Anda di halaman 1dari 39

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning-PBL)

Dalam pengertian dan pemahaman problem based learning banyak teori


yang dibicarakan. Berikut ini ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh
para ahli pada pembelajaran IPA adalah:
“Problem-based learning (PBL) is method of learning in which
learners first encounter a problrm followed by a systematic, learned-centered
inquiry and reflection process”(Teacher & Educational Development, 2002:2)
dalam buku Scholaria PGSD hal.116. Artinya problem-based learning (PBL)
adalah suatu metode pembelajaran di mana pembelajar bertemu dengan suatu
masalah yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada pembelajar dan
proses refleksi. (Teacher & Educational Development, 2002:2) dalam buku
Scholaria PGSD hal.116.
Menurut Naniek Sulistya Wardani (2010;27) Model pembelajaran
berbasis masalah dapat menyajikan masalah autentik dan bermakna sehingga
mahasiswa dapat melakukan penyelidikan dan menemukan sendiri. Peranan
dosen dalam model ini adalah mengajukan masalah, memfasilitasi penyelidikan
dan interaksi mahasiswa. Model pembelajaran ini berlandaskan psikologi
kognitif dan pandangan konstruktif mengenai belajar. Model ini juga sesuai
dengan prinsip-prinsip CTL, yakni inkuiri, konstruktivisme, dan menekankan
pada berpikir tingkat lebih tinggi.
Menurut Arends seperti yang dikutip oleh Ibrahim dan M. Nur
menyatakan bahwa: “Pembelajaran berdasarkan masalah adalah merupakan
9

suatu pendekatan sekaligus model pembelajaran di mana siswa diajarkan


pembelajaran yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan
mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih
tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.” Model pembelajaran
berbasis masalah ini juga mengacu pada pada model pembelajaran yang lain
seperti pembelajaran berdasarkan proyek (project based instruction),
pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience based instruction), belajar
autentik (authentic learning) dan pembelajaran bermakna atau pembelajaran
berakar pada kehidupan (anchored instructioni). Model pembelajaran berbasis
masalah ini bukan hanya sekadar metode mengajar tetapi juga merupakan
metode berpikir, sebab dalam pemecahan masalah menggunakan metode-
metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik
kesimpulan.

Menurut Tan (2003) dalam Rusman (2010:229) Pembelajaran Berbasis


masalah merupakan inovasi dalam pembelajaran karena PBM kemampuan
berpikir siswa betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja kelompok atau tim
yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji,
dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan.

Menurut Sugiyanto (2009:157) sebuah situasi masalah yang baik harus


memenuhi lima kriteria penting, yaitu Pertama, situasi mestinya autentik. Hal
ini berarti bahwa masalahnya harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan
bukan prinsip-prinsip disiplin akademis tertentu. Kedua, masalah itu mestinya
tidak jelas/ tidak sederhana sehingga menciptakan misteri atau teka-teki.
Masalah yang tidak jelas tidak dapat diselesaikan dengan jawaban sederhana
dan memiliki solusi-solusi alternatif, dengan kelebihan dan kelemahan masing-
masing. Tentu saja, hal itu memberikan kesempatan untuk berdiskusi, berdialog
dan berdebat. Ketiga, masalah itu seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai

9
10

dengnan tingkat perkembangan intelektual. Keempat, masalah itu mestinya


cakupannya luas sehingga memberikan kesempatan kepada guru untuk
memenuhi tujuan instruksionalnya, tetapi tetap dalam batas-batas yang layak
bagi segi waktu, ruang, dan keterbatasan sumber daya. Kelima, masalah yang
baik harus mendapatkan manfaat dari usaha kelompok, bukan justru
menghalanginya.

Model pembelajaran ini mulai diangkat, sebab ditinjau secara umum


pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi
masalah yang autentik (masalah harus dikaitkan dengan pengalaman riil siswa)
dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk
melakukan penyelidikan dan inkuiri. Model pembelajaran berdasarkan masalah
merupakan suatu model pembelajaran berdasarkan banyaknya permasalahan
yang membutuhkan pembelajaran yang autentik yakni penyelidikan yang
membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa


model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) adalah
sebagai model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada
siswa di mana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari
siswa. Selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut untuk menemukan
pengetahuan baru. Secara garis besar PBL terdiri dari kegiatan menyajikan
kepada siswa suatu situasi masalah yang autentik dan bermakna serta
memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan
inkuiri.

Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem


Based Learning-PBL)

10
11

Ada lima tahapan dalam model pembelajaran Berbasis Masalah (Problem


Based Learning-PBL) dan perilaku yang dibutuhkan oleh guru (Sugiyanto,
2010;159-160). Untuk masing-masing tahapnya disajikan pada tabel 2.1 di bawah
ini:
Tabel 2.1 Sintaksis Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Fase Perilaku Guru

Fase 1: Memberikan orientasi Guru membahas tujuan pembelajaran,


tentang mendeskripsikan dan memotivasi siswa untuk
permasalahannya terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.
kepada siswa

Fase 2: Mengorganisasikan Guru membantu siswa untuk mendefinisikan


siswa untuk meneliti dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar
yang terkait dengan permasalahannya.
Fase 3: Membantu menyelidiki Guru mendorong siswa untuk mendapatkan
secara mandiri atau informasi yang tepat, melaksanakan
kelompok eksperimen, dan mencari penjelasan dan
solusi.
Fase 4: Mengembangkan dan Guru membantu siswa dalam merencanakan
mempresentasikan hasil dan menyiapkan hasil-hasil yang tepat,
kerja seperti laporan, rekaman video dan model-
model yang membantu mereka untuk
menyampaikan kepada orang lain.
Fase 5: Menganalisis dan Guru membantu siswa untuk melakukan
mengevaluasi proses refleksi terhadap investigasinya dan proses-
mengatasi masalah proses yang mereka gunakan.

11
12

Perilaku yang diinginkan dari guru dan siswa, yang berhubungan dengan
masing-masing fase, dideskripsikan dengan lebih terperinci dibagian-bagian
berikutnya.

1) Memberikan Orientasi tentang Permasalahannya kepada Siswa

Pada awal pelajaran PBL, seperti semua tipe pelajaran lainnya, guru seharusnya
mengkomunikasikan dengan jelas maksud pelajarannya, membangun sikap
positif terhadap pelajaran itu, dan mendeskripsikan sesuatu yang diharapkan
untuk dilakukan oleh siswa. Untuk siswa yang lebih muda atau belum pernah
terlibat dalam PBL, guru harus menjelaskan proses-proses dan prosedur-prosedur
model itu secara terperinci. Hal-hal yang perlu dielaborasikan termasuk antara
lain:

a) Tujuan utama pelajaran bukan untuk mempelajari sejumlah besar informasi


baru tetapi untuk menginvestigasi berbagai permasalahan penting menjadi
pelajar yang mandiri. Untuk siswa-siswa yang lebih muda, konsep ini dapat
dijelaskan sebagai pelajaran bagi mereka untuk dapat menemukan sendiri
makna berbagai hal.

b) Permasalahan atau pertanyaan yang diinvestigasi tidak memiliki jawaban


yang mutlak “benar” dan sebagian besar permasalahan kompleks memiliki
banyak solusi yang kadang-kadang saling bertentangan.

c) Selama fase investigatif pelajaran, siswa akan didorong untuk melontarkan


pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan memberikan bantuan, tetapi
siswa mestinya berusaha bekerja secara mandiri atau dengan teman-
temannya.

d) Selama fase analisis dan penjelasan pelajaran, siswa akan didorong untuk
mengekspresikan ide-idenya secara terbuka dan bebas. Tidak ada ide yang
akan ditertawakan oleh guru maupun teman sekelas. Semua siswa akan diberi
12
13

kesempatan untuk berkontribusi dalam investigasi dan untuk


mengekspresikan ide-idenya.

Guru perlu menyodorkan situasi bermasalah dengan hati-hati atau


memiliki prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi
permasalahan. Guru seharusnya menyuguhksn situasi bermasalah itu kepada
siswa dengan semenarik dan seakurat mungkin. Biasanya, dapat melibat,
merasakan, atau menyentuh sesuatu akan membangkitkan ketertarikan dan
memotivasi penyelidikan. Sering kali, penggunaan situasi yang hasilnya tidak
dapat diperkirakan dan mengejutkan dapat membangkitkan minat siswa.
Sebagai contoh, demonstrasi yang menunjukkan air mengalir ke atas atau es
mencair dalam suhu yang sangat dingin dapat menciptakan misteri dan
menimbulkan keinginan untuk menyelesaikan masalah itu. Rekaman video
pendek tentang berbagai kejadian atau situasi menarik yang mengilustrasikan
masalah-masalah kehidupan nyata seperti polusi dan kerusakan lingkungan
perkotaan juga bersifat motivasional. Hal yang penting disini adalah orientasi
tentang situasi bermasalah itu menyiapkan panggung untuk investigasi
selanjutnya, jadi presentasinya harus dapat memikat siswa dan
membangkitkan rasa ingin tahu dan gairah mereka untuk menyelidiki.

2) Mengorganisasi Siswa untuk Meneliti

PBL mengharuskan guru untuk mengembangkan keterampilan kolaborasi


diantara siswa dan membantu mereka untuk menginvestigasi masalah secara
bersama-sama. PBL juga mengharuskan guru untuk membantu siswa untuk
merencanakan tugas investigatif dan pelaporannya.

Tm-tim Studi. Banyak saran dan isu untuk mengorganisasikan siswa ke


dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif berlaku pula untuk
mengorganisaikan siswa-siswa ke dalam tim-tim berbasis masalah. Jelas,

13
14

bagaimana tim siswa itu dibentuk akan bervariasi sesuai tujuan yang dimiliki
guru untuk proyek-proyek tertentu. Kadang-kadang seorang guru mungkin
memutuskan bahwa penting bagi tim-tim investigasi itu untuk mempresentasikan
berbagai tingkat kemampuan dan keanekaragaman rasial, etnis, atau gender. Bila
keanekaragaman dianggap penting, guru mungkin memutuskan untuk
mengorganisasikan siswa menurut minat yang sama atau memberikan
kesempatan untuk membentuk kelompok-kelompok diseputar pola pertemanan
yang sudah ada. Jadi, tim-tim investigasi dapat dibentuk secara sukarela. Selama
fase pelajaran ini, guru semestinya memberikan alasan yang kuat untuk
pengorganisasian tim-tim itu.

3) Perencanaan Kooperatif

Setelah siswa menerima orientasi tentang situasi bermasalah yang


dimaksud dan telah membentuk tim-tim studi, guru dan siswa harus meluangkan
waktu yang cukup untuk menetapkan sub-sub topik, tugas-tugas investigatif, dan
jadwal yang spesifik. Untuk sebagian proyek, tugas perencanaannya adalah
membagi situasi bermasalah yang lebih umum menjadi sub-sub topik yang tepat
dan kemudian membantu siswa untuk memutuskan sub-sub topik mana yang
akan diselidiki. Sebagai contoh, sebuah pelajaran berbasis-masalah tentang topik
cuaca cara umum dapat dibagi menjadi sub-sub topik, termasuk hujan asam,
badai, awan dan sebagainya. Tantangan bagi guru di tahap pelajaran ini adalah
memastikan bahwa semua siswa terlibat aktif dalam investigasi dan bahwa hasil
gabungan dari investigasi-investigasi sub topik akan memunculkan solusi yang
workable (dapat bekerja) untuk situasi bermasalah itu secara umum.

4) Investigasi, Pengumpulan Data dan Eksperimentasi


Investigasi yang dilakukan secara mandiri berpasangan atau dalam tim-
tim studi kecil adalah inti PBL. Meskipun setiap situasi masalah membutuhkan
teknik investigatif yang agak berbeda. Kebanyakan melibatkan proses
14
15

mengumpulkan data dan eksperimentasi. Pembuatan hipotesis dan penjelasan,


dan memberikan solusi.
Aspek investigasi ini sangat penting. Langkah inilah yang digunakan guru
untuk mendorong siswa mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen
mental atau aktual sampai mereka memahami sepenuhnya dimensi-dimensi
situasi bermasalahnya. Maksudnya adalah agar siswa mengumpulkan informasi
yang cukup untuk menciptakan dan mengkonstruksikan ide-idenya sendiri. Fase
pelajaran ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah out dalam
buku.

Guru seharusnya membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari


berbagai sumber, dan mereka seharusnya menyodorkan berbagai pertanyaan
untuk membuat siswa memikirkan tentang permasalahan itu dan tentang jenis
informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada solusi yang defensible (dapat
dipertahankan). Siswa akan perlu diajari tentang tata cara menjadi investigator
aktif dan cara menggunakan metode-metode yang sesuai dengan permasalahan
yang mereka teliti yakni: wawancara, observasi, pengukuran, mengikuti
petunjuk, atau membuat catatan. Mereka juga perlu diajari etiket investigasi yang
baik.

5) Mengembangkan Hipotesis, Menjelaskan, dan Memberi Solusi

Setelah siswa mengumpulkan data yang cukup dan melaksanakan


eksperimen terhadap fenomena yang mereka selidiki, mereka akan menawarkan
hipotesis, penjelasan ini. Selama fase ini, guru mendorong segala macam ide dan
menerima sepenuhnya ide-ide itu. Seperti fase pengumpulan data dan
eksperimentasi, guru terus memberikan berbagai pertanyaan yang membuat
siswa memikirkan tentang ketakutan hipotesis dan solusi mereka dan tentang
kualitas informasi yang telah mereka kumpulkan. Guru mestinya terus
mendukung dan memberikan contoh pertukaran ide-ide secara bebas dan
15
16

mendorong probing yang lebih dalam terhadap masalahnya, bilamana


dibutuhkan. Pertanyaan-pertanyaan ditahap ini termasuk, “Apa yang perlu kalian
ketahui agar kalian merasa yakin bahwa solusi kali ini memang yang terbaik?
Atau “Apa solusi yang kalian usulkan?”.

Disepanjang fase investigatif ini, guru memberikan bantuan yang


dibutuhkan. Untuk proyek-proyek tertentu dan untuk siswa-siswa tertentu, guru
perlu siap di dekat siswa untuk membantunya menemukan bahan-bahan dan
mengaitkan mereka tentang tugas yang harus mereka selesaikan. Untuk proyek-
proyek dan siswa-siswa lainnya, guru mungkin ini membiarkan siswa mengikuti
arah dan inisiatifnya sendiri.

Sedangkan tahapan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-


PBL) menurut Agus Suprijono (2009:74-76), berikut disajikan dalam tabel 2.2:

Tabel 2.2 Sintaksis Model Pembelajaran Berbasis Masalah

FASE-FASE PERILAKU GURU

Fase 1: Memberikan orientasi tentang Guru menyampaikan tujuan pelajaran,


permasalahannya kepada peserta didik mendeskripsikan berbagai kebutuhan
logistik penting dan memotivasi peserta
didik untuk terlibat dalam kegiatan
mengatasi masalah

Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik Guru membantu peserta didik untuk


untuk meneliti mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas-tugas belajar terkait dengan
permasalahannya

Fase 3: Membantu investigasi mandiri Guru mendorong peserta didik untuk

16
17

dan kelompok mendapatkan informasi yang tepat,


melaksanakan eksperimen, dan mencari
penjelasan dan solusi

Fase 4: Mengembangkan dan Guru membantu peserta didik dalam


mempresentasikan artefak dan exhibit merencanakan dan menyiapkan artefak-
artefak yang tepat, seperti laporan,
rekaman video, dan model-model, dan
membantu mereka untuk
menyampaikannya kepada orang lain

Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi Guru membantu peserta didik melakukan


proses mengatasi masalah refleksi terhadap investigasinya dan
proses-proses yang mereka gunakan

Pada fase pertama hal-hal yang perlu dielaborasi antara lain:

1. Tujuan utama pembelajaran bukan untuk mempelajari sejumlah informasi baru


tetapi untuk menginvestigasi berbagai permasalahan penting dan menjadi
pembelajar mandiri.

2. Permasalahan atau pertanyaan yang diinvestigasi tidak memiliki jawaban mutlak


“benar” dan sebagian besar permasalahan kompleks memiliki banyak solusi yang
kadang-kadang saling bertentangan.

3. Selama fase investigasi pelajaran, peserta didik didorong untuk melontarkan


pertanyaan dan mencari informasi. Guru memberikan bantuan tetapi peserta
didik mestinya berusaha bekerja secara mandiri atau dengan teman-temannya.

17
18

4. Selama fase analisis dan penjelasan pelajaran, peserta didik didorong untuk
mengekspresikan ide-idenya secara bebas dan terbuka.

Pada fase kedua, guru diharuskan untuk mengembangkan keterampilan


kolaborasi di antara peserta didik dan membantu mereka untuk menginvestigasi
masalah secara bersama-sama. Pada tahap ini pula guru diharuskan membantu
peserta didik merencanakan tugas investigative dan pelaporannya.

Pada fase ketiga, guru membantu peserta didik menentukan metode


investigasi. Penentuan tersebut didasarkan pada sifat masalah yang hendak dicari
jawabannya atau dicari solusinya.

Pada fase keempat, penyelidikan diikuti dengan pembuatan artefak dan


exhibits. Artefak dapat berupa laporan tertulis, termasuk rekaman proses yang
memperlihatkan situasi yang bermasalah dan solusi yang diusulkan. Artefak
dapat berupa model-model yang mencakup representasi fisik dari situasi masalah
dan solusinya. Exhibit adalah pendemonstrasian atas produk hasil investigasi
atau artefak tersebut.

Pada fase kelima, tugas guru adalah membantu peserta didik menganalisis
dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan
yang mereka gunakan. Terpenting dalam fase ini peserta didik mempunyai
keterampilan berpikir sistemik berdasarkan metode penelitian yang mereka
gunakan.

Lingkungan belajar dan sistem pengelolaan pembelajaran berbasis


masalah harus ditandai ketebukaan. Keterbukaan, keterlibatan aktif peserta didik,
dan atmosfer kebebasan intelektual. Penting pula dalam pengelolaan
pembelajaran berbasis masalah memperhatikan hal-hal seperti situasi multitugas
yang akan berimplikasi pada jalannya proses investigasi, tingkat kecepatan yang

18
19

berbeda dalam penyelesaian masalah, pekerjaan peserta didik, dan gerakan dan
perilaku di luar kelas.

Langkah-langkah di atas juga ditekankan tahapan dalam model pembelajaran


berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) menurut Arends (2008;57), yaitu:

Tabel 2.3 Sintaksis untuk Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Fase Perilaku Guru

Fase 1: Memberikan orientasi tentang Guru membahas tujuan pelajaran,


permasalahannya kepada siswa mendeskripsikan berbagai kebutuhan
logistik penting, dan memotivasi siswa
untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi-
masalah.

Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk Guru membantu siswa untuk


meneliti mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas-tugas belajar yang terkait dengan
permasalahannya.

Fase 3: Membantu investigasi mandiri Guru mendorong siswa untuk


dan kelompok mendapatkan informasi yang tepat,
melaksanakan eksperimen, dan mencari
penjelasan dan solusi.

Fase 4: Mengembangkan dan Guru membantu siswa dalam


mempresentasikan artefak dan exhibit merencanakan dan menyiapkan artefak-
artefak yang tepat, seperti laporan,
rekaman video, dan model-model, dan
membantu mereka untuk

19
20

menyampaikannya kepada orang lain.

Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi Guru membantu siswa melakukan


proses mengatasi-masalah. refleksi terhadap investigasinya dan
proses-proses yang mereka gunakan.

Kelima fase PBL dan perilaku yang dibutuhkan dari guru untuk masing-
masing fasenya dirangkum dalam tabel 2.1, perilaku yang diinginkan dari guru dan
siswa, yang berhubungan dengan masing-masing fase, dideskripsikan dengan lebih
terperinci di baagian-bagian berikutnya.

Memberikan Orientasi tentang Permasalahannya kepada Siswa. Pada awal


pelajaran PBL, seperti semua tipe pelajaran lainnya, guru seharusnya
mengkomunikasikan dengan jelas maksud pelajarannya, membangun skap positif
terhadap pelajaran itu, dan mendeskripsikan sesuatu yang diharapkan untuk dilakukan
oleh siswa. Untuk siswa yang lebih muda atau belum pernah terlibat dalam PBL, guru
harus menjelaskan proses-proses dan prosedur-prosedur model itu secara terperinci.
Hal-hal yang perlu dielaborasi termasuk antara lain:

 Tujuan utama pelajaran bukan untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru
tetapi untuk menginvestigasi berbagai permasalahan penting dan menjadi pelajar
mandiri.

 Permasalahan atau pertanyaan yang diinvestigasi tidak memiliki jawaban mutlak


“benar” dan sebagian permasalahan kompleks memiliki banyak solusi yang
kadang-kadang saling bertentangan.

 Selama fase investigatif pelajaran, siswa akan didorong untuk melontarkan


pertanyaan mencari informasi. Guru akan memberikan bantuan tetapi siswa
mestinya berusaha bekerja secara mandiri atau dengan teman-temannya.
20
21

 Selama fase analisis dan penjelasan siswa didorong untuk mengekspresikan ide-
idenya secara terbuka terbuka dan bebas. Tidak ada ide yang ditertawakan oleh
guru maupun teman sekelas. Semua siswa akan diberi kesempatan untuk
berkontribusi dalam investigasi dan untuk mengekspresikan ide-idenya.

Guru perlu menyodorkan situasi bermasalah denga hati-hati atau memiliki


prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi masalah.

Mengorganisaikan Siswa untuk Meneliti. PBL mengharuskan guru untuk


mengembangkan keterampilan kolaborasi di antara siswa dan membantu mereka
untuk menginvestigasi masalah secara bersama-sama. PBL juga mengharuskan guru
untuk membantu siswa untuk merencanakan tugas investigatif dan pelaporannya.

Tim-Tim Studi. Banyak saran dan isu untuk mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar kooperatif pula untuk mengorganisaikan siswa-siswa ke
dalam tim-tim berbasis-masalah.

Perencanaan Kooperatif. Setelah siswa menerima orientasi tentang situasi


bermasalah yang dimaksud dan telah membentuk tim-tim studi, guru dan siswa harus
meluangkan waktu yang cukup untuk menetapkan sub-subtopik, tugas-tugas
investigatif, dan jadwal yang spesifik. Untuk sebagian proyek, tugas perencanaannya
adalah membagi situasi bermasalah yang lebih umum menjadi sub-subtopik yang
tepat dan kemudian membantu siswa untuk memutuskan sub-sub topik mana yang
diselidiki. Sebagai contoh, sebuah pelajaran berbasis masalah tentang topik cuaca
secara umum dapat dibagi menjadi sub-subtopik, termasuk hujan asam, badai, awan
dan sebagainya. Tantangan bagi guru di tahap pelajaran ini adalah memastikan bahwa
semua siswa terlibat aktif dalam investigasi-investigasi sub topik akan memunculkan
solusi yang workable (dapat bekerja) untuk situasi bermasalah itu secara umum.

Membantu Investigasi Mandiri dan Kelompok. Investigasi yang dilakukan secara


mandiri, berpasangan atau dalam tim-tim studi kecil adalah inti PBL. Meskipun
21
22

setiap situasi masalah membutuhkan teknik investigatif yang agak berbeda,


kebanyakan melibatkan proses mengumpulkan data dan eksperimentasi, pembuatan
hipotesis dan penjelasan, dan memberikan solusi.

Mengumpulkan Data dan Eksperimentasi. Aspek investigasi ini sangat penting.


Langkah inilah yang digunakan guru untuk mendorong siswa mengumpulkan data
dan melaksanakan eksperimen mental atau aktual sampai mereka memahami
sepenuhnya dimensi-dimensi situasi bermasalahnya. Maksudnya adalah agar siswa
mengumpulkan informasi yang cukup untuk menciptakan dan mengkonstruksikan
ide-idenya sendiri. Fase pelajaran ini seharusnya lebih dari sekadar membaca tentang
masalah itu dalam buku. Guru seharusnya membantu siswa dalam mengumpulkan
informasi dari berbagai sumber, dan mereka seharusnya menyodorkan berbagai
pertanyaan untuk membuat siswa memkirkan tentang permasalahan itu dan tentang
jenis informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada solusi yang defensible (dapat
dipertahankan). Siswa akan perlu diajari tentang tata cara menjadi investigator aktif
dan cara menggunakan metode-metode yang sesuai dengan permasalaha yang mereka
teliti, yakni: wawancara, observasi, pengukuran, mengikuti petunjuk, atau membuat
catatan. Mereka juga perlu perlu diajari etiket investigasi yang baik.

Mengembangkan Hipotesis, Menjelaskan, dan Memberi Solusi. Setelah mereka


mengumpulkan data yang cukup untuk melaksanakan eksperimen terhadap fenomena
yang mereka selidiki, mereka akan menawarkan hipotesis, penjelasan dan solusi.
Selama fase pelajaran ini, guru mendorong segala macam ide dan menerima
sepenuhnya ide-ide itu. Selama fase pengumpulan data dan eksperimentasi, guru
terus memberikan berbagai pertanyaan yang membuat siswa memikirkan tentang
keadekuatan hipotesis dan solusi mereka dan tentang kualitas informasi yang telah
mereka kumpulkan. Guru mestinya terus mendukung dan memberikan contoh
pertukaran ide-ide secara bebas dan mendorong probing yang lebih dalam terhadap
masalahannya, bilamana dibutuhkan.

22
23

Pengembangan dan Presentasi Artefak dan Exhibits. Fase investigatif diikuti


dengan pembuatan artefak dan exhibit. Artifacts lebih dari sekadar laporan tertulis.
Artefak termasuk hal-hal seperti rekaman video yang memperlihatkan situasi
bermasalah dan solusi yang diusulkan, model-model yang mencakup representasi
fisik dari situasi masalah atau solusinya, dan program komputer serta presentasi
multimedia. Jelas, sofistikasi artefak-artefak tertentu ada kaitannya dengan umur dan
kemampuan siswa. Poster yang dibuat siswa yang berumur 10 tahun tentang hujan
asam berbeda secara signifikan dengan desain siswa SMA untuk instrumen yang
digunakan untuk mengukur hujan asam. Diorama formasi awan yang dibuat anak
kelas dua SD akan berbeda dengan program komputer tentang cuaca yang dibuat oleh
siswa sekolah menengah.

Setelah artefak dikembangkan, guru sering mengorganisasikan exhibit untuk


memamerkan hasil karya siswa di depan umum. Exhibit itu mestinya
mempertimbangkan siapa audiensnya-siswa, guru, orangtua, dan pihak-pihak lain.

Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Mengatasi-Masalah. Fase terakhir PBL


melibatkan kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu siswa
menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri maupun keterampilan
investigasif dan keterampilan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini, guru
meminta siswa untuk merekonstruksikan pikiran dan kegiatan mereka selama
berbagai fase pelajaran, Kapan mereka mulai mencapai pemahaman yang jelas
tentang situasi bermasalah itu? Kapan mereka mulai merasa yakin terhadap solusi
tertentu? Mengapa mereka lebih mudah menerima penjelasan tertentu disbanding
lainnya? Mengapa mereka menolak penjelasan tertentu? Mengapa mereka
mengadopsi solusi finalnya? Apakah mereka mengubah pikirannya tentang situasi
bermasalah itu selama proses investigasi? Apa yang menyebabkan terjadinya
perubahan itu? Apa yang akan mereka lakukan dengan cara yang berbeda di masa
yang akan datang?

23
24

Berdasarkan uraian diatas, maka untuk menerapkan model pembelajaran


berbasis masalah dengan menggunakan langkah-langkah yang telah dimodifikasi
sebagai berikut:

1. Orientasi permasalahan
2. Organisasi peneliti
3. Investigasi mandiri
4. Investigasi kelompok
5. Mengembangkan artefak dan exhibit
6. Mempresentasikan artefak dan exhibit
7. Menganalisis proses mengatasi masalah
8. Mengevaluasi proses mengatasi masalah

Model pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning-PBL)


memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:

(1) Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang
menemukan konsep tersebut;
(2) Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan
berpikir siswa yang lebih tinggi;
(3) Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga
pembelajaran lebih bermakna;
(4) Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang
diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat
meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari;
(5) Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan
menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara
siswa; dan

24
25

(6) Pengkondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi


terhadap pembelajar dan temannya sehingga pencapaian ketuntasan belajar
siswa dapat diharapkan.

Selain kelebihan yang telah dikemukakan di atas model pembelajaran berbasis


masalah (Problem Based Learning-PBL) juga memiliki beberapa kekurangan antara
lain, yaitu:

(1) Membutuhkan persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks.

(2) Sulitnya mencari problem yang relevan.

(3) Sering terjadi miss-konsepsi.

(4) Memerlukan waktu yang cukup lama dalam proses penyelidikan.

2.1.2 Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa


setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011 : 22). Kemampuan-
kemampuan yang dimiliki tiap siswa tentu berbeda karena pengalaman belajar
yang dialami antara siswa satu dengan siswa lain juga berbeda. Aspek
perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang
dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Harrow yang mencakup tiga aspek
yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Winkel dalam Purwanto,
2008:45).
Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom dalam Agus Suprijono (2009:
6) secara garis besar membagi menjadi 3 ranah, yakni ranah kognitif, ranah
afektif, dan ranah psikomotoris.
1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual.
2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap.

25
26

3. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan


dan kemampuan bertindak.
Hasil belajar harus diidentifikasi melalui informasi hasil pengukuran
bidang/materi/dan aspek perilaku baik melalui teknik tes maupun non tes.
Penguasaan materi yang dimaksud adalah derajat pencapaian kompetensi hasil
belajar seperti yang dikehendaki dalam standar proses dan dinyatakan dalam
aspek perilaku yang terbagi dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ketiga ranah tersebut dinamakan dengan taksonomi tujuan belajar kognitif.
Taksonomi tujuan belajar domain kognitif menurut Benyamin S. Bloom yang
telah disempurnakan David Krathwohl serta Norman E. Gronlund dan R.W. de
Maclay ds (Wardani, Naniek Sulistya, dkk, 2010:3.21) adalah menghafal
(Remember), memahami (Understand), mengaplikasikan (Aply), menganalisis
(Analize), mengevaluasi (Evaluate), dan membuat (create).
Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan yang didapat oleh siswa setelah mengalami
pembelajaran di kelas yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hasil belajar digunakan guru sebagai ukuran atau kriteria dalam
mencapai suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari
aktivitas pengukuran. Secara sederhana pengukuran dapat diartikan sebagai
kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu
gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa
angka. Alat untuk melakukan pengukuran ini dapat berupa alat ukur standar
seperti meter, kilogram, liter dan sebagainya, termasuk ukuran-ukuran subyektif
yang bersifat relatif, seperti depa, jengkal, “sebentar lagi”, dan lain-lain
(Endang Poerwanti, dkk,2008:1-4). Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud
dengan pengukuran (Measurement) adalah suatu proses pengumpulan data
melalui pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi yang relevan
dengan tujuan yang telah ditentukan. Jadi pengukuran memiliki arti suatu

26
27

kegiatan yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu dengan satuan


ukuran tertentu sehingga data yang dihasilkan adalah data kuantitatif atau data
angka. Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur
yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering
digunakan untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi,
panduan wawancara, skala sikap dan angket.
Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur
hasil belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Teknik
yang dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar ada 2 yaitu tes dan non tes.
1. Tes
Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan
yang harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi,
atau tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk
mengukur suatu aspek tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan
pembelajaran aspek tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi. Tes
berasal dari bahasa Perancis yaitu “testum” yang berarti piring untuk
menyisihkan logam mulia dari material lain seperti pasir, batu, tanah, dan
sebagainya. Kemudian diadopsi dalam psikologi dan pendidikan untuk
menjelaskan sebuah instrumen yang dikembangkan untuk dapat melihat
dan mengukur dan menemukan peserta tes yang memenuhi kriteria
tertentu. Cronbach (dalam Azwar, 2005) mendefinisikan tes sebagai “a
systematic procedure for observing a person’s behavior and describing it
with the aid of a numerical scale or category system”. Menurut Ebster’s
Collegiate (dalam Arikunto, 1995), tes adalah serangkaian pertanyaan atau
latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan,
pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
individu atau kelompok.

27
28

Menurut Endang Poerwanti, dkk (2008:1-5), tes adalah seperangkat


tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab
oleh peserta didik untuk mengukur tingkat pemahaman dan penugasannya
terhadap cakupan materi yang dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan
pengajaran tertentu.
Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan
untuk memperoleh informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan
yang setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan
yang dianggap benar (Suryanto Adi, dkk, 2009). Dari beberapa definisi di
atas peneliti menyimpulkan, tes adalah sejumlah pertanyaan atau soal-soal
yang harus dijawab, dilakukan dalam waktu tertentu dan memiliki tujuan
tertentu guna mengukur kemampuan seseorang.
Tes sangat bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Menurut Endang
Poerwanti, dkk (2008:4-5) terdapat lima jenis-jenis tes, salah satunya
adalah jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya, yaitu:
a. Tes esei (Essay-type test)
Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa mengorganisasikan
gagasan-gagasan tentang apa yang telah dipelajarinya dengan cara
mengemukakannya dalam bentuk tulisan.
b. Tes jawaban pendek
Tes bisa digolongkan ke dalam tes jawaban pendek jika peserta tes
diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi
memberikan jawaban-jawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-
kata pendek, kata-kata lepas, maupun angka-angka.
c. Tes objektif
Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yang diperlukan
untuk menjawab tes telah tersedia.

2. Non Tes

Teknik nontes sangat penting dalam mengakses peserta didik pada


ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih
menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes,

28
29

yaitu: unjuk kerja (performance), penugasan (proyek), tugas individu, tugas


kelompok, laporan, dan portofolio. Alat yang dipergunakan untuk
mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan alat ukur
atau instrumen.
Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah
afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan
pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes (Endang
Poerwanti, 2008:3-19 – 3-31), yaitu:
1. Observasi
Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar
dapat dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan
instrumen yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan
kemajuan belajar peserta didik, maupun observasi informal yang dapat
dilakukan oleh pendidik tanpa menggunakan instrumen.
2. Wawancara
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang
diberikan secara lisan dan spontan, tentang wawasan, pandangan atau
aspek kepribadian peserta didik.
3. Angket
Suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh informasi yang
berupa data deskriptif. Teknik ini biasanya berupa angket sikap
(Attitude Questionnaires).
4. Work Sample Analysis (Analisa Sampel Kerja)
Digunakan untuk mengkaji respon yang benar dan tidak benar yang
dibuat siswa dalam pekerjaannya dan hasilnya berupa informasi
mengenai kesalahan atau jawaban benar yang sering dibuat siswa
berdasarkan jumlah, tipe, pola, dan lain sebagainya.
5. TaskAnalysis (Analisis Tugas)
Dipergunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas
dan menyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasilnya berupa
daftar komponen tugas dan daftar skills yang diperlukan.
6. Checklists dan Rating Scales
Dilakukan untuk mengumpulkan informasi dalam bentuk semi
terstruktur, yang sulit dilakukan dengan teknik lain dan data yang
dihasilkan bisa kuantitatif ataupun kualitatif, tergantung format yang
dipergunakan.
7. Portofolio

29
30

Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik


dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat,
perkembangan belajar dan prestasi siswa.
8. Komposisi dan Presentasi
Peserta didik menulis dan menyajikan karyanya.
9. Proyek Individu dan Kelompok
Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan serta dapat
digunakan untuk individu maupun kelompok

Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik


atau cara pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap
atau penilaian portofolio. Alat yang dipergunakan untuk mengukur
ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen
sendiri terdiri atas instrumen butir-butir soal apabila cara pengukuran
dilakukan dengan menggunakan tes, dan apabila pengukuran dilakukan
dengan cara mengamati atau mengobservasi dapat menggunakan instrumen
lembar pengamatan atau observasi, pengukuran dengan teknik skala sikap
dapat menggunakan instrumen butir-butir pernyataan. Instrumen sebagai
alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran
maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah valid, maksudnya
adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara
pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau
penilaian portofolio.
Jadi hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, diskusi, dan presentasi.
Dalam membuat alat ukur yang akan digunakan haruslah membuat
kisi-kisi. Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format
atau matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk
berbagai topik atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator
dan jenjang kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk

30
31

pedoman menyusun atau menulis soal menjadi perangkat tes. Adapun kisi-
kisi tersebut didalamnya meliputi:
1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
2. Indikator
3. Proses berfikir (C1 (ingatan), C2 (pemahaman), C3 (penerapan), C4
(analisis), C5 (evaluasi), C6 (kreasi))
4. Tingkat kesukaran soal (rendah, sedang, tinggi)
5. Bentuk instrumen
Hasil dari pengukuran tersebut dipergunakan sebagai dasar
penilaian atau evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa
Inggris). Stufflebeam (Fernandes,1984) mengatakan bahwa evaluasi
merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi
yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan
alternatif keputusan (judgement alternative). Sedangkan Tyler seperti
dikutip oleh Mardapi, D. (2004) menyatakan bahwa evaluasi merupakan
proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai. Wardani,
Naniek Sulistya dkk, (2010, 2.8) mengartikannya, bahwa evaluasi itu
merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan kualitas hasil
pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut
dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil
pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau
ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria ini dapat berupa
proses atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM, atau
batas keberhasilan, dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja
kelompok, atau berbagai patokan yang lain.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2007 tentang
Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa Kriteria ketuntasan
minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan

31
32

oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk
kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan nilai batas ambang kompetensi.

2.1.3 Pembelajaran IPA di SD/MI

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi
juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi
wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta
prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam
sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga
dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang alam sekitar.

IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan


manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran
Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada
pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan
konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.

Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific


inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta
mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu
pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara

32
33

langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap


ilmiah.

Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI


merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik
dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan.
Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk
membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi
oleh guru.

Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam

Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki


kemampuan sebagai berikut.

8. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa


berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya

9. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang


bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

10. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat

11. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,


memecahkan masalah dan membuat keputusan

12. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan


melestarikan lingkungan alam

13. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya


sebagai salah satu ciptaan Tuhan

33
34

14. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar
untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Ruang Lingkup Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam

Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut.

1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan

2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas

3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya
dan pesawat sederhana

4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA

Pencapaian tujuan IPA dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang
standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam
Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minium yang
secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan
kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada
pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan
pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Secara rinci SK dan KD untuk mata
pelajaran IPA yang ditujukan bagi siswa kelas V SD disajikan melalui tabel 2.4
berikut ini:

34
35

Tabel 2.4
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas V Sekolah Dasar
Semester II Tahun Ajaran 2011/2012
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Bumi dan Alam Semesta

7. Memahami perubahan yang 7.1 Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena


terjadi di alam dan pelapukan
hubungannya dengan 7.2 Mengidentifikasi jenis-jenis tanah
penggunaan sumber daya
7.3 Mendeskripsikan struktur bumi
alam
7.4 Mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan
manusia yang dapat mempengaruhinya

7.5 Mendeskripsikan perlunya penghematan air

7.6 Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di


Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan
lingkungan

7.7 Mengidentifikasi beberapa kegiatan manusia yang


dapat mengubah permukaan bumi (pertanian,
perkotaan, dsb)

2.1.4 Efektifitas Pembelajaran

Keefektifan pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah


pelaksanaan proses belajar mengajar (Sadiman, 1987 dan Iam Irfa’i, 2002:102).
Menurut Tim Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya
(1988) dalam Lince (2001:42), bahwa efesiensi dan keefektifan mengajar dalam
proses interaksi belajar baik adalah segala daya upaya guru untuk membantu para
siswa agar bisa belajar dengan baik. Untuk mengetahui keefektifan mengajar, dengan
memberikan tes, sebab hasil tes dapat dipakai untuk mengevaluasi berbagai aspek
proses mengajar.

35
36

Suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan utama


keefektifan pengajaran, yaitu:

1) Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap KBM

2) Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi diantara siswa

3) Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa


(orientasi keberhasilan belajar) diutamakan

4) Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif,


mengembangkan struktur kelas yang mendukung butir (2), tanpa
mengabaikan butir (4) (Soemosasmito, 1988:119)

Guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara dan selalu berusaha agar
anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran dengan persentasi
waktu belajar akademis yang tinggi dan pelajaran berjalan tanpa menggunakan teknik
yang memaksa, negatif, atau hukuman (Soemosasmito, 1988:119). Selain itu guru
yang efektif adalah orang-orang yang dapat menjalin hubungan simpatik dengan para
siswa, menciptakan lingkungan kelas yang mengasuh, penuh perhatian, memiliki
suatu rasa cinta belajar, menguasai sepenuhnya bidang studi mereka dan dapat
memotivasi siswa untuk bekerja tidak sekedar mencapai suatu prestasi namun juga
menjadi anggota masyarakat yang pengasih (Kardi dan Nur, 200a:5).

Menurut Mohammad Jauhar pembelajaran dapat dikatakan efektif (effective/


berhasil guna) jika mencapai sasaran atau minimal mencapai kompetensi dasar yang
telah ditetapkan. Di samping itu, juga penting adalah banyaknya pengalaman dan hal
baru yang “didapat” siswa. Guru pun diharapkan memperoleh “pengalaman baru”
sebagai hasil interaksi dua arah dengan siswanya.

Untuk mengetahui keefektifan sebuah proses pembelajaran, maka pada setiap


akhir pembelajaran perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi yang dimaksud di sini bukan

36
37

sekedar tes untuk siswa, tetapi semacam refleksi, perenungan yang dilakukan oleh
guru dan siswa, serta didukung oleh data catatan guru. Hal ini sejalan dengan
kebijakan penilaian berbasis kelas atau penilaian authentic yang lebih menekankan
pada penelitian proses selain penilaian hasil belajar. Di satu sisi, guru menjadi
pengajar yang efektif, karena menguasai materi yang diajarkan; mengajar dan
mengarahkan dengan memberi contoh; menghargai siswa dan memotivasi siswa;
memahami tujuan pembelajaran; mengajarkan keterampilan pemecahan masalah;
menggunakan metode yang bervariasi; mengembangkan pengetahuan pribadi dengan
banyak membaca; mengajarkan cara mempelajari sesuatu; dan melaksanakan
penilaian dengan tepat dan benar. Di sisi lain, siswa menjadi pembelajar yang efektif
dalam arti menguasai pengetahuan dan keterampilan atau kompetensi yang
diperlukan; mendapat pengalaman baru yang berharga.

Untuk dapat mewujudkan pembelajaran yang efektif proses pembelajaran


harus di desain secara kreatif. Artinya pembelajaran harus bisa mengatasi segala
hambatan dan keterbatasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Ada 7 perilaku efektif
guru dalam pembelajaran menurut Beni S. Ambarjaya, yaitu: konsisten,
memperlakukan siswa sebagai individu, menciptakan lingkungan kelas yang
bernuansa belajar, melibatkan diri dalam setiap ajang berbagi pengetahuan formal dan
informal, membuka diri terhadap kebutuhan siswa, melaksanakan umpan balik
mengajar dan bekerja, dan melaksanakan penilaian terhadap siswa dengan alasan
yang kuat.

Pembelajaran efektif telah tercapai jika dalam pelaksanaan pembelajaran


terdapat keaktifan siswa dalam belajar. Siswa aktif atau tidak dalam pembelajaran
sudah dapat diperkirakan sejak awal melalui rencana pembelajaran yang dibuat guru.
Keaktifan belajar siswa selalu muncul ketika guru menghadirkan media pembelajaran
yang tepat dan dapat dimanfaatkan oleh siswa semaksimal mungkin. Semakin
bervariasi media pembelajaran yang digunakan, siswa akan semakin antusias

37
38

mengikuti pembelajaran. Keterlibatan aktif siswa telah terbukti membuat


pembelajaran menjadi efektif dengan hasil taraf serap yang maksimal.

Jadi kesimpulan pembelajaran efektif dalam penelitian ini adalah suatu


pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat belajar dengan mudah,
menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang di-
harapkan.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan


Beberapa penelitian tentang model pembelajaran berbasis masalah
(Problem Based Learning-PBL) yang diterapkan dalam usaha meningkatkan
hasil belajar siswa, diantaranya:

Penelitian Fitri Yuni Astuti (2007) yang berjudul Model Pembelajaran


Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa Kelas VIII Semester II SMP N 5 Semarang Pokok Bahasan
Bangun Ruang Sisi Datar Tahun Pelajaran 2006/2007. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Pada siklus I belum menunjukkan hasil yang optimal dalam
meningkatkan hasil belajar, oleh karena itu dilakukan siklus II. Pada siklus II
menunjukkan adanya peningkatan antara lain: Pada siklus I yang tuntas belajar
sebanyak 32 siswa dengan prosentase ketuntasan klasikal 76,19% denagn nilai
rata-rata kelasnya 76,36 dan pada siklus II banyaknya siswa yang tuntas adalah
35 siswa dengan prosentase ketuntasan klasikal 88,1% dengan nilai rata-rata
kelasnya 81,7 %. Aktivitas siswa selama pembelajaran mengalami peningkatan
setiap siklusnya, dari 61,1% pada siklus pertama menjadi 72,2% pada siklus
kedua. Hipotesis tindakan dan indikator kinerja telah tercapai sehingga tidak
perlu dilaksanakan siklus selanjutnya. Simpulan dari penelitian ini adalah : (1)
Model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa
kelas VIII SMP N 5 Semarang sub pokok bahasan bangun ruang kubus dan
38
39

balok tahun pelajaran 2006/2007, (2) Dengan model pembelajaran berbasis


masalah aktivitas siswa dalam pembelajaran mengalami peningkatan.
Kelebihan pada penelitian di atas yaitu setiap siklus selalu mengalami
peningkatan. Kelemahannya adalah membutuhkan waktu penelitian yang relatif
lama. Mendasarkan kelemahan di atas pada penelitian berikutnya dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian
selanjutnya.

Penelitian Handoko Eko Putro (2010) yang berjudul Penerapan


Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Sebagai Upaya
Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI IPS 2 SMA
Negeri 8 Surakarta pada Mata Pelajaran Ekonomi Tahun Ajaran 2009/2010.
Penelitian ini menyatakan bahwa Sebelum diterapkan metode pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) keaktifan siswa masih rendah terlihat dari
keaktifan siswa pada aspek visual activities 35,49%, oral activities 22,58%,
listening activities 41,94%, dan writing activities 45,16%. Penelitian siklus I
diperoleh peningkatan hasil keaktifan pada aspek visual activities 48,39%, oral
activities 45,16%, listening activities 54,84% dan writing activities 58,09%.
Penelitian siklus II diperoleh peningkatan hasil keaktifan siswa pada aspek
visual activities 74,19% , oral activities 67,73%, listening activities 77,41% dan
writing activities mencapai 70,96%. Sedangkan nilai rata-rata kelas sebelum
diterapkan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah 60,4.
Siswa yang sudah tuntas sebesar 51,6% atau 16 siswa, sedangkan siswa yang
belum tuntas sebesar 48,4% atau 15 siswa. Pada prestasi belajar siswa siklus I
nilai rata-rata kelas menjadi 71,90 dan 76,32 pada siklus II. Pada pelaksanaan
siklus I siswa yang sudah tuntas sebesar 77,42% atau 24 siswa, sedangkan
siswa yang belum tuntas sebesar 22,58% atau 7 siswa. Pada pelaksanaan siklus
II siswa yang sudah tuntas sebesar 87,09% atau sebanyak 27 siswa, sedangkan
siswa yang belum tuntas sebesar 12,91% atau sebanyak 4 siswa. Kelebihan
39
40

penelitian ini adalah PBL dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas
pembelajaran dengan baik. Adapun kelemahanya sampel yang digunakan di
tingkat pendidikan menengah dan membutuhkan waktu penelitian yang relatif
lama. Mendasarkan kelemahan di atas pada penelitian berikutnya dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian
selanjutnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2002). Dengan judul


“Peningkatan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Melalui Penerapan
Problem-Based Learning dalam Pembelajaran Matematika” hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan problem-based learning dalam pembelajaran
matematika dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita
matematika sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dari total nilai yang
didapat, siswa dengan nilai ≥ 75 pada kondisi awal ada 8 siswa (30,77%)
dengan mean 62,20 meningkat menjadi 25 siswa (96,62%) dengan mean 88,34
dan daya serap 96,62%. Peningkatan hasil belajar siswa tersebut karena adanya
perubahan aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran dengan penerapan
problem-based learning. Kelebihan siswa mampu mengidentifikasi masalah
yang diberikan, mencari informasi yang relevan yang digunakan untuk
menentukan hipotesis, merencanakan penyelesaian atau solusi masalah,
memilih alternatif solusi masalah yang paling tepat melalui proses diskusi, dan
akhirnya siswa mampu menyampaikan hasil solusi masalah kepada kelompok
yang lain. Kelebihannya adalah siswa semakin terbiasa menggunakan logika/
penalarannya dalam menyelesaikan soal cerita. Siswa mampu menganalisa soal
dengan baik, membuat perencanaan penyelesaian dengan tepat, menyelesaikan
soal dengan baik. Kelemahannya yaitu membutuhkan waktu yang lama, karena
anak-anak belum terbiasa dengan model pembelajaran yang digunakan.
Mendasarkan kelemahan di atas pada penelitian berikutnya dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
40
41

Penelitian yang dilakukan oleh Aan Hasanah (2005). Dengan judul


“Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Penalaran
Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Berbasis
Masalah yang Menekankan pada Representasi Matematik”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) kemampuan pemahaman matematik pada kelompok
siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan menekankan
representasi matematik lebih baik dari Matematika kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran biasa; (2) kemampuan penalaran matematik
kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan
menekankan representasi matematik lebih baik dari Matematika kelompok
siswa yang memperoleh pembelajaran biasa; (3) terdapat korelasi yang
signifikan antara kemampuan pemahaman dan penalaran matematik; (4) sikap
siswa pada kelompok eksperimen terhadap pembelajaran berbasis masalah
dengan menekankan representasi matematik adalah positif; (5) pada kelompok
siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan menekankan
representasi matematik lebih aktif belajar dari Matematika ada kelompok siswa
yang memperoleh pembelajaran biasa. Kelebihannya suasana belajar yang lebih
kondusif dibandingkan dengan pembelajaran biasa dalam hal pengembangan
kemampuan penalaran dan koneksi matematik, mambangun sikap yang positif,
meningkatkan keterlibatan siswa, dan belajar. Kelemahannya tidak semua mata
pelajaran dapat diterapkan model pembelajaran ini. Mendasarkan kelemahan di
atas pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk melakukan penelitian selanjutnya.

Susilawati (2005), dalam penelitiannya tentang “Penerapan PBL


Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengajuakan dan Memecahkan
Masalah Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Pertama Negeri di Bandung”.
Menunjukkan bahwa kemampuan siswa mengajukan dan memecahkan masalah
matematika sebelum pembelajaran dengan pendekatan PBL, telah ada namun
41
42

masih tergolong rendah, hal ini terlihat dari kecilnya persentase pengajuan dan
pemecahan masalah matematika terselesaikan mengandung informasi baru.
Melalui penerapan pembelajaran PBL kemampuan siswa mengajukan dan
memecahkan masalah matematika mencapai kriteria hasil belajar yang baik,
secara kualitas terdapat perbedaan signifikan antara siswa yang
pembelajarannya dengan pendekatan PBL dan yang menggunakan
pembelajaran dengan pendekatan biasa. Hal ini nampak dari besarnya jumlah
respon siswa mengajukan dan memecahkan masalah matematika yang
berkualifikasi tinggi. Secara umum siswa memiliki sikap positif terhahap
pembelajaran dengan pendekatan PBL. Demikian pula sikap terhadap
pengajuan dan pemecahan masalah matematika menunjukkan sikap positif.
Sikap positif ini menjadi faktor pendukung siswa dalam upaya meningkatkan
proses dan keberhasilan dalam belajar matematika. Kelebihannya adalah siswa
dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang
diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat
meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari.
Kelemahannya adalah sulit mencari masalah yang relevan. Mendasarkan
kelemahan di atas pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

2.3 Kerangka Berpikir


Pembelajaran IPA seringkali menggunakan metode pembelajaran
berupa ceramah atau penjelasan kemudian diberi contoh serta tugas.
Pembelajaran IPA ini berpusat pada guru, dan tanggungjawab serta kekuasaan
dalam pembelajaran sepenuhnya berada di tangan guru. Dalam penelitian ini,
pembelajaran yang menggunakan model ini merupakan pembelajaran dengan
pendekatan konvensional. Pendekatan ini digunakan guru IPA untuk dapat
menyelesaikan target kurikulum. Guru merupakan sumber informasi dan siswa
42
43

aktif mendengar dan mencatat penjelasan guru. Hal yang dilakukan siswa
adalah menerima, mencatat, dan menghafalkan materi yang diberikan guru serta
mengerjakan soal-soal latihan. Pembelajaran yang demikian lebih
mementingkan penguasaan akademik dan kurang memperhatikan nilai-nilai
yang terkandung dalam mata pelajaran IPA. Selain itu, pembelajaran yang
demikian belum menanamkan dan mengajarkan konsep IPA sehingga siswa
mengalami kesulitan mempraktekkan ilmunya untuk memecahkan masalah
dalam kehidupan nyata. Selain itu, interaksi yang terjalin hanya satu arah, yaitu
dari guru kepada siswa karena dalam pembelajaran ini, siswa bekerja secara
individualis. Selain itu, hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA belum
memenuhi harapan guru, yaitu masih dibawah ketuntasan kriteria minimum
yang telah ditetapkan.

Problem Based Learning merupakan suatu model pembelajaran yang


berpusat pada siswa. Dalam Problem Based Learning, siswa dikondisikan
untuk aktif memecahkan masalah yang diberikan dengan menggunakan dan
memberdayakan ide dan gagasan yang mereka miliki. Model pembelajaran ini
menekankan pada kemampuan peserta didik untuk mengkonstruksi dan
melakukan rekonstruksi terhadap pengetahuan serta pengalaman yang mereka
miliki dalam belajarnya dan mengarahkan siswa untuk memiliki kepekaan
terhadap masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning-PBL) adalah sebagai berikut:

1. Orientasi permasalahan (identifikasi masalah)


2. Organisasi penelitian (kajian permasalahan)
3. Investigasi mandiri (mengumpulkan data)
4. Investigasi kelompok (identifikasi terjun ke lapangan)
5. Menyusun laporan
43
44

6. Mempresentasikan laporan
7. Refleksi
8. Evaluasi (tes formatif)
Model pembelajaran ini menggunakan pembentukan beberapa
kelompok diskusi yang anggotanya heterogen baik dari jenis kelamin maupun
kemampuan belajarnya. Dengan adanya diskusi antar siswa dalam kelompok
diharapkan para siswa saling bertanya, berinteraksi, dan membahas masalah
pada lembar diskusi yang diberikan oleh guru, pembelajaran ini menjadi
menarik karena dalam pelaksanaannya siswa dapat menunjukkan
kemampuannya kepada siswa yang lain. Selama proses diskusi dengan
kelompoknya siswa akan menjadi aktif dalam bertanya dan menyampaikan ide/
gagasannya. Siswa yang mampu menjawab soal dari guru atau kelompok yang
lain akan merasa bangga dan senang, sedangkan siswa yang belum bisa
mengerjakan soal akan merasa tertantang sehingga akan termotivasi untuk lebih
giat lagi dalam belajar, mudah menerima materi yang disampaikan dan pada
akhirnya akan meningkatkan pemahaman serta hasil belajar pada siswa.
Adapun gambar dari kerangka pemikiran ini dapat dilihat sebagai berikut:

44
45
Pembelajaran IPA
Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk
hidup dan lingkungan

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)


Pembelajaran
Konvensional
1. Orientasi permasalahan (identifikasi masalah)

Guru
menyampaikan 2. Organisasi penelitian (kajian permasalahan)
materi ceramah

3. Investigasi mandiri (mengumpulkan data)


Siswa mendengarkan
penjelasan dari guru
4. Investigasi kelompok (identifikasi terjun ke lapangan)

Siswa tidak diberi kesempatan


mengungkapkan pendapat. 6. Menyusun laporan
.
Penilaian
Tes formatif 5. Mempresentasikan laporan
Hasil Belajar

Hasil belajar siswa 7. Refleksi


< KKM 90

8. Evaluasi (tes formatif)

Penilaian Hasil Hasil belajar Penilaian proses


Belajar belajar

Hasil belajar siswa


Diskusi kelompok
≥ KKM 90
dan presentasi

Gambar 2.1 Skema kerangka berpikir hubungan antara pembelajaran konvensional


dan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL)

45
46

2.4 Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas,
maka dapat dirumuskan “Ada efektifitas penggunaan model pembelajaran berbasis
masalah (Problem Based Learning-PBL) terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V di
SD Gugus Hasanudin Salatiga pada semester II tahun ajaran 2011/2012”.

46

Anda mungkin juga menyukai