Anda di halaman 1dari 2

Meneroka Suku Tengger Lebih Dalam

Oleh: Febriyani dan TIM

Para ahli sejarah mengatakan bahwa Suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat
itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi
persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit
yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan
pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung
Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka
yaitu Roro Anteng dan Joko Seger, yaitu Suku Tengger. Suku Tengger sendiri didominasi oleh agama
Hindu. Berikut ini kita akan mengenal lebih dekat dengan kehidupan Suku Tengger:

1. Sistem Kasta

Kasta berasal dari bahasa Spanyol dan bahasa Portugis (casta)


adalah pembagian masyarakat.

Di Bali sendiri kasta ini terbagi menjadi empat macam yaitu


Sudra (petani), Waisya (pedagang dan pegawai pemerintahan),
Satria (bangsawan dan raja), dan Brahmana (pendeta).

Sistem kasta ini tentunya berkaitan juga dengan status sosial


masyarakat, terutama pemberian gelar pada nama. Contohnya,
gelar I Gusti, biasanya diberikan untuk anak laki-laki lahir dari
kalangan pedagang atau kasta Waisya.

Tetapi berbeda dengan Suku Tengger, walaupun sama-sama


beragama Hindu, Suku Tengger tidak memakai sistem kasta. "Siapa pun anak yang lahir, namanya
diberikan sesuai keinginan orang tuanya, karena tidak ada sistem kasta maka tidak pakai gelar apa-apa,
bebas saja," ujar Haryono, Perangkat Desa Tengger (11/4).

2. Upacara Ngaben

Ngaben berasa dari kata Beya yang berarti


bekal. Kaum Hindu di Bali percaya bahwa
ngaben adalah ritual untuk penyucian roh
orang yang telah meninggal. Dengan
Ngaben, roh orang yang telah meninggal
tersebut dapat langsung kembali ke Dewa
Brahma dalam keadaan suci. Ngaben
sendiri membutuhkan dana sekitar 30-40
juta untuk satu jasad. Upacara adat ini
dilakukan dengan membakar jasad orang yang telah meninggal yang sebelumnya dimulai dengan ritual.
Kemudian abu dari jasad tersebut dikumpulkan dalam satu wadah dan dilepaskan ke lautan.
"Kalau di Suku Tengger, Ngabennya berbeda dengan Hindu di Bali, di sini dilakukan dengan cara simbolis
saja, jasadnya dikebumikan," ujar Haryono (11/4). Simbolisasi yang dilakukan yaitu dengan membakar
bunga atau benda yang dijadikan simbol bagi jasad orang yang meninggal.

Selain itu, alasan lain juga diungkapkan mengenai upacara Ngaben di Tengger, "Jasad kembali kepada ibu
Pertiwi dahulu, baru setelah itu kembali ke Dewa Brahma," kata Haryono (11/4).

3. Toleransi Beragama

Suku Tengger didominasi oleh agama Hindu, tetapi bukan berarti tak ada agama lain. Di Suku Tengger
sendiri ada yang beragama Islam, Kristen, Budha, dan lainnya.

Setiap hari raya Nyepi, umat Hindu tidak disarankan melakukan aktivitas apapun di luar rumah. Dengan
kondisi Suku Tengger yang didominasi umat Hindu, maka dapat dibayangkan sunyinya suku ini ketika hari
raya Nyepi tiba. Umat Islam dan lainnya pun turut menghormati, dengan mengurangi aktivitas di luar
rumah.

Berbanding terbalik dengan sehari sebelum Nyepi, dilakukan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan
masyarakat dengan mengambil salah satu macam jenis cari (semacam sesajen). Kemudian mecaru ini
diikuti dengan upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan
seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda
apa saja (biasanya kentongan)
hingga bersuara ramai/gaduh.
Tahapan ini dilakukan untuk
mengusir Buta Kala dari
lingkungan rumah, pekarangan,
dan lingkungan sekitar.

Saat upacara mecaru ini, umat


Hindu Tengger menghormati
umat lainnya dengan tidak
mengajak atau memaksa umat
beragama lainnya untuk mengikuti upacara Mecaru ini meskipun jumlah umat Hindu Tengger dominan.

Mereka benar-benar menghargai kepercayaan umat-umat yang berada dalam suku Tengger, sekalipun
berbeda hal yang dianut. Umat beragama yang tinggal di Suku Tengger ini hidup dengan damai dan
rukun.

Anda mungkin juga menyukai