Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

(Pengawetan Basah dan Pengawetan Kering Ektoparasit)

NAMA : AYU AN NISAA

NIM : O11116512

KELOMPOK : VI (ENAM)

ASISTEN : ANDI AINUN ASMAL

DEPARTEMEN PARASITOLOGI VETERINER


PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ayu An Nisaa

NIM :O11116512

Kelompok :6

Telah menyelesaikan laporan Parasitologi Veteriner 2(Ektoparasit) dengan judul


praktikum “Pengawetan Basah dan Kering”. Laporan ini telah diperiksa oleh asisten
dan menjadi syarat untuk mengikuti ujian praktikum.

Makassar, 3 Mei 2018

Asisten, Praktikan,

(Andi ainun asmal) (Ayu An Nisaa)


BAB I
TUJUAN PRAKTIKUM

Pada praktikum parasitologi ini dilakukan pengawetan basah dan kering pada
jenis parasit ekto yang bertujuan untuk:
A. Pengawetan Kering:
Mengidentifikasi bentuk dan morfologi (mikroektoparasit).
B. Pengawetan Basah:
Mengidentifikasi bentuk fisik serangga (makroektoparasit) untuk kepentingan
penelitian yang berkaitan.

MATERI DAN METODE

1. Alat dan bahan


1.1 Alat
- Jaring Serangga - Objek glass
- Kantong Plastik - Pin serangga
- Pot Plastik - Cover glass
- Pinset - Kapas
- Kaca Pembesar - Kertas label
- Mikroskop Cahaya - Spatula
- Tabung reaksi - Penangas air
- Cawan petri
1.2 Bahan
- Chloroform - Larutan KOH 10 %
- Cat Kuku - Acid fuschin
- Alkohol 30% - Xylol
- Alkohol 50% - Aquades
- Alkohol 70% - Canada balsam
- Alkohol 95% - Alkohol 96%
2. Cara kerja
2.1 Cara Pengambilan sampel
a. Koleksi Lalat (Ordo Diptera)
Koleksi lalat dilakukan dengan cara menangkap lalat menggunakan jaring
serangga. Sampel lalat yang didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam kantong
plastik, setelah itu sampel lalat tersebut dimatikan dengan cara memasukkan
kapas yang sudah ditetesi dengan chloroform ke dalam plastik.
b. Koleksi Kutu ( Ordo Phtiraptera )
Kutu diambil dengan tangan atau menggunakan pinsetdari predileksinya pada
induk semang kemudian dimasukkan dalam kantong plastik atau pot plastik yang
telah diisi KOH 10%.
c. Koleksi Caplak (Ordo Parasitiformes)
Caplak dikoleksi dengan menggunakan pinset atau dengan tangan dari tempat
predileksi induk semang yaitu pada kulit, setelah sebelumnya caplak diputar
terlebih dahulu. Kemudian sampel yang didapat dimasukkan ke dalam kantong
plastik.

2.2 Cara Pengawetan Serangga


Cara Pengawetan serangga di laboratorium ada dua cara yaitu :
1. Pengawetan Kering
a. Spreading (Mengembangkan sayap serangga)
Serangga yang bersayap sebelum di panning dikembangkan terlebih dahulu,
kaki-kakinya dibentangkan supaya mudah mempelajarinya. Serangga-serangga yang
kecil dapat diletakkan di atas ujung kertas segitiga dan ditempel menggunakan lem.
Kertas segitiga kecil tersebut berukuran panjang 8-10 mm dan lebar 3-4 mm.
pemakaian lem jangan terlalu banyak sehingga tidak menutupi bagian tubuh serangga
yang harus dipelajari. Lem yang dipakai harus cepat kering dan bila sudah kering
cukup keras.
b. Panning (Menusuk serangga dengan pin)
Serangga dipegang diantara ibu jari dan telunjuk tangan yang satu dan
menusuk pin dengan tangan yang lain. Serangga dipanning diantara pangkal sayap
depan tegak lurus menembus metathorax dan metasternum tanpa menusuk pangkal
kaki.
c. Pemberian label
Label berguna memberikan informasi mengenai tanggal dan lokasi specimen
tersebut diperoleh dan tambahan keterangan perlu dituliskan seperti nama kolektor
dan habitat serangga tersebut.
d. Kotak penyimpanan serangga
Dasar kotak harus lunak sehingga pin mudah ditancapkan. Ukuran kotak
tergantung pada serangga yang dikumpulkan. Penyimpanan serangga pada kotak
harus dibubuhi kapur barus untuk mencegah serangga dimakan serangga kecil
lainnya.
2. Pengawetan Basah
Pengawetan ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Slide preparat
Terutama digunakan untuk pengawetan serangga yang cukup kecil dan lunak
serta pigmennya tidak terlalu tebal, misalnya larva nyamuk, nyamuk
dewasa,tungau(mite),caplak ( tick) dan lain-lain . Ada dua cara pembuatan slide
preparat yaitu:
1. Permanen mounting tanpa pewarnaan
Terdiri dari empat tahap yaitu :
- Tahap Clearing
Dilakukan untuk mnipiskan pigmen dari serangga. Ambil serangga yang sudah
dimatikan dan dimasukkan kedalam tabung tahan panas yang berisi KOH 10%
dengan ketinggian sekitar 1/3 tabung selama 1-10 jam tanpa pemanasan atau
panaskan air 30-60 menit sampai terlihat pigmen tipis (tubuh serangga tampak
transparan).
- Tahap Dehidrasi
Apabila pigmen serangga sudah tipis maka serangga di masukkan ke dalam
alkohol dengan konsentrasi berturut-turut meningkat yaitu 30,50%,70%,95%, dan
96% masing-masing tiga sampai lima menit selanjutnya dicelup dalam xylol yang
berfungsi untuk mengeringkan sisa-sisa alkohol selama kurang lebih 1 menit.
- Tahap Mounting
Untuk melekatkan serangga pada slide dengan menggunakan Canada balsam
secukupnya kemudian ditutup dengan cover glass.
- Identifikasi dibawah mikroskop dengan pembesaran 40-100x dan diberi label
2. Permanen Mounting dengan Pewarnaan
Terdiri dari sembilan tahap yaitu:
a. Clearing dengan KOH 10%
b. Dicuci dengan aquadest dua kali
c. Direndam dalam Alkohol 95% selama 10 menit
d. Direndam dalam Acid Fuschin selama 30 menit
e. Direndam dalam Alkohol 95% selama 2 menit
f. Direndam dalam Alkohol 95% + Xylol selama 5 menit
g. Direndam dalam Xylol selama 5 menit
h. Permount
i. Labeling
3. Identifikasi
Identifikasi dilakukan dengan melihat induk semang, morfologi, habitat, prediksi,
dan asal Arthropoda tersebut didapat. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
menggunakan kaca pembesar dan mikroskop.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Parasit
Fenomena parasitisme dalam konsep ekologi menggambarkan hubungan
antara dua organisme, salah satu organisme tersebut merugikan yang lain sehingga
dapat menimbulkan gejala-gejala sakit. Berdasarkan tempat manifestasinya, parasit
dibedakan menjadi ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang
terdapat di permukaan luar tubuh inang misalnya di rambut, kepala atau di sekitar
inangnya). Infestasi ektoparasit dapat menyebabkan dampak yang sangat luas, tidak
hanya berdampak negatif bagi inang tetapi juga dapat menimbulkan masalah pada
lingkungan (Saputra, 2013).
Parasit adalah organisme yang hidup menumpang pada tubuh organisme lain
sehingga menimbulkan efek negatif pada organisme yang ditempati tersebut
(Agitsnissalimah, 2014).
Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya pada bagian luar tubuh atau
permukaan tubuh inangnya (Saputra, 2013).

2. Pengawetan
Pada suatu proses pengawetan vertebrata, tahapan yang akan dilalui antara
lain fiksasi, dehidrasi dan pengeringan. Fiksasi merupakan suatu proses untuk
mematikan, mengeraskan atau mencegah kerusakan organ-organ tubuh akibat dari
proses autolisis dan pembusukan oleh mikroba. Oleh sebab itu cairan yang digunakan
untuk mengawetkan spesimen harus dapat menonaktifkan enzim pelisis dan
mencegah pertumbuhan mikroba pada spesimen yang diawetkan. Dehidrasi
merupakan proses penghilangan air (cairan) dari dalam spesimen. Jika di dalam
spesimen tadi tidak mengandung air, maka organisme pengurai tidak dapat
melakukan aktivitasnya didalam spesimen tadi. Pengeringan ini khusus dilakukan
pada awetan kering (Suprapto, 2014).
Kerugian dari ektoparasit itu sendiri, adalah (Wall& david, 2008):
a) Kekurangan darah: meskipun masing-masing ektoparasit individu hanya
mengeluarkan sejumlah kecil darah dari inang, dalam jumlah besar darah yang
dikeluarkan dengan pemberian makan dapat menjadi debilisasi langsung dan
anemia sering terjadi pada inang yang sangat terinfestasi.
b) Myiasis: infestasi jaringan hidup dengan larva lalat menyebabkan kerusakan
langsung pada karkas atau kulit.
c) Peradangan kulit dan pruritus: berbagai kulit infestasi yang disebabkan oleh
aktivitas arthropoda menyebabkan pruritus (gatal), sering disertai dengan rambut
dan kehilangan wol (alopecia) dan kadang-kadang oleh penebalan kulit
(likenifikasi).
d) Respons beracun dan alergi: disebabkan oleh antigen dan antikoagulan dalam
saliva artropoda pengumpanan darah.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengawetan Kering
1. Kecoa

Kecoa merupakan hama permukiman yang seringkali mengganggu


kenyamanan hidup manusia dengan meninggalkan bau yang tidak sedap,
menyebarkan berbagai patogen penyakit, menimbulkan alergi, serta
mengotoridinding, buku, dan perkakas rumah tangga (Amalia dan Idham, 2010).
Kecoa juga dapat menyebabkan keracunan makanan karena membawa
patogen ditubuhnya seperti Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus, Coliform dan
bakteri patogen lainnya. Kecoa menjadi harbor (tempat hidup) dan transmitter
patogen penyakit karena kecoa dapat makan apa saja, termasuk sisa makanan dibuang
di dapur dan di kotak sampah (Arifah et al., 2016).
Jenis kecoa yang banyak ditemukan di lingkungan permukiman Indonesia
adalah kecoa amerika P. Americana (Amalia dan Idham, 2010).
Kecoa amerika merupakan serangga omnivora, yang mengkonsumsi makanan
asal tumbuhan maupun hewan. Pada dasarnya kecoa sangat membutuhkan nutrisi
untuk pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi (Amalia dan Idham, 2010).

A. Kasifikasi
Menurut Erviana (2014), Klasifikasi kecoa amerika, yaitu:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Blatodae
Famili : Blattidae
Genus : Periplaneta
Species : Periplaneta americana
B. Morfologi
Periplaneta americana atau yang lebih dikenal dengan kecoa amerika
berwarna merah gelap dengan noda kuning pada dorsum dan panjang tubuh kira-kira
4 cm. Kecoa amerika memiliki dua pasang sayap, tiga pasang kaki, sepasang sungut
dan serci (Erviana, 2014).

C. Siklus Hidup
Kecoa adalah serangga dengan metamorfosa tidak lengkap, hanya melalui tiga
stadia (tingkatan perkembangan), yaitu stadium telur, stadium nimfa, dan stadium
dewasa yang dapat dibedakan jenis jantan dan betinanya. Stadium telur kecoa
membutuhkan waktu 30-40 hari untuk menetas. Telur kecoa tidak diletakkan sendiri-
sendiri melainkan secara berkelompok. Kelompok telur ini dilindungi oleh selaput
keras yang disebut kapsul telur atau ootheca. Kapsul telur dihasilkan oleh kecoa
betina dan diletakkan pada tempat tersembunyi atau pada sudut-sudut dan pemukaan
sekatan kayu hingga menetas dalam waktu tertentu yang disebut sebagai masa
inkubasi kapsul telur, tetapi pada spesies kecoa lainnya kapsul telur tetap menempel
pada ujung abdomen hingga menetas. Jumlah telur maupun masa inkubasinya tiap
kapsul telur berbeda menurut spesiesnya. Dari kapsul telur yang telah dibuahi akan
menetas menjadi nimfa yang hidup bebas dan bergerak aktif. Nimfa yang baru keluar
dari kapsul telur berwarna putih seperti butiran beras, kemudian berangsur-angsur
berubah menjadi berwarna coklat dan tidak bersayap. Nimfa tersebut berkembang
melalui beberapa instar (1-6 instar) sebelum mencapai stadium dewasa, lamanya
stadium nimfa berkisar 5-6 bulan. Periplanetta americana dewasa dapat diketahui
dengan adanya dua pasang sayap baik pada kecoa jantan maupun kecoa betina
(Erviana, 2014).

D. Habitat
Habitat kecoa adalah tempat-tempat yang lembab, hangat, dan gelap. Tempat-
tempat tersebut dapat berupa celah-celah disekitar tempat pembuangan di dapur,
tempat pembuangan sampah, gudang, lemari makanan, toilet, dan septic tank. Kecoa
amerika menyukai tempat-tempat yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi
yaitu di dalam bangunan, basement, saluran air, dan pipa-pipa (Erviana, 2014).

E. Kerugian
Kecoa dapat menularkan patogen-patogen yang merugikan kesehatan manusia
seperti salmonella sp yaitu patogen yang menyebabkan penyakit salmonellosis,
Mycobacterium tuberculosis yaitu patogen yang dapat menyebabkan penyakit TBC,
Entamoeba histolytica yaitu patogen yang menyebabkan penyakit disentri, dan
Escherichia coli yaitu patogen yang dapat memyebabkan penyakit gastroenteritis.
Kecoa dapat menimbulkan kerugian secara materi karena kecoa bersifat omnivore
yaitu menyukai berbagai macam makanan jadi kecoa dapat memakan dan merusak
segala hal yang berada disekitar tempat hidupnya (Erviana, 2014).

2. Musca domestica
A. Klasifikasi
Menurut Hastutiek et Fitri, (2007), Kasifikasi Musca domestica, yaitu:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Muscidae
Genus : Musca
Spesiess : Musca domestica

B. Morfologi

M. domestica berukuran sebesar biji kacang tanah, berwarna hitam kekuningan.


M. domestica jantan berukuran panjang tubuh 5,8 - 6,5 mm dan lalat betina berukuran
panjang tubuh 6,5 - 7,5 mm. Lalat ini secara umum mempunyai ciri berwarna kelabu
(Hastutiek et Fitri, 2007).
Tubuh terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kepala dengan sepasang antena,
thoraks dan abdomen. Kepala M. domestica relatif besar dengan dua mata majemuk
yang bertemu di garis tengah untuk lalat jantan, sedang lalat betina dua mata
majemuk terpisahkan oleh ruang muka. Tipe mulut lalat adalah sponging, disesuaikan
dengan jenis makanannya yang berupa cairan. Bagian mulut lalat digunakan sebagai
alat penghisap makanan yang disebut dengan labium. Pada ujung labium terdapat
labella yang menghubungkan antara labium dengan rongga tubuh (haemocoele)
(Hastutiek et Fitri, 2007).
Thoraks terbagi atas tiga bagian yaitu prothoraks, mesothoraks dan metathoraks.
Thoraks berwarna abu-abu kekuningan sampai gelap dan mempunyai empat baris
garis hitam longitudinal dengan lebar yang sama dan membentang sampai ke tepi
skutum, dengan tiga pasang kaki dan sepasang sayap (Hastutiek et Fitri, 2007).
Abdomen ditandai dengan warna dasar kekuningan serta didapatkan garis hitam
di bagian median yang difus sampai di segmen keempat. Pada lalat betina disamping
ciri tersebut juga terdapat garis hitam yang difus di kedua sisi abdomen (Hastutiek et
Fitri, 2007).

C. Siklus hidup
Lalat ini mempunyai metamorfosis lengkap (complete metamorfosis
holometabolous) mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa. Perkembangan dari telur
sampai dewasa memerlukan waktu 7-21 hari. Pada temperatur 25-35ºC telur menetas
dalam kurun waktu 8-12 jam. Telur akan menetas dan berkembang menjadi larva
dalam waktu 3-7 hari tergantung suhu lingkungan (Hastutiek et Fitri, 2007).
Larva instar 1 mempunyai panjang 2 mm, stadia ini berlangsung selama 24-36
jam tergantung temperatur dan tempat yang cocok. Larva instar 2 berlangsung selama
24 jam pada temperatur 25-35ºC, yang kemudian dilanjutkan dengan instar 3 yang
berlangsung selama 3-4 hari pada temperatur 35ºC dengan ukuran 12 mm. Segera
setelah stadia larva selesai, larva bermigrasi ke daerah yang lebih kering untuk
menjadi pupa dan setelah mengalami 3 kali pergantian kulit, larva akan berkembang
menjadi pupa. Stadia pupa berlangsung antara 3-26 hari tergantung temperatur
lingkungan dan akhirnya segera berkembang menjadi lalat dewasa (Hastutiek et Fitri,
2007).

D. Habitat
M. domestica umumnya berkembang dalam jumlah besar pada tempat-tempat
kotor dan sekitar kandang (Hastutiek et Fitri, 2007)..

E. Kerugian
M. domestica merupakan vektor dari berbagai penyakit, seperti (Hastutiek et
Fitri, 2007):
1. M. domestica sebagai vektor pembawa Giardia lamblia
2. M. domestica sebagai vektor pembawa Yersinia pseudotuberculosis.
3. M. domestica sebagai vektor pembawa Campylobacter spp., dan Escherichia
coli.
4. M. domestica sebagai vektor pembawa Cryptosporidium parvum.
5. M. domestica sebagai vektor pembawa H. pylori.

3. Laba-Laba
A. Klasifikasi
Menurut Nurlaela (2017)., klasifikasi Sceliphron, yaitu:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Araneae
Famili : Araneidae
Genus : Araneus
Spesies : Araneus Sp.
B. Morfologi
Laba-laba memiliki 8 kaki sedangkan serangga hanya memiliki 6. Laba-laba
memiliki mata tunggal dengan lensa dan serangga memiliki mata majemuk.
Labalaba tidak memiliki antena dan mempunyai sangga. Laba-laba memiliki
kombinasi kepala dan dada yang disebut cephalothorax, dan perut, dan serangga
memiliki tubuh dengan tiga bagian tubuh, kepala, dada, dan perut (Nurlaela, 2017).
C. Siklus hidup
Setelah fertilisasi (pembuahan), labah-labah betina menghasilkan kantung
telur, yang ukuran dan bentuknya berbeda-beda tergantung spesies. Kantung telur
umumnya terdiri atas kumpulan benang sutera yang membungkus telur. Beberapa
spesies meninggalkan kantung ini di dekat habitatnya atau di dalam galian. Telur
menetas di dalam kantung, dan labah labah muda berganti kulit sekali sebulum
muncul. Labah-labah muda ini disebut spiderling atau nimfa, dan sudah mencari
makanan sendiri. Nimfa ini adalah bentuk miniatur labah-labah dewasa, yang
mempunyai spineret dan kelenjar racun yang sudah berfungsi. Nimfa mengalami
molting 2-12 kali sebagai juvenil, tergantung jenis laba-labah, sebelum mencapai
dewasa kelamin. Labah-labah ini bisa memencar dengan mengembangkan
benangbenang suteranya dan terbawa angin (Mullen et Durden, 2010).

D. Habitat
Laba-laba merupakan kelompok Arthropoda yang mampu beradaptasi di
berbagai habitat namun sangat sensitif terhadap gangguan yang terjadi di
lingkungannya. Laba-laba menyukai habitat yang terlindung dari suhu ekstrim,
kelembaban tinggi, intensitas cahaya rendah, kecepatan angin rendah, dan
menghindari areal perkebunan yang menggunakan pestisida (Nurlaela, 2017).

E. Kerugian
Ketika terancam, laba-laba seringkali melindungi dirinya dengan mengigit,
dengan cara demikian ia mengeluarkan toksin ke kulit vertebrata (Mullen et Durden,
2010).
B. Pengawetan Basah
1. Ctenocephalides felis
A. Klasifikasi (Serbiana, 2012):
Kingdom :Animalia
Phylum :Arthropoda
Class :Insecta
Ordo :Shiponaptera
Family :Pulicidae
Genus :Ctenophalides
Species :C. Felis

B. Morfologi
Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap dengan tubuh berbentuk
pipih bilateral dengan panjang 1,5-4,0 mm, yang jantan biasanya lebih kecil dari yang
betina. Kedua jenis kelamin yang dewasa menghisap darah. Pinjal mempunyai kritin
yang tebal. Tiga segmen thoraks dikenal sebagai pronotum, mesonotum dan
metanotum (metathoraks). Segmen yang terakhir tersebut berkembang, baik untuk
menunjang kaki belakang yang mendorong pinjal tersebut saat meloncat. Di belakang
pronotum pada beberapa jenis terdapat sebaris duri yang kuat berbentuk sisir, yaitu
ktenedium pronotal. Sedangkan tepat diatas alat mulut pada beberapa jenis terdapat
sebaris duri kuat berbentuk sisir lainnya, yaitu ktenedium genal. Duri-duri tersebut
sangat berguna untuk membedakan jenis pinjal (Serbiana, 2012).
Pinjal betina mempunyai sebuah spermateka seperti kantung dekat ujung
posterior abdomen sebagai tempat untuk menyimpan sperma, dan yang jantan
mempunyai alat seperti per melengkung, yaitu aedagus atau penis berkitin di lokasi
yang sama. Kedua jenis kelamin memiliki struktur seperti jarum kasur yang terletak
di sebelah dorsal, yaitu pigidium pada tergit yang kesembilan. Fungsinya tidak
diketahui, tetapi barangkali sebagai alat sensorik. Mulut pinjal bertipe penghisap
dengan tiga silet penusuk (epifaring dan stilet maksila). Pinjal memiliki antena yang
pendek, terdiri atas tiga ruas yang tersembunyi ke dalam lekuk kepala (Serbiana,
2012).

C. Siklus Hidup
Telur berukuran panjang 0,5 mm, oval dan berwarna keputih-putihan.
Perkembangan telur bervariasi tergantung suhu dan kelembaban. Telur menetas
menjaga larva dalam waktu 2 hari atau lebih. Larva yang muncul bentuknya
memanjang, langsing seperti ulat, terdiri atas 3 ruas toraks dan 10 ruas abdomen yang
masing-masing dilengkapi dengan beberapa bulu-bulu yang panjang. Ruas abdomen
terakhir mempunyai dua tonjolan kait yang disebut anal struts, berfungsi untuk
memegang pada substrat atau untuk lokomosi (Serbiana, 2012).
Larva berwarna kuning krem dan sangat aktif, dan menghindari cahaya. Larva
mempunyai mulut untuk menggigit dan mengunyah makanan yang bisa berupa darah
kering, feses dan bahan organic lain yang jumlahnya cukup sedikit. Larva dapat
ditemukan di celah dan retakkan lantai, dibawah karpet dan tempat-tempat serupa
lainnya. Larva ini mengalami tiga kali pergantian kulit sebelum menjadi pupa.
Periode larva berlangsung selama 7-10 hari atau lebih tergantung suhu dan
kelembaban (Serbiana, 2012).
Larva dewasa panjangnya sekitar 6 mm. Larva ini akan menggulung hingga
berukuran sekitar 4x2 mm dan berubah menjadi pupa. Stadium pupa berlangsung
dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang sesuai, tetapi bisa berbulan-bulan pada suhu
yang kurang optimal, dan pada suhu yang rendah bisa menyebabkan pinjal tetap
terbungkus di dalam kokon (Serbiana,2012).

D. Hospes
C.felis merupakan pinjal yang umum pada kucing dan anjing, mereka juga
menggigit hewan lain termasuk sapi dan manusia dan sebagai induk semang cacing
pita anjing Dipylidium caninum dan Filaria anjing Dipetalonema reconditum. Cacing
pita Dipylidium caninum dapat ditularkan ketika kutu dewasa ditelan oleh hewan
peliharaan atau manusia (Serbiana, 2012).
BAB IV
KESIMPULAN

1. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari


permukaan tubuh inangnya. Keberadaan ektoparasit pada tubuh hewan dapat
menyebabkan kerugian.
2. Metode pengawetan terdiri atas dua yaitu pengawetan basah dan pengawetan
kering. Pengawetan kering ditujukan untuk serangga yang mempunyai tubuh yang
besar dan bersayap tipis. Sedangkan pengawetan basah ditujukan untuk serangga
kecil yang harus diperiksa di bawah mikroskop untuk menentukan spesiesnya.
DAFTAR PUSTAKA

Agitsnissalimah. 2014. Caplak Boophilus microplus di Peternakan Sapi Potong di


Jonggol dan Uji Efikasinya Terhadap Malation Dan Deltametrein. [Skripsi].
Bogor: IPB Press

Amalia, Herma dan Idham Sakti Harahap. 2010. Prefensi Kecoa Amerika Periplaneta
Americana (L.) (Blattaria: Blattidae) Terhadap Berbagai Kombinasi Umpan.
Jurnal Entomologi Indonesia. Vol. 7, No.2, Hal. 67:77

Arifah, Farah Ghina., Retno Hestiningsih, dan Rully Rahadian. 2016. Prefensi
Kecoak Amerika Periplaneta Americana (L.) (Blattaria: Blattidae) Terhadap
Baiting Gel. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol.4, No. 4, Hal. 289:298

Erviana, Rika. 2014. Uji Potensi Kulit Buah Duku (Lansium domesticum) Terhadap
Mortalitas Kecoa Amerika (Periplaneta americana) Dewasa. [Skripsi].
Lampung: Universitas Lampung Press

Hastutiek, P. dan L. E. Fitri. 2007. Potensi Musca domestica linn. Sebagai Vektor
Beberapa Penyakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol.23, No. 3, Hal.
125:136

Mullen G. dan L. Durden. 2002. Medical and Veterinary Entomology. San Fransisco:
Academic Press.

Nurlaela. 2017. Keragaman Jenis Laba-Laba (Artropoda : Araneae) Di Kelurahan


Samata Kabupaten Gowa. [skripsi]. Makassar: UIN Alauddin.

Saputra, Joni Prasetya Saputra. 2013. Studi Kasus Infestasi Pinjal Kucing
(Ctenocephalides felis) Pada Manusia di Desa Cangkurawok kabupaten
Bogor. [Skripsi]. Bogor: IPB press

Serbiana, Resi. 2012. Pinjal yang Menyerang Kucing [skripsi]. Universitas Ahmad
Dahlan.Yogyakarta

Suprapto. 2014. Penggunaan Thinner Sebagai Alternatif Pengganti Formalin Untuk


Pengawetan Spesimen Biologi Pada Vertebrata. [Skripsi]. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta Press

Wall,R dan D. Shearer. 2008. Veterinary Ectoparasites: Biology,Pathology And


Control. Paris: Blackwell

Anda mungkin juga menyukai