaannya. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya
berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat
yang digunakan dalam swamedikasi tanpa memperhatikan untung semata.
Dilihat dari segi hukum, pemerintah sudah dengan jelas mebuat berbagai
peraturan dimulai dari Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Pemerintah hingga
Undang-undang untuk mengatur penyerahan obat yang dapat diserahkan tanpa
resep. Peraturan Menteri Kesehatan No: 919/MENKES/PER/X/1993 tentang obat
yang dapat diserahkan tanpa resep. Dalam Peraturan tersebut jelas disebutkan
pada pasal 2, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep diantaranya; tidak
dikontraindikasikan penggunaanya pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun
dan orang tua diatas 65 tahun, pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud
tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit, penggunaanya tidak
memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan, penggunaanya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
indonesia dan obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Untuk memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi, pemerintah
juga menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan
membuat beberapa SK diantaranya: SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990
tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut
digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No.
1. Karena perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan
obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari
daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada
keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Dari peraturan di
atas dengan jelas diterangkan bahwa seorang apoteker hanya bisa menyerahkan
obat keras tanpa resep dokter atau swamedikasi obat keras apabila obat yang
diserahkan merupakan obat keras yang termasuk dalam OWA.
BAB III
PERMASALAHAN DAN OPINI

3.1 Permasalahan UU no 23 tahun 1992


Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan, pengolahan, peracikan,
pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan
obat (UU no 7 tahun 1963 tentang Farmasi). Perluasan aspek tentang pekerjaan
kefarmasian dimuat dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, yaitu
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional. Dalam PP no 51 tahun 2009 dalam pasal 1 ketentuan umum dijelaskan
bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
Dalam ketentuan umum UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan,
menjelaskan bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika. Sedangkan dalam pasal 40 UU no 23 tahun 1992 bagian pengamanan
sediaan farmasi dan alat kesehatan, memasukkan alat kesehatan sebagai bagian
dari sediaan farmasi. Dan dilihat dari PP no 51 tahun 2009 alat kesehatan tidak
termasuk ke dalam sediaan farmasi.
3.1.1 Opini terkait permasalahan UU no 23 tahun 1992
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin,
implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit
serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur
dan memperbaiki fungsi tubuh. Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan
mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan. Sehingga dalamkebijakan
kefarmasian disebutkan alatkesehantan tidak mengandung obat yang digunakan
untukmencegah dan mendiagnosis, maka alkes tidak dimasukan ke golongan obat
seperti pada ketentuan umum UU no 23 tahun 1992, akan tetapi Alkes masuk
dalam pengamanan sediaan Farmasi dan alat kesehatan sehingga dalam
pandangan opini memang seharusnya dipisah sehingga tidak timbul bias. Pada pp
no 51 tahun 2009 pasal 1 ketetuan umum telah dijelaskan bahwa bahwa bahwa
sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Sehingga
dalam hal ini telah dijelaskan secara terperinci sehingga tidak menimbulkan bias.

3.2 Permasalahan PP 51 tahun 2009.

Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan


kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan
obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini
dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep
dokter. Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai
bentuk pelanggaran hukum PP 51 th 2009. Pelanggaran hukum yang dilakukan
tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian,
tetapi juga terhadap Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Pada pp no 35 tahun 2014 dijelaskan bahwa dalam swamedikasi
apoteker hanya dapat menyerahkan obat bebas, bebas terbatas, dan obat OWA

3.2.1 Opini Permasalahan PP 51 tahun 2009.

Praktek swamedikasi obat keras akan bertetangan dengan hukum diatas,


jika tidak dilakukan oleh apoteker di apotek yang dibenarkan oleh peraturan
hukum yang berlaku di Indonesia hanya swamedikasi obat keras yang termasuk
Obat Wajib Apotek.
Lalu kenapa hal ini masih kerap terjadi? Dalam UU kesehatan terbaru
tahun 2009 disebutkan pemrintah berkewajiban membina, mengatur,
mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan
pengedaran sediaan farmasi. Namun apakah semua itu salah pemerintah? Sebagai
masyarakat sudah hendaknya kita lebih cerdas dalam membeli dan menerima
sesuatu. Kita hendaknya mengetahui obat-obatan yang mana yang memang dapat
dibeli dengan bebas di Apotek dan mana yang tidak. Jika memang melanggar
hukum, sudah seharusnya kita melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwenang,
misalnya ke BPOM. Sehingga peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum
sangat diperlukan. Diperlukan landasan hukum yang kuat bagi apoteker dalam
pelayanan praktek swamedikasi, terutama dengan menggunakan obat G.
Sebaiknya apoteker jangan terjebak dengan prescribing dengan ketentuan
swamedikasi, atau OWA. Prescribing atau peresepan adalah kompetensi dokter.
Kita hendak menjungjung tinggi pemisahan pekerjaan kefarmasian dan
kedokteran. Sehingga dalam swamedikasi apoteker sebaiknya menghindari
pemberian obat golongan G non OWA yang tidak memakai resep. Sebaiknya obat
golongan G non Owa harus diberikan dengan resep dokter agar terhindar dari
pelanggaran hukum.
BAB 1V
KESIMPULAN

Dalam permasalahan UU no 23 tahun 2009 dapat disimpulkan bahwa


kebijakan kefarmasian disebutkan alat kesehatan tidak mengandung obat yang
digunakan untukmencegah dan mendiagnosis, maka alkes tidak dimasukan ke
golongan obat seperti pada ketentuan umum UU no 23 tahun 1992, akan tetapi .
Dan dilihat dari PP no 51 tahun 2009 alat kesehatan tidak termasuk ke dalam
sediaan farmasi. Alkes masuk dalam pengamanan sediaan Farmasi dan alat
kesehatan sehingga dalam pandangan opini memang seharusnya dipisah sehingga
tidak timbul bias.
Dalam permasalahan yang terkait PP 51 tahun 2009 pasal 24 C dapat
disimpulkan bahwa Diperlukan landasan hukum yang kuat bagi apoteker dalam
pelayanan praktek swamedikasi, terutama dengan menggunakan obat G.
Sebaiknya apoteker jangan terjebak dengan prescribing dengan ketentuan
swamedikasi, atau OWA. Prescribing atau peresepan adalah kompetensi dokter.
Kita hendak menjungjung tinggi pemisahan pekerjaan kefarmasian dan
kedokteran. Sehingga dalam swamedikasi apoteker sebaiknya menghindari
pemberian obat golongan G non OWA yang tidak memakai resep. Sebaiknya obat
golongan G non Owa harus diberikan dengan resep dokter agar terhindar dari
pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas
pada PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
DAFTAR PUSTAKA

Wirasuta IMAG, 2014, Riview trend perkembangan dunia farmasi dan tempat
pengabdian profesi farmasi, Jurnal OJS UNUD.
Anderson, P. D. (2000), An Introduction to Forensic Pharmacy The Application of
Pharmacy to Other Legal Issues Examples of Forensic Pharmacy.
Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1990 tetang masa bakti dan ijin kerja
apoteker.
Peraturan Pemerintah RI No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian di apotek.
UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
UU No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
Kep Menkes No 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang pelayanan kefarmasian.
Peraturan Menteri Kesehatan No: 919/MENKES/PER/X/1993 tentang obat yang
dapat diserahkan tanpa resep.
SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek.
Keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993 tentang Daftar
OWA 2.
PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan Kefarmasian.
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Lampiran – lampiran
1. Permasalahan UU no 23 tahun 1992
2. Permasalahan PP 51 tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai