Anda di halaman 1dari 48

BAB II

KAJIAN TEORI

2. 1 Administrasi Publik dan Pelayanan Publik

Berdasar elaborasi pada bagian pendahuluan, maka dalam kajian teori ini
akan dibahas tentang administrasi publik dan pelayanan publik, yang akan
membahas tentang perkembangan administrasi publik dan keterkaitannya dengan
ilmu yang mendasari administrasi pelayan publik, pada sub bab berikutnya akan
membahas tentang bagaimana ilmu-ilmu tentang kebijakan publik tersebut perlu
diformulasikan dengan dasar-dasar yang melandasi serta membahas bagaimana
peran aktor dalam memformulasikan kebijakan publik, serta membahas bahwa
kebijakan publik sebagai ilmu yang mengatur ketatanegaraan, sangat diperlukan
sebelum proses implementasi dilaksanakan. Pada sub bab berikutnya membahas
tentang teori-teori implementasi kebijakan layanan [pendidikan nonformal
sebagai substansi kebijakan dalam penelitian ini.

Administrasi negara (administrasi publik = public adminitration) meliputi


seluruh penyelenggaraan pemerintah yang meliputi kegiatan manajemen
pemerintahan (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan
pembangunan) dengan mekanisme kerja dan dukungan sumber daya manusia
serta dukungan administrasi atau tatalaksananya (Ibrahim. 2008). fenomena
kerjasama yang bersifat kooperatif dan terorganisasi yang dilakukan oleh dan
bersifat publik adalah kajian ilmu administrasi (administrasi publik). (Silalahi,
2009). menurut Denhardt & Denhardt (2006), pemilik kepentingan publik
sebenarnya adalah masyarakat, sebagian persoalan besar administrasi publik
adalah bersumber pada persoalan masyarakat, administrasi publik suatu sistem
yang menjawab persoalan-persoalan masyarakat tersebut (Caiden (1982:1).
menekankan bahwa disiplin ilmu administrasi publik pada hakikatnya adalah
suatu displin ilmu yang menanggapi persoalan-persoalan masyarakat (Public
Affair) dan manajemen dari usaha-usaha masyarakat (Public Business) artinya
bahwa administrator publik seharusnya memusatkan pada tanggung jawab
melayani dan memberdayakan warga negara melalui organisasi publik dan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sebagai jawaban masyarakat atas
persoalan-persoalan publik yang memerlukan pemecahan kolektif dan buka
perorangan melalui bentuk intervensi pemerinta di luar intervensi-intervensi
sosial dan pihak swasta, perkembangan masyarakat membawa implikasi terhadap
tuntutan-tuntutan masyarakat yang lebih meningkat dan administrasi publik harus
mampu menjawab tantangan berupa tuntutan tersebut, ilmu administrasi publik
harus peka menanggapi isu-isu pokok dalam masyarakat dan mampu
memformulasikan dalam bentuk rumusan-rumusqan kebijakan serta
merealisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Fungsi administrasi publik sebenarnya sudah ada dan berkembang sejak


zaman dahulubahkan sejak jaman kerajaan suatu pemerintahanyang mengelola
masyarakat pasti memerlukan teknik dan strategi yang amat komplek, baik dalam
pembagian kerja, menatasi permasalahan, melayani masyarakat yang memiliki
keinginan yang amat beragam dan bagaimana metode mengembangkan
masyarakat untuk menjadi semakin sejahtera memerlukan teknik dan metode
tersendiri untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting dan ini memerlukan
pengelolaan sistem informasi atau manajemen yang kompleks.

Perkembangan ilmu administrasi publik dapat ditelusuri dari perkembangan


paradigmanya, paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai,
metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan suatu masalah, yang dianut
oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu (Khun, 1970). dalam
konteks administrasi publik menurut Nicholas Henry dalam Santoso, 2011 : 28
terdapat lima paradigma sebagai berikut: pertama, paradigma
“Politics-Administration Dichotomy” (1900-1926) tonggak sejarah yang dapat
dipergunakan sebagai momentum dalam fase pertama ini adalah tulisan dari
Frank J. Goodnow dan Leonardo D. White. Di dalam bukunya “Politic and
Administration”, Frank J. Goodnow berpendapat bahwa ada dua fungsi pokok
pemerintahan yang amat berbeda satu sama lain, fungsi poko tersebut adalah
politik dan administrasi (Goodnow,1900: 10-11) politik berkaitan dengan
pembuatan kebijakan atau melahirkan keinginan-keinginan negara, sementara
administrasi berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Penekanan
paradigma pertama ini adalah pada locusnya, yaitu mempermasalahkan dimana
seharusnya administrasi publik itu berada. Menurut Goodnow, administrasi
publik itu berada dan berpusat di birokrasi pemerintahan.

Kedua, paradigma “The Principle of Administration” (1926-1927)


tokoh-tokoh yang terkenal dari paradigma ini adalah Willoughby, Gullick dan
Urwick, yang sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh manajemen klasik seperti
Fayol dan Taylor. Mereka memperkenalkan administrasi sebagai fokus
administrasi publik prinsip-prinsip tersebut dituangkan dalam apa yang disebut
sebagai POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Coordinating, Reporting,
dan Budgeting) yang menurut mereka dapat diterima dimana saja atau bersifat
universal. Oleh karena itu fokus administrasi publik menurut paradigma ini
menjadi tidak begitu jelas.

Ketiga, paradigma “Public Administration as Political Science” (1950-1970)


Morstein-Marx seorang editor buku “Elemen og Public Administration”
mempertanyakan pemisahan politik dan administrasi sebagai sesuatu yang tidak
mungkin atau tidak realistik. Paradigma ini, menganggap adaministrasi publik
sebagai ilmu politik dimana fokusnya menjadi kabur karena prinsip-prinsip
publik banyak kelemahan.

Keempat, paradigma “Public Administration as Administration” (1956-1970)


dalam paradigma ini prinsip-prinsip manajemen yang pernah popular
dikembangkan secara ilmiah dan mendalam. Perilaku organisasi, analisis
manajemen, penerapan teknologi modern seperti metode kuantitatif, analisis
sistem, operation reasearch, econometrics, merupakan fokus dari paradigma ini
semua fokus yang dikembangkan saat ini diasumsikan dapat diterapkan tidak
hanya dalam dunia bisnis tetapi juga dalam administrasi publik sehingga locusnya
kurang jelas.

Paradigma kelima, (1970-sekarang) “Public Administration as Public


Administration” fokus administrasi publik pada paradigma ini adalah teori
organisasi, teori manajemen dan kebijakan publik, sedangkan lokusnya adalah
masalah-masalah dan kepentingan publik.

Dalam perkembangan terjadi pergeseran paradima, yang dikenal dengan


“Post Bureacratic Paradigm” oleh Barzelay dan Armajani (1997) ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan paradigma
birokrasi dan post birokrasi ini. Perbedaan tersebut adalah seperti pada tabel 2.1:

Tabel 2.1 Perbedaan Paradigma Birokrasi dan Post Birokrasi

No Birokrasi Post Birokrasi

1 Menekankan kepentingan publik, Menekankan pada hasil yang berguna


administrasi, efisiensi, kontrol bagi publik, kualitas dan nilai produk
dan keterikatan pada norma

2 Menekankan fungsi, otoritas dan Menekankan Misi, pelayanan dan


struktur hasil akhir

3 Menekankan pada aturan dan Pemahaman dan penerapan


prosedur norma-norma, identifikasi dan
pemecahan masalah, mendorong
kegiatan kolektif dan memperkaya
umpan balik.

Tahun 1992 oleh Osborne dan T.Gabler memunculkan paradigma yang


bersifat refotmatif yaitu paradigma “Reinventing goverment” dan dikemukakan
operasionalisasinya oleh Osborne dan T.Gaebler (1997) yang memberikan
petunjuk bagi pemerintah dalam melakukanReiventing Goverment, bahwa
pemerintah harus bersifat (1) Catalytic, (2) community-owned, (3) competitive, (4)
mission-driven, (5) customer-driven, (7) enterprising, (8) participatory, (9)
decentralize, (10) market-oriented paradigma ini juga dikenal sebagai new public
management dan mencapai puncaknya dengan ditetapkan prinsip good
governance.

Good governance (tata pemerintahan yang baik) menurut Dwiyanto (2008),


pengembangan good governance akan lebih mudah jika dimulai dari sektor
pelayanan publik dan pembaharuan penyelenggaraan layanan publik dapat
digunakan sebagai titik masuk (entry point) sekaligus penggerak utama (prime
inover), karena mewujudkan nilai-nilai efisiensi, transparansi, akuntabilitas, yang
selama ini mencirikan praktik good governance dalam pelayanan publik.
Good governance dalam proses demokratisasi ini di pemerintahan sering
digunakan oleh para aktivis sebagai landasan untuk mewujudkan pemerintaha
yang memberikan ruang gerak dan partisipasi luas bagi aktor atau lembaga di luar
pemerintah yang ingin terlibat sehingga ada peran yang seimbang dan saling
melengkapi antara pemerintah, masyarakat sipil dan mekanisme pasar untuk
mewujudkan kesejahteraan bersama.

Menurut Dwiyanto, 2008 banyak pemahaman yang berbeda-beda terhadap


good govermance, namun secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang
melekat dalam praktik good governance. Pertama good governance harus
memberi ruang pada aktor lembaga non-pemerintrah untuk berperan serta secara
optimal dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi
antara aktor dan lembaga pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat
sipil dan mekanisme pasar. Kedua dalam praktik good governance terkandung
nilai-nilai efisiensi, keadila dan daya tanggap menjadi nilaiyang penting. Ketiga
praktik good governance adalah praktik pemerintahan yang bersih dan bebas dari
KKN sertaa berorientasi pada kepentingan publik. Salah satu pilihan strategis
untuk mengembangkan good goovernance melalui pengembangan
penyelenggaraan pelayanan publik yang mencirikan nilai-nilai yang selama ini
melekat pada good governance.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Dwiyanto, 2008 mengapa layuanan


publik menjadi prioritas dalam membangun praktik Good Governance pertama
selama ini pelayanan publik menjadi ranah dimana hubungan negara yang
diwakili oleh pemerintah yang berinteraksi dengan lembaga-lembaga non
pemerintah, dimana terjadi interaksi yang intensif antara pemerintah dengan
warganya.

Kedua, berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan relatif lebih


mudah dalam ranah pelayanan publik, aspek kelembagaan yang selaman ini
dijadikan rujukan dalam menilai praktik good governance dapat lebih mudah
dinilai dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Mewujudkan nilai-nilai
yang selama ini menjadi ciri praktik good governance seperti efisiensi,
non-diskriminatif, berkeadilan, berdaya tanggap tinggi, dan memiliki
akuntabilitas tinggi dapat dengan mudah dikembangkan parameternya di dalam
ranah pelayanan publik.

Ketiga, pelayanan publik melibatkan semua kepentingan unsur governance


pemerintah sebagai representatsi negara dan masyarakat sipil, serta mekanisme
pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi, baik buruknya
pelayanan publik menjadikan sangat berpengaruh untuk undur good governance.
Praktik penyelenggaraan layanan publik bisa digunakan sebagai agenda awal
reformasi birokrasi, penyelenggaraan praktik pelayanan publik apabila berhasil
diperbaiki sehingga akan efisien, responsif, partisipatif, dan akuntabel

Dalam new public menurut Hood dalam Vigoda (2003:813) terdapat tujuh
komponen doktrin yaitu: (1) pemanfaatan manajemen profesional, (2)
penggunaan indikator kinerja, (3)penekanan yang lebih besar pada kontrol ouput,
(4) pergeseran yang lebih besar pada unit-unit yang lebih kecil, (5) kompetisi
yang lebih tinggi, (6) penekanan gaya sektor swasta dalam praktik manajemen, (7)
penekanan pada disiplin dan [enghematan dalam penggunaan sumber daya.

2. 2 Kebijakan Publik (Public Policy)

Kehidupan bernegara dalam suatu komunitas menghendaki interaksi antara


pemimpin dan yang dipimpin, atau antara pemerintah dan rakyat. Pada dasarnya
baik pemerintah maupun rakyat menajalankan fungsinya masing-masing,
sehingga terdapat perbedaan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat
dalam menjalankan kehidupan bernegara. Pemerintah merupakan perwakilan
rakyat, sehingga secara ideal keinginan pemerintah merupakan keinginan rakyat
pula.

Berpangkal dari hak dan kewajiban tersebut, pemerintah berhak mengatur


serta rakyat berkewajiban untuk mematuhi aturan-aturan tersebut. Aturan-aturan
serta keinginan-keinginan rakyat tersebut diwujudkan oleh pemerintah melalui
berbagai kebijakan publik apapun yang dipilih dan ditetapkan oleh pemerintah,
baik untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan. Hal ini berarti bahwa tindakan
pemerintarh melakukan atau tidak melakukan sesuatu merupakan bentuk
kebijakan yang dipilih oleh pemerintah karena apapun pilihan bentuk
kebijakannya akan tetap menimbulkan dampak sama besarnya.

Akibat perkembangan jaman, maka istilah kebijakan seringkali dihubungkan


dengan kepentingan publik. Sehingga akhirnya istilah kebijakan dihubungkan
dengan publik dan muncul istilah kebijakan publik. Lasswell and practices.
Sedangkan Fredericson (1994) mendifinisikan kebijakan sebagai berikut: “a
proposed course of action of a person, group or government within a given
environment providing obstacles and opportunities which the policy was
proposed ti utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an
objective or a purpose”. (Rangkaian tindakan yang disengaja oleh seseorang,
kelopok atau pemerintah berdasarkan hambatan lingkungan dan kesempatan yang
ada, dimana kebijakan diarahkan untuk memanfaatkan dan melaksanakan upaya
mencapai tujuan dan mewujudkan maksud atau keinginan).

Tidak berbeda jauh, Anderson (1979) melihat kebijakan publik sebagai “a


purposive course of action followed by an actor or set of actot in dealing with a
problem or matter of concern”. (Segenap tindakan yang terarah yang dijalankan
oleh seorang atau sekelompok petugas untuk menyelesaikan masalah atau
hambatan tertentu yang menjadi perhatian). Ditegaskan juga, bahwa public
policies are those policies developed by governmental bodies and officials
(kebijakan Negara adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat pemerintah).

Sedangkan Amara Raksasataya (dalam Islamy, 2001) mengemukakan


kebijakan publik sebagai suatu takti dan strategi yang diarahkan untuk mencapai
tujuan yang memuat tiga elemen, yaitu: 1) identifikasi dari tujuan yang ingin
dicapai, 2) taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan, dan 3) penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan
secara nyata dari taktik dan strategi.

Kebijaksanaan public masih memiliki banyak pengertian yang juga dimaknai


sebagai kebijaksanaan negara, Dye (1981) mendefinisikan kebijakan publik
sebagai “….whatever governments choose to do or not to do” (apapun pilihan
pemerintah untuk dijalankan atau tidak dijalankan). Bila pemerintah memilih
untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (obyektifnya) dan
kebijaksaan negara itu harus meliputi semua ‘tindakan’ pemerintah jadi bukan
semata-mata merupakan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di
samping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan pemerintah pun termasuk
kebijaksaan negara. Hal ini disebabkan karena ‘sesuatu yang tidak dilakukan’
oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya
dengan ‘sesuatu yang dilakukan pemerintah’.

Edwards dan Sharkansky (1978) mengartikan kebijakan publik yaitu ….what


governments say and do, or do not do. It is the goals or purposes of government
programs… (apa yang dinyatakan dan dilaksanakan, atau tidak dilaksanakan.
Kebijakan Negara merupakan tujuan atau maksud dari program pemerinta).
Kebijaksanaan itu ditetapkan secara jelas dalam peraturan, perundangan, atau
dalam bentuk pidato pejabat pemerinta maupun program dan tindakan yang
dilakukan pemerintah.

Berkenaan dengan kewengangan negara, Easton (1965) menuliskan


kebijakan public sebagai the authoritative allocation of values for the whole
society (Pemanfaatan kewenangan atas nilai-nilai kepada seluruh anggota
masyarakat). Sehingga hanya pemerintah yang secara sah dapat berbuat sesuatu
kepada masyarakat dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak.
Hal ini karena pemerintah merupakan ‘authorities in a political system’ yaitu
pihak yang berwenang dalam system politik yang terlibat dalam masalah-masalah
sehari-hari yang telah menjadi tanggung jawab atau peranannya.

Kebijakan public sebagai kebijakan Negara yang dikeluarkan lembaga dan


pejabat Negara memiliki implikasi, sebagai berikut: (Anderson, 1979)

1) Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang


berorientasi pada tujuan,
2) Berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat
pemerintah,
3) Merupakan tindakan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang
pemerintah maksud akan dilakukan atau akan dinyatakan nanti
dikemudian hari,
4) Kebijakan negara bersifat positif,
5) Didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan
perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif)

Berdasarkan glossary bidang administrasi negara kebijakan publik dapat


dipahami sebagai berikut:

1) The organizing framework of purposes and rationales for government


programs that deal with specified societal problems (program dan
kerangka kerja terorganisir dan tertata untuk mengatasi masalah social
tertentu);
2) Whatever governments choose to do or not to do (semua pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak semua program);
3) The complex programs anacted and implemented by government
(program lengkap yang dilaksanakan oleh pemerintah).

Sedangkan United Nation dalam Wahab (1997) mendefinisikan kebijakan


sebagai pedoman untuk bertindak, bisa bersifat sederhana atau Kompleks, umum
atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, kualitatif
atau kuantitatif, publik atau privat. Sehingga dapat merupakan suatu deklarasi,
pedoman tindakan atau rencana program. Kebijakan publik dapat merupakan a
set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors
concerning the selection of goals and the means of achieving them within a
specified situation where these decisions should in principle be within the power
of these actors to achieve (rangakaian keputusan yang diambil tokoh politik atau
instansi pemerintah untuk mencappai tujuan dalam situasi tertentu berdasarkan
prinsip kewenangan yang dimiliki) (Jenkins dalam Wahab, 1997)

Islamy (2001) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian


tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
kepentingan seluruh masyarakat. Pengertian ini memiliki implikasi atas kebijakan
negara sebagai berikut:

1) Bentuk awal merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah


2) Tidak hanya cukup dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata
3) Mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu
4) Senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.
Sehingga tugas administrator publik bukan sekedar membuat kebijakan
publik ‘atas nama’ kepentingan publik semata tetapi benar-benar bertujuan untuk
mengatasi masalah dan memenuhi keinginan dan tuntutan seluruh anggota
masyarakat (Islamy, 2001).

Oleh karena itu, kebijakan publik adalah serentetan instruksi atau/perintah


pembuat kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut. Pandangan mengenai kebijakan publik tersebut dapat
dikatakan serangkaian tindakan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan oleh pemerintah yang memiliki tujuan dan berorientasi pada tujuan
yang telah ditetapkan untuk kepentingan seluruh rakyat.

Kebijakan publik timbul melalui serangkaian proses yaitu tindakan yang


secara definitif berkaitan dengan tujuan. Sehingga, kebijakan publik tidak timbul
secara mendadak, melainkan melalui suatu proses tertentu yang berkaitan dengan
tujuan tujuan kebijakan. Proses ini merupakan rangkaian saling berkaitan, dimana
tiap tahap dalam rangkaian proses akan mempengaruhi tahap berikutnya.
Kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang dilaksanakan pejabat
pemerintah yang berwenang untuk kepentingan masyarakat (public interest)
sebagai keseluruhan utuh ari perpaduan dan kristalisasi pendapat, keinginan dan
tuntutan (demands) dari rakyat. Sehingga kebijaksanaan Negara harus mengabdi
pada kepentingan masyarakat (Islamy, 2001)

2.3 Implementasi kebijakan Publik

2.3.1 Pengertian implementasi Kebijakan Publik

Pressman dan Wildavsky (1973) definisikan kata “implementasi” dalam


konteks sebagai kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda, implementasi
berarti keadaan dimana telah mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Sebagai
kata kerja, implementasi berarti sebuah proses Koma yakni segala sesuatu yang
terjadi dalam upaya untuk mencapai tujuan kebijakan. Dengan demikian,
walaupun implementasi sebagai kata benda tidak tercapai bukan berarti bahwa
implementasi sebagai proses tidak pernah terjadi. Pendapat Pressman dan
wildavsky 1973 tersebut selengkapnya disajikan berikut ini.
“implementation is not an easy concept to define. As a noun, implementation
is the state of having achieved the goals of the policy. As a verb it is a process –
everything that happens is trying to achieve that policy objective. Thus, just
because implementation (noun) is not achieved does not mean that
implementation (verb) does not happen”.

Pendapat Pressman dan Wildavsky tersebut menekankan bahwa


implementasi kebijakan merupakan sebuah proses dan dampak. Implementasi
kebijakan sebagai sebuah proses mengandung makna bahwa implementasi
kebijakan merupakan upaya yang berupa penjabaran dan kegiatan untuk
mencapai tujuan kebijakan. Pada umumnya kebijakan yang bersifat umum masih
perlu dijabarkan berupa formulasi dari agen implementator sehingga dapat
digunakan sebagai rujukan oleh unit-unit pelaksana dalam menyusun
program-program kegiatan. Dampak implementasi kebijakan berupa perubahan
sebagai akibat adanya usaha atau pelaksanaan program implementasi.
Perubahan-perubahan yang terjadi ini sebagai indikator keberhasilan sebuah
kebijakan yang di yang diimplementasikan.

Disamping proses dan dampak implementasi, Van Meter and Van Horn
(1974) membedakan secara tegas antara konsep implementasi, kinerja (proses),
dan dampak. Definisi selegkapnya adalah:

“Policy implementation encompasses those actions by public or privat


individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth
in prior policy decisions.” They make a clear distinction between the interrelated
concepts of implementation, performance, and impact. The observation is that
impact studies typically ask “What Happened?” whereas implementation studies
ask “Why did it happen?”

Kedua pendapat tersebut menyiratkan bahwa implementasi kebijakan


merupakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan sebuah kebijakan. Senada
dengan pendapat ini, Hargrove (1975) berpandangan bahwa implementasi sebagai
pemenuhan tujuan kebijakan melalui perencanaan dan pemrograman operasi dan
proyek sehingga disepakati hasil dan dampak yang diinginkan tercapai.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya implementasi


kebijakan berupa kegiatan-kegiatan atau aksi-aksi agar sebuah kebijakan yang
telah dirumuskan dapat terealisasi. Namun, dalam mengimplementasikan
kebijakan publik dapat berupa pelaksanaan program-program yang dijabarkan
langsung dari kebijakan publik atau masih melalui formulasi kebijakan derivasi
dari kebijakan publik yang masih bersifat umum. Pada umumnya kebijakan
publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah merupakan jenis
kebijakan publik yang masih memerlukan kebijakan publik derivasi, misalnya
berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Terkait dengan kebijakan
penataan organisasi pemerintah daerah, peraturan pemerintah nomor 41 tahun
2007 dan peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2007 diposisikan sebagai
kebijakan publik yang digunakan pedoman implementasi. Sedangkan peraturan
daerah tentang struktur organisasi dan pembagian urusan pemerintahan serta
Peraturan Bupati tentang tugas dan fungsi organisasi pemerintah daerah serta
program-programnya sebagai serangkaian implementasi kebijakan atau dapat
dikatakan sebagai kebijakan publik derivasi.

Dengan ungkapan yang lain, Islamy (2003) juga berpendapat bahwa


implementasi kebijakan merupakan usaha mewujudkan secara aktual alternatif
yang telah dipilih untuk memecahkan masalah. Alur tersebut sesuai dengan
pendapat Anderson (lihat Pearsons; 1995) yang menyatakan bahwa pembuatan
kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau disetujui. Pekerjaan
administrator adalah melaksanakan kebijakan yang dirumuskan oleh pembuatan
kebijakan, dan peran penyedia layanan adalah menjalankan kebijakan yang diatur
oleh birokrat. Dengan demikian, implementasi kebijakan publik merupakan
sebuah proses.

Sebagai sebuah proses, Pressman dan Wildavsky (1984) mengemukakan


bahwa implementasi kebijakan merupakan interaksi antara penentuan tujuan dan
tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini pada dasarnya adalah
kemampuan untuk “membangun hubungan” dalam mata rantai sebab-akibat agar
kebijakan bisa berdampak. Implementasi semakin tidak efektif jika hubungan
semua agen yang menjalankan kebijakan justru menghasilkan “defisit
implementasi”. Tujuan harus didefinisikan dengan jelas dan dipahami dengan
baik, sumber-sumber daya harus disediakan, rantai komando harus
bisaMenyatukan dan mengontrol sumber-sumber daya tersebut dan sistem harus
bisa berkomunikasi secara efektif dan mengontrol individu dan organisasi yang
terlibat dalam pelaksanaan tugas titik dari pendapat ini diharapkan dengan proses
implementasi kebijakan dapat diperoleh dampak positif atau perubahan positif
sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah ditentukan. Sehubungan dengan hal ini,
Jenkins (lihat Pearsons; 1995) berpendapat bahwa studi implementasi sebagai
studi perubahan, yakni bagaimana perubahan terjadi; bagaimana kemungkinan
perubahan bisa dimunculkan. Studi implementasi juga merupakan studi tentang
mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana organisasi di luar dan di dalam
sistem politik menjalankan urusan mereka bertindak dan berinteraksi satu sama
lain; apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu, dan juga motivasi lain
yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda. Gupta (2001)
menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan publik merupakan sebuah
tahapan yang dilakukan setelah kebijakan diadopsi atau disahkan oleh pihak yang
memiliki otoritas untuk kebijakan tersebut.

Definisi yang komprehensif tentang implementasi kebijakan publik dapat


dicermati dalam pendapat Mazmanian dan Sabatier (1983) yang telah
mengidentifikasi tahapan implementasi kebijakan publik setelah kebijakan dasar
diformulasikan sampai dampak nyata. Definisi selengkapnya adalah:

“Implementation is thecarrying out of basic policy decision, usually


incorporated in a statute but which can also take the form of important executive
orders or court decisions. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be
addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways,
“structures” the implementation process. The process normally runs through a
number of stages beginning with passage of the basic statute, followed by the
policy outputs (decisions) of the implementing agencies, the compliance of target
groups with those decisisons, the actual impact --- both intended and unintended
--- of those outputs, the perceived impacts of agency decisions, and, finalli
impotant revisions (or attemped revisions) in the basic statute”

Dari definisi tersebut telah dijelaskan bahwa implementasi kebijakan publik


dapat langsung melakukan kegiatan berdasarkan perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif untuk merujuk pada kebijakan dasar dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Bentuk implementasi yang kedua memerlukan
kebijakan derivasi berupa keputusan-keputusan oleh instansi pelaksana atau agen
implementator.

2.3.2 Proses Implementasi Kebijakan Publik

Kerangka konseptual proses implementasi menurut pendapat Mazmanian dan


Sabatier (1983) diawali dari identifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi
pencapaian tujuan kebijakan dalam keseluruhan proses implementasi.
Variabel-variabel tersebut dikategorikan menjadi 3 bagian, yaitu: (1) Tractability
of the problem; (2) The ability to structure the implementation process; dan (3)
The nonstatutory variable affecting implementation. Ketiga variabel tersebut
diposisikan sebagai variabel bebas yang mempengaruhi tahapan-tahapan
implementasi. Sementara itu, setiap tahapan implementasi mempengaruhi tahapan
berikutnya. Secara keseluruhan kerangka konseptual proses implementasi
disajikan dalam gambar 2.1 dengan tiga variabel bebas sebagaimana paparan
berikut.

1) Tractability of the problem (tingkat kesulitan masalah)


Tingkat kesulitan masalah akan mempengaruhi proses dan dampak
implementasi. Berikut ini dipaparkan variabel-variabel yang mempengaruhi
tingkat kesulitan masalah. Variabel teknis termasuk diantaranya kemampuan
untuk mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja serta
pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal yang mempengaruhi
masalah. Belum tersedianya teknologi dan pengetahuan teknis para pejabat
guna melaksanakan program akan menimbulkan berbagai hambatan terhadap
keberhasilan pelaksanaan pencapaian tujuan yang telah digariskan. Mudah
tidaknya masalah dapat dikendalikan juga dapat karena semakin beragamnya
perilaku yang diatur atau semakin beragamnya pelayanan yang diberikan
sehingga semakin sulit juga upaya untuk membuat peraturan yang tegas dan
jelas. Dengan demikian, akan berdampak semakin besarnya kebebasan
bertindak oleh para pejabat di lapangan yang kemungkinan ada perbedaan
komitmennya terhadap tujuan sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan
yang cukup mendasar dalam tingkat keberhasilan pelaksanaan program.
Sebaliknya, semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasarannya akan
diubah, maka semakin besar pula peluang untuk memobilisasikan dukungan
politik terhadap program titik cakupan perubahan perilaku yang diinginkan
juga berpengaruh terhadap pencapaian tujuan. Semakin besar cakupan
perubahan perilaku yang dikehendaki koma semakin sukar memperoleh
implementasi yang berhasil.

Gambar 2.1 Model Proses implementasi Mazmania dan Sabatier


Sumber : Mazmania dan Sabatier (1983). “Implementation and Public
Policy”
2) The Ability to Structure the implementation process (Kemampuan menyusun
struktur proses implementasi)

Setiap regulasi atau perintah eksekutif pada dapat menyusun struktur


proses implementasi dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang
akan dicapai nya, menyeleksi instansi-instansi yang tepat untuk
mengimplementasikan, memberi kewenangan dan dukungan sumber-sumber
finansial pada instansi tersebut. Disamping itu, perlu diupayakan untuk
mempengaruhi orientasi kebijakan dari para pejabat pemerintah dan
memberikan kesempatan berpartisipasi bagi pihak swasta dalam proses
implementasi. Dengan demikian, nampak bahwa para pembuat kebijakan
sebenarnya dapat memainkan peran yang cukup berarti dalam rangka
pencapaian tujuan. Peran penting tersebut adalah mendayagunakan wewenang
untuk menstrukturkan proses implementasi secara tepat.

Penentuan tujuan secara resmi merupakan langkah penting dalam


mendayagunakan wewenang. Tujuan-tujuan yang dirumuskan dengan cermat
dan disusun dengan jelas sesuai urutan kepentingannya memainkan peranan
yang penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai
pedoman konkret bagi para pejabat pelaksana dan sebagai dan sebagai sumber
dukungan bagi tujuan itu sendiri dalam upaya perubahan sosial dalam rangka
pencapaian tujuan koma serta secara implisit, suatu teori kausal tertentu yang
menjelaskan bagaimana tujuan akan tercapai. Adapun teori kausal yang baik
persyaratan bahwa hubungan timbal balik antara campur tangan pemerintah di
satu pihak dan tercapainya tujuan program dapat dipahami dengan jelas. Dan,
bahwa para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan
program mempunyai kewenangan yang cukup atas sejumlah mata rantai
hubungan yang penting guna mengusahakan tercapainya tujuan.

Setelah itu, kebijakan alokasi sumber dana yang tepat merupakan salah
satu faktor penentu dalam program pelayanan. Pengambil kebijakan
menetapkan tingkat batas ambang penyediaan dana. Tingkat ambang yang
tidak memadai akan menyebabkan suatu program gagal sebelum dimulai.
Sebaliknya, tingkat batas ambang pendanaan program yang memadai
memang dapat menunjang, sekalipun tidak menjamin bahwa suatu program
akan dapat segera dimulai dengan cepat dan lancer.

Salah satu kondisi yang dapat memperlancar implementasi adalah suatu


regulasi yang mampu memadukan hierarki didalam dan diluar instansi
pelaksana. Jika keterpaduan ini secara longgar koma maka kemungkinan akan
terjadi perbedaan-perbedaan perilaku kepatuhan yang cukup mendasar di
antara pejabat pelaksana dan kelompok kelompok sasaran karena mereka
akan berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan tertentu sejalan dengan
rangsangan atau insentif yang muncul di lapangan. Disamping itu, perlu
dirumuskan regulasi untuk pengambilan keputusan bagi instansi pelaksana
agar tetap konsisten dengan tujuan.

Bagaimanapun baiknya keputusan kebijakan dalam upaya mengubah


perilaku kelompok sasaran, tidak akan membawa hasil yang diharapkan
kecuali para pejabat instansi pelaksananya memiliki komitmen yang tinggi
terhadap pencapaian tujuan tersebut. Cara yang dapat ditempuh oleh pembuat
regulasi untuk menjamin bahwa para pejabat pelaksana memiliki komitmen
tersebut adalah dengan menugaskan instansi baru yang orientasinya sejalan
dengan kebijakan sebagai implementator. Jika akan menugaskan instansi yang
sudah ada sebagai implementator, maka dipilih instansi yang memandang
tugas baru itu sejalan dengan orientasi yang selama ini dimilikinya.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah


sejauh mana peluang peluang untuk berpartisipasi terbuka faktor diluar
instansi pelaksana mempengaruhi para pendukung tujuan resmi. Adapun aktor
di luar instansi pelaksana tersebut calon penerima manfaat dan atau kelompok
kelompok sasaran program serta legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang
merupakan atasan atasan langsung instansi pelaksana tersebut

3) Nonstatury Variable Affecting Implementation (Variabel non Kebijakan


Pemerintahan)
Perbedaan perbedaan waktu dan wilayah dalam hal kondisi kondisi
social, ekonomi dan teknologi berpengaruh terhadap upaya pencapaian
tujuan yang digariskan. Perbedaan-perbedaan sosial ekonomi dapat
mempengaruhi persepsi mengenai kabar pentingnya masalah yang akan
ditanggulangi. Jika pada waktu tertentu ditemukan masalah yang lebih serius,
maka dukungan politik terhadap alokasi sumber daya akan bergeser dari
sebelumnya. Disamping itu, perbedaan kondisi sosial ekonomi menimbulkan
desakan-desakan untuk membuat regulasi yang luas dan memberikan
keleluasaan untuk melakukan tindakan-tindakan administrasi pada instansi
pelaksana. Demikian juga kebijakan yang terkait langsung dengan teknologi,
tidak adanya perubahan teknologi merupakan faktor penghambat bagi
efektivitas implementasinya. Dengan demikian, kondisi sosial ekonomi dan
teknologi merupakan beberapa variabel eksternal kunci yang dapat
mempengaruhi hasil implementasi instansi pelaksana mempengaruhi
pencapaian tujuan kebijakan.
Dukungan publik juga merupakan variabel yang dapat mempengaruhi
implementasi kebijakan. Pada umumnya dukungan publik siklus dimana
pada awalnya dukungan publik begitu menggebu-gebu, kemudian tiba-tiba
menurun karena adanya isu-isu yang memenuhi agenda politik atau karena
ada kejadian negative. Sebaliknya dukungan publik bisa bangkit kembali
karena ada temuan-temuan baru.
Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok kelompok sasaran
memainkan peran yang cukup penting dalam proses implementasi. Dalam
kaitannya dengan ini, dilemma yang dihadapi oleh instansi pelaksana adalah
bahwa derajat dukungan publik dapat berubah dari waktu ke waktu.
Sumber-sumber dan keahlian mereka secara efektif mempengaruhi kebijakan
secara tidak langsung misalnya melalui publikasi, pengumpulan pendapatan
umum, himbauan dan lain-lain.
Disamping itu, atasan instansi yang berwenang juga mempengaruhi
proses implementasi. Yang dimaksud atasan disini adalah instansi yang
mempunyai wewenang untuk melakukan kontrol kewenangan dan
sumber-sumber keuangan instansi pelaksana. Salah satu kesulitan besar
dalam implementasi adalah jika instansi pelaksana bertanggung jawab
kepada atasan yang berlainan yang masing-masing ingin melaksanakan
kebijakan yang berlainan pula pada umumnya instansi tersebut akan
cenderung mematuhi atasan yang paling berpengaruh dalam jangka panjang.
4) Proses implementasi
Proses implementasi diawali dari penjabaran tujuan kebijakan.
Penjabaran ini dapat berupa kebijakan dari derivasi standar operasional
prosedur, program-program dari instansi pelaksana. Proses ini biasanya
membutuhkan upaya-upaya tertentu untuk mempersiapkan analisis teknis
mengenai cara penerapan yang berhasil pada situasi yang lebih kongkrit.
Setelah program dan prosedur bakunya dirumuskan koma diperlukan
kepatuhan dari kelompok sasaran. Dari studi Rodges dan Bullock (1980)
bahwa kepatuhan merupakan fungsi dari: (1) Kemungkinan pelanggaran akan
mudah dideteksi; (2) Tersedianya sanksi-sanksi untuk mereka yang
melakukan pelanggaran; (3) Sikap kelompok sasaran terhadap legimitasi
regulasi yang bersangkutan; dan (4) Besarnya biaya atau beban bagi
kelompok sasaran yang patuh.
Dampak nyata merupakan hasil akhir proses implementasi. Tentu saja
diharapkan adanya keselarasan antara hasil implementasi dengan
tujuan-tujuan kebijakan. Seringkali dampak nyata kebijakan sulit diukur
secara komprehensif dan sistematik. Oleh karena itu, yang diperhatikan
dalam evaluasi program adalah dampak yang dipersepsikan oleh kelompok
sasaran dan instansi atasan yang berwenang.
Mengingat saat ditetapkannya keputusan kebijakan merupakan titik awal
bagi analisis implementasi, maka perbaikan atau reformulasi kebijakan
sebagai titik kulminasi dari proses implementasi. Terkait hal ini, lingkup dan
arah perubahan dalam tugas-tugas resmi yang harus dijalankan oleh instansi
pelaksana merupakan fungsi dari persepsi terhadap dampak kegiatan di masa
lalu koma perubahan-perubahan yang berlangsung dalam prioritas-prioritas
kebijakan di kalangan masyarakat pada umumnya dan diantara elit-elit
membuat kebijakan sebagai akibat dari berubahnya kondisi-kondisi social,
ekonomi, sumber-atasan yang mendukung maupun yang menentangnya.
Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (lihat Islamy; 2001)
mengemukakan 6 (enam) kondisi untuk dapat mengoptimalisasi
mengoptimalkan implementasi kebijakan, yaitu: (1) Ada tujuan yang telah
ditetapkan secara sah, jelas, dan konsisten; (2) Adanya landasan teori sebab
akibat yang tepat pada setiap perumusan dan implementasi kebijakan yang
menghubungkan perubahan perilaku kelompok sasaran dengan tercapainya
tujuan akhir yang diinginkan; (3) Proses implementasi yang di struktur secara
legal guna mendorong untuk mendorong kepatuhan para pejabat pelaksana
dan kelompok sasaran; (4) Adanya komitmen dan kecakapan politik dan
manajerial yang dimiliki oleh para poleh para pejabat pelaksana Untuk
memanfaatkan sumber-sumber tercapainya tujuan kebijakan; (5) Adanya
dukungan politik yang aktif dari para pemegang kekuasaan eksekutif koma
legislatif dan kelompok kepentingan; dan (6) Prioritas pelaksanaan tujuan
kebijakan tidak boleh terganggu oleh adanya kebijakan lain yang
bertentangan atau adanya perubahan kondisi sosial ekonomi yang
mengganggu secara substansial terhadap pelaksanaan teknis Serta adanya
dukungan politik dan teori sebab akibat dari pelaksanaan kebijakan atau
program yang ada.
Bila kondisi tersebut dipenuhi bukan berarti ada jaminan mutlak bahwa
implementasi akan benar-benar berjalan efektif karena ada factor-faktor lain
yang harus diperhatikan yang disebut suboptimal conditional, yakni suatu
kondisi dimana Legislatif dan Eksekutif menghadapi: (1) Informasi yang
tidak valid; (2) Konflik tujuan dan kompleksitas politik di legislative; (3)
Kesulitan melakukan aktivitas terutama terkait dengan implementasi dan
evaluasi yang disebabkan oleh tidak jelasnya masalah; (4) Tidak adanya
dukungan dari kelompok kepentingan; dan (5) Validitas, teknik, dan teori
yang tidak memadai.
Disisi lain Anderson (1979) berpendapat bahwa agar implementasi
berjalan efektif perlu menganalisis 4 (empat aspek), yaitu who is involved in
policy implementation, the nature of administrative process, compliance with
policy, and effect of implementation on policy content and impact. keempat
aspek tersebut tidak dapat dipisahkan. Sebelum sebuah kejadian
diimplementasikan selalu didahului oleh penentuan unit pelaksana yang oleh
Anderson disebut administrative unit, yaitu jajaran birokrasi publik dari
tingkat atas sampai tingkat paling bawah. Agar implementasi dapat
berlangsung efektif perlu adanya kepatuhan dari implementator. Untuk itu,
diperlukan standarisasi proses administrasi berupa standar operasional
prosedur (SOP).
Berdasarkan pandangan Anderson tersebut koma analisis implementasi
dilakukan dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang pembuat
kebijakan koma Fokus utama analisis implementasi biasanya terkait dengan
Seberapa jauh tujuan tujuan kebijakan telah tercapai dan alasan alasan
mengapa tujuan kebijakan tidak tercapai. Hal ini mencakup usaha-usaha yang
dilakukan pejabat untuk memperoleh ketaatan dari pejabat yang lebih rendah
terkait dengan penerapan kebijakan sampai pelayanan kepada kelompok
sasaran. Dari sudut pandang pelaksanaan di lapangan, kajian implementasi
tertuju pada tindakan atau perilaku instansi. Bila dilihat dari kelompok
sasaran, maka implementasi akan terlihat dengan adanya perubahan sebagai
dampak implementasi kebijakan koma yaitu kinerja aparatur.
Sementara itu Edward III (1980) mengemukakan empat macam
variabel yang mempengaruhi efektivitas sebuah implementasi, yaitu: (1)
Communications; (2) Resources; (3) Dispositions; (4) Bureaucratic
structures on policy implementation. Variabel komunikasi (communication)
terdiri atas subkomponen seperti transmisi (transmission) antara pelaksana
dan penerima program, komponen kejelasan persoalan (Clarity), dan
komponen konsistensi (consistency). Variabel sumber daya (resources)
terdiri atas beberapa sub komponen seperti sumber daya staf, informasi yang
dimiliki, otoritas, dan fasilitas pendukung implementasi. Variabel disposisi
(disposition) merupakan keluasan kewenangan oleh pejabat pelaksana terdiri
atas beberapa komponen seperti dampak disposisi yang ada, penempatan
birokrasi terkait dengan implementasi dan faktor insentif variabel struktur
birokrasi (bureaucratic structure) merupakan komponen yang terdiri atas
beberapa sub komponen seperti standard operating procedure (SOP) dan
mekanisme fragmentasi yang dilakukan oleh pejabat pelaksana. Keempat
variabel tersebut mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lain.
Variabel komunikasi, misalnya, mempengaruhi sumber daya koma disposisi,
dan struktur birokrasi pelaksanaannya dalam konteks implementasi kebijakan.
Walaupun variabel-variabel tersebut mempunyai tingkat pengaruh yang sama
terhadap implementasi kebijakan, variabel komunikasi dan struktur birokrasi
sering dimediasi oleh variabel sumber daya dan disposisi dari pelaksana
kebijakan. Dengan kata lain, variabel komunikasi dan struktur birokrasi
dianggap memiliki hubungan langsung dengan aspek keberhasilan dan
kegagalan implementasi kebijakan publik dengan demikian, pandangan
Edwards III (1980) tersebut cukup relevan untuk menjelaskan fenomena
implementasi kebijakan penataan organisasi pemerintah daerah di lapangan
karena pandangan Edward tersebut cukup proporsional dan konsisten dalam
memahami proses kompleks kegiatan implementasi yang menekankan pada
proses implementasi kebijakan, dan memperhatikan persoalan prosedur
implementasi dalam keseluruhan kegiatan implementasi dilapangan.
Pendapat yang mengaitkan tujuan kebijakan dan evaluasi implementasi
kebijakan dikemukakan oleh Grindle (1980). Proses implementasi baru dapat
dimulai setelah tujuan kebijakan dijabarkan kedalam program-program dan
dana sudah dialokasikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program
menjadi tindakan dan mencari alternatif-alternatif cara menjalankan
perubahan tersebut. Proses implementasi dipengaruhi oleh isi kebijakan dan
konteks implementasi. Isi kebijakan meliputi pihak yang kepentingannya
dipengaruhi jenis manfaat yang diperoleh jangkauan perubahan yang
diharapkan, letak pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumber
daya yang disediakan. Sedangkan konteks implementasi meliputi: (1)
Kekuasaan kepentingan dan aktor yang terlibat; (2) Karakteristik lembaga
dan Penguasa dan; (3) Konsistensi dan daya tanggap. Hasil akhir
implementasi berupa dampaknya terhadap masyarakat, perorangan, dan
kelompok serta tingkat perubahan dan penerimaannya. Hasil akhir inilah
yang menurut grindel (1980) diukur tingkat keberhasilannya untuk
memberikan umpan balik terhadap tujuan-tujuan dan program-program.
Proses implementasi menurut grindel tersebut disajikan pada gambar 2.2
Gambar 2.2 Proses Implementasi Kebijkan Grindle
Sumber : Grindle, Meriles S. (1980). “Politic and policy implementasi in
the third world”
Pembedaan antara formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan
dalam kajian ini hanya semata-mata untuk memudahkan kinerja analisis.
Sebenarnya keduanya merupakan suatu kesatuan yang utuh karena
membedakan secara tegas antara formulasi dan implementasi kebijakan
mendapat kritikan dari para pakar sebagaimana dipaparkan berikut ini.

Pertama, kritikan dari Hodgkinson (dalam Wahab; 2005), yang


menyatakan bahwa “memang tidak dapat diingkari bahwa
kelompok-kelompok perwakilan atau kelompok-kelompok politik yang
membuat atau menetapkan kebijakan, namun sungguh amat keliru kalau lantas
kita berasumsi bahwa hanya mereka semata yang membuat kebijakan dan
amat picik pandangan kita kalau menganggap bahwa para administrator pada
jenjang tertentu dalam organisasi sama sekali tidak membuat kebijakan.
Apabila mereka tidak membuat kebijakan, maka mereka sebetulnya hanya
sekedar manajer manajer.

Tetapi, sepanjang mereka secara langsung atau tidak langsung, formal


atau informal, dengan cara persuasif, mengontrol informasi atau dengan sarana
apapun menetapkan keputusan keputusan kebijakan, maka mereka adalah para
eksekutif dan administrator.

Kedua, berasal dari apa yang mereka kemudian dikenal dengan sebutan
pendekatan adaptif atau interaktif dalam implementasi, yang menekankan
adanya penyesuaian-penyesuaian terhadap tujuan dan strategi yang dilakukan
oleh para aktor selama proses implementasi berlangsung, sehingga pembedaan
yang tegas antara rumus dan implementasi itu tidak lagi bermakna Rondinelli
(dalam Wahab; 2005).

Ketiga, kritikan berasal dari 2 orang ahli kebijakan negara terkemuka


Majore dan Wildavsky (dalam Wahab; 2005) yang berpendapat bahwa
pembuatan kebijakan negara yang menggariskan tujuan dan program
seyogyanya perlu dimodifikasi secara terus-menerus agar tetap mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai kendala dan situasi yang senantiasa
berubah walaupun usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat pelaksana sebagai
tindakan yang tidak sah atau tidak sepantasnya dilakukan secara tegas mereka
menyatakan pandangan tentang hal ini sebagai berikut:

“policies are continuously transformaed by implementing actions that


simultaneously after resources and objectives…it is not policy design
but redesign that goes on most of time. Who is to say, then, whether
implementation consist of altering objectives to correspond with
available resources of mobilizing new resources to accomplish old
objective? Implementation is evolution…when we act ti implement a
policy, we change it”

Disamping itu, perlu disadari bahwa apa yang terjadi pada tahap
implementasi akan mempengaruhi hasil akhir kebijakan. Sebaliknya, peluang
keberhasilan dalam mewujudkan hasil akhir yang diinginkan akan semakin
besar jika sejak merancang bangun kebijakan telah dipikirkan masak-masak
berbagai kendala yang mungkin muncul pada saat implementasinya.

2.3.3 Dampak Implementasi Kebijakan Publik

Dampak nyata merupakan hasil akhir proses implementasi. Tentu saja


diharapkan adanya keselarasan antara hasil implementasi dengan tujuan-tujuan
kebijakan. Namun browning dan marcell (1978) menemukan bahwa adanya
perbedaan hasil implementasi dan tujuan kebijakan dapat karena
perubahan-perubahan kondisi social, ekonomi, dan teknologi serta dampak
perubahan jangka panjang dari kekuatan politik dan kepentingan kepentingan
yang selama ini bersaing. Dengan demikian, dampak nyata dari proses
implementasi kebijakan merupakan indikator tingkat pencapaian tujuan-tujuan
kebijakan yang telah di formulasikan.

Selanjutnya perlu dicermati terlebih dahulu pendapat para pakar apa yang
dimaksud dengan dampak tersebut. Menurut Cook dan Sciolo (1975) serta
Dolbeare (1975)dalam Pearsons (1995) berpendapat: policy impact analysys
entails an extension of this research area while, at the same time, shifting
attention toward the measurement of the consequences of public policy. In other
word, as opposed to the study of what causes policy, impact analysis on the
question of what policy causes. Menurut pendapat ini secara singkat bahwa
analisis dampak kebijakan memusatkan pada masalah what policy causes sebagai
lawan dari kajian what causes policy. Menurut Thomas R. Dye (2005) yang
termasuk dampak kebijakan adalah: (1) The impact on target situationsor group;
(2) the impact on as well asimmediate conditions, (4) Its direct cost in term of
resources devote to the program, and (5) its indirect cost, including loss of
opportunities to do other things. Islamy (2003) membedakan dampak kebijakan
ke dalam policy impact/outcomes dan policy output. Policy impact/outcomes
merupakan akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dengan
dilaksanakan suatu kegiatan kebijakan. Sedangkan yang dimaksud dengan policy
output adalah sesuatu yang telah dihasilkan dengan adanya program perumusan
kebijakan. Dari Pengertian tersebut, dampak mengacu pada adanya
perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh suatu implementasi kebijakan.
Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak
tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang
negatif (anintended) selanjutnya Islami (2003) mengemukakan beberapa bentuk
konsekuensi kebijakan, yaitu: (1) Kebijakan dari kebijakan yang diharapkan atau
tidak diharapkan; (2) Limbah kebijakan terhadap mereka yang bukan dari sasaran
kebijakan; (3) Dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang atau kondisi
mendatang; (4) Dampak kebijakan terhadap biaya langsung; dan (5) Dampak
kebijakan terhadap biaya tidak langsung.

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa konsep “dampak”


menekankan pada apa yang terjadi secara aktual pada kelompok yang ditargetkan
dalam kebijakan sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu alat tolok ukur
keberhasilan tujuan kebijakan dan dapat juga dijadikan sebagai masukan dalam
proses perbaikan perumusan kebijakan. Namun seringkali dampak nyata
kebijakan sulit diukur secara komprehensif dan sistematik. Oleh karena itu, yang
diperhatikan dalam mengevaluasi program adalah dampak yang dipersepsikan
oleh kelompok sasaran dan instansi atasan yang berwenang. Menurut Rein dan
Rabinovitzz (1980) persepsi ini merupakan fungsi dari dampak nyata yang
diwarnai nilai-nilai orang yang mempersepsi nya. Dengan demikian, secara
umum ada korelasi antara sikap awal terhadap tujuan dan program kebijakan
dengan persepsi serta evaluasi mengenai dampaknya.
Di sisi lain dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur dampak implementasi
diperlukan pendekatan evaluasi. Namun, apa perbedaan antara evaluasi pada
dampak implementasi dengan evaluasi kebijakan publik sebagai bagian dari
tahapan kebijakan publik. Terkait kedua hal tersebut Mazmanian dan Sabatier
(1983) berpendapat “ All implementation studies seek to evaluate program
performance, though they can differ markendly in the evaluative criteria
employed. They can also be distinguished by where they focus on either policy
outputs or eventual outcomes (or both)”. Jadi, perbedaan antara pengukuran
dampak kebijakan dan evaluasi kebijakan hanya terletak pada sasaran evaluasi.
Nelson dan Yates (1978) menjelaskan terkait perbedaan sasaran tersebut bahwa
sasaran evaluasi pada dampak implementasi tertuju pada output kebijakan dari
agen implementator sedangkan sasaran evaluasi kebijakan bersifat menyeluruh
sampai pada hasil akhir dari sebuah kebijakan termasuk evaluasi dampak
implementasi kebijakan. Oleh karena itu, Mazmanian dan Sabatier (1834)
kesimpulan bahwa dalam studi implementasi terjadi pada tiga permasalahan
pokok, yaitu: (1) Kesesuaian dampak kebijakan dari agen implementator dengan
tujuan kebijakan; (2) Kesesuaian strategi dasar proses implementasi dengan
tujuan kebijakan; dan (3) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat
pencapaian tujuan.

Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi dampak


implementasi merupakan bagian evaluasi kebijakan. Dalam evaluasi kebijakan
Pearsons (1995) mengemukakan adanya dua aspek yang terkandung didalamnya
(1) Evaluasi kebijakan dan kandungan programnya; (2) evaluasi terhadap
orang-orang yang bekerja dalam organisasi yang bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan kebijakan dan program. Selanjutnya Pearsons (1995)
berpendapat bahwa riset evaluasi membahas 2 dimensi: bagaimana sebuah
kebijakan bisa diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan melalui aktivitas
pengukuran kinerja tujuan dan dampak aktualisasi dari kebijakan. Bagaimana
pendekatan untuk menilai dampak kebijakan, Patton dan Sawicki (1986)
memberikan petunjuk analisis dengan beberapa karakteristik analisisnya, yaitu:
(1 ) Before and after comparisons; (2) With and without out comparisons; (3)
Actual-versus-planned performance; (4) Experimental models; (5) Quasi-
exsperimental models; dan (6) Cost oriented approached. Dengan konsep tersebut,
perubahan kondisional dimaksudkan sebagai adanya perubahan yang terjadi dan
diakibatkan oleh implementasi kebijakan public, baik perubahan secara langsung
(direct outcomes) dan perubahan yang tidak secara langsung (indirect outcomes).

Dalam perspektif lain, Palumbo (lihat Pearsons; 1995) membedakan antara


evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap evaluasi kebijakan. evaluasi
formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program sedang
diimplementasikan yang merupakan analisis tentang “seberapa jauh kebijakan
diimplementasikan dan kondisi yang bisa meningkatkan keberhasilan
implementasi”. oleh karena itu, fase implementasi memerlukan evaluasi “formatif”
yang memonitor cara di mana sebuah kebijakan dikelola atau diatur untuk
menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses
implementasi. evaluasi sumatif berusaha mengukur bagaimana kebijakan secara
aktual berdampak terhadap problem yang ditanganinya.

dalam melakukan evaluasi perlu adanya pendekatan. Dunn (1994)


mengemukakan tiga pendekatan evaluasi: (1) Evaluasi semu; (2) Evaluasi formal;
dan (3) Evaluasi keputusan teoritis. evaluasi semu adalah pendekatan yang
menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang
valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa harus untuk
menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu,
kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. evaluasi formal merupakan
Pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi
yang valid dapat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan dimana dalam
mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan secara formal
oleh pembuat kebijakan dan administrator program. evaluasi formal
menggunakan undang-undang dokumen-dokumen program, wawancara
pembuatan kebijakan dan administrator untuk mengidentifikasikan,
mendefinisikan dan menspesifikasikan tujuan dan target kebijakan. dalam
evaluasi formal tipe-tipe kriteria evaluatif yang paling sering digunakan adalah
efektivitas dan efisiensi. evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dapat
dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh
berbagai macam pelaku kebijakan. evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk
memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari perilaku kebijakan
baik yang tersembunyi atau dinyatakan. ini berarti bahwa tujuan dan target dari
para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah satu sumber nilai,
karena semua pihak yang mempunyai andil dalam memformulasikan dan
mengimplementasikan kebijakan dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target
dimana kinerja nantinya diukur.

2.4.3 Aktor Kebijakan Publik

howlett berpendapat bahwa para aktor kebijakan publik merupakan variabel


kunci dalam menjelaskan proses kebijakan publik lengkapnya adalah sebagai
berikut.

“in our view both actors and institution play a crucial role in the policy
process, even though one may be more important than the other in specific
intances. Individuals, group, classes, and states participating in the policy
process no doubt have their own interest, and the outcomes of their effort,
are shaped by institutional factors”

para aktor dan institusi atau organisasi berperan penting dalam proses
kebijakan, walaupun tergantung pada isu kebijakan. keterkaitan para aktor dan
institusi digambarkan pada gambar 2.3. berikut

gambar 2.3. Actors and Institution in the Policy Process

sumber : Howlett and Ramesh. (1995). : Studying Public Policy: Policy


cycles and policy Subsistems”

Kebijakan dibuat oleh subsistem kebijakan yang terdiri dari para aktor yang
terkait dengan masalah kebijakan. Subsistem kebijakan merupakan forum di
mana melakukan persuasif dan negosiasi untuk memenuhi kepentingannya.
Adapun istilah “aktor” tersebut meliputi aktor sosial dan aktor pemerintahan yang
terlibat dalam proses kebijakan titik keterlibatan tersebut dapat secara langsung
sehingga disebut anggota jaringan kebijakan (policy network) dan keterlibatan
secara tidak langsung, yakni keterlibatan dalam konteks yang lebih umum
sehingga disebut anggota komunitas kebijakan (policy communities).
Berdasarkan pendapat tersebut menyiratkan pentingnya identifikasi para
aktor kebijakan publik. Untuk mengidentifikasi aktor kebijakan, Wahab (1999)
mengemukakan perlunya perumusan secara cermat ruang kebijakan (Policy
Space) yang kemudian mengaitkan dengan wilayah kebijakan (Policy Area).
Ruang kebijakan diindikasikan dengan adanya sejumlah aktor yang kehadirannya
relatif stabil dan kepentingannya terhadap suatu kebijakan mudah dilihat.
Sedangkan wilayah kebijakan merupakan bagian dari lingkungan politik yang
langsung berhubungan dengan kebijakan yang akan dianalisis.

Demi penyederhanaan, Howlett dan Ramesh (1995) mengemukakan 5


kategori aktor kebijakan public, yaitu: (1) Pejabat terpilih (elected officials); (2)
Pejabat yang ditunjuk (appointed officials); (3) Kelompok kepentingan (interest
group); (4) Organisasi penelitian (research organization); dan (5) Media masa
(mass media). Dua aktor yang pertama berada di dalam masyarakat. Semua aktor
tersebut secara bersama-sama membentuk elemen-elemen pokok dalam subsistem
kebijakan. Akan lebih jelas dan mengidentifikasi peran para tokoh tersebut, maka
pada paparan berikut ini dijelaskan konsepsi peran dari masing-masing aktor
tersebut.

Partisipasi pejabat terpilih (Elected Official) dalam kebijakan publik dapat


dibagi menjadi dua kategori, yakni: eksekutif dan legislative, meskipun legislatif
sering hanya memainkan peran yang kecil. Eksekutif memegang peran sentral
dalam subsistem kebijakan publik. Peran sentral tersebut berasal dari regulasi
untuk memerintah. Walaupun ada aktor lain juga terlibat dalam proses tersebut,
kewenangan untuk membuat dan melaksanakan kebijakan pada akhirnya adalah
eksekutif. Legislatif merupakan forum penting ketika masalah-masalah sosial
muncul dan kebijakan dibutuhkan untuk mengatasinya, namun legislatif tidak
mungkin mewujudkan dalam praktek karena didominasi eksekutif (lihat Olson
dan Mezey; 1991). Walaupun begitu seringkali legislatif dapat mempengaruhi
pengambilan kebijakan, misalnya persetujuan peraturan daerah.

Pejabat yang ditunjuk (appointed official) menangani kebijakan publik dan


administrasi sering disebut “birokrasi”. Adapun fungsinya adalah membantu
eksekutif dalam melaksanakan tugasnya. Namun, dalam pemerintah modern yang
penuh dengan kompleksitas koma fungsi pembuatan kebijakan dan implementasi
banyak dilakukan oleh birokrasi karena memiliki sejumlah besar tenaga ahli
untuk menangani masalah kebijakan. Tanggung jawab tetap ada pada eksekutif.

Kelompok kepentingan (interest group) memiliki pengetahuan atau informasi


khusus yang tidak dimiliki oleh kelompok lain sehingga di era politik modern
memungkinkan kelompok kepentingan memainkan peran yang signifikan dalam
proses pengambilan kebijakan. Dampak politik kelompok kepentingan terhadap
perumusan dan implementasi kebijakan publik sangat beragam tergantung
keragaman sumber daya organisasi yang dimiliki oleh kelompok kepentingan.
Adapun keragaman sumber daya organisasi tersebut antara lain:

a. Keragaman jumlah anggota organisasi kelompok kepentingan. Pada umumnya


jumlah anggota organisasi yang besar cenderung diperhatikan oleh
pemerintah;
b. Kelompok kepentingan dapat membentuk asosiasi tingkat nasional dengan
kepentingan yang sama sehingga lebih berpengaruh daripada dan dilakukan
secara individual; dan
c. Kelompok kepentingan yang memiliki cukup dana dapat mengangkat staf
khusus dan bahkan dapat memberikan kontribusi pada saat kampanye partai
atau kandidat kepala daerah.
Dalam sistem politik yang demokratis, sumber daya informasi dan kekuatan
kelompok kepentingan tersebut memungkinkan kelompok kepentingan menjadi
bagian penting dalam subsistem kebijakan public. Namun, bukan berarti
keterlibatan kelompok kepentingan dalam subsistem kebijakan public dapat
menjamin semua kepentingannya terakomodasi.
Organisasi penelitian (riset organization) dan “think thank” merupakan aktor
sosial dapat memainkan peran yang penting dalam proses kebijakan pada
umumnya para peneliti universitas mempunyai kepentingan teoritik dan filosofis
terkait dengan permasalahan public. Para peneliti universitas banyak melakukan
penelitian yang ditujukan untuk berpartisipasi dalam debat kebijakan karena hasil
penelitiannya juga dapat digunakan sebagai rujukan untuk tujuan tujuan
kebijakan. Kegiatan yang serupa dengan peneliti universitas adalah organisasi
‘think thank”, yaitu sebuah organisasi independen yang bergerak di bidang
penelitian multi disiplin yang cenderung ditunjukkan pada solusi praktis
permasalahan kebijakan public.
Media massa media mempunyai peran penting sebagai penghubung antara
pemerintah dan masyarakat. Peran tersebut memungkinkan media massa dapat
mempengaruhi preferensi pemerintah dan masyarakat terhadap permasalahan
publik dan pemecahannya. Namun, pada saat yang sama peran media massa
seringkali bersifat sporadis dan sangat marginal (lihat Kigdon; 1984)

2.3.5 Faktor-Faktor Berpengaruh dalam Implementasi Kebijakan Pelayanan Publik

Pelayanan menurut sianipar adalah cara melayani, membantu menyiapkan


dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau kelompok
orang dan publik adalah masyarakat atau rakyat (Syamsiar, 2007). Jadi pelayanan
publik adalah kegiatan atau cara melayani, membantu menyiapkan dan mengurus,
menyelesaikan kebutuhan masyarakat atau rakyat.

Faktor yang mendukung pelayanan publik menurut Moenir (Syamsiar, 2007)


adalah:

1) Kesadaran pejabat serta petugas yang berkecimpung di dalam pelayanan


public
2) Aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan
3) Organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya
mekanisme pelayanan
4) Pendapatan yang dapat memenuhi hidup minimum
5) Keterampilan petugas
6) Sarana dalam pelaksanaan tugas layanan
Selain 6 faktor diatas, pelayanan publik harus mempraktekkan perilaku adil
bagi semua golongan dan lapisan masyarakat serta tidak mengabaikan
dimensi-dimensi kemanusiaan (human dimention) seperti equity, fairness dan
social expectation (Syamsiar, 2007). Penerapan prinsip moral seperti ini dalam
manajemen pelayanan publik tidak mudah karena memerlukan teladan dari
pejabat publik (Syamsiar, 2007), sekalipun telah dinyatakan dalam proses kerja
yang jelas.
Prosedur kerja yang jelas dapat menyeragamkan tindakan-tindakan para
pejabat dalam organisasi dan kesamaan dalam penerapan peraturan-peraturan
(Winarno, 2002). Akan tetapi Tjokrowinoto (1995) mengingatkan bahwa
prosedur kerja yang panjang dan terkesan berbelit-belit menyebabkan timbulnya
mata rantai pengambilan keputusan dan pelaksanaan pemberian pelayanan
kepada public. Jika demikian terjadi, maka dapat mengakibatkan pemborosan
waktu, energi maupun dana. Makin panjang prosedur kerja, makin besar
kemungkinan pemborosan.

2.3.6 Kebijakan Pendidikan Non Formal

Pendidikan adalah hak asasi manusia. Pendidikan adalah sarana utama


dimana orang dewasa dan anak-anak dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial
dapat mengangkat dirinya keluar dari kemiskinan serta memperoleh cara untuk
turut terlibat dalam komunitasnya. Pendidikan juga berperan penting dalam
rangka memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja
dan seksual, dan mempromosikan ham dan demokrasi.

Dalam perspektif hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara berkewajiban


memenuhi dan menghormati ham, termasuk hak atas pendidikan. Kegagalan
melaksanakan kewajiban ini merupakan pelanggaran ham. Pelanggaran hak hak
ekonomi, sosial dan budaya terjadi ketika negara menempuh lewat perbuatan atau
tidak melakukan perbuatan, suatu kebijakan atau praktik yang secara sengaja
menolak atau menga mengabaikan kewajiban yang ada dalam perjanjian, atau
gagal mencapai standar pelaksanaan atau pencapaian yang diwajibkan. Ada dua
tipe pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pertama, pelanggaran melalui kegiatan langsung atau melakukan tindakan


(by commission). Pelanggaran hak hak ekonomi, sosial dan budaya dapat terjadi
melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang tidak diatur secara
memadai oleh negara.

Kedua, pelanggaran melalui tindakan tidak langsung atau pembiaran (by


comission) pelanggaran hak hak ekonomi, sosial dan budaya dapat juga terjadi
melalui tidak melakukan suatu perbuatan atau kegagalan negara untuk
mengambil tindakan lanjutan yang perlu atas kewajiban hokum. Misalnya,
kegagalan memantau pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

2.4 Pelayanan Publik


2.4.1 Pengertian Pelayanan Prima
Istilah publik dalam pelayanan publik merujuk pada pengertian
masyarakat atau umum. Nurcholis (2005) menandaskan publik berkenaan
dengan sejumlah orang yang mempunyai kebersamaan berfikir, perasaan,
harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma
yang mereka miliki.
Pelayanan publik dimaknai sebagai hak masyarakat yang pada dasarnya
memiliki prinsip: kesederhanaan, kejelasan kepastian waktu, akurasi,
keamanan, tanggungjawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudian
akses, kedisiplinan, kesopanan, keramahan dan kenyamanan. Dalam kaitan
dengan pelayanan yang dilakukan birokrasi public, Tangkilisan (2005) melihat
tidak berorientasi langsung pada tujuan akumulasi keuntungan, namun
memberikan layanan publik dan menjadi katalisator dalam penyelenggaraan
pembangunan maupun penyelenggaraan tugas negara. Tentu saja responsivitas
pelayanan yang diberikan diatur berdasarkan aturan perundangan.
Responsivitas dalam pandangan Siagian (2000) ketika membahas
pengembangan organisasi, menyangkut kemampuan aparatur dalam
menghadapi dan mengantisipasi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntunan
baru dan pengetahuan baru, termasuk keberpihakan terhadap mekanisme pasar
(Safii,2007). Namun demikian tetap berpatokan pada tujuan prinsip dasar
berikut ini: (Denhardt,2006)
1) Melayani warga negara atau rakyat, bukannya pelanggan customer,
2) Mendalami tentang kepentingan publik atau public interest bukan
mekanisme pasar,
3) Meletakkan nilai kewenangan meletakkan nilai kewargaan dan pelayanan
publik di atas kewirausahaan,
4) Berpikir secara strategis dan bertindak secara demokratis,
5) Akuntabilitas publik bukan hal sederhana sebatas kelengkapan hukum dan
administrasi,
6) Tugas pemerintah adalah melayani bukan mengendalikan,
7) Lebih menghargai rakyat daripada produktivitas
Sesuai keputusan MENPAN no.63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, layanan pemerintah
dibedakan menjadi tiga kelompok administrative, yaitu: pertama, layanan yang
menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh public, kedua,
layanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis barang yang digunakan
oleh public, ketiga, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang
dibutuhkan oleh public. Dari ketiga kelompok layanan ini tersirat tiga pelaku
utama, yaitu: pembuat kebijakan, penyedia atau pelaksanaan layanan publik
dan penerima layanan. Dalam sistem pemerintahan yang berlaku umum,
perumus dan pelaksana layanan publik dilakukan oleh pemerintah, dan
masyarakat sebagai penerima layanan (Susanto,2005). Melihat pelayanan
publik yang dilakukan pemerintah, Dwiyanto (2002) menyarankan agar
digerakkan oleh visi dan misi pelayanan, bukan oleh peraturan dan anggaran
yang tidak dimengerti oleh publik apalagi tidak disosialisasikan transparan.
Kendala lain dalam menyelenggarakan layanan publik yang optimal
diakibatkan oleh birokrasi yang tidak responsif terhadap dinamika penguatan
kemampuan masyarakat baik sebagai imbas mekanisme pasar maupun karena
kehadiran mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan yang mensyaratkan
birokrasi meraih definisi redefinisi kembali misinya. Banyak contoh
menunjukkan bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya
menghasilkan penyeragaman yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan
kondisi daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh dukungan
penuh dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat karena tidak sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan kultural geografis dan
ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut
program-program pembangunan yang berbeda pula.
Dalam tulisan manajemen layanan public, Susanto (2005) menilai
layanan publik yang menempel di lembaga pemerintah dinilai kurang dapat
memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan khalayak dengan sebagai
konsumen dikarenakan bentuk organisasi birokrasi, sehingga birokrasi selalu
mendapat pengertian negative. Penyebab lain, ditengarai karena
ketidakpatuhan terhadap ketentuan baku dalam melaksanakan tugas.
Penyimpangan yang terjadi kerapkali tidak diikuti pengenaan sanksi sekalipun
keterlibatan birokrasi dalam memberikan layanan publik dianggap tidak
optimal, namun Osborne dan Gaebler (1991) menilai birokrasi publik masih
diperlukan untuk kebijakan, regulasi, keadilan, mencegah eksploitasi,
menjamin kontinyuitas dan stabilitas jasa serta menjamin keakraban sosial
namun berarti merupakan satu satunya lembaga yang paling baik dalam
memberikan pelayanan kepada public.
Penyimpanan yang terjadi dalam layanan publik dapat disebabkan salah
satu dari keempat keadaan berikut ini:
1) Birokrat yang bertanggung jawab dalam layanan publik masih terpaku
dalam paradigma lama dengan semangat pangreh praja,
2) Peraturan dan ketentuan yang berlaku mengandung banyak lubang house
atau kelemahan yang mendorong penyimpangan,
3) Penggunaan jasa layanan publik juga sering memanfaatkan kelemahan
peraturan dan ingin menempuh jalan pintas,
4) Pengguna jasa masih berada pada posisi yang lemah
Keadaan di atas masih diperburuk oleh kebijakan, program dan
pelayanan publik yang kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat, karena
pertama, kebanyakan birokrat masih berorientasi pada kekuasaan dan bukan
pada kepentingan publik. Birokrat lebih menempatkan diri sebagai penguasa.
Budaya paternalistik diduga menyuburkan kualitas pelayanan publik yang
rendah. Kedua, akibat kesenjangan lebar antara apa yang dibutuhkan oleh
pembuat kebijakan dengan yang dikehendaki oleh rakyat.
2.4.2 Strategi Pelayanan Publik
Peningkatan tuntutan kualitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik
semakin meningkat dan tidak lagi semata-mata ditentukan oleh pemerintah
tetapi ditentukan oleh kebutuhan masyarakat itu sendiri, kebutuhan tersebut
ditunjukkan baik pada barang privat (private good) maupun barang publik
(public goods) sebagaimana diketahui barang publik adalah barang yang tidak
dapat dipenuhi melalui mekanisme pasar melainkan harus melalui pengaturan
pemerintah (Tri Lestari, 2001)
Perkembangan terakhir memunculkan tuntutan agar perubahan
dilakukan bagi layanan pemerintah. Selama ini layanan pemerintah dirasakan
masyarakat berbelit-belit koma lamban dan tidak jelas. Tuntutan ini
melahirkan apa yang dinamakan reinventing government antara lain berimbas
pada implementasi kebijakan publik sehingga dikenal 5 strategi layanan publik
seperti disarankan Osborn dan Plastrik (1996) yakni:
1) Menciptakan sistem standar pelayanan
2) Menerapkan high technology
3) Memberdayakan potensi insan pers
4) Meningkatkan peran lembaga swadaya masyarakat
5) Mengembangkan sistem pendidikan kepedulian.

Kenyataan administrasi publik masih gagal dalam memecahkan masalah


publik menurut Hahn Been Lee (Zauhar,2007) disebabkan oleh kesalahan
dalam memilih strategi. Dalam kaitan dengan kesalahan administrasi publik di
negara berkembang seperti indonesia, Zauhar (2007) melihat karena pemilihan
strategi, mengingat negara yang lebih bersifat represif dan instruktif serta
lemah dalam menyusun rencana dengan visi. Ditambah dengan pemilihan
administrasi publik deliberatif bukan administrasi publik konvensional yang
menjadi landasan menyemai altruistie behavior yakni perilaku dasar
kesetiakawanan social. Karakteristik deliberatif dirasakan etika suatu
penyelesaian masalah dilakukan melalui perundingan, musyawarah saling
mengingatkan dan menasehati dengan mengedepankan dialog. Kondisi
administrasi publik di negara sedang berkembang pun menunjukkan tingkat
formalitas yang tinggi ditandai dengan kesenjangan antara keadaan dan yang
tertulis secara formal dengan realitas, dan ini lazim dijumpai di masyarakat
peralihan sebagai prismatic society. Menurut Riggs (1964) sistem administrasi
seperti masyarakat peralihan ini tidak efisien karena sistem ekonomi, sosial
dan budaya, kekuasaan dan lain-lain.

Dalam menyelenggarakan pendidikan Non-Formal kerangka dasar yang


menjadikan rujukan dalam implementasi kebijakan, mengacu pada strategi
pembangunan pendidikan nasional berikut ini:

1) Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia


2) Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi
3) Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis
4) Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan
5) Peningkatan profesionalitas pendidik dan tenaga pendidikan
6) Penyediaan sarana belajar yang mendidik
7) Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan
berkeadilan
8) Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata
9) Pelaksanaan wajib belajar
10) Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan
11) Pemberdayaan peran masyarakat
12) Pusat pemberdayaan pembudayaan dan pembangunan masyarakat
13) Pelaksanaan pengawasan
Strategi ini menjadi acuan penyusunan kebijakan pokok dan kerangka
implementasi program dan kegiatan pembaharuan pendidikan
2.4.3 Pelayanan Pendidikan Non-Formal (PNF)
Penyelenggaraan layanan Program Pendidikan Non-Formal oleh
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, sebagai tanggung jawab
pemerintah sesuai dengan peraturan menteri pendidikan kebudayaan no. 1
tahun 2012 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan Dan
Kebudayaan terdapat pada bab IV direktorat jenderal pendidikan anak usia
dini, nonformal dan informal (PAUDNI). Susunan organisasi Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal Dan Informal (PAUDNI),
terdiri dari empat direktorat yaitu: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), 1) Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat (DIKMAS), 2)
Direktorat Pembinaan Kursus Dan Pelatihan (Binsuslat), dan 3) Direktorat
Pendidik Dan Tenaga Kependidikan PNF (PTK-PNF), serta 5) Sekretariat
Direktorat Jendral.
Direktorat jenderal PAUDNI melalui masing-masing direktorat terkait
mengemban kewenangan memberikan pelayanan pendidikan non-formal
melalui penentuan norma, standar, kriteria dan prosedur pendidikan anak usia
dini nonformal dan informal, melalui peraturan pemerintah no. 16 tahun 2012
memberikan bantuan sosial bagi masyarakat dalam memberikan pelayanan
pendidikan bagi masyarakat, dengan menyusun rencana anggaran, rencana
program kerja, dan rencana pencapaian penyelenggaraan pnf, terutama
berkaitan dengan pemanfaatan anggaran keuangan, setiap direktorat
memperoleh alokasi yang ditetapkan oleh usulan kementerian pendidikan dan
kebudayaan yang memperoleh persetujuan DPR dan dianggarkan oleh
kementerian keuangan. Alokasi anggaran ini ditetapkan dalam dua kategori
konsentrasi dan dekonsentrasi, hal ini terutama berkaitan langsung dengan
implementator program pnf di tingkat daerah.
Organisasi pelaksana teknis di tingkat pemerintah pusat yang memiliki
tugas dan fungsi sebagai pengembang dan pengkaji program pendidikan luar
sekolah dan melaksanakan tata usaha, dikenal dua pusat pengembangan
(PP-PAUDNI) yaitu regi regional I di Jayagiri, Bandung – Jawa Barat dan
regional II di Ungaran, Semarang – Jawa Tengah. Selain itu, dikenal pula balai
pengembangan (BP-PAUDNI), terdapat di Medan, Surabaya, Mataram,
Banjarmasin, Makassar, Dan Papua.
Di tingkat provinsi institusi pemerintah yang menangani tanggung jawab
penyelenggaraan pnf adalah bidang pnf pada dinas pendidikan provinsi daerah
tingkat I yang secara umum memiliki empat seksi, yaitu: PAUD, DIKMAS,
Pembina Kursus, dan Pendidikan Kesetaraan. Penanganan bidang pendidikan
kesetaraan terhitung 2010, melimpahkan sebagian tanggung jawab kepada
bidang pendidikan dasar dan menengah, sejalan dengan pemindahan alokasi
anggaran pendidikan kesetaraan yaitu paket A, B dan C dari dirjen paudni
menjadi Dirjen Dikdas Pada Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.
Beberapa provinsi telah memiliki balai pengembangan kegiatan belajar
BPKB seperti Bengkulu, Lampung, Banten, Dan Bali.
Tanggung-jawab penyelenggaraan pendidikan non-formal pada dinas
pendidikan kabupaten atau kota berada bidang pendidikan non-formal dengan
seksi-seksi yang menangani PAUD, DIKMAS, Pembinaan Kursus, dan
Pendidikan Kesetaraan. Seksi pendidikan kesetaraan hingga saat ini masih
melaksanakan tanggung jawab secara terbatas dalam mengelola paket A, B
dan C.
Dinas pendidikan di kabupaten dan kota dalam melaksanakan
pembinaan penyelenggaraan pendidikan nonformal terdapat unit pelaksanaan
teknis sanggar kegiatan belajar (SKB).
Lebih lanjut di tingkat kecamatan koma urusan PNF lebih banyak
menunjukkan tanggung jawab supervisi dan monitoring terutama berkaitan
penjaminan mutu dengan penempatan Penilik Pendidikan Luar Sekolah (PLS)
dibantu oleh Tenaga Lapangan DIKMAS (TLD)
Berbeda dengan layanan pendidikan formal yang mengenal satuan
pendidikan berupa sekolah baik negeri maupun swasta. Maka layanan PNF
mengenal program-program seperti paud, keaksaraan, kursus, dan pelatihan
yang diselenggarakan oleh lembaga satuan pendidikan non-formal, antara lain
adalah pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Wadah ini sesungguhnya
bukan identik sebagai satuan pendidikan seperti sekolah. Namun UU no. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan pkbm sebagai
satuan pendidikan.
PKBM merupakan wadah yang dibentuk oleh masyarakat untuk
masyarakat dan dari masyarakat sehingga bukan merupakan institusi
pemerintah meskipun menyelenggarakan program PNF. Keterkaitan dengan
kebijakan pemerintah kerapkali ditunjukkan melalui bentuk kemitraan sebagai
penyelenggara program dengan dukungan anggaran dari pemerintah baik pusat
maupun daerah.

2.5 Penelitian Terdahulu

2.5.1 Smith (2003)

Kebijakan pendidikan di Afrika selatan melihat implementasi di tingkat


mikro, menunjukkan: a) proses pengembangan dan pembahasaan kebijakan
pendidikan yang cenderung berubah (removed) dan tidak di ragam kan
(uninformed) dengan basis pengetahuan pendidik yang berpengalaman
(experiences) dan pemahaman (understanding) local, menghasilkan resiko
implementasi kebijakan yang kurang sukses (unadequate), b) kebijakan
pendidikan yang diimplementasikan ternyata tetap disaring (filtered) -tidak
diterima begitu saja- oleh para pendidik local, namun hanya sebagian yang
sesuai dengan perspektif pribadi dan institusi pendidik, c) implementasi
pendidikan membutuhkan pengetahuan, keahlian dan perilaku dukungan
pendidik, d) respon emosional pendidik terhadap kebijakan pendidikan sangat
menentukan implementasi kebijakan, dan e) resistensi yang terbesar dalam
implementasi kebijakan pendidikan hanya dilakukan oleh para pendidik,
terutama pendidik senior dan berpengalaman.

2.5.2 Alec Ian Gersberg, Ben Meade Dan Sven Anderson, 2004
Dalam providing better education services to the poor: accountability
and contekxt in the case Guatemalan decentralization dibahas bagaimana model
reformasi berbasis masyarakat dapat sejajar dengan world development report
2004 yang merupakan kerangka kerja akuntabilitas bank dunia. Penelitian ini
menggunakan studi kasus kualitatif sekolah dasar pedesaan di Guatemala.
Mereka mengkaji tata pemerintahan daerah melalui wawancara dengan berbagai
pejabat sementara menurut world bank kerangka akuntabilitas kedua muncul
tepat ketika dilakukan reformasi, khususnya model yang memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada orang tua, baik dalam menghadapi
tantangan tantangan yang terkait dengan – masalah praktek desain model
terutama manajemen sumber daya manusia yang melibatkan baik dukungan
memadai dan kompensasi yang lebih rendah untuk guru – dan kesulitan dalam
mengadaptasi model informasi untuk konteks local. Secara keseluruhan,
kerangka akuntabilitas menyediakan heuristik yang berguna dan lensa untuk
melihat desain dan pelaksanaan proyek, tetapi, seperti halnya generalisasi
berasal dari “praktik terbaik” rincian masalah. Kami membahas pentingnya
menyoroti tantangan umum reformasi seperti desentralisasi, sambil memperoleh
pengakuan global, melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan
pendidikan dan urgensi konteks lokal dalam menentukan keberhasilan
reformasi.

2.5.3 Maskuri (2006)

Implementasi kebijakan sistem pendidikan nasional di pendidikan tinggi


islam merupakan studi multi situs proses pembelajaran berdasarkan UU no. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional di universitas islam negeri
malang, universitas islam negeri malang, universitas muhammadiyah malang
menemukan bahwa: 1) komponen proses pembelajaran yang ditetapkan oleh
pemerintah berdasarkan UUSPN 2003 meliputi pendidik, peserta didik, dan
sumber belajar telah tersedia di lokasi penelitian dengan kondisi yang belum
sesuai dengan standar pendidikan berlaku, 2) sistem implementasi kebijakan
pendidikan nasional tentang proses pembelajaran ditempuh melalui beberapa
tahapan merumuskan visi, misi serta tujuan pendidikan yang dijadikan dasar
penyelenggaraan pendidikan koma sedangkan orientasi, sasaran dan strategi
belum dirumuskan dengan baik, 3) kurikulum yang dirumuskan telah memenuhi
standar nasional, hanya alokasi bobot teori masih lebih dominan dari praktik, 4)
dalam proses pembelajaran koordinasi dilakukan untuk menyamakan persepsi
terhadap implementasi pembelajaran; dosen sebagai penasehat akademik belum
melaksanakan tugas secara optimal; belum semua pendidik mempersiapkan
rencana pembelajaran; interaksi pendidik dengan peserta didik bersifat monolog;
mata kuliah agama hanya dijadikan kajian; krisis keteladanan yang
menyebabkan moralitas kehidupan peserta didik rendah; laboratorium terbatas
sehingga menghambat proses pembelajaran; evaluasi hasil belajar baru
menyentuh aspek kognitif dan masing-masing perguruan tinggi memiliki
standar penerapan berbeda selain mengabaikan aspek afektif dan psikomotor;
sarjana yang dihasilkan kurang memiliki kedalaman spiritual, keluhuran akhlak,
keluasan ilmu dan kematangan profesional yang diakibatkan oleh proses
pembelajaran yang kurang mendukung, 5) keunikan ketiga PTI menunjukkan
integritas ilmu dan islam; penguatan kompetensi dasar agama dan agama belum
mendasar; model sintesa antara perguruan tinggi dan pondok pesantren sebagai
upaya mengintegrasikan lulusan intelektual dan bermoral; berdirinya fakultas
agama terpisah dari fakultas-fakultas umum; manajemen amanah sebagai upaya
membudayakan dan menanamkan kepercayaan pada staf dan menghindari sifat
su'udhlon untuk meningkatkan produktivitas dan profesionalisme individu, 6)
model implementasi kebijakan pendidikan kaitannya dengan pembelajaran di
uin, unisma dan umm malang dapat dikelompokkan menjadi dua unsur yaitu
non human dan human element, human element meliputi visi, misi, orientasi,
sasaran, tujuan, strategi, kurikulum, sumber belajar, waktu dan biaya
penyelenggaraan pendidikan, human element meliputi pendidik, peserta didik,
dan penyelenggaraan pembelajaran serta peminjaman mutu

2.5.4 Cennet Engin – Demir (2009)

Dalam jurnal internasional factors influencing the academy achievement


of the turkish urban poor (2009) menjelaskan bahwa studi yang dilakukan
memperkirakan dampak gabungan individu dan keluarga yang dipilih, siswa
dan karakteristik sekolah terhadap prestasi akademik miskin, sekolah utama
atau mahasiswa dalam konteks turki. Peserta penelitian terdiri dari 719 keenam,
ketujuh dan kedelapan kelas sd siswa 23 sekolah dipemukiman kota dalam dan
luar. Temuan menunjukkan bahwa himpunan yang terdiri dari variabel
karakteristik siswa, termasuk kesejahteraan di sekolah, kegiatan skolastik dan
dukungan, menjelaskan jumlah varian terbesar dalam prestasi akademik di
kalangan masyarakat miskin perkotaan. Meskipun ukuran efek kecil,
karakteristik latar belakang keluarga dan indikator kualitas sekolah juga
ditemukan secara signifikan berhubungan dengan prestasi akademik. Implikasi
penelitian ini untuk memperbaiki sekolah-sekolah dasar di lingkungan miskin
perkotaan.

2.5.5 Alamsyah (2010)

Penelitian pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam Good Government


menjelaskan bahwa anggaran daerah Propinsi digunakan sebagai sarana
ekonomi produktif dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang meliputi
kegiatan a) ekonomi mencakup budidaya perikanan program pertanian
kelompok tani program pembinaan dan peningkatan mutu sumber daya, b)
Pendidikan dan Kebudayaan mencakup beasiswa partisipasi hari besar
keagamaan, c) bidang kesehatan, d) bidang pembangunan fasilitas sosial proses
pemberdayaan masyarakat meliputi perencanaan pelaksanaan monitoring dan
evaluasi sedangkan bentuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa adalah:
1) kontribusi dalam formulasi 2) implementasi kebijakan, 3) monitoring dan
evaluasi. Lebih lanjut, model yang direkomendasikan untuk perayaan
masyarakat adalah model kemitraan produktif dimana pemerintah daerah dan
perusahaan swasta maupun masyarakat bersama-sama memberikan dukungan
kegiatan pemberdayaan berdasarkan prinsip simbiosis mutualisme.

2.5.6 Soesilo Zauhar (2010)

Dalam jurnal administrasi pelayanan publik menyatakan birokrasi publik


mempunyai potensi dan limitasi dalam memberikan pelayanan kepada publik,
sehingga bisa lebih unggul dalam suatu situasi atau buruk dalam situasi lain.
Birokrasi publik tidak dapat dipakai untuk jenis pelayanan yang sama dalam
kondisi yang sama. Dengan melihat aspek transaksi, Ouchi (1980)
mengidentifikasi empat variabel yang menentukan apakah organisasi pelayanan
publik dikelola oleh swasta atau negara (organisasi publik) yakni jenis dan
karakteristik pelayanan, persyaratan informasi, persyaratan normative, dan
tingkat kepercayaan organisasi jaringan.

Jenis dan karakteristik pelayanan adalah derajat kesulitan dalam


mengukur kualitas pelayanan semakin sulit melakukan pengukuran terhadap
pelayanan maka birokrasi publik semakin berperan didalamnya, dan semakin
mudah pengukuran, organisasi swasta yang cocok untuk pelayanan publik.
Dalam suatu situasi pengukuran kualitas sulit dilakukan maka birokrasi publik
yang harus melakukan pemantauan. Sebab pemantauan ini memerlukan biaya
tinggi, dan birokrasi publik dapat bekerja lebih efektif. Dengan demikian maka
pengawasan lebih dapat dilakukan dengan mudah. Sebaliknya dalam situasi
dimana pengukuran kualitas pelayanan publik mudah dilakukan, maka
mekanisme pasar yang lebih cocok karena kualitas pelayanan nya mudah diukur
maka pemerintah juga lebih mudah memantau apakah pelayanan sektor swasta
sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan tanpa merugikan masyarakat.
Informasi mengenai harga pelayanan merupakan variabel kedua yang
mempengaruhi efektivitas pelayanan publik, apakah dilakukan sektor swasta
atau birokrasi publik. Dalam situasi di mana informasi mengenai
hargapelayanan tidak tersedia maka sector swasta kesulitan untuk menentukan
atau menghitung rugi labanya. Dalam situasi semacam ini maka birokrasi publik
menjadi alternatif yang lebih baik dalam melakukan pelayanan publik. Namun,
pada sisi lain birokrasi publik harus ditunjang dengan pengaturan pemerintah.
Sebab tanpa adanya pengaturan, dikhawatirkan birokrasi publik tak dapat
berjalan dengan baik. Pada sisi lain sektor swasta akan bisa beroperasi dengan
lebih baik, dan menjadi alternatif pilihan dalam menyelenggarakan pelayanan
publik.

Table 2.8 Hasil Ringkasan Penelitian Terd ahulu

No. Nama Judul

1 Smith (2003) Kebijakan pendidikan di Afrika Selatan


Hasil Penelitian

Dengan melihat implementasi kebijakan di tingkat mikro, ditunjukkan: a)


pengembangan dan pembahasan kebijakan pendidikan yang cenderung
berubah (removed) dan tidak diragamkan (uninformed) dengan basis
pengetahuan pendidikan yang berpengalaman (experiences) dan pemahaman
(understanding) local, menghasilkan resiko implementasi kebijakan yang
kurang sukses (unadequate), b) Implementasi kebijakan pendidikan ternyata
tetap disaring (filtered) -tidak diterima begitu saja- oleh para pendidik local,
namun hanya sebagian yang sesuai dengan perspektif pribadi dan institusi
pendidik, c) Implementasi pendidikan membutuhkan pengetahuan, keahlian,
dan perilaku pendukung pendidik, d) Respon emosional pendidik terhadap
kebijakan pendidikan sangat menentukan implementasi kebijakan, dan e)
resistensi terbesar implementasi kebijakan pendidikan hanya dilakukan para
pendidik, terutama pendidik senior dan berpengalaman.

2 Alec Ian Gesberg, Ben Meade Providing better education services to the
dan Sven Adersson (2004) poor : Accountability ang Context in the
Case of Guatemalan Decentralization

Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi kasus kualitatif dari sekolah dasar pedesaan
di Guatemala, yang mengkaji tata pemerintahan daerah melalui wawancara
berbagai pejabat. Menurut World Bank akuntabilitas muncul tepat ketika
dilakukan reformasi, terutama pemberian kewenangan lebih besar kepada
orangtua, baik dalam menghadapi tantangan tantangan terkait dengan masalah
praktek model -terutama manajemen sumber daya manusia dan kompensasi
untuk guru- dan kesulitan menghadapi mengadaptasi model reformasi untuk
konteks local. Secara keseluruhan, kerangka akuntabilitas menyediakan
heuristik yang berguna dan pandangan untuk melihat model dan pelaksanaan
proyek, tetapi, generalisasi berasal dari “praktek terbaik”. Tantangan umum
reformasi seperti desentralisasi, dan pengakuan global diatasi dengan
melibatkan masyarakat setempat mengelola pendidikan dan memperhatikan
konteks lokal dalam menentukan keberhasilan reformasi tersebut.

3 Maskuri (2006) Implementasi Kebijakan Sistem Pendidikan


Nasional di Pendidikan Tinggi Islam (studi
multisitus proses pembelajaran berdasarkan
UU no.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional di Universitas Islam
Negeri Malang, Universitas Islam Malang,
Universitas Muhammadiyah Malang)

Hasil Penelitian

Ditemukan: 1) komponen proses pembelajaran yang ditetapkan oleh


pemerintah berdasarkan UUSPN 2003 meliputi pendidik, peserta didik, dan
sumber belajar telah tersedia di lokasi penelitian dengan kondisi yang belum
sesuai dengan standar pendidikan berlaku, 2) sistem implementasi kebijakan
pendidikan nasional tentang proses pembelajaran ditempuh melalui beberapa
tahapan merumuskan visi, misi serta tujuan pendidikan yang dijadikan dasar
penyelenggaraan pendidikan koma sedangkan orientasi, sasaran dan strategi
belum dirumuskan dengan baik, 3) kurikulum yang dirumuskan telah
memenuhi standar nasional, hanya alokasi bobot teori masih lebih dominan
dari praktik, 4) dalam proses pembelajaran koordinasi dilakukan untuk
menyamakan persepsi terhadap implementasi pembelajaran; dosen sebagai
penasehat akademik belum melaksanakan tugas secara optimal; belum semua
pendidik mempersiapkan rencana pembelajaran; interaksi pendidik dengan
peserta didik bersifat monolog; mata kuliah agama hanya dijadikan kajian;
krisis keteladanan yang menyebabkan moralitas kehidupan peserta didik
rendah; laboratorium terbatas sehingga menghambat proses pembelajaran;
evaluasi hasil belajar baru menyentuh aspek kognitif dan masing-masing
perguruan tinggi memiliki standar penerapan berbeda selain mengabaikan
aspek afektif dan psikomotor; sarjana yang dihasilkan kurang memiliki
kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu dan kematangan
profesional yang diakibatkan oleh proses pembelajaran yang kurang
mendukung, 5) keunikan ketiga PTI menunjukkan integritas ilmu dan islam;
penguatan kompetensi dasar agama dan agama belum mendasar; model sintesa
antara perguruan tinggi dan pondok pesantren sebagai upaya mengintegrasikan
lulusan intelektual dan bermoral; berdirinya fakultas agama terpisah dari
fakultas-fakultas umum; manajemen amanah sebagai upaya membudayakan
dan menanamkan kepercayaan pada staf dan menghindari sifat su'udhlon untuk
meningkatkan produktivitas dan profesionalisme individu, 6) model
implementasi kebijakan pendidikan kaitannya dengan pembelajaran di UIN,
UNISMA dan UMM Malang dapat dikelompokkan menjadi dua unsur yaitu
non human (visi, misi, orientasi, sasaran, tujuan, strategi, kurikulum, sumber
belajar, waktu dan biaya penyelenggaraan pendidikan) dan human element
(pendidik, peserta didik, dan penyelenggaraan pembelajaran serta peminjaman
mutu)

4 Cennet Engin – Demir, (2009) Factors Influencing The Academic


Achievement of The Turkish Urban Poor

Hasil Penelitian

Himpunan yang terdiri dari variable karakteristik siswa, termasuk


kesejahteraan di sekolah, kegiatan skolastik dan dukungan sekolah, terbesar
mempengaruhi dalam prestasi akademik masyarakat miskin perkotaan.
Meskipun berpengaruh kecil, karakteristik latar belakang keluarga dan kualitas
sekolah ditemukan secara signifikan berhubungan dengan prestasi akademik.
Implikasi penelitian ini untuk memperbaiki sekolah-sekolah dasar di
lungkungan miskin perkotaan.

5 Alamsyah (2010) Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam


Perspektif Good Governmancce

Hasil Penelitian
Dijelaskan: anggaran propinsi digunakan sebagai sarana ekonomi produktif
dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang meliputi kegiatan a) ekonomi
mencakup budidaya perikanan program pertanian kelompok tani program
pembinaan dan peningkatan mutu sumber daya, b) Pendidikan dan
Kebudayaan mencakup beasiswa partisipasi hari besar keagamaan, c) bidang
kesehatan, d) bidang pembangunan fasilitas sosial proses pemberdayaan
masyarakat meliputi perencanaan pelaksanaan monitoring dan evaluasi
sedangkan bentuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa adalah: 1)
kontribusi dalam formulasi 2) implementasi kebijakan, 3) monitoring dan
evaluasi. Lebih lanjut, model yang direkomendasikan untuk perayaan
masyarakat adalah model kemitraan produktif dimana pemerintah daerah dan
perusahaan swasta maupun masyarakat bersama-sama memberikan dukungan
kegiatan pemberdayaan berdasarkan prinsip simbiosis mutualisme.

6 Soesilo Zauhar (2010) Birokrasi publik mempunyai potensi dan


limitasi dalam memberikan pelayanan
kepada publik

HasilPenelitian

Birokrasi publik bisa lebih unggul dalam suatu situasi atau buruk dalam situasi
lain, sehingga tidak dapat dipakai untuk jenis pelayanan yang sama dalam
kondisi yang sama. Dengan melihat aspek transaksi, Ouchi (1980)
mengidentifikasi empat variable penentu apakah organisasi pelayanan publik
dikelola oleh swasta atau Negara (organisasi publik). Empat variable tersebut:
1) jenis dan karakteristik pelayanan, 2) persyaratan informasi, 3) persyaratan
normative, dan 4) tingkat kepercayaan organisasi jaringan. Jenis dan
karakteristik pelayanan adalah derajat tersulit dalam mengukur layanan.
Semakin sulit melakukan pengukuran terhadap pelayanan maka birokrasi
publik semakin berperan didalamnya, dan semakin mudah pengukuran,
organisasi swasta yang cocok untuk pelayanan publik. Dalam suatu situasi
pengukuran kualitas sulit dilakukan maka birokrasi publik yang harus
melakukan pemantauan. Selain pemantauan ini memerlukan biaya tinggi,
dalam kondisi seperti ini birokrasi publik dapat bekerja lebih efektif.
Sebaliknya ketika pengukuran kualitas pelayanan publik mudah dilakukan,
mekanisme pasar lebih cocok karena kualitas pelayanan mudah diukur dan
pemerintah lebih mudah memantau apakah pelayanan sektor swasta sudah
dilakukan sesuai dengan ketentuan tanpa merugikan masyarakat. Informasi
mengenai harga pelayanan merupakan variabel kedua yang mempengaruhi
efektivitas pelayanan publik, apakah dilakukan sektor swasta atau birokrasi
publik. Dalam situasi di mana informasi mengenai hargapelayanan tidak
tersedia maka sector swasta kesulitan untuk menentukan atau menghitung rugi
labanya. Dalam situasi semacam ini maka birokrasi publik menjadi alternatif
yang lebih baik dalam melakukan pelayanan publik.

2.6 Kerangka Pikir dan Pemetaan Teori Penelitian


Menurut pendapat Mazmanian dan Sabatier 1983 bahwa tahapan dalam
proses implementasi diawali dengan adanya keluaran keluaran kebijakan dari
agen-agen implementator (outputs of implementing agencies). Keluaran kebijakan
ini dapat berupa kebijakan derivasi, standar operasional prosedur, program
program dari instansi pelaksana (implementator) tahap ini relevan dengan
implementasi kebijakan kebijakan pelayanan pendidikan non formal bagi
masyarakat yang belum terlayani dalam rangka pemenuhan hak atas pendidikan
bagi masyarakat miskin di Kabupaten Situbondo merupakan bagian dari sistem
administrasi negara yang mengatur tentang pelayanan publik. Layanan pemerintah
dan atau layanan pada masyarakat dibedakan atas layanan publik yang
menghasilkan barang, dan layanan yang menghasilkan jasa.
Tahap selanjutnya, masih menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), adalah
pemenuhan keluaran kebijakan oleh kelompok sasaran (Compliance with policy
outputs by target Groups). Proses ini biasanya membutuhkan upaya-upaya
tertentu untuk mempersiapkan analisis teknis mengenai cara penerapan yang
berhasil pada situasi yang lebih konkret. Senada dengan pendapat tersebut,
Grindle (1980) berpendapat bahwa untuk dapat memperoleh dampak
implementasi yang diharapkan perlu menjabarkan tujuan kebijakan ke dalam
program-program dan penganggarannya. Dalam implementasi kebijakan
pelayanan pendidikan non formal.
Ini dipengaruhi faktor penghambat dan pendukung yaitu kompetensi,
kualifikasi dan kuantitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana, /fasilitas,
anggaran, tata laksana organisasi dan mekanisme kerja, bimbingan pelatihan serta
monitoring dan evaluasi.
Demikian juga pendapat Islamy (2003) bahwa melalui implementasi
diharapkan terjadi perubahan perubahan sesuai dengan tujuan kebijakan.
Perubahan-perubahan tersebut dapat dianalisis dari dampak implementasi
kebijakan. Adapun dampak implementasi adalah perubahan pada masyarakat
untuk mengakses pendidikan melalui keikutsertaan dalam pembelajaran
Pendidikan non-formal sebagai pemenuhan hak atas pendidikan bagi masyarakat
yang belum terlayani dalam pelayanan publik dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor
utama yaitu aktor pembuat kebijakan publik, pelaksana atau penyedia layanan
publik, serta masyarakat sebagai penerima barang atau layanan.
Oleh karena itu, dampak kebijakan merupakan tahap akhir dari proses
implementasi (Mazmanian dan Sabatier, 1983; Grindle, 1980; Islamy, 2003).
Penyedia atau pelaksanan implementasi adalah pemerintah atau Wakil pemerintah,
pemangku kepentingan bisa individu ataupun kelompok masyarakat. berdasarkan
paparan para pakar tersebut, kerangka pikir penelitian disajikan dalam gambar 2.4
Gambar2.4 Kerangka Pikir dan Teori Penelitian

Anda mungkin juga menyukai