Anda di halaman 1dari 46

TUBERKULOSIS TULANG

Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Persyaratan Dokter Internsip

Presentan :
dr. Amanda Trilana
Pendamping :
dr. Andari Retnowati

Pembimbing:
dr. Ayu Hara Suwenda Sp.OT

PROGRAM INTERNSIP DOKTER


INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH DOLOPO KAB. MADIUN
2019
No. ID dan Nama Peserta: dr. Amanda Trilana

No. ID dan Nama Peserta: RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Topik : Tuberkulosis Tulang

Tanggal Kasus : 6 Desember 2018

Nama Pasien : Nn.PW Nomor RM : 86426

Tanggal Presentasi : 2018 Pendamping : dr. Andari Retnowati

Tempat Presentasi : RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Objektif Presentasi :

 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka

 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa


 Neonatu
 Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
s
Pasien datang dengan keluhan tubuh lemas sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit (MRS 6/12/2018). Pasien sulit makan selama 1 tahun terakhir (karena diputus
kekasih). Pasien mengeluhkan nyeri pada pergelangan tangan kiri sejak 7 hari
sebelum masuk rumah sakit.Terdapat luka bernanah dan bengkak pada pergelangan
tangan kiri pasien. Luka timbul sejak pasien terkilir saat mengangkat galon air
Deskripsi : mineral1 tahun yang lalu. Pasien tampak kurus dan pucat. Buang air besar cair sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit, 2-3x/hari, konsistensi cair, tidak terdapat lendir
maupun darah, volume kurang lebih ½ gelas air mineral. Menurut pengakuan pasien
menstruasi terakhir April 2018.

Mengidentifikasi penyebab, perjalanan penyakit, gejala, diagnosis dan tata


Tujuan :
laksana dari Tuberkulosis Tulang
Bahan
 Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Bahasan :
Cara
Membahas  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos
:
Data Pasien Nama : Ny.PW No. Reg: 86426

Nama Klinik : RSUD Dolopo, Kab. Madiun Telp : - Terdaftar sejak : 6/12/18
Data Utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sulit makan 1 tahun terakhir. Terdapat nyeri di pergelangan tangan kiri disertai luka
bernanah dan bengkak sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien tampak kurus dan
pucat. Buang air besar frekuensi lebih sering dan cair sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit.
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien sebelumnya tidak berobat karena tidak mau diajak ke dokter
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes, maupun masuk rumah sakit
sebelumnya
4. Riwayat keluarga :
Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan pasien.
5. Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.
6. Riwayat Sosial
Pasien sebelum sakit bekerja sebagai pegawai admin toko selama 2 bulan.
Tipe kepribadian pasien cenderung pesimis, cemas dan mudah bersedih

Hasil Pembelajaran:

1. Definisi Tuberkulosis Tulang

2. Epidemiologi Tuberkulosis Tulang

3. Etiologi dan Faktor Resiko Tuberkulosis Tulang

4. Patofisiologi Tuberkulosis Tulang

5. Klasifikasi Tuberkulosis Tulang

6. Manifestasi Klinis Tuberkulosis Tulang

7. Diagnosa Tuberkulosis Tulang

8. Penunjang Tuberkulosis Tulang

9. Tatalaksana Tuberkulosis Tulang

10. Komplikasi Tuberkulosis Tulang

11. Prognosis Tuberkulosis Tulang


RANGKUMAN PEMBELAJARAN
PORTOFOLIO

Subjektif:

- Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Sulit makan 1 tahun terakhir. Terdapat nyeri di pergelangan tangan kiri disertai luka
bernanah dan bengkak sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien tampak kurus dan
pucat. Buang air besar frekuensi lebih sering dan cair sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit.

Objektif
Keadaan Umum Tampak Lemah

Kesadaran Compos Mentis

Status gizi Normal

Tekanan Darah 90/60 mmHg

Nadi 84 kali/menit

Nafas 112x/menit

Suhu 37,9 ºC

Berat Badan 35 kg

Kepala/leher Anemis (+/+), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Edema


(-/-) pembesaran KGB (-)

Paru Inspeksi : Simetris ki=ka


Palpasi : fremitus ki=ka
Perkusi: sonor ki=ka
Auskultasi: ves/ves, rh (-), wh (-)

Jantung Inspeksi: Iktus tidak terlihat


Palpasi: Iktus teraba ICS V LMC S
Auskultasi: Irama regular, murmur (-), gallop (-
)

Abdomen Inspeksi: Perut distended (-)


Palpasi: Soefl, liver span 10cm, nyeri tekan
epigastrium (-), turgor kembali cepat Perkusi:
Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Ekstremitas Akral hangat. Edema (+) Dry skin (-)

Pemeriksaan laboratorium (6 Desember 2018) :


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Eritrosit 2.87 (<) 4.00-6.20

Haemoglobin 6.4 g/dl (<) 11,0 – 17,0 g/dl

Hematokrit 22.4 % (<) 35,0 - 55,0%

Leukosit 17.9 (>) 4.00-12.00


Limfosit 11.2 % (<) 25 – 50%
Monosit 5.1 % 2 – 10 %
Granulosit 83.7 %(>) 50 – 80%

Trombosit 808 (>) 150 – 400

GDA 115 70 – 125

Kolesterol Total 69 < 200


Trigliserida 75 < 200
HDL 42 >35
LDL 12 < 190

BUN 9.0 4,7 - 23,0


Kreatinin 0.76 0,5 – 0,9
Asam Urat 2.25 2,1 – 5,7

SGOT 51 < 50
SGPT 12 < 50

HIV Negatif Negatif


HBsAg Negatif Negatif

Kesimpulan :
Leukositosis Lymphopenia Granulositosis
Anemia Mikrositosis Mikrosit Hipokromia Anisitosis
Trombositosis

Pemeriksaan X Ray Thorax (6 Desember 2018)


Kesimpulan:
Suspek lung TB dengan cavitas di I paru kanan dan limfadenopathy mediastinum kanan

Pemeriksaan X Ray Wrist (6 Desember 2018)

Kesimpulan:
Lesi litik pada distal os radius kiri disertai soft tissue swelling disekitarnya dan porotik
pada tulang manus suspek brodie abscess (TB tulang) dd osteosarcoma
Pemeriksaan X Ray Lumbosacral AP/Lateral ( 28 Desember 2018)

Kesimpulan:
Lesi osteolitik corpus vertebrae
Penyempitan diskus intervertebralis

Rawat Luka Kontrol I di Poli Orthopaedi (21 Desember 2018)


Diagnosis :

Berdasarkan subjektif, objektif dan pemeriksaan penunjang laboratorium, pasien


didiagnosa dengan suspect TB Tulang dd Osteosarcoma + Anorexia + Anemia +
Hipoalbuminemia

Penatalaksanaan ( 6 Desember 2018)


-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-Inj.Ceftriaxone 2x1 gr  skin test : negatif

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Tranf. PRC 2 kolf

-Curcumin 3x1 t
Follow up:
6 Desember 2018 (Seruni)
S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri (+), nyeri bahu kanan (+), nafsu makan
menurun, BAB -
O: GCS: 456, TD 95/59, Nadi: 125 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 37.9ºC,
SpO2 94%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
A : suspect TB Tulang dd Osteosarcoma + Anorexia + Anemia (6.4) +
Hipoalbuminemia (1,86)
P:
Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-Inj.Ceftriaxone 2x1 gr

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Tranf. PRC 2 kolf

-Curcumin 3x1 tab

7 Desember 2018 (Bougenville)


S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri (+), nyeri bahu kanan (+), nafsu
makan/minum menurun, BAB -
O: GCS: 456, TD 100/70, Nadi: 105 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 37.7ºC,
SpO2 99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
A : suspect TB Tulang dd Osteosarcoma + Anorexia + Anemia (10,1) +
Hipoalbuminemia
P:
Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-Inj.Ceftriaxone 2x1 gr

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Curcumin 3x1 tab


8 Desember 2018 (Bougenville – Raber Ortho H1)
S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri (+), nyeri bahu kanan (+), nafsu
makan/minum menurun
O: GCS: 456, TD 88/57, Nadi: 118 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 36.1ºC,
SpO2 99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka nanah +, bengkak +
>>Status lokalis shoulder D:
Nyeri +, ROM terbatas
A : suspect TB Tulang dd Osteosarcoma + Anorexia + Anemia (10.2) +
Hipoalbuminemia
P:
Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-Inj.Ceftriaxone 2x1 gr

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Curcumin 3x1 tab

-Inj.Cefoperazone 3x1 (ortho)

-Cek DL + LED (ortho)

9 Desember 2018 (Bougenville – Raber Ortho H2)


S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri (+), nyeri bahu kanan (+), nafsu
makan/minum menurun
O: GCS: 456, TD 89/54, Nadi: 107 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 37.3ºC,
SpO2 99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka nanah +, bengkak +
>>Status lokalis shoulder D:
Nyeri +, ROM terbatas
A : suspect TB Tulang dd Osteosarcoma + Anorexia + Anemia + Hipoalbuminemia
P:
Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Inj.Ketorolac 3x1

-Curcumin 3x1 tab

-Ambroxol 3x1

-Inj.Cefoperazone 3x1 (ortho)

10 Desember 2018 (Bougenville– Raber Ortho H3)


S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri (+), nyeri tangan kanan post infus (+)
nyeri bahu kanan (+), nafsu makan/minum menurun
O: GCS: 456, TD 91/55, Nadi: 112 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 38.3ºC,
SpO2 99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka nanah +, bengkak +
>>Status lokalis shoulder D:
Nyeri +, ROM terbatas
A : suspect TB Tulang dd Osteosarcoma + Anorexia + Anemia + Hipoalbuminemia
(1,85)
P:
Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Inj.Ketorolac 3x1

-Curcumin 3x1 tab

-Ambroxol 3x1
-Inf.Albumin 2x1 (ortho)

-Vip. Albumin 1x1 (ortho)

-Biopsy regio wrist S di OK (ortho )

11 Desember 2018 (Bougenville – Raber Ortho H4)


S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri (+), nyeri bahu kanan berkurang (+),
nafsu makan/minum menurun
O: GCS: 456, TD 99/64, Nadi: 115 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 37.2ºC,
SpO2 99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka nanah +, bengkak + (post biopsy 10/12/18)
A : TB Tulang + Anorexia + Anemia + Hipoalbuminemia
P:
Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Inj.Ketorolac 3x1

-OAT 4FDC Kat I (Hari 1)

-Curcumin 3x1 tab

-Ambroxol 3x1

-Inf.Albumin 2x1 (ortho)

-Vip. Albumin 1x1 (ortho)


12 Desember 2018 (Bougenvillei – Raber Ortho H5)
S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri berkurang (+) nafsu makan/minum
menurun
O: GCS: 456, TD 106/54, Nadi: 122 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 36.2ºC,
SpO2 99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka nanah +, bengkak + (post biopsy 10/12/18)
A : TB Tulang + Anorexia + Anemia + Hipoalbuminemia (2,09  2.30)
P:
Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Inj.Ketorolac 3x1

-OAT 4FDC Kat I (Hari 2)

-Curcumin 3x1 tab

-Ambroxol 3x1

-Inf.Albumin 2x1 (ortho)

-Vip. Albumin 1x1 (ortho)

-Hasil Biopsy Regio Wrist S 12/12/18  Radang Tuberkulosa


13 Desember 2018 (Bougenville – Raber Ortho H6)
S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri berkurang (+) nafsu makan/minum
menurun
O: GCS: 456, TD 96/54, Nadi: 102 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 36.2ºC,
SpO2 99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka nanah +, bengkak + (post biopsy 10/12/18)
A : TB Tulang + Anorexia + Anemia + Hipoalbuminemia (2.43 3.09)
P:

Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Inj.Ketorolac 3x1

-OAT 4FDC Kat I (Hari 3)

-Curcumin 3x1 tab

-Ambroxol 3x1

-Inf.Albumin 2x1 (ortho)

-Vip. Albumin 1x1 (ortho)

14 Desember 2018 (Bougenvillei – Raber Ortho H7)


S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri berkurang (+) nafsu makan/minum
menurun
O: GCS: 456, TD 86/64, Nadi: 82 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 36.2ºC, SpO2
99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka nanah +, bengkak + (post biopsy 10/12/18)
A : TB Tulang + Anorexia + Anemia + Hipoalbuminemia (2,92)
P:
Terapi:
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-Inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Inj.Ketorolac 3x1

-OAT 4FDC Kat I (Hari 4)

-Curcumin 3x1 tab

-Ambroxol 3x1

-Inf.Albumin 2x1 (ortho)

-Vip. Albumin 1x1 (ortho)

15 Desember 2018 (Bougenville – Raber Ortho H8)


S: lemas (+), nyeri pergelangan tangan kiri berkurang (+) nafsu makan/minum
mulai meningkat
O: GCS: 456, TD 96/64, Nadi: 82 x/menit, nafas: 20x/menit, Tax: 36.2ºC, SpO2
99%
Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka nanah +, bengkak + (post biopsy 10/12/18)
A : TB Tulang + Anorexia + Anemia + Hipoalbuminemia (2,67)
P:
Terapi:

-KRS
-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm

-inj.Ranitidine 2x1 amp

-Inj.Mecobalamin 1x1 amp

-Inj.Ketorolac 3x1

-OAT 4FDC Kat I (Hari 5)

-Curcumin 3x1 tab

-Inf.Albumin 2x1 (ortho)

-Vip. Albumin 1x1 (ortho)


21 Desember 2018 (Kontrol I di Poli Orthopaedi)

S: nyeri tangan kiri + (berkurang), makan/minum +, keluhan lain -

(pasien duduk di kursi roda belum kuat menumpu tubuh)

O: GCS 456, TD 100/70, Nadi 88x/menit, Nafas 20x/menit, Tax: 36.5

Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)


>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka basah +, darah +, bengkak +, pus +
A: TB Tulang + anorexia
P:
-Rawat luka ( Debridement)
-OAT 4 FDC Kat I (Hari 11)  IPD
- Curcumin 3x1 tab  IPD
-Vip.Albumin 1x1  IPD

28 Desember 2018 (Kontrol II di Poli IPD)

S: Selangkangan terasa sakit , kaki kanan lemas bila dibuat jalan, nyeri
Bahu kanan (+) susah mengangkat tangan , nyeri tangan kiri + (daerah luka)

O: GCS 456, TD 110/70, Nadi 86x/menit, Nafas 20x/menit, Tax: 36.5

Thorax: Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)


>>Status lokalis wrist S:
Nyeri +, luka basah +, darah +, bengkak +, pus +
>>Status lokalis shoulder D:
Nyeri +, ROM terbatas
>>Status lokalis cruris D :
Nyeri +, ROM terbatas
A: TB Tulang + anorexia
P: -Rawat luka ( Debridement)
- Ro Lumbosacral AP/Lat  IPD
-OAT 4 FDC Kat I (Hari 11)  IPD
- Curcumin 3x1 tab  IPD
-Vip.Albumin 1x1  IPD
6/12 7/12 8/12 10/1 12/1 13/1 14/1 15/1
2 2 2 2 2
RBC 6.4 10.1 10.2
(<) (<) (<)
Hb 6.4 10.1 10.2
(<) (<) (<)
Hct 22.4 31.7 33.9
(<) (<) (<)
Plt 808 588 456
(>) (>) (>)
WBC 17.9 17.9 17.4
(>) (>) (>)
Alb 1.86 1.85 2.09 2.43 2.92 2.67
(<) (-) (<) (<) (<) (<) (<)
2.30 3.09
(<) (<)
HBsA -
g
HIV -
rapid
test
Konsultasi
Konsultasi dilakukan dengan spesialis penyakit dalam dan orthopaedi untuk
penatalaksanaan selanjutnya.

Pendidikan
Dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi penyakitnya, penyebab
dan penatalaksanaan serta prognosisnya.

Rujukan
Saat ini pasien belum perlu dirujuk.
TINJAUAN
PUSTAKA

1. Definisi

Tuberkulosis ekstra paru adalah pasien dengan tuberkulosis organ selain


paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, traktus genitourinarius, kulit,
tulang dan sendi serta selaput otak. Diagnosis dibuat berdasarkan satu spesimen
dengan biakan positif atau histologi atau bukti klinis kuat yang konsisten dengan
tuberkulosis ekstra paru dan diikuti dengan keputusan klinisi untuk memulai
antituberkulosis. Pasien dengan diagnosis tuberkulosis paru dan ekstraparu
diklasifikasikan sebagai tuberkulosis paru. Pada semua pasien (dewasa,remaja,
dan anak) yang diduga TB ekstraparu spesimen bagian tubuh yang terlibat diambil
untuk pemeriksaan mikroskopik dan dilakukan pemeriksaan biakan dan
histopatologi jika fasiltas dan sumberdaya memadai.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosa dengan gejala yang bervariasi dan ditandai dengan pembentukan
tuberkel dan necrosis kaseosa pada jaringan setiap organ yang terinfeksi. Ukuran
dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dan bentuk
dari bakteri ini yaitu batang, tipis, lurus atau agak bengkok, bergranul, tidak
mempunyai selubung tetapi kuman ini mempunyai lapisan luar yang tebal yang
terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Sifat dari bakteri ini agak
istimewa, karena bakteri ini dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan
asam dan alkohol sehingga sering disebut dengan bakteri tahan asam (BTA).
Selain itu bakteri ini juga tahan terhadap suasana kering dan dingin.Tuberkulosis
sebagai suatu penyakit sistemik yang dapat menyerang berbagai organ termasuk
tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi hampir selalu disebabkan penyebaran
hematogen dari kompleks primer pada bagian tubuh lain. Biasanya terjadi 6-36
bulan setelah infeksi primer, tetapi dapat saja timbul bertahun-tahun kemudian.

2. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency “. Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik
ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis .

Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh


kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus
per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara
yaitu 350 per 100.000 penduduk Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat
tuberkulosis pada tahun 2002 .
Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul.

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun


2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001
menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada
golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke
subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita
BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ) .
Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 - 49 tahun. Pada tahun 2004
WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis
paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia
masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China .

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberkulosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

• Cara penularan
o Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
o Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
o Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

• Risiko penularan
o Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
o Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberkulosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara
1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
o ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
o Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.

• Risiko menjadi sakit TB


o Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
o Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit
TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
o Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
o HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah
orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:

o 50% meninggal
o 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
o 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

4. Patofisiologi

Patogenesis dimulai dari pemaparan sampai terjadinya infeksi.


M.tuberkulosis yang paling sering menular dari penderita TB aktif yaitu melalui
droplet inhalasi, melalui batuk, bersin atau berbicara. Setiap droplet yang
mengandung bakteri M.tuberkulosis dapat bertahan di udara selama beberapa jam
dan mencapai saluran napas atas ketika dihirup. Mungkin ada sekitar 3000 nuklei
infeksius setiap kali pasien TB aktif batuk. Cara penularan lainnya dapat melalui
kulit maupun plasenta namun hal tersebut jarang terjadi sehingga tidak termasuk
dalam epidemiologi. Faktor lain yang menyebabkan tertularnya seseorang dengan
infeksi TB itu dilihat dari durasi kontak, seringnya kontak, maupun lingkungan di
mana kontak itu berlangsung mempengaruhi tingkat penularan.

Beberapa studi menyimpulkan pasien TB yang mengandung dahak dengan BTA


yang terlihat dari mikroskop adalah yang paling berisiko menularkan penyakitnya.
Pasien yang sering menularkan penyakit ini adalah pasien yang memiliki kavitas
di dalam parunya. Pasien dengan TB BTA-negatif/ pada kultur positif biasanya
kurang dapat menularkan, sedangkan pada pasien dengan kultur negatif kebanyakan
tidak menular.
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru, di mana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang sekunder/reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer.
Interaksi M.tuberkulosis dengan host manusia dimulai ketika droplet
nuclei yang mengandung mikroorganisme dari pasien terinfeksi yang terhirup.
sedangkan mayoritas basil yang terhirup dan terjebak di saluran napas atas akan
dikeluarkan oleh sel-sel mukosa bersilia, hanya sebagian kecil (biasanya <10%)
yang mencapai alveoli. Ada beberapa makrofag non spesifik yang teraktivasi dan
memfagosit basil tersebut. invasi makrofag oleh mikobakteria dapat
mengakibatkan terjadi asosiasi C2a dengan dinding sel bakteri diikuti opsonisasi
bakteri oleh C3b dan dikenali oleh makrofag. Keseimbangan antara aktivitas
bakterisidal makrofag dan jumlah virulensi basil (virulensi bakteri yang sebagian
terikat dengan dinding sel bakteri yang dilapisi lipid dan kapsul glycolipid,
keduanya menyebabkan bakteri ini tidak dapat dikenali oleh fagosit) selanjutnya
akan diikuti oleh fagositosis.

M.tuberkulosis yang telah masuk ke dalam paru dapat


langsung menimbulkan gejala seperti yang terjadi pada tuberkulosis primer
namun dapat pula menjadi dorman selama beberapa waktu dan tidak
menimbulkan gejala pada seseorang yang memiliki sistem imun yang baik.
Kuman M.tuberkulosis tersebut akan berkumpul di apeks paru atau kedua
lobus superior paru. Belum jelas penyebabnya namun hal ini mungkin berkaitan
dengan tingginya oksigen di apeks paru.
Karena adanya hipersensitivitas yang terjadi selama proses primer akan
membatasi fokus yang terjadi. Sedangkan pada TB sekunder mudah terjadi
kavitasi yang menyebabkan penyebaran sepanjang saluran pernafasan. Kavitasi
hampir selalu terjadi pada pasien TB sekunder yang tidak diobati sehingga
menjadi sumber penularan karena sputum pada pasien TB sekunder mengandung
basil penyebaran pada organ lain dengan cara:
-Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal
sebagai epituberkulosis.

-Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru


sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.

-Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini


sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, dan
lainnya. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada organ
tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, genitalia dan sebagainya

5. Klasifikasi

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis


memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal ,
yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis):
BTA positif atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberkulosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik


sangat diperlukan untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
mencegah timbulnya resistensi
2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3. Mengurangi efek samping

A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:


1) Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk
pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain.
B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK
mikroskopis, yaitu pada
TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus
meliputi:
a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

C. Klasifikasi berdasarkan tingkat kePARAHan penyakit.


1) TB paru BTA negatif foto toraks positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan
umum pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin.
Catatan:
• Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka
untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB
paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

D. Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:

1) Kasus Baru
Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus Kambuh (Relaps)


Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)


Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.

4) Kasus Gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.

6) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.

6. Diagnosis

• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
• Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan
alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi,
foto toraks, dan lain-lain.

7. Manifestasi Klinik

Gejala-gejala pada penyakit TBC tulang ini pastilah ada dan akan
dirasakan oleh para penderitanya. Berbeda dengan penyakit TBC yang menyerang
paru-paru, penyakit TBC tulang, memiliki ciri khas selain ciri umum TBC, bukan
suatu hal aneh bila seseorang mengalami gejala-gejala di bawah ini, karena
memang itu adalah ciri bahwa dia sedang berada di dalam serangan penyakit TBC
tulang. Beberapa gejala tersebut ialah :

a. Pada awalnya penderita merasa pegal-pegal disertai rasa lelah pada sore hari.
Pada tingkatselanjutnya penderita mengalami penurunan berat badan , demam,
berkeringat di malam hari, kehilangan nafsu makan.
b. Pada sendi gejalanya mirip arthritis yaitu nyeri pada bagian sendi, bengkak,
mengalami keterbatasan gerak. Kulit diatas daerah yang terasa nyeri kadang terasa
panas & kadang juga terasa dingin, kulit berwarna merah kebiruan.
c. Nyeri punggung atau pinggang, abses (benjolan berisi cairan), sampai patah
tulang. Bahaya patahnya tulang belakang adalah kerusakan serabut saraf sehingga
terjadi kelumpuhan pada kedua kaki.
d.Jika tulang lutut atau tulang paha yang terkena, akan timbul sakit pada sendi,
terutama jika digerakkan, gerakan tulang menjadi terbatas, dan pembengkakan
sendi.
e Pada anak-anak gejalanya dapat ditemukan spasme otot pada saat malam hari.
f. Terkadang juga akan disertai dengan demam yang ringan. Pada kasus yang lebih
berat, kelemahan otot bisa terjadi sedemikian cepatnya menyerupai kelumpuhan.
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya yaitu badan lemah lesu, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun, suhu sedikit meningkat ( subfebris ) terutama pada malam
hari serta sakit pada punggung. Pada tuberkulosis vertebrae servikal ditemukan
nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan
akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses
pada daerah paravetebral, inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada
daerah paravetebral atau penderita datang dengan gejala – gejala paraparesis,
paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau
gibus.

8.Pemeriksaan Penunjang

1. Peningkatan laju endapan darah (LED) dan mungkin disertai mikrobakterium


2. Uji mantoux positif
3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikrobakterium
4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limpe regional
5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel Pemeriksaan Radiologis
6. Pemeriksaan Radiologis tulang yang dicurigai
7. Foto thoraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
8. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis disertai penyempitan diskus
intervertebralis yang berada di korpus tersebut

9. Pemeriksaan mieleografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan


sumsum tulang
10. Foto CT Scan dapat memberikan gambaran tulangsecara lebih detail dari lesi,
skelerosisi, kolap diskus dan gangguan sirkumferensi tulang
11. Pemeriksaan MRI mengevaluasi infeksi diskus intervetebra dan osteomielitis
tulang belakang dan adanya menunjukan penekanan saraf.
9. Tatalaksana

Paduan terapi adekuat dapat dimulai tanpa menunggu hasil biakan bila
histologi dan gambaran klinis sesuai dengan diagnosis tuberkulosis. Seluruh
pasien TB ekstraparu harus melakukan foto thoraks untuk menyingkirkan TB
paru. Paduan terapi adekuat harus diteruskan meskipun hasil biakan negative.
Tuberkulosis paru dan TB ekstraparu diterapi dengan obat yang sama namun
beberapa pakar menyarankan 9-12 bulan untuk TB meningitis karena memiliki
resiko serius pada disabilitas dan mortalitas dan 9 bulan untuk TB tulang dan
sendi karena sulitnya memonitor respons terapi. Kortikosteroid direkomendasikan
untuk TB pericardial dan TB meningitis. Pada TB meningitis etambutol diganti
streptomisin. Terapi bedah mempunyai peran kecil dalam penatalaksanaan TB
ekstraparu. Terapi bedah dilakukan pada kompikasi lanjut penyakit seperti
hidrosefalus, uropati obstruktif, pericarditis konstriktif dan keteribatan neurologis
akibat penyakit Pott (TB spinal). Apabia terdapat pembesaran kelenjar getah
bening yang cukup banyak maka drainase, aspirasi maupun insisi dapat
membantu. Pasien TB ekstra paru, paduan obat selama 6-9 bula (2 bulan
INH,RIF,PZA, dan EMB diikuti 4-7 bulan INH dan RIF). Pengecualian
rekomendasi 6-9 bulan untuk TB ekstraparu pada system saraf pusat
(tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang dan sendi, yaitu selama 9-12 bulan.
Terapi ajuvan kortikosteroid harus ditambahkan pada TB system saraf pusat dan
pericardial. Terapi dengan kortikosteroid dimulai secara intravena, kemudian
disulih ora tergantung perbaikan klinis. Rekomendasi kortikosteroid yang
digunakan adaah deksametason 0.3 – 0.4 mg/kg di tapering off selama 6-8 minggu
atau prednisone 1 mg/Kg selama 3 minggu, lalu tapering off selama 3-5 minggu.
Evaluasi pengobatan TB ekstraparu diakukan dengan memantau klinis pasien,
tanpa melakukan pemeriksaan histopatologi.

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang harus dilakukan sesegera


mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Kuman tuberkulosa pada umunya dapat dibunuh atau dihambat dengan pemberian
obat-obat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, etambutol, pirazinamid, dan
rifampizin. Namun karena tulang yang terinfeksi mengalami destruksi dengan
pembentukan sekuester dan perkejuan, maka tindakan bedah menjadi penting
uuntuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan jaringan nekrotik, terutama
sekuester. Destruksi tulang dapat menyebabkan kompesi dan menyebabkan deficit
neurologic, sehingga memerlukan tindakan bedah dasar dengan mengistirahatkan
tulang yang sakit, obat-obat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.

Terapi konservatif berupa:


a.Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
c.Mengistirahatkan daerah tulang yang terserang
d.Pengobatan antituberkulosa

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-


3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri
dari paduan obat utama dan tambahan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat yang dipakai:

- Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin, INH,


Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol
-Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini
terdiri dari : Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin
150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan Tiga
obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg dan pirazinamid. 400 mg
- Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) : Kanamisin, Kuinolon, Obat lain masih
dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat dan Derivat
rifampisin dan INH Dosis OAT

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi :

-TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan
: RHZE / 4 RH, 2 RHZE / 4R3H3 atau 2 RHZE/ 6HE
-TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas
-TB di luar paru kasus berat Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat
diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan
alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:
o TB dengan lesi luas
o Disertai penyakit lain (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
o TB kasus berat (milier, dll) Bila ada fasilitas biakan
dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi  TB Paru (kasus baru), BTA negatif Paduan obat
yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH, Alternatif : 2 RHZ/
4R3H3 atau 6 RHE pengobatan ini juga diberikan pada
Tb diluar paru yang masih ringan
-TB paru kasus kambuh  Pada TB paru kasus kambuh minimal
menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji
resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan
obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi,
maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB).
-TB Paru kasus gagal pengobatan Pengobatan sebaiknya berdasarkanhasil uji
resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal2 OAT yang
masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan
minimal selama 1 - 2 tahun .Menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi - Bila
tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB) - Dapat pula dipertimbangkan tindakan
bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal - Sebaiknya kasus gagal
pengobatan dirujuk ke spesialis paru

-TB Paru kasus lalai berobat Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai
pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

>> Penderita yang menghentikan pengobatannya <2 minggu,


pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal

>> Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu


-Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik
negatif, pengobatan OAT dihentikan.
-Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama
-Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang sama
-Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA
negatif, akan tetapi klinik dan atau radiologik positif
:
pengobatan dimulai dari awal dengan paduanobatsama
Berobat
< 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat
2-4
2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.
TB Paru kasus kronik - Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada
hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan
dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif
dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur
hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke spesialis paru.

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita


bertambahbaik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri
dan spasmeberkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.

Terapi operatif

Indikasi dilakukannya tindakan operasi adalah:


- Kompikasi neurologis yang tidak respons terhadap terapi konsevatif
- Destruksi tulang progresif
- Tidak respons terhadap terapi konsevatif

- Pencegahan kifosis berat pada anak dengan lesi dorsal eksentif ( kifosis > 40 derajat pada
awitan penyakit)
- Pasien dengan abses dingin pada dada
- Diagnosis tidak jelas

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi


penderitatuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang
perananpenting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin),
lesituberkulosa, paraplegia dan kifosis.
10. Komplikasi

Kerusakan tulang atau sendi dapat terjadi dalam beberapa minggu atau bulan jika
terapi yang tidak adekuat diberikan. Deformitas berkaitan dengan kerusakan sendi,
bentukan abses yang meluas ke tempat yang berdekatan dengan jaringan lunak, dan
bentukan sinus sering ditemukan. Paraplegia merupakan komplikasi paling serius dari
tuberkulosis tulang belakang. Sebagai bentuk penyembuhan lesi sendi yang hebat,
ankilosis tulang atau jaringan fibrosa spontan akan terjadi.

11.Prognosis

Penanda prognostis yang buruk adalah adanya komplikasi ekstra paru, adanya
imunokompresi, usia yang tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Dalam sebuah
studi prospektif dari 199 pasien dengan TB di Malawi, 12 (6%) meninggal. Faktor
risiko yang menyebabkan kematian adalah berkurangnya respon TNF-α dasar untuk
stimulasi, indeks massa tubuh rendah, dan pernafasan yang meningkat dalam diagnosis
TB
KASUS TEORI
Subjektif
Pasien datang dengan keluhan tubuh lemas sejak TBC tulang sulit dideteksi keberadaannya,
3 hari sebelum masuk rumah sakit (MRS sehingga membuat dokter mengalami kesulitan
6/12/2018). Pasien sulit makan selama 1 tahun untuk mendiagnosis. Selain gejala umum
terakhir (karena diputus kekasih). Pasien tuberkulosis, TBC tulang juga memiliki gejala
mengeluhkan nyeri pada pergelangan tangan kiri tambahan yang mungkin dirasakan penderita
sejak 7 hari sebelum masuk rumah antara lain demam, berkeringat di malam hari,
sakit.Terdapat luka bernanah dan bengkak pada kehilangan berat badan, gangguan makan, sakit
pergelangan tangan kiri pasien. Luka timbul terlokalisir, tubuh yang terasa lebih kaku,
sejak pasien terkilir saat mengangkat galon air pembengkakan pada daerah tulang yang
mineral 1 tahun yang lalu. Pasien tampak kurus terserang, jika mengenai sistem syaraf
dan pucat. Buang air besar cair sejak 3 hari kemungkinan akan ada gangguan saraf yang
sebelum masuk rumah sakit, 2-3x/hari, memengaruhi organ tubuh.
konsistensi cair, tidak terdapat lendir maupun
darah, volume kurang lebih ½ gelas air mineral.

Objektif :
Dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan
GCS 456 ,TD 95/59 mmHg, N: 125x/m, RR:
20x/m, Temp: 37.9, SpO2: 94% keadaan pasien lemah dan tampak anoreksik,
Thorax: vesikuler (+/+), ronki (-/-) Abdomen: tekanan darah cenderung rendah +- 90/50 (+-
BU(+). 5 mmHg) dan suhu tinggi 37.5 – 39 C.
Hb : 6.4 (<) Data laboratorium yang dijumpai pada
HCT : 22.4 (<) pasien TBC Tulang antara lain:
PLT : 808 (>) - Angka hemoglobin yang cenderung rendah
WBC : 17.9 (>) dikarenakan intake nutrisi yang kurang juga
Alb : 1.86 (<) dikarenakan perjalanan penyakit.
Xray Thorax (6/12/18)  - Terjadi penurunan hematokrit yang
berkaitan intake nutrisi pasien yang kurang
Susp. Lung TB dengan cavitas I paru kanan dan
(anorexia)
limfadenopathy mediastinum kanan - Angka leukosit pada pasien meningkat
Xray Wrist S (6/12/18) disebabkan infeksi yang terjadi pada pasien
Lesi litik pada distal os radius kiri disertai soft -Penurunan kadar albumin pada pasien
tissue swelling disekitarnya dan porotik pada disebabkan pula oleh sedikitnya intake
tulang manus suspek brodie abcess (TB tulang) nutrisi yang terjadi pada pasien. Pasien juga
dd osteosarcoma memiliki riwayat sulit makan selama 1
Biosy Wrist S (12/12/2018) tahun terakhir ini.
Radang tuberculosa Dari pemeriksaan penunjang lain yakni Xray
Thorax , X ray wrist S dan Biopsy wrist S
juga mendukung pasien kearah TBC
Tulang.

Asessment : Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan


laboratorium juga pemeriksaan penunjang
TBC Tulang
menunjukkan bahwa pasien mengarah ke TBC
Tulang.

. Diagnosis dibuat berdasarkan satu


spesimen dengan biakan positif atau histologi
atau bukti klinis kuat yang konsisten dengan
tuberkulosis ekstra paru dan diikuti dengan
keputusan klinisi untuk memulai
antituberkulosis. Ketepatan diagnosis
bergantung pada metode pengambilan
bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-
alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi,
patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan
lain-lain.

Planning : 1.Terapi konservatif berupa :


-Inf.Asering : D5 (1:1) 30 tpm
a.Tirah baring
-Inj.Ceftriaxone 2x1
b.Memperbaiki keadan umum penderita
-Inj.Mecobalamin 1x1 amp
-Inj.Ranitidine 2x1amp c.Mengistirahatkan daerah tulang yang
terserang
-Inj.Ketorolac 3x1
-OAT 4FDC Kat I d.Pengobatan antituberkulosa
-Curcumin 3x1 tab 2.Tindakan pembedahan dasar untuk
-Inf.Albumin 2x1 mengurangi progresivitas

-Vip.Albumin 1x1 3.Tindakan kemoterapi sebagai pilihan


terakhir.
SARAN

Perihal untuk memajukan RSUD Dolopo dalam pengembangan kualitas yang lebih baik, maka
saran yang dapat penulis berikan adalah :

1. Pembentukan komite khusus untuk pengendalian & pengawasan resistensi antimikroba di


RSUD Dolopo, mengingat :

- Penemuan antimikroba baru semakin menurun akan tetapi perkembangan resistensi


antimikroba semakin meningkat

- Perpanjangan rawat inap apabila pasien memerlukan antibiotik akan tetapi resistensi
terhadap antibiotic tersebut

- Antibiotik yang tidak sesuai dengan kuman lingkungan rumah sakit,


selain memperpanjang masa rawat inap menyebabkan kerugian “cost-effective”

- Pengingat dalam penggunaan antibiotic secara bijak :

a.Tidak membeli antibiotic sendiri (tanpa resep dokter),

b.Tidak menggunakan antibiotic untuk selain infeksi bakteri

c.Tidak menyimpan antibiotic di rumah

d.Tidak memberi antibiotic sisa kepada orang lain

e.Tanyakan pada apoteker informasi obat antibiotic

2. Feedback secara langsung setelah perawatan yang didapatkan oleh pasien baik di Poli/Ruangan

Misal berupa pengisian kertas kepuasan pasien dan saran yang diberikan untuk rumah sakit.

Penilaian tersebut segera setalah pasien mendapatkan pelayanan di Poli/ KRS dari ruangan.

Sehingga bisa dijadikan bahan koreksi dan peningkatan kualitas mutu rumah sakit dalam hal

Pelayanan pasien.

3.Penyeragaman SOP dalam hal administrasi pelayanan pasien diseluruh lini bagian rumah sakit
missal tata letak urutan kertas rekam medik poli dan ruangan sehingga menghindari human error,
timbang terima yang baik antar perawat dan dokter, pelayanan pasien yang baik dan hal lainnya

4. Standarisasi ruang isolasi perawatan rumah sakit.


DAFTAR PUSTAKA

Abebe, D. S., Biffa, D., Bjune, G., Ameni, G., & Abebe, F. (2011). Assessment of
knowledge and practice about tuberkulosis among eastern Ethiopian prisoners.
International Journal of Tuberkulosis and Lung Disease, 15(2),
228-233.

Aditama,T. Y.,et. al, 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis.Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

American Thoracic Society and Centers for Disease Control and Prevention.
Diagnostic standards and classification of tuberkulosis in adults and
children.Am J Respir Crit Care Med. 2000;161(4 pt 1):1376-1395

Berhe, G., Enquselassie, F., & Aseffa, A. (2012). Treatment outcome of smear-
positive pulmonary tuberkulosis patients in Tigray Region , Northern Ethiopia.
BMC Public Health, 12, 9. https://doi.org/10.1186/1471-2458-12-537. Diakses

pada 13 november 2016 Departemen Kesehatan Jawa Barat. (2012). Profil


Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012, 134.

Chanyeung M, Noertjojo K, Chan SL, Tam CM, Sex differences in tuberkulosis in


Hongkong. Int J Tuber Lung Disease. 2002; 6: 11-8.

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. (2014).


Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Katalog Dalam
Terbitan :
Kementerian Kesehatan Nasional.

Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI. (2011). Terobosan Menuju Akses


Universal, Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Stop
TB, 1-80. Retrieved from
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/stranas_tb-2010-2014.pdf

Dokter, P. P. (2014). Gambaran Karakteristik Tuberkulosis Paru Dan Ekstra Paru


Di BBKPM Bandung Tahun 2014 1), 860-866.

Drake dkk. 2014. Grays Dasar - Dasar Anatomi. Elsevier: Singapore.


Firdous, U., Rahardjo, E., & Roselinda, R. (2006). Faktor-Faktor Penderita
Tuberkulosis Paru Putus Berobat. Media Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan. Retrieved from
http://bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/1131

Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C.


Tuberkulosis. Lancet.2003;362: 887-899.

Gebrezgabiher, G., Romha, G., Ejeta, E., Asebe, G., Zemene, E., & Ameni, G.
(2016). Treatment outcome of tuberkulosis patients under directly observed
treatment short course and factors affecting outcome in southern Ethiopia: A
five-year retrospective study. PLoS ONE, 11(2), 1-10.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0150560

Hall, John E. 2011. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Elsevier:
Singapore.

Harries, A. D., Hargreaves, N. J., Kwanjana, J. H., & Salaniponi, F. M. L. (2000).


Relapse and recurrent tuberkulosis in the context of a National Tuberkulosis
Control Programme. Transactions of the Royal Society of Tropical
Medicine
and Hygiene, 94(3), 247-249. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/S0035-
9203(00)90306-7

Ila Aggarwal. Desember 2006. “Tuberkulosis - Diagnosis and Investigation. The


pharmaceutical Journal. http://www.pharmaceutical-journal.com/news-and-
analysis/news/tuberkulosis-diagnosis-and-investigation/11091344.article.
Diakses 17 November 2016

International Standards for Tuberkulosis Care : Diagnosis, Treatment,


Public Health. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA).
2006

Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip - prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih
bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC
Jameson, J. L., & Weetman, A. P. (2012). Part 16. Section 1. Disorders of
the Thyroid Gland. Harrison`s Principles of Internal Medicine,
18th Edition.
LONGO DL, FAUCI AS, KASPER DL et al.

Laporan Akhir Analisis Lanjut Survei Prevalensi Tuberkulosis 2004 - Investigasi


Faktor Lingkungan dan Faktor Resiko Tuberkulosis Indonesia (SE-06-
412306).PDF. (n.d.).

Lippincot William dan Wilkins. 2007. Atlas Histologi difiore. EGC: Jakarta.

Manalu, H. S. P. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru


Dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4),
1340-
1346.

Naga, S. 2012. Ilmu Penyakit Dalam. Yoyjakarta: DIVA press.


Nancy A. Knechel, RN, MSN, ACNP. 2009. Tuberkulosis: Pathophysiology,
Clinical Features, and Diagnosis.

http://ccn.aacnjournals.org/content/29/2/34.full. , April , 2009.

Noor, N. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

PDPI. (2011). Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia, 1-55. https://doi.org/10.5860/CHOICE.41-4081

Rahakbauw, Johanis Edward, 2011 “Angka Kejadian Pasien Rawat Inap


Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Hasan Sadikin Periode 2009-2010.
Repository Maranatha.

Sunarno, M., Biomedis, P., & Penelitian, B. (2007). No Title, 1-8.

Surveillance reports: reported tuberkulosis in the United States, 2005. Centers


for
Disease Control and Prevention Web
site.http://www.cdc.gov/tb/surv/surv2005/default.htm. Published
September
2006. Last reviewed May 18, 2008.
Sharma, S. K., & Mohan, A. (2004). Extrapulmonary tuberkulosis. The Indian
Journal of Medical Research,120(4),316-53.
https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2013.10.008

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih
bahasa oleh Agung Waluyo.(dkk), EGC, Jakarta.

Suriadi dan Rita Y, 2001, Asuhan Keperawatan pada Anak,Edisi 1, CV.


AgungSeto, Jakarta

TeBeek. 2006. Extrapulmonary Tuberkulosis by Nationality, the


Netherlands 1993-2001.
http://www.cdc.gov/eid/article/12/9/05-0553_article ,

V. Wiratna Sujarweni. 2015. Statistik untuk Kesehatan. Jakarta:Gava


Media. 51 -58

Wang JY, Hsueh PR, Wang SK, et al. Disseminated tuberkulosis:

10-year experience in a medical center. Medicine (Baltimore).


2007;

86(1):39-46.

Wang, X., Yang, Z., Fu, Y., Zhang, G., Wang, X., Zhang, Y., & Wang, X.

(2014). Insight to the epidemiology and risk factors of

extrapulmonary tuberkulosis in Tianjin,China during 2006-2011.

PLoS ONE,9(12),1-12.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0112213

Weiss, M. G., Ph, D., Auer, C., Ph, D., Somma, D. B., Abouihia, A., Arias, N.
L. (n.d.). Gender and tuberkulosis : Cross-site analysis and
implications of a multi-country study in Bangladesh , India , (3).

WHO. Factsheet on TB. 2015 available from:<Http:// Www.Who.Int/>

Widoyono. 2011.Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya.Edisi ke 2.Jakarta:Erlangga

Anda mungkin juga menyukai