Anda di halaman 1dari 414

www.facebook.

com/indonesiapustaka

i
DAN & CARMEN

LOVE LIFE
www.facebook.com/indonesiapustaka

II
RAY KLUUN
DAN & CARMEN

Ray Kluun

LOVE
LIFE
Kisah Mengharukan tentang Hidup,
Cinta, dan Kesetiaan
www.facebook.com/indonesiapustaka

iii
RAY KLUUN

Diterjemahkan dari

Love Life
Terbitan St. Martin’s Griffin, New York, Amerika Serikat
Hak cipta©Ray Kluun, 2003
Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Belanda
dengan judul Komt Een Vrouw Bij De Dokter

Hak terjemahan Indonesia pada penerbit


All rights reserved

Penerjemah: Nadya Andwiani


Editor: Wendratama
Proof reader: Asep Sofyan

Cetakan 1, Oktober 2010

Diterbitkan oleh Pustaka Alvabet


Anggota IKAPI
Jl. SMA 14 No. 10, Kel. Cawang
Kec. Kramat Jati, Jakarta Timur 13610
Telp. (021) 8006458, Faks. (021) 8006458
e-mail: redaksi@alvabet.co.id
www.alvabet. co.id

Tata letak sampul: M. Iksaka Banu


Tata letak isi: Priyanto

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)


www.facebook.com/indonesiapustaka

Kluun, Ray
LOVE LIFE: Kisah Mengharukan tentang Hidup, Cinta, dan
Kesetiaan/Ray Kluun; Penerjemah: Nadya Andwiani;
Editor: Wendratama; Proof reader: Asep Sofyan
Cet. 1 — Jakarta: Pustaka Alvabet, Oktober 2010
416 hlm. 13 x 20 cm
ISBN 978-979-3064-88-8
1. Kisah Nyata I. Judul.

IV
DAN & CARMEN

Saya persembahkan buku ini


untuk Juut dan Naat
www.facebook.com/indonesiapustaka

v
www.facebook.com/indonesiapustaka

vi
RAY KLUUN
DAN & CARMEN

Isi

Bagian I
Dan & Carmen 1

Bagian II
Dan & Carmen serta Dan & Rose 159

Bagian III
Carmen 323

Epilog 399

Catatan 403

Terima Kasih 405


www.facebook.com/indonesiapustaka

vii
www.facebook.com/indonesiapustaka

viii
RAY KLUUN
DAN & CARMEN

Bagian I
DAN & CARMEN
www.facebook.com/indonesiapustaka

1
www.facebook.com/indonesiapustaka

2
RAY KLUUN
DAN & CARMEN

What the hell am I doing here, I don’t belong here …


Radiohead, dari Creep (Pablo Honey, 1993)

Satu

Waktu perjalanan terasa menyenangkan, pikirku dalam hati


ketika aku melewati pintu putar Rumah Sakit Sint Lucas
untuk ketiga kalinya dalam tiga hari ini. Kali ini kami menuju
lantai satu, Ruang 105, seperti yang tertera dalam kartu-
janji-bertemu Carmen. Koridor tempat tujuan kami penuh
sesak. Ketika kami hendak membaur di tengah keramaian
tersebut, seorang laki-laki uzur, yang mengenakan rambut
palsu mencolok, menunjuk ke arah pintu dengan tongkat
jalannya.
“Kalian harus pergi ke sana terlebih dahulu, dan beri
tahu mereka bahwa kalian sudah datang.”
Kami mengangguk dan dengan gugup memasuki Ruang
105. Dr. W.H.F Scheltema, spesialis penyakit dalam, begitu
yang tertera pada papan kecil di samping pintu. Ruangan
inilah ruang tunggu yang sebenarnya—sementara koridor
tadi hanya tempat untuk menampung kelebihan pengunjung,
www.facebook.com/indonesiapustaka

aku bisa melihatnya sekarang. Ketika kami masuk, rata-rata


usia pasien merosot drastis hingga beberapa dekade. Kami
mendapat tatapan intens dan iba dari pasien-pasien lain.
Rumah sakit ternyata juga memiliki hierarki. Jelas sekali
kami adalah pasien baru di sini, kami adalah wisatawan
ruang-tunggu, dan kami bukan bagian dari tempat ini.

3
RAY KLUUN

Namun kanker di payudara Carmen berkata lain.


Seorang perempuan berusia enam puluh tahun dalam
kursi roda rumah sakit, dengan tangan yang tinggal tulang
berbalut kulit memegang kartu-janji-bertemu berlapis plastik
yang sama, mengamati kami dari atas ke bawah secara
terang-terangan. Saat aku menyadarinya, aku mencoba
menampilkan posisi lebih tinggi—istriku dan aku masih
muda, rupawan dan bugar, melebihi apa yang dapat
kukatakan kepadamu, dasar onggokan kulit keriput tua.
Bahkan tak usah membayangkan selama sejenak pun
mengenai kami yang menetap di sini, kami akan segera
keluar dari bangsal kanker ini secepat kilat. Namun, bahasa
tubuhku tidak mau bekerja sama, dan memperlihatkan
kegelisahanku. Rasanya seperti melangkah masuk ke sebuah
bar di kota kecil dan menyadari dari tatapan-tatapan meng-
hina betapa dirimu tampak mirip warga Amsterdam yang
mengenakan pakaian secara berlebihan. Andai aku tadi tidak
memakai kemeja merah longgar dengan tali dari kulit ular.
Carmen pun tidak merasa nyaman. Kenyataan sebenarnya:
mulai saat ini, kami merupakan bagian dari tempat ini.
Di Ruang 105 juga ada meja resepsionis. Seorang perawat
yang duduk di baliknya tampak dapat membaca pikiran
kami. Dengan cepat ia bertanya apakah tidak lebih baik jika
kami duduk di ruang kecil di sebelah. Tepat pada waktunya,
karena dari sudut mataku aku bisa melihat Carmen menangis
lagi. Benar-benar melegakan karena tidak harus berdesak-
www.facebook.com/indonesiapustaka

desakan di antara mayat-mayat berjalan di ruang tunggu


atau koridor.
“Pastinya merupakan pukulan hebat, kemarin lusa,” kata
si perawat ketika ia kembali dengan membawa kopi. Aku
langsung memahami bahwa kasus Carmen van Diepen telah
mencuat dalam rapat mereka. Perempuan itu menatap

4
DAN & CARMEN

Carmen. Kemudian menatapku. Aku mencoba untuk


menahan diri. Seorang perawat yang baru saja kutemui tidak
boleh melihat betapa menyedihkannya diriku.
www.facebook.com/indonesiapustaka

5
RAY KLUUN

Lelaki yang mengejar banyak perempuan dapat


digolongkan ke dalam dua kategori. Sebagian lelaki
mencari mimpinya masing-masing yang subjektif dan
tanpa batas tentang seorang perempuan dalam diri
semua perempuan. Sebagian yang lain didorong oleh
hasrat untuk memiliki keragaman tiada akhir atas
dunia perempuan yang objektif.
Milan Kundera, dari The Unbearable Lightness of Being (1984)

Dua

Aku seorang hedonis dengan monofobia akut. Sisi hedonis


di dalam diriku terpesona oleh Carmen dan dengan segera
terpikat kepadanya. Namun, sedari awal ia agak kurang
senang dengan kegelisahanku akan monogami. Awalnya ia
merasa simpatik terhadap hal itu dan mendapati bahwa
hubunganku yang penuh perselingkuhan sebagai sesuatu
yang menggelikan dan melihatnya sebagai sebuah tantangan
daripada sebuah peringatan.
Sampai satu tahun kemudian—kami belum hidup
bersama—ketika ia mengetahui bahwa aku meniduri Sharon,
www.facebook.com/indonesiapustaka

seorang resepsionis di BBDvW&R/Bernilvy, agen periklanan


tempatku bekerja saat itu. Setelahnya, ia langsung yakin
bahwa aku tidak akan pernah setia atau berupaya untuk
setia. Bertahun-tahun kemudian ia memberitahuku bahwa
setelah episode Sharon ia berada pada titik untuk memutus-
kan hubungan denganku, namun menyadari bahwa dirinya

6
DAN & CARMEN

terlalu mencintaiku. Alih-alih, ia menutup mata akan


ketidaksetiaanku dan memperlakukan hal itu sebagai cacat
karakter yang tidak akan dapat disembuhkan. Satu laki-laki
gemar mengorek lubang hidung, yang lain mata keranjang.
Seperti itulah. Hal itu memberinya perlindungan emosional
terhadap pemikiran bahwa suaminya “sering menempelkan
kejantanannya ke perempuan-perempuan lain”.
Namun, bertahun-tahun kemudian ia masih mengancam
untuk meninggalkanku jika aku mengulangi hal itu lagi.
Paling tidak Carmen ingin memastikan bahwa di masa depan
aku akan menjauhkan petualangan rahasiaku dari dirinya.
Dan itu berhasil.
Selama tujuh tahun berikutnya kami merupakan pasang-
an paling bahagia di belahan bumi barat dan sekitarnya.
Sampai tiga minggu yang lalu, tatkala Carmen me-
neleponku ketika Frank dan aku sedang berjuang untuk
tetap terjaga sementara manajer produk Holland Casino
terus mengoceh.
www.facebook.com/indonesiapustaka

7
RAY KLUUN

It’s the end of the world as we know it …


REM, dari It’s the End of the World as We Know It (And I Feel Fine)
(Document, 1987)

Tiga

Orang yang pergi ke kasino adalah para lelaki China, para


penipu, dan perempuan-perempuan dalam balutan gaun
viscose. Tak sekali pun aku melihat perempuan yang menarik
di dalam kasino. Mengerikan.
Oleh karena itu, tentu saja, saat manajer produk Holland
Casino menghubungi kami dan mengatakan bahwa mungkin
ia ingin menjadi klien MIU Creative & Strategic Marketing
Agency, aku memberitahunya aku tergila-gila dengan kasino.

>> Pendapatan kami, yaitu Frank dan aku, berasal dari MIU. Orang-
orang yang sungguh-sungguh telah mempelajari keahlian membuat
sesuatu. Dan kemudian ada orang-orang yang menjual sesuatu.
Kurang terhormat, tapi sama pentingnya. Frank dan aku tidak
menjual barang-barang. Kami menjual waktu. Dan kami bahkan
tidak membuat hal itu sendiri. Sebagian besar aktivitas otak di MIU
dilakukan oleh enam pemuda dan pemudi berusia dua puluhan,
www.facebook.com/indonesiapustaka

semuanya tipe orang yang sangat tegang seperti Frank dan aku
dulu sebelum kami bekerja untuk diri kami sendiri. Jadi Frank dan
aku mengumpulkan gagasan-gagasan yang dihasilkan pekerja
cerdas kami yang berusia dua puluhan, memasukkannya dalam
sebuah laporan, menyuruh sekretaris kami Maud—sesosok makhluk
yang luar biasa menawan—menjilidnya dengan indah, dan
menyajikan gagasan-gagasan tersebut ke klien kami, dengan

8
DAN & CARMEN

kepercayaan diri yang besar. Mereka bereaksi dengan antusiasme


yang hebat, memuji kami secara berlebihan, dan kemudian
melanjutkan tanpa melakukan apa-apa terhadap hal itu. Setelah
itu kami mulai membuat laporan menguntungkan berikutnya bagi
klien yang sama. Begitulah cara model bisnis kami dijalankan.

Kami memperhitungkan bahwa Holland Casino akan


menguntungkan selama beberapa ratus jam setahun. Jadi
keesokan paginya kami mengunjungi kasino itu di Maw
Euwe-Plein di Amsterdam. Sang manajer produk meng-
inginkan agar kami “datang dan melihat-lihat salah satu
emporia-nya”. Emporia (Ina: bazar). Benar, “emporia”. Kata-
kata seperti itulah yang digunakan klien-klien kami. Aku
tak bisa berbuat apa-apa. Mereka mungkin akan mem-
bicarakan bagaimana mereka “berusaha berkumpul untuk
mendengarkan gosip-gosip lama yang menyenangkan”.
Frank mengajukan pertanyaan yang diketahuinya selalu
mudah diterima oleh para klien, si manajer produk ber-
upaya memecahkan rekor dunia dalam pemberian informasi
secara berlebihan, sementara aku berpura-pura mendengar-
kan. Ini adalah seni yang telah begitu kukuasai. Si klien
berpikir bahwa aku merenungkan masalah pemasaran
mereka secara mendalam. Sejujurnya aku memikirkan soal
seks, clubbing, atau Ajax. Kadang-kadang aku sama sekali
tidak memahami apa yang baru saja dibicarakan seorang
klien, tapi hal itu bukan masalah besar. Raut tampak ter-
menung yang dikombinasikan dengan kening berkerut dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

keheningan yang panjang serta menakjubkan merupakan


prasyarat dalam lini bisnisku. Mereka bahkan membayarmu
per jam. Selama aku dapat tetap terjaga, itu tidak masalah,
demikianlah Frank selalu berkata.
Aku mengalami kesulitan untuk tetap terjaga hari ini.
Aku sudah menguap dua kali, yang tak diragukan lagi,

9
RAY KLUUN

membuat Frank sangat kesal. Tepat ketika kelopak mataku


nyaris tertutup, telepon genggamku berdering. Merasa lega,
aku meminta diri dan mengeluarkan telepon dari sakuku.
PONSEL CARMEN.
“Hai, Cinta,” kataku, berpaling dari meja.
Kekasihku menangis.
“Carm, ada apa?” tanyaku, merasa shock. Frank melirik
ke arahku, khawatir. Sang manajer produk terus meracau
dengan riang. Aku membuat isyarat “tak usah khawatir”
kepada Frank dan menjauh dari meja.
“Aku di rumah sakit. Ini bukan kabar baik,” Carmen
terisak.
Rumah sakit. Aku lupa ia harus pergi ke sana hari ini.
Dua hari yang lalu, saat ia bertanya apakah aku dapat
melihat ada yang tidak beres dengan puting susunya, yang
terasa seperti terbakar, aku berusaha meyakinkannya bahwa
itu hanya disebabkan oleh siklus menstruasinya. Atau
mungkin akibat bagian kasar di dalam bra-nya. Tak ada
yang serius. Sama seperti enam bulan lalu, alarm palsu. Aku
menyuruhnya menemui dr. Wolters jika Carmen meng-
khawatirkan hal itu, dan memintanya berhenti merasa
cemas.
Aku menyedihkan ketika berurusan dengan berita-berita
buruk, dan dengan seketika berusaha meyakinkan diri
sendiri serta orang lain bahwa segalanya akan baik-baik
saja. Seolah-olah aku malu, atau apa pun, bahwa terkadang
www.facebook.com/indonesiapustaka

beberapa hal mengerikan terjadi tak terbantahkan, tak


memiliki jalan keluar, dan tak dapat dielakkan. Aku pernah
mengalaminya, saat ayahku bertanya bagaimana permainan
klub sepakbola NAC Breda dan aku terpaksa memberitahu-
nya bahwa mereka kalah 0 – 1 dari Veendam. Aku ter-
dorong untuk tidak memberitahunya soal gol bunuh diri.

10
DAN & CARMEN

Menyampaikan atau menerima kabar buruk merusak harimu.


“Dengar, Carm, ceritakan dengan tenang apa yang
mereka katakan,” kataku ke telepon, berhati-hati meng-
hindari kata “dokter” karena Frank ada di dekatku.
“Ia tidak tahu dengan pasti. Ia pikir puting susuku ter-
lihat aneh, dan berkata ia tidak sepenuhnya meyakininya.”
“Hmm…” aku berkata—sebuah komentar yang anehnya
pesimistik untuk ukuranku. Carmen menganggapnya se-
bagai tanda bahwa ia seharusnya mulai merasa panik.
“Sudah kuberi tahu bahwa payudaraku terasa panas!” ia
berteriak, suaranya pecah. “Sialan, aku tahu itu bukan hal
yang baik!”
“Tenanglah, Sayang, kita belum mengetahuinya secara
pasti,” aku berspekulasi. “Apakah kau menginginkanku
datang dan menemanimu?”
Carmen berpikir selama beberapa saat. “Tidak. Tak ada
yang dapat kau lakukan. Mereka akan mengambil sampel
darah, dan aku harus memberikan urinku, dan mereka akan
menentukan operasi ekplorasinya, seperti kali terakhir, ingat
kan?” Ia kedengaran lebih tenang sekarang ini. Membicara-
kan masalah-masalah praktis menolongmu menekan emosi-
mu. “Akan sangat menyenangkan kalau kau mau menjemput
Luna dari crèche—tempat penitipan anak. Aku tidak akan
pergi ke Brokers. Aku tak sanggup muncul di sana dengan
wajah sedih. Kuharap aku segera pulang pada pukul enam.
Apa yang akan kita makan nanti malam?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

>> Brokers, lengkapnya, Advertising Brokers. Ini adalah perusahaan


Carmen. Ia mendapat gagasan saat aku masih bekerja di
BBDvW&R/Bernilvy, Real Madrid-nya dunia periklanan, demikian
kami menyebut diri kami sendiri. Carmen biasanya merasa sangat
jengkel dengan dunia kecil yang terkotak-kotak itu. “Dipenuhi ego-
ego melambung yang berpikir bahwa diri mereka sendiri lebih

11
RAY KLUUN

hebat daripada klien-klien mereka, rekan-rekan sejawat mereka,


dan Tuhan,” demikian ia dulu berkata. “Berusaha bersikap kreatif,
padahal yang mereka ingin lakukan hanyalah mengendarai mobil-
mobil mahal dan menghasilkan segepok uang.” Carmen berpikir
mengacaukan suasana sedikit adalah hal yang lumayan menghibur.
Pada salah satu resepsi Bernilvy ia diam-diam bertanya kepada salah
satu klien kami (B&A Central) mengapa mereka tidak menjual hak
cipta atas iklan dan advertensi mereka kepada perusahaan-
perusahaan non-kompetitif di negara lain. “Semacam makelar ide,
seperti yang terjadi pada buku-buku, film-film, dan program-
program TV,” katanya. Si klien berpikir itu adalah gagasan brilian,
dan keesokan harinya ia mempresentasikan hal tersebut kepada
Ramon, direktur Bernilvy. Hanya agar mendapat ketenangan dalam
hidupnya, Ramon menyetujuinya dengan enggan. Carmen meng-
ajukan dirinya sendiri. Dalam waktu enam bulan ia telah menjual
hak cipta untuk iklan-iklan B&A Central kepada perusahaan-
perusahaan di Afrika Selatan, Malaysia, dan Cile. Dunia periklanan
berteriak-teriak dengan lantang. Mereka pikir apa yang dilakukannya
adalah vulgar, vulgar, vulgar. Itu adalah pasar ternak. Carmen tetap
bertahan. Ia mencapai tujuannya. Dan tiba-tiba setiap orang ingin
menjadi klien dari Advertising Brokers. Agen-agen periklanan pun
melihat peluang tersebut. Tidak disangka-sangka, berkat Carmen,
mereka memperoleh keuntungan sebesar empat hingga lima kali
lebih banyak dari ide-ide kreatif mereka. Dan klien-klien mereka,
yang telah membayar mereka—dengan menggertakkan gigi—per
jam jauh melebihi apa yang pernah mereka bayar, berkata, “klub
laki-laki” paling eksklusif di Amsterdam (Yab Yum) dengan cepat
melihat kampanye iklan mahal tersebut justru menghasilkan uang
lebih cepat. Dan semua ini terjadi karena Carmen melihat peluang
untuk menjual iklan ke beberapa perusahaan di negara-negara yang
jauh. Dalam waktu dua tahun, Carmen memimpin dua puluh staf
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan memiliki klien-klien dari seluruh penjuru dunia. Ia menikmati


karier yang diciptakannya sendiri, dan kadang-kadang, jika ia mau—
harus merupakan tempat yang menyenangkan—ia akan terbang
untuk menemui salah satu kliennya di suatu tempat di dunia dan
bersenang-senang. “Sangat menyenangkan, eh?” Carmen berkata
setiap kali dirinya mendapat klien baru.

12
DAN & CARMEN

Aku tak dapat menahan tawa. Kami tidak pernah


meributkan soal makanan. Kami adalah jenis pasangan yang
hanya ingat pada menit-menit terakhir di malam hari bahwa
kami harus makan sesuatu, dan kami benar-benar kaget saat
mendapati tak ada apa pun yang bisa dimakan di rumah,
selain satu laci penuh makanan bayi untuk Luna. Teman-
teman kami menggoda tentang berapa banyak pengeluaran
mingguan kami dihabiskan di Domino’s Pizza, kedai masak-
an China bawa-pulang, dan toko di pojok jalan.
“Kita akan atasi masalah makanan ini. Pastikan saja kau
pulang lebih cepat sehingga aku dapat memelukmu. Dan
mungkin pada akhirnya semua akan baik-baik saja,” aku
berkata seringan mungkin, dan menutup telepon. Namun
punggungku basah kuyup oleh peluh. Sesuatu memberi-
tahuku bahwa kehidupan kami baru saja mendapat pukulan.
Aku memandang lurus-lurus ke depan. Pasti ada hal positif
mengenai hal itu. Nantinya, kami akan menuliskan semua-
nya dengan tenang dalam daftar. Melihat sisi baiknya.
Sesuatu yang dapat kami gunakan untuk menenangkan
Carmen, yang berdiri di sana di rumah sakit mengerikan
itu sendirian.
Kemudian aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan
kembali ke meja tempat Frank duduk bersama si manajer
produk, yang baru saja mulai membahas masalah-masalah
yang terjadi ketika mengubah pengunjung kali-pertama
menjadi konsumen reguler.
www.facebook.com/indonesiapustaka

13
RAY KLUUN

You were fucking happy, but it all came to an end.


Jan Wolkers, Turks Fruit (1973)

Empat

Aku memarkir Chevrolet Blazer-ku di seberang rumah kami


di Amstelveenseweg, di pinggir Amsterdamse Bos, hutan kota.
Aku benci Amsterdamse Bos, aku benci Amstelveenseweg,
dan aku benci rumah kami. Selama lima tahun kami tinggal
di pusat kota, di lantai-satu sebuah flat di Vondelstraat.
Sewaktu usia Luna baru dua bulan, Carmen ingin keluar
dari sana. Ia sudah sangat muak harus terus-menerus meng-
angkat kereta bayi roda tiga yang oh-sangat-keren naik
turun tangga, setelah harus menyetir berputar-putar selama
dua puluh menit mencari tempat untuk parkir. Dan kemu-
dian, setelah kami baru saja duduk dengan sebuah keranjang
piknik dan dua buah botol rosé di atas hamparan permadani
di Vondelpark, dan mendapati bahwa Carmen—“Tidak, kau
yang pergi dan mengambilnya, Dan”—lupa membawa
popok, ia meluncurkan kampanye gencar demi Amstelveen.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sebuah rumah dengan halaman sendiri. Pada akhirnya itu


berubah menjadi sebuah rumah di Amstelveenseweg.

>> Rumah kami adalah nomor 872. Sebuah rumah kecil khas pra-
perang, yang direnovasi dengan indah oleh pemilik sebelumnya.
Bagian muka bangunannya dicat hitam, dan memiliki atap lancip
kayu berwarna hijau dengan sudut-sudut putih. Agen perumahan-

14
DAN & CARMEN

nya menyebut atap itu sebagai “picturesque”—indah. Apa maksud-


mu dengan picturesque, pikirku, tempat ini bukan Zaandam sialan,
itu bukan kawasan konservasi. Namun tekanan Carmen untuk
pindah semakin gencar dari hari ke hari, dan, sial, aku diyakinkan
bahwa setidaknya kami tidak akan berakhir di pinggiran kota
membosankan seperti Het Gooi atau Almere. Jadi sampai saat ini
kami masih tinggal di Amsterdam, namun dengan “sentuhan”
Amstelveen. Aku merasa salah-tempat di sini sejak semula. Pada
saat aku menyetir menuju jembatan A10 di luar kota aku merasa
sedang berada dalam perjalanan safari. “Lihat, zebra,” kataku kali
pertama saat kami melihat rumah itu. Carmen tidak terlalu geli
mendengarnya. Tidak ada trem, namun di sana ada bus yang
berjalan melewati rumah. Kau tentu mengerti maksudku. Tapi hei,
tempat ini lumayan juga untuk beberapa tahun, sampai MIU dan
Advertising Brokers cukup matang hingga menjadi tambang emas
dan kami mampu membayar apartemen lantai-dasar di pusat
Amsterdam, jadi sampai saat itu, rumah zebra pun tak masalah.

Aku dapat melihat dari Beetle hitam yang diparkir sekitar


empat puluh lima meter di depanku bahwa Carmen sudah
ada di rumah. Aku menggendong Luna keluar dari mobil,
berjalan menuju pintu depan, menarik napas dalam-dalam,
dan memasukkan kunci ke lubangnya. Kegugupanku me-
lebihi kegugupan yang kurasakan pada 1995, saat Ajax harus
mempertahankan keunggulan skor 1 – 0 mereka melawan
AC Milan pada menit-menit terakhir pertandingan.*

>> Luna adalah seberkas cahaya matahariku yang mungil. Ulang


tahun kami sama. Ketika ia lahir, aku langsung mengetahui bahwa
www.facebook.com/indonesiapustaka

semua temanku dijamin hadir pada pesta ulang tahunku yang


keenam puluh kelak. Mereka pasti tidak akan mau melewatkan
teman-teman putriku yang menarik dan bertubuh-sintal berlarian
kian-kemari.

* Final Liga Champions, 24 Mei 1995, Wenen, Stadion Ernst Happel. 1 – 0 (Kluivert). Ajax
Amsterdam: Van der Sar, Reiziger, Blind, F. De Boer, Rijkaard, Seedorf (Kanu), Litmanen
(Kluivert), Davids, Finidi, R. De. Boer, Overmars.

15
RAY KLUUN

Itu tampaknya seperti sebuah malam yang sungguh-


sungguh normal. Pada saat Luna melihat Carmen, gadis
kecil itu tersenyum lebar, wajahnya hampir terbelah dua.
Carmen mengucapkan “LUUUNAAA!” berpanjang-panjang-
nya seperti biasa, memasang mimik wajah konyol, me-
nirukan gaya berlari Luna yang terkedek-kedek, dan ber-
jongkok untuk memeluknya. Luna menjawab “MAMAAA!”
dengan sangat riang. Malam ini adegan itu menyentuh
perasaanku melebihi biasanya.
“Hai, Cinta,” kataku saat Carmen berdiri, dan aku
mencium bibirnya. Kami berpelukan dan segera saja ia mulai
menangis. Selamat tinggal malam normal. Aku mendekapnya
erat-erat dan melihat ke kekosongan melalui bahunya. Aku
memberitahunya bahwa segalanya akan baik-baik saja,
seperti yang terjadi enam bulan lalu. Itu hal terbaik yang
bisa kuucapkan sejak sore tadi.

***

Ia naik ke tempat tidur dan aku menekan tubuhnya ke


tubuhku. Kami mulai berciuman. Aku dapat melihat dari
gerakannya bahwa ia terangsang. Tanpa satu kata pun, aku
menggerakkan kepalaku menuju bagian bawah tempat tidur.
Ketika ia mencapai puncak, ia menekankan kewanitaannya
yang basah ke wajahku. “Lakukan sekarang!” bisiknya. Kami
bercinta dengan liar. Ia merasakan bahwa aku hampir
www.facebook.com/indonesiapustaka

mencapai orgasmeku, kemudian berkata dengan tatapan


mendamba, “Ayolah, isilah diriku,” dan dengan beberapa
dorongan keras terakhir pertahananku runtuh, menggigit
bibirku agar tidak mengeluarkan suara yang bisa mem-
bangunkan Luna di kamar sebelah.

16
DAN & CARMEN

>> Saat Carmen melucuti pakaiannya di kamar tidur, aku menatap


kedua payudaranya. Kali pertama aku melihatnya telanjang, aku
melongo, mulutku terbuka, menatap tubuhnya. Aku tergagap
bahwa aku belum pernah meniduri siapa pun dengan tubuh seperti
itu. Ia tertawa dan berkata bahwa di Rosa’s Cantina, pada awal
malam itu, ia telah menyadari diriku yang tak bisa memalingkan
pandangan dari lembah di balik T-shirt hitam berpotongan
rendahnya. Setelah kelahiran Luna, buah dadanya turun sedikit,
namun aku masih menganggap keduanya indah. Carmen tetap
dapat merangsangku hanya dengan mulai melucuti pakaian dan
menunjukkan dadanya yang fantastis. Setiap malam adalah pesta
pora. Hidup bersama Carmen selalu merupakan pesta pora bagi
tubuh dan jiwaku.

Segera setelah aku orgasme, ia mulai menangis lagi.


“Ayolah, Sayangku,” bisikku. Aku mencium rambutnya
dan tetap tinggal di dalam dirinya selama beberapa menit
lagi.
“Ulang tahunmu minggu depan,” katanya kemudian
ketika aku telah memadamkan lampu. “Mungkin itu saat
terakhirku merayakannya.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

17
RAY KLUUN

One typical mark of regret,


is that it always comes too late,
and never on time …
Extince, dari On the Dance Floor
(Binnenlandse funk, 1998)

Lima

Pada pukul setengah empat aku masih tidak dapat memejam-


kan mata. Aku tidak bisa tahan akan gagasan bahwa aku
harus mengumumkan kabar buruk lagi kepada teman dan
keluargaku. Rasanya kami membohongi mereka enam bulan
yang lalu ketika mengatakan bahwa hal itu merupakan alarm
palsu. Sekarang kami akan tertawan lagi dalam ketidak-
pastian, hingga waktunya biopsi. Yang akan terjadi pada
Jumat minggu depan. Sepuluh hari lagi. Sepuluh hari sialan
menunggu operasi eksplorasi. Mereka tidak dapat melaku-
kannya lebih cepat lagi, kata dr. Wolters kepada Carmen,
dan sepuluh hari tidak akan membuat banyak perbedaan
pula, ia meyakinkan kami. Ketika aku merasa terganggu
mengenai hal itu malam ini, Carmen mendampratku dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

kesal. “Memangnya apa yang harus kukatakan, Dan? Bahwa


kita akan melakukan biopsi itu sendiri?” Aku menutup
mulutku rapat-rapat sejak saat itu.
Dr. Wolters. Sudah lewat enam bulan, dan jika ditotalkan
aku hanya pernah melihatnya selama sekitar setengah jam,
namun aku dapat melihat wajahnya dengan jelas di hadapan-

18
DAN & CARMEN

ku. Kurang lebih lima puluh lima tahun, rambut kelabu


yang khas, dibelah pinggir, berkacamata bundar, jaket putih.
Enam bulan yang lalu mimpi buruk seperti ini berlangsung
selama kurang dari satu minggu. Semuanya dimulai dengan
kunjungan Carmen ke dokter keluarga kami, dr. Bakker.
Dokter itu merekomendasikan agar kami mengadakan
pemeriksaan payudara di rumah sakit, hanya untuk
menenangkan diri. Di Rumah Sakit Sint Lucas kami
menemui dr. Wolters. Ia mengadakan pemeriksaan dan
memutuskan bahwa Carmen harus menjalani biopsi. Hal
itu membuat kami lebih takut lagi. Bukan berarti aku
mengetahui apa itu biopsi, namun jika kau pergi dan
melakukan sesuatu di sebuah rumah sakit yang istilahnya
belum pernah kau dengar, itu artinya kabar buruk.
Berbaring dalam keremangan di kamar kami pada malam
sebelum biopsi, aku berusaha untuk tidak membiarkan
Carmen menyadari bahwa, di dalam lubuk hatiku, aku
melolong. Pada awal malam itu aku telah melihat di dalam
matanya bahwa ia ketakutan setengah mati. Dan aku benar-
benar memahaminya. Kanker membunuh.
Kemudian ucapan Wolters menembusku: “Sel-selnya
bermultiplikasi dengan cepat, kami tidak mengetahui secara
pasti apa itu, namun apa pun itu gumpalan tersebut tidak
ganas.” Aku ingat ia hampir tidak mengucapkan kata-kata
itu sebelum kami berdiri. Betapa leganya kami, tak sabar
untuk segera menjauh, menjauh, menjauh dari rumah sakit,
www.facebook.com/indonesiapustaka

kembali ke kehidupan bahagia kami, yang kami bisa hidup


lebih panjang dan dengan riang, tepat seperti yang kami
rencanakan. Dengan waktu yang memihak kami, dan
rencana-rencana untuk seratus ribu tahun.* Begitu berada
di luar, kami pun langsung berpelukan. Kami bahagia seolah

* Dikutip dari ”Een dag, zo mooi” karya Tröckener Kecks (Andere plaats, andere tijd, 1992).

19
RAY KLUUN

kami baru saja memiliki seorang bayi yang sehat. Dengan


riang aku menelepon ibu Carmen, Thomas dan Anne, Frank
dan Maud untuk memberi tahu mereka bahwa tak ada yang
salah dengan Carmen. Ia sehat.
Tidak ganas. Apakah seharusnya kami mendesak Wolters
mengenai tidak-mengetahui-secara-pasti-apa-itu? Apakah
seharusnya kami bersikeras untuk mendapatkan opini kedua
dari rumah sakit lain? Bukankah pada akhirnya, itu adalah
kesalahan kami? Bukankah kamilah yang membiarkan diri
kami sendiri teperdaya? Bahwa kebahagiaan dan kelegaan
Carmen cukup masuk akal, tapi bukankah seharusnya aku
bersikukuh untuk mendapatkan jawaban, bukankah seharus-
nya aku mengotot untuk melanjutkan pemeriksaannya
sampai ia tahu pasti apa yang sedang terjadi? Akulah yang
goblok di sini, bukan Wolters. Bagaimanapun, akulah suami
Carmen. Bukankah sudah seharusnya aku melindunginya?
Mungkin sebenarnya hal itu dapat dicegah, kata-kata itu
terus-menerus menghantam benakku.
Itu tidak akan terjadi kali ini. Jika ia meyakinkan kami
bahwa segalanya OK saja minggu depan, aku akan men-
cengkeram kerah jubah putihnya lalu menyeretnya ke atas
mejanya. Aku pasti melakukannya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

20
DAN & CARMEN

A smile, that is merely parodic …


Rita Hovink, dari Laat me alleen (Een rondje van Rita, 1976)

Enam

Unit Rumah Sakit Sint Lucas tempat dilakukannya biopsi


bernama onkologi, begitu yang kulihat pada papan di atas
pintu ayun. Onkologi. Aku mengenal kata itu samar-samar,
tapi tidak punya gagasan apa hubungannya dengan kanker.
Kedengarannya sangat lugu. Lebih mirip dengan cabang
ilmu pengetahuan yang menyibukkan diri dengan me-
nyelidiki kepunahan mamot, sesuatu seperti itu.

>> Rumah Sakit Sint Lucas. Ada orang-orang yang menganggap


bahwa tempat parkir mobil Europarking adalah bangunan paling
menyedihkan di Amsterdam. Yang lain akan menyebut
Nederlandsche Bank. Atau gedung bertingkat-tinggi di distrik
Bijlmer. Aku mengundang mereka semua untuk mengunjungi Sint
Lucas. Begitulah yang kupikirkan pada menit yang sama ketika
melihat rumah sakit itu terbentang di sepanjang jembatan A10.

Luna melambai-lambaikan Elmo di udara—ia mendapat-


www.facebook.com/indonesiapustaka

kannya sebagai kado saat ulang tahunnya minggu lalu.


Carmen sedang duduk di pinggir tempat tidur. Ia baru saja
ditimbang dan diambil sampel darahnya. Tas hitam yang
memuat peralatan mandi, sandal, baju tidur sutra Persia
berwarna hitam—yang tidak kuketahui dimilikinya—dan
satu eksemplar Marie Claire tergeletak di atas ranjang. Aku

21
RAY KLUUN

duduk di sebelahnya, masih mengenakan jaketku, dan


memungut dua selebaran kecil yang baru saja diberikan
kepada kami—yang berwarna hijau, Hidup dengan Kanker,
dan yang warna biru, Kanker Payudara. Di bagian sampul
kedua selebaran itu terdapat sebuah logo yang kukenali dari
kaleng-kaleng koleksi—Queen Wilhelmina Fund, Yayasan
Ratu Wilhelmina. Aku mulai membolak-balik selebaran biru,
seperti yang kau lakukan saat membaca panduan Bebas
Pajak di sebuah pesawat untuk membawamu menemukan
suasana hati yang tepat. Kepada siapa brosur ini ditujukan?
Demikianlah kata-kata yang tertulis di bagian atas halaman
pertama. Aku membaca bahwa Carmen dan aku termasuk
dalam kelompok sasaran selebaran ini. Aku tidak suka
menjadi bagian dalam kelompok sasaran apa pun, dan pasti-
nya sasaran selebaran ini. Di halaman daftar isi aku melihat
judul-judul babnya, Apa itu kanker?, Payudara protese, dan
Memerangi rasa sakit. Dan mengapa kami membaca materi
oh-begitu-menyenangkan ini? Bukankah ini sekadar operasi
eksplorasi? Tak bisakah kami hanya sementara bertingkah
seolah segalanya akan terjadi dengan cepat, seperti retraksi
puting di payudara yang terasa terbakar—yang selama
beberapa hari yang lalu telah tumbuh semakin merah dan
besar, bahkan bagi mataku yang tidak terlatih—yang
disebabkan oleh, entahlah, hormon atau yang lain?
Saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan tepat, dan
seorang perawat masuk. Ia membawa folder dengan nama
www.facebook.com/indonesiapustaka

Carmen tertera di atasnya.


“Kau memang bagian dari tempat ini,” kataku sambil
mengangguk ke arah berkas-berkas itu.
Carmen tertawa. Sedikit.
“Biopsinya dijadwalkan pukul dua belas tepat,” kata si
perawat.

22
DAN & CARMEN

Usia perawat itu sekitar lima puluh tahun. Ia melakukan


upaya terbaiknya untuk membuat percakapan rutin ini
terdengar se-impersonal mungkin. Suatu waktu ia malah
meletakkan tangannya di lutut Carmen. Carmen adalah
seseorang yang ramah, seperti yang selalu ditunjukkannya
kepada setiap orang. Aku merasa sangat pelik, dan apa yang
sebenarnya ingin kulakukan adalah kembali ke crèche
bersama Luna, kemudian kembali ke MIU secepat mungkin.
Aku tidak peduli apa yang harus kuputuskan dalam saat
seperti ini, asalkan aku dapat segera pergi dari rumah sakit
sialan tersebut. Kurasa dengan menjadikannya satu hari
normal sebisa mungkin.
Carmen menyadarinya. “Pergilah, aku bisa mengatasinya
sendirian. Dan rasa kopinya jauh lebih enak di MIU.” Ia
tertawa.
“Saat istri Anda sadar dari pengaruh anestesinya, kami
akan menghubungi Anda,” kata si perawat.
Luna dan aku memeluk Carmen dan aku membisikkan
pernyataan bahwa aku mencintainya. Aku meniupkan
ciuman dari ambang pintu. Luna melambaikan tangan.
Carmen melakukan upaya terbaiknya untuk tersenyum.
www.facebook.com/indonesiapustaka

23
RAY KLUUN

I hide my tears behind a painted smile …


The Isley Brothers, dari I Hide My Tears Behind a Painted
Smile (Soul on the Rocks, 1967)

Tujuh

Pada pukul sepuluh aku membuka pintu depan kantor kami.


Letaknya di Stadion Olympic. Sejak saat kami memperoleh
kuncinya, aku lebih merasa seperti di rumah daripada yang
kurasakan di rumahku yang sebenarnya. Sebagian masa
remajaku kuhabiskan di stadion itu. Sebagai remaja berusia
enam belas tahun dari Breda, aku mendapati Amsterdam
yang liar di awal 1980-an sebagai tempat yang sungguh-
sungguh menakjubkan. Sesering mungkin, aku naik kereta
menuju Amsterdam pada hari Minggu agar pada Senin pagi
aku dapat memberitahu semua orang di sekolah mengenai
kerusuhan di Ajax (atau “Ojox”, demikian kami menyebut-
nya) dan hancurnya trem nomor sembilan menuju Stadion
De Meer atau nomor enam belas menuju Stadion Olympic
dalam perjalanan menonton pertandingan. Meski aku
berhati-hati menghindari semua itu karena, seperti bertahun-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tahun sebelumnya, di teras NAC, aku betul-betul merasa


ngeri. Namun, teman-teman sekelasku tidak perlu me-
ngetahuinya.

>> Frank mencintai keindahan dan aku mencintai Ajax. Itulah


sebabnya mengapa kantor kami—tepat di bawah bagian TT,
dengan sisi F selalu memberikan dukungan saat Ajax bermain di

24
DAN & CARMEN

Stadion Olympic—merupakan suatu kompromi. Aku bersikeras


memasang foto sepanjang tujuh meter yang meliputi satu-setengah
panjang dinding samping. Di dalamnya kau akan melihat para
pemain keluar ke lapangan sebelum pertandingan Liga Champions
terakhir di stadion itu,* dikelilingi oleh lautan panji-panji dan asap
merah. Kantor MIU terlihat seperti kamarku saat usiaku lima belas
tahun, hanya saja sepuluh kali lebih besar. Dan jauh lebih, lebih
sejuk. Itu adalah pengaruh Frank dan perancangnya, laki-laki
homoseksual dari Inggris dengan kacamata gayanya yang
menggelikan. Menurut si perancang, sifat gila bolaku tidak akan
cocok dengan ruangan itu secara keseluruhan. Aku bilang itu sulit,
dan konsep kreatifnya tidak kupermasalahkan selama ia
menjauhkan tangannya dari foto tersebut. Aku punya prinsip keras
jika ada hubungannya dengan sepak bola. Dengan muram ia
menyepakati, tapi menginginkan carte blanche atau kebebasan
penuh atas sisa ruangan di kantor itu sebagai kompensasinya. “Aku
sih tidak masalah,” kataku. Dan begitulah. Ia bersikeras bahwa di
sana harus ada tiga layar Plexiglass berwarna, dengan lebar dua
meter dan tinggi satu setengah meter, di ruangan terbuka di
kantor—masing-masing berwarna merah, kuning, dan biru. Ia juga
bersikeras memasang lampu fluoresens berwarna merah muda yang
menerangi bagian belakang rak-rak buku, satu seperlima tinggi
dinding dicat dengan warna hijau apel, dan dinding sisanya dilapisi
dengan bantal laken Persia. Semuanya sangat warna-warni,
menurutku. Dan benar-benar tidak bertanggung jawab jika
dikaitkan dengan masalah anggaran. Frank menyuruhku untuk tidak
meributkannya, karena bukankah aku sudah mendapatkan ke-
inginanku dengan foto Ajax?
Sejak saat itu, si homo dan Frank tidak pernah berdiam diri.
Beberapa minggu setelah kami menempati kantor ini, Frank sambil
tertawa sendiri mengumumkan kedatangan para jurnalis dari Het
www.facebook.com/indonesiapustaka

Parool, tiga majalah internasional yang berkaitan dengan pemasaran


dan periklanan, sebuah jurnal yang ditujukan untuk memuat
bangunan-bangunan penting, dua kunjungan dari beberapa
kelompok arsitek (termasuk satu kelompok dari Denmark yang ada

* Ajax – Panathinaikos, 3 April 1996, 0 – 1. Ajax: Van der Sar, F. De Boer, Blind, Reiziger, Bogarde,
R. De Boer, Litmanen, Davids, Finidi, Kanu, Overmars. Pada pertandingan tandang, Ajax
menang dengan mudah, 0 – 3.

25
RAY KLUUN

seorang perempuan sangat menawan yang membuatku me-


mutuskan bahwa aku tidak akan meributkan kelebihan anggaran
mulai saat itu, apa yang sudah terjadi tidak dapat diubah lagi) dan
seorang klien baru. Membangun bisnis pemasaranmu sendiri
ternyata tidak sesulit yang kau duga.

“Hai,” sapaku ketika aku masuk. Semua orang sudah


lebih dulu tiba di sana. Pertama-tama aku menuju mesin
kopi di dapur kecil, menghindari pandangan setiap orang.
Selain dapur, bagian lain kantor kami di stadion itu
merupakan ruang terbuka sehingga kau tak dapat mengorek
hidungmu tanpa membuat semua orang ternganga. Mesin
kopi tersebut merupakan keinginan Frank, jadi kopi adalah
pengeluaran yang legal. Setelah kau menekan tombolnya,
butuh waktu sekitar setengah menit supaya cangkirmu terisi
penuh. Hari ini waktu itu terasa cukup lama sesuai yang
kuinginkan. Saat cangkirku terisi penuh, aku tinggal di sana
sebentar lagi. Aku mengerahkan semua keberanianku dan
berjalan melewati kantor Maud. Aku menghindari tatapan-
nya.
Frank memberiku tatapan menyelidik saat aku duduk.
“Yah—begini—ia sekarang sedang di rumah sakit,” aku
berusaha menjelaskannya sesingkat mungkin. Maud juga
ikut masuk. Dan aku merasakan tatapan orang-orang lain
di belakangku.
“Yap. OK? Kita lihat saja perkembangannya nanti, ya?”
aku berkata dan menyalakan komputerku. Aku hampir tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

dapat menahan air mataku. Maud meletakkan satu tangan-


nya di bahuku. Aku meletakkan tanganku di atas tangannya
dan menatap ke luar jendela. Andai saja aku masih anak-
anak. Dengan begitu aku dapat meyakinkan diri sendiri
bahwa semua hal yang menyedihkan akan berhenti sama
sekali jika kau tidak membicarakannya.

26
DAN & CARMEN

It ought to be easy ought to be simple enough,


man meets a woman and they fall in love,
but the house is hounted and the ride gets rough …
Bruce Springsteen, dari Tunnel of Love (Tunnel of Love, 1992)

Delapan

Pada pukul lima sore aku mendapat telepon dari Carmen.


Aku baru saja masuk ke dalam mobil untuk melaju menuju
crèche. Aku bahkan tidak menanyakan bagaimana keadaan-
nya. Aku sudah dapat mendengar hal itu dari suaranya.
“Dokternya baru pergi… Semua ini mengerikan, Dan.”
“Aku sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Aku
hanya tinggal menjemput Luna, dan kemudian aku akan
tiba di sana.”
Aku tidak berani menanyakan hal lain.

***

Dengan jantung berdegup kencang, aku menelusuri koridor


www.facebook.com/indonesiapustaka

Unit Onkologi dengan Luna dalam dekapanku. Aku berjalan


menuju ruangan tempat aku meninggalkan Carmen pagi
ini. Ia sudah kembali berpakaian, duduk di tempat tidur
dengan tisu lecek di tangannya, menatap ke luar jendela.
Matanya merah dan bengkak. Di sampingnya ada dua tisu
lain yang sama leceknya. Ia melihat kami masuk dan

27
RAY KLUUN

mengatupkan tangan ke mulutnya. Tanpa sepatah kata pun


aku bergegas menghampirinya dan memeluknya. Ia menekan
kepalanya ke pundakku dan mulai menangis tak terkendali.
Aku masih tidak mempunyai keberanian untuk meng-
ungkapkan pertanyaan apa pun. Aku tak dapat menanyakan
satu hal pun. Aku tak bisa mengeluarkan satu patah kata
pun. Luna tidak mengeluarkan suara sejak kami masuk ke
kamar rumah sakit.
Carmen mencium Luna, dan sungguh-sungguh berhasil
untuk memaksakan senyuman.
“Hai, Sayangku,” katanya, membelai kepala Luna.
Aku berdeham. “Ceritakan kepadaku,” kataku. Aku tak
bisa menghindarinya.
“Kanker. Bentuk yang sangat berbahaya. Mereka
menyebutnya berdifusi. Bukan benjolan, tapi berinflamasi,
dan sudah menyebar ke seluruh payudaraku.”
Bum.
“Apakah mereka yakin?” Hanya itu yang bisa kupikirkan.
Ia mengangguk, membersit hidungnya ke tisu, yang
sekarang sebenarnya sudah tidak dapat menyerap cairan
lebih banyak lagi.
“Itu disebut mastitis carcinothinumibob.”—Aku meng-
angguk seolah-olah paham—“Kalau kau mau, kau dapat
pergi menanyakannya kepada dr. Wolters, itu yang ia bilang.
Ia berada beberapa pintu dari sini.”
Wolters. Nama itu. Kami berusaha tidak menyebutnya
www.facebook.com/indonesiapustaka

sepanjang minggu ini. Pertanyaan-pertanyaan dari Thomas


dan Anne dan ibu Carmen—apakah si dokter mungkin telah
membuat kesalahan fatal enam bulan yang lalu—dengan
cepat dikesampingkan. Mungkin pada saat itu kankernya
sudah ada, dan bahkan pada saat itu semuanya sudah
terlambat, adalah jawaban kami. Akhir pembicaraan. Hanya

28
DAN & CARMEN

tersisa pikiran bahwa Carmen dapat meninggal karena


kesalahan medis.
Wolters duduk di balik mejanya. Aku langsung me-
ngenalinya dari enam bulan yang lalu. Ia tidak mengenaliku.
Aku mengetuk pintunya hingga terbuka.
“Halo?” katanya sambil mengerutkan dahi.
“Hai,” kataku dengan singkat, hanya agar ia tidak me-
lupakan bahwa semua ini adalah kesalahannya. “Aku suami
Carmen van Diepen.”
“Oh, maaf, halo, Mr. van Diepen,” kata Wolters,
melompat bangkit dari kursinya untuk menjabat tanganku.
“Silakan duduk.”
“Lebih baik aku berdiri. Istriku sedang menunggu.”
“Baiklah. Anda datang untuk menanyakan hasil biopsi-
nya, kuduga.”
Tidak, untuk menanyakan hasil pertandingan NAC-Ajax,
ayolah.
“Ya.”
“Hmm. Hasilnya tidak terlalu bagus.”
“Tidak. Aku mengerti itu,” kataku dengan sinisme yang
kemungkinan bahkan tidak disadarinya. “Dapatkah Anda
menjelaskan kepadaku secara tepat apa masalahnya?”
Wolters memberitahukanku mengapa hal itu secara
khusus buruk saat ini. Aku hanya setengah mendengarkan
apa yang dikatakannya dan hanya memahami lebih sedikit
www.facebook.com/indonesiapustaka

lagi. Aku bertanya kepadanya berapa derajat kepastiannya.


“Cukup pasti… Kami masih harus menyelidikinya, tapi
itu terlihat seperti mastitis carcinomatosa. Tidak ada hal
lain yang dapat kita lakukan untuk saat ini.”
Aku mengangguk. Wolters menjabat tanganku.
“Nah, cobalah untuk tegar, kalian berdua, dan pergilah

29
RAY KLUUN

ke dr. Scheltema besok. Ia seorang internis dan ia dapat


menerangkan kepada Anda segalanya mengenai apa yang
akan terjadi. OK?”
Aku mengangguk lagi. Dan aku tidak membantingnya
ke mejanya. Lebih tepatnya: Aku tidak mengatakan apa
pun. Tidak sepatah kata pun. Aku menutup mulutku rapat-
rapat. Jika seorang klien mencoba untuk mengusik salah
satu strategi bisnis yang kubuat, aku sanggup untuk me-
menggalnya, tapi sekarang si bedebah ini telah mengacaukan
hidup kami karena satu kesalahan enam bulan lalu, dan aku
bertingkah seperti pemain bola dari sebuah klub di Limburg
yang melakukan pertandingan tandang pertama di ArenA.

***

Carmen mendudukkan Luna di pangkuannya, dan sekarang


tengah menatap ke luar ke halaman parkir rumah sakit yang
hampir kosong ketika aku kembali ke kamarnya.
“Dapatkah kau ikut denganku, atau kau masih harus
membereskan beberapa urusan di sini?” tanyaku.
“Kurasa aku sudah siap,” kata Carmen. Ia mengedarkan
pandangan ke sekitar ruangan, mencari-cari tas hitamnya.
Aku berjalan dengan tenang ke sebuah meja dengan jaket
Carmen di atasnya, lalu membantu istriku memakainya,
yang biasanya tidak pernah kulakukan. Itu adalah sebuah
upaya untuk membuat diriku merasa berguna.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Jangan terlalu jauh di belakang,” kata Carmen, ketika


aku merentangkan jaketnya terbuka di belakangnya. “Aku
tidak dapat menggerakkan tanganku ke belakang dengan
baik karena luka di payudaraku.”
“Oh. Maaf. Ayo, Luna, kita pergi,” aku berkata dan
mengangkatnya dari tempat tidur. Ia masih bersikap luar

30
DAN & CARMEN

biasa tenang.
Carmen melongokkan kepalanya melalui pintu masuk
ruang perawat dan berkata, “Daaah!” Si perawat, orang
yang sama dari pagi tadi, buru-buru meminggirkan piring
makanannya yang mengepul, bangkit dari kursi, meremas
tangan Carmen dalam kedua tangannya dan berharap agar
kami diberikan ketabahan.
“Apakah kau bisa mengatasinya malam ini?”
“Tentu saja,” kataku dengan keras, dan memberinya
anggukan menenteramkan.
Kami bertiga melangkah menuju lift. Kami tidak
mengatakan apa pun.
www.facebook.com/indonesiapustaka

31
RAY KLUUN

The times are tough, just getting together,


I’ve seen enough, don’t wanna see anymore,
turn out the light and block the door,
come on and cover me …
Bruce Springsteen, dari Cover Me
(Born in the USA, 1985)

Sembilan

Begitu sampai di rumah aku menelepon Frank dan mem-


beritahunya bahwa Carmen mengidap kanker payudara.
“Ya Tuhan” adalah tanggapan ringkas Frank akan situasi
ini.
Carmen menelepon Anne. Ia memberitahu perempuan
itu apa yang terjadi. Dalam waktu satu jam Anne dan
Thomas sudah berdiri di depan pintu depan kami. Anne
memelukku lama-lama dan kemudian, masih mengenakan
jaketnya, bergegas ke ruang duduk dan memeluk Carmen
erat-erat. Segera saja, Carmen mulai menangis lagi.
Thomas memelukku dengan canggung. “Ini benar-benar
buruk, Kawan,” ia bergumam. Laki-laki itu masuk ke dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan hampir tidak berani menatap Carmen. Ia berdiri dan


menatap lantai, bahunya merosot dengan kedua tangan di
saku. Ia masih memakai setelan kerja dan dasinya.

>> Thomas juga berasal dari Breda-Noord, dan aku mengenalnya


sejak sekolah dasar. “Kami menyukai musik yang sama, kami

32
DAN & CARMEN

menyukai pakaian yang sama, kami menyukai band yang sama,”*


demikian Bruce menyanyi, dan seperti itu pula bentuk hubunganku
dengan Thomas. Pada saat usia kami dua belas tahun, kami pergi
menonton NAC bersama-sama; saat kami enam belas tahun, kami
pergi menonton band punk di Paradiso bersama-sama; dan saat
kami delapan belas tahun, kami pergi bersenang-senang ke De
Sukerkist di Breda pada malam minggu. Thomas benar-benar
populer di sana. Aku berjerawat dan memakai kacamata pantat-
botol dan harus cukup puas dengan menggauli sisa-sisa Thomas.
Setelah sekolah menengah kami berdua masuk ke perguruan tinggi
bisnis di Amsterdam, tempat kami bertemu dengan Frank. Thomas
berjuang mendapatkan gelar sarjananya dengan ketiak basah dan
peluh di sela-sela bokongnya. Dari dulu, dan sampai sekarang,
Thomas tidak supercerdas. Ia menjadi wiraniaga dalam sebuah
perusahaan yang menjual garam untuk jalanan. Kliennya adalah
para pejabat majelis dan Dewan Air. Thomas merupakan kawan
dekat mereka, dan kupikir itu terjadi karena, seperti orang-orang
itu, Thomas menyukai lelucon soal orang-orang Belgia, berkulit
hitam, gadis pirang dan perempuan yang pergi ke dokter, dan
karena ia juga mengenakan kemeja luar dengan kancing dibuka
berwarna-pastel dari Kreymborg. Thomas dan aku jarang berbincang
di telepon. Kami tidak saling berjumpa sesering dulu. Selain karnaval
di Breda ia tidak terlalu bersemangat untuk pergi mabuk-mabukan.
Pada akhir pekan ia lebih memilih tinggal di rumah sambil makan
sepotong keju yang enak dan segelas anggur yang bagus dan
sebuah film yang penuh dengan pistol dan puting dan helikopter.
Kemunduran hasratnya untuk mabuk-mabukan berkaitan dengan
fakta bahwa kepalanya mulai botak beberapa tahun lalu, dan
perutnya mulai memunculkan dimensi yang menimbulkan inspirasi
serta kekaguman. “Sial, Danny, kita tidak menua dalam kapasitas
yang sama—aku adalah susu sementara kau adalah anggur,”
www.facebook.com/indonesiapustaka

begitulah yang dikatakannya ketika Thomas menyadari bahwa


penurunan tingkat popularitasnya di antara ”kaum hawa” mulai
memperlihatkan bentuk yang terstruktur. Thomas, yang pada
dasarnya bersikap pragmatis, pun mengambil tindakan. Ketika
seorang pekerja magang datang dengan ceria ke kantor

* Kutipan dari Bobby Jean (Born in the USA, 1985)

33
RAY KLUUN

perusahaannya, enam tahun yang lalu, Thomas mengajaknya makan


malam dan setelah itu ia tidak pernah membiarkan perempuan itu
pergi.

>> Anne-lah pekerja magang itu. Thomas dan Anne benar-benar


ditakdirkan untuk satu sama lain. Anne menentang segala hal yang
berbau trendi (artinya: dari Amsterdam), ia juga tergila-gila pada
anak-anak, keju, dan anggur; dan seperti Thomas, ia terlihat seperti
sedang hamil tua. Sejak kelahiran anak-anak mereka, Kimberley (4
tahun), Lindsey (3 tahun), dan Danny (1 tahun), tubuh Anne mem-
bengkak. Anne bilang ia mendapati bahwa keluarga dan mengurus
rumah tangga jauh lebih penting daripada penampilan luarnya. Ia
memakai celana ketat dan T-shirt dari Miss Etam. Carmen menyebut
hal itu sebagai kelalaian yang disengaja. Namun Anne tidak
mendengarnya. Carmen tidak bakal menyakiti Anne. Juga sebalik-
nya. Karena Anne telah menjadi sahabat karib Carmen. Mereka
saling menelepon setiap hari dan ketika Carmen takut menghadapi
biopsi enam bulan lalu, mustahil bisa membuat Anne keluar dari
rumah kami. Walau kehadirannya di rumahku membuatku gila, aku
harus mengakui bahwa Anne mengerti arti persahabatan. Carmen
dan Anne sekarang jauh lebih dekat daripada Thomas dan aku.
Carmen memberitahu Anne segalanya. Aku tidak melakukan hal
yang sama dengan Thomas. Setidaknya setelah aku mendapati
bahwa Thomas menyampaikan setiap hal yang kulakukan (dan yang
akan ia lakukan) kepada Anne. Sebelum kau menyadarinya, hal itu
sudah sampai ke telinga Carmen dan tentu saja kami tidak sanggup
menanggungnya. Kejujuran adalah kebajikan yang dinilai terlalu
tinggi. Anne tidak berpikir demikian. Mudah baginya untuk ber-
bicara. Kau tak akan bisa menggambarkan penampilan luarnya
sebagai undangan untuk bersanggama.* Anne tidak mungkin bisa
tidak setia meski ia menginginkannya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Anne bijaksana. Ia menyarankan agar kami menuliskan


semua pertanyaan yang ingin kami ajukan kepada si dokter
besok. Kami memutuskan bahwa itu adalah rencana yang

* Dikutip dari De Avonden oleh Gerard Reve (1947).

34
DAN & CARMEN

baik. Kami berempat mempertimbangkan semua hal yang


ingin kami ketahui. Aku yang menuliskannya.
Itu bekerja dengan baik. Untuk sementara kami mem-
perkecil kanker menjadi topik pembahasan yang netral yang
dapat kami analisis secara kritis dan hampir secara objektif.
Carmen belum menangis selama satu jam.
Thomas dan Anne pulang pada pukul setengah sepuluh.
Aku menelepon Frank, dan Carmen membuka internet. Saat
aku menutup telepon, Carmen bertanya apakah aku
mengingat istilah biasa dari bentuk kanker payudaranya.
“Wolters tidak memberitahu. Meski ia memang me-
nyebutkan istilah Latin-nya, mastitis carcinosomething-
orother—”
“Carcinomatosa, ya itu.” Carmen menatap layar
komputer. “Kanker Payudara Inflamatori… yang artinya
bahwa itu adalah kanker yang—kalau terlambat—akan
memasuki sel-sel darahmu. Benar begitu, bukan?”
“Yah—kurasa begitu, ya,” aku menjawab dengan hati-
hati.
“Yah, kalau begitu lumayan buruk, juga, karena itu arti-
nya bahwa”—suaranya menghilang—“bahwa kesempatan-
ku untuk hidup selama lima tahun ke depan kurang dari
empat puluh persen.”
Empat puluh persen. “Bagaimana kau bisa yakin kalau
dirimu mengidap kanker yang satu itu?” Aku bereaksi
dengan kesal. “Apa kau yakin kau sudah membacanya
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan tepat?”
“Ya, aku tidak dungu, Dan!” ia memekik. “Hal itu tertulis
di sini! Atau tidak?”
Aku tidak memandang layar, namun menekan tombol
untuk mematikan iMac.
“OK. Waktunya tidur.”

35
RAY KLUUN

Merasa kacau, Carmen menatap layar komputer yang


gelap, kemudian menatapku, dengan raut muka mematikan.
Kemudian ia mulai terisak-isak dengan luar biasa kerasnya.
“Demi Tuhan, kalau saja si bedebah itu melihatnya dulu,
dengan begitu mungkin semua ini belum terlalu terlambat!”
Aku merengkuh lengannya dan menyeretnya ke lantai
atas.
Setelah tangisan yang seolah-olah tak akan pernah ber-
henti, ia jatuh tertidur dalam pelukanku. Aku terjaga penuh
dan tidak mengetahui apakah aku sanggup menghadapi
besok pagi. Saat aku bangun, aku menyadari semua ini
bukan mimpi, tapi kenyataan.
Carmen mengidap kanker.
www.facebook.com/indonesiapustaka

36
DAN & CARMEN

It’s raining harder than I can bear …


Bløf, dari Harder dan ik hebben kan (Boven, 1999)

Sepuluh

Dr. Scheltema menjabat tangan kami masing-masing, lalu


memberi isyarat agar kami duduk sambil ia duduk kembali
di belakang mejanya.
Ia membuka-buka sebuah berkas, jenis berkas kuno
berwarna cokelat dari unit-unit yang digantung. Aku
mengintip dan melihat bahwa itu adalah berkas yang juga
dimiliki si perawat kemarin lusa. Isinya adalah X-ray (kurasa
milik Carmen) dan aku melihat laporan panjang ditulis
tangan (oleh dr. Wolters?), dan sebuah gambar payudara,
dengan satu tanda panah kecil serta teks yang tidak terbaca
di sampingnya. Scheltema membaca berkas tersebut seolah-
olah kami tidak ada di sana. Suasana di dalam kantornya
luar biasa hening mencekam.

>> Dr. Scheltema bukan sejenis orang yang membuatmu berpikir,


www.facebook.com/indonesiapustaka

“aku yakin ia adalah orang yang gemar bercanda.” Rambut kelabu,


dengan saku dada yang dipenuhi pulpen, dan dengan wajah
ilmuwan. Dr. Scheltema dan aku tidak cocok. Aku menangkap hal
itu dari ekspresi di wajahnya ketika perempuan itu menyadari jaket
kulit ’70-anku yang sewarna tahi saat aku melangkah memasuki
kantornya.

37
RAY KLUUN

Aku menggenggam tangan Carmen. Ia mengedipkan


mata ke arahku dan membuat gerakan mengangguk ala Mr.
Bean ketika Scheltema masih, setelah setengah menit dan
tetap tidak berkata-kata, mengamati berkas tersebut,
membalik halamannya ke depan, lalu membalik halamannya
ke belakang dan ke depan sekali lagi. Aku memalingkan
pandanganku dari Carmen agar tawaku tidak meledak,
karena aku memiliki perasaan janggal bahwa hal itu justru
tidak akan semakin memperkuat ikatan antara diriku dan si
dokter. Aku mengedarkan pandangan lagi ke sekeliling
kantor. Di belakang mejanya tergantung sebuah tiruan
lukisan impresionis berbingkai (jangan tanya oleh siapa, aku
dari Breda-Noord dan aku sangat terkesan pada diriku
sendiri yang mengetahui bahwa itu merupakan lukisan
impresionis), dan di dinding di sebelah pintu terdapat rak
kecil berisi pamflet yang, di antara sekian banyak judul baru
seperti Makan Sehat bagi Penderita Kanker, Kanker dan
Seksualitas, dan Melawan Rasa Sakit bagi Penderita Kanker,
aku melihat selebaran biru yang sekarang terasa familier,
Kanker Payudara.
Dr. Scheltema mendongak dari berkas-berkas tersebut.
“Bagaimana keadaan Anda selama beberapa hari
belakangan ini?” ia memulai.
“Tidak begitu baik,” Carmen berkata dengan keterangan
klasik yang mengecilkan.
“Ya, bisa kubayangkan,” kata si dokter. “Tentunya itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengerikan bagi Anda bahwa semua berjalan begitu buruk


sebelumnya. Itu, yah, eh—keteledoran yang tidak biasa
terjadi.”
“Ya, karena sekarang sudah terlambat, bukan?” gumam
Carmen.
“Sekarang dengarlah, Anda tidak boleh berpikir seperti

38
DAN & CARMEN

itu,” kata Scheltema. “Masih banyak hal lain yang dapat


kita coba. Tidak perlulah mengungkit-ungkit masa lalu, kita
harus berfokus apa yang dapat kita lakukan.”
Sangat terkejut dengan sikap apa-yang-terjadi-biarlah-
berlalu dr. Scheltema dalam menanggapi kesalahan rekan
sejawatnya, aku melirik Carmen. Wajahnya tampak sabar.
Aku pun turut menahan diri.
“Jadi yang kuderita adalah ‘kanker payudara inflamatori’,
apakah benar?” tanya Carmen.
“Nama resminya adalah mastitis carcinomatosa, tapi
benar, inflamatori adalah istilahnya—dan, em, bagaimana
tepatnya Anda tahu?”
“Aku mencari informasinya di internet kemarin.”
“Ah, nah, Anda harus berhati-hati dengan hal itu,” ujar
Scheltema jengkel.
Tentu saja, pikirku, karena itu merupakan gangguan
bagimu. Aku terkekeh sendiri, dan tidak seperti kemarin,
saat aku merasa marah kepada Carmen karena meyakinkan
dirinya sendiri tentang hal-hal yang seburuk mungkin dari
lusinan situs yang dikhususkan untuk setiap bentuk yang
bisa dibayangkan dari kanker payudara, sekarang aku bangga
kepadanya karena ia sudah mendapat cukup informasi
sehingga membuat si dokter merasa tidak nyaman.
“Dan benarkah hanya sekitar empat puluh persen
perempuan yang didiagnosa mengidap bentuk kanker ini
bertahan hidup untuk lima tahun pertama?” Carmen
www.facebook.com/indonesiapustaka

meneruskan.
“Aku khawatir jumlahnya kurang dari itu,” kata
Scheltema dingin, jelas sekali berupaya untuk mencegah
agar kami tidak membaca situs web semacam itu lagi,
“karena Anda masih muda, yang artinya sel-selnya ber-
multiplikasi lebih cepat daripada sel-sel yang berada dalam

39
RAY KLUUN

tubuh orang-orang yang lebih tua. Tumor di payudara kiri


Anda sekarang ukurannya tiga belas kali empat sentimeter,
dan kemungkinan akan tumbuh dalam jangka waktu
beberapa bulan.”
Tiga belas kali empat sentimeter? Hanya mentimun yang
ukurannya tiga belas kali empat sentimeter! Dan benda
tersebut dapat melakukan itu dalam waktu beberapa bulan?
Wah, ya, kurasa bisa. Pastinya dr. Wolters sekalipun tidak
akan melewatkan sesuatu sebesar itu.
“Bisakah tumor itu dihilangkan?” Carmen bertanya. “Aku
rela kehilangan kedua payudaraku jika harus, kau tahu.”
Aku tidak dapat memercayai pendengaranku. Tanpa
mengedipkan mata Carmen berkata bahwa kebanggaannya,
ciri khasnya, akan diamb—
Scheltema menggelengkan kepala.
“Saat ini akan sulit melakukan operasi,” ia berkata.
“Tumor itu terlalu besar. Kami tidak dapat melihat secara
pasti ke mana sel-selnya menyebar. Jika kami mengangkat-
nya, ada risiko tumor tersebut akan memasuki jaringan
lampang dari payudara yang diamputasi, dan kemudian
segalanya akan menjadi lebih buruk. Operasi tidak di-
mungkinkan sampai kami mengetahui secara pasti bahwa
tumor di payudara Anda telah menyusut!”
Perempuan itu berkata seolah-olah seharusnya kami
bersukacita dengan hal itu.
“Hal lain yang biasa kami lakukan untuk menyerang
www.facebook.com/indonesiapustaka

sebuah tumor adalah dengan melakukan terapi hormon”—


ya, terapi hormon! Aku pernah membaca sesuatu soal terapi
hormon, aku ingat—“tapi hal itu pun tidak akan bermanfaat.
Kami sudah melihat bahwa reseptor estrogen di dalam darah
Anda negatif. Sel-sel tumor Anda tidak akan bereaksi
terhadap hormon. Namun, hal yang benar-benar sulit adalah

40
DAN & CARMEN

hasil biopsi itu menunjukkan”—OKE, teruskan—“bahwa


tumornya berdifusi, yang artinya kemungkinan sudah ada
di dalam pembuluh darah Anda, dan kemudian Anda tahu,
yah…”
Tidak, aku tidak tahu, karena aku mengambil jurusan
seni rupa di universitas dan, memang segila kedengarannya,
hingga akhir-akhir ini aku menjalani seluruh hariku tanpa
memikirkan kanker, bahkan satu kali pun. Karena ekspresi
Carmen juga memperlihatkan bahwa ia sama tidak tahunya,
Scheltema meneruskan ucapannya bagaikan pembaca berita
di acara TV anak-anak yang menjelaskan mengapa orang-
orang dewasa menciptakan perang.
“Dengar, kejadiannya seperti ini. Sel-sel darah berkeliling
ke seluruh tubuh Anda. Dan itu artinya bahwa sel-sel kanker
Anda juga melakukan hal yang sama. Penanda tumor di
darah Anda belum mencapai tingkat yang membahayakan,
tapi sangat mungkin bahwa sel-sel tersebut sudah menyebar
ke seluruh tubuh Anda.”
Carmen dan aku bertukar pandang dalam waktu lama
dalam keheningan. Aku menggosok tangannya dengan ibu
jariku. Scheltema juga terdiam. Selama sesaat.
“Jika sekarang kita tidak melakukan apa pun, aku
khawatir waktu Anda hanya tersisa beberapa bulan lagi.
Paling banyak satu tahun.”
Komentar itu sebenarnya merupakan konsekuensi logis
dari informasi yang diungkapkan sebelumnya, namun hal
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu tetap kedengaran bagaikan hantaman palu godam.


Akhirnya kata-kata itu terucap juga. Jadi begitulah. Seorang
perempuan pergi ke dokter dan mendengar bahwa waktunya
tinggal beberapa bulan lagi untuk hidup. Tubuh Carmen
mulai gemetaran, saat ia mengangkat tangannya menutupi
mulut dan mulai menangis, bahunya bergetar. Perutku serasa

41
RAY KLUUN

diremas-remas. Aku melempar satu lenganku di sekeliling


tubuhnya dan menggenggam tangannya erat-erat dengan
tanganku yang satu lagi.
“Benar-benar pukulan hebat, bukan?” Scheltema me-
ninjau dengan penuh pengertian. Kami tidak menjawab.
Kami hanya duduk di sana, berpelukan. Carmen menangis,
aku tertegun.
“Sekarang apa?” aku bertanya setelah beberapa saat.
“Aku akan menyarankan agar Anda memulai kemoterapi
secepatnya,” Scheltema melanjutkan percakapan, jelas-jelas
merasa lega karena dapat membicarakan hal-hal teknis lagi.
“Minggu ini jika bisa.”
Kemoterapi. Perlu waktu beberapa menit, tapi secara
bertahap pemahaman mulai merasukiku. Kemoterapi. Baca:
sakit parah. Baca: kami-tahu-hal-itu-tidak-membawa-
dampak-apa-pun-tapi-kami-harus-melakukan-sesuatu.
Scheltema melanjutkan: “Sebenarnya kemoterapi
memengaruhi keseluruhan tubuh Anda, jadi proses itu
memiliki kesempatan paling baik untuk mengatasi kanker.”
“Dan bagaimana dengan radioterapi?” aku bertanya.
Carmen juga terlihat lebih baik selama sesaat. Ya, radioterapi,
mereka juga sering melakukannya, aku dapat melihat
Carmen berpikir penuh harap. Untuk beberapa alasan
radioterapi kedengaran tidak terlalu mengerikan daripada
kemoterapi.
Scheltema menggelengkan kepala. Pertanyaan bodoh.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Radioterapi hanya memberikan dampak secara lokal.


Hanya di payudara saja. Dan kita harus berusaha untuk
menyingkirkan kanker tersebut dari seluruh tubuh, jadi
kemoterapi masih merupakan jalan keluar terbaik,” ia
berkata, jelas-jelas merasa jengkel karena dirinya baru saja
menerangkan hal itu.

42
DAN & CARMEN

“Dapatkah Anda memberitahu kami sedikit lagi tentang


kemoterapi ini?” tanyaku, seolah-olah aku bertanya tentang
sistem navigasi-satelit di mobil Audi A4 baru.
Scheltema tampak bersemangat. Ia kelihatan seperti anak
kecil yang mendapat pertanyaan mengenai mainan favorit-
nya. Kami memperoleh kursus kilat mengenai kemoterapi.
Prinsipnya sederhana. Tubuhmu menerima hantaman besar
dari kemo, dan tujuannya adalah untuk memberikan
hantaman lebih besar lagi kepada sel-sel kanker. Sel-sel
kanker tersebut kehilangan orientasi, mereka memencar ke
segala arah, seperti satu tim sepak bola tanpa pemain tengah.
Sel-sel tersebut bahkan dapat tumbuh menembus tulang-
belulang, Scheltema berkata dengan takjub, agak terhanyut
antusiasmenya sendiri. Namun karena alasan itu pula sel-
sel itu jadi lebih mudah diserang daripada sel-sel sehat di
dalam tubuh. Sayangnya, semua sel sehat yang bisa mem-
belah dengan cepat akan ikut terpengaruh juga. “Sebagai
contohnya, rambutmu, Mrs. van Diepen, rambutmu akan
mengalami kerontokan.”
Kini Scheltema menjelaskan upayanya dengan baik.
“Kupikir terapi CAF akan menjadi yang terbaik untuk Anda.
CAF adalah cyclophosphamide, adriamycin dan 5flu”—kami
mengangguk seolah kami mengerti apa yang
diucapkannya—“dan suatu terapi yang akan menetralkan
mual serta muntah yang disebabkan oleh kemoterapi”—
kami mengangguk lagi. “Bahkan dengan terapi ini, beberapa
www.facebook.com/indonesiapustaka

orang masih muntah-muntah hebat selama beberapa hari.


Tapi Anda akan mendapat pengobatan untuk itu, yang dapat
Anda minum setelah setiap terapi bila perlu”—kami
perlahan-lahan tergelincir ke dalam kondisi mati rasa secara
emosional—“jadi kebanyakan orang cenderung untuk
makan lebih sedikit. Tentu saja kombinasi mual dan

43
RAY KLUUN

kurangnya rasa tidak mendorong nafsumu untuk makan—


dan ada kemungkinan juga Anda akan menderita diare. Jika
hal itu berlangsung selama lebih dari dua hari, Anda harus
menghubungi kami”—seolah-olah ia sedang membicarakan
masalah mesin cuci yang bocor—“dan selaput mukosa di
dalam mulutmu juga bisa jadi meradang, dan menstruasi
Anda mungkin menjadi tidak lancar atau berhenti sama
sekali. Pada akhirnya, Anda harus berhati-hati agar diri
Anda tidak terkena demam. Jika hal ini terjadi, Anda harus
menghubungi kami, pada tengah malam sekalipun.”
Aku tidak ingin mendengarnya lagi, aku tidak ingin
mendengar apa pun lagi. Carmen sudah mati rasa pada kata
“rambut” dan “kerontokan”. Namun Scheltema meneruskan
penerangannya tanpa memperhatikan.
“Benar, ada kemungkinan sel-sel kanker di dalam tubuh
Anda tidak merespons terhadap CAF. Namun kemungkinan
itu hanya sekitar dua puluh lima persen.”
“Dan setelah itu?”
“Setelah itu kami akan mencoba terapi yang lain.”
“Oh.”
“Tapi kita tidak memulainya atas dasar asumsi itu.”
“Ya.”
“Hal lain yang hendak kusampaikan kepada Anda
adalah,” ia berkata, dan mengambil pamflet kecil berwarna
kuning dari laci mejanya. “Jika Anda mau, Anda dapat
memanfaatkan seorang konsultan psikoterapi di sini di Sint
www.facebook.com/indonesiapustaka

Lucas. Ia spesialisasi dalam bidang konseling bagi pasien


pengidap kanker.”
Carmen melirik pamflet tersebut selama sesaat lalu
berkata, ya, mungkin kami akan melakukannya. Di atas
segalanya. Yah, jika kami berniat menyambut kanker ke
dalam hidup kami, kami harus melakukannya secara total.

44
DAN & CARMEN

Aku mengamati daftar pertanyaan yang sudah kami


siapkan sebelum ini. Scheltema melihat dan melirik arlojinya.
Aku melontarkan pertanyaan lain yang tidak akan me-
ringankan suasana hatinya.
“Akankah lebih baik jika istriku dirawat di Rumah Sakit
Antoni van Leeuwenhoek? Bukankah mereka memiliki
spesialisasi dalam terapi bagi pengidap kanker?”
Scheltema bereaksi seperti Louis van Gaal dalam sebuah
konferensi pers.
“Itu tidak masuk akal sama sekali. Kami mendiskusikan
semua pasien kami dengan para dokter di Antoni van
Leeuwenhoek. Kami saling membicarakannya setiap minggu,
membahas kasus-kasus kami.”
Aku menatap Carmen. Ia mengangguk dengan tergesa-
gesa bahwa hal itu bukan masalah. Ia tidak ingin berseteru
dengan dokter yang akan melakukan perawatan terhadap
dirinya. Aku memutuskan tidak mendesak masalah itu lebih
lanjut. Aku menatap daftar pertanyaan kami lagi. Ada satu
hal lagi yang muncul ke permukaan.
“Pertanyaan terakhir. Bukankah Amerika lebih maju
daripada Eropa dalam hal pengobatan kanker?”
Scheltema menatapku seolah-olah aku anak sekolah yang
berani mengintip rok gurunya.
“Maafkan aku, hmm—bukannya aku meragukan ke-
piawaian Anda,” aku menambahkan dengan cepat—walau-
pun sebenarnya aku meragukannya, tapi aku tidak ingin
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengatakan sesuatu yang akan membuatku dikeluarkan dari


kelas—“tapi kami menginginkan yang terbaik untuk istriku,
Anda mengerti bukan?”
Scheltema tidak mengerti sama sekali; aku dapat melihat
hal itu di wajahnya, yang menunjukkan bahwa dirinya se-
makin gusar. Si dokter menghela napas, dan mulai berbicara

45
RAY KLUUN

dengan suara sedingin es.


“Kami membaca semua informasi yang tersedia mengenai
kanker, dan semua penelitian kedokteran yang dipublikasi-
kan, Mr. van Diepen. Jika sesuatu ditemukan di Chicago
atau Los Angeles, tentu kami juga mengetahuinya, dalam
hari yang sama. Dan sejak berkembangnya internet, segala-
nya benar-benar terbuka. Semua orang dapat mengaksesnya.
Istrimu sudah membuktikannya sebelum ini…”
Oh, betapa aku membenci nada mengejeknya itu,
arogansi yang dipertunjukan Scheltema, mengingat bahwa
dirinya mengetahui semua “keteledoran yang tak biasa
terjadi” yang dilakukan koleganya di rumah sakit yang sama.
“Ada lagi?”
Ya, tiga potong daging panggang, Jalang.
Aku menatap Carmen, yang menggelengkan kepala. Ia
ingin segera pergi. Pertanyaan-pertanyaan yang tampak
relevan kemarin, sekarang hanyalah perpanjangan mem-
bosankan dari kunjungan ke rumah sakit.
“Tidak. Itu saja,” aku berkata.
Kami berdua berdiri dan memasang jaket masing-masing.
“Tolong beri tahu aku jika Anda ingin memulai perawatan
kemonya. Aku akan melakukannya,” kata dr. Scheltema
saat ia menjabat tangan Carmen, sekarang bersikap semanis
madu.
“Ya—baiklah. Kami akan menghubungi Anda besok.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Dan selamat tinggal kepada Anda juga,” katanya, dingin


lagi. Aku benar-benar mendapat jabatan tangan.
“Terima kasih untuk waktu Anda. Sampai jumpa lagi,”
aku berkata.
Ketika kami berjalan menyusuri koridor, aku meng-
genggam tangan Carmen dan tidak menatap siapa pun. Di

46
DAN & CARMEN

koridor, menunggu janji temu mereka, aku merasakan


tatapan mata pasien-pasien lain mengebor punggungku.
Rasanya seperti berjalan di sepanjang teras dengan seorang
gadis muda menarik yang memakai rok kependekan—kau
tahu semua orang menatapmu, tapi kau bersikap seolah-
olah kau tidak peduli. Carmen tidak mengenakan rok mini
kali ini, tapi matanya merah dan ia memegang saputangan.
Aku melingkarkan lenganku di pundaknya, mataku ter-
pancang kuat ke ujung koridor. Orang-orang pasti saling
menyikut, mengedik ke arah kami, berbisik satu sama lain.
Oh, Tuhan, perempuan itu, masih begitu muda, sungguh
rupawan. Ia pasti baru saja mendengar bahwa dirinya
mengidap kanker. Dan lihat pemuda yang bersamanya,
betapa menyedihkan. Aku dapat merasakan rasa iba mereka,
kehausan mereka akan sensasi. Sayangnya Luna tidak ada
di sini hari ini. Kehadirannya akan membuat seluruh
gambaran ini semakin indah bagi mereka.
www.facebook.com/indonesiapustaka

47
RAY KLUUN

I don’t believe in magic, but for you I will,


darlin’ for you, I’m counting on a miracle …
Bruce Springsteen, dari Countin’ on a Miracle (The Rising, 2002)

Sebelas

Carmen membaca apa yang tertera dalam pamflet yang


diberikan dr. Scheltema kepada kami. Si konsultan psiko-
terapi mengikuti metode Carl Simonton. Menurut pamflet
tersebut, ia merupakan “pelopor dalam bidang teknik
perawatan kanker yang menekankan pentingnya peranan
tidak hanya tubuh tapi juga pikiran.”
“Ia akan menjadi kemenakan Emile Ratelband*,” kataku
dengan sarkastis.
Satu setengah jam kemudian kami meninggalkan toko
buku dengan dua buku dr. Simonton.

***

Setelah kami menidurkan Luna, dan mengambil telepon,


yang kelihatannya tidak pernah berhenti berdering malam
www.facebook.com/indonesiapustaka

ini, dari cantelannya, kami masing-masing mengambil


sebuah buku dr. Simonton. Carmen membuka The Healing
Journey. Aku mulai membaca Getting Well Again.
“Beberapa orang mungkin prihatin bahwa kami

* Guru motivasi Belanda.

48
DAN & CARMEN

menawarkan ‘harapan palsu’, bahwa dengan mengatakan


orang-orang dapat memengaruhi arah penyakit mereka,
kami berarti membangkitkan harapan yang tidak realistis.
Namun menurut opini kami, berharap, dalam situasi seperti
itu, adalah sikap yang lebih sehat daripada berputus asa,”
aku membaca.
Beberapa saat kemudian The Healing Journey dilempar-
kan ke seberang ruangan.
“Tuhan yang Mahaperkasa, aku duduk di sini membaca
sesuatu tentang kanker! AKU TIDAK INGIN MEMBACA
APA PUN TENTANG KANKER!” teriak Carmen. “INI
TIDAK ADIL, INI TIDAK MUNGKIN NYATA, INI
MUSTAHIL TERJADI!”
Aku tidak bisa lebih setuju lagi dengan analisis tajamnya,
namun yang dapat kulakukan hanyalah memeluk erat
Carmen mungilku yang berteriak-teriak dan gemetaran,
membelainya, mengecupnya dan berbisik, “Tenanglah,
Cintaku, ayolah, ayolah…”
Saat itu adalah malam hari sebelum hari ulang tahun
resmi Ratu. Sementara semua orang di kota berada di luar
untuk merayakannya, dua sosok kecil sengsara di
Amstelveenseweg nomor 872 tengah berpelukan erat-erat.
www.facebook.com/indonesiapustaka

49
RAY KLUUN

Then I want to dance, dance, dance


dance on the volcano …
De Dijk, dari Dansen op de vulkaan
(Wakker in een vreemde wereld, 1987)

Dua Belas

Pada pukul sembilan lewat lima belas menit bel berdering


dan Frank ada di depan pintu. Aku hampir terjungkal saking
terkejutnya, karena di saat ia tak sedang bekerja Frank
benar-benar tidak menganggap bahwa hari dimulai sekitar
sebelum makan siang.

>> Frank itu seorang pemalas yang suka meremehkan orang lain
dan egosentris, dan ia merupakan kawan baikku. Tidak seperti
Thomas, Frank mengetahui segala hal tentang diriku. Kami bekerja
bersama-sama sepanjang hari. Ia mengetahui apa yang kupikirkan,
apa yang kusukai dalam roti isiku, ia mengetahui bahwa di
BBDvW&R/Bernilvy aku tidak hanya meniduri Sharon, tapi juga Lisa,
Cindy, dan Dianne, juga bahwa ketika Carmen dan aku belum begitu
lama berpacaran aku tetap melakukannya secara teratur dengan
Maud dan—karena selama bertahun-tahun ia telah berbagi kamar
www.facebook.com/indonesiapustaka

hotel dan flat bersamaku—Frank mengetahui suara macam apa


yang kukeluarkan saat aku mencapai puncak.
Libido Frank justru berkebalikan denganku. Ketika aku belum
mengenalnya, aku berpikir ia pasti sembunyi-sembunyi memuaskan
dirinya di rumah bordil, tapi sekarang setelah mengenalnya aku
tahu bahwa ia hanya tidak tertarik untuk berhubungan seks. Dan
ini masih berlaku sampai sekarang. Sangat, sangat, jarang seorang

50
DAN & CARMEN

perempuan akan mengajaknya mengobrol, dan kemudian ia akan


berhubungan seks. Sepengetahuanku hal itu terjadi tiga kali selama
lima belas tahun aku mengenalnya. Dan kupikir aku bisa men-
jelaskan bagaimana hal tersebut terjadi. Frank menempatkan dirinya
di pusat alam semesta, dan baginya itu bukan masalah. Ia tidak
membutuhkan apa-apa. Tanpa istri, tanpa keluarga, tanpa apa pun.
Frank hanya menghabiskan uangnya untuk dirinya sendiri. Dan
Frank menghabiskan uang dalam jumlah yang luar biasa besar.
Benar-benar besar. Meski ia selalu berhati-hati. Frank punya gaya,
dan ia ingin setiap orang mengetahuinya. Frank pergi ke pameran
yang tepat, ke restoran-restoran yang penting. Dan ia memiliki
pakaian-pakaian Prada terbaru sebelum benda-benda itu bahkan
mencapai toko (dan ia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk
menyebut-nyebut hal itu sambil lalu pada saat makan siang di MIU).
Sebagian besar uangnya dihabiskan untuk membeli berbagai
barang yang mengisi griya tawangnya di Bolemgracht. Ukuran griya
tawang itu sebesar sebuah aula dansa, dan segala sesuatu yang
ada di dalamnya mahal-mahal. Nilai dapurnya saja melebihi nilai
seluruh perabotan kami di Amstelveenseweg. Bukan berarti Frank
sering pergi ke dapur karena Frank tidak dapat memasak. Dan Frank
tidak bisa menyetrika. Atau mencuci baju, berbelanja, atau
mengganti ban sepeda. Terlebih lagi, ia tidak memiliki pengurus
rumah, tidak memiliki surat izin mengemudi, dan tidak bisa
menjelaskan bagaimana ia bisa menyimpan benda-benda duniawi
seperti itu. Kadang-kadang ayahnya datang dari Breda dan
melakukan semua pekerjaan rutin di griya tawangnya. Ibunya bersih-
bersih dan mencuci pakaian. Dua kali seminggu Frank mampir untuk
menumpang makan di rumah kami, dan ia benar-benar yakin bahwa
ia selalu bisa ikut bersama kami ke mana pun kami pergi dengan
mobil. Ia selalu ikut dengan kami karena ada satu hal yang ia bawa
kepada kami sebagai gantinya. Frank adalah seorang Sahabat.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Kau pikir aku tega membiarkan kalian seorang diri pada


Koninginnedag*?” Berbeda dengan Thomas, Frank tidak
segan-segan memeluk dan menciumku. Saat Frank dan aku

* “Hari Ratu”, hari libur nasional Belanda.

51
RAY KLUUN

kembali ke kantor setelah liburan, saat masing-masing dari


kami berulang tahun dan saat kami mendapatkan tender
baru, kami selalu berpelukan. Aku menyukainya. Itu
membuatku berpikir akan jenis persahabatan yang hanya
ada di dalam lagu-lagu Bruce Springsteen dan iklan-iklan
bir. Suasana hati di rumah Danny & Carmen baru saja
terangkat. Carmen benar-benar terkejut dengan senang dan
Luna memekik riang. Ia tergila-gila pada Frank, dan Frank
tergila-gila padanya.
Saat kami duduk mengelilingi meja dapur, dan Frank
telah menerima dengan senang hati undangan Carmen untuk
menyantap croissant, ia menanyakan keadaan kami. Carmen
memberitahunya keseluruhan cerita, dengan intervensi
sekali-sekali dariku. Setiap kali istriku kesulitan meng-
ungkapkan kisahnya, Frank meletakkan tangannya di atas
tangan Carmen. Dengan penuh perhatian, Frank men-
dengarkan uraian kami tentang semua hal yang kami
temukan kemarin. Penjelasan dr. Scheltema, kemoterapinya,
bagaimana perasaan kami saat kami menyusuri koridor dan
keluar dari rumah sakit.
Aku menjadi semakin pendiam selama waktu itu.
Beberapa menit sebelumnya aku beranjak dan pergi ke toilet
padahal aku tidak perlu buang air, dan sekarang aku benar-
benar kebingungan. Untungnya Luna buang air besar.
“Aku akan ke atas untuk mengganti popoknya.”
Aku menggendong putriku dan membawanya ke lantai
www.facebook.com/indonesiapustaka

atas. Air mata merebak di mataku, aku menyeka bokong


Luna sampai bersih dan memasangkan popok baru. Luna
mengamatiku, terheran-heran, dari lemari laci. “Oh,
sayangku… sayangku yang mungil…” aku mengancingkan
kembali baju monyetnya. Aku mengangkat Luna, memeluk-
nya erat-erat dan, ketika air mata menuruni wajahku, aku

52
DAN & CARMEN

memandang ke luar jendela. Aku masih tidak dapat


menyingkirkan hal itu dari benakku. Usia kami tiga puluh
lima tahun, kami memiliki seorang putri menawan, masing-
masing dari kami mempunyai usaha sendiri, kami menjalani
hidup yang menyenangkan, kami memiliki teman sebanyak
yang kami inginkan, kami melakukan apa pun sesuka kami,
dan sekarang kami duduk di sini pada Koninginnedag
menghabiskan sebagian pagi hari melulu membicarakan
kanker.
Ketika aku mengantar Frank ke luar (ia bertanya apakah
kami benar-benar tidak ingin pergi bersamanya hari ini—
Carmen tidak akan mengizinkan), aku merasa lebih marah
lagi. Sebelumnya pagi-pagi sekali Carmen telah memberi-
tahuku bahwa ia tidak ingin menghabiskan siang hari
dikelilingi oleh kerumunan yang berteriak-teriak. Aku me-
mahaminya, tentu saja, namun kemungkinan harus meng-
habiskan sepanjang siang duduk berdukacita hampir mem-
buatku gila. Membuat Danny mengabaikan perayaan
merupakan sesuatu yang lebih buruk daripada merebut
boneka Luna dari tangannya. Terutama sekarang ini. Aku
ingin pergi ke luar, aku ingin mabuk-mabukan, aku ingin
bersenang-senang, aku ingin melakukan apa saja selain terus-
menerus membicarakan soal kanker.
Aku menghela napas secara terang-terangan ketika aku
duduk kembali di meja dapur.
“Seharusnya kau berusaha untuk tidak terlalu menunjuk-
www.facebook.com/indonesiapustaka

kan kebosananmu,” Carmen membentakku. “Aku tak bisa


melakukan apa pun untuk mengatasi kenyataan bahwa aku
menderita kanker.”
“Ya, begitu pula diriku,” kataku dengan berapi-api.

53
RAY KLUUN

I want to run, I want to hide,


I want to tear down the walls, that hold me inside …
U2, dari Where the Streets Have No Name (The Joshua Tree, 1987)

Tiga Belas

Satu jam kemudian aku tidak dapat menahan diri lebih lama
lagi. Carmen duduk di sana sambil membolak-balik halaman
World of Interiors, dan aku tahu ia tidak mengapresiasi apa
yang sedang dibacanya.
“Sialan, apa yang sebenarnya kita lakukan di rumah ini?”
aku serta-merta berteriak.
Carmen menatapku, hampir menumpahkan air mata.
Oh tidak, tepat seperti apa yang kubutuhkan, tangisan yang
kesekian kali dalam dua puluh empat jam belakangan ini.
Aku berupaya keras menenangkan diri, buru-buru meng-
hampiri dan memeluknya. “Sayangku, kupikir akan lebih
baik bagi kita semua jika kita keluar dan melakukan sesuatu.
Ini semua tidak akan mengarah ke mana pun. Setidaknya
ayo kita bawa Luna ke Vondelpark.”
Ia menghapus air matanya. “Baiklah… Ya, mungkin itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

lebih baik.”

***

Pada hari Koninginnedag, Vondelpark dipenuhi anak-anak


dari Amsterdam Selatan, daerah mewah dari kota ini.

54
DAN & CARMEN

Bahkan bakat-bakat yang ditampilkan pun sangat berbau


Amsterdam Selatan. Dua bocah kecil, yang terdengar seperti
menyanyi dalam paduan suara anak-anak, sedang menjual
kue tar buatan rumah. Sewaktu kecil aku tidak pernah
membuat kue tar, dan aku tidak dapat membayangkan salah
seorang temanku dari Breda-Noord melakukannya juga.
Seorang anak dengan wajah yang jauh terlalu serius untuk
anak seusianya—“Jika aku punya anak seperti itu, aku akan
memilih untuk melakukan aborsi pascakelahiran,” kata
Carmen—sedang mendeklamasikan puisi. Siapa yang meng-
ajari anak-anak untuk melakukan hal-hal seperti itu? Puisi
seperti pomp-rock—jenis musik rock tahun 1970-an yang
sudah ketinggalan zaman, seperti formasi 4-3-3 dalam sepak
bola, seperti menyantap makanan China—selain guru bahasa
Belanda-ku dan seorang pengulas di Het Parool aku tidak
mengenal seorang pun yang masih membaca puisi. Carmen
dan aku perlahan-lahan mulai muak dengan anak-anak yang
berdeklamasi, menggesekkan biola, melempar benda-benda
ke udara dan secara umum bersikap menyebalkan, di bawah
tatapan waspada orangtua mereka yang bangga. Seorang
gadis kecil dalam balutan gaun oranye, dengan rambut diikat
ekor kuda, membiarkan kami mendengar apa yang telah
dipelajarinya dari les biolanya. “Aku lebih memilih Luna
masuk penjara daripada pergi ke tempat les biola,” aku
berbisik di telinga Carmen. Ia mendengus. Sang ibu dari
gadis bergaun oranye itu tidak menganggap kami lucu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Itu menyenangkan, bukan?” aku bertanya saat kami


menyusuri jalanan, dengan Luna di bahuku, di sepanjang
Cornelis Schuystraat ke halte bus di De Lairessestraat.
Carmen mengecup pipiku dan mengedipkan mata.

55
RAY KLUUN

That lovely summer is gone now,


that summer that began in May,
you thought it would never come to an end,
but before you know it summer is long gone again …
Gerard Cox, dari Het is weer voorbij die mooie zomer
(Het Beste van Gerard Cox, 1973)

Empat Belas

Dalam jangka waktu tiga bulan, musim panas maupun


kemoterapi sudah berakhir. Dan Carmen sekarang botak.
Di mobil dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk terapi
pertama Carmen, tiba-tiba aku menyadari semua hal yang
dapat dengan aman kulupakan musim panas ini. Perjalanan
hari Minggu ke tepi laut di Bloemendaal? Tidak, Carmen
tidak akan menyukainya jika ia telah kehilangan rambutnya.
Dan kami dapat melupakan rencana kami pergi ke New
York pada Hari Kenaikan Isa Almasih jika kemonya telah
mengakar di dalam tubuh Carmen. Main sepak bola di
taman pada malam Selasa? Lupakan. Aku harus ada di
rumah memberi Luna makan dan menidurkannya, karena
Carmen akan tergeletak di lantai atas, muntah-muntah.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tentu saja aku masih dapat menghubungi Frank atau Maud


dan meminta mereka untuk datang lalu aku pergi main
sepak bola sendirian …
Dan aku bahkan tidak pernah memikirkan hidup setelah
musim panas itu, setelah kemo. Aku bahkan tak bisa mulai
mengira-ngira apa yang akan terjadi selama beberapa bulan

56
DAN & CARMEN

mendatang—aku tidak berani melihat melampauinya. Rasa-


nya seperti pertandingan Ajax-Juventus di ArenA pada hari-
hari terakhir asuhan pelatih Louis van Gaal. Skor 0 – 2 pada
paruh waktu dan kami masih harus melalui tiga babak lagi.*
Saat kami berkendara menelusuri jalan lingkar-luar,
gerimis pun mulai turun. Bukan masalah. Sejauh yang
kuketahui itu akan membekukan musim panas kali ini. Aku
mematikan radio. Edwin Evers, si pemandu lagu, terlalu
ceria untukku pagi ini. Aku menekan tombol CD. Michael
Stipe bernyanyi bahwa kita tidak boleh menyerah saat hari-
hari terasa panjang, bahwa kita tidak boleh menyerah saat
beban hidup kita terlalu berat, ketika segalanya berjalan
dengan salah. Carmen dan aku duduk dalam keheningan.
Carmen juga mendengarnya. Ia menyeka air matanya. Aku
meremas kakinya dengan tegas. Tidak, tidak, tidak, kau
tidak sendirian. Bertahanlah. Bertahanlah. Carmen meletak-
kan tangannya di atas tanganku. Bertahanlah. Bertahanlah.**
“Uff,” Carmen menghela napas ketika lagu tersebut berakhir.

***

Kami berjalan melewati kantor Scheltema menuju ke ujung


koridor. Pertama-tama contoh darah. Aku tidak dapat meng-
ingat apa tujuannya, ada kaitannya dengan sel-sel darah
putih. Atau sel-sel darah merah. Setelah disuntik, Carmen
diberi kapas untuk ditempelkan ke bekas tusukannya dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

kemudian kami kembali ke koridor. Menunggu. Satu hal


yang kupelajari setelah beberapa minggu di rumah sakit
adalah bahwa penantian merupakan hal paling alamiah di

* 9 April 1997. 1 – 2. Ajax: Van der Sar, Melchiot, Blind, F. De Boer, Musampa, Scholten,
Litmanen, Witschge, Babangida, R. De Boer, Overmars. 0 – 1 Amoruso, 0 – 2 Vieri, 1 – 2
Litmanen. Dan menurun setelahnya (Lombardo, Vieri, Amoruso, Zidane).
** Dari Everybody Hurts oleh REM (Automatic for the People, 1992).

57
RAY KLUUN

dunia. Waktu temu janji yang mereka berikan kepadamu


sebenarnya hanyalah sebuah tahap persiapan. Setelah
seperempat jam, aku telah membaca habis satu eksemplar
De Volkskrant yang kubeli di toko rumah sakit. Beberapa
saat lalu aku melihat sebuah Voetbal International di antara
majalah-majalah perempuan, Stories dan Margriets di
koridor, namun aku sudah mengetahui skor pertandingan
antara Belanda – Argentina pada Piala Dunia tahun lalu.
Akhirnya kami dipanggil untuk menemui dr. Scheltema. Ia
tampaknya cukup ceria kali ini.
“Jadi, kita semua akan mengatasinya hari ini, bukankah
begitu?” ia berkata, seperti seorang Akela dengan laskar-
bocahnya di kaki sebuah bukit di Ardennes.
Kondisi darah Carmen normal. Terapinya dapat di-
lanjutkan. Kami harus pergi ke ruangan kemo di lantai tiga,
katanya.
***

Aku belum pernah melakukannya, tetapi sesuatu memberi-


tahuku bahwa mengamati berlangsungnya kemoterapi tidak
akan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Aku telah
berjanji kepada Carmen untuk selalu menemaninya setiap
terapi. Ia merasa lega dan berkata betapa baiknya aku karena
ingin melakukannya. Well, yeah, “Ingin?” pikirku. Satu-
satunya hal yang tidak terlalu kuinginkan adalah Carmen
mengalaminya sendirian. Aku tidak dapat membayangkan
www.facebook.com/indonesiapustaka

ada orang yang benar-benar berkeinginan untuk menjalani


kemoterapi.
Aku tidak salah. Kebanyakan pasangan pasien kemo
berada di rumah, bekerja, atau di mana pun, asal bukan
berada di ruangan kemo.
Ketika kami berjalan ke sana, suatu dunia baru terbentang

58
DAN & CARMEN

di hadapan kami. Tempat ini bukan ruangan rumah sakit


biasa, jauh dari biasa, seseorang berupaya sekuat tenaga
untuk membuat tempat itu terlihat benar-benar nyaman.
Di samping jendela terdapat meja dengan dua poci kopi,
cangkir-cangkir kopi yang tersusun rapi, dan sepiring
potongan roti jahe. Setengah roti tersebut diolesi mentega,
setengahnya polos, agar tetap sesuai dengan tema kemo
tersebut. Di sana juga terdapat dua meja bundar kosong
bertaplak. Di salah satunya terdapat sejenis tanaman (jangan
bertanya padaku apa jenisnya) yang sudah layu. Kursi-kursi
rendah diatur mengelilingi kedua meja tersebut. Segala hal
telah dilakukan agar tercipta suasana yang mirip dengan
sebuah ruangan biasa di sebuah rumah biasa. Namun sayang
sekali, para pasiennya justru merusak upaya tersebut. Di
tangan masing-masing terdapat plester besar, yang dari
plester tersebut muncul sebuah slang yang mengarah ke
sebuah gantungan-topi beroda, dengan kantong-kantong
cairan merah dan bening bergelantungan darinya. Cairan
tersebut menetes mengaliri slang tersebut, aku melihatnya
sekarang, dan menghilang ke balik plester, dan setelah itu,
aku ngeri membayangkannya, menghilang ke dalam tubuh.
Cairan tersebut tidak terlihat menyehatkan, dan pastinya
itu tidak tampak menyenangkan.
Tiga dari empat pasien membawa gantungan-topi seperti
itu. Seorang laki-laki, yang kelihatannya periang dengan
tato-tato besar pudar, tidak memiliki gantungan-topi, yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

artinya ia, seperti aku, bukan pasien, atau begitulah yang


kukira. Ia pasti bersama perempuan tua gemuk yang duduk
di sebelahnya dan yang tangannya ia pegang erat-erat.
Istrinya memiliki gantungan-topi dengan kantong-kantong
cairan. Dan rambut yang sangat tipis, yang dicat merah
gelap. Kau dapat melihat kulit kepala perempuan itu di

59
RAY KLUUN

sela-selanya. Di kursi rendah di sebelahnya, duduk seorang


laki-laki berusia lima puluh tahunan, dengan kepala segundul
Collina, si wasit Italia. Laki-laki ini juga mempunyai mata
menonjol yang ganjil. Ia terhubung juga dengan sebuah
gantungan-topi. Sekarang aku mengamatinya lekat-lekat,
aku melihat bahwa bukan matanya yang membuat dirinya
tampak aneh, namun ketiadaan alis mata dan bulu mata.
Gantungan-topi ketiga dimiliki oleh seorang laki-laki
muda bergaya yang mengenakan topi Gatsby. Menurutku
usianya sekitar dua puluh tahun. Aku ingat ia juga datang
kemari minggu lalu, di koridor di luar kantor dr. Scheltema.
Pada saat itu ia datang bersama pasangannya, seorang gadis
mungil, mirip orang Italia, dengan rambut hitam keriting
sebahu. Gadis itu adalah makhluk kecil yang menawan. Aku
teringat diriku merasa lega bahwa kami bukan satu-satunya
pasangan muda dengan kanker. Jadi di mana kekasihnya
hari ini? Aku menduga ia meninggalkan pemuda itu karena
si pemuda mengidap kanker di buah zakarnya atau lainnya.
Dan jika ia tidak meninggalkannya, gadis itu akan lebih
mirip perempuan jalang, karena di mana ia sekarang
sementara kekasihnya menjalani kemo? Tidak, aku bukan
orang yang seburuk itu, aku mencatat dengan puas.
“Selamat pagi, saya Janine,” kata seorang perawat ber-
mata-juling.
“Hai, saya Carmen,” kata Carmen bersimpati.
“Hai—Dan,” kataku dengan tenang, menjabat tangan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Janine.
Si perawat juling menunjuk seorang gadis yang tampak
canggung berusia dua puluhan, yang juga memakai jaket
putih: “Dan ini Yolanda, perawat magang di sini.”
Magang? Magang? Seorang perempuan jalang berusia
dua puluh tahun akan mendapat kesempatan untuk

60
DAN & CARMEN

berpartisipasi dalam pembaptisan kemo kami; aku punya


firasat ia tidak akan melewati terapi kami tanpa berurai air
mata, sebagai bagian dari pelatihannya? Dan kemudian tidak
diragukan lagi malam ini di sebuah pub ia akan memberitahu
teman-teman mahasiswanya yang kecil, “Hari ini ada
seorang perempuan yang ikut kemo, perempuan muda yang
sangat cantik, usianya tidak mungkin lebih dari tiga puluh
lima tahun, namanya Carmen atau sesuatu seperti itu, sangat
ramah, dengan temannya, seorang bajingan arogan, laki-
laki itu tidak mengatakan sepatah kata pun, jadi perempuan
ini dan temannya itu, omong-omong, pertama kalinya
menjalani kemo, dan kemudian si perempuan mulai
menangis, dan aku terpaksa menenangkannya… Dengar,
apa kau mau bir lagi? Dan bagaimana kabar pelatihanmu,
omong-omong, kau bilang kau sedang menunggu penilaian
ulangmu?”
Dasar jalang.
Janine si perawat juling memberitahu kami bahwa obat-
obat kemoterapi Carmen sudah dipesan dari bagian farmasi
rumah sakit, dan tak akan membutuhkan waktu terlalu lama
karena tidak ada banyak orang pada hari ini. Kadang-kadang
ada delapan pasien dalam satu waktu, dan saat itu keadaan-
nya pasti sangat membosankan karena farmasi belum selesai
menyiapkan pengobatan terakhir sampai sekitar tengah hari.
Aku tidak sepenuhnya mengerti, tapi aku paham akan
ada beberapa perubahan pada musim panas kali ini. Dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka

waktu tiga bulan kami akan mengetahui seberapa awal kami


harus kemari jika kami ingin mendapatkan terapi lebih
cepat, dengan cara yang sama saat aku dengan tepat
mengetahui kapan aku harus pergi pada malam hari ke
Paradiso tanpa harus mengantre terlalu lama lalu mendapati
diriku berdiri di sebuah kelab malam kosong.

61
RAY KLUUN

Teleponnya berdering. Janine mengangkatnya.


“Obat kemo Mrs. van Diepen sudah siap,” ia berkata
kepada si perawat magang setelah menutup teleponnya.
“Dapatkah kau ke sana dan mengambilnya?”
Gadis itu mengangguk dan meninggalkan ruangan.
“Ia gadis yang baik,” Janine berkata, sedikit membungkuk
ke arah kami, “dan tidak semua pekerja magang seperti
itu.”
“Ya,” kata Carmen sambil tersenyum, “aku tahu.”
“Apakah Anda pernah mempunyai pekerja magang juga?”
Carmen dan Janine mengobrol dengan riang mengenai
seluk-beluk memiliki pekerja magang. Sekali lagi Carmen
mengejutkanku dengan kemampuannya bercakap-cakap
secara riang, spontan, dan ramah. Aku tahu betapa gugupnya
istriku, bahwa ia menganggap terapi penyembuhan kemo
sebagai gunung tinggi yang harus didaki, namun ia masih
mampu mendengarkan dengan rasa tertarik kisah mengenai
perawat magang yang dimiliki Janine sebelumnya.
Aku tidak. Aku tidak secara sengaja bersikap kasar,
namun setiap kali aku melangkah memasuki rumah sakit
hal itu terjadi dengan sendirinya. Tak ada yang dapat
kulakukan untuk menghentikannya. Aku benci kanker dan
aku benci apa yang dilakukan penyakit tersebut kepada
hidup kami. Aku benci status baruku sebagai suami dari se-
orang pasien kanker. Aku marah, frustrasi, dan tak berdaya.
Aku marah kepada dr. Wolters, kepada dr. Scheltema,
www.facebook.com/indonesiapustaka

kepada para perawat, kepada si perawat magang, kepada


para pasien lain, kepada orang yang membangun Rumah
Sakit Sint Lucas menyedihkan yang diabaikan Tuhan ini,
kepada laki-laki yang mengendarai mobil di lampu lalu
lintas pagi ini yang tidak menyadari lampunya sudah
berganti hijau sejak lama, kepada Janine yang sangat ramah

62
DAN & CARMEN

hingga aku dengan sekuat tenaga pun tidak bisa meng-


anggapnya sebagai perempuan brengsek.
Dan aku marah kepada diriku sendiri karena sudah
merasa marah. Aku marah karena tidak dapat menahan diri,
aku tak dapat menerima kanker yang diderita Carmen, aku
suaminya, dalam suka ataupun duka. Ya, aku datang kemari
dengan Carmen hari ini dan, tentu saja, aku merasa bangga
kepada diri sendiri kemarin saat mendengar Carmen berkata
kepada ibunya dan Anne di telepon bahwa ia berpikir betapa
manisnya aku mau pergi bersamanya ke kemoterapi. Dan
tentu saja, aku yakin kami berdua akan menghadapi kanker
ini dengan berani, kami tidak akan membuat penyakit itu
mengambil yang terbaik dari kami. TENTU SAJA aku
mengetahui semua itu! Memangnya apa lagi yang harus
kulakukan? Apakah seharusnya aku memberitahu Carmen
bahwa pelukanku, kata-kata menenangkanku, ciumanku di
pipinya dan di puncak kepalanya, dan ibu jariku yang
menyentuh telapak tangannya saat kami berjalan beriringan
menelusuri koridor karena aku sengaja memaksakan diri
untuk bersikap manis? Hanya sekadar kewajiban: engkau
harus bersikap manis kepada istrimu yang mengidap kanker.
Itu adalah naluriku akan kehormatan, rasa “bahwa-itu-yang-
harus-kaulakukan’ inilah yang memaksaku bersikap manis.
Namun itu semua tidak terjadi dengan sendirinya. Aku harus
menarik cintaku ke atas dari ujung jari kakiku.
Si perawat magang muncul dengan kotak Tupperware
www.facebook.com/indonesiapustaka

besar, tutupnya diperkuat dengan dua klip besi.


“Cepat sekali,” Janine berkata dengan riang. “Aku hanya
tinggal memanggil dokternya untuk mengaplikasikan
tetesannya.”
Dokternya adalah seorang laki-laki muda pemalu dalam
balutan jaket berwarna putih.

63
RAY KLUUN

“Perempuan ini perlu dipasangkan tetesannya, France,”


kata Janine, menunjuk ke arah Carmen.
Frans si dokter menjabat tangan Carmen dan wajahnya
merona. Sedikit perubahan setelah memandang orang-orang
tua berkeriput itu, ya? Yang menguntungkan Frans, saat ini
Carmen menggunakan sweter longgar, kalau tidak kacamata-
nya akan buram karena uap. Saat aku mendapati laki-laki
lain menyadari kemolekan Carmen, aku merasa bangga
seperti seekor anjing dengan tujuh kejantanan, dan aku
selalu mendemonstrasikan hal ini dalam tingkah laku ala
Dannian dengan menatap orang yang bersangkutan sedingin
mungkin. Kau menyukai perempuan cantik yang sedang
kau pandangi itu, Pecundang? Teruslah bermimpi! Dan
kemudian aku hampir meledak dengan bangga karena
menjadi suami Carmen.
Aku terjaga dari lamunanku saat Carmen mulai menangis
karena Frans, yang kelihatan semakin dan semakin gugup,
berkata bahwa ia harus mengulangi semua proses tersebut
dari awal. Ia gagal menusukkan jarum yang luar biasa
besarnya—diameternya setengah sentimeter, aku melihatnya
dengan lirikan ngeri—ke pembuluh darah yang tepat. Aku
menatap marah kepada Frans, namun ia tidak menyadari
karena dirinya dan Janine terlalu sibuk menghentikan aliran
darah yang mengucur dari tangan Carmen.
Upaya kedua Frans tampaknya berhasil. Aku menyimpul-
kannya dari caranya berkata, “Nah begini lebih baik,” sambil
www.facebook.com/indonesiapustaka

menepuk-nepuk tangan Carmen dengan lembut.


“Ya, ini berjalan dengan baik,” Janine buru-buru berkata,
dengan kelegaan. Ia meraih tangan kiri Carmen dan
membelainya sementara aku—nyaris tidak dapat menahan
air mata—duduk di sebelah Carmen sambil menekankan
kepala istriku di dadaku, sehingga ia tidak perlu melihat

64
DAN & CARMEN

benda yang menancap di tangannya.


“Maaf karena sudah melakukannya dengan begitu lama.
Pembuluh darah Anda sulit ditemukan,” Frans berkata
dengan penuh penyesalan. Ia menjabat tangan kiri Carmen
dengan canggung, dan menggumamkan “Sampai jumpa lagi”
tanpa memandang ke arah kami dan kemudian pergi ke
luar ruangan secepat mungkin.
Janine bertanya apakah kami mau kembali dan duduk
bersama yang lain, yang tampaknya tidak bingung dengan
keadaan Carmen yang menangis—para pasien kanker
terbiasa dengan segala hal—di salah satu meja panjang, atau
apakah kami lebih memilih duduk di ruang sebelah. Aku
menatap Carmen, yang menghapus air mata terakhir dari
pipinya dengan tangan yang tidak dimasuki slang.
“Tidak, ayo keluar dan duduk di meja satunya, dengan
orang-orang di sana. Bergaul sedikit.” Carmen tertawa.
Aku tidak yakin apakah perlu bergaul. Aku sadar aku
sedikit malu di depan yang lain. Si pemuda dengan topi
Great Gatsby-nya, si laki-laki tanpa alis mata, si perempuan
dengan sweter putih dan suaminya yang periang telah
mendapat pemandangan rinci saat aku mencium kening
Carmen puluhan kali. Dan mereka pasti tidak melewatkan
betapa kerasnya aku berusaha untuk mengendalikan diri.
Menghibur seseorang dengan penuh kasih sayang sama saja
artinya dengan melucuti celanamu sendiri. Kau sedang
mempertunjukkan sisi mesramu. Namun Carmen mungkin
www.facebook.com/indonesiapustaka

benar. Mari bergabung dengan yang lain. Mau tidak mau


kami harus menyesuaikan diri. Jika itu tidak berjalan sesuai
seharusnya, itu berarti harus berjalan seperti apa adanya.*
Aku berjalan menghampiri meja di dekat jendela, yang

* Kalimat Richard Krajicek (atlet tenis Belanda pertama yang memenangkan Grand Slam,
yakni pada 1975).

65
RAY KLUUN

di atasnya terdapat sepoci teh. Carmen mendekat dan berdiri


di sampingku, dan menunggu sampai aku selesai menuang.
Akal sehatku menyatakan bahwa ia tidak ingin pergi dan
duduk sendirian di antara kawan-kawan pasien kankernya
yang lain.
“Ini tidak mudah, bukan?” kata si perempuan gemuk
dengan sweter putih dan rambut tipis. Cairan merah menetes
melewati slang ke dalam tangannya.
“Ya,” kata Carmen.
“Kuduga ini adalah saat pertamamu menjalani kemo?”
“Ya.”
“Jangan khawatir, kau akan terbiasa.”
“Kuharap demikian…”
“Tapi tentu saja semua ini tidak pernah menyenangkan.”
“Demi Tuhan, rasanya seperti pergi ke kantor pajak,”
suaminya berkata dengan riang, dalam aksen Amsterdam
yang kuat.
“Selama mereka mengurus kita lebih baik daripada
mereka mengurus tanaman itu,” kata si perempuan gemuk,
menganggukkan kepala ke arah tanaman yang tampak
menyedihkan. Tawa. Carmen ikut tertawa, begitu pula aku.
Aku menatap istriku dan memutuskan akan mengupayakan
yang terbaik hari ini. Salah satu dari kotak-kotak kecil,
kurasa kotak yang menempel di pemuda bertopi Gatsby,
mulai memperdengarkan bunyi bip.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Apa seseorang memanaskan makanan di microwave?”


aku berkata, berusaha menyamai selera humor suami si
perempuan gemuk.
“Ya, aku! Kroket kentang dan soufflé keju!” ia berkoak,
mendukung leluconku.
Ada lebih banyak tawa, dan Carmen ikut tertawa. Si

66
DAN & CARMEN

perawat magang bergegas menghampiri si pemuda dengan


topi dan menempelkan salah satu slang kecil yang lain ke
dalam sebuah mesin. Aku melihat bahwa dua dari tiga
kantong di gantungan-topinya sudah kosong.
Carmen dan aku duduk di meja yang masih kosong.
Kursi-kursi di meja lain sudah penuh. Sayang sekali. Tepat
pada saat keadaannya sudah mulai membaik.
Carmen mendapat gantungan topinya sendiri, untungnya
kali ini dari Janine. Memang ia juling, tapi segera saja aku
akan lebih memilih dirinya daripada perawat magang mana
pun. Tuhan tahu kesalahan jenis apa yang dapat dibuat
seorang bocah seperti itu. Di puncak gantungan, Janine
menggantungkan dua kantong cairan bening (“untuk
mencegah Anda muntah, kami akan memulainya pada saat
bersamaan”) dan sebuah kantong merah penderitaan (“itu
adalah adriamisin”). Obat berwarna merah itu terlihat sama
dengan yang kubayangkan. Menakutkan. Beracun. Tidak
berbau sama sekali. Jadi inilah. Kemo-nya. Obat itu ter-
gantung di gantungan-topi di samping Carmen, yang akan
menetes ke dalam tubuhnya, obat yang akan menyerang
kankernya, dan pastinya akan membuat Carmen botak.
Slang kecil di tangan Carmen dijejalkan ke dalam slang
transparan yang lebih besar, yang mengarah ke sebuah kotak
kecil dengan angka digital merah serta tanda-tanda panah,
tingginya setengah gantungan-topi tersebut. Ada slang
transparan lain yang dipasangkan dari dua kantong berisi
www.facebook.com/indonesiapustaka

cairan bening, dan yang itu juga tersambung ke bagian atas


mesin dengan angka-angka merah. Janine berkata bahwa
larutan garamnya akan menetes setiap dua puluh menit,
dan menekan beberapa tombol di kotak kecil, yang dengan
patuh menunjukkan angka 20.
“Mesin ini akan mengeluarkan bunyi bip setiap larutan

67
RAY KLUUN

garamnya siap, dan setelah itu Anda harus memanggil saya


jika ternyata saya tidak melihatnya.”
Aku sudah lebih dulu mengetahui prosedurnya, dari
gantungan-topi si pemuda bertopi.
“Keren—mesin-kemo pribadiku.” Carmen mengedipkan
mata.
Kami mulai bertingkah konyol sekarang ini.
“Demi Tuhan, perempuan itu benar-benar juling, ya?”
aku berbisik di telinga Carmen.
Carmen mengangguk dan menggigit bagian dalam
pipinya untuk menahan semburan tawa.
“Haruskah kita mulai memanggilnya Clarence?” aku
bertanya dengan polos.
Carmen tersedak air teh yang diminumnya dan me-
muncratkannya. Seolah-olah terkejut, aku berpura-pura
tersandung roda gantungan-topinya hingga terjengkang.
Dengan kejengkelan yang pura-pura, aku memutar tubuhku,
menirukan wajah Mr. Bean dan mengancam untuk me-
lempar benda itu ke seberang ruangan saat Janine tidak
melihat.
“Kumohon, Danny!” Carmen berteriak sambil tertawa.
Janine tersenyum ke arah Carmen, senang karena istriku
tertawa. “Kedengarannya Anda sudah lebih baik,” katanya
kepada Carmen, dan mengedipkan mata ke arahku. Wajahku
merona, merasa ia mungkin sudah menduga bahwa kelakar
yang kubisikkan ada kaitan dengan dirinya. Dan aku
www.facebook.com/indonesiapustaka

menyadari bahwa si juling Janine akan melakukan apa pun


sebisanya untuk membuat penderitaan pasien-pasiennya
berkurang, bahkan hanya selama satu pagi, selama satu jam,
selama satu menit. Dan jika menjadi objek kelakar mem-
bantunya untuk melakukan hal itu, biarlah hal itu terjadi.
Aku merasakan diriku mengerut jika dibandingkan dengan

68
DAN & CARMEN

Janine si juling.
Aku bangkit dan duduk di samping Carmen. Ia men-
ciumku dan berbisik di telingaku bahwa ia mencintaiku.
Aku menghujaninya dengan tatapan memuja dan merasa
bangga terhadap diri kami sendiri. Teater Tawa telah
menyembuhkan krisis-kemo yang pertama.
www.facebook.com/indonesiapustaka

69
RAY KLUUN

Don’t speak, don’t tell me ’cause it hurts …


No Doubt, dari Don’t Speak (Tragic Kingdom, 1995)

Lima Belas

Saat aku berjalan memasuki MIU, Maud bertanya kepadaku


bagaimana semuanya berjalan pagi ini.
“Tidak terlalu buruk. Kami bahkan sanggup menertawai-
nya.”
“Itu bagus. Dan bagaimana kabar Carmen?”
“Oke. Ia telah diberikan segunung kecil pil antimual.”
“Di mana ia sekarang?”
“Di rumah. Ditemani ibunya.”

>> Maud adalah mantan kekasihku. Kami berkencan selama musim


tahun 1988 – 1989. Maud adalah seorang model sampai ia
menyadari—beberapa tahun kemudian setelah agennya—bahwa
ia tidak akan pernah berhasil dalam dunia tersebut. Ia menyerah
dalam bidang modeling, dan menyerah berdiet. Pinggangnya hilang,
ukuran branya membesar dua kali lipat, dan Maud bekerja di industri
perhotelan serta jasa boga. Saat MIU mencari sekretaris, aku mem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

bujuk Frank untuk mempekerjakannya. Maud adalah seseorang


yang spontan dan jauh dari kata bodoh, namun ukuran bantalan
bra-nyalah, yang tidak terlewatkan bahkan oleh Frank, merupakan
faktor penentu terakhir dalam proses pengambilan keputusan di
MIU. Maud dipekerjakan.
Pada tahun-tahun awal hubungan Carmen & Dan, Maud dan
aku masih berhubungan diam-diam, namun kemudian tiba

70
DAN & CARMEN

waktunya saat kami berdua ingin berhenti. Menurutnya Carmen


terlalu baik. Sekarang kami kadang-kadang bertukar kecupan demi
masa lalu, dan setelah pesta Natal tahun lalu keadaan agak di luar
kendali di atas bantal-bantal di sudut ruang santai di kantor kami,
tapi semuanya berhenti sampai di situ. Belakangan ia bahkan mulai
mendampratku karena perselingkuhanku, sesuatu yang tidak
pernah dilakukan Maud saat kami masih berhubungan. Ia pernah
(sebagai contoh) memberikan sentuhan ulang pada rok putih
Sharon dengan segelas rosé saat gadis itu menyambutku terlalu
jasmaniah di De Pilsvogel. Pada dasarnya aku sepakat dengan
argumentasi Maud tentang mengapa aku harus berhenti ber-
selingkuh sekarang. Menurut Maud aku meletakkan hubungan
paling hebatku dalam bahaya. Namun praktik-praktik Dan yang
telah teruji adalah seperti ini: kami minum, kami saling menggoda,
dan segalanya berlangsung tepat seperti sebelumnya. Aku tetap
monofobia.
Maud kelihatan hancur saat mendengar Carmen mengidap
kanker payudara.

Sementara itu aku menyalakan komputerku. Aku tidak


ingin membicarakan kanker lagi. “Apakah Kasino Holland
sudah mengabari bahwa mereka menyetujui estimasi kita?”
Frank menggelengkan kepala.
Bagus. Itu memberiku kesempatan untuk menyemburkan
amarahku kepada seseorang.
“Sialan, kalau begitu telepon mereka! Kita tidak ingin
menunggu para pencundang itu, bukan? Kau sendiri yang
harus menghubungi mereka! Demi Tuhan, apakah aku harus
www.facebook.com/indonesiapustaka

melakukan segalanya sendirian di lubang kotoran menyedih-


kan ini?”
Frank mengabaikan ledakan amarah ini.
Pada saat yang bersamaan aku mengeklik sebuah e-mail
dari Carmen yang dikirimkannya sekitar sepuluh menit lalu,
aku membaca:

71
RAY KLUUN

Dari : Carmenvandiepen@xs4all.nl
Dikirim : Selasa 4 Mei 1999 14.29
Kepada : Dan@creativeandstrategicmarketingagencymiu.nl
Subjek : Kekasihku yang berharga—

Hai kekasihku yang berharga,


Aku merasa agak mual, tapi ini akan berangsur-angsur membaik.
Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku bahagia karena kau mau
menemaniku, dan aku tidak akan sendirian dalam menjalani
pengobatanku.
xxx Carmen
PS: Aku mencintaimu, Kasihku.

Aku bangkit dengan cepat dan, tanpa menatap Frank,


aku berjalan menuju toilet. Begitu aku sampai di sana, air
mata yang seharian ini kutahan pun tumpah.
Setelah beberapa menit aku menghapusnya, membuang
ingus, membasuh muka dengan air selama beberapa kali,
mengecek apakah penampilanku cukup normal, mem-
banting pintu toilet seperti aku selesai buang air besar yang
lama, menghela napas sekali lagi, dan kembali ke ruangan.
Delapan rekan kerja bertingkah seolah-olah mereka tidak
menyadari satu hal pun.
www.facebook.com/indonesiapustaka

72
DAN & CARMEN

When I get older, losing my hair,


Many years from now,
Will you still be sending me a Valentine,
Birthday greetings, bottle of wine,
Will you still need me,
Will you still feed me,
When I’m sixty-four …
The Beatles, dari When I’m Sixty-Four
(Sergeant Pepper’s Lonely Hearts Club Band, 1967)

Enam Belas

Ibu Carmen yang mengangkat telepon. “Halo?”


“Hai, ini Danny. Bagaimana keadaan Carm?”
“Ia muntah beberapa kali pagi ini. Sekarang ia sedang
tidur.”
“Baiklah. Aku akan pergi dan menjemput Luna dari
crèche, dan aku akan mampir ke pasar swalayan. Ada yang
ingin Ibu inginkan?”
“Oh, apa saja, sesuatu yang siap-saji atau apa pun.”
“Apakah menurut Ibu Carmen menginginkan sesuatu?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ibu Carmen tertawa. “Sebuah ember tambahan?”

>> Ibu Carmen benar-benar memukau. Ia tumbuh besar di Jordaan,


daerah kecil kelas-pekerja Amsterdam. Ia lumayan glamor, dalam
jenis yang membumi. Aku tidak mengenal ayah Carmen. Ia pergi
sepuluh tahun yang lalu, setelah menjalani dua puluh satu tahun
perkawinan. Pesan di meja dapur, semacam itulah. Ibu Carmen tidak

73
RAY KLUUN

dapat memercayai keberuntungannya. Dalam waktu satu bulan ia


memiliki seorang kekasih baru. Carmen pikir ia mengenali laki-laki
itu sebagai seseorang yang bekerja merenovasi rumah mereka. (Ada
anekdot lucu tentang hal ini: saat ibu Carmen (saat itu 54 tahun)
memperkenalkan kekasih barunya (60 tahun) kepada Carmen (27
tahun), Carmen menanyai laki-laki itu: “Dan apa pekerjaan ayah
Anda?”) Sekarang Bob si Pembangun adalah bagian dari masa lalu.
Beberapa bulan setelah ia selesai memperbaiki rumah yang baru
saja ditempati ibu Carmen, dan meyakinkan bahwa kondisinya
sempurna, ibu Carmen mulai meragukan apakah dirinya cukup
mencintai laki-laki itu. Bob selesai. Sekarang ibu Carmen tinggal
sendiri lagi, dalam sebuah rumah yang direnovasi dengan indah di
Purmerend. Sesekali ia bergaul dengan sosok menyenangkan lain,
tapi tak seorang pun bertahan melebihi makan malam Natal atau
sebuah pesta ulang tahun. “Rumahku tidak perlu direnovasi lagi
selama sekitar sepuluh tahun,” kata ibu Carmen.

Di supermarket di Groot Gelderlandplein, aku melihat


seorang laki-laki dan seorang perempuan yang pastinya
berusia delapan puluh tahunan. Mereka berjalan sambil
berpegangan tangan, melihat-lihat di lorong minuman
anggur. Laki-laki itu menunjuk dengan tongkat berjalannya
ke sebotol anggur merah dengan penawaran khusus. Istrinya
mengambil anggur itu dan meletakkannya di keranjang yang
dibawanya. Laki-laki itu mengatakan sesuatu yang tidak
bisa kudengar kepada si perempuan. Perempuan sepuh itu
tertawa dan mencubit lengan suaminya. Aku mempererat
peganganku pada tangan Luna, dan dengan cepat berpaling
ke arah lain.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pasangan sepuh, masih saling jatuh cinta, mengisiku


dengan rasa cemburu. Carmen dan aku tidak akan pernah
merasakan hal itu.

74
DAN & CARMEN

Now all them things that seemed so important,


well, mister they vanished right into the air …
Bruce Springsteen, dari The River (The River, 1980)

Tujuh Belas

Obat antimual itu tidak membantu. Carmen muntah-muntah


hebat selama dua hari penuh.
Pada Kamis malam keadaannya mulai membaik. Kami
bahkan berhasil menjalani malam tanpa ada seorang pun
dari kami yang menangis.
Pada hari Jumat Carmen kembali masuk kerja di
Advertising Brokers. Kehidupan sehari-hari terus berjalan.
Sampai perawatan kemo selanjutnya, sekitar dua minggu
lagi, kami akan mencoba untuk bertingkah seolah-olah
semuanya baik saja, walaupun kami berdua tahu bahwa diri
kami hanya berpura-pura.
Surga itu sudah tidak ada lagi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

75
RAY KLUUN

In your head do you feel,


what you’re not supposed to feel …
Oasis, dari Sunday Morning Call
(Standing on the Shoulders of Giants, 2000)

Delapan Belas

“Hai, saya Gerda. Jadi Anda datang kemari bersama-sama?


Bagus sekali,” kata si konsultan psikoterapi saat menjabat
tangan kami dan tidak melepaskannya dalam waktu yang
lama. Aku langsung dapat melihatnya. Gerda adalah tipe
orang yang selalu memilih untuk duduk di atas meja bahkan
saat masih ada banyak kursi nyaman di ruangan.
“Ya, kami pikir ini adalah ide bagus,” Carmen menjawab.
Aku sama sekali tidak berpikir bahwa itu ide bagus.
Kupikir sesi psikoterapi ini lebih buruk daripada kemo.
Tidak sedetik pun aku berpikir bahwa diriku akan berakhir
menjumpai seorang konsultan psikoterapi.
Ruangan konsultasi Gerda merupakan liang kecil, dua
kali tiga meter. Ada dua kursi rendah—”ini membuat pem-
bicaraan lebih mudah daripada kursi tinggi”—sebuah pouffe
www.facebook.com/indonesiapustaka

atau bantal duduk, dan lampu tua standar serta meja panjang
dengan perekam-kaset datar yang kuno di atasnya. Merek
Yoko, yang mirip dengan edisi pertama yang kumiliki. Lagu
yang pertama kali kurekam, kupikir, adalah ”I Love the
Sound of Breaking Glass” oleh Nick Lowe. Oh ya, dan
”Psycho Killer” oleh Talking Heads.

76
DAN & CARMEN

Gerda meminta maaf atas ukuran ruangannya. “Untung-


nya tidak lama lagi saya akan mendapat ruangan lain, sedikit
lebih besar, dengan jendela yang membiarkan cahaya
matahari masuk, namun untuk sementara ini kita terpaksa
menerima apa yang sudah tersedia. Saya tidak meminum
kopi. Saya tidak menyukai rasanya. Saya lebih menyukai
teh. Mau gula?”
Ia menuang teh tersebut dan duduk di kursi rendah di
samping meja. Carmen duduk di kursi yang lain dan aku
duduk di pouffe.
“Jadi,” Gerda memulai percakapan yang kuterima sebagai
cara terapi yang bertanggung jawab.
“Ya,” kata Carmen.
“Jadi di sinilah kita semua berada!”
“Ya. Anda dapat mengatakannya demikian.”
Harus kau akui, Carmen sangat mudah beradaptasi dalam
semua tingkat percakapan. Aku tidak terlalu baik me-
lakukannya. Sebisa mungkin aku berusaha tidak terlalu
tampak kebosanan, namun sepertinya wajahku menunjuk-
kan seolah-olah Gerda adalah pengidap tuberkulosis. Tapi
Gerda, yang berpengalaman dalam hal ini, tidak menunjuk-
kan sedikit pun kekesalan dengan raut jijik yang nyaris tidak
kusembunyikan. Secara mengesalkan, ia tetap bersikap
ramah.
“Apakah Anda merasa kesulitan menemui seorang kon-
sultan psikoterapi, membicarakan penyakit yang mungkin
www.facebook.com/indonesiapustaka

membunuh Anda? Apakah Anda memikirkannya, sekarang,


saat Anda berada dalam tingkatan kehidupan yang prima?”
Hei! Tunggu dulu! Gerda mengetahui dengan tepat
tombol mana yang harus ditekan. Dengan takut-takut, aku
memandangi Carmen. Yap, air matanya mulai menetes lagi.
Aku memegang tangannya erat-erat dan mulai membelainya.

77
RAY KLUUN

Dalam beberapa minggu setelah Carmen didiagnosis men-


derita kanker, aku membelai tangannya jauh lebih sering
ketimbang yang kulakukan selama tujuh tahun sebelumnya.
Gerda tidak mengatakan apa-apa. Aku menatap tangan
Carmen dalam genggamanku. Aku merasa tidak nyaman,
seolah-olah aku akan menjalani sebuah ujian untuk mencari
tahu apakah aku merasa bahwa istriku mengidap kanker
dan mungkin mati karenanya, cukup buruk. Sambil men-
condongkan tubuh mendekat kepada Carmen, aku merasa-
kan tatapan si konsultan psikoterapi di punggungku, dan
aku sadar kemungkinan bahwa perempuan itu sudah mem-
buat penilaiannya sendiri: laki-laki ini tidak mencintainya,
karena ia belum sekali pun menitikkan air mata.
“Lepaskan semuanya, Carmen,” Gerda berkata setelah
beberapa saat.
Carmen berkata bahwa selama beberapa minggu yang
lalu kami terjatuh dari surga dan terdampar di neraka.
Bahwa tadinya semuanya baik-baik saja, sangat menyenang-
kan, kami bertiga, kami bahagia, dan kemudian sekonyong-
konyong, bak, bik, buk, segalanya berakhir.
“Aku memikirkan hal itu setiap menit,” ia berkata kepada
Gerda.
Aku baru mendengar kabar itu, namun tentu saja aku
tidak akan membiarkan Gerda mengetahuinya. Sepanjang
ingatanku, jam demi jam berlalu tanpa sekali pun hal itu
terlintas dalam benakku. Selama sebagian besar hari itu,
www.facebook.com/indonesiapustaka

sejak aku menginjakkan kaki di MIU pagi ini, aku tidak


memikirkan hal itu. Kupikir Carmen juga sama denganku.
Contohnya kemarin. Kemarin rasanya sama seperti malam-
malam yang kami lalui sebelum kanker masuk ke dalam
hidup kami, dengan Luna yang sudah tidur, “Maukah kau
membuatkan teh?”, Carmen berbaring di sofa besar dengan

78
DAN & CARMEN

majalah Elle, aku di depan televisi, segala hal di dunia ini


berjalan baik-baik saja. Benar, secara menggelikan aku
menghindari topik apa pun yang membuat canggung, dan
hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak berbahaya
dengan penuh perasaan. “Wafel sirup atau sepotong kue,
Sayang?” “Mau segelas kecil air mineral atau segelas kecil
anggur?” “Apakah kita lebih baik menonton The Sopranos
atau film di Canal Plus?”
“Apakah ada sesuatu yang Anda lakukan selama beberapa
hari ini yang Anda sadari telah membuat diri Anda tenang?”
tanya Gerda.
Carmen memikirkannya.
“Saat kau bermain bersama Luna, atau menidurkannya,
mungkin?” aku menyarankan, dalam upaya nyata untuk
menata kembali posisiku di mata Gerda dari si-laki-laki-
yang-tidak-menguraikan-air-mata-atas-penderitaan-istrinya
ke pasangan penuh cinta yang secara konstruktif berbelas
kasih.
“Tidak,” Carmen berkata, menggelengkan kepala dengan
penuh semangat, “hal itu selalu mengingatkanku bahwa aku
mungkin tidak akan pernah melihat putri tersayangku
tumbuh besar.”
Sekotak tisu di meja Gerda rupanya harus bekerja lembur.
Sial, bisa-bisanya aku mengatakan sesuatu segegabah itu?
Jemari kakiku mengerut karena malu. Kembali ke kotakmu,
Danny.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Omong-omong, setelah dipikir-pikir: akhir pekan yang


lalu, saat aku sedikit mengurus kebunku, aku memang agak
merasa tenang,” kata Carmen. Sekarang giliran Gerda untuk
membuat Carmen menangis. Hanya saja Gerda sengaja
melakukannya, sementara aku menjejalkan kaki ke dalam
mulutku.

79
RAY KLUUN

“Namun setelahnya tentu Anda bertanya-tanya apakah


Anda akan melihat tanaman-tanaman itu bermekaran tahun
depan…”
Oh, Tuhan Maha Besar. Sekarang bendungan air mata
Carmen terbuka begitu saja. Gerda mengatakan sesuatu
yang bahkan tidak pernah kami pikirkan: kemungkinan
Carmen sudah meninggal tahun depan. Dengan menyetujui
dilakukannya kemoterapi kami telah menyembunyikan diri
kami sendiri dari skenario bencana itu.
Sekarang giliranku. Gerda tengah berada pada jalur
benturan.
“Dan Anda, Dan, jujurlah, tidakkah Anda berpikir: apa
salahku sehingga aku layak mendapatkan semua ini?”
Sebuah hantaman.
Saat Carmen, Frank, Maud, Thomas, dan Anne gagal,
Gerda berhasil dengan komentar pertama yang diarahkan-
nya langsung kepadaku. Gerda menghantam paku emosional
tepat di kepalaku. Aku tidak pernah memberitahu siapa
pun. Aku tidak membiarkan orang lain melihatnya, namun
itu benar. Aku merasa bahwa kanker itu telah memberiku
pukulan yang sama kerasnya dengan yang didapatkan
Carmen. Aku tertangkap basah olehnya.
Aku menundukkan kepala, mengangguk dan merasakan
air mataku menggenang. Sial. Mengapa harus sekarang,
pada saat serangan pertama Gerda ke hatiku? Brengsek,
kalau saja aku tadi pura-pura menangis hebat saat itu akan
www.facebook.com/indonesiapustaka

memberikan penilaian baik bagi citra diriku. Saat aku dapat


membiarkan Gerda melihat betapa aku mencintai Carmen.
Mengapa tangisku pecah saat ini, saat Gerda mulai
mengorek-ngorek perasaanku, mengapa aku menangis lepas
kendali justru pada saat ini, dari semua waktu? Kau dapat
bertaruh sesuka hatimu atas pikiran Gerda bahwa aku adalah

80
DAN & CARMEN

bajingan egois yang berpura-pura berpikir hal-hal


mengerikan bagi istrinya, namun baru saja tertangkap basah
melanggar aturan tidak tertulis dari pasangan seorang
pengidap kanker: engkau tidak boleh mengasihani diri
sendiri. Dengan kepala yang tertunduk dan selembar tisu di
tangan yang diberikan Carmen kepadaku, aku menangis
hebat.
“Apakah Anda merasa bersalah ketika memikirkan bahwa
hal itu juga mengerikan bagi Anda?” tanya Gerda.
“Yeah—sedikit…” aku mendengus, merasa sangat malu
pada diri sendiri. Selama berminggu-minggu ada suara lirih
dalam kepalaku yang terus mengganggu, memberitahuku
bahwa itu tidak ada pengaruhnya sedikit pun bahwa aku
membaca buku Simonton yang keterlaluan, bahwa aku
menemani Carmen ke setiap konsultasi dengan dokter dan
kedua rangkaian kemo yang dijalani Carmen sejauh ini. Si
perempuan dengan rambut tipis itu tidak datang kali ini—
liburan? Sudah sembuh? Menyerah? Meninggal?—begitu
pula dengan suaminya. Dan pemuda itu mengenakan topi
Gatsby lagi, namun kekasihnya tidak mendampinginya.
Seolah-olah semua hal baik yang kulakukan dikalahkan oleh
kebutuhan tidak murniku yang tanpa-akhir akan kepuasan
diri sendiri dan kesenangan. Seperti seorang pedofilia yang
berjuang menahan diri sendiri selama bertahun-tahun, tapi
tetap merasa bersalah pada saat bersamaan karena pemikiran
menjijikkannya mengenai anak-anak.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Kau tidak perlu merasa bersalah begitu, Danny. Itu


mungkin terasa lebih buruk bagimu daripada bagiku,” tiba-
tiba Carmen menceletuk.
Baru beberapa saat kemudian aku memahami apa yang
dikatakannya. Aku menatap Carmen dengan terkejut.
“Ya,” Carmen melanjutkan, “kau sehat, kau tidak pernah

81
RAY KLUUN

meminta hal ini terjadi, dan di sinilah kau berada duduk


bersama seorang istri yang menangis dan bersedih sepanjang
waktu dan”—ia mendengus dan menunggu selama satu
detik—“tidak lama lagi akan botak.”
Aku dapat melihat bahwa ia bersungguh-sungguh.
Carmen benar-benar berpikir bahwa hal itu memang buruk
bagiku. Bagiku.
Segala sesuatunya tidak dapat berjalan lebih buruk lagi.
Setelah beberapa minggu menghadapi kanker, status psiko-
emosional-relasional kami adalah sebagai berikut:

1. Seorang istri yang mengidap kanker memiliki kerumit-


an rasa bersalah karena ia melakukan hal ini kepada
suaminya.
2. Seorang suami yang istrinya mengidap kanker memiliki
kerumitan rasa bersalah karena ia berpikir dirinya
terlalu mengasihani diri sendiri.

Dan setelah itu kami meraung-raung sedikit lebih lama,


dengan nyaman, sambil berpegangan tangan.
“Baik,” kata Gerda.
Ia berkata kali lain kami akan melanjutkan dengan
gerakan meditasi ala Simonton. “Kurasa hal itu akan ber-
akibat baik bagi Anda berdua. Di dalam latihan itu Anda
belajar memanfaatkan kekuatan Anda untuk menggempur
kanker.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Carmen mengangguk seolah-olah ia menganggap hal itu


adalah sesuatu paling normal yang ada di dunia.
“Kita akan menunjangnya dengan teknik visualisasi,”
Gerda meneruskan.
Dengan bijaksana, aku menutup mulutku rapat-rapat.
“Namun hal itu juga akan menenangkanmu dan

82
DAN & CARMEN

membantumu bersikap menyenangkan.”


“Ya, bagiku bukan masalah,” Carmen mengangguk.
Aku juga mengangguk. Walaupun aku tidak menganggap
bahwa Carmen bersikap tenang saat melempar buku
Simonton ke seberang ruang duduk.
“Jika Anda mau melakukan latihan ini, aku akan me-
rekamnya dan Anda bisa membawa rekaman itu ke rumah,”
kata Gerda, menunjuk ke arah perekam-kaset. “Dengan
begitu Anda juga dapat melakukannya sendiri di rumah,
selama satu minggu berikutnya.”
“Yah, hmm—kedengarannya bagus,” kata Carmen.
“Hal lain yang ingin saya minta kepada Anda berdua
adalah untuk membuat sebuah gambar”—Anda berdua,
katanya—“yang dengannya Anda berusaha memvisualisasi-
kan tumor di payudara Anda”—bertahun-tahun latihan
mendengarkan pengarahan singkat paling konyol dan omong
kosong pemasaran tiada akhir dari para klien sepertinya
akan tertebus—“Anda dapat bergabung, Dan, cukup bayang-
kan tumor di payudara Carmen”—cukup—“dan kemudian
gambarkan kemonya mengarah ke tumor di payudara
tersebut”—Monty Python! Aku berada dalam sketsa Monty
Python—“lalu visualisasikan apa yang tebersit dalam benak
Anda”—bahwa seseorang mencari gara-gara, itulah yang
tebersit di dalam benakku.
“Apa Anda setuju, Carmen?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ya, aku—aku rasa demikian.”


“Anda juga, Dan?”
“Ya, sepertinya itu ide bagus.”
“Baiklah kalau begitu, sampai minggu depan!”
“Ya, sampai minggu depan.”
Ia menjabat tangan kami satu per satu.

83
RAY KLUUN

“Sampai jumpa lagi, Carmen! Sampai jumpa lagi, Dan.”


“Daah,” kata kami melewati bahu.
Di dalam lift aku menatap Carmen dengan hati-hati. Ia
tertawa terbahak-bahak.
Syukurlah. Carmen belum kehilangan kewarasannya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

84
DAN & CARMEN

Seems kinda funny sir to me,


that at the end of every hard day,
people find some reason to believe …
Bruce Springsteen, dari Reason to Believe (Nebraska, 1992)

Sembilan Belas

Namun harus kuakui bahwa percakapan dengan Gerda


berakibat baik bagi kami berdua.
Hal itu memberi Carmen dan aku gagasan brilian untuk
terus memberitahu lebih banyak mengenai perasaan kami
masing-masing. Jadi aku dapat memberitahu Carmen bahwa
aku tidak menyukai gagasan pergi ke Bloemendaal musim
panas ini, bahwa aku lebih suka agar katup jantung sebelah
kiri dr. Wolters ditendang kuda, dan bahwa aku berpikir
betapa menyenangkannya bahwa setiap aku pergi ke MIU
aku melangkah ke dalam zona bebas-kanker. Dan Carmen
memberitahuku bahwa sejujurnya ia tidak dapat menang-
gung semua ini lagi, dan bahwa selama berhari-hari sebelum
jadwal kemonya tiba sekalipun ia sudah merasa ngeri saat
memikirkan jarumnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Topik-topik yang tetap tabu adalah hal-hal yang akan


menjadi kenyataan setelah kemo—seperti metastatisasi,
amputasi payudara, dan kematian. Aku mendapat dukungan
dari bagian yang sama sekali tidak terduga: pemikiran
negatif memberikan dampak kurang baik bagi perkembang-
an penyakit tersebut, begitu kata dr. O. Carl Simonton

85
RAY KLUUN

dalam bukunya. Tidak ada yang menentang Simon, itulah


nama baptis yang diberikan Carmen kepada laki-laki itu;
dengan judul bab seperti Kekuatan mental dapat me-
mengaruhi kanker, Mengambil alih kesehatan Anda, dan
Bukti ilmiah atas pendekatan kami, Simon adalah Louis van
Gaal-nya ilmu kedokteran.
Namun terkadang hidup itu sederhana: Jika semua
statistik adalah musuh kami, dan Simon secara riang dapat
mengabaikan semua grafik dan tingkat kelangsungan hidup
dengan sikap acuh tidak acuh ala orang Amerika, maka
Simon adalah teman kami. Jadi selama satu minggu yang
lalu kami memberitahu setiap orang yang mau mendengar-
kan bahwa metode Simon dalam menggempur kanker
dengan pemikiran positif, gerakan-gerakan meditasi dan
teknik visualisasi sudah terbukti secara ilmiah (walaupun
sejujurnya aku tidak menceritakan kepada siapa pun
mengenai tugas menggambar dari Gerda). Dan jika ada
seseorang yang merupakan pemenang dari pemikiran positif,
Carmen-lah orangnya.
Kami benar tentang hal itu, demikian semua orang
berkata.
Jika siapa pun dapat melakukannya, Carmen pun begitu.
Kami mengabari setiap orang bahwa pikiran bisa jadi
lebih kuat daripada tubuh. Apa sih yang kukatakan—pikiran
itu memang lebih kuat daripada tubuh! Kami akan berhasil!
Biarkan semua orang yang mencintai kami mendukung kami
www.facebook.com/indonesiapustaka

dalam pertempuran untuk pengetahuan yang lebih superior,


dan bergabung dengan kami dalam memenangkan perang
ini! Haleluya, Simon!

86
DAN & CARMEN

Blonde hair, blue eyes,


straight from a book of fairy tales …
Bloem, dari Even aan mijn moeder vragen
(Vooral jong blijven, 1980)

Dua Puluh

Rambut Carmen mulai berguguran dalam jumlah yang


sangat banyak. Di pagi hari, saat ia bangun tidur, seluruh
permukaan bantalnya ditutupi rontokan rambut. Sejak
kemarin, ia dapat menarik segenggaman rambut dari
kepalanya tanpa ada rasa sakit.
“Perhatikan,” ia berkata saat aku pulang ke rumah pada
malam hari, mengacungkan jari telunjuknya dengan ekspresi
serius di wajahnya, “Aku sudah latihan sepanjang hari…”
Ia datang dan berdiri di hadapanku, membuat wajah
hampa mengerikan, menatapku dengan mata membelalak,
menggigit bibir untuk menahan teriakan pura-pura, dan
menarik segumpal rambut dari kepalanya dengan kedua
tangan. Lelucon baru dalam repertoar Mr. Bean-nya.
“Bagus, bukan?” ia berkata, tawanya meledak.
www.facebook.com/indonesiapustaka

***

Malam harinya di dalam kamar mandi, ia berdiri dan


menatap pantulan dirinya di cermin, kepalanya agak
ditundukkan.

87
RAY KLUUN

“Rambutku sudah sangat tipis, ya kan?”


“Hmm. Tapi masih banyak yang tersisa.”
“Tidak, tidak untuk waktu yang lama. Lihat ini,” ia
berkata, dan menarik segumpal rambut lagi dari puncak
kepalanya. Aku melihat satu sentimeter kulit kepala tanpa
rambut sama sekali.
“Oke, saat kau membelah rambutmu kau akan melihat-
nya, cukup adil—”
Ia hampir tidak mendengarkan.
“Aku tidak mau terus seperti ini. Aku sangat takut pada
saat aku pergi kerja suatu waktu, atau di pub, dan semua
orang akan melihatnya.”
Ia tercekat antara amarah dan air mata. Mr. Bean sudah
pergi.
“Apa yang kau inginkan?” aku bertanya.
Momen yang kutakutkan selama berminggu-minggu
semakin mendekat secara mengkhawatirkan.
“Haruskah kita memotongnya?” ia berkata ragu-ragu.
“Kau mau aku yang melakukannya?” aku berkata, me-
natapnya melalui cermin.
Glek. Apakah aku bersungguh-sungguh mengucapkannya?
“Bisa—apakah itu yang ingin kau lakukan?” ia bertanya
dengan gugup, nyaris malu.
Aku tidak tahu bagaimana caraku mengatasinya, tapi aku
mengangguk dan tersenyum.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Tentu saja aku akan melakukannya untukmu.”


Ia menatap dirinya di cermin sekali lagi, menunggu
selama sesaat lalu berkata, “Lakukan sajalah.”
“Baiklah,” aku berkata, dan mengambil alat cukur
elektrikku dari lemari di samping cermin.
“Bagaimana kau ingin melakukannya?” ia bertanya tidak

88
DAN & CARMEN

yakin.
“Dicukur dulu, baru digunting?”
“Ya, kurasa itu adalah ide paling bagus, bukan? Pasti
hasilnya sangat halus. Aku tidak ingin menggaruk di bawah
wig.”
Aku mengambil selembar saputangan putih dan me-
letakkannya di bahu Carmen. Ia masih menatap dirinya
sendiri di dalam cermin. Aku memeriksa puncak bagian
belakang kepalanya, menggerakkan tanganku layaknya
seorang tukang cukur terlatih dari sebelah kiri ke kanan
dan dari atas ke bawah. Demi Tuhan, memangnya di mana
kita harus mulai mencukur, dapatkah seseorang memberi-
tahuku? Di bagian belakang kepalanya saja, jadi Carmen
tidak perlu melihat petak kulit kepala pertama saat aku
melewatkan alat cukur ke bagian itu? Ya, bagian belakang
lebih dulu.
“Ayo kita mulai, Sayang.”
Aku menghela napas dalam-dalam, menyalakan alat
cukur dan membuat satu garis selebar empat sentimeter,
yang dimulai di tengkuknya. Pada saat bersamaan aku
mengecup pipinya. Dari cermin ia dapat melihat rambutnya
yang panjang terjatuh di saputangan, menutupi mulutnya
dengan tangan dan mulai menangis. Aku menelan ludah,
namun dengan tekad kuat melanjutkan cukuranku, mencium
kepalanya setiap beberapa detik. Kami tidak mengatakan
apa pun.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sepuluh menit kemudian, Carmen botak.

89
RAY KLUUN

You can hide neath your covers and study your pain,
waste your summer praying in vain …
Bruce Springsteen, dari Thunder Road (Born to Run, 1975)

Dua Puluh Satu

“Aaarrrggghhh! Benda terkutuk ini gatal setengah mati,


benar-benar membuatku gila!”
Aku mendongak dari majalah musik yang kubaca.
Keadaan di teras belakang rumah kami terasa panas.
Karena perluasan bangunan tetangga kami di satu sisi dan
pagar tanaman tinggi di sisi lain, tempat itu tidak merasakan
embusan angin. Hanya tepat di belakang taman, di sepanjang
sungai kecil yang memisahkan kota dari hutan kota,
Amsterdamse Bos, kau akan mendapat tiupan angin sepoi-
sepoi, namun kami jarang ke tempat itu. Bila kau melaku-
kannya, kau akan merasa seakan kau berada di tengah-
tengah hutan. Hutan yang paling tidak alami. Aku sesekali
pergi ke sana bersama Luna untuk memberi makan bebek-
bebek, namun seringnya kami hanya pergi sampai sejauh
itu, di balik papan-papan kayu teras kami. Kami duduk di
www.facebook.com/indonesiapustaka

bawah payung parasol besar persegi empat. Bahkan me-


nurutku di sana panas, padahal aku tidak mengenakan wig.
Wig gatal, begitu Carmen menyebutnya sejak kemarin.
Ia sudah memakainya selama seminggu, tapi kemarin
merupakan hari pertama dengan suhu udara berada di atas
dua puluh derajat. Sebelum itu, musim panasnya terasa

90
DAN & CARMEN

menyenangkan untuk ukuran teknologi wig: paling panas


sekitar tujuh belas derajat, banyak hujan, dan tidak sehari
pun kami berada di pantai.
“Tak bisakah kau melepaskannya?”
“Dan bagaimana dengan Maud? Ia sebentar lagi akan
muncul dengan si kecil.”
Luna menginap di rumah Maud, dan hari ini ia ingin
pergi ke kebun binatang. Aku merasa sangat girang saat
Maud menyarankannya. Ada rangkaian kemo lain pada hari
Selasa, dan tepat saat Carmen merasa lebih baik, sekitar
akhir pekan, aku hancur lebur. Setelah tiga hari mengurus
Carmen dan Luna secara penuh, dan masih harus meng-
habiskan waktu beberapa jam yang aneh di MIU, kejenuhan-
ku mulai terasa. Berkat Maud aku bisa tidur pagi ini, dan
sebagai hasilnya aku mendapat banyak energi sekarang
sehingga aku mungkin akan bersenang-senang di pesta dansa
Beachpop sore ini. Namun aku belum memberitahu Carmen
apa pun mengenai rencana gilaku.
“Lalu kenapa? Ini kan rumahmu. Setiap orang harus
mulai terbiasa menghadapi kenyataan bahwa kau botak,”
aku berkata. Dan kemudian aku masuk ke pokok per-
masalahan, sekasual mungkin: “Omong-omong, Maud tidak
akan tinggal terlalu lama, ia mau pergi ke Beachpop sore
ini. Di Bloemendaal, kau tahu tempat itu. Tempat itu dibuka
lagi sore ini.”
“Aku bahkan tidak ingin memikirkan hal itu.” Carmen
www.facebook.com/indonesiapustaka

sedang tidak menjalani hari-hari yang menyenangkan. “Dan


aku juga tidak ingin kau pergi. Karena aku akan terjebak di
sini sendirian bersama Luna.”
“Tidak, bukan itu rencananya, Sayang,” aku berbohong.
Brengsek.
“Oke, aku hanya ingin kau tahu,” ia berkata, tidak

91
RAY KLUUN

mendongakkan kepala dari majalah yang dibacanya.


“Yeah… Bukankah aku sudah bilang kalau bukan itu
rencananya?”
Hening.
“Oh, benda BRENGSEK INI!” Carmen berteriak, dan
menggaruk wignya.
“Demi Tuhan, Carm, copot saja benda mengerikan itu!”
“Tidak! Aku tidak ingin kelihatan konyol. Camkan hal
itu baik-baik di dalam kepalamu sekarang juga.”
Maka kau pasti menyadari hal itu juga, aku berpikir.
Beberapa menit kemudian bel pintu berbunyi. Aku
bangkit dan berjalan menuju pintu depan.
“Ia benar-benar anak manis,” kata Maud. Perempuan itu
membelai rambut Luna. Si gadis kecil tertidur di kereta
dorongnya.
Maud tetap tinggal selama sekitar satu jam. Ia akan
pulang ke rumah dan berganti baju dengan pakaian paling
keren. Belum apa-apa, ia sudah melompat-lompat kegirang-
an karena memikirkan gagasan pergi ke Beachpop. Carmen
berceloteh dan tertawa dengan riang bersamanya. Aku
tersenyum.
“Frank dan beberapa teman lain dari MIU juga datang,”
kata Maud.
“Kami akan bersenang-senang saja di rumah,” ujar
Carmen.
www.facebook.com/indonesiapustaka

92
DAN & CARMEN

I do nothing and I do nothing, I just hang around,


I look out the window from time to time,
and I scratch my arse, I stare into the distance,
I grab a beer, and I play on my flute for a bit …
De Dijk, dari Bloedend hart (De Dijk, 1982)

Dua Puluh Dua

“Dan sekarang?” aku bertanya.


Di tempat tidur ada sepasang gunting, sejenis kotak-pizza
yang berisi perban gel tebal, dan beberapa potongan perban
yang lepas. Dan di sanalah seorang perempuan muda, botak,
dengan satu payudara sehat yang indah, dan satu payudara
tampak melepuh, dipenuhi luka dan bagian-bagian kulit
yang terbakar dalam rentang warna: kuning, merah muda,
ungu, merah, dan merah-keunguan gelap. Garis-garis hitam
yang digambar di permukaannya lima minggu yang lalu
dalam rangka radioterapi masih tetap terlihat di balik
lanskap vulkanik tersebut.
Carmen memiringkan kepalanya dan melihat pada sisi
bagian payudaranya yang masih belum terbungkus. Perban
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu dilumuri gel di bagian bawahnya, untuk memastikan


bahwa lapisan-lapisan kulit yang terbakar tidak ikut tercabut
kali lain ia mengganti perban. Ia menahan perban di
payudaranya dengan satu tangan, sementara dengan tangan
lain ia menunjuk ke perban itu.
“Perawat membuat torehannya di sekitar sini, kupikir.

93
RAY KLUUN

Kalau tidak itu tidak akan muat dengan payudaraku, dan


benda ini menjadi kusut.”
“Oke. Kira-kira seberapa panjang aku harus memotong-
nya?”
“Ooh—sekitar lima sentimeter, kupikir?”
Dr. Scheltema tidak terlalu kesal saat Carmen telah
menjalani keempat rangkaian kemoterapinya. Penanda
tumor di darah Carmen tampak memberi harapan, dan
tumor di payudaranya sudah menyusut sedikit. Ia bahkan
berani memunculkan kata “operasi” ke dalam percakapan.
“Tapi pertama-tama kita harus memastikan bahwa tumor
di payudara sudah semakin kecil, karena kalau tidak, ada
risiko tumor tersebut masuk ke kulit ketika mereka meng-
operasi. Dan kemudian keadaan akan jauh lebih buruk
daripada sebelumnya,” ia berkata. Seorang pakar radiologi
didatangkan dari Rumah Sakit Antoni van Leeuwenhoek,
dan laki-laki itu sepakat dengan Scheltema. Radioterapi.
Selama tujuh minggu, pergi ke Antoni van Leeuwenhoek
setiap hari. Lalu, melihat perkembangan.
Empat minggu pertama radioterapi ibarat jalan-jalan di
taman jika dibandingkan masalah-masalah yang muncul usai
setiap kemo. Tapi setelah dua puluh pajanan radiasi, seperti
yang telah diprediksikan si pakar radiologi, kulit-kulit
Carmen mulai mengelupas.
“Menurutmu haruskah aku memotongnya lebih panjang?”
“Umm—tidak, itu cukup,” ujar Carmen gelisah.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Berhenti! Berhenti!” Ia khawatir aku akan menyentuh kulit


payudaranya yang terbakar dan menyakitkan tanpa sengaja.
Aku meletakkan gunting dan, dengan ujung lidah menjulur
di antara kedua bibirku, aku menarik satu kelopak penutup
perban dengan torehan yang disayat di atasnya, dan mem-
biarkan yang lain jatuh dengan lembut ke permukaan

94
DAN & CARMEN

payudara, tanpa menekankannya. Kemudian, kelopak


penutup yang kedua masuk dengan mulus di sebelahnya,
dan semuanya ternyata berjalan baik-baik saja. Payudara itu
tertutup rapat.
Carmen menginspeksi hasil pekerjaan tanganku. “Ya,”
ia mengangguk. “Bagus. Makasih.”
Aku menyeka tetesan keringat dari keningku, meletakkan
potongan foil pelindung dan sisa potongan perban yang
tidak terpakai kembali ke dalam kotak-pizza, lalu berjalan
menuju kamar mandi untuk membuang sampah ke
keranjang. Saat aku kembali, Carmen sudah tidur. Pengaruh
radioterapinya mulai terasa.
Aku menatap jam alarm di radio, sekarang baru pukul
delapan tiga puluh. Keadaan di luar masih terang. Tadi
malam ia pergi tidur pada pukul delapan, seperempat jam
setelah Luna tidur. Untuk menunjukkan solidaritas, aku juga
ikut tidur. Tapi aku masih terjaga sampai tengah malam.
Dengan perlahan aku berjalan menghampiri Carmen lalu
mencium keningnya. “Selamat malam, Cinta,” aku berbisik.
Ia terus terlelap.
Di lantai bawah aku mengeluarkan sebotol bir dari lemari
pendingin. Walaupun, sebenarnya, aku lebih menginginkan
segelas rosé. Aku mengembalikan bir tersebut dan membuka
sebuah botol anggur. Aku mengambil satu kantong kecil
cracker Jepang dari lemari. Aku mengecek untuk melihat
apakah ada pesan singkat masuk. Satu dari Ramon.
www.facebook.com/indonesiapustaka

>> Frank dan aku mengenal Ramon dari BBDvW&R/Bernilvy. Ramon


dipekerjakan sebagai asisten akuntan Frank. Sementara Frank
kelebihan gaya, Ramon sebaliknya. Perawakannya seperti bangunan
WC bata, dan kau hanya akan tampak seperti itu jika kau adalah
seorang kuli bangunan atau binaragawan, dan Ramon bisa
dipastikan bukan binaragawan. Ia bangga akan tubuhnya, dan aku

95
RAY KLUUN

harus mengakui bahwa ia punya hak untuk merasa seperti itu. Postur
tersebut memberinya kepercayaan diri melebihi yang baik untuknya.
Ramon kadang-kadang bisa menjadi agresif jika suasana hatinya
sedang buruk atau jika seseorang tanpa sengaja menyentuhnya
(atau menyentuh mobilnya atau birnya). Ramon bertingkah seolah-
olah seluruh dunia adalah miliknya, dan seluruh dunia biasanya
bertekuk lutut juga. Zakarnya pun luar biasa besar, dan itu mem-
bantunya memancarkan kepercayaan diri melebihi normal jika
dilihat dari sudut pandang objektif.
Ramon sebenarnya bukan seorang teman sejati seperti Frank
atau Thomas, tapi kami memiliki golongan darah yang sama. Ramon
tergila-gila dengan kelab-kelab malam seperti La Bastille, Het Feest
van Joop, dan The Surprise Bar. Setahuku, hanya ada satu orang
dengan kelainan yang sama, dan orang itu aku. Kesamaan kami
yang lain adalah fakta bahwa, seperti diriku, Ramon memiliki selera
omnivora terhadap perempuan. Kami menangkap apa pun yang
menghampiri kami, dan tidak membiarkan kewajiban hubungan
menghalanginya. Ramon dan aku menganggap kesederhanaan
sebagai suatu kebajikan yang hanya dipraktikkan oleh orang-orang
yang pergi dengan tangan kosong.* Kesamaan terakhir adalah kami
berdua berasal dari selatan: Aku berasal dari Breda, dan Ramon dari
Cile. Saat ia berusia sembilan tahun, ayahnya pindah ke Belanda
beserta seluruh keluarganya. Keluarga ini tinggal di sebuah proyek
perumahan bertingkat di tenggara Amsterdam. Teman-teman
kecilnya cenderung tertarik dengan kokain dan benda sejenisnya,
entah sebagai pengguna atau pengedar. Ramon masuk ke
universitas. Dirinya ingin memiliki karier, katanya. Sepuluh tahun
kemudian, alih-alih Frank, Ramon-lah yang dipilih sebagai direktur
agen periklanan BBDvW&R/Bernilvy. Frank tidak tahan dengan
gagasan bahwa seorang bajingan seperti Ramon menjadi atasannya,
lalu mengundurkan diri. Sejak saat itu ia tidak henti-hentinya
www.facebook.com/indonesiapustaka

memamerkan MIU Creative & Strategic Marketing Agency, dan terus


melakukannya seperti iklan TV di mana pun Ramon berada. Ramon
berkata peduli setan dengan apa yang Frank (atau orang lain di
planet ini) pikirkan.

* Boccaccio, sebelumnya disalahgunakan oleh Ronald Giphart di Ik omhels je met duizend


armen.

96
DAN & CARMEN

Apakah kita masih akan pergi ke Leidsepleining pada


hari Jumat? ia ingin tahu.

Woohoo—Tentu saja!

Aku menghentikan pertandingan malam sepakbola


mingguanku di Vondelpark sejak rangkaian kemo dimulai,
aku menghentikan kebiasaan pergi minum-minum sepulang
kerja, tapi Acara Jumat Malam Danny tetap berlaku se-
penuhnya.
Tapi sekarang baru Selasa, dan aku belum punya energi.
Aku menyalakan TV. Di saluran Yorin sedang ada siaran
ulang Big Brother. Aku sudah menontonnya, kami selalu
menyalakannya pada pukul tujuh akhir-akhir ini. Kau harus
melakukan sesuatu. Ada film Thomas sungguhan di RTL.
Jean-Claude van Damme. Aku mengirimkan SMS untuk
menanyakan apakah Thomas menontonnya. Di SBS6,
pertandingan Everton-Southampton di ajang FA Cup. Aku
menontonnya sejenak. Permainan sampah. Di Canal Plus
diputar sebuah film Prancis. Tidak ada yang bisa dilakukan,
kalau begitu. Yang tersisa hanyalah MTV. R&B, sial. Berita
olahraga di Channel 3 baru dimulai pada pukul sepuluh
lima belas menit.
Aku mengambil surat kabar dari lantai dan melihat artikel
mengenai sistem transportasi Amsterdam di bagian
suplemen. Aku hanya membaca sekitar setengah artikel. Di
www.facebook.com/indonesiapustaka

dalam laci meja terdapat novel Harry Mulisch, The


Discovery of Heaven, yang dengan tekun kubaca selama
dua bulan terakhir, tapi hanya berhasil sampai ke halaman
enam puluh tujuh. Aku membuka buku tersebut dengan
perasaan tidak suka, membaca sampai ke halaman tujuh
puluh satu dan menyingkirkannya lagi sambil menghela

97
RAY KLUUN

napas. Ah, sebuah SMS! Thomas, ia berkata bahwa ia


memang menonton film tersebut dan menanyakan kabar
Carmen. Aku menuliskan jawabannya dan memberitahu
Thomas bahwa Carmen sudah tidur karena ia sangat
kelelahan setelah menjalani radioterapi, dan aku kebosanan
setengah mati. Sebelum aku mengirimkannya, aku meng-
hapus bagian tentang merasa bosan. Thomas sudah duduk
di sofa di rumahnya selama bertahun-tahun. Dan Anne tidak
akan mendapat petunjuk pertama tentang apa yang ku-
rencanakan.
Aku menuang segelas anggur lagi untuk diriku lalu
menyalakan teleteksnya. Halaman 601. Tidak banyak berita.
703. Kondisi akan tetap bagus minggu ini. Semua yang kami
butuhkan. Kembali ke SBS. Masih 0 – 0. Bagaimana dengan
AT5? Ya Tuhan, ada orang yang mendaftar semua pekerjaan
jalan di Amsterdam minggu ini. Sementara itu, aku
menyalakan komputerku dan membuka Outlook. Aku
membiarkan empat pesan tidak terbaca dari kelompok chat
Amerika mengenai kanker payudara imflamatori. Aku
membuka sebuah surat dari Anne. Bagaimana keadaan
Carmen hari ini? Biar Carmen sendiri yang memberitahu
Anne besok.
Hakan menyurati Frank, Ramon, dan aku untuk
memberitahukan bahwa dirinya akan ikut bersama kami ke
Miami pada akhir pekan terakhir bulan Oktober.
Sebuah jawaban dari Frank, yang mengatakan kami
www.facebook.com/indonesiapustaka

seharusnya memesan tempat sesegera mungkin, untuk


berjaga-jaga, dan kami harus melihat www.pelicanhotel.com,
karena itu adalah hotel yang dimiliki oleh Renzo Rosso-nya
Diesel, dan tempat itu benar-benar luar biasa.

98
DAN & CARMEN

>> Hakan. Orang Turki generasi kedua. Sukses, dan itu terlihat
dalam penampilannya. Motto: berpakaianlah untuk membuat orang
lain terkesan. Kesamaan yang kami miliki adalah BBDvW&R/Bernilvy
serta minat berlebihan terhadap sepakbola dan perempuan. Ini
cukup, di antara laki-laki, bagi kami untuk menganggap diri kami
sendiri sebagai teman baik.

Jawaban berikutnya datang dari Hakan lagi. Ia men-


dengar bahwa Pelican sudah ketinggalan zaman. Aku
mengirimkan pesan kepada orang-orang itu bahwa aku tidak
peduli di hotel mana kami akan menginap, asalkan rencana
kami jadi. Aku melewatkan berita olahraga karena ibu
Carmen menelepon untuk menanyakan kabar putrinya.
Tepat pada pukul sebelas kurang lima belas menit. Aku
semakin tidak bisa tidur. Aku melihat ke Bol.com. Album
baru Manic Street Preachers sudah beredar. Aku mengeklik
pemesanan. Aku membaca ulasan online mengenai The
Prodigy. Pesan. Sebuah CD oleh Eagle Eye Cherry, terdapat
satu lagu yang begitu disukai Carmen. Bisa kau lihat bukan,
pergi bersenang-senang lebih murah daripada tetap diam di
rumah. Aku menuangkan segelas rosé lagi, dan menyingkir-
kan cracker Jepang sebelum aku memakan habis seisi
kantong hanya karena kebosanan. Pukul sebelas lewat lima
belas menit. Film porno di Canal Plus dimulai setengah jam
lagi. Aku membolak-balik halaman buku lama De Tijd dan
membaca sedikit bagian dari The Healing Journey oleh
Simonton. Aku berhasil membaca seperempat buku tersebut.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Carmen sudah lebih dulu membaca kedua buku itu. Aku


meletakkan botol rosé, tiga perempat kosong, kembali ke
lemari pendingin, membersihkan meja, menyalakan mesin
pencuci piring, memasang meja kecil Luna untuk besok
pagi, dan berjalan kembali ke ruang duduk. Ah, filmnya
sudah dimulai. Malam ini adalah film porno Italia. Mereka

99
RAY KLUUN

kebanyakan gadis-gadis menarik dengan payudara sungguh-


an. Aku tidak suka payudara besar palsu milik bintang porno
Amerika. Carmen dan aku menyepakati hal ini: payudara
asli cepat membesar dan sedikit turun ke bawah dibanding-
kan payudara palsu yang menyembul dan tidak bergerak
ketika kau bercinta. Sudah berbulan-bulan lamanya sejak
kami mengabaikan analisis ilmiah komunal kami mengenai
payudara di TV. Saat Carmen tanpa sengaja mengganti
saluran ke Canal Plus, ia tidak dapat mengganti salurannya
lagi dengan cukup cepat. Bagi Carmen, film porno sudah
tidak relevan lagi. Tidak untukku. Aku menonton dua
adegan, orgasme, mengambil selembar serbet kertas, mem-
bersihkan perutku, berjalan ke keranjang sampah, menjejal-
kan serbet basah itu di bawah tumpukan surat kabar tua
lalu pergi tidur. Setelah sekitar sepuluh menit, aku jatuh
tertidur di samping Carmen.
www.facebook.com/indonesiapustaka

100
DAN & CARMEN

I do declare,
There were times when I was so lonesome,
I took some comfort there …
Simon and Garfunkel, dari The Boxer (Sounds of Silence, 1970)

Dua Puluh Tiga

Carmen hampir tidak mengenal Ramon. Mereka pernah


bertemu beberapa kali, di pesta-pesta BBDvW&R/Bernilvy.
Carmen benar-benar membuat Ramon terkesan. (“Hei,
amigo, bagaimana kalau kita bertukar pasangan kapan-
kapan?” “Jangan gila, aku benar-benar tidak ingin memberi-
mu seks oral.”)
Ramon tidak pernah mampir ke rumah kami. Kami selalu
mengatur pertemuan di Leidseplein, di Palladium.

>> Palladium. Anggota tim Ajax telah mengajak kekasih-kekasih


mereka ke tempat itu sejak lama. Ada rumor yang beredar bahwa
Wink Jonk* bahkan pernah bercinta di sana.

Di sana kami menghabiskan setengah jam membahas


www.facebook.com/indonesiapustaka

Bernilvy dan MIU, dan memandangi gadis-gadis muda


ranum yang memenuhi Palladium. Kemudian kami pergi ke
ladang perburuan tempat, sebagai pria-pria gemuk di usia
tiga puluhan, kami lebih merasa seperti di rumah: La Bastille.

* Pemain Ajax paling membosankan sepanjang masa. Diketahui kemudian bahwa ternyata ia
lebih menyukai PSV.

101
RAY KLUUN

>> Orang-orang di La Bastille menyadari tak ada yang lebih penting


dalam hidup ini selain regularitas, jadi mereka memainkan sesuatu
yang dinyanyikan oleh André Hazes* setidaknya satu kali setiap
seperempat jam. Para pelanggan tetapnya sebagian besar terdiri
atas perempuan-perempuan putaran-kedua (30-40 tahun, cerai,
mudah dikenali dengan investasi berat dalam kosmetik dan kursi-
kursi-berjemur dengan tujuan untuk mendapatkan lebih banyak
hal. Besar kemungkinannya mau diajak berhubungan seks).

Begitu berada di sana, kami langsung melaksanakan hal-


hal penting. Kami menemukan sekelompok kecil perempuan
yang sedang meminum koktail di bar. Ramon berbincang
dengan seorang gadis bersabuk Moschino. Aku berbincang
dengan seorang perempuan yang blusnya akan dianggap
Carmen sebagai blus yang terlalu terbuka (kupikir blus itu
cocok untuknya), dan yang bokongnya terlalu besar untuk
rok yang dikenakannya. Dalam konteks Bastille pakaian
seperti itu tidak dapat disebut vulgar. Setelah berbasa-basi
sekitar setengah jam kami pun mulai bercumbu. Setelah
satu jam aku menanyakan namanya untuk ketiga kalinya
dan menanyakan apakah ia tinggal di Amsterdam untuk
kedua kalinya. Aku tidak dapat menyingkirkan kesan bahwa
popularitasku mulai menyusut. Perempuan itu berkata
dirinya memiliki kekasih dan teman-teman perempuannya
ada di sana. Kemudian ia mulai berkata betapa penuhnya
tempat ini, dan betapa ia harus mengantre selama sepuluh
menit untuk buang air kecil, dan ketika ia sampai di sana ia
www.facebook.com/indonesiapustaka

masih harus membayarnya juga. Aku sudah cukup me-


nyimpan suara-suara mengeluh di dalam kepalaku. Aku
menanyakan Ramon apakah ia dan kelompoknya mau pergi
sama-sama ke Surprise. Ramon menggelengkan kepala. Aku
mengangkat bahu dan meninggalkan Bastille.

* Penyanyi lagu balada Amsterdam, sangat populer tapi dipandang rendah oleh para kritikus.

102
DAN & CARMEN

>> Surprise adalah ruang depan Bastille. Jika perempuan-


perempuan putaran-kedua kebanyakan berkumpul di Bastille, di
Surprise rata-rata perempuannya sepuluh tahun lebih muda. Gadis-
gadis yang baru saja putus dari kekasih masing-masing, dan gadis-
gadis yang baru memasuki periode berpesta pora yang singkat dan
intens. Selalu datang dengan seorang kawan, yang biasanya juga
berada dalam perahu pasca-hubungan yang sama. Dua atau tiga
kali dalam satu minggu mereka akan pergi bersama-sama ke
Surprise (dan setelah pukul tiga pagi pergi ke Cooldown atau Het
Feest van Joop). Di sana, segera saja mereka dikenali oleh staf bar
yang selalu ramah, menghabiskan banyak uang di bar dan—simbol
status bagi para pengunjung perempuan di Surprise—diizinkan
untuk menitipkan tas tangan atau jaket mereka di belakang bar. Si
pelayan bar mentraktir gadis itu dan kawannya beberapa gelas
minuman dan kedipan setiap kali mereka berkunjung. Benar-benar
pendekatan pragmatis, karena semakin banyak gadis seperti ini di
bar, akan ada semakin banyak laki-laki yang berkunjung. Tak lama
kemudian gadis itu akan jatuh cinta dengan pengunjung laki-laki
di Surprise, pasangan itu lalu sering pergi ke Surprise demi
mengingat hubungan mereka, walaupun semakin jarang dan
semakin jarang, dan mereka berakhir di sofa di rumah baru mereka
di Almere. Beberapa tahun kemudian mereka bercerai, dan tibalah
giliran Bastille. Begitulah caranya Leidseplein mendaur-ulang
pengunjung tetapnya.

Aku hanya tinggal sepuluh menit di Surprise. Jelas sekali,


bahkan menurut standar Surprise, aku terlihat seperti laki-
laki tua cabul. Gadis-gadis muda tidak bereaksi. Jadi harus-
kah aku pergi ke Paradiso dan berdansa sendirian? Atau
www.facebook.com/indonesiapustaka

haruskah aku… Oh, persetan.


“Ke De Ruysdaelkade,” aku berkata ke si pengemudi
taksi.
Karena perasaan malu, aku meminta si sopir taksi
menurunkanku bukan di sisi jalanan tempat para pelacur
berdiri, melainkan di bagian atas kanal, dan berpura-pura

103
RAY KLUUN

masuk ke sebuah rumah tinggal. Saat taksi tersebut meng-


hilang dari pandangan, aku menyeberang jalan dan, setelah
berjalan bolak-balik sebanyak tiga kali, aku menemukan
para perempuan yang masih bekerja pada waktu malam
seperti ini yang tidak dipilih. Akhirnya aku memilih seorang
perempuan Afrika. Ia memakai gaun negligee hitam yang
kekecilan untuk ukuran payudaranya yang penuh. Saat ia
menanggalkan pakaian, kedua payudara itu merosot sekitar
lima sentimeter, tapi hei, setidaknya payudaranya masih
lengkap dan tidak ada yang terbakar.
Setengah jam kemudian aku menanggalkan pakaianku
di rumah. Aku meninggalkan pakaianku di ruang duduk
dan berjalan ke lantai atas sepelan mungkin. Dengan per-
lahan aku merayap naik ke tempat tidur.
“Malammu menyenangkan?” Carmen bertanya sambil
mengantuk.
“Yap. Berkeluh-kesah dan berdansa. Menyenangkan
rasanya bisa pergi keluar bersama Ramon.”
“Mmmm,” ia berkata dengan suara yang hangat. “Bagus.
Kau pantas mendapatkannya.”
Dalam kegelapan aku mengecup pipinya.
“Selamat malam, Cinta dalam hidupku.”
“Selamat malam, Sahabat baikku di seluruh dunia.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

104
DAN & CARMEN

Memangnya ada apa sih antara laki-laki dan


payudara? Bagaimana mungkin kau bisa begitu
tertarik dengan bagian tubuh itu? Benar deh, itu
‘kan cuma payudara. Setiap orang lain di dunia ini
punya. Bentuknya kelihatan aneh, gunanya untuk
menyusui. Ibumu juga punya. Kau pasti sudah
melihatnya ribuan kali. Jadi buat apa membesar-
besarkan hal semacam itu?
Notting Hill (1999)*

Dua Puluh Empat

Siapa yang akan pernah menyangka bahwa aku akan meng-


habiskan satu minggu liburan di Center Parcs, Port Zélande?
Aku dapat menjelaskannya sesempurna mungkin kepada
orang lain dan diriku sendiri, bahwa itu bukanlah masalah.
Dapatkah kau mengikuti logika tak terhindarkan kami
sejenak?

1. Masih sangat berisiko bagi Carmen untuk pergi


terlalu jauh, terutama dengan kemo yang masih ada
di tubuhnya.
2. Karena wig Carmen, semua tujuan wisata dengan
prakiraan suhu udara di atas dua puluh lima derajat
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak kami perhitungkan.


3. Jenis liburan yang melakukan sesuatu, berjalan-jalan,
bersenang-senang, atau mengunjungi sesuatu adalah
sesuatu yang dilarang, karena usia Luna (satu) dan

* Julia Roberts kepada Hugh Grant. Yang juga dapat kita artikan bahwa Julia sendiri tidak
memiliki buah dada, atau setidaknya yang bisa dilihat dengan mata telanjang.

105
RAY KLUUN

kondisi Carmen (nol).


4. Center Parcs adalah klien MIU, jadi aku dapat
menyatakan bahwa sebagian dari kunjunganku di
sana merupakan riset lapangan.

Selain itu, dalam waktu satu bulan lagi aku akan pergi
bersama teman-teman lelakiku ke Miami, jadi aku pastinya
sanggup bertahan melewati satu minggu di Port Zélande,
aku memperhitungkan.
Salah. Port Zélande tidak menyenangkan. Segala hal
mengenai tempat itu mengecewakan. Orang-orangnya mem-
buatku gila, cuacanya bagus dan sebagai akibatnya jauh
lebih panas untuk wig-gatal, dan Carmen sama mengganggu-
nya dengan wignya, dan untuk membuat pestanya utuh,
Luna baru-baru ini mulai menolak untuk tidur siang, yang
membuatnya kelelahan pada sore hari dan membuatnya
berhenti menikmati segalanya, yang menciptakan dampak
kumulatif bagi seluruh anggota keluarga.
Yang terakhir, yang menambah buruk segalanya, Carmen
harus menelepon dr. Scheltema dalam waktu tiga hari untuk
mengetahui apakah payudaranya bisa diangkat atau tidak.
Begitulah kejadiannya.
Dr. Scheltema, bersama dengan pakar radiologi dan dr.
Wolters, memikirkan sepanjang baris berikut. Bandingkan
hal itu dengan “backburning”, suatu teknik yang digunakan
untuk mengatasi kebakaran semak hebat. Sebuah area dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka

hutan sengaja dibakar untuk menghentikan kebakaran hutan


yang berkobar dan meluas. Segera setelah hal itu dilakukan,
seluruh semak belukar diratakan. Dengan iradiasi payudara
Carmen, dr. Scheltema, dr. Wolters, dan pakar radiologi
tersebut ingin memperoleh dampak yang sangat serupa.
Kemoterapi telah menjamin tumornya mengecil. Setelah

106
DAN & CARMEN

itu, radiasi akan membuat tumor itu lebih kecil lagi se-
demikian rupa sehingga apoteosis keseluruhan proses ter-
sebut bisa membawa hasil: pembuangan tumor dengan
operasi, dan “backburning” pada payudara Carmen.
Dan Carmen mempunyai keuntungan, Scheltema ber-
kata, karena payudaranya cukup besar. Dengan demikian
ada kesempatan lebih besar bahwa melalui amputasi
payudaranya, si pakar bedah pada akhirnya akan dapat
menyingkirkan tumor tersebut secara utuh, yang akan
dimulai dari putingnya.
Dalam waktu tiga hari, pada Kamis pagi, komisi
Scheltema-Wolters akan mengadakan konklaf dengan si
pakar radiologi dan si pakar bedah.
Tidak hanya kedokteran Amsterdam, seluruh lingkaran
lengkap dari teman dan keluarga kami pun ikut terlibat
dalam diskusi sosial yang lebih luas mengenai payudara
istriku. Semua orang berharap para dokter akan memberikan
lampu hijau untuk melakukan operasi (tak seorang pun
menyebutnya amputasi).
“Menurut kabar yang telah kudengar, apakah ada
kesempatan mereka akan mengoperasi Carmen?”
“Ya…”
“Tapi—itu pertanda bagus, bukan?”
“Ya, pada dasarnya, karena awalnya mereka tidak mau
mengambil risiko melakukannya, dan sekarang kemungkin-
an mereka akan melakukannya, jadi benar, itu pertanda
www.facebook.com/indonesiapustaka

bagus.”
“Oh, betapa fantastisnya! Itu akan menjadi luar biasa,
bukan?”
Tenang, tenang! Ya ampun, betapa luar biasanya semua
itu, dan betapa lega Carmen nantinya! Lega karena tak lama
lagi ia tidak dapat menikmati candaan lagi seperti pada

107
RAY KLUUN

waktu aku keluar dari kamar mandi dan ia terbaring tanpa


busana di ranjang dengan cengiran lebar di wajah dan dua
pesan tempel Post-It kuning di putingnya, yang satu ber-
tuliskan “indah”, dan yang satu lagi bertuliskan, “kan?”
Dan kemudian ada diriku juga. Aku akan merasa
sangaaaaat lega!
Lega bahwa selain payudaranya, ada hal lain dalam diri
Carmen yang juga akan teramputasi—kemampuannya untuk
bertindak tanpa batasan, tanpa malu-malu, gairahnya yang
vulgar, sebuah proses yang berjalan saat Carmen kehilangan
rambutnya. Jangan tanyakan alasannya, tapi Carmen men-
dapati dirinya agak kurang menarik ketika ia benar-benar
botak. Meskipun aku senantiasa mengulang bahwa ia cantik
bahkan tanpa rambutnya. Malahan, untuk merayakan
kebotakannya aku mencukur habis beberapa rambut pubis-
nya yang masih tersisa setelah kemo, dan memberitahu
Carmen betapa cantik kemaluannya jika seperti itu. Itu juga
membuat Carmen senang—setidaknya sampai malam per-
tama. Setelah itu, ketidakbahagiaannya akan kepala yang
botak mengalahkan kegembiraannya akan organ kewanita-
annya yang botak. Akhir dari hubungan seks. Luar biasa,
eh?
Setelah operasi amputasi payudaranya, akan diadakan
pesta hebat di kamar tidur. Betapapun seringnya aku
memberitahu Carmen bahwa aku masih menganggapnya
menarik, setiap kali ia menatap ke cermin ia akan melihat
www.facebook.com/indonesiapustaka

bahwa dirinya bukan lagi Carmen.


Carmen takut kehilangan payudaranya, aku takut ke-
hilangan Carmen yang kukenal sekarang. Kegelisahan sepi
yang tidak berani kubagi dengan siapa pun. Mungkin aku
lebih melekat pada pentingnya payudara Carmen daripada
yang aku rasakan pada hidup Carmen?

108
DAN & CARMEN

Dan Carmen dan aku hampir tidak membicarakan soal


operasi tersebut, yang semakin dekat dan semakin dekat.
Kami berdua mengetahui apa yang kami pikirkan saat kami
makan remis di restoran Port Zélande, saat kami berbaring
di pantai, saat kami menonton David Letterman di bungalow
kami pada malam hari—setiap menit kami memikirkan
payudara itu. Masing-masing dari kami menyadari yang lain
juga memikirkannya, dan tak seorang pun mau membicara-
kannya.
Pada malam sebelum kami menelepon, kami berbaring
di ranjang. Aku mencium Carmen dan membalikkan tubuh
di sisi tempat tidurku.
“Haruskah aku mematikan lampunya?”
“Ya, lakukan saja.”
“Selamat malam, Cintaku.”
“Selamat malam, Hartaku.”
Klik.
Beberapa menit berlalu.
“Danny?”
“Ya.”
“Apa kau sudah tidur?”
“Belum.”
“Oh.”
“Ada apa?”
“Menurutmu apa yang akan mereka katakan besok?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku tidak tahu, Sayang.”


“Dan apa yang kau harapkan?”
“Yah, aku berharap mereka mau mengambil risiko untuk
melakukan hal itu.”
“Tapi kau seorang laki-laki pengagum bentuk payudara,
Danny. Dan tak lama lagi kau akan mempunyai istri dengan

109
RAY KLUUN

kepala botak dan hanya satu payudara.”


Aku membalikkan tubuh dan memeluknya erat-erat.
“Aku berharap mereka mengambil risiko itu, Carmen.”
“Sungguh?”
“Sungguh.”
Aku merasakan air mata menetes di pundakku.
“Apa yang kau harapkan akan mereka katakan besok?”
“Aku berharap payudaraku bisa diangkat.”
“Kalau begitu bagus.”
“Tapi agak mengerikan, bukan?”
“…”
“Danny?”
“Yah—itu mengerikan, Sayang. Tapi aku lebih memilih
memilikimu dengan satu payudara daripada tidak me-
milikimu sama sekali.”

***

Hari berikutnya kami berbaring di pantai. Saat itu sudah


tengah hari. Sesekali aku melirik Carmen, tapi tidak berani
bertanya apakah kami harus menelepon mereka sebentar
lagi.
“Aku akan kembali ke bungalow untuk menelepon
mereka,” ia berkata.
“Bukankah lebih baik melakukannya di sini?” aku
www.facebook.com/indonesiapustaka

bertanya, menunjuk ponselku.


Carmen menggelengkan kepala.
“Lebih baik tidak. Aku ingin mendengar dengan tepat
apa yang dikatakan Scheltema, dan di sini sangat berangin.”
Tentu saja ia tidak ingin menelepon dari sini, dasar
goblok, aku membatin. Duduk di pantai indah yang di-

110
DAN & CARMEN

penuhi orang dan mendengar bahwa kau akan kehilangan


payudaramu.
“Haruskah kita kembali ke bungalow bersama-sama?”
aku bertanya.
“Tidak. Lebih baik aku sendirian. Kau tinggallah di sini
bersama Luna.”
Ia menarik rok menutupi bikininya dan berjalan menjauhi
pantai.
Aku mengamatinya sampai ia mencapai tepi hutan dan
menghilang dari pandangan.
Carmen tidak kembali sampai sekitar tiga perempat jam
kemudian. Aku menarik perhatian Luna dengan ember dan
sekop dan air. Rasanya seperti sedang duduk di ruang tunggu
sementara istriku melahirkan.
“Hai,” tanpa terduga aku mendengar suara di belakang-
ku.
“Hai,” aku berkata dan berusaha membaca dari raut
wajahnya apa yang mungkin telah dikatakan Scheltema.
“Mereka belum dapat mengetahuinya.”
“Mereka belum dapat mengetahuinya?”
“Ya. Scheltema bilang si pakar bedah ingin melihat
kondisi payudaraku dahulu sebelum ia memutuskan apakah
mereka harus mengambil risiko untuk mengoperasinya.”
“Ya Tuhan,” aku menghela napas. “Kapan ia akan me-
lakukannya?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Minggu depan. Aku sudah membuat janji temu pada


hari Senin.”
Empat hari lain penangguhan.
“Hm. Mengapa kau lama sekali? Kau pergi selama tiga
perempat jam.”
“Scheltema sedang istirahat makan siang.”

111
RAY KLUUN

We’ll go on, in a lightless trench, to go on again …


Ramses Shaffy, dari Wij zullen doorgaan
(Wij zullen doorgaan, 1972)

Dua Puluh Lima

Si pakar bedah bernama dr. Jonkman. Kantornya berada di


sebelah kantor dr. Wolters, di unit onkologi. Tidak jelek,
menurut Carmen, yang menjilat bibir di belakang laki-laki
itu dan mengedipkan mata ke arahku.
“Lumayan menarik?” aku berbisik dengan pelan di telinga
istriku. Ia mengangguk dengan antusias.
“Jika ia menyentuh puting payudaramu, aku akan meng-
hajarnya,” bisikku. Carmen tertawa.
Jonkman adalah seorang dokter yang menjelma dari
roman rumah sakit. Usianya sekitar empat puluhan, wajah
kekanak-kanakan dengan rambut sepanjang kerah, sudah
mulai beruban di sekitar pelipisnya. Pakaikan dirinya jaket
Paul Smith dan ia akan terlihat seperti orang bagian ke-
uangan di sebuah agen periklanan. Ia dapat membayangkan
situasi yang kami hadapi dengan lebih mudah daripada dr.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Scheltema dan dr. Wolters, yang usianya kira-kira lima belas


tahun lebih tua. Laki-laki ini mungkin memiliki istri sebaya
Carmen dan—melihat dari penampilannya—pastinya luar
biasa cantik. Itulah yang menciptakan ikatan.
Namun ia tetap seorang dokter. Segera setelah ia mem-
buka berkas Carmen—yang sekarang langsung bisa kukenali

112
DAN & CARMEN

dari tampilan luarnya—dan beralih dari Carmen si anak


manusia menjadi C. van Diepen si pasien, ia mulai berbicara
seolah-olah dirinya Perdana Menteri Euro. Ia, memilih kata-
katanya dengan hati-hati, menjelaskan ia hanya akan meng-
operasi jika dirinya yakin betul bahwa upaya itu akan mem-
perbesar peluang Carmen untuk bertahan hidup.
“Anda adalah perempuan muda yang sangat cantik, dan
setelah ablasi”—kami memandanginya dengan bingung—
“itu adalah, eh, amputasi, setelah amputasi, OKE, Anda
akan mendapatkan parut kecil, sekitar sepuluh sentimeter,
secara horisontal di sepanjang tempat yang sekarang
merupakan payudara Anda”—tidak, kami tidak menyukai
mendengar hal itu, kami benar-benar tidak menyukainya—
“dan kemudian mungkin kami dapat memasukkan sebuah
implan payudara, namun keadaannya tidak akan pernah
sama dengan yang sekarang.” Ia berhenti selama sesaat dan
menatap mata Carmen. “Itu adalah upaya mutilasi yang
mengerikan.”
Upaya mutilasi yang mengerikan. Ucapannya membuat-
ku terkesiap, tapi aku menyadari bahwa ia sengaja tidak
menutup-nutupi segala sesuatunya. Ia ingin mengetahui
apakah Carmen siap menghadapinya atau tidak. Aku
menyukai laki-laki ini. Jonkman adalah orang pertama yang
memahami bahwa payudara, bagi seorang perempuan muda
dan suaminya, lebih dari sekadar benjolan dengan—dalam
kasus Carmen—pembengkakan di dalamnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku akan memeriksa payudara Anda.”


Carmen melucuti blus dan bra-nya, lalu pergi dan
berbaring di sebuah meja periksa sempit di ruang operasinya.
Jonkman mulai merasakan payudara istriku dengan tangan-
nya. Carmen mengedip ke arahku, dan aku tersenyum.
“Hmm…” ia berkata setelah beberapa saat. “Oke. Silakan

113
RAY KLUUN

kenakan pakaian Anda kembali.” Dr. Jonkman mencuci


tangan. “Menurut perkiraan saya sekarang ini ukuran
tumornya adalah enam kali dua sentimeter.”
“Lalu…?”
Carmen tidak berani mengakhiri pertanyaannya.
“Menurut saya, kita harus mengambil risiko dan, untuk
mengoptimalkan kesempatan Anda bertahan hidup, me-
lanjutkan amputasi payudaranya.”
Carmen tidak menunjukkan reaksi emosional, tapi aku
dapat melihat bahwa itu hantaman keras. Dengan cepat
Jonkman meneruskan. “Ablasinya bisa dilaksanakan pada
minggu ketiga bulan Oktober,” ia berkata, melirik sebuah
daftar yang tergantung di dinding, “walaupun aku sendiri
sedang libur pada saat itu. Yang artinya dr. Wolters yang
akan melakukan operasi.”
Penyebutan nama Wolters dalam kombinasi dengan kata
operasi cukup untuk membuat tangis Carmen pecah.
“Lebih baik tidak,” aku berkata dengan muram.
“Mengapa tidak?” tanya Jonkman, terkesiap. Aku dapat
melihat dari ekspresi mukanya bahwa ia tidak mengetahui
hal itu sedikit pun. Si kikuk itu. Wolters dan Scheltema
rupanya merahasiakan hal itu baik-baik.
“Satu tahun yang lalu, dr. Wolters membuat kesalahan
saat mendiagnosis kondisi istriku. Itulah alasannya kami
berada di sini sekarang. Istriku dan aku tidak mau orang itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

dekat-dekat dengan tubuhnya sedikitpun.”


Sambil terisak, Carmen menatap lantai. Jonkman dengan
cepat mendapatkan kembali sikap profesionalnya.
“Baiklah. Kalau begitu saya yang akan mengoperasi Anda,
satu minggu kemudian,” ia berkata tanpa mengungkapkan
pertanyaan lebih lanjut.

114
DAN & CARMEN

Carmen mengangguk dan berbisik, hampir tidak ter-


dengar, “Itu bagus—terima kasih.”
“Asisten saya akan mengatur tanggal pastinya bagi Anda.”
Operasinya ditetapkan pada Kamis, 31 Oktober.
Empat hari setelah Miami, tiba-tiba tanggal itu melesat
masuk ke dalam kepalaku. Jadi lebih baik aku melupakan
hal itu. Kanker sialan. Satu payudara dan akhir pekan paling
baik dalam tahun ini, keduanya hilang dalam satu kali
percakapan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

115
RAY KLUUN

When I’m out in the streets,


I talk the way I wanna talk,
when I’m out in the streets,
I don’t feel sad and blue,
when I’m out in the streets,
I never feel alone,
when I’m out in the streets,
in the crowds I feel at home …
Bruce Springsteen, dari Out in the Street (The River, 1980)

Dua Puluh Enam

Dan pada hari kedelapan, Tuhan menciptakan Miami.


Yeah, pastinya, dan aku di sana! Ocean Drive, Miami
Beach, Florida.
Di dalam taksi menuju Ocean Drive, Ramon, Hakan,
dan aku tidak dapat memalingkan kepala cukup cepat untuk
memandangi semua gadis menawan di sekitar kami. Benar-
benar menggiurkan, bahkan Frank pun menyepakati.
Carmen sendiri yang mengangkat topik itu. “Pergilah
bersama teman-temanmu, mumpung kau bisa pergi. Setelah-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya akan ada operasi, dan setelah itu aku akan membutuh-
kanmu,” ia berkata. Aku melompat tinggi ke udara, dan
keesokan harinya aku membeli semua mawar di toko bunga
di seberang Stadion Olympic. Carmen merasa sangat
terkesan hingga ia bertanya apakah aku tidak ingin pergi
berakhir pekan ke luar negeri setiap bulan.

116
DAN & CARMEN

Kami menginap di Pelican Hotel. Warna hotel itu adalah


hijau mint. Hotel di sampingnya berwarna merah muda,
dan sampingnya lagi berwarna biru pucat. Seorang pelayan,
dengan rambut pirang gelap dan payudara raksasa yang
mencuat dari balik T-shirt putih merek Diesel berkerah-V-
nya, datang menuruni anak tangga menuju teras. Ia melihat-
ku menatapnya, tertawa lalu berkata, “Hai.” “Hai,” aku
balas menyapa.
Gadis yang duduk di balik meja resepsionis berasal dari
Puerto Rico. Tuhan maha pengasih, mereka tidak mirip
dengan gadis-gadis yang bekerja di Hans Brinker Hotel di
Amsterdam. “Tuhan, aku tidak pantas mendapatkan semua
ini,” Ramon tergeragap. Gadis itu tertawa, memperlihatkan
giginya, dan menyerahkan kunci kepada kami. Aku merasa
tepat seperti yang kurasakan dua puluh tahun lalu, pertama
kalinya aku pergi ke Lloret de Mar.
Karena Ramon dan aku dicurigai memiliki ketertarikan-
di-malam-hari yang sama, Frank menempatkan kami dalam
satu kamar. Kami diberikan “Kamar Bordil Terbaik”. Semen-
tara Frank dan Hakan mengambil kamar ”menyedihkan”.
Kedua kamar itu tidak besar, tapi tempat ini lebih me-
rupakan tempat bersenang-senang daripada tempat yang
nyaman, demikian Frank menjelaskannya kepadaku.
Setiap orang telah diberi instruksi untuk mandi pancuran
cepat dan kembali dalam waktu setengah jam. Frank sudah
memesan tempat di Delano, dan kelihatannya mereka
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengharapkan para tamu untuk muncul tepat waktu.


Dan untuk berpakaian dengan pantas, aku menyadari
hal itu saat melihat Frank dan Hakan. Frank mengenakan
jaket hitam bergaris-garis, dan dengan bangga menyebutkan
mereknya—seorang perancang Jepang yang belum pernah
kudengar sebelumnya. Secara kasual, ia menyebutkan bahwa

117
RAY KLUUN

dirinya membelinya di Madison Avenue di Manhattan.


Hakan berkata bahwa itu adalah jaket yang bagus, tapi jaket-
jaket merek lain—yang juga belum pernah kudengar, dan
kebetulan Hakan sedang mengenakan kemeja dan sepatu
dari merek yang sama malam ini—lebih bagus lagi. Jelas
sekali, aku mempertahankan sepatu kulit ularku. Dan celana
putih serta kemeja ungu yang mungkin tidak seharga pakaian
Frank, tapi aku menganggap diriku cukup keren untuk
mengecek harga pasaranku di antara perempuan-perempuan
Miami. Ramon mengenakan T-shirt ketat. Kaus itu benar-
benar sesuai dengan dirinya. Untungnya, dalam hal per-
saingan, ia juga mengenakan celana kulit hitamnya, yang
sangat ketinggalan zaman ketika Ajax bermain di stadion
lama mereka, De Meer.

***

Selama makan malam, di luar di bawah pohon-pohon palem


di sekitar kolam renang Delano, kami terlibat dalam
percakapan mendalam pertama kami. Dapatkah Belanda
keluar menjadi pemenang dalam Piala Eropa (aku: ya,
Ramon dan Hakan: tidak, Frank: tidak tahu); bagaimana
kabar MIU (Frank: fantastis!, aku: oke); siapa, saat kami
masih ada di BBDvW&R/Bernilvy, yang sudah pernah
meniduri Sharon (aku: aku, Ramon: tentu saja! Hakan:
cuma seks oral, Frank: persetan!); apakah hotel St. Martin’s
www.facebook.com/indonesiapustaka

Lane di London lebih keren daripada Delano (aku: tidak


tahu, Ramon, tidak tahu, Frank: tidak, Hakan: ya) dan
apakah kami akan menelan ekstasi yang dibawa Ramon
malam ini (aku: ya! Ramon: benarkah? Kupikir kau tidak
mau, aku: jangan cerewet dan bagi aku sebutir, Hakan:
tidak malam ini, Frank: tentu saja tidak). Ramon memberiku

118
DAN & CARMEN

sebutir pil. Aku agak gugup. Sampai titik ini di dalam


hidupku, aku hanya pernah mengonsumsi alkohol. Carmen
mengecam segala hal yang berkaitan dengan narkoba. Aku
menelan pil tersebut dengan seteguk bir. Frank menatapku
dan menggelengkan kepala.

>> Delano—dilafalkan Dèlano, pastinya bukan Deláááno, seperti


yang kuucapkan—jauh lebih mahal dibandingkan Pelican. Itu
karena Delano merupakan salah satu hotel milik Ian Schrager, Hakan
memberitahuku. Ia mengucapkan nama itu dengan rasa hormat
sehingga aku tidak jadi menanyakan memangnya siapa si Schrager
ini. Para pelanggan Delano terdiri atas agen-agen perumahan Ocean
Drive, para pekerja periklanan, dan penggembira dunia usaha. Tidak
ada yang tertawa. Makanan, koktail, dekor, dan para perempuan di
Delano benar-benar mahal. Tapi uang bukan masalah pada akhir
pekan ini, kami memutuskan.

Kami pergi ke Washington Avenue, di balik Ocean Drive.


Di sanalah sebagian besar kelab malam serta disko di Miami
Beach berada, setidaknya menurut Frank, yang biasanya
mengetahui hal-hal seperti itu. Bagaimana ia mengetahui
semua itu masih merupakan misteri bagiku, tapi ia benar-
benar mengetahuinya. Kami tampaknya mengarah ke Chaos,
tempat di mana segalanya terjadi (menurut Frank). Hakan
menggumamkan keberatan. Ia bilang ia mendengar pelayan
bar di Delano berkata bahwa Washington Avenue sudah
passé—ketinggalan zaman, dan kami seharusnya pergi ke
Club Tantra, di bagian kota yang sama sekali berbeda.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ramon dan aku langsung menolak keberatan Hakan; kami


sudah mengamati dengan senang bahwa di sana ada
sekumpulan gadis cantik yang sedang berdiri dalam antrean
panjang di luar Chaos. Berdiri di balik tali beledu, dengan
tangan bersedekap, seorang kerabat Mr. T mengamati. Aku
tidak tahu mengapa, tapi aku setengah mati ingin masuk.

119
RAY KLUUN

Jelas sekali Ramon juga. Ia beringsut ke depan dan langsung


memulai ocehannya mengenai “aku bekerja sebagai DJ di
RoXy di Amsterdam”.

>> RoXy. RoXy dapat disamakan dengan Marco van Basten, yang,
karena terluka parah (luka bakar derajat ketiga), harus pensiun lebih
cepat. Oleh karenanya, seperti Marco pula, tempat itu memperoleh
status mengesankan. Aku mendengar banyak cerita mengenai kelab
tersebut, tapi tidak pernah pergi ke sana. Aku kehilangan
kesempatan mengunjungi RoXy. Carmen bukan penggemar house
music. Begitu juga aku, walaupun harus kuakui rasa ketertarikanku
membuncah ketika aku bahkan mendengar Frank berkata dengan
penuh semangat mengenai gadis-gadis cantik yang biasa pergi ke
tempat itu. Ramon juga pergi ke sana setiap minggu, setelah
menjalan tur ke Leidseplein bersamaku. Kemudian aku pergi ke
Paradiso untuk berdansa diiringi lagu band The Cure bersama
perempuan-perempuan jelek. Dan sekarang terlambat sudah. Aku
harus cukup puas hanya dengan mendengar cerita Ramon dan
Frank.

Tanpa memandang ke arahnya, Mr. T jelas menunjukkan


dengan anggukan kepala bahwa kami harus kembali ke
belakang antrean, setelah itu baru bertanya kepadanya
apakah ia akan membiarkan kami masuk saat nanti kami
berada di barisan terdepan.
Setengah jam kemudian, ia tidak akan membiarkan kami
masuk.
“Kalian berempat?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ya.”
“Tidak boleh masuk.”
Ramon bermaksud memukul laki-laki itu, tapi sadar tepat
waktunya bahwa itu bukan rencana yang baik. Aku tidak
menganggapnya lucu. Aku harus masuk ke dalam sana. Aku
tidak akan meributkannya, terutama di depan Frank, tapi

120
DAN & CARMEN

jika aku harus menghabiskan lima menit lagi menunggu di


dalam antrean, aku akan melompat-lompat seperti Tigger
di buku cerita Luna.
Tepat di sebelah Chaos ada Liquid. Waktu kami turun
dari taksi hanya ada sekitar lima orang yang mengantre di
sana, Frank mengingatnya. Sekarang di sana ada antrean
yang panjangnya seperti saluran di sekitar lapangan di
ArenA. Sial. Dan demi Tuhan, efek dari pil yang kuminum
mulai terasa. Hakan berusaha membujuk kami agar masuk
ke dalam taksi menuju Tantra. Kami tidak menjawab, dan
terus melangkah di sepanjang Washington Avenue. Setiap
kali kami melewati sebuah kelab Hakan memprotes. Terlalu
banyak orang, tidak ada cukup orang, kelihatannya tidak
bagus, kelihatannya kampungan, dan seterusnya. Untungnya
Frank mengancam untuk pulang jika kami tidak masuk ke
kelab pertama yang kami dapatkan sekarang juga. Namanya
Bash. Tidak ada antrean, dan ocehan Ramon soal DJ
berpengaruh pada centeng penjaga pintu.
“RoXy yang itu?”
“Yeah, Bung! Di Amsterdam.”
“Jadi, apa musik yang kau putar di RoXy?”
“Jenis deep house. Setiap hari Kamis.”
“Setiap hari Kamis?”
“Yeah, aku memutar rangkaian lagu selama lima jam
minggu lalu!”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Benarkah?”
“Yeah!”
“Bukankah RoXy terbakar sampai habis beberapa waktu
lalu?”
Hening.
“Hahaha, masuklah, dasar kau bajingan bangsat penjilat.”

121
RAY KLUUN

Bahkan Ramon pun terdiam. Dengan patuh kami masing-


masing membayar tiket masuk seharga dua puluh dolar,
tidak terlalu mahal untuk ukuran Miami. Pertanda buruk.
Dan sudah merupakan pertanda buruk bahwa kami
diizinkan masuk sebagai kelompok yang berisi empat orang
laki-laki.
Di toilet, kami membenahi pakaian kami, mengecek
tatanan rambut kami dari segala sisi, beradu tos sambil
berseru “yo!” dan “kawanku!” lalu melangkah, dengan
penuh semangat, melewati sebuah pintu besar berwarna
hitam menuju ruangan utama. Hanya ada sembilan orang
di sana. Termasuk kami.
Segera saja Hakan mulai menggerutu. Ramon mengamati
dua gadis yang duduk di bar, aku menari sendirian di lantai
dansa dan Frank berjalan dengan langkah berat kembali ke
gadis yang berada di gerai tiket. Akan ada lebih banyak
orang di tempat ini dalam waktu setengah jam, katanya
memberitahu kami saat kembali.
Dan Frank benar. Setengah jam kemudian jumlah
pengunjungnya bertambah menjadi tiga belas orang. Hakan
mulai mendesak agar kami pergi dari tempat menyedihkan
ini. Frank berkata jetlag-nya membuatnya merasa penat.
Hal itu tidak memengaruhi Ramon dan aku. Kami berdisko
seperti kilat.
Lampu di Bash terus menyala sampai pukul tujuh pagi.
Ramon pergi bersama seorang gadis; aku berjalan, basah
www.facebook.com/indonesiapustaka

kuyup oleh keringat dan dengan senyum yang tersungging


lebar di wajah, dari Washington Drive menuju Ocean Drive.
Aku belum tidur selama hampir tiga puluh jam. Aku
mengalami malam yang fantastis, aku bahkan belum
berselingkuh, dan aku lebih miskin sekitar empat ratus dolar.
Yah, peduli amat. Aku meraih bir dari minibar dan

122
DAN & CARMEN

menghempaskan tubuh di atas ranjang, tempat aku mencoba


untuk bermasturbasi. Gambaran diriku bersama Sharon,
Maud, dan Carmen satu tahun yang lalu berkelebat berganti-
gantian. Setengah jalan aku tertidur dengan kemaluan
setengah tegak di tangan dan sekaleng penuh bir di atas
meja di samping tempat tidur.
www.facebook.com/indonesiapustaka

123
RAY KLUUN

You think that I’m strong, you’re wrong …


Robbie Williams, dari Strong (The Ego Has Landed, 1999)

Dua Puluh Tujuh

Satu setengah jam kemudian aku terbangun lagi. Terjaga


penuh. Hari itu terasa bergerak sangat lambat bagiku.
Ramon belum tiba. Aku mengangkat telepon dan menekan
nomor Thomas serta Anne, tempat Carmen menginap akhir
pekan ini.
“Hai, ini Anne.”
“Hai, Anne, aku Danny!” aku berseru dengan antusias.
“Oh. Hai, Dan. Akan kupanggilkan Carmen untukmu,”
kata Anne, agak kurang antusias. Apakah aku sudah mem-
bangunkannya? Tidak, di Belanda saat ini masih petang.
“Hai,” kata Carmen. Aku merasakan sebuah jarak di antara
kami, tapi bertingkah seolah-olah aku tidak menyadari apa
pun dan berkata bahwa hotelnya benar-benar gila dan ada
house music yang diputar di sini sepanjang waktu, bahkan di
toilet. Sambil tertawa, aku memberitahunya mengenai makan
malam di Delano, dan tentang acara bersenang-senangnya,
dan aku berkata bahwa aku kelelahan saat ini. Carmen hampir
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak bereaksi. Aku menanyakan apa yang dilakukannya


bersama Thomas dan Anne. Dengan nada datar yang tidak
kuketahui ternyata dimilikinya, ia memberitahuku bahwa
mereka duduk di rumah, rasanya menyenangkan, dan mereka
berbincang-bincang serius. Selama beberapa saat aku bertanya-
tanya apakah aku salah menekan nomor Anne.

124
DAN & CARMEN

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi, dan ber-
tanya kepadanya ada apa, dan apakah aku telah mengatakan
atau melakukan sesuatu yang salah. Aku mendengarnya
bertanya kepada Thomas apakah ia dapat menggunakan
telepon di kamar mandi sejenak. Ada jeda panjang. Kemudian
aku mendengar bunyi klik dan ia kembali: “Aku merasa sangat
menyedihkan, Dan,” ia berkata, meniup hidungnya. “Aku
merasa jauh lebih berat daripada yang kusangka—akan
gagasan dirimu berkeliaran di sekitar gadis-gadis seksi dengan
payudara besar sementara aku duduk di sini dengan kepala
botak dan puting payudara yang terbakar…”
Aku berkata aku tidak tahu harus berkata apa. Dan aku
belum meniduri satu gadis pun.
“Kau mengatakannya seolah-olah itu adalah sebuah
pencapaian,” bentaknya. Aku mendengar helaan napas.
Kemudian, dalam suara yang agak lebih ramah, ia berkata,
“Biarkan aku sendirian dulu. Semuanya akan baik-baik saja.
Bersenang-senanglah di sana dan sampaikan salam sayangku
kepada Frank.” Ia berusaha membuatnya terdengar setulus
mungkin. Aku berkata aku mencintainya dan sampaikan
salamku kepada Thomas serta Anne. Carmen diam selama
sesaat.
“Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus, Dan,” katanya
sebelum mengakhiri pembicaraan.

***
www.facebook.com/indonesiapustaka

Di lantai bawah, Hakan dan Frank sudah duduk dalam


balutan celana renang, menyantap sarapan di teras. Aku
bergabung bersama mereka. Kami makan bersama dan
kemudian pergi ke pantai. Di sana kami berpapasan dengan
Ramon dan tubuh atletisnya yang mengganggu. Dengan
cengiran lebar ia memberitahu kami bahwa ia sudah

125
RAY KLUUN

meniduri gadis yang dibawanya sepanjang malam dan


sepanjang pagi, dan belum tidur semenit pun.
Di pantai, Frank membaca Wallpaper, sebuah majalah
yang belum pernah kudengar. Majalah itu dipenuhi benda-
benda yang bisa kukenali dari griyatawangnya. Hakan,
Ramon, dan aku membicarakan hal-hal penting dalam
hidup. Haruskah Ajax mempertahankan formasi 4–3–3 atau
tidak, berapa persen para perempuan yang mengulum,
berapa persen laki-laki dan perempuan yang suka ber-
selingkuh. Aku menyampaikan pendapatku berapi-api,
dengan lantang mengungkapkan teori ala Danny satu demi
satu. Kemudian Ramon mengangkat subjek mengenai
seberapa sering kami berhubungan seks dengan istri-istri
kami. Hakan mengatakan empat kali seminggu, Ramon
enam kali (Hakan: “Tidak, saat kau bercinta dengan istrimu
saja!”). Tepat sebelum giliranku tiba, aku berkata aku harus
buang air kecil, dan menceburkan diri ke laut dengan niat
untuk kencing di sana.

***

“Danny, apa kau mau ikut minum?” Frank bertanya saat


kami kembali ke Pelican. Ramon dan Hakan memilih untuk
tidur. Frank memesan dua margarita dari Pelayan Favorit
Kami. “Kau tidak bertingkah seperti dirimu sendiri.”
Aku memandangi belahan dada si pelayan ketika ia
www.facebook.com/indonesiapustaka

menundukkan badan untuk meletakkan margarita kami.


“Aku tidak bermaksud pergi sejauh ini ke Miami hanya
untuk membicarakan soal kanker.”
“Aku mengerti. Apakah kau sudah menelepon Carmen
sejak tiba di sini?”
“Pagi ini,” aku menghela napas. “Ia tidak senang. Dan

126
DAN & CARMEN

begitu juga Anne.”


“Aku tidak terkejut,” Frank menjawab. “Anne meng-
anggap kepergianmu ke Miami seolah tidak ada sesuatu
pun yang terjadi sebagai hal yang konyol. Begitu juga dengan
Thomas. Ia tak bisa memahami kenapa kau tidak terganggu,
mengapa kau baik-baik saja.”
“Demi Tuhan!” aku berteriak. “Aku tidak baik-baik saja
sama sekali!”
Frank meletakkan satu tangan di atas bahuku. “Kau tidak
perlu menjelaskan hal itu kepadaku.”
Dalam sekejap, aku memuntahkan segalanya. Aku mem-
beritahu Frank betapa tak tertahankannya bahwa aku dan
Carmen tidak pergi keluar untuk minum bersama-sama lagi,
tidak pergi keluar untuk makan lagi, dan tidak pernah
berhubungan seks lagi. Frank mengangguk.
“Dapatkah kau bayangkan apa yang akan terjadi nanti
saat payudaranya diangkat, Frank?” aku melanjutkan.
“Bahkan setelah kankernya hilang, Carmen tidak akan
pernah menjadi orang yang sama. Dan aku berpikir
hubungan kami akan hancur berantakan—”
Ia meremas tanganku. Kami saling memandang. Aku
dapat melihat air mata Frank menggenang. Kami tidak
mengatakan satu patah kata pun. Saat itu adalah momen
paling indah di Miami.
Kami mendentingkan gelas masing-masing dan menyesap
margarita kedua kami, yang baru saja diletakkan Pelayan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Favorit Kami tanpa kami minta.


“Ia benar-benar menarik, tapi payudara Carmen lebih
besar,” aku berkata saat gadis itu menaiki tangga dari teras.
“Setidaknya saat ini …”
Margarita Frank tumpah ke seluruh meja.

127
RAY KLUUN

I’ll be home on a Monday,


somewhere around noon,
please don’t be angry…
The Little River Band, dari Home on a Monday
(Diamantina Cocktail, 1977)

Dua Puluh Delapan

Malam harinya, kami berhasil mendapat meja di Tantra,


berkat para lelaki di Pelican. Itu merupakan restoran Turki,
dan makanan Turki benar-benar sedang naik daun di Miami,
begitulah menurut pelayan bar Pelican. Hakan membuncah
karena bangga.
Setelah makan malam, Tantra kelihatannya menjadi
tempat yang sangat ramai malam ini. DJ-nya adalah Roger
Sanchez, Hakan mengumumkannya dengan sukaria. Frank
sama antusiasnya. Aku tidak tahu siapa laki-laki itu.
Pengetahuanku soal DJ sama dengan pengetahuan Clarence
Seedorf* soal penalti. Namun harus kuakui bahwa makanan
di Tantra rasanya fantastis. Begitu juga dengan Roger
Sanchez. Dan begitu pula dengan para perempuannya. Dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

pil-pil itu di atas segalanya. Aku bahkan merasa lebih rileks


daripada yang kurasakan kemarin. Aku memberitahu kawan-
kawanku betapa brilian liburan kami ini, dan kami harus
melakukannya setiap tahun, dan tahun depan kami bisa

* Pemain bola keturunan Belanda-Suriname. Egonya adalah satu-satunya hal yang lebih tinggi
daripada tendangan penaltinya yang sering melebihi mistar gawang.

128
DAN & CARMEN

pergi ke Barcelona atau New York. Tidak, Tel Aviv, kata


Hakan, tempat itu sangat populer akhir-akhir ini. Tidak,
Rio, kata Ramon. Ya, Rio, aku berkata. Kemudian kami
berkata kami saling mencintai dan tidak akan meninggalkan
yang lain dalam kemalangan dan setelah itu Ramon berkata
bahwa ia ada janji kencan dengan gadisnya yang kemarin,
dan sekarang langsung pergi. Frank menghunjamkan tatapan
setajam belati ke arahnya. Aku melihat satu gadis montok
dengan blus hitam yang transparan. Setelah tiga kali bertukar
tatapan riang dengan gadis itu, aku pun berdiri. Ia memakai
bra hitam (cup C) di balik blusnya.
“Hai. Siapa namamu?” aku berkata, seorisinal mungkin.
“Aku Linda. Dan kau?”
“Dan,” aku menjawab, tiba-tiba tersadar bahwa aku sama
sekali tidak punya bahan pembicaraan lagi dengannya. Aku
tidak dapat membayangkan jenis pertanyaan yang seharus-
nya kuutarakan kepada bocah perempuan seperti ini.
“Dari mana asal kalian?” ia bertanya. Oh, yeah. Pertanya-
an seperti itu.
“Amsterdam.”
“Saudariku pernah ke sana! Ia bilang Denmark merupa-
kan negara yang menyenangkan.”
“Ya, benar,” aku setuju, malu pada diri sendiri dan lega
teman-temanku tidak mendengar percakapan ini. Tapi
bagiku itu bukan masalah, dan aku bisa mengatakan bahwa
kecerdasan tidak akan dianggap penting malam ini.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Dan dari mana asalmu?” aku bertanya. Mengapa aku


harus susah-susah?
“Carolina Utara. Tapi aku pindah ke Florida musim panas
tahun ini. Aku suka cuacanya dan suka pantainya.”
“Ah—yah!” aku menjawab. Apa sih yang kulakukan di
sini?

129
RAY KLUUN

Sekonyong-konyong gadis itu merengkuh leherku dan


memagut bibirku.
Oh yeah. Itu sebabnya aku di sini. Sekarang aku ingat.
Aku merengkuhnya erat ke tubuhku. Ia terasa cukup berisi.
Temannya mengedipkan mata ke arahnya dengan kagum.
Itu adalah tes pertama yang lolos. Aku tidak begitu yakin ia
akan lolos tes dari Hakan dan Frank, jadi dengan cepat aku
mendorongnya ke sebuah sudut di depanku. Pada saat itu,
aku baru melihat bahwa ia memiliki bokong yang luar biasa
besar. Begitu kami tidak terlihat dari pandangan aku mulai
menghujaninya dengan ciuman. Tanganku merayap ke bahan
lembut blus hitam tembus pandangnya. Ia menjauh dari
pelukanku selama sesaat, dan dengan malu-malu berkata
bahwa dirinya tidak terlalu ramping. Kau pasti tidak ber-
canda, pikirku, tapi aku berkata bahwa aku tidak menyukai
perempuan kurus, lalu mencubit bokongnya. Ia tertawa
genit karena malu. Kemudian aku meraih tangannya,
meletakkan telapaknya di mulutku lalu mulai menjilatinya.
Kemudian ketika menyadari apa yang kuinginkan, ia mulai
cekikikan.
“Kau nakal,” ia berkata sambil menggelengkan kepala.
“Trims,” aku berkata. Waktunya untuk pergi.
“Apa kau sudah menikah?” ia bertanya saat kami berada
di dalam taksi menuju Pelican.
“Tidak,” aku berkata, meletakkan tanganku yang ber-
cincin kawin ke belakang punggung gadis itu. Setelahnya aku
www.facebook.com/indonesiapustaka

memasukkan lidahku ke dalam mulutnya takut kehilangan


momentum seksual. Pada saat bersamaan aku menggeliang-
geliut di belakang punggungnya sampai aku berhasil men-
copot cincinku dan meletakkannya di saku celanaku.
Di dalam lift aku membuka kancing blusnya dan men-
dorong bra gadis itu ke atas payudaranya. Linda mempunyai

130
DAN & CARMEN

areola yang besar. Aku menyukainya. Dan Linda bergairah.


Aku juga menyukainya. Terengah-engah, ia memerosotkan
celanaku dan berlutut. Tepat saat ia memasukkan kemaluan-
ku, yang sekarang sudah sekeras kursi penonton di ArenA,
ke dalam mulutnya, pintu lift terbuka dan aku mendapati
diriku menatap lurus ke mata Frank. Tatapan Frank jatuh
ke kepala Linda, yang sedang bergerak naik turun. Linda
yang menyadari kebekuanku segera mendongak dengan
kaget dan merona seperti akar bit. Dengan sembarangan
aku menarik celanaku dan menjejalkan isinya yang tegak.
“Linda, Frank. Frank, Linda.”
“Hai, Linda,” kata Frank, langsung menatap payudara
Linda.
“Hai, Frank,” kata Linda, mengancingkan blus tembus
pandangnya.
“Jadi. Sudah cukup ngobrolnya,” aku berkata dengan
cepat. “Sampai besok, Frank!”
Frank mengangguk.
“Dah, Frank,” kata Linda.
“Dah, ah…”
“Linda.”
“Dah, Linda.”
Aku berjalan menyusuri koridor sambil bergandengan
tangan dengan Linda. Aku merasakan tatapan Frank di
belakang kami. Aku mengambil kunci “Kamar Bordil
www.facebook.com/indonesiapustaka

Terbaik”-ku, dan menghabiskan malam dengan memberi


Linda dari Tampa, Florida, seks terbaik sepanjang masa.

***

Ramon yang memasuki kamar membuatku terbangun.


Dengan gugup aku mengecek ke arah sampingku. Fiuh.

131
RAY KLUUN

Linda sudah pergi. Ramon akan menertawakan si gemuk


Linda dan aku. Ia menghempaskan tubuh di tempat tidur,
tempat Linda dan aku baru saja saling menukar cairan tubuh.
Ramon terlalu lelah untuk merasakan kelembapan di sana,
dan jatuh tertidur. Aku tidak bisa tidur. Aku bangkit,
mengambil celana dari lantai lalu meraba-raba saku celana
sebelah kiri.
Mendadak saja aku bagai tersengat aliran listrik. Cincinku
tidak ada di sana. Saku sebelah kanan. Tidak ada. Aku mulai
berkeringat. Saku belakang. Di sana juga tidak ada.
Kemudian aku menelungkup dan melihat bagian bawah
tempat tidur dan di bawah pemanas ruangan. Ramon
terbangun dan menanyakan apa yang sedang kulakukan.
Aku bilang aku mencari lensa kontakku. Ia tertidur lagi.
Aku menggeledah saku-sakuku lagi. Dan lagi. Laci di meja
di samping tempat tidur. Kamar mandi. Tak ada di mana
pun. Sial. Berpikirlah, Danny, berpikirlah. Di mana
kemungkinan aku telah kehilangannya… Perempuan itu!
Linda! Sapi itu mencuri cincinku! Oh, Tuhanku! Oh, tidak.
Carmen….
Aku menelungkup lagi dan mengamati seluruh per-
mukaan lantai. Kemudian aku kembali berbaring di tempat
tidur. Benar-benar bencana nasional. Akhir dari hubungan
Carmen dan Danny. Aku terdorong untuk membunuh diriku
sendiri, tapi aku tidak perlu, karena Carmen yang akan
membunuh diriku terlebih dahulu. Cincin kawinku hilang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku tak akan bisa mengarang-ngarang omong kosong untuk


menyelamatkan diri sendiri kali ini.

***

Di lantai bawah, Hakan dan Frank sudah memulai sarapan


mereka di teras.

132
DAN & CARMEN

“Terjaga sampai malam?” tanya Hakan. “Tiba-tiba saja


aku kehilangan kalian semua.”
Hal itu tidak dapat dibandingkan dengan apa yang telah
hilang dariku, pikirku dalam hati.
“Begitulah,” aku berkata, lega karena jelas sekali Frank
tidak mengatakan apa pun mengenai kejadian di dalam lift.
Frank menatapku dengan pandangan aneh. Aku menyayangi
si bajingan itu. Ramon muncul di lantai bawah dan men-
ceritakan apa yang dilakukannya dengan teman kencannya
tadi malam secara mendetail. Ada banyak tawa. Aku ikut
tertawa, tapi rasanya aku sangat ingin menangis. Mana yang
lebih buruk? Ramon yang mengkhianati teman-temannya
karena menghilang selama setengah akhir pekan karena ia
lebih memilih untuk meniduri beberapa pelacur, atau aku
yang mengkhianati istriku karena mencopot cincin kawin
kami hanya karena takut kehilangan satu hubungan seks
dengan pelacur yang lain? Kukuruyuk (tiga kali).
Selama beberapa jam terakhir sebelum kami menuju
bandara, Hakan, Frank, dan Ramon ingin pergi ke pantai.
Aku melangkah dengan gontai bersama mereka. Kami
berbaring di sana. Ramon dan Hakan membahas mobil,
Frank membaca majalah laki-laki. Aku memandangi lautan,
merasakan air mataku bisa menetes sewaktu-waktu.
“Aku mau jalan-jalan sebentar.”
Ramon mengangguk, Hakan terus berbicara, dan Frank
tidak mendongak dari majalahnya. Bukankah biasanya Frank
www.facebook.com/indonesiapustaka

menyadari keadaanku? Mungkin ia sadar, tapi itu bukan


masalah. Aku tidak ingin mengobrol. Beberapa ratus meter
jauhnya aku menengok ke belakang untuk mengecek apakah
mereka dapat melihatku. Kemudian aku duduk di atas pasir
panas dan merasa seakan-akan aku adalah laki-laki kesepian
paling menyedihkan di dunia. Tiga hari penuh tawa dengan

133
RAY KLUUN

teman-temanku hampir berakhir, alkohol dan ekstasi telah


meninggalkan sistem tubuhku, seorang perempuan yang
baru saja berteriak-teriak puas telah merampokku, dan besok
aku akan dibunuh di rumah. Aku melihat air mataku
menetes di permukaan pasir di antara kakiku.

***

Kami berpisah di Schiphol. Di dalam taksi keringat dingin


mulai membanjiriku. Sekitar sepuluh menit lagi dan aku
akan sampai di rumah. Apa yang harus kukatakan? Bahwa
aku mencopot cincin itu saat aku pergi ke laut? Atau saat
melewati detektor metal di tempat disko? Taksinya berhenti
di Rumah Sakit VU. Beberapa menit lagi. Untungnya lampu
merah menyala. Atau aku dapat mengatakan bahwa—
Aku mendapat SMS. PONSEL FRANK.

Coba raba saku sebelah kiri jaketmu.

Aku meraba-raba dengan cepat. Tidak ada apa pun. SMS


lain.
Maksudku saku sebelah kanan ;)

Buru-buru aku merasakan sakuku yang lain. Aku


merasakan—Ya! Cincinku! CINCINKU! Cincin kawinku
sendiri yang cantik, indah, dan luar biasa.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ada SMS lain yang masuk.

Aku menemukannya di dalam lift di Pelican. Dan,


Dan—berhentilah melakukannya.
Semoga berhasil hari ini.
X

134
DAN & CARMEN

Girls, they finish us off, sir,


they drive us round the bend, sir, girls do …
Raymond van’t Groenewoud, dari Meisjes
(Nooit meer drinken, 1977)

Dua Puluh Sembilan

Aku tidak tahu apakah intuisi perempuan begitu hebatnya


seperti yang terkadang ditakuti laki-laki. Carmen bahkan
tidak menanyakan dengan sambil lalu apakah aku berbuat
serong saat aku sampai di rumah. Sebaliknya, ia meminta
maaf karena sudah bersikap kasar di telepon.
Dulu aku pernah mengaku. Soal Sharon.

>> Sharon adalah resepsionis di BBDvW&R/Bernilvy. Pirang, agak


provokatif, dan ia benar-benar memiliki payudara yang indah. Cup
D, lereng hitam.* Dari hari pertama aku mendambakan melihat
payudara itu secara langsung. Sharon tidak memiliki masalah
dengan hal itu. Sharon tidak pernah memiliki masalah dengan hal
itu. Bahkan tidak dengan Ramon. Atau Hakan, seperti yang baru
saja kuketahui. Memangnya siapa aku sehingga berhak meng-
hakimi?
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku dulu cukup bodoh karena menuliskan nomor


telepon tak dikenal di buku harianku pada suatu malam
saat aku “pergi menemui klien”. Kesalahan pemula. Carmen
telah menghubungi nomor itu keesokan harinya, mendengar

* Dikutip dari Youp van’t Hek, pidato Malam Tahun Baru, 2002.

135
RAY KLUUN

kata “Sharon di sini”, menutup telepon, melihat data telepon


di Filofax-ku untuk melihat apakah ada seorang Sharon
yang bekerja di Bernilvy, dan membandingkan nomor
tersebut. Bingo. Malam itu, tanpa bisa diduga, ia bertanya
kepadaku gadis mana di kantorku yang bernama Sharon?
Aku berusaha menahan agar wajahku tidak merona, dan
berkata bahwa Sharon adalah gadis pirang di meja resepsi.
“Wah, benarkah?” ia berkata, memperlihatkan buku
harianku dengan nomor Sharon di depan hidungku.
“Makhluk yang kelihatan luar biasa vulgar itu dengan buah
dada besar yang mencuat di balik bajunya? Dan kau
mengajaknya ke ranjang?”
Wajahku benar-benar merah. Aku tidak suka berbohong
kali ini. “Ehm… ya.”
“Berapa kali?”
“Ehm… sekali.”
Sebuah kebenaran ala Clinton: kantor direkturku, toilet
di Pilsvogel, dan sofa di rumah Sharon tidak termasuk dalam
kategori “ranjang”.

>> De Pilsvogel. Sebuah pub yang bagus (disamarkan sebagai kafe


Amsterdam kuno, gadis-gadis yuppy dari De Pijp pergi ke sana),
sebuah teras yang bagus (makan siang diterpa sinar matahari,
sampai pukul setengah tiga, satu jam lagi diterpa sinar matahari
antara pukul lima dan enam, di sisi lain teras), sebuah tempat
keramaian yang menyenangkan (tapi hindari hari Jumat saat waktu
minum, ketika orang-orang bersetelan dari distrik finansial
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengambil alih De Pilsvogel).

Carmen sungguh-sungguh berang, dan aku cukup naif


karena merasa terkejut. Bukankah aku pernah memberitahu
Carmen bahwa diriku suka berselingkuh secara teratur?
Oke, aku mungkin memberitahunya pada saat kencan

136
DAN & CARMEN

pertama kami, dan aku tidak pernah menyebut-nyebut hal


itu lagi, tapi tidakkah ia tahu orang macam apa aku ini?
Frank pernah berkata bahwa bentuk penalaran seperti itu
tidak sepenuhnya dibenarkan. Sebuah opini yang didukung
oleh Maud. Namun mereka berdua tetap merahasiakan
petualanganku dari Carmen, termasuk perselingkuhan-
perselingkuhanku setelah Sharon.
Aku menjadi agak lebih berhati-hati dengan Thomas
selama beberapa tahun belakangan, bagaimanapun. Ia sama
sekali tidak tahu mengenai kegiatan bercumbu yang ada di
daftar ”hal-yang-harus-dilakukan” mingguanku. Apalagi
berhubungan seks secara reguler. Ia memang tahu soal
Sharon, tapi itu kembali ke hari-hari ketika ia sendiri masih
suka melakukannya sesekali. Dalam hal itu, Anne juga tahu
mengenai Sharon. Saat Carmen tahu tentang Sharon, ia
pergi dari rumah dan tinggal bersama Anne selama beberapa
hari.
Ramon sendiri adalah seorang monofobik. Tapi tidak
seperti diriku, ia tak bisa melihat bahwa frekuensi ketidak-
setiaan kami telah menjadi lebih daripada sekadar hobi dan
berubah menjadi semacam ketergantungan. Selalu memiliki
sesuatu yang membuat kami tetap aktif. Nama, nomor
telepon, alamat e-mail. Seperti seorang pecandu alkohol
yang tidak mau menerima bahwa dirinya kecanduan, tapi
terus menyimpan sebotol vodka di laci kantor agar dirinya
dapat melalui hari. Dan merahasiakannya dari seluruh dunia.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Seperti Carmen, istri Ramon sama sekali tidak mempunyai


petunjuk betapa serius masalah suaminya.
Seorang monofobik kecanduan oleh sensasi yang
didapatkannya dari perselingkuhan. Penyesalan dan rasa
bersalah—pada orang-orang normal hal itu biasanya me-
rupakan rem terpasang yang menjaga mereka dari per-

137
RAY KLUUN

selingkuhan reguler—merupakan hal-hal yang bisa disingkir-


kan dengan mudah. Seorang monofobik meyakinkan diri
sendiri bahwa ia (seringnya laki-laki) sama sekali tidak
menyakiti pasangannya dengan melakukan hubungan seks
ekstrakurikuler. Dengan alasan-alasan seperti “asalkan
pasanganku tidak mengetahuinya”, “cintaku terhadap diri-
nya tidak akan berkurang sedikit pun saat aku berhubungan
seks dengan orang lain” dan “aku dapat memisahkan antara
seks dan cinta”, ia melempar pasir ke mata teman-temannya,
dan ke matanya sendiri. Jauh di lubuk hati terdalam, seorang
monofobik sadar sepenuhnya bahwa itu adalah semacam
kesintasan moral, suatu cara untuk terus melihat dirinya
sendiri sebagai seorang yang baik. Karena tak seorang pun
dapat mempertahankan suatu gaya hidup yang dianggapnya
sebagai hal yang hina. Seorang monofobik tidak melihat
dirinya sendiri sebagai orang yang buruk.
Dalam kasusku, hal itu mulai berubah. Urusan dengan
cincin kawin ini membuatku jatuh terpuruk sangat rendah.
Monofobiaku, yang selalu kupandang sebagai suatu hal yang
menyenangkan, tidak berdosa, penyimpangan yang ter-
kendali, telah menjadi sebuah obsesi. Sensasi yang kudapat-
kan dari berhubungan seks telah menjadi semakin adiktif
daripada perempuannya atau seks itu sendiri.
Setiap minggu selama beberapa bulan belakangan ini,
karena Carmen dan aku menghabiskan hampir setiap malam
di rumah, aku selalu menunggu-nunggu datangnya hari
www.facebook.com/indonesiapustaka

Jumat. Acara Jumat Malam Danny. Dan ketika jumat malam


datang, dan kami meminum Budweiser di MIU pada awal
malam hari, atau duduk di sebuah restoran, aku mulai
gelisah dan tidak dapat menunggu sampai tengah malam.
Pada waktu seperti itu, Vak Zuid, Bastille, Paradiso, dan
Hotel Arena benar-benar gegap-gempita. Hanya pada saat

138
DAN & CARMEN

itulah aku merasa hidup. Berbincang-bincang dengan para


gadis telah menjadi sebuah keharusan, dan terjadi semakin
mudah dan terus semakin mudah. Bahkan Frank, yang terus
kuberitahu mengenai petualanganku selama bertahun-tahun,
tidak lagi mengetahui betapa buruk hal tersebut berlangsung.
Itulah alasannya baru-baru ini mengapa aku lebih memilih
pergi bersenang-senang bersama Ramon. Bukan berarti ia
sahabatku sekarang ini, tapi paling tidak Ramon tak pernah
membuatku merasa malu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

139
RAY KLUUN

Tears on her cheeks, grief on her face,


desperate eyes, gleaming in the light,
come here, stop crying, I’ll kiss your tears away,
safe in my arms, believe me when I say,
we always have each other, then she said sssssssst,
and she whispered through her tears,
you’ve said all that before …
Tröckener Kecks, dari In tranen (Met hart en ziel, 1990)

Tiga Puluh

“Lepuhnya sudah hampir berkurang.”


Carmen berdiri sambil melihat pantulan dirinya di cermin
kamar tidur. Ia mengangkat payudaranya, sedikit menekan-
nya ke kiri dan ke kanan, memeriksa dari semua sisi. Aku
berbaring di ranjang dan mengamatinya. Luka bakar paling
parah sudah sembuh. Kulit di payudaranya mulai tumbuh
kembali. Carmen menatapnya lagi, memasang branya dan,
alih-alih telanjang, menyusulku di tempat tidur. Besok ia
harus pergi ke Sint Lucas. Kemudian payudaranya di-
amputasi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sekarang adalah malam terakhirku tidur di samping


istriku dengan payudara yang utuh. Tak seorang pun dari
kami sungguh-sungguh mengetahui apakah kami ingin
membicarakan hal itu atau tidak. Bagaimanapun, tak seorang
pun dari kami merasa terdorong untuk merayakan operasi
ini dengan bermain cinta, sebagai pesta perpisahan kepada

140
DAN & CARMEN

payudaranya. Carmen berbaring dengan kepala di bahuku.


Beberapa saat kemudian ia memecahkan keheningan dengan
terisak keras. Tak lama kemudian aku merasakan air matanya
menetes di bahuku untuk yang kesejuta kalinya sejak kanker
itu memasuki hidup kami. Aku memeluknya lebih erat lagi
dan kami tidak mengatakan apa pun.
Tak ada yang perlu dikatakan. Ini adalah cinta pada masa
kanker.*
www.facebook.com/indonesiapustaka

* Dikutip dengan bebas dari Love in the Time of Cholera karya Gabriel Garcia Márquez (1985).

141
RAY KLUUN

I don’t want to spread any blasphemous rumours,


but I think that God has a sick sense of humour …
Depeche Mode, dari Blasphemous Rumours
(Some Great Reward, 1984)

Tiga Puluh Satu

Di bawah tatapan Luna yang waspada dan dengan bantuan


Maud, aku mendekor ruang duduk dengan rantai-kertas.
“Dan bagaimana kemarin, pada akhirnya?” Maud ber-
tanya.
“Ia berbaring di sana seperti kepingan kecil manusia di
bawah seprai biru pucat seperti ini. Sesekali ia bangun dari
tidurnya, biasanya untuk muntah. Aku menahan kepalanya
dengan salah satu kontainer kecil di bawahnya, kau tahu,
kontainer seperti kotak telur berbentuk janin itu.”
Maud memelukku. “Apakah ia—apakah ia telah melihat
bagaimana keadaannya?”
“Tidak. Para dokter merekomendasikan agar kami me-
lepas perbannya bersama-sama. Tampaknya itu akan mem-
bantu dalam proses bertahan.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ya Tuhan—bukankah itu sudah cukup buruk bagimu


untuk menanggungnya?”
Aku mengangguk. “Aku sangat khawatir diriku akan
ketakutan ketika melihatnya, dan Carmen akan menyadari-
nya.”
Aku menatap Maud dari balik air mataku. Ia memelukku

142
DAN & CARMEN

erat-erat dan mengecup keningku. Aku meletakkan kepalaku


di bahunya selama sesaat. Maud menggosok punggungku.
“Danny, Danny,” ia berbisik dengan pelan, “kemarilah,
Sayang…” Setelah beberapa saat, aku menguasai diriku dan
mencium bibirnya. Ia tertawa, menepuk hidungku pura-
pura marah dan menghapus air mata dari pipinya.
“Lebih baik aku pergi,” aku berkata. “Maukah kau
memberi Luna satu botol makanan bayi lagi?”

***

Carmen sudah lebih dulu berpakaian. Ia duduk di ruang


TV, mengenakan jumper hitam longgar berkerah. Perbedaan
antara gundukan di sebelah kiri dan gundukan di sebelah
kanan menghantamku dengan segera. Carmen melihat arah
pandanganku, dan berkata bahwa ia mengisi sisi-tak-
berpayudara dengan satu celana ketat yang di dalamnya
dijejalkan tiga pasang kaus kaki yang digulung. Sampai ia
dapat mengenakan bra untuk protese (organ tubuh buatan),
kaus kaki sepertinya cukup untuk membuat perbedaan
antara cup-D dan Titik Nol menjadi tidak terlalu mencolok.
Sebagai benda buatan sendiri, gumpalan kaus kaki itu tidak
terlalu buruk.
Operasinya sukses, kata dr. Jonkman. Tidak lama, saat
jahitannya dilepas, Carmen harus memakai bra baru untuk
protesenya. Dr. Jonkman berkata Carmen harus melakukan-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya secepat mungkin karena mengingat ukuran payudara-


payudara Carmen (aku menduga maksudnya ”satu payu-
dara”) ada risiko bahwa tulang belakangnya bengkok karena
bebannya. Jadi kanker tersebut akan memberi Carmen
lingkaran herniasi di atas segalanya.
Bra tersebut memiliki kantong yang fungsinya mirip

143
RAY KLUUN

dengan tali Velcro, yakni tempat bagi protese. Protese itu


sendiri merupakan kantong silikon sewarna kulit berbentuk
tetesan air yang bagian tengahnya dibelah. Well, yah, kalau
memang ada tetesan air yang seukuran cup D. Di tengah-
tengah tetesan tersebut terdapat satu titik kecil yang seharus-
nya merepresentasikan puting payudara. Kantong itu terasa
seperti balon yang dipenuhi jeli. Saat kali pertama Carmen
mengambilnya, kami saling melempar kantong itu bolak-
balik, memekikkan tawa, dalam cara yang kau lakukan
dengan balon penuh berisi air pada hari-hari musim panas
yang terik.

***

Dr. Jonkman bertanya apakah Carmen dan aku ingin


melepas perban itu bersama-sama, di ruangan kecil di rumah
sakit. Aku bilang kami akan melakukannya.
Carmen bertanya apakah aku sudah siap, sebelum ia
melepaskan branya.
“Lanjutkan saja,” aku berkata secara meyakinkan. Aku
hampir tidak berani menatapnya. Tapi hal itu akan segera
terjadi. Kemudian aku melihat istriku dengan satu payudara.
Ia membuka kait branya dan membiarkan tali pengikat-
nya menggelantung dari bahunya. Sebisa mungkin tidak
menarik perhatian, aku menarik napas dalam-dalam.
Dan sekaranglah saatnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mengerikan. Di sebelah payudara besar oh-sangat-


indahnya yang familier, terdapat petak datar dengan
selembar perban besar di atasnya. Tepat seperti yang ku-
bayangkan, tapi aku ngeri ketika melihat petak itu di dada
istriku. Payudara-payudara besar itu memang indah, tapi
tubuh seorang perempuan dengan hanya satu payudara

144
DAN & CARMEN

besar kelihatan seperti lelucon sadis sang Pencipta. Aku


menatap selama beberapa saat, di satu pihak karena aku
tidak ingin memberi kesan kepada Carmen bahwa aku tidak
berani melihatnya, dan di lain pihak karena aku tidak ingin
terpaksa menatap matanya. Aku merasa aku harus meng-
ucapkan sesuatu.
“Apa yang harus kukatakan, Carm…”
Bukan berarti aku menyukainya juga, omong-omong,
karena aku tidak menyukainya.
“Ini, emm—datar, bukan?” ia berkata, menatap ke arah
perban di cermin.
Aku berdiri di sampingnya ketika ia mencopot plester
lengket di ujung perbannya. Perban itu pelan-pelan terbuka.
Yang muncul dari bawahnya adalah tubuh perempuan
yang disiksa. Pengrusakan paling besar yang pernah kulihat
hidup-hidup. Belahan besar di sepanjang payudaranya dari
kiri ke kanan, panjangnya sekitar sepuluh sampai dua belas
sentimeter. Di bagian jahitannya, kulit-kulitnya tertarik ketat
dengan tidak rata, membuat kerut di beberapa tempat,
seperti buatan murid TK yang belajar membordir.
“Keriputnya akan pergi saat parutnya terbentuk,” kata
Carmen, membaca pikiranku.
“…”
“Jelek sekali, ya, Danny?”
Tak ada pilihan selain berkata jujur. Aku berpikir dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

cepat untuk menemukan cara mengungkapkannya bahwa


hal itu tidak memalukan selama masih bisa.
“Itu—tidak indah, tidak.”
“Tidak. Ini tidak indah. Ini mengerikan,” ia berkata,
masih menatap bekas payudaranya sendiri.
Kemudian ia memandangiku, aku dapat melihat di

145
RAY KLUUN

matanya bahwa ia merasa dipermalukan. Dipermalukan


oleh kanker. Tuhan, ini benar-benar menakutkan. Para
perempuan yang ingin cantik harus menahan rasa sakit.
Para perempuan yang ingin terus bertahan hidup harus
menjadi jelek.
Itu adalah hukum kanker.
www.facebook.com/indonesiapustaka

146
DAN & CARMEN

So here it is, merry X-mas, everybody’s having fun …


Slade, dari Merry X-Mas Everybody
(The X-mas Party Album, 1973)

Tiga Puluh Dua

Setelah satu jam menonton video Teletubbies bersama Luna,


kupikir aku tak bisa menontonnya lagi. Sebelum kau
menyadarinya, kau akan berakhir dengan bicara seperti
Tinky Winky.
Saat itu adalah pukul setengah sebelas pada Hari Natal.
Aku memandang ke arah kamar tidur. Carmen masih tidur.
“Luna, ayo kita mandi sama-sama?”
“Yeaaaahhh!”
Kami bermain dengan Tigger dan Winnie dan meng-
gunakan tulang keringku sebagai seluncuran sampai airnya
dingin. Aku mengeringkan Luna dan diriku sendiri, dan
memakaikan pakaian pestanya lagi.
Umumnya aku tidak terlalu menyukai Natal, tapi hari
ini aku merasa telah membuatnya jadi sesuatu yang
menyenangkan. Jika kami tidak dapat bersenang-senang di
www.facebook.com/indonesiapustaka

luar, marilah merayakannya di rumah, aku memutuskan.


Aku sudah membeli dua botol minyak mandi yang bagus
untuk Carmen. Yang satu beraroma balsam (“menenangkan
jiwa dan raga”), dan yang lain beraroma jeruk dan bunga
limau (“relaksasi total”). Luna memberinya CD Madonna
yang baru. Aku merangkai rambut Luna menjadi dua,

147
RAY KLUUN

mengikatnya dengan karet elastis dan bola-bola Natal yang


kami beli minggu ini. Luna pikir tatanan rambutnya fantastis.
Saat aku melirik ke kamar tidur kami, aku senang melihat
Carmen sudah tidak ada di ranjang.
“Ayo kita turun, ke Mami!” aku berkata dengan antusias
kepada Luna.
“Hore! Ke Mami, ke Mami!”
“Apakah kau sudah memegang kado untuk Mami dengan
erat?”
“Ya!” ia berseru.
“Dan apakah kau ingat apa yang harus kau katakan saat
kau memberikan kado itu kepadanya?”
“Boleh ciup?”
“Sesuatu seperti itu, ya.” Aku terkekeh dan menciumnya,
merasa tersentuh.
Di bawah, Carmen tengah duduk di meja dapur dalam
balutan baju rumah abu-abunya yang panjang, membaca
surat kabar. Ia belum memakai wignya, dan aku dapat
melihat ia tidak memakai bra khususnya.
Ada sepiring kecil puding karamel di hadapannya.
“Apakah kau sudah makan duluan?” aku bertanya,
terkejut.
“Ya, aku lapar,” kata Carmen tidak menaruh curiga.
“Memangnya ada acara apa?” tanyanya setelah jeda
sejenak, menggigit pudingnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ya. Natal…” aku berkata, merasa malu.


Luna mengulurkan lengan mungilnya untuk menyerah-
kan CD dan sebuah gambar yang dibungkus kepada Mami.
Aku memegang dua botol tersebut. Yang dibungkus dengan
kertas kado emas, dengan pita merah melengkung.
Carmen terkesiap. “Oh—aku belum membelikan apa

148
DAN & CARMEN

pun untuk kalian…”


“Itu bukan masalah,” aku berbohong dengan lembut.
Luna membantunya membuka CD. Sementara aku duduk
dan mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur. Tempat
itu berantakan. Ada tumpukan CD, majalah Bij, majalah
Flair, surat kabar, dan buku temu janji dari Sint Lucas. Di
meja makan malam terdapat setengah bungkal roti sisa
kemarin dan dua kantong daging beku dari supermarket.
Terdapat satu karton susu yang sudah dibuka dan satu toples
selai kacang. Merasa sengsara, aku mengambil selembar
roti, melangkah ke lemari es dan mengeluarkan mentega,
dan kemudian mengoleskan mentega ke rotiku lalu meletak-
kan selembar daging di atasnya. Sementara Carmen sibuk
membuka hadiah dariku, ia mengamati apa yang kulakukan.
“Seharusnya aku sarapan Natal bersama-sama, ya?” ia
bertanya dengan takut-takut.
Aku sudah tidak tahan lagi. Air mataku menetes.
“Ya,” aku menggumam kecewa, dengan mulut penuh
roti daging basi, “itu akan menyenangkan, benar…”
“Oh, Tuhan… Oh, betapa bodohnya aku… Oh, betapa
mengerikan,” Carmen terbata-bata, sekarang benar-benar
kalang kabut. “Oh… maaf, Danny…”
Aku merasa menyesal untuknya, lalu meraih tangannya
dan mengatakan bahwa keadaannya tidak seburuk itu. Kami
berpelukan dan saling menenangkan. Luna mengamati kami
dengan riang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku punya ide,” aku berkata. “Aku akan menelepon


Frank dan bertanya apakah ia mau datang hari ini. Kemudian
aku akan menjemputnya, dan pergi ke toko larut-malam
lalu membeli apa pun yang bagus. Tempat itu akan buka
hari ini. Dan kemudian aku akan kembali lalu kita memulai
semuanya dari awal.”

149
RAY KLUUN

***

Frank menciumku tiga kali ketika aku tiba di griyatawang-


nya.
“Selamat Natal, Kawanku!” ia berkata dengan riang.
“Trims. Sama-sama,” aku menjawab dengan datar.
Frank mengamatiku lekat-lekat. “Tidak bagus, ya?”
Aku menatap lantai, menggeleng. Tangisku meledak di
bahunya.
Di dalam mobil aku menyalakan ”Right Here, Right
Now”-nya Fatboy Slim pada volume 18. Di toko larut-
malam di Rijnstraat kami membeli segalanya yang terlihat
bagus. Di toko bunga di sudut aku membeli seikat bunga
mawar. Dengan empat tangan yang dipenuhi makanan dan
minuman dan bunga, kami bernyanyi ketika kami memasuki
ruang duduk.
Carmen mengenakan celana hitam dan jumper putih
yang kupikir sesuai untuknya. Ia merias wajah dan memakai
wignya. Ia berjalan mendekat dan memelukku. “Selamat
Natal, Sayang,” ia berkata, berseri-seri. “Dan malam ini aku
akan memberimu seks oral Natal paling hebat yang pernah
didapatkan seseorang,” bisiknya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

150
DAN & CARMEN

They say two thousand zero zero, party over, oops …


Prince, dari 1999 (1999, 1982)

Tiga Puluh Tiga

Kami merayakan milenium di Maarssen, di tengah-tengah


Belanda. Thomas dan Anne yang mengatur pesta tersebut.
Aku benar-benar tidak dapat melihat untungnya. Thomas
tidak meneleponku sejak Miami, dan Anne menanyakan
Carmen segera setelah aku mengangkat telepon. Untungnya
Maud dan Frank juga diundang, bersama teman-teman lama
kami dari Breda.
Saat jam menunjukkan pukul dua belas, Carmen dan aku
menjadi emosional. Kami berpelukan selama beberapa
menit. Kami tidak tahu pengharapan apa yang akan kami
berikan kepada satu sama lain. Kemudian aku menghampiri
Frank dan memeluknya lama-lama. Ia berharap aku
menjalani tahun depan yang lebih baik daripada tahun ini.
Maud menciumku dan membelai pipiku. “Aku bangga
padamu tahun ini, Danny,” bisiknya.
Beberapa saat kemudian Thomas menghampiriku. Ia
www.facebook.com/indonesiapustaka

menepuk bahuku, mengucapkan selamat tahun baru dan


menanyakan keadaanku. Aku memberinya tatapan menye-
lidik. Apakah ia benar-benar tidak tahu? Atau ia tidak mau
tahu? Aku bimbang selama sesaat. Haruskah aku memainkan
petak-umpet bersamanya, atau haruskah aku memberitahu-
nya tanpa ragu-ragu bahwa aku benar-benar berang karena

151
RAY KLUUN

ia tidak menelepon sejak kepulanganku dari Miami? Kami


sudah saling mengenal selama tiga puluh tahun. Aku harus
menjelaskan bagaimana perasaanku kepadanya.
“Tidak selalu brilian, Thomas,” aku memulai.
“Tidak, itulah hidup, kurasa.… Apakah Natal-mu me-
nyenangkan?”
Aku mencoba lagi. “Tidak, tidak fantastis. Natal benar-
benar melukai kami. Natal lebih simbolis daripada yang
kupikirkan dan…”
“Yeah, banyak tugas-tugas yang terlibat, kan?” dengan
cepat ia memotong ucapanku. “Sama dengan kami: Hari
Natal di rumah orangtua Anne, Boxing Day di rumah
orangtuaku. Aku selalu menyebut hari-hari itu sebagai Hari
Membosankan Nasional, hahaha.”
“Yah, sebenarnya yang kumaksud bukan seperti itu,” aku
berkata. Ayo kita ganti taktiknya. “Hei, Frank bilang kau
berpikir seharusnya aku tidak pergi ke Miami sekarang
setelah Carmen mengidap kanker?”
Ia tampak terkejut. Thomas mengedarkan pandangan
dengan gugup ke sekeliling ruangan. “Yah, dengar, itu…
Oh, sial, aku harus mengeluarkan—bola-bola donat dari
penggorengan. Kalau tidak bola-bola itu akan sehitam
Nwanko Kanu*, dan kalau begitu tak seorang pun meng-
inginkannya, hahaha. Dengar, sori. Aku akan kembali—
sebentar lagi…”
Dan ia pun pergi. Aku mengamatinya dan mencengkeram
www.facebook.com/indonesiapustaka

gelas sampanyeku begitu kencang sehingga aku hampir


memecahkannya. Istriku tidak mengidap kasus seperti flu
yang kau tahu akan sembuh dalam waktu seminggu dan
kemudian hidup akan berjalan seperti biasa, ia mengidap

* Pemain Nigeria favorit masyarakat saat Ajax berada di De Meer. Ia sering membuat gerakan
tak tertandingi dengan tungkai kaki seperti engrang dan telapak kaki seperti Coco si Badut.

152
DAN & CARMEN

kanker, bajingan! K.A.N.K.E.R. Sakit parah, botak,


payudaranya diangkat, dan takut mati. Bagaimana mungkin
kau berpikir keadaan di rumahku seperti itu, dasar bangsat
idiot?
Thomas datang dengan bola-bola donatnya. Aku
mengambil satu, meraih sebotol sampanye dari meja lalu
melarikan diri keluar. Aku melempar bola donat itu sekuat
mungkin ke arah pagar. Lewat jendela aku melihat Thomas
mengedarkan mangkuk dengan raut muka senang. Aku
duduk di sebuah bangku kayu. Sambil menatap roket
terakhir di langit, aku memikirkan satu tahun kanker yang
baru saja kami lalui.
“Masih cinta padaku?” Carmen bertanya pada larut
malam Hari Natal, setelah memberiku kado Natalnya.
“Tentu saja aku mencintaimu, Sayang,” aku menjawab
sambil tersenyum.
Aku berbohong.
Sejujurnya aku tidak terlalu yakin apakah aku mencintai-
nya. Ya, aku merasa terluka saat melihat Carmen menangis,
saat ia muntah, kesakitan, ketakutan. Tapi apakah itu
”mencintai”? Atau hanya belas kasih? Dan, aku tidak ingin
membuatnya sedih. Tapi apakah itu cinta? Atau sekadar
kewajiban?
Tapi kami tidak dapat berpisah, bahkan jika kami
menginginkannya. Hanya aku dan bukan orang lain yang
diinginkan Carmen ada di sekitarnya jika keadaan mulai
www.facebook.com/indonesiapustaka

buruk. Tak ada yang memahamiku seperti dirimu, katanya.


Di dalam, aku mendengar Prince bernyanyi bahwa
pestanya telah usai. Hebat, gosok saja terus, lakukan saja,
aku menggumam dalam hati. Aku selalu menjalani hidup
berdasarkan Prinsip Dan: jika aku tidak menyukai sesuatu
dalam hidupku, aku mengubahnya. Pekerjaan, hubungan,

153
RAY KLUUN

segalanya. Dan sekarang, di permulaan milenium baru, aku


sungguh-sungguh merasa tidak bahagia untuk pertama
kalinya dalam hidupku. Dan benar-benar tak ada apa pun
yang dapat kulakukan untuk mengubahnya.
Selamat Tahun Baru, Dan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

154
DAN & CARMEN

I feel fantastic, I feel fantastic,


the world is mad and I’m OK,
so stop talking about hunger, cancer, and violence,
put on your hat and sing along,
I feel fantastic, I feel fantastic
Hans Teeuwen, dari Hard en Zielig (1995)

Tiga Puluh Empat

“Sungguh, Carm, aku berpikir betapa luar biasanya caramu


menghadapi semua ini,” aku mendengar Maud berkata saat
aku kembali ke dalam. “Kau melakukan segalanya, kau
sangat riang, kau masih bekerja seperti yang kau lakukan
sebelumnya—”
Thomas menganggukkan persetujuan.
“Oh, tentu saja kau dapat membiarkan kanker membuat-
mu sedih, tapi itu tidak akan membawa kebaikan,” kata
Carmen, memberikan jawaban yang ingin didengar oleh
mereka. “Tidak ada yang benar-benar menggangguku saat
ini.”
Siang ini ia tidak memijak tanah orang-orang yang hidup
www.facebook.com/indonesiapustaka

sampai pukul setengah satu.


“Kau sangat positif, benar-benar patut dikagumi,” kata
Thomas. Frank menatapku dan mengedipkan mata. Carmen
menambahkan sedikit lagi.
“Apa lagi yang bisa kulakukan? Semakin positif pandang-
anmu, semakin kehidupanmu menyenangkan.”

155
RAY KLUUN

Ia berjalan di atas bara yang panas.


Tapi malam ini, itu tidak berjalan dengan baik. Aku dapat
melihatnya kelelahan karena malam yang panjang.
“Sayang, ayo kita pulang,” ajakku.
Carmen senang ia tidak perlu membuat alasan.
Luna terus tertidur saat aku mengangkatnya dari tempat
tidur dan membawanya ke dalam mobil dengan hati-hati.
Frank membantu membawakan barang-barangku. “Angkat
kepalamu, Sobat,” bisiknya. “Carmen membutuhkanmu.”
“Kenapa sih kau bersikap seolah dirimu baik-baik saja
saat kau membicarakannya dengan orang-orang tentang
itu?” tanyaku kepada Carmen dengan marah sebelum kami
berbelok di tikungan. “Mereka sekarang duduk di sana
membicarakanmu dengan penuh kekaguman. Betapa
optimistisnya dirimu, betapa dirimu tidak pernah mengeluh.
Kau harus mengenal dirimu sendiri, dan pada akhirnya
mereka adalah teman-teman kita. Mereka berhak menge-
tahui bahwa selama tiga per empat hari kau tidak sehat
sama sekali, sial!”
Carmen tidak mengatakan apa pun selama semenit. Aku
baru hendak mencecar argumenku lebih lanjut saat bomnya
meledak. Tiba-tiba ia menangis histeris dan menghantam
dasbor dengan kedua tangannya. Aku ketakutan setengah
mati, buru-buru menepi di pom bensin yang baru saja
kulewati, dan memarkirkan mobil di tempat parkir ter-
bengkalai. Aku mencoba untuk memeluknya, tapi Carmen
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan liar menepisnya. Aku melihat ke belakang ke arah


Luna yang, sebuah keajaiban, masih terus tidur.
“Tapi aku tidak ingin orang-orang berpikir bahwa aku
baik-baik saja! Keadaanku sama sekali tidak baik. Aku benar-
benar kacau! Sangat kacau!!! Apakah mereka tidak bisa
melihatnya? Aku botak, payudaraku dipotong, sialan dan—

156
DAN & CARMEN

dan—aku takut keadaanku tidak akan pernah membaik—


dan aku akan terus kesakitan—dan aku akan mati! Aku
benar-benar tidak mau mati! Pastinya mereka tahu hal itu?”
Ia meratap, terisak-isak lama.
“Tenanglah, Sayang, tenanglah,” aku berkata dengan
lembut. Sekarang ia membiarkanku merengkuhnya.
“Aku benar-benar tidak tahu apa-apa lagi, Danny,” ia
terisak. “Apakah aku harus pergi ke suatu tempat sambil
mengeluh terus-terusan? Itu akan berlangsung dengan baik…
Dan kemudian tak seorang pun akan menanyakan keadaan-
ku—setiap orang akan berpikir: nah si tukang mengeluh
tua itu mulai lagi.”
“Carm, kau tidak perlu merasa malu karena kau tidak
selalu merasa baik, bukan? Kau tak dapat mengharapkan
dukungan dari orang lain jika mereka tidak mengetahui
keadaanmu yang sebenarnya, bagaimana perasaanmu
sebenarnya.”
“Hm… Mungkin aku harus lebih jujur kepada setiap
orang…” Ia menatapku. “Itu lebih baik, bukan?”
Aku mengangguk. Ia mencondongkan tubuhnya ke
arahku dan meletakkan kepala di bahuku. “Aku hampir
tidak berani mengatakannya,” Carmen berkata setelah
beberapa saat, “tapi—tapi aku berpikir untuk meninggalkan
Advertising Broker.”
“Kau benar,” aku berkata tanpa sekejap pun keraguan.
Ia langsung duduk dengan tegak dan memandangku
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan terkejut.
“Ya. Seharusnya kau melakukannya sejak lama. Itu
perusahaanmu. Jika kau merasa lebih baik, kau selalu dapat
memulai segalanya kembali.”
Carmen memandangi dasbor. Aku dapat melihat dirinya
sedang berpikir. “Ya,” katanya dengan ketetapan hati yang

157
RAY KLUUN

tiba-tiba, “dan kemudian aku bisa pergi ke gym, dan—


bersama Luna di rumah selama satu hari ekstra, dan—
berbelanja dan membaca dan—hanya memikirkan diriku
sendiri.” Ia mengetuk dasbor lagi. “Ya! Aku akan berhenti.
Mereka bisa mengurusnya sendiri.”
Aku tersenyum menyeringai dengan puas.
Dan begitulah terjadinya, pada hari pertama di milenium
ini, Carmen (tiga puluh lima tahun) berhenti bekerja.
www.facebook.com/indonesiapustaka

158
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

Bagian II
DAN & CARMEN
serta
DAN & ROSE
www.facebook.com/indonesiapustaka

159
www.facebook.com/indonesiapustaka

160
RAY KLUUN
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

Saat itu karnaval dan ada pemberontakan cinta


di seluruh kota, seolah agen-agen dari suatu
konspirasi besar tengah menghasut dan
mengobarkan.
Sándor Márai, dari Embers (2003)

Satu

Jalan-jalan di Breda terendam oleh orang-orang bodoh yang


mabuk, pastor-pastor yang menyanyi, pengecut-pengecut
yang seksi, anak-anak kecil berpakaian tidak senonoh, dan
jenis-jenis lain yang cenderung tidak akan kau temui di
Amsterdam. Maud dan aku beremigrasi tiga hari yang lalu.
Carmen, Frank, dan Ramon tidak ikut dengan kami. Carmen
tidak menyukai karnaval (aku bisa disebut pembohong jika
berkata bahwa aku menyukainya), Frank mempunyai gaya,
dan Ramon berasal dari Cile. Aku tidak peduli apakah
Thomas datang atau tidak tahun ini.
Maud dan aku benar-benar menunggu saat ini. Dalam
perjalanan ke selatan kami mendengar The Worst of Huub
Hangop.* Aku telah memesan setelan harimau yang super-
licin, aku mengenakan kemeja ruche hitam, dan aku
www.facebook.com/indonesiapustaka

membiarkan rambutku disemprot dengan warna perak.


Maud mengenakan kostum perawat dengan semacam rok
mini yang belum pernah kulihat dikenakan para perawat di
Sint Lucas. Kami meninggalkan barang-barang kami di Hotel
van Ham, dan berjalan tepat menuju De Bommel.

* Lihat juga www.kluun.nl

161
RAY KLUUN

>> De Bommel merupakan pub terbaik di lingkup nasional kami.


Di Breda, pergi berhura-hura disebut Bommeling, gelas kecil adalah
Bommeltje, dan pelayan bar dari De Bommel mendapat lebih banyak
rasa hormat daripada penyerang tengah NAC. Dan mereka juga
menyadarinya. “Demi Tuhan, biarkan kami sendirian,” begitulah yang
tertulis pada brosur cetak yang diberikan kepadaku pada suatu
malam saat tempat itu dipenuhi para gadis, dan aku harus
mengerahkan keberanianku untuk mengganggu si pelayan bar
dengan sesuatu yang sangat sepele seperti memesan minuman.
Pada saat karnaval, setiap (bekas) penduduk Breda yang meng-
hormati diri sendiri, datang kemari untuk melihat dan dilihat.
Sepanjang hari-hari itu, publiknya lebih cantik dan lebih bergairah
daripada di kelab malam mana pun di Amsterdam, dan itu di
Brabant: orang-orang di sana autentik.

Rose datang lagi. Ia mengenakan topinya lagi. Topi


prajurit biru abu-abu. Sejenis topi yang digunakan boneka
sersan di Stratego. Hanya saja topi itu tampak seksi di
dirinya. Tahun lalu, saat aku teler, aku mengarang cerita
tentang topi itu, bahwa aku tidak pernah melihat topi seseksi
itu sejak The Incredible Lightness of Being. Itu sangat
memberiku keuntungan.

>> Rose tinggal di Amsterdam juga, begitu dulu ia memberitahu


aku. Sayangnya aku tidak pernah melihatnya di sana. Aku hanya
pernah melihatnya di karnaval. Dan setiap tahun aku jatuh cinta
dengannya selama tiga hari. Dan setiap tahun ia menolakku sambil
tertawa. Aku sama sekali tidak tahu mengapa.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun ini pakaianku sangat keren sehingga aku tidak


melihat bagaimana aku bisa gagal. Kau harus membuat
seseorang terpesona adalah mottoku.
“Hai, Rose”—rambut pirang itu…
“Ehm,”—mata biru itu—“ah—kau Dan, ya?”—bulu

162
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

mata yang panjang itu…


“Yap”—bibir seksi itu…
“Danny dari Amsterdam”—aku melihatnya mengamati
pakaianku, segalanya akan berjalan sesuai rencana—“yang
sudah menikah.” Ia meraih tanganku dan menunjuk ke arah
cincin kawinku. “Koreksi. Masih menikah.”
Oh, ya. Itu ia alasannya. Ia punya prinsip. Aku benci
prinsip.*
“Lalu?” tanyanya menggodaku. “Apakah kau akan
mencoba dan mengobrol denganku malam ini?” Perubahan
rencana.
“Tidak, karena kau tidak menyukai cincin kawin. Aku
punya ide—bagaimana kalau aku mengundangmu minum-
minum di Amsterdam kapan-kapan? Aku benar-benar teman
yang baik.” Aku meletakkan tanganku secara demonstratif
di belakang punggung. “Dan seratus persen pasti, murni
platonis.”
Tawanya meledak. Bingo!
Aku mengeluarkan kartu namaku dari setelan-harimauku,
menuliskan si pembawa berhak mendapat satu minuman
platonis, lalu menyerahkannya kepadanya.
Tersenyum karena kekerenanku sendiri, aku berjalan
kembali ke Maud. Ia sibuk mencumbu seorang beruang
raksasa dalam balutan kaos NAC. Ketika Maud berhenti
memeriksa amandel lelaki itu, aku melihat wajahnya.
Jadi, Thomas juga ada di sini.
www.facebook.com/indonesiapustaka

* Dikutip dari The Smurfs.

163
RAY KLUUN

Ich bin so geil, ich bin so toll,


Ich bin der Anton aus Tirol…
DJ Otzi, dari Anton aus Tirol (Das Album, 1999)

Dua

Kegembiraan karnaval terasa begitu adiktif hingga bahkan


sebelumnya aku selalu takut akan kecewa seperti yang
kurasakan sekarang. Aku berbaring sendirian di kamar
hotelku. Ranjang Maud belum ditiduri. Aku hampir tidak
dapat menolak godaan untuk mengirim SMS kepada Anne
dan memberitahu bahwa jika ia ingin berbicara dengan
suaminya, hubungi saja ponsel Maud. Dengan salam dari
Danny.
Aku bangkit dan memandang ke luar jendela. Jalanan
dipenuh sampah-sampah dari arak-arakan kemarin. Seorang
badut mabuk berbaring di pintu masuk, dan aku melihat
seorang jerapah berjalan bergandengan tangan dengan
penyihir yang baru saja ditidurinya.
Kurang lebih aku telah berjanji kepada Carmen bahwa
aku akan pulang hari ini. Selasa Karnaval di Breda
www.facebook.com/indonesiapustaka

merupakan zona remang-remang. Secara resmi, sekarang


masih karnaval, namun kota ini sudah menampilkan tanda-
tanda penutupan. Orang-orang yang pergi ke luar hari ini
hanyalah mereka yang benar-benar belum puas dengan
semuanya, dan mereka yang tidak ingin pulang ke rumah.
Biasanya aku termasuk dalam kategori yang pertama, tapi

164
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

tahun ini aku termasuk dalam keduanya. Aku tidak ingin


kembali ke rutinitas harianku. Aku ingin tinggal di sini. Aku
menelepon Carmen.
“Hai, Sayang!”
“Hai!”
“Apa kabar?”
“Lumayan.” Ia tidak kedengaran tak ramah.
“Dan bagaimana si kecil?”
“Ia baik-baik saja. Luna tidur nyenyak selama beberapa
hari. Dan bagaimana Breda?”
“Benar-benar fantastis. Karnavalnya juga menyenangkan
tahun ini.”
“Baguslah. Aku senang mendengarmu menikmatinya!
Jam berapa kau akan pulang?”
“Ehm—aku bermaksud tinggal satu hari lagi atau lebih.
Aku tidak perlu kembali ke MIU sampai hari Rabu. Apakah
itu tidak masalah?”
Hening.
“Carmen?”
Biiiiiiiip.
Aku menghela napas panjang. Meletakkan telepon. Dan
besok keadaannya akan jauh lebih buruk daripada hari
setelah Final Piala Dunia 1974.
www.facebook.com/indonesiapustaka

165
RAY KLUUN

I’m so excited, I’m about to lose control,


and I think I like it …
The Pointer Sisters, dari So Excited (So Excited, 1982)

Tiga

Aku melihat Maud pagi ini saat ia datang untuk mengambil


barang-barangnya. “Jadi,” aku menggodanya, “apakah
Thomas meminta terlalu banyak?”
Maud mengangkat bahu. “Ia memohon agar aku tidak
memberitahumu aku berhubungan dengannya,” ia berkata.
Rasa muak di dalam suaranya membuatku merasa baik. Aku
memberitahu bahwa aku telah membuat Carmen kesal
dengan memutuskan untuk tinggal satu hari lagi.
“Apa yang kita semua lakukan di sini?” Maud tertawa
sambil menggelengkan kepala, dan kemudian menaiki kereta
kembali ke Amsterdam.
Satu jam kemudian aku berdiri sendirian di De Bommel.
Selain aku, di sana ada tiga pemuda dan satu kepala jerapah.
Menjelang malam, orang-orang perlahan mulai berdatangan
sampai tempat itu setengah penuh. Mengusir kebosanan,
www.facebook.com/indonesiapustaka

aku bergulat-lidah dengan seorang gadis dengan hidung


penyihir yang besar. Dan gadis itu bahkan tidak memakai
kostum penyihir.
Sekarang hari Rabu. Aku berada di dalam kamar yang
terbengkalai, karena tukang bersih-bersih dan tukang kayu
sedang membereskan sisa-sisa karnaval. Jadi, kembali ke

166
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Amsterdam sendirian, dan malam ini aku akan kembali


berada di bawah tatapan Carmen yang waspada. Aku
mengirim SMS kepadanya untuk memberitahu bahwa aku
akan tiba di rumah sekitar pukul enam. Ia tidak membalas
SMS-ku.
Di Amsterdam, aku melangkah langsung ke stadion. Di
MIU orang-orang baru mulai makan siang. Aku menarik
sebuah kursi dan menceritakan kisah-kisah karnaval, sejauh
yang cocok diceritakan untuk publik yang lebih luas. Setelah
itu, aku duduk di depan komputerku dan membuka e-
mailku. Holland Casino, KPN, Center Parcs, banyak omong
kosong, dan satu e-mail dari seseorang yang tidak kukenal,
roseanneverschueren@hotmail.com. Aku membukanya dan
tersenyum menyeringai. Roseanneverschueren adalah Rose!

Dari : roseanneverschueren@hotmail.com
Dikirim : Rabu, 8 Maret 2000, 11.47
Kepada : dan@creativeandstrategicmarketingagency.nl
Subjek : Tidur nyenyak?

Hai, jagoan, aku menemukan kartumu—

Aku duduk sambil gemetaran ditemani gelas kopi keempatku dan


batang rokok yang kedelapan puluh, dikelilingi orang-orang yang
terlalu serius dan banyak mengeluh. Aku ingin kembali ke selatan!
Jadi, apakah kau menikmati semuanya? Banyak menciumi gadis-
www.facebook.com/indonesiapustaka

gadis?

Salam hangat, Rose

PS: apakah kau mau pergi keluar dan menikmati minuman platonis?
Ayo, kalau begitu. Bagaimana kalau Jumat malam?

167
RAY KLUUN

HOREEEE! Serangan yang sukses, tepat sasaran! Hariku


terselamatkan. Aku membaca e-mail tersebut tiga kali dan
berhati-hati dalam merumuskan jawabanku. Jangan terlalu
senang, tenang saja. Buat sebuah kencan tanpa terlalu banyak
tekanan dan pengharapan. Aku menghabiskan sekitar tiga
perempat jam mengonsep e-mail tersebut, sebelum aku
berpikir aku telah menemukan campuran yang tepat antara
antusiasme dan sosiabilitas platonis dan kegembiraan yang
tak berdosa. Aku membacanya sekali lagi, menyelipkan
kesalahan eja agar terlihat ditulis secara spontan, dan
menekan tombol kirim.

Dari : dan@creativeandstrategicmarketingagency.nl
Dikirim : Rabu, 8 Maret 2000, 15.26
Kepada : roseanneverschueren@hotmail.com
Subjek : Re: Tidur nyenyak?

Jmat bisa!
Sampai ketemu, Dan.

Kemudian aku melangkah pulang dengan berat hati.


Luna bersikap baik kepadaku. Carmen tidak. Lebih baik
aku tidak menyebut-nyebut rencanaku untuk pergi lagi pada
Jumat.
www.facebook.com/indonesiapustaka

168
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

I’m driving in my car, I’m pulling you close, you just say no,
you say you don’t like it, but girl I know you’re a liar,
‘cause when we kiss … fire …
Bruce Springsteen, dari Fire (1978, dari album Live 1975 – 1985, 1986)

Empat

“Sampai jumpa besok setelah makan malam. Keponakanku


dari Breda datang ke Amsterdam sore ini, jadi aku akan
pergi minum-minum bir dengannya terlebih dahulu,” kataku
kepada Frank selama makan siang, sesantai mungkin. “Aku
akan mengirimmu SMS untuk mencari tahu ke mana kalian
pergi setelahnya. Jam berapa kau janjian dengan Hakan dan
Ramon?”
“Jam tujuh tepat di Club Inez,” kata Frank.

>> Club Inez. Makanan di sana sangat trendi sehingga setiap


hidangan di menunya mengandung setidaknya satu bumbu yang
tidak pernah kudengar sebelumnya. Untungnya Frank juga biasa
ke sana.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku mengirim pesan kepada Rose dan bertanya apakah


ia mau mampir di MIU untuk melihat-lihat kantor, sebelum
pergi ke Vak Zuid—dan untuk menelepon apakah ia mau
datang lebih awal, untuk berjaga-jaga kalau ia berdiri di
depan pintu pada pukul setengah tujuh dan aku terpaksa
memberikan penjelasan wajah-merah kepada gerombolan

169
RAY KLUUN

ini mengenai perempuan itu.


Segalanya berjalan seperti mesin jam. Sekarang pukul
tujuh kurang seperempat dan semua orang sudah pulang ke
rumah masing-masing. Frank juga pergi, katanya. Kemudian
Rose menelepon untuk mengabari bahwa dirinya akan
terlembat sekitar setengah jam. Sampai sejauh itu segalanya
berjalan rapi, meskipun sayangnya aku sedang berada di
toilet saat telepon berdering, dan Frank yang menjawab
panggilan tersebut.
Frank menggelengkan kepala dan tertawa ketika ia
memasangkan jaketnya. “Bersenang-senanglah dengan
keponakanmu,” katanya sambil berjalan ke luar ruangan.
Rona di wajahku perlahan-lahan memudar. Aku menyala-
kan Daft Punk, keras-keras, dan mengambil Budweiser dari
lemari pendingin. Sekali lagi, aku penasaran untuk melihat
bagaimana penampilannya tanpa kostum karnavalnya. Aku
tak dapat membayangkan ia akan membuatku kecewa.
Dan ternyata memang tidak. Bel berdering, dan di
sanalah, saat aku melewati pintu kaca kantor, ia berdiri,
Dewi Pirang dari Breda. Ia mengenakan jaket hitam panjang
dan topi hitam di atas rambut pirang panjangnya. Ia tertawa.
Aku tersenyum menyeringai dan membuka pintu.
“Halo, Madam.”
“Halo, Sir.”
Aku menciumnya secara platonis sebisa mungkin tiga
www.facebook.com/indonesiapustaka

kali di pipi. Aku menyerahkan bir kepadanya dan memandu-


nya tur ke kantor kami, dan membicarakan MIU dengan
acuh tak acuh. Ia menyukainya. Segalanya berjalan lancar.

***

170
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Ada kerumunan besar di Vak Zuid. Aku berencana untuk


bergabung dengan Frank dan para pengikutnya sekitar pukul
sembilan, terutama sejak aku memiliki perasaan bahwa Rose
bisa diajak tidur. Aku mendapatkan kesan itu dengan cepat.
Bahwa, Rose memang bisa diajak tidur, tapi bukan oleh
cincin kawinku dan aku. Aku memberitahunya bahwa aku
mulai takut bahwa aku akan terpaksa memindahkan nama-
nya dari berkas untuk dilakukan ke berkas platonis.

>> Vak Zuid. Yeah. Karena tempat itu berseberangan dengan MIU
di dalam Stadion Olympic, kebutuhan geografis telah menjadikan-
nya tempat favorit kami. Itu adalah sejenis tempat puji-syukur-
Tuhan-sekarang-Jumat. Setiap Jumat pada pukul lima tempat itu
dipenuhi laki-laki dalam balutan kemeja garis-garis dengan kerah
putih dan manset, dan para perempuan mengenakan twinset.
Kupikir saat pertama kali aku mengunjunginya tempat itu me-
ngerikan. Sampai aku menyadari bahwa setelah lima minuman
Bacardi breezer para perempuan dalam balutan twinset sama tidak
senonohnya dengan gadis-pirang-dengan-kuku-dicat-dan-sabuk-
Moschino yang kau temui di Bastille. Aku sangat menyukainya sejak
saat itu.

“Kau benar-benar seperti anak anjing yang besar,” ia


tertawa.
“Anak anjing?”
“Bermain-main sepanjang waktu, melompat-lompat ke
setiap orang, menjilati mereka…”
“Aku punya firasat kalau kau merupakan penyuka anak
www.facebook.com/indonesiapustaka

anjing,” aku berkata, menatap matanya lurus-lurus.


Wajahnya mulai merona. Ia milikku!
“Ehm—ya. Tapi anak anjing yang sudah menikah agak
keterlaluan untukku.”
Aku berpikir mungkin aku akan bergabung dengan
teman-temanku saja. Apa untungnya tetap di sini? Aku

171
RAY KLUUN

hanya harus mengatakan kepada Rose bahwa aku harus


pulang dalam waktu setengah jam lagi. Ya, itu yang akan
kulakukan.
“Ah, Rose…”
“Ya?”—Rambut itu. Kedua mata itu. Gigi yang sempurna
itu.
“Ayo kita pergi makan.”

***

Kami pergi ke De Knijp di Van Baerlestraat. Orang-orang


yang pergi ke sana hanyalah mereka yang sedang dalam
perjalanan menuju Concertgebouw atau baru saja kembali
dari sana, dan aku tidak dapat membayangkan akan ada
orang yang kukenal di sana. Kami berdua memesan steik
dan kentang goreng. Ia menceritakan hubungan cintanya
yang terakhir, dengan seorang pemuda dari Friesland. Ia
bilang itu akan terlupakan dengan sendirinya.
“Dan kau, ceritakan kepadaku soal istrimu.”
Kau yang memintanya. “Apakah kau siap mendengar
kisah yang memuakkan?”
“Asal jangan jenis yang ‘istriku sama sekali tidak
memahamiku’, eh?”
“Tidak!” aku berkata, agak jengkel. Aku mulai berbicara.
Mengenai kanker. Mengenai kemo. Mengenai ketakutan.
Amputasi payudara. Dan mengenai hubungan kami.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Saat mendengarkan, ia menyentuh tanganku.


Di luar aku melihat Ramon mengirimkan SMS.

Jadi, kau mau berhubungan seks,


dasar bajingan mesum?
Kami mau pergi ke NL. Kau?

172
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Aku membalas bahwa aku tidak ikut. Aku sudah tahu


kesempatan Zinedine Zidane* mendapat kontrak dari Ajax
masih lebih besar daripada kesempatanku meniduri Rose
malam ini.
“Mau berdansa?”
Ia bilang ia tergila-gila berdansa. Begitu juga aku, sejak
Miami, walaupun aku tidak tahu bagaimana sebenarnya
house music terdengar saat dalam pengaruh pil ekstasi. Aku
belum pernah pergi ke More, tapi aku tidak berani pergi ke
sana, Frank pergi ke sana setelah jam dua. Aku bilang aku
lebih suka pergi ke Paradiso.

>> Beberapa orang masih tidak memercayai ada manusia yang


berjalan di bulan, aku merasa seperti itu dengan Paradiso. Aku
terus-menerus menolak untuk memercayai bahwa Rolling Stones
dan Prince dan Springsteen kesukaanku terkadang tampil di sana
hanya untuk bersenang-senang setelah konser di stadion Kuip di
Rotterdam, dan menyimpulkan bahwa setiap orang yang berkata
bahwa mereka pernah pergi ke salah satu konser tersebut pastinya
telah dibayar oleh Paradiso untuk menyebarkan rumor tersebut ke
seluruh dunia. Atau untuk membuatku jengkel. Oh Tuhan, aku sudah
luar biasa senang jika aku berhasil mendapatkan tiket De Dijk.

Kami melanjutkan mengobrol di satu kursi kecil di


ruangan lantai atas. Ia meletakkan satu tangannya di lututku,
cukup natural, seolah-olah kami sudah saling mengenal
selama bertahun-tahun. Aku meletakkan tanganku di
lututnya, dan berusaha sebisa mungkin agar tidak terlihat
www.facebook.com/indonesiapustaka

sedang melakukan gerakan tidak jelas.


“Mau berdansa?” aku bertanya.
Kami turun ke lantai dansa. Kami lebih banyak meng-
obrol daripada bergerak. Segera saja kami berdiri sambil

* Mantan pemain sepakbola terbaik Eropa, hampir sebagus Rafael van der Vaart di masa
mendatang.

173
RAY KLUUN

berbicara di tepi lantai dansa. Kami terus mengobrol.


Mengenai berbagai hal. Tapi mata kami tidak terlibat dalam
percakapan sejak lama. Mata kami tampak mendamba. Tak
ada yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Rasanya
meluap-luap. Di tengah percakapan aku mendorongnya ke
dinding lalu menciumnya. Ia langsung lemas dan menyerah-
kan diri. Kami berciuman. Dan berciuman. Selama beberapa
menit. Kemudian aku menatapnya dan mengangkat bahu
seolah aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia menggeleng-
kan kepala. Dirinya juga tidak tahu. Kami mulai berciuman
lagi. Baru beberapa saat kemudian kami pun pergi.
Rose tinggal di Eerste Helmersstraat di Oud-West. Aku
memarkir mobilku di tempat yang kosong, membuka
ritsletingnya, dan menyelipkan tanganku ke celananya. Ia
sudah basah. Sekejap saja ia menepiskan tanganku. Matanya
tampak juling karena nafsu.
“Kita tidak akan melakukannya,” ia berkata.
Aku meletakkan tangannya di celanaku. Kemaluanku
hampir mencuat keluar. Ia tertawa dan menarik tangannya
menjauh. Aku menghela napas dalam-dalam. Kami bahkan
tidak punya waktu. Sekarang jam empat lewat sepuluh
menit. Aku tidak pernah pulang lebih lama dari seperempat
jam. Carmen mengetahui semua kelab yang tutup pada
pukul empat.
Aku mencium Rose sekali lagi, ia keluar dari mobil, aku
melihatnya pergi, lalu aku mengembuskan ciuman melalui
www.facebook.com/indonesiapustaka

jendela dan berkendara pulang.


Aku benar-benar tersesat.

174
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

Red alert red alert, it’s a catastrophe,


but don’t worry, don’t panic …
Basement Jaxx, dari Red Alert (Remedy, 1999)

Lima

Aku duduk di dalam mobil. Ia ada di rumah, katanya. Kami


sering berkiriman e-mail minggu ini. Pada hari Senin ia
menulis bahwa ia menikmati malam itu, tapi seharusnya ia
pulang lebih awal. Ia tidak menyesali apa yang telah terjadi,
tapi mengulangi bahwa dirinya tidak ingin memiliki
hubungan gelap dengan laki-laki beristri. Ia tidak tahu
apakah menemuiku satu kali lagi merupakan ide bagus,
tulisnya. Aku tidak memercayai satu patah kata pun hal itu,
tapi aku tidak mau menuliskannya di sebuah e-mail.
Sekarang saat aku meneleponnya, aku menyadari bahwa
aku telah melakukan hal yang benar. Ia senang karena aku
meneleponnya. Saat itu malam Kamis. Kami mengobrol
tentang berbagai hal, tidak ada yang khusus. Aku mencerita-
kan pekerjaanku dan Luna, ia membicarakan rekan-rekan
sejawatnya. Sementara itu aku keluar dari mobil dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

bunga yang kubeli di toko larut malam di Stadionplein.


“Hei, omong-omong kau tinggal di Eerste Helmers
nomor berapa?”
“Emm—tujuh-sembilan. Mengapa?”
Aku membunyikan bel pintu.
“Tunggu sebentar. Ada seseorang di pintu.”

175
RAY KLUUN

“Aku akan menunggu.”


Dari lantai satu ia memanggil dari interkom: “Halo?”
Aku mengatakan “Halo” ke ponselku sekaligus ke
interkom.
Hening selama sesaat.
“Hei?!?”
“Buka saja pintunya.”
“Apakah—apakah itu kau?”
“Bukan, ini Harry Belafonte.”
“Ya ampun…”
Ia menekan tombol dan aku membuka pintu depan.
“Kau sinting,” ia berkata, mengamatiku menaiki tangga
dengan cengiran lebar di wajahku. Matanya mengatakan
bahwa ia menyukai langkahku yang ini.
Aku meletakkan bunga di meja dan menciumnya. Ia
mengenakan baju rumah dan rambutnya basah. Masih
berciuman, aku mendorongnya ke belakang sampai kami
jatuh di sofanya. Gaun rumahnya tersibak sedikit. Ia melihat-
ku mengamatinya, menutupnya sambil tertawa dan me-
nempelkan tubuhnya dengan erat ke diriku. Aku membelai
rambutnya lalu mengecup keningnya. Aku sudah lama sekali
tidak duduk seperti ini bersama Carmen. Aku menyukai hal
ini.
Kami berciuman lagi, sekarang agak liar. Tanganku
menyelinap ke balik gaun rumahnya. Ia tidak berkeberatan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku memijat buah dadanya. Terasa lembut. Aku langsung


jatuh cinta dengan kedua payudara itu. Aku mencium
lehernya dan dengan lembut menggigit tenggorokannya.
Sekonyong-konyong ia berdiri. “Ehm—kau mau kopi?”
tanyanya.
“Jika tidak ada yang lebih baik untuk ditawarkan, kalau

176
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

begitu ya,” aku tertawa.


Aku mengamati kotak CD-nya dan melihat Ray of Light-
nya Madonna. Ia menuang dua gelas mocha lalu kembali
duduk di sampingku, kancing-kancing baju rumahnya
sekarang terkancing rapat-rapat. Aku menekan tubuhnya
kepada tubuhku lagi. Prosesnya berulang dengan sendirinya.
Madonna menyanyi. Wanted it so badly, running, rushing
back for more… the face of you… my substitute for love.*
Aku membelainya dengan lembut. Sekarang ia berbaring
telentang di sofa, dengan kepalanya di dadaku. Aku
membuka kancing bajunya dan, dengan mata terpejam, ia
berbisik, “Jangan…”
Setelah dua lagu Madonna berakhir, ia menciumku lagi.
Tanganku semakin mendekat ke buah dadanya lagi. And I
feel like I just got home…** Dan semakin rendah. Ia men-
desah dan melempar kepalanya ke belakang. Kali ini ia tidak
menghentikan saat tanganku menyelinap turun ke perutnya.
Put your hand on my skin—I close my eyes—I need to make
a connection—touch me I’m trying—to see inside of your soul—
I close your eyes—Do I know you from somewhere…*** Aku
berlutut di antara kedua tungkainya. Aku menekankan jari
tengahku ke selangkangannya. Ia menggelengkan kepala.
“Aku tidak dapat menjauh darimu. Suruh aku pergi, atau
aku tidak akan berhenti,” aku mendesah. Aku sama ber-
nafsunya seperti Patrick Kluivert**** setelah semalaman
berhura-hura di kelab.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ia menatapku sesaat. Kemudian ia meraih kerah kemeja-

* Dari Substitute for Love.


** Dari Ray of Light.
*** Dari Skin.
****Pemain sepakbola (Ajax, Barcelona) yang libido masa mudanya sama mengesankannya
dengan kemampuannya mencetak gol. Selama beberapa tahun silam keduanya telah
menurun ke tingkat moderat.

177
RAY KLUUN

ku dan menekanku ke tubuhnya. Baju rumahnya sudah


tergelincir dari bahunya, dan sekarang ia benar-benar
telanjang. Ia membuka kancing kemejaku, dengan gugup
aku menurunkan celanaku dan membuka kakinya lebar-
lebar. Aku gugup. Selama sesaat aku menunggu dan mem-
berinya kesempatan terakhir untuk menggelengkan kepala.
Watching the signs as they go… Ia tidak menggelengkan
kepala. Ia memandangku dengan tatapan mendamba dan
mengangguk sekali, hampir tidak kentara. I think I’ll follow
my heart—dengan perlahan aku melebur ke dalam dirinya.
It’s a very good place to start…* Di dalam diri Rose, rasanya
seperti di surga.
Aku mendapati hal itu sekali lagi di ranjangnya, dan tiga
kali lagi Sabtu sore selanjutnya saat seharusnya aku berada
di kota. Tidak ada jalan keluar lagi.
Sebenarnya apa yang telah kumulai?
www.facebook.com/indonesiapustaka

* Dari Sky Fits Heaven.

178
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

She says her love for me could never die,


that would change if she ever found out about you and I,
oh, but it’s so damn easy making love to you,
so when it gets too much,
I need to feel your touch,
I’m gonna run to you …
Brian Adams, dari Run to You (Reckless, 1984)

Enam

Perselingkuhan-seksual tidak berarti apa pun. Rasanya se-


perti masturbasi, tapi melibatkan tubuh seorang perempuan.
Hubungan gelap adalah jenis permainan yang sama sekali
berbeda. Berhubungan seks berubah menjadi bermain cinta.
Ini bukan mengenai tubuh perempuan yang kau masuki
dengan barangmu, melainkan mengenai seorang perempuan.
Ini adalah sesuatu yang selalu ingin kuhindari. Kebutuhan
kompulsifku akan perselingkuhan saja sudah cukup buruk.
Perempuan lain dapat meraihku dari mana pun kecuali
hatiku. Tubuh dan pikiranku mungkin monofobik, tapi
hatiku memilih bermonogami. Dan itu untuk Carmen. Rose
www.facebook.com/indonesiapustaka

tahu kami tak mungkin menjalani hubungan gelap jika


Carmen tidak sakit. Tapi Carmen memang sakit. Pada musim
semi tahun 2000, Roseanneverschueren@hotmail.com,
nama asli Rose, nama panggilan Dewi, nama di ponselku
Boris, merupakan hubungan gelapku yang pertama se-
panjang hidupku.

179
RAY KLUUN

Kami melengkapi satu sama lain secara sempurna.


Bersama Rose aku mendapatkan apa yang tidak kudapatkan
di rumah, dan dengan demikian—bahkan jika hubungan ini
bersifat paruh-waktu pun—mengembalikan kesenanganku
dalam hidup. Ia memanjakanku dengan semua kualitas
femininnya, ia benar-benar perempuan yang kubutuhkan
dalam masa-masa menghadapi kanker ini. Rose adalah ratu
penggantiku.
Dari pihakku, aku menenggelamkannya dengan semua
perhatian yang bisa kuhimpun. Ia mendapat lampu sorot
dari Dan, bersamaku ia merasa lebih menjadi perempuan
daripada sebelumnya. “Kau memanggilku Goddess, dan
begitulah yang kurasakan saat aku sedang bersamamu,” ia
berkata dengan senang saat aku muncul membawa setangkai
mawar dan sebuah suvenir dari toko pakaian dalam. Ia
menikmati perannya, ia memainkannya dengan serius. Ia
membiarkanku memutuskan apa yang akan kami lakukan
dan di mana, kapan serta bagaimana. Ia menanyakan
kepadaku apa yang harus ia kenakan saat kami pergi keluar.
Ia menanyakan warna pakaian dalam apa yang harus
dibelinya. Ia mencukur rambut kemaluannya dalam bentuk
yang membuatku sangat terangsang.
Hubungan ini seperti heroin. Dalam beberapa minggu
aku kecanduan Rose, aku ketagihan perasaan yang di-
timbulkannya kepadaku. Aku berusaha untuk bersamanya
sesering yang kubisa. Semua klise mengenai ketidaksetiaan
www.facebook.com/indonesiapustaka

kukeluarkan dari kotak. Sesekali aku pergi “ke kantor lebih


awal”. Aku pergi “ke kota untuk mendengarkan CD”. Aku
memanfaatkan Acara Jumat Malam Danny sebagai kedok.
Atau pada pertandingan kandang Ajax. Kemudian aku mem-
baca hasil pertandingan itu di teleteks dan mempelajarinya
baik-baik sebelum pulang ke rumah. Kami mengatur

180
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

pertemuan pada larut malam setelah makan malam dengan


seorang klien. Sesekali, terkadang dua kali seminggu, kami
menghabiskan satu malam penuh bersama-sama. Saat kami
melakukannya, kami pergi ke pub atau restoran yang
kesempatannya kecil bagi kami untuk berpapasan dengan
seseorang, lalu kami mengobrol sepanjang malam. Ke-
banyakan tentang seks. Mengenai seks yang kami lakukan,
seks yang akan kami lakukan, seks yang kami impikan. Dan
jika kami tidak membicarakan seks, kami berhubungan seks.
Kami bergumul sampai kelelahan. Di rumahnya, di mobilku,
di kantorku, di Vondelpark, di Amsterdamse Bos, di mana
pun.
Pada siang hari kami tak melakukan apa pun selain
mengirim e-mail satu sama lain. Puluhan e-mail setiap hari-
nya. Kami membahas bagaimana keadaanku di rumah,
pertemuan kami selanjutnya, pekerjaannya, pekerjaanku,
keretanya yang tiba terlambat. Hal-hal yang kau bicarakan
saat makan malam dalam hubungan cinta yang normal.
Separuh waktuku kuhabiskan untuk mengecek apakah ada
e-mail baru darinya di kotak pesanku. Efisiensi kecerdasanku
di MIU merosot ke tingkat Brian Roy.*
Pada akhir pekan, saat aku tidak dapat mengecek e-
mailku, aku mengiriminya SMS. Sepuluh, dua puluh kali
sehari. Saat aku pergi ke toilet, saat Carmen pergi ke toilet,
saat aku kembali ke mobil sebentar karena aku “melupakan
sesuatu”, saat aku memandikan Luna, saat aku menggosok
www.facebook.com/indonesiapustaka

gigi. Setiap menit aku sendirian.

Met’ pagi Dewi, memimpikan aku lagi?


Aku akan meneleponmu saat aku
kembali dari crèche.

* Bermain untuk Ajax pada awal 1990-an. Prestasi individu yang biasa-biasa saja, dengan
keseluruhan penampilan yang membuatmu menangis.

181
RAY KLUUN

Fuuh—Dapatkah aku
menominasikanmu Hadiah Nobel
untuk seks oral? Kau benar-benar
hebat. Selamat menikmati akhir
pekanmu, Goddess.

Aku khawatir aku tidak dapat


meneleponmu sekarang. Carmen di
rumah. Bessssssok aku akan menjadi
milikmu lagi seutuhnya. Kita akan kirim
SMS lagi. X.

Dari sisinya, Rose tak dapat melakukan apa pun kecuali


menunggu. Tunggu sampai aku menghubungi, tunggu
sampai aku mencari tahu apakah kami bisa bertemu, atau
apakah aku punya janji yang bisa kubatalkan pada menit
terakhir, tunggu sampai aku mengirim SMS.
Kami menyepakati aturan yang ketat: Rose tidak boleh
meneleponku, dan ia hanya boleh menjawab SMS-ku jika
aku secara secara tegas membubuhkan tanda tanya di
belakang pesanku, dan tidak membiarkannya lebih lama
dari lima menit setelah aku mengirimkan pesanku.

X. apakah kau di rumah?

Aku takut semuanya akan terbongkar. Di ponselku,


selama satu bulan Rose tercatat sebagai “Boris“, nama
www.facebook.com/indonesiapustaka

seorang pemuda yang magang di kantor, dan bulan


selanjutnya sebagai “Arjan KPN“, nama klienku. Aku
menghapus setiap Panggilan Terakhir setiap percakapan
lewat telepon. Aku segera menghapus SMS yang kudapatkan
darinya. Beberapa kali sehari aku menghapus semua e-mail
yang kuterima darinya. Aku tidak pernah mengirimkan e-

182
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

mail kepadanya dari komputer rumahku.


Saat kuminta, ia pasti muncul. Setiap saat dalam satu
hari, di mana pun diriku berada. Jika aku sedang berada
dalam perjalanan pulang menemui klien di Eindhoven, ia
akan naik kereta menuju Utrecht untuk menghabiskan tiga
perempat jam duduk bersamaku di sebuah kafe pinggir jalan
dan kemudian pulang kembali denganku ke Amsterdam.
Ia membatalkan semua janji dengan teman-teman
perempuannya karena ia tidak dapat mengetahui seberapa
lama makan malamku dengan klien berlangsung dan apakah
kami akan dapat saling menemui. Bisa saja saat itu pukul
setengah sebelas, atau pukul setengah satu.
Pertemuanku dengan Rose selalu berakhir dengan cara
yang sama. Aku pergi dan mandi, membersihkan kemaluan
dan wajahku, dan kemudian meninggalkan kehangatan
ranjang Rose menuju dinginnya malam. Sendirian. Di dalam
mobil, masih berseri-seri karena kebahagiaan, kegairahan,
dan seks bersama Rose, aku pun enggan untuk pulang. Itu
adalah momen-momen paling mengerikan sepanjang
minggu. Dengan perut melilit, aku mencari tempat untuk
parkir di Amstelveenseweg. Sebelum aku keluar dari mobil,
kadang-kadang aku menunggu selama beberapa menit untuk
mengecek ulang ceritaku, mencari-cari kesalahan dan meng-
ulanginya kepada diri sendiri, takut ada celah yang terlihat
dalam alibiku malam ini.
Kemudian aku menanggalkan pakaianku di lantai bawah
www.facebook.com/indonesiapustaka

agar tidak menimbulkan banyak suara, mengendap-endap


ke lantai atas, menggosok gigiku dengan baik, menyelinap
ke tempat tidurku diam-diam, dan berbaring terjaga selama
setidaknya setengah jam dengan memunggungi Carmen,
dan mata terbuka lebar. Cemas bahwa aku mungkin me-
lewatkan sesuatu, bahwa aku masih berbau Rose. Terutama

183
RAY KLUUN

saat aku pulang ke rumah melebihi pukul satu seperempat


selama hari kerja, saat Carmen mengetahui pub-pub tutup
pada pukul satu.
Aku akhirnya merasa tenang di pagi hari, saat aku
merasakan atmosfer di rumahku OKE dan alibiku kelihatan-
nya sekali lagi berjalan dengan sempurna. Kemudian aku
melakukan yang terbaik. Aku bersikap sayang kepada
Carmen, aku bermain bersama Luna, aku ceria dan ber-
semangat, betapapun aku masih mabuk dan betapapun aku
terlambat.
Suntikan kesenanganku, kenikmatan hidup, telah melaku-
kan pekerjaannya sekali lagi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

184
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

It’s you and the things you do to me,


now I’m living in ecstasy …
Sister Sledge, dari Thinking of You (We Are Family, 1979)

Tujuh

Aku sudah merencanakannya selama berminggu-minggu,


aku telah menyiapkan segalanya sampai ke detail terkecil.
Luna pergi menginap di rumah ibu mertuaku untuk meng-
habiskan akhir pekan, aku sudah membeli beberapa vitamin
E (ekstasi) dari pengedar Ramon, dan mencari tahu ke mana
Frank dan Ramon akan berhura-hura pada hari Sabtu,
sehingga tahu tempat-tempat mana saja yang harus dijauhi
Rose dan aku.
Carmen pergi dalam acara akhir pekan tahunan bersama
Advertising Brokers di Monako. Gadis-gadis itu langsung
kegirangan ketika mereka mendengar Carmen akan ber-
gabung. Di mana pun ada Carmen, pasti ada kesenangan.
Setiap orang mengetahuinya. Setelah aku mengantarnya ke
Schiphol, aku langsung pergi ke tempat Rose.
Saat aku melangkah masuk, ia berteriak dari dapur untuk
menyuruhku pergi ke kamar tidur dan berbaring di ranjang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kedengarannya tidak seperti suatu hukuman, dan aku tidak


keberatan diperintah sekali-sekali hanya sebagai selingan.
Beberapa menit kemudian Rose memasuki kamar tidur. Ia
mengenakan kemeja tanpa apa pun di baliknya, dan mem-
bawa baki yang nyaris terlalu besar untuk melewati pintu.
Aku melihat bagel, salmon, alpukat, keju krim, jus yang

185
RAY KLUUN

baru diperas, dan sebotol sampanye yang diikat dengan pita.


“Karena ulang tahunmu minggu depan,” ia berkata. “Aku
tidak dapat memberimu hadiah yang dapat kau bawa pulang.
Jadi aku hanya akan melakukannya seperti ini…” ia me-
natapku nakal dan perlahan-lahan membuka kancing blus-
nya. “Apa yang pertama-tama ingin kau lakukan?”
Aku merasa tersentuh sekaligus bergairah.
“Makan,” aku berkata, menurunkan kepalaku di antara
kakinya dan tetap berada di sana selama beberapa menit.
Setelah sepanjang pagi dan siang bersenang-senang, ber-
hubungan seks, makan, tidur, mengobrol, tertawa, bergumul,
tidur, dan bercinta lagi, aku merasa menjadi lelaki paling
bahagia di dunia.
Tepat sebelum Rose dan aku pergi ke kota untuk berhura-
hura pada malam harinya, aku mendapat sebuah SMS. Dari
Carmen. Ia menulis bahwa dirinya bersenang-senang. Dan
ia membeli rok mungil untuk Luna di Monte Carlo, dan
sepasang sepatu bot yang sangat mahal serta jaket denim
Diesel untuk dirinya sendiri. Aku menyeringai, memberitahu
Rose alasannya—ia tertawa, merasa tersentuh—dan mengirim-
kan SMS balasan kepada Carmen:

Aku bangga padamu dan bahagia


kau bersenang-senang, Cinta dalam
hidupku. X!

Dengan antusias, aku membiarkan Rose melihat SMS


www.facebook.com/indonesiapustaka

balasanku untuk Carmen. Kesalahan.


“Hm. Nama panggilanmu untuk Carmen bagus juga,” ia
berkata dengan getir. “Setidaknya aku tahu tempatku
sekarang.”
Aku hendak menyampaikan ceramah panjang mengenai
konsep waktu, bahwa Carmen adalah cinta dalam hidupku

186
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

sejauh ini dan kau tidak pernah mengetahui bagaimana sisa


hidup akan dimainkan, tapi pemaparan seperti itu bagiku
bukanlah gagasan yang tepat saat ini. Dalam satu akhir
pekan, ia memiliki diriku seutuhnya, bagaimana mungkin
aku menghancurkan kebahagiaannya?
“Ah,” ia berkata dengan sikap acuh tak acuh yang palsu,
saat kami duduk di Café Weber di Marnixstraat, “sebuah
SMS seperti itu tidak benar-benar mengubah apa pun. Aku
tahu dengan pasti aku tidak akan pernah memiliki apa yang
dimiliki Carmen bersamamu.”
“Tapi kau kan tahu kau sangat penting bagiku…”
“Aku tahu. Tapi tidak ada lagi yang tahu. Teman-
temanmu bahkan tidak mengetahui bahwa aku ada. Tidak
sebagai seorang perempuan, tidak sebagai seorang manusia.
Menurutmu bagaimana rasanya?” Ia memberiku tatapan
menyelidik. “Dan aku bahkan tidak dapat memberitahu
orangtuaku sendiri. Sebuah hubungan gelap bersama lelaki
yang sudah menikah yang istrinya mengidap kanker. Mereka
akan sangat menyukainya. Saudara perempuanku sendiri
bahkan tidak mau mendengar saat aku dengan hati-hati
mulai menyebut-nyebut hal itu. Ia langsung mengakhiri
pembicaraan. Dan seorang temanku berpikir bahwa hal itu
melanggar kesopanan. Ia tidak bisa mengerti bagaimana aku
tega melakukannya, atau mengapa seseorang melakukan hal
seperti itu sementara istrinya sedang sakit.”
“Pff…” aku berkata, menenggak habis anggur port-ku.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Yeah. Pff. Mudah dikatakan. Dan kemudian kau akan


membuatku membaca SMS mesra yang kau kirimkan ke
Carmen. Dan hal itu benar-benar membuatku marah,”
katanya sambil mengedipkan mata. “Jadi, jangan coba-coba
pulang lebih awal malam ini. Pada akhirnya kau milikku,
untuk satu kali.”

187
RAY KLUUN

>> Weber dan/atau Lux. Sebuah kafe lounge di Marnixstraat. Aku


tidak pernah tahu apakah aku berada di Weber atau di Lux, keduanya
mirip sekali. Untuk kesekian kalinya aku mencapai kesimpulan
bahwa aku tidak memahami segala urusan lounge ini. Jika kau ingin
berbaring di sofa, lebih baik kau tetap tinggal di rumah!

Karena aku tidak harus pulang sebelum pukul empat,


kami mempunyai seluruh waktu yang ada di dunia. Kami
pergi ke Lux, tempat yang biasanya kudatangi bersama
Carmen sekali-sekali. Untungnya, seperti yang telah kuduga,
kami tidak bertemu dengan orang-orang yang kami kenal.
Itulah alasan mengapa aku menghindari Bastille malam ini.
Aku tidak ingin mendapati diriku berpapasan dengan
Ramon. Sebagai alibiku yang biasa, ia mengetahui seberapa
sering aku berselingkuh, tapi ia tidak mengetahui bahwa
aku melakukannya dengan satu gadis yang sama selama
beberapa bulan belakangan. Dan aku ingin tetap menjaganya
seperti itu. Untungnya Rose lebih suka berdansa daripada
mendengarkan André Hazes. Paradiso tidak termasuk
pertimbangan malam ini. Maud mungkin pergi ke sana.
More juga tidak, di sanalah biasanya Frank kelayapan. Aku
menyarankan Hotel Arena. Sejauh yang kuketahui, tak ada
seorang pun dari MIU yang akan pergi ke sana.

>> Sampai beberapa tahun lalu Hotel Arena merupakan tempat


yang tidak sesuai dengan Amsterdam yang trendi. Musik delapan
puluhan, para backpackers, dan sekelompok kecil gadis muda dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

Purmerend yang membawa tas tangan. Dulu aku sering ke sana.


Sekarang saat tempat itu dianggap cukup keren, musik house
diputar di sana dan harga birnya lebih mahal dua kali lipat.
Mengingat bahwa kuota perempuan-perempuan cantik telah
meningkat sejalan dengan metamorfosis tempat tersebut, aku
memutuskan untuk mengabaikan faktor itu.

188
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

“Apa kau mau sebutir, sekarang saat kita dapat meng-


habiskan sepanjang malam bersama-sama?” aku bertanya
kepada Rose, dan menawarkan pil ekstasi kepadanya.
“Oh? Mmmmm. Ide bagus…”
Satu jam kemudian, DJ Roog adalah Dewa dan aku
mendapati bahwa Dewi-ku sendiri lebih cantik daripada
seluruh istri pemain Ajax yang digabungkan. Aku menegas-
kan hal itu kepadanya dengan menunjukkan ereksi
permanen dan—dalam beberapa menit saat lidahku tidak
berada di dalam mulutnya—membisikkan betapa cantiknya
ia, betapa lembut, betapa feminin, betapa menawan, betapa
cerdas, dan betapa sering aku akan membawanya nanti.
Ketika aku melihat arlojiku, senyum penuh kebahagiaanku
bahkan semakin lebar. Pada tingkat ini, wajahku bisa-bisa
terbelah dua. Baru jam tiga! Saat kau terlibat dalam
hubungan gelap, kau belajar untuk menghargai waktu.
Terutama pada malam hari. Biasanya pada waktu seperti
ini kau harus memutuskan untuk terus minum/berdansa/
mengobrol atau bergumul, karena kau harus pulang pada
pukul empat lima belas paling lambat, tapi malam ini waktu
memihak kami berdua. Saat tempat itu mulai tutup kami
pergi dengan langkah bergegas menuju taksi-taksi yang
sedang menunggu. Walau kami masih mempunyai banyak
waktu, kami tidak ingin menyia-nyiakannya sedikit pun.

***
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sejenak kemudian kami berada di rumahnya, memanfaatkan


ereksiku untuk segala jenis imajinasi, dan kami tetap seperti
itu sampai menjelang fajar.
Pada saat hari mulai terang, barulah aku pulang ke
rumah, tidak kelelahan tapi pastinya terpuaskan. Ibu Carmen
akan datang bersama Luna dalam waktu satu jam. Yah,

189
RAY KLUUN

setelah dua puluh empat jam menikmati Rose, Papa menjadi


Papa sekali lagi. Aku bisa tidur malam ini.
Saat aku tiba di rumah, aku menelepon Carmen. Ia
bahagia aku meneleponnya. “Di sini benar-benar fan-tas-
tis,” serunya di telepon. Ia menceritakan bahwa mereka
makan siang di taman-taman sebuah kastel yang mengarah
ke Teluk Monte Carlo, dan mereka akan pergi ke Cannes
sore itu. Aku memberitahunya bahwa aku bersenang-senang
sampai pukul empat di Hotel Arena. Aku tidak menyebut-
nyebut pil ekstasi dan Rose. Carmen benci narkoba dan
Carmen benci ketidaksetiaan.
Malamnya, saat aku menunggu untuk menjemputnya
dari Schiphol bersama Luna, hal itu langsung menghantam-
ku. Carmen kelelahan. Saat ia mengucapkan selamat tinggal
kepada rekan-rekan kantornya, ia memasang tampang
berani. Ia mencium setiap orang dan membuat lelucon
tentang akhir pekan mereka. Senyum lebarnya tidak me-
mudar sekejap pun. Sampai kami berada di luar pandangan.
“Oh, Danny, tubuhku rasanya remuk… apa mobilnya masih
jauh?”
Aku berkata bahwa aku memarkirnya di tempat parkir
bagi orang cacat, tepat di pintu masuk P1. Carmen men-
ciumku.
Malam harinya ia pergi tidur pada pukul setengah
sembilan. Tidak masalah buatku. Aku pergi tidur juga. Aku
bangun pada pukul sembilan pagi. Carmen masih tidur
sampai sore.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Teman-temannya telah menikmati akhir pekan dengan


Carmen dalam kondisi prima. Rose menikmati diriku. Aku
menikmati Rose.
Ya, Carmen dan aku masih menikmati hidup.
Tapi, sayangnya, tidak lagi menikmatinya bersama.

190
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

Now everyone dreams of a love lasting and true,


but you and I know what this world can do …
Bruce Springsteen, dari If I Should Fall Behind (Lucky Town, 1992)

Delapan

Carmen sepertinya telah mencapai suatu kesimpulan bahwa


aku memperoleh perlindungan dalam pekerjaan dan hura-
hura. Ia tidak terlalu senang dengan itu, tapi ia menerima-
nya, dan ia menemukan sebuah solusi. Carmen melakukan
hal yang sama. Beberapa minggu sebelum pergi ke Monako,
ia dan Anne pergi untuk menjalani akhir pekan menenang-
kan di pulau Schiermonnikoog. Seminggu sebelumnya, ia
pergi berbelanja dengan ibunya di London. Dan saat hari
Kenaikan Isa Almasih, ia pergi bersama Maud ke New York.
Ia tidak pernah merasa bosan. Saat Luna ada di rumah,
mereka bersenang-senang bersama. Pada hari-hari saat Luna
pergi ke crèche, Carmen pergi untuk minum kopi di
Advertising Brokers atau makan siang bersama Maud. Atau
lain waktu ia pergi dan menghabiskan siang hari bersama
ibunya di Purmerend. Dan ia melarikan diri dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

berbelanja. “Berbelanja itu menyehatkan” adalah mottonya


yang baru. Potret Carmen bisa jadi digantung di ruang-
ruang rapat DKNY, Diesel, Replay, dan Gucci.
Untuk ulang tahunku yang kedua setelah kanker, Carmen
memberiku hadiah sepeda, tapi tidak ada seks. Kami tidak
pernah melakukannya sejak kado Natal darinya. Aku telah

191
RAY KLUUN

lupa bagaimana rasanya berada di tangan Carmen, di mulut


Carmen, atau di dalam diri Carmen sendiri. Dan oh, jujur
saja, aku tidak membuat banyak upaya ke arah itu. Tak
seorang pun dari kami merasakan kebutuhan yang besar
untuk melakukannya lagi. Carmen mempunyai kanker dan
hanya satu payudara, sementara aku mempunyai Rose.
Kami masih tetap hidup bersama, tapi lebih mirip sebagai
kakak dan adik.* Kami tahu kami tidak bisa hidup tanpa
satu sama lain, mengingat situasinya, dan mencoba untuk
bertengkar sesedikit mungkin. Carmen melakukan apa pun
yang dapat dilakukannya untuk mencegah kanker meng-
ambil alih kehidupan kami, dan bersikap ceria di rumah.
Dan kadang saat kanker, payudara protese, atau kepergianku
terasa terlalu berat baginya, aku pun menjadi si brengsek.
Aku sangat mengerti hal itu. Aku senang ia mengizinkanku
keluar sekali-sekali, betapapun seringnya ia mengeluhkan
hal itu. Aku tahu ia berupaya dengan keras untuk me-
lakukannya.
Dari pihakku, aku mencoba sebisa mungkin memastikan
Carmen tidak menyadari satu hal pun yang kukerjakan saat
aku tidak ada di rumah. Aku tidak tahu apakah Carmen
memercayaiku saat aku berkata aku bersenang-senang
bersama Ramon sampai pukul empat, terpaksa makan
malam bersama klien lagi, bahwa aku pergi lebih sering
berangkat kerja pada pukul delapan dan pergi ke toko larut
malam, tapi ia jarang bertanya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Apa yang kuketahui sekarang adalah aku tidak dapat


meneruskan hidupku seperti ini. Terasa terlalu berat. MIU,
Rose, Carmen, Luna, rasa bersalahku: setiap hal dan setiap
orang menuntut perhatian dariku. Carmen dan aku harus
berbicara, meskipun aku tidak dapat melihat apa yang dapat

* Dikutip dari Redding oleh Tröckener Kecks (Met hart en ziel, 1990).

192
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

berubah dalam situasi kami. Aku tidak dapat meninggalkan-


nya dalam kesusahan, tapi aku juga tidak dapat memberi-
tahunya soal hubungan gelapku, karena hal itu bisa jadi
merupakan akhir dari segalanya. Dan setelah itu aku akan
hancur berantakan.
Namun, kami memang harus berbicara. Mungkin minggu
depan, saat kami membawa Luna selama seminggu ke Club
Med di Prancis Selatan. Sejenak menjauh dari Rose, sejenak
menjauh dari Amsterdam, dan tidak ada pertemuan tiga-
arah lagi. Hanya Carmen, Luna, dan aku. Ya. Minggu depan,
kami akan bercakap-cakap.
Aku takut menjalani satu minggu tanpa Rose, tapi itulah
yang kuinginkan.
Aku takut mengobrol bersama Carmen, tapi aku tahu
aku harus melakukannya.
Sesuatu harus berubah. Dengan adanya kanker atau tanpa
kanker.
Kanker sialan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

193
RAY KLUUN

So need your love, so fuck you all …


Robbie Williams, dari Come Undone (Escapology, 2002)

Sembilan

Sebelum aku pergi ke Club Med bersama Carmen dan Luna


untuk terapi pernikahan, malam bersenang-senang lain
sedang dipersiapkan. Ini adalah acara minum sesekali di
MIU yang terkenal, saat semua orang harus memikirkan
sesuatu untuk dirayakan. Kali ini yang dirayakan adalah
ulang tahunku—yang jatuh sebulan yang lalu. Kami pergi
bersenang-senang ke Rotterdam dan semua orang menginap
di sebuah hotel.
Tapi ada satu masalah. Dengan adanya pesta ini artinya
aku tidak akan bertemu dengan Rose selama hampir sepuluh
hari. Aku harus memikirkan suatu cara. Malam sebelumnya,
tak mungkin aku bisa ke luar rumah. Kalau nekat, aku pasti
tidak akan mendapat poin apa pun di mata Carmen.
Aku memeras otakku, dan tiba-tiba saja aku mendapat-
kannya. Aku akan membatalkan acara menginap pada Jumat
malam.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku mengirim pesan kepada Rose bahwa sepanjang


malam selama seminggu ini kami tidak bisa bertemu, tapi
pada Jumat malam aku akan berkendara kembali ke
Amsterdam dan kemudian memesan waktunya dari jam
setengah enam pagi sampai jam sembilan kurang seper-
empat. Dengan bersungut-sungut, ia menyetujuinya.

194
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Aku berjanji kepada Carmen bahwa aku akan tiba di


rumah setengah jam sebelum kami pergi ke Schiphol. Ia
tidak senang dengan pengaturan jadwalku yang sempit. Aku
mencatat di dalam kepalaku:

Hari / Jam Aktivitas Lokasi


Kamis
19.00 – 22.00 suami/ayah A’veenseweg (ruang duduk)
22.00 – 08.00 tidur A’veenseweg (ranjang)

Jumat
08.30 – 18.00 bekerja MIU (Std. Olympic)
18.00 – 04.30 makan/acara
bersama MIU R’dam (De Engel, Baja)

Sabtu
04.45 – 5.30 mengemudi/minum
Redbull A4 R’dam – A’dam (mobil)
05.30 – 08.45 seks bersama Rose/
makan pagi/mandi A’dam Oud-West (ranjang)
08.45 – 09.00 mengemudi/makan mint Overtoom/A’veenseweg (mobil)
09.00 – 09.45 mengepak koper/
membereskan barang-
barang bersama Carmen A’veenseweg (ruang duduk)
10.00 – 10.50 cek-in/minum kopi hitam Schiphol
11.10 terbang/istirahat A’dam – Nice (pesawat)

Sepulang kerja aku pergi bersama Frank untuk men-


jemput Luna dari crèche dan mengepak barang-barangku di
www.facebook.com/indonesiapustaka

rumah. Frank berbicara dengan Carmen saat aku mengepak


koperku di lantai atas. Aku menangkap sepotong per-
cakapan. Aku mendengar Carmen berkata ia tidak senang
karena aku menginap di hotel di Amsterdam malam ini.
Frank menenangkannya dan memberitahunya bahwa ia akan
tidur sekamar denganku.

195
RAY KLUUN

Aku mencium Luna dan berkata Papa akan kembali


besok, dan kami bertiga akan pergi liburan setelahnya. Saat
aku mencium Carmen, ia hampir tidak memandangku.
“Kau akan pulang tepat waktu, kan, besok? Akan lebih
baik kalau kita bisa mengejar pesawat,” bentaknya padaku.
Setelah berada di dalam mobil aku menghela napas
seperti yang kulakukan pada menit terakhir Final Piala UEFA
melawan Torino pada menit 92* saat bolanya memantul
melambung di atas Stanley Menzo,** mengenai bagian bawah
jaring, dan memantul kembali ke lapangan. Frank men-
cengkeram tanganku selama sesaat, aku memasang Fun
Lovin’ Criminals, keras-keras, dan kami bergabung dengan
kemacetan Jumat malam di A4. Aku tidak peduli. Aku
menjauh dari rumah.
Acara minum-minumnya berakhir dengan kacau. Aku
menelan E, dan nafsu seksku timbul. Semua rekan kerjaku
mengamati dengan senang saat aku terlibat dalam sesi
bercumbu yang panjang bersama Natasha di Baya.

>> Natasha (23) pegawai magang baru kami. Pusarnya ditindik dan
itu luar biasa cocok dengan dirinya.

Maud berbisik di telingaku bahwa citraku akan ter-


selamatkan jika aku menghentikannya sekarang juga. Aku
setuju. Saat itu sudah pukul setengah lima, dan Rose sedang
menungguku. Sebelum ia mengetahui apa yang sedang
www.facebook.com/indonesiapustaka

kulakukan, aku dengan cepat menyelipkan lidahku di mulut

* Ajax-Torino 0 – 0, Stadion Olympic, 13 Mei 1992. Skor 2 – 2 (Jonk, Pettersson). Ajax: Menzo
Silooy, Blind, F. De Boer, Alflen, Winter, Jonk, Kreek (Vink), Van’t Schip, Pettersson, Roy (Van
Loen).
** Stanley lebih bagus dalam memberikan saran daripada menyelamatkan gawang, dan hal
itu tidak bagus bagi seorang kiper. Ia seorang yang menyenangkan sehingga tak seorang
pun tega menyuruh-nyuruhnya. Kecuali Louis van Gaal. Semua orang di stadion De Meer
diam-diam berterima kasih kepada Louis.

196
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Maud juga. Frank menarikku menjauh. Aku tertawa kepada-


nya.

>> Baya Beach Club. Para staf bar (laki-laki/perempuan) dengan


dada bergaya-Miami menghabiskan siang hari mereka di sebuah
universitas olahraga dan menyajikan koktail dalam pakaian pantai
pada malam hari, di bawah aturan ketat boleh-lihat-tidak-boleh-
pegang. Bahkan menurut standar Rotterdam hal itu cukup vulgar.

“Ayo, kita kembali ke hotel,” ia berkata.


“Aku tidak akan pergi ke hotel. Aku akan kembali ke
Amsterdam.”
“Kau baru saja minum, dan kau menelan pil, demi
Tuhan!”
“Aku punya kencan lain.” Aku memberi Frank pandangan
menantang. “Dengan seorang gadis.”
“Biar kutebak. Kau menjalani hubungan gelap.”
“Ya. Sekarang sudah empat bulan. Dan namanya adalah
Rose. Ada hal lain yang ingin kau ketahui?”
“Tidak. Aku sudah mengetahuinya. Gadis yang berbicara
denganku di telepon saat di MIU, saat kau sedang berada
di toilet, orang yang kau kirimi e-mail setiap hari sejak saat
itu.”
“Yeah. Lalu kenapa?” Oke, pukul aku dengan keras, dasar
bajingan.
Frank tidak memukulku.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku berharap Rose memberimu apa yang kau butuhkan


untuk bertahan hidup, Danny.”
Tak lama kemudian aku melarikan mobilku dengan
kecepatan 180 km per jam di A4 menuju Amsterdam Oud-
West. Setengah perjalanan ke sana aku mendapat SMS.
PONSEL MAUD.

197
RAY KLUUN

Dan, kawan lama, aku sudah


mengetahuinya. Gadis dari karnaval.
Berhati-hatilah supaya Carmen tidak
mengetahuinya. Atau Thomas dan
Anne. Semoga beruntung dengan
liburanmu bersama Carmen. X
www.facebook.com/indonesiapustaka

198
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

God have mercy on the man


who doubts what he’s sure of …
Bruce Springsteen, dari Brilliant Disguise
(Tunnel of Love, 1987)

Sepuluh

Dengan bunyi mendengung dan teriakan “Halo!” bahagia,


pintu depan pun terbuka. Aku berlari ke atas dan melihat
bahwa ia sudah membukakan pintu untukku. Saat aku
masuk, ia sedang berbaring di tempat tidur, tangannya
terentang menyambut. Payudaranya yang lembut menyembul
di bagian atas selimut. Dengan cepat aku menanggalkan
pakaian, tidak melepaskan tatapanku darinya selama sedetik
pun. Ketika aku naik di atasnya, aku merasakan betapa
lembut dan hangat dirinya. Kami langsung melakukannya,
tanpa membuang-buang waktu untuk melakukan foreplay.
Setelahnya, ia merebahkan kepala di dadaku, dan sesaat
kemudian kami berdua jatuh tertidur.
Begitu aku terbangun, aku merasakan ada sesuatu yang
diletakkan di tempat tidur. Aku membuka mata, masih se-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tengah tertidur, dan melihat bahwa ia sedang menanggalkan


gaun tidurnya. Ia beringsut kembali ke sampingku lalu
mengecup keningku. Di atas ranjang sudah ada satu baki
berisi croissant. Aku mulai merasa emosional.
“Ada apa, Sayang?” tanya Rose.
“Saat aku melihat segala hal yang kau lakukan untukku—

199
RAY KLUUN

aku senang bisa bersamamu, sangat hangat.”


“Kau pantas mendapatkannya,” ia berkata dengan
lembut.
Bum, itu ia. Pintu airnya terbuka. Rasa mengasihani diri
yang kurasakan membuncah. Aku mulai menangis, untuk
pertama kalinya di hadapan Rose. Ia menghampiri dan
duduk di sampingku, memelukku lalu menyerahkan tehku.
Aku tidak berani memberitahunya mengapa aku tiba-tiba
merasa terpuruk seperti ini. Bahwa aku tidak bisa membawa
diriku untuk setia kepadanya. Atau setidaknya berkata jujur.
Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun mengenai si
pegawai magang atau mengenai Maud. Alih-alih aku mulai
membicarakan Carmen.
“Kurasa minggu ini aku akan memberitahu Carmen
betapa tidak bahagianya diriku, dan mungkin bahwa aku
akan berbuat serong sepanjang hubungan kami. Aku tidak
dapat menyimpannya lebih lama lagi, aku tidak bisa terus-
terusan seperti ini. Aku mulai membenci diriku sendiri.”
Rose menatap cangkir tehnya dengan pandangan me-
renung.
“Kurasa kau harus memikirkan matang-matang tentang
apakah kau benar-benar ingin berkata jujur kepadanya,” ia
berkata setelah beberapa saat. “Apakah Carmen akan merasa
bahagia setelah kamu memutuskan untuk jujur hanya karena
kau tiba-tiba merasa bersalah setelah bertahun-tahun ini?
Apa yang akan ia lakukan dengan hal itu? Kau tak boleh
www.facebook.com/indonesiapustaka

menyakitinya seperti itu. Jangan sekarang.”


Aku mengangkat bahu. “Mungkin aku bahkan akan
memberitahunya mengenai hubungan gelap ini. Setidaknya,
ia akan punya alasan untuk membenciku.”
Rose terkesiap. “Tapi—kau tidak boleh melakukannya!
Itu akan…”

200
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

“Ya, itu bisa berarti akhir dari pernikahanku. Lalu?


Mungkin memang itulah yang kuinginkan. Kurasa aku tidak
mencintai Carmen lagi.”
Nah, sudah tercetus. Itu kali pertama aku mengungkap-
kannya keras-keras.
Rose menatapku mataku lurus-lurus.
“Kau memang mencintai Carmen,” katanya dengan
tenang. “Aku bisa melihatnya, dari caramu membicarakan-
nya, dari caramu memperlihatkan SMS-nya kepadaku.
Kalian memberikan cinta dan kebahagiaan kepada satu sama
lain. Kau sekarang tidak merasa bahagia, tapi kau tetap
mencintainya. Kalau tidak, kau tak akan pernah melakukan
apa pun yang kau lakukan untuknya.”
“Seperti menjalin hubungan denganmu?” aku bertanya,
sinis.
“Omong kosong,” ia menjawab dengan ketus, “hal itu
tidak ada hubungannya dengan apa yang kaurasakan
terhadap Carmen. Bersamaku kau mendapat kehangatan
yang tidak lagi diberikan Carmen kepadamu. Itulah
sebabnya kau melarikan diri kepadaku. Kau tak bisa berbuat
apa pun tanpa kehangatan itu.” Aku dapat melihat bibir
bawahnya bergetar. “Dan berangsur-angsur, begitu pula
aku—awalnya aku bisa mengatasi hal itu, gemuruh mem-
bosankan di latar belakang itu. Namun aku mulai merasakan
hal yang lebih dan lebih besar lagi kepadamu…” ia terisak.
“Aku berpikir kita harus berpikir matang-matang tentang
www.facebook.com/indonesiapustaka

apakah kita sebaiknya berhenti, saat kita masih bisa


melakukannya…” Ia mencondongkan kepalanya ke kepala-
ku. Aku merasakan sebutir air mata menitik di pipiku.
“Aku tidak ingin berhenti menemuimu, Rose,” aku
berkata dengan lembut. “Aku tidak dapat hidup dengan—”
Tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku melirik layarnya

201
RAY KLUUN

dan jantungku serasa mau copot.


PONSEL CARMEN. “Oh, sial! Ini Carmen!” dengan kasar
aku mendorong Rose menjauh.
“Sial, sial, sial!” aku berteriak. Teleponku berbunyi lagi.
“Angkat saja!”
“Tidak! Aku tidak tahu harus berkata apa! Tunggu
sebentar—biar aku—biar aku berpikir…”
Trrringg. “Kenapa kau tidak …”
“Diamlah sebentar!” aku membentak, “Biarkan aku
berpikir…”
Ponsel itu berbunyi untuk yang keempat kalinya.
“Biarkan saja bunyi! Aku akan menghubunginya lagi.
Aku hanya perlu menyusun sebuah cerita.”
Kelima kalinya. Keenam kalinya. Ponsel itu berhenti
berbunyi.
Telanjang, aku melangkah bolak-balik di kamar tidur.
Aku berpikir dengan terburu-buru. Sekarang apa—Aku
berharap sewaktu-waktu akan mendengar bip dari ponselku
yang menunjukkan bahwa aku mendapat pesan suara.
Alih-alih ponselku berbunyi lagi. Aku hampir tidak berani
menatap.
PONSEL FRANK. Fyuh…
“Frank?”
“Ya.” Ia kedengaran putus asa. “Carmen baru saja
menelepon. Kupikir kau harus segera menghubunginya, atau
www.facebook.com/indonesiapustaka

kau akan dapat masalah.”


“Apa yang kau katakan?”
“Bahwa aku masih tidur dan tidak tahu pukul berapa
kau pergi.”
“Oke—trims—omong-omong, memangnya sekarang jam
berapa?”

202
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

“Baru jam delapan. Dengar, Dan…”


“Ya?”
“Aku tidak suka begini.”
“Ya—maaf.”
Rose sudah memakai gaun tidurnya lagi. Ia duduk di
ujung tempat tidur menatap lesu ke hadapanku, yang sedang
menggenggam teleponku.
“Telepon ia sekarang!” kata Rose dengan gugup.
Aku berdiri dan menggelengkan kepala. “Tidak. Aku
akan pulang sekarang juga. Aku akan memikirkan alasannya
nanti.” Pada saat itu aku sudah setengah berpakaian.
“Bukankah kau seharusnya mandi?” Rose bertanya
dengan waspada.

***

Sebelum aku masuk ke dalam mobil, aku menengok untuk


yang terakhir kalinya. Rose berdiri di balkon mengenakan
gaun tidurnya. Ia meniupkan ciuman jarak jauh kepadaku.
Ada tatapan cemas di matanya.
Di dalam mobil, aku memutar otak. Sebelum sampai di
Overtoom, aku mendapatkan kisahku. Aku menelepon
Carmen.
“Hai, Sayang! Apa kau tadi menelepon?” kataku sekasual
mungkin.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ya. Kau di mana? Aku juga sudah menelepon Frank.”


“Aku baru saja berhenti untuk membeli secangkir kopi
di restoran setelah jalan A4 itu, dekat Schiphol. Kau tahu
tempat itu kan? Aku hampir jatuh tertidur sambil menyetir.
Tapi aku meninggalkan teleponku di mobil.”
“Hm.”

203
RAY KLUUN

“Acara kemarin luar biasa! Rotterdam itu menyenang-


kan.”
“Oh. Apakah kau akan terlambat?”
“Tidak, aku hampir sampai, malahan. Aku baru saja
melewati Schiphol,” aku berkata saat aku menyusuri de
Overtoom. “Sampai ketemu sebentar lagi, Cinta!”
“Yeah. Sampai ketemu sebentar lagi.” Ia menggerutu dan
menutup telepon.
www.facebook.com/indonesiapustaka

204
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

Leave me alone, even if it doesn’t always turn out fine,


loneliness is sometimes worse with two …
Klein Orkest, dari Laat mij maar alleen (Het leed versierd, 1982)

Sebelas

Kami berdua sudah pergi ke segala tempat. Afrika Selatan,


Kenya, Meksiko, Kuba, California, Nepal, India, Vietnam,
Malaysia, kau sebut saja. Bahkan saat Luna baru saja lahir,
kami pergi menyelam bersama Thomas dan Anne di Republik
Dominika. Sejak kami menghadapi kanker, Carmen pergi
ke New York dan London tanpa diriku. Dan aku pergi ke
Miami tanpa dirinya. Saat kami bersama-sama, kami tidak
melakukan apa pun yang membutuhkan upaya keras.
Bahkan dengan tempat liburan. Satu minggu di Center
Parcs tahun lalu dan berakhir pekan musim semi kali ini di
Texel atau Terschelling, aku lupa. Yang pasti, di sana ada
lebih banyak sapi daripada manusia, dan di sana terdapat
pantai panjang yang telantar.
Dan sekarang kami berada di Club Med. Tepat di dekat
Cannes, tampak dari sini setidaknya. Tapi aku menyadari
bahwa kami tidak bakal keluar dari klub menyedihkan itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

sepanjang minggu.
Saat kami membawa koper-koper kami ke kamar, terdapat
dua GO* yang sedang beraerobik dengan sekelompok orang
di samping kolam renang. Semua orang kelihatan bahagia.

* GO: tuan rumah Club Med. Kependekan dari Glib (kasual) dan Oily (berminyak).

205
RAY KLUUN

Carmen tidak. Ia masih menghabiskan sepanjang waktu-


nya dalam suasana hati yang mengapa-aku-harus-bersikap-
baik-padamu. Aku tetap bersikap baik tanpa lelah. Aku me-
nyuruh diriku untuk terus tersenyum seperti penganut Buddha
setiap hari, bahkan saat seseorang mencari gara-gara.
Suasana hati Luna juga berubah-ubah. Ia sangat kelelahan
akibat perjalanan, dan sesulit Mido.* Untungnya ia dengan
cepat tertidur di kamar kami. Carmen dan aku membawa
monitor-bayi lalu pergi makan malam. Kami mengamati
orang-orang yang lalu lalang di sekitar sini. Mereka semua
terlihat seolah-olah berada di arena pasar malam. Dengan
perlahan, Carmen melunak. Menertawakan orang bersama-
sama menciptakan ikatan. Aku bahkan mendapat ciuman se-
lamat malam di tempat tidur. Hari pertama ini cukup baik.
Pada hari kedua, atmosfer di rombongan kami, harus
kuakui, agak lebih baik. Kami berbaring di kursi panjang di
samping kolam renang, kami makan, kami bermain bersama
Luna. Ada beberapa perempuan bertelanjang dada di dekat
kolam yang cukup menarik, jadi secara visual aku tidak dapat
memprotes. Saat aku pergi ke kamar untuk mengambil boneka
Luna, dengan cepat aku mengirim SMS kepada Rose.

Banyak perempuan di sini, tapi tak bisa


diperdebatkan lagi: kau memiliki
payudara paling indah dan kaulah
perempuan paling menawan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Hanya ada satu pesan masuk. Ayo kita lihat, dari Thomas,
berharap agar liburan kami menyenangkan. Pfff—Oke, baik
sekali ia. Aku akan meneleponnya sepulang liburan.

* Mantan pemain Ajax, seorang Mesir bertalenta besar yang bergaya-main individual dan
sulit diatur. Saat Anda membaca ini, ia mungkin bermain untuk sebuah klub Eropa kelas
dua dengan gaji mahal.

206
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Malamnya, kami pergi ke auditorium untuk menonton


pertunjukan Titanic (dilafalkan sebagai Tee-tan-eek menurut
GO dari Prancis) yang jauh dari bagus. Luna pikir
pertunjukan tersebut brilian. Carmen dan aku minum untuk
mengusir rasa malu kami. Kami bersikap baik satu sama
lain. Aku terus-terusan mengulurkan tangan di balik pung-
gung Luna untuk menyentuh Carmen. Setelah pertunjukan
itu kami menidurkan Luna, minum sedikit lagi, dan me-
nonton film di kamar bersama-sama. Aku meremas tangan
Carmen. Saat kami akan tidur, aku membelai wajahnya.
“Malam ini menyenangkan, bukan?”
“Ya.” Ia menelusurkan tangannya di dadaku.
“Selamat malam, Cinta.”
“Selamat malam, Sahabatku.”
Pada hari ketiga aku mulai merasa agak bosan. Carmen
dan Luna sedang tidur di kamar. Aku berbaring di samping
kolam renang untuk mengirim SMS kepada Hakan, yang
memberiku kabar terbaru bagaimana tim Belanda bermain
kemarin—Piala Eropa dimulai dua minggu lagi!—melawan
Turki. Karena bosan, aku mengirim SMS jorok yang
kudengar dari salah satu orang di kantor kepada Ramon.
Dan pertama kepada Thomas. Ia menyukai humor seperti
itu. Setelahnya aku mengirim SMS kepada Rose.

Aku ingin bercinta dengan liar


denganmu dan kemudian
www.facebook.com/indonesiapustaka

melakukannya dengan lembut. X.

Aku menekankan jempolku pada Opsi, Kirim, Cari, OKE,


dan mengirimkan SMS tersebut.
Ke Thomas.
Aku langsung menyadarinya dalam sepuluh detik. Ya
ampun, kumohon jangan hal itu! Wajahku merah padam.

207
RAY KLUUN

Jantungku meloncat ke tenggorokanku. Aku mencoba untuk


membatalkan pengiriman pesan tersebut. Terlambat.
Gambar amplop “Mengirim Pesan” sudah digantikan dengan
gambar amplop “Pesan Terkirim”. Aku mulai berkeringat.
Aku berharap tanah menelanku sekarang juga.
Aku mempertimbangkan untuk menelepon Thomas dan
memberitahunya agar tidak membaca pesan itu, tapi aku
sendiri mendapat SMS. PONSEL THOMAS.

Aku senang hubunganmu dengan


Carmen membaik. ;)

Aku tertawa. Dasar si Thomas tua yang mudah tertipu.


Pada saat bersamaan aku melihat Luna dan Carmen berjalan
menghampiri kolam renang. Tertawa riang setelah tidur
siang. Aku tersenyum, merasa tersentuh. Mereka melambai.
Tepat seperti keluarga kecil bebas-kanker yang normal dan
bahagia. Carmen menciumku dan mengedipkan mata ke
arahku. Selama sesaat aku merasa bahagia. Hal itu hampir
membuatku ketakutan. Tuhan yang Mahakuasa, atas nama
cinta mungkin kami akan memberi kesempatan kepada satu
sama lain? Lagi pula, kami Dan & Carmen! Kami tidak
akan membiarkan hasrat seksualku yang tak terkendali atau
sekadar kanker membuat kami terpuruk, bukan?

***
www.facebook.com/indonesiapustaka

Setelah menidurkan Luna dan menyalakan monitor-bayi,


kami pergi ke bar luar ruangan di samping kolam renang.
Aku memesan amaretto dan armagnac. Carmen menyesap
amaretto-ku sedikit lalu memandangiku. Aku merasakannya.
Sekaranglah saatnya. Percakapan itu. Aku hampir tidak

208
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

berani membuat kontak mata.


“Danny, ada apa dengan dirimu akhir-akhir ini? Aku
merasakan dirimu menjauh.”
“Aku tidak berpikir demikian. Masa, sih?”
“Yeah,” ia berkata dengan pelan, “kau melakukan segala
hal yang kau bisa untuk menjauh dari rumah. Dan saat kau
keluar, kau menyalahgunakannya.”
“Mengapa kau berpikir seperti itu?”
“Siapa Tasha?”
Shock.
“Tasha? Oh, yeah—Natasha. Ia pegawai magang baru
kami. Kenapa memangnya?”
“Saat kau tidak mengangkat telepon waktu Sabtu pagi,
aku merasa khawatir. Dan saat kau mengepak kopermu aku
mendengarmu mendapat sebuah SMS. Aku membukanya
untukmu. Lihat.”
Dengan jemari yang gemetaran aku membuka folder
pesan. Di dalamnya aku menemukan nomor yang tidak
kukenal. Aku membuka pesan itu dan wajahku langsung
merah padam.

Dan, kupikir kau luar biasa seksi—


kemarin rasanya hebat dan ingin lagi.
X. Tasha
www.facebook.com/indonesiapustaka

Carmen menganggap wajahku yang memerah sebagai


sebuah konfirmasi, seolah-olah isi SMS itu tidak cukup jelas.
Air matanya menggenang. “Apa ia hebat di ranjang? Apa
payudaranya indah?”
“Carm, aku tidak tidur dengan Natasha. Aku sungguh-
sungguh.”

209
RAY KLUUN

“Oh hentikan,” ia berkata, terisak-isak. “Aku mengerti.


Tentu saja kau lebih memilih untuk meniduri si Monica
Lewinsky yang seksi daripada seorang perempuan yang
hanya mempunyai satu payudara dan kepala yang botak.”
Aku hendak menjawab, tapi ia melambaikan tangan
untuk mengatakan bahwa ia belum selesai.
“Itu bahkan bukan hal terburuk,” ia melanjutkan,
suaranya bergetar. “Aku sakit ketika menyadari kau hanya
dapat merasa bahagia, tampaknya, jika aku tidak ada di
sekitarmu. Aku tahu aku bukan orang menyenangkan untuk
diajak tinggal bersama akhir-akhir ini. Aku berharap aku
dapat membuatmu bahagia lagi, tapi aku tidak bisa dan hal
itu membuatku gila. Dan membuatku murung. Aku tidak
ingin begitu. Aku tidak ingin menjadi perempuan jalang tua
yang mengerikan.”
“Kau bukan perempuan jalang tua yang mengerikan,”
aku berkata.
Ia menampiknya. “Di mana pun letak masalahnya,
apakah itu kau, kanker menyedihkan, atau aku: kau pikir
bersamaku itu mengerikan. Kau melarikan diri. Dapatkah
kau menatap mataku dan berkata bahwa kau masih
mencintaiku?”
“Aku—aku tidak tahu, Carm—”
Ia berhenti sejenak. “Sudah kuduga jawabanmu akan
seperti itu. Dan, dengar. Aku sudah lama memikirkannya
matang-matang mengenai hal yang akan kulakukan
www.facebook.com/indonesiapustaka

sekarang—”
Aku merasakan diriku semakin menciut menanggapi
keberaniannya. Aku tidak menduga hal ini. Rasanya seperti
pertahanan yang jebol karena tim lawan tiba-tiba muncul
di lapangan dengan tiga penyerang alih-alih dua. Ia berhasil
menyusul dan menyamakan kedudukan.

210
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

“Aku bahkan tidak ingin tahu apa yang kau lakukan saat
dirimu berhura-hura di sebuah pub sampai pukul setengah
lima pagi. Aku tidak ingin tahu siapa yang mengirimkan
SMS kepadamu. Aku tidak ingin tahu di mana dirimu saat
tidak mengangkat telepon. Aku selalu curiga bahwa kau
berselingkuh. Jika kau yang sakit mungkin aku pun akan
melakukan hal yang sama. Aku mungkin akan mulai ber-
kencan dengan seseorang sejak lama.”
Aku memandangnya, terkejut. Apakah ia mengetahuinya?
Aku mencari petunjuk di wajahnya untuk menunjukkan
kepadaku mana yang diketahuinya dan mana yang tidak.
Tapi aku tidak punya waktu. Ia melanjutkan.
“Tapi aku bukan kau. Aku seorang perempuan pengidap
kanker dengan satu payudara, dan mungkin hanya memiliki
beberapa tahun lagi untuk hidup. Selama beberapa tahun
itu aku lebih baik sendirian daripada bersama seorang lelaki
yang tidak yakin apakah ia masih atau sudah tidak men-
cintaiku lagi. Ini akan terasa sulit, akan terasa mengerikan,
tapi aku dapat melaluinya, itu aku yakin—”
Ia berhenti sejenak, memandangku dan kemudian
mengucapkan hal itu.
“Mungkin kita harus bercerai, Dan.”
Ia telah mengatakannya. Kata C itu. Cerai.
Tim lawan sekarang telah menyarankan apa yang selama
ini kuanggap sebagai pilihan yang mustahil. Ia meletakkan
bola di depan gawang yang tak terjaga. Yang perlu kulakukan
www.facebook.com/indonesiapustaka

hanya menendangnya.
Segalanya mengalir deras memasuki kepalaku. Betapa
leganya aku setiap kali aku melangkah ke luar pintu untuk
ke kantor. Betapa bahagianya aku saat bisa pergi pada malam
hari untuk bersenang-senang. Betapa nyamannya aku saat
bersama Rose. Betapa tegangnya aku saat pulang ke rumah,

211
RAY KLUUN

tidak mengetahui bagaimana suasana hatinya saat ini. Betapa


seringnya aku benar-benar merasa ingin melarikan diri
selamanya.
Dan sekarang aku bisa. Jika aku mengiyakannya sekarang,
aku akan terbebas dari hubungan yang mendingin. Dari
kurangnya keintiman. Dari kanker.
“Tidak.”
Aku mengatakan tidak.—Aku mengatakan TIDAK!?
“Tidak. Aku tidak mau cerai.”—Tapi kau mau cerai!
“Demi Tuhan, kalau begitu apa yang kau inginkan,
Danny? Apakah kau ingin lebih banyak kebebasan? Lalu,
Demi Tuhan, katakan apa maumu!”—Ya! Katakan apa
maumu!
“Bagaimana aku bisa tahu apa yang kuinginkan? Tidak
ada kanker, itulah yang kumau!” aku menjawab dengan
marah.
“Jika kau menyingkirkan aku, kau akan menyingkirkan
kankernya,” ucapnya datar.
“Tidak, aku tidak mau menyingkirkanmu!” aku ter-
cengang, karena aku menyadari bahwa diriku bersungguh-
sungguh mengucapkannya, dari lubuk hati yang terdalam.
Carmen tidak mengatakan apa pun selama sesaat lalu
meraih tanganku. “Minggu ini, pikirkan baik-baik apa yang
kau inginkan, Danny. Aku tidak suka harus duduk dan
menunggu sampai kau mengetahui apakah dirimu masih
mencintaiku. Tentu saja aku ingin tinggal bersamamu, tapi
www.facebook.com/indonesiapustaka

harus ada yang berubah. Kalau tidak, kita berdua akan


melangkah sendiri-sendiri. Kau dan aku terlalu baik untuk
mendapatkan penderitaan seperti ini.”
“Ya Tuhan, Carm,” aku berkata dengan lembut,
“memikirkannya hanya akan mendapat kesimpulan seperti
ini.” Aku menggambar lingkaran di telapak tangannya

212
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

dengan ibu jariku.


“Jangan bicarakan lagi soal itu malam ini. Ayo kita
bersenang-senang,” ia tersenyum. “Kita lihat saja apakah
kita masih bisa melakukannya.”
“Ya,” aku tersenyum lebar, “ayo kita berhura-hura dan
gila-gilaan.”
“Rencana yang bagus, Batman.”
Sudah lama sejak kami berdua pergi ke pub bersama-
sama. Carmen memesan gin dan tonic sementara aku
menenggak Kronenbourg. Kami bersenang-senang, kami
minum dan kami berdansa. Kami bahkan tertawa-tawa.
Bersama-sama!
Bergerak dengan pelan, kami kembali ke apartemen kami.
Di landasan tangga berkarpet dekat apartemen kami,
Carmen mencopot rok dan celana dalamnya lalu duduk,
dengan kaki terpentang, di tangga. Ia menatapku dengan
roman wajah yang tidak pernah kulihat lagi sejak lama.
Kami melakukan hubungan seks terpanas melebihi apa yang
kami lakukan selama bertahun-tahun.
www.facebook.com/indonesiapustaka

213
RAY KLUUN

Have I got a little story for you,


and I’m glad we talked …
Pearl Jam, dari Alive (Ten, 1992)

Dua Belas

Suasana hati Carmen riang. Ia terus-terusan mengacu pada


seks yang kami lakukan tadi malam, dan ia mengedip-
ngedipkan mata ke arahku sepanjang hari. Kami belum
membahas percakapan kami tadi malam. Bahkan tidak
sekarang saat Luna di tempat tidur. Kami duduk sambil
membaca di teras kecil di depan apartemen kami. Carmen
meraih dan membelai-belai tanganku. Aku tidak dapat
membayangkan kami berpisah. Bagaimanapun tidak!
Tapi aku masih tegang. Aku masih punya satu kartu
terakhir, dan aku akan memainkannya sebelum kami dapat
memulai permainan baru. Setiap kali ia menatapku, aku
ingin memulai pembicaraan. Berkali-kali rasa gugup me-
nahanku. Aku mengumpulkan semua keberanianku sekali-
gus.
“Dengar, Carm, aku ingin membahas sesuatu denganmu,
www.facebook.com/indonesiapustaka

sesuatu yang tidak berani kukemukakan…” Aku tak lagi


bisa menahan diriku. “Tentang, ehm—perselingkuhanku.”
“Aku sudah menduganya,” ia tersenyum. “Kurasa mem-
bicarakannya akan berdampak baik bagi kita berdua. Kalau
begitu, lanjutkan.”
Ya Tuhan, ia tegar. Aku tidak. Keberanianku sebentar

214
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

lagi meledak.
Carmen duduk lebih tegak. “Jadi? Keluarkan saja,
Sayang!”
Aku tertawa dan memutuskan untuk memulai dengan
cara yang mudah. “Aku yakin kau tidak pernah selingkuh,
bukan?”
“Kau sungguh-sungguh mau mengetahuinya?” ia ber-
tanya.
“Ya,” kataku tanpa dosa, sudah memformulasikan
pengakuanku sendiri.
“Kalau begitu jawabannya ya.”
Ia dapat melihat bahwa perkataannya belum dapat
kupahami.
“Ya, aku dulu pernah selingkuh, Dan.”
Aku menatapnya dengan mulut menganga. Carmen yang
selalu, sejak Sharon, selalu berkata bahwa ia akan me-
ninggalkan aku jika aku melakukannya lagi, Carmen yang
sama yang menjawab pertanyaan pemanasan dengan tenang,
pertanyaan demi kesopanan, pertanyaan pemecah kekakuan
“apakah kau sudah duduk dengan nyaman“ yang kau
gunakan kepada calon pegawai yang gugup, mengatakan
bahwa dirinya juga berselingkuh.
“Um—aku—ehm—aku tidak tahu—ah—kapan?” aku
terbata-bata.
“Beberapa tahun lalu di Koninginnedag. Seorang pemuda
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang kutemui di Café Thijssen. Tak seorang pun melihatnya.


Kami pergi keluar dan sedikit berciuman.”
“Fiuh.”
“Aku juga melakukannya dengan Pim.”
“Ah… Apa?”
“Itu.”

215
RAY KLUUN

“Oh. Kapan?”
“Beberapa tahun lalu. Ia terus-terusan mengajakku makan
malam, tapi aku selalu menjaga jarak darinya. Dan saat kau
pergi ke Thailand aku meneleponnya. Dan kemudian sesuatu
terjadi.”
“Di rumah kita?”
“Ya. Dan di dalam mobilnya dan—dan satu kali di toilet.”
“Ya Tuhan.”—Lihat siapa yang berbicara. “Semuanya
dalam satu malam?”
“Tidak. Kami bertemu dua kali lagi.”
“Selama empat minggu kepergianku ke Thailand?”
“Ya.” Carmen mengatakannya seolah-olah ia memberi-
tahuku bahwa dirinya lupa mengosongkan mesin pencuci
piring.
Harusnya aku sudah tahu? Di Miami, jangan lupa, aku
sendiri mengatakannya kepada diri sendiri: perempuan
melakukannya untuk membalas dendam. Aku telah begitu
mendesak untuk berpesta selama sebulan di Ko Pangang,
bersama Frank, tepat sebelum kami memulai MIU. Carmen
tidak senang dengan hal itu karena ia bisa menebak bahwa
aku bukan pergi ke sana untuk memoles patung Buddha.
Beberapa minggu kemudian, saat aku melihatnya di bandara,
ia menangis dan menghambur ke dalam pelukanku. Satu
jam kemudian kami bercinta, dan aku bertingkah seolah-
olah aku tidak berhubungan seks selama berminggu-minggu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kalau dipikir-pikir, begitu pula dengan Carmen. Si jalang.


“Dan kau?” tanyanya.
“Apa?”
“Seberapa sering?”
“Oh.” Aku masih memikirkan bajingan kotor Pim itu,
yang melakukannya di toilet dan di mobil. Dasar murahan.

216
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Dan istriku bergabung dengannya. Ih.


“Halo? Bumi memanggil Danny?” tanya Carmen tidak
sabar.
Hm? Oh, yeah. Giliranku. Di mana memulainya ya.
Pertama-tama semua mantan pacarku yang tetap kutiduri
setelah aku mulai berpacaran dengan Carmen. Jadi—satu
atau dua kali bersama Merel. Setiap hari Jumat selama enam
bulan bersama Emma, setelah aku berpapasan dengannya
di Leidseplein. Dan sesekali bersama Maud setelah pesta-
pesta yang tidak dihadiri Carmen. Dan—masih ada—
umm—Demi Tuhan, di mana kau harus memulainya?
Pengulangan tidak masuk hitungan, menurutku. Itu
membuat segalanya lebih mudah. Kalau begitu, tiga.
Aku tidak menghitung waktu-waktu bersama pelacur itu
juga. Itu adalah kondisi di luar kendaliku. Tapi dua gadis
bersama Ramon di sauna di Noord sebenarnya bukan
pelacur profesional, jadi aku harus menghitung mereka.
Lima.
Kemudian di tempat kerjaku. Lisa dan Cindy di
BBDvW&R/Bernilvy, dan beberapa kali dengan Sharon. Oh
benar, dan Dianne. Beri aku satu menit… Lima ditambah
empat jadi sembilan. Jadi, di MIU, sejauh ini aku me-
lakukannya dengan Maud pada saat pesta Natal. Tapi aku
sudah menghitungnya di antara mantan-mantanku. Dan aku
belum melakukannya dengan Natasha. Jadi masih sembilan.
Sial, asisten Maud dengan tato di perutnya, seseorang yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

terpaksa kami pecat setelah tiga bulan. Aku bahkan tidak


dapat mengingat namanya. Sepuluh.
Liburan-liburan. Bocah gila dari Hague itu. Kemudian
akhir pekan yang kuhabiskan bersama Ramon di Gran
Canaria beberapa tahun lalu. Sebelas. Kemudian Thailand.
Hmmm. Biar kupikirkan dulu. Coba hitung dari satu pulau

217
RAY KLUUN

ke pulau lain. Ko Samui. Gadis Irlandia dengan bokong


berbintik, dan perempuan Jerman yang jelek itu. Oh, Ramon
menertawakannya. Aku masih merasa malu. Erm—tiga
belas. Ko Samet. Perempuan Swedia. Oh tidak, ia hanya
mau memberiku seks oral. Kemudian Ko Pangang. Si gadis
Finlandia. Artinya itu empat belas orang. Mmmmm, betapa
cantiknya…
“Seberapa sering, Danny?”
“Aku masih menghitungnya.”
Jadi, empat belas. Miami, Linda. Lima belas. Ada yang
lain? Berski dengan Ramon, tidak ada yang terjadi. Dengan
Frank di New York? Tidak, waktu itu pun tidak ada. Oh
yeah, di Turki bersama Hakan. Si pelayan. Enam belas. Hm.
Sejauh ini itulah liburan-liburanku.
Sekarang waktu acara berhura-hura. Ya Tuhan, belum
apa-apa daftarku sudah enam belas. Ahem. Gadis pada saat
pesta Natal di Vak Zuid. Tujuh belas. Ellie, saudari Thomas,
karnaval tahun lalu. Delapan belas. Gadis Suriname dari
Paradiso dan gadis dengan alis yang ditindik di De Pilsvogel.
Dua puluh. Untungnya aku tidak menghitung cumbuan-
cumbuan di De Bastille, Surprise, De Bommel, dan Paradiso,
atau kami akan duduk di sini selama berjam-jam. Oh, tunggu
dulu, perempuan setelah konser Basement Jaxx. Aku benar-
benar kembali ke tempat perempuan itu, sial, seberapa jauh
aku telah menghitungnya? Oh, benar, dua puluh. Ditambah
satu jadi dua puluh satu. Dan mungkin tiga atau empat
www.facebook.com/indonesiapustaka

kejadian yang kulupakan. Dan Rose, tentu saja. Ayo bulatkan


jadi dua puluh lima kali. Aku memandang Carmen. Pasang
sabuk pengamanmu. Selamat datang ke monofobia.
“Dan?”
“Umm—agak lebih banyak daripada jumlah jemari di
satu tangan.”

218
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

“Lebih banyak dari jumlah jemari di satu tangan?”


“Dua tangan”—Lima tangan, dasar lelaki bangsat!
“Ya Tuhan.”
“Apakah kau kecewa?”
“Aku berharap jumlahnya kurang dari itu. Danny…” ia
mengatakannya sambil menggelengkan kepala. Ia tidak
semarah seperti yang kusangka. “Apakah aku mengenal
mereka?”
Glek. “Apakah kau sungguh-sungguh ingin mengetahui-
nya?’
“Ya.”
“Jadi, erm—beberapa mantan. Merel, Emma…”
“Nah, kan!” Ia menghantam meja dengan telapak
tangannya, nyaris terlihat penuh kemenangan. “Sudah
kuduga, sudah kuduga—Emma, si wajah mentega-pun-tidak-
akan-meleleh-di-mulutnya! Aku tahu kau masih berhubung-
an dengannya! Dan aku tahu soal Merel, juga. Aku ber-
syukur kita tidak pernah bertemu dengannya lagi.”—
Jauhkan Maud dari semua ini sekarang juga. “Kapan semua
ini terjadi?”
“Keduanya di masa-masa awal hubungan kita, sebelum
kita tinggal bersama.”
“Oh—Danny! Ya Tuhan, kita dulu bercinta gila-gilaan
waktu itu—kita seperti kelinci! Mengapa kau membutuhkan
semua perempuan itu?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku tidak tahu. Aku dulu tidak dapat menjauh dari


perempuan-perempuan”—Dulu? Sekarang pun masih, dasar
bajingan!
“Demi Tuhan, kau benar-benar kecanduan, Danny!”
Aku duduk dan mengangguk, kepala tertunduk.
“Ada gadis lain yang kukenal?”

219
RAY KLUUN

“Yah—Ellie.”
“Ellie?”
“Saudara perempuan Thomas.”
“APA?! Ellie? Kapan?”
“Karnaval tahun lalu.”
“Taruhan deh, Thomas tidak mengetahuinya, kan?”
“Tidak, tentu saja tidak! Aku berhati-hati,” aku berkata
dengan cepat. Aku masih dapat melihatnya mengumpat-
umpat ke arah adiknya di De Bommel padahal kami hanya
sekadar berciuman.
“Untung sekali, ya. Kalau tidak namamu akan tercantum
dalam halaman depan De Telegraaf. Kurasa Frank tahu
semuanya?”
“Kebanyakan, ya…”
“Sial. Demi Tuhan, aku benar-benar marah dengan semua
ini, Danny.”
“Tapi Frank tidak akan mengatakannya kepada siapa
pun.”
“Bukan itu intinya! Bagaimana perasaanmu saat teman-
temanmu mengetahui bahwa aku melakukannya dengan
Pim? Yah setidaknya, terima kasih Tuhan, Thomas tidak
tahu apa pun. Dan bagaimana dengan Maud? Apa ia tahu?
Atau tunggu dulu”—oh, tidak, kumohon jangan tanyakan
itu—“Kau tidak bermaksud mengatakan bahwa kau me-
lakukannya dengan Maud juga, kan?”—Aduh.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Dengan Maud? Ya Tuhan, tidak!”


“Untunglah. Tapi ia tahu kau berselingkuh.”
“Ya. Ia tahu.”
“Sial—Oke, saat kau berpacaran dengan Maud kau juga
meniduri banyak gadis, bukan?”
Aku mengangguk.

220
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

“Selalu tanpa kondom, kan?”


“Hampir selalu memakainya,” aku berbohong. “Dan
bagaimana denganmu, waktu bersama Pim?”
“Tanpa.”
“Sial.”
“Tunggu dulu, kau tidak berniat meletakkan kesalahan
di pundakku, kan?” Carmen berkata marah. Dengan cepat
aku menggelengkan kepala. Tawanya meledak. “Oke. Wah
itu benar-benar menghibur,” ia berkata di sela-sela tawanya.
“Dasar kau bajingan mesum—aku lega kau memberitahuku.
Meskipun aku berani bertaruh ada beberapa yang masih
kau sembunyikan.”
“Yah—kupikir itu sudah cukup, bukan?”
“Oke, lupakan saja. Tapi kau harus berjanji satu hal
kepadaku, Danny.”
“Dan itu adalah?”—Oh, Tuhan, aku dapat merasakan
badainya mendekat. Oh, tidak, kumohon—
“Bahwa mulai saat ini kau tidak boleh selingkuh lagi,
selama beberapa tahun sisa hidupku.”
Sial. Sialsialsialsial. Hai, Rose.
“Aku janji,” aku berkata, untungnya tanpa keraguan, dan
dengan senyum paling meyakinkan yang bisa kuberikan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

221
RAY KLUUN

It’s raining but there ain’t a cloud in the sky


must have been a tear from your eye …
Bruce Springsteen, dari Waiting on a Sunny Day (The Rising, 2002)

Tiga Belas

Aku memberitahu Carmen bahwa aku akan pergi keluar


dengan Ramon malam ini. Ia menciumku dan berkata bahwa
ia berharap aku bersenang-senang. Pada hari setelah
percakapan perselingkuhan kami, Carmen menangis sedikit,
tapi ia berkata bahwa ia ingin memulai hidup baru. Ia bangga
kepadaku karena mau mengakui segalanya. Carmen me-
mercayaiku lagi.
Aku tidak memercayai diriku sendiri. Itulah sebabnya
aku berjanji menemui Rose di Vertigo, alih-alih di rumahnya.
Aku sama sekali tidak mengetahui akan mengarah ke mana
hubungan kami setelah malam ini. Apakah aku berani
mengucapkan selamat tinggal dengan mesin-seks, suntikan
kesenangan hidup, pembuat croissant, ratu pengganti,
psikiater pribadiku?
www.facebook.com/indonesiapustaka

>> Vertigo adalah industri jasa boga yang menurut Frank setara
dengan apa yang disebutnya “wajah mentega“ (segala sesuatu
tentang dirinya menyenangkan kecuali wajahnya): tempat itu benar-
benar pub murahan yang terletak di lokasi fantastis (paviliun di
Vondelpark). Tempat itu bahkan bukan kafe lounge, tapi masih bisa
sedemikian membosankan. Letakkan Vertigo di lokasi lain dan tak
seorang pun mau pergi ke sana.

222
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Aku merasa gugup saat aku mengedarkan pandangan ke


sekeliling Vertigo untuk melihat apakah ia sudah datang.
Ini bukan kencan pertama. Nah di sana ia, di bar. Rose
melambaikan tangan dan tersenyum dengan gugup kepada-
ku. Aku menanyakan ia ingin memesan minuman apa.
“Aku kepingin minum anggur putih. Sekarang adalah
malam terakhir kita. Aku benar, kan?”
“Manis atau kering?” aku bertanya.
Aku tidak dapat membuat diriku menatap Rose. Tapi ia
menatapku. Aku merasakan matanya terpaku kepadaku saat
aku mengawasi si pelayan bar menuang anggurnya. Lelaki
itu melakukannya jauh lebih cepat daripada yang kuharap-
kan. Aku mengangkat gelasku dan mendentingkannya
dengan gelas Rose. “Bersulang.”
“Beri tahu saja aku keputusannya,” kata Rose.
“Carmen dan aku akan berusaha memperbaiki keadaan.”
“Bagus. Aku ikut bahagia untuk kalian berdua. Sungguh.”
“Dan aku sudah mengakui perselingkuhan di sebagian
besar waktu dalam hidupku.”
“Begitu ya. Dan bagaimana reaksinya?”
“Tidak terlalu buruk. Aku harus berjanji bahwa aku tidak
akan selingkuh lagi.”
“Begitu ya—bersulang demi malam terakhir kita, kalau
begitu, eh?” katanya mengejek, mengangkat gelasnya.
“Tapi kita masih dapat menemui satu sama lain, bukan?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

kataku berusaha sebaik mungkin, saat menyampaikan kabar


buruk, untuk meringankan proses tersebut. “Sekarang kita
telah memiliki segalanya. Kau mempunyai hubungan rahasia
dengan seorang lelaki beristri yang tidak dapat kau ajak ke
ranjang, dan aku memiliki kekasih platonis yang tidak dapat
kuceritakan kepada siapa pun, kalau tidak aku terpaksa

223
RAY KLUUN

harus pulang ke rumah dan menjelaskan bagaimana kita


bertemu,” aku tertawa.
Rose tidak. Rose tidak terkesan. Awan gelap melingkupi
wajahnya. “Kupikir tidak ada yang lucu tentang hal itu,
Dan,” katanya dengan ketus. “Jangan terlalu naïf! Apakah
kau tidak paham bahwa kita tak dapat bertemu lagi?
Tentunya kau bisa menyadarinya sendiri, bukan? Kau tak
bisa menjauh dariku, dan aku tidak bisa menahan diriku.
Nantinya kau akan menghabiskan sepanjang hidupmu
merasa bersalah, dan aku akan menghabiskan sepanjang
hidupku merasa seperti pelacur.”
Sulit untuk menyangkalnya. Tidak bertemu lagi me-
rupakan jalan satu-satunya agar aku bisa menjaga janjiku.
Aku mengenal diriku sendiri. Seharusnya aku merasa lega.
Aku meletakkan tanganku di kakinya. Rose meraihnya dan
meletakkan tanganku kembali ke kakiku.
“Sebaiknya kita pulang, sebelum kita mulai membuat
kesalahan.”
“Bolehkah aku menelepon atau mengirimimu e-mail
sekali-sekali?” aku bertanya kepadanya, merasa malu, seperti
anak sekolahan, berdiri di luar rumah dengan sepedaku.
“Lebih baik tidak,” bisiknya, matanya terpaku ke lantai.
Aku membungkukkan tubuh ke arahnya dan memberinya
ciuman ala prancis yang terakhir. Kemudian aku menaiki
sepedaku. Aku menoleh sekali dan melihat Rose masih
berdiri di sana dengan sepedanya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ia menangis.

224
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

It’s the final countdown …


Europe, dari The Final Countdown
(The Final Countdown, 1986)

Empat Belas

Beberapa minggu kemudian kami mengetahui bahwa


Carmen sekarat.
“Beri tahu aku di mana tepatnya rasa sakit itu berada,”
kata dr. Scheltema.
Carmen menunjuk tepat ke bawah tulang rusuknya,
tempat yang ditunjukkannya kepadaku sehari sebelumnya.
Di bagian tengah tapi agak sedikit ke kanan. “Apakah di
situ letak hati berada?” ia bertanya kepadaku. Aku sama
sekali tidak tahu. Kurang lebih aku mengetahui letak jantung
dan paru-paruku, aku dapat menunjuk di mana letak
lambungku karena aku dapat merasakannya saat aku
kekenyangan, tapi aku tidak punya gagasan di mana organ-
organ tubuh yang lain tergantung. Aku belajar seni rupa di
sekolah.
“Hm,” kata Scheltema. “Buka pakaian Anda di ruangan
www.facebook.com/indonesiapustaka

sebelah.”
Aku tetap di tempat. Scheltema membolak-balik berkas
Carmen. Keheningan terasa menggelisahkan. Kemudian ia
berdiri dan berkata, tanpa menatap ke arahku, “Ayo kita
lihat.” Ia menutup pintu di belakangnya, jadi aku meng-
asumsikan bahwa ”kita” maksudnya adalah dirinya sendiri.

225
RAY KLUUN

Sekejap kemudian ia kembali, mencuci tangan di bak


cuci, duduk kembali, tidak mengatakan apa pun dan mulai
membolak-balik berkas sekali lagi. Carmen juga masuk.
Scheltema menutup berkas tersebut, memasang kacamata-
nya, dan memandangi kami.
“Apa yang Anda rasakan sebenarnya memang ada di
organ hati Anda,” ia memulai. “Aku khawatir kanker Anda
sudah bermetastasis.”
Kadang-kadang kau mendengar sebuah kata yang belum
pernah kau dengar, tapi kau langsung mengetahui apa
artinya.
“Jadi kankernya menyebar?”
“Benar. Sedang menyebar.”
Carmen dan aku berpandang-pandangan. Selama sesaat
Carmen tidak menggerakkan satu otot pun. Kemudian bibir
bagian bawahnya mulai bergetar, ia mengangkat tangan
untuk menutupnya dan air mata pertama pun menetes. Aku
meraih satu tangannya yang lain dan terus menatapnya.
Rasanya seperti déjà vu dari satu tahun yang lalu. Ruangan
yang sama, kursi yang sama, dengan dr. Scheltema yang
juga membisu di hadapan kami. Waktu itu kami mengetahui
bahwa empat puluh persen kesempatan hidup yang dibaca
Carmen di internet ternyata cukup tinggi. Sekarang
kesempatan hidupnya nol.
“Apakah pasti menyebar?” aku bertanya.
“Hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah sesegera
www.facebook.com/indonesiapustaka

mungkin melakukan ultrasonik di organ hatimu. Dan


setelahnya Anda kembali lagi kemari.”
Lemah bagaikan domba, kami membiarkan diri kami
dipandu menyusuri rumah sakit. Kami pun duduk di ruang
tunggu unit ultrasonografi. Carmen tidak mengatakan apa
pun. Ia duduk dengan kepala tertunduk, menatap sapu-

226
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

tangannya yang digulung dan dibuka berulang kali seperti


kertas rokok. Gulung, buka. Seorang perawat muncul di
pintu. Ia memegang sebuah berkas, melihat nama yang
tertera di atasnya, melihat ke arah Carmen lalu bertanya,
“Mrs. van Diepen?”
Carmen mengangguk.
“Apakah kau mau aku menemanimu?” aku bertanya.
“Kumohon,” kata Carmen.
Kami masuk ke dalam ruangan. Carmen harus me-
nanggalkan pakaiannya dan berbaring di ranjang beroda. Si
perawat menggosok perut Carmen dengan gel biru pucat.
Aku berdiri di samping istriku dan memegang tangannya
erat-erat. Dengan satu tanganku yang lain aku membelai
bahunya. Ia menatapku dan mulai menangis lagi. Aku
merasakan mataku juga basah. Si perawat mengambil alat
yang kukenali sewaktu melakukan ekogram saat Carmen
mengandung tiga bulan. Waktu itu kami menengok ke arah
layar dengan gembira dan sang bidan menjelaskan bagian-
bagian tubuh yang sudah dikenali di cacing kecil yang
menggeliang-geliut di layar. Berulang kali. Carmen dan aku
berpikir bahwa itu lucu. Kami memberi cacing kecil itu
judul film: “Woopsy-daisy!” karena Carmen berpikir nama
itu mewakili gerakannya dengan sangat baik.
Hari ini tidak ada woopsy-daisy, dan kami tidak merasa-
kan kebutuhan untuk memandangi layar. Wajah-wajah dua
perawat (atau dokter, aku tidak tahu derajat atau status
www.facebook.com/indonesiapustaka

mereka) memberitahu apa yang perlu kami ketahui. Mereka


menunjuk ke sesuatu di layar, menggumamkan sesuatu yang
sulit dimengerti kepada satu sama lain, salah seorang dari
mereka menuliskan sesuatu di berkas, berganti-gantian
melirik layar dan berkas tersebut.
“Anda dapat berpakaian kembali.”

227
RAY KLUUN

“Dan?” aku bertanya.


“Dr. Scheltema yang akan memberitahukan hasilnya,”
ia berkata.

***

“Kelihatannya tidak bagus,” ia berkata segera setelah kami


duduk. “Yang bermetastasis ukurannya tiga kali empat
sentimeter, di bagian atas organ hati Anda.”
Aku memandang Carmen, yang sekarang sudah menutupi
mulutnya dengan tangan, yang menandakan bahwa dirinya
akan menangis hebat, tapi aku memutuskan untuk bertanya
kepada Scheltema.
“Berapa—erm—berapa lama waktu tersisa yang dimiliki
istriku?”
“Jika kita tidak bertindak cepat, paling banyak dua
bulan …”
“Dan apa tindakannya?” aku bertanya dengan agresif.
“Kalau aku boleh jujur, semua itu sekadar menunda-
nunda saja. Beberapa bulan tambahan rangkaian Taxotere.
Jenis lain kemo yang berbeda dari CAF yang Anda dapatkan
tahun lalu. Anda tidak boleh mendapatkan ini lebih dari
dua belas kali. Tubuh Anda tidak dapat menanggung lebih
dari itu. Dan metastasisnya akan mulai tumbuh lagi segera
setelah pengobatannya dihentikan. Kita dapat memper-
www.facebook.com/indonesiapustaka

panjang waktunya sampai satu tahun paling lama.”


“Apakah aku akan banyak menderita?” tanya Carmen
dari balik air matanya.
“Tidak. Hampir pasti tidak. Anda harus membayangkan
organ hati Anda sebagai sebuah pabrik yang membersihkan
tubuh dari zat-zat beracun. Tumor tersebut pada akhirnya

228
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

akan menghentikan fungsi hati Anda. Dan kemudian tenaga


Anda akan semakin, semakin berkurang, Anda akan tidur
lebih banyak, dan akhirnya Anda akan koma. Dan kemudian
meninggal. Segalanya sangat manusiawi.”
“Ya, setidaknya ada sesuatu yang positif,” Carmen ber-
gumam dari balik air matanya. Merasa bersyukur atas belas
kasihan kecil itu.
“Apa efek samping dari pengobatan tersebut?” aku
bertanya kepada Scheltema.
“Sama dengan CAF. Mual, lelah, rambut rontok, tumpul-
nya indra penciuman dan indra perasa. Dan dengan
pengobatan ini otot-otot Anda mungkin akan memprotes,
dan kulit telapak tangan serta jari-jari akan menjadi sangat
sensitif,” ujar Scheltema.
“Ayo kita lakukan,” kata Carmen.
“Oh, dan kuku-kuku Anda akan copot,” kata Scheltema.
“Oke,” aku berkata. Hanya untuk ikut nimbrung, kurasa.
www.facebook.com/indonesiapustaka

229
RAY KLUUN

So much to do,
I’ve still got so much to do …
Toontje Lager, dari Zoveel te doen (Stiekem dansen, 1983)

Lima Belas

“Mungkin segila kedengarannya, tapi aku merasa agak lega,”


Carmen memulai, bahkan sebelum kami meninggalkan
tempat parkir rumah sakit. “Setidaknya aku tahu di mana
posisi kita berada sekarang. Aku sekarat.”
“Carm, kumohon—” Itu adalah kata-kata pertama yang
keluar dari mulutku sejak kami meninggalkan kantor
Scheltema.
“Itu benar, bagaimanapun. Tahun lalu kita meninggalkan
tempat ini dan kita keluar menuju situasi penuh ketidak-
pastian dan tak berdaya. Sekarang kita mempunyai ke-
pastian.”
Aku bingung mendengar perkataan Carmen, akan fakta
bahwa ia benar-benar mengatakannya. Tapi ia ada benarnya.
Ingatanku kembali ke tahun lalu. Saat itu pukulannya jauh,
jauh lebih besar.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku ingin berlibur,” Carmen berkata dengan tatapan


berapi-api di matanya. “Sebanyak mungkin. Aku mau pergi
ke Irlandia. Dan ehm—Barcelona! Ya, aku mau pergi ke
Barcelona, denganmu.”
Aku bahkan mulai menikmatinya. “Aku akan menanya-
kan Frank apakah ia tahu ada satu hotel jelek yang nyaman,”

230
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

aku tersenyum menyeringai. “Apakah itu sesuai dengan


Anda, Madam?”
“Aku mau pergi dengan semua temanku ke sebuah kastel
di suatu tempat di Ardennes,” ia berkata seraya termenung.
Tiba-tiba ia menjadi seseorang yang joie de vivre—menikmati
hidup. “Oh, omong-omong, bisakah kau berhenti sebentar
di warung ini?”
“Mengapa?”
“Beli beberapa bungkus rokok. Aku akan mulai merokok
lagi.”
Aku tersenyum dan menghentikan mobil di warung
Moroko di Zeilstraat.
“Marlboro biasa atau yang ringan?” aku bertanya
sebelum aku keluar mobil.
“Yang biasa. Tambahan kanker paru-paru tidak akan
membuat banyak perubahan, kan?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

231
RAY KLUUN

I do what I do and I don’t ask why,


I do what I do and maybe that’s dumb,
we do what we do …
Astrid Nijgh, dari Ik doe wat ik doe
(Mensen zijn je beste vrienden, 1973)

Enam Belas

Sambil tertawa, aku masuk ke warung. Ada dua orang di


depanku. Aku melirik ke luar dan melihat Carmen duduk
di dalam mobil. Ia menatap nanar ke kejauhan. Tertegun.
Saat aku melihatnya, senyuman menghilang dari wajahku.
Apa yang bisa kami harapkan sekarang?
Segala macam hal berseliweran di dalam kepalaku.
Ambulans pada malam hari. Carmen yang lesu. Perasaan
takut sakit. Ranjang kematian. Dan kematian. Kematian.
Perutku mengencang. Tiba-tiba aku merasa diserang rasa
panik. Istriku sekarat! Carmen sungguh-sungguh sekarat
sekarang ini! Aku merasakan gelombang rasa mual, begitu
hebat hingga aku nyaris muntah. Aku menjadi gelisah dan
mulai berkeringat.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Hei, Ahmed, berapa lama lagi sih sampai ada seseorang


yang bisa melayaniku? Aku hanya butuh sebungkus rokok,”
tiba-tiba saja aku menggertak.
“Sabar, Sir, aku hanya punya dua tangan!” lelaki yang
biasanya ramah menjawab dengan geram. Dua orang di
depanku menengok dan memandangku dengan tatapan

232
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

mencela. Buru-buru aku menghilang ke dalam toilet, dan


mengeluarkan teleponku.

Kankernya menyebar, Rose. Bolehkah


aku meneleponmu nanti? Kumohon?
www.facebook.com/indonesiapustaka

233
RAY KLUUN

I collect beautiful moments …


Herman Brood, dalam sebuah wawancara dengan
Henk Binnendijk (Fifty-Fifty, EO) pada 1994

Tujuh Belas

Luna sayang,

Dalam buku ini Mama ingin menuliskan semua hal yang


kita lakukan bersama-sama, jadi kamu akan selalu
mengetahui betapa Mama mencintaimu. Mama sakit.
Mama mengidap kanker, dan saat kamu membaca ini
Mama tidak akan ada di dekatmu lagi. Mama harap buku
ini akan menjadi kenangan yang indah.
Kamu baru berusia dua tahun, tapi kadang-kadang
kamu bisa bersikap sangat bijak, terutama karena kamu
begitu pandai berbicara. Selama beberapa tahun
belakangan ini keadaan mungkin sulit bagi kita semua,
dan jika Daddy atau Mama tidak dapat menahan tangisan,
dan kamu melihatnya, kamu datang menghampiri dan
memeluk kami dan menghapus air mata dari pipi kami.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pada saat itu kami merasa lebih baik. Atau kamu


mengatakan sesuatu yang membuat kami tertawa terlepas
dari air mata kami, dan pada saat itu kesengsaraan kami
sedikit berkurang. Banyak orang sudah datang
menenangkan dan menyemangati kami, tapi kamulah yang
terbaik dalam melakukannya.

234
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Saat Mama datang untuk memelukmu malam ini


sebelum kamu tertidur, Mama mengatakan bahwa Mama
sangat mencintaimu. Dan setelah itu kamu mengatakan
bahwa kamu mencintai Mama juga. Itu sangat
membahagiakan! Membuat perasaan Mama hangat.
Daddy dan Mama sudah banyak berbincang-bincang
karena kami sudah lebih dulu mengetahui bahwa sebentar
lagi Mama tidak akan ada di sekitar kalian lagi. Itu benar-
benar menyengsarakan, tapi terlepas dari apa pun yang
terjadi, kita melakukan banyak hal menyenangkan, kita
bertiga, dalam waktu singkat yang masih kita miliki.
Mama sangat menikmatinya, dan saat Mama merasa
bahagia dengan keluarga kecil kita ini, Mama bisa
menangis karena bahagia.

Aku mencintaimu! Mama xxx


www.facebook.com/indonesiapustaka

235
RAY KLUUN

If you ask me, they’re not happy themselves …


Tol Hansse, dari Big City (Tol Hansse moet niet zeuren, 1978)

Delapan Belas

Carmen mengikuti sebuah kelompok diskusi. Ia menyebut-


nya Mouflon.

>> Mouflon—Tupperware, Center Parcs, majalah She, katalog Argos,


dan sebagainya. Jika ia tidak mengidap kanker payudara, Carmen
tidak akan pernah berakhir dalam sebuah kelompok seperti Mouflon
sepanjang hidupnya. Kadang-kadang saat sedang menceritakan
bagaimana pertemuan itu kepadaku, tawanya meledak. “Meng-
habiskan seluruh pagi berbicara dengan santai bersama lima
perempuan tentang kanker payudara.”
Satu-satunya orang yang cukup lumayan adalah Toni, ke-
pendekan dari Antonia. Seperti Carmen, usianya juga tiga puluhan,
tinggal di Amsterdam (tiga yang lain berasal dari Zaandam,
Mijdrecht, dan sebuah desa yang belum pernah kudengar) dan
penampilannya tidak jelek. Aku bahkan akan mengatakan bahwa
perempuan itu lebih dari sekadar lumayan, jika aku tidak tahu ia
hanya memiliki satu payudara.
Semua perempuan anggota Mouflon hanya memiliki satu
www.facebook.com/indonesiapustaka

payudara. Di satu orang, kankernya tidak menyebar (belum); di satu


orang yang lain, dokternya sudah menyerah; dan tiga orang yang
lain statusnya sama dengan Carmen: cepat atau lambat kondisinya
akan memburuk. “Jadi secara bertahap Mouflon akan tutup dengan
sendirinya,” Carmen berkelakar.
Para perempuan itu juga banyak membahas hubungan masing-
masing. Carmen memberitahu aku bahwa salah satu perempuan

236
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Mouflon bahkan bercerai sejak kegelapan kanker dimulai. Suaminya


sudah tidak sanggup menanggungnya lagi. Dan suami Toni
kelihatannya hampir tidak mampu membicarakannya dan
menghabiskan sepanjang malam duduk di depan komputer di
loteng. Kondisi perkawinan anggota Mouflon yang ketiga memang
sudah berantakan, sebelum kankernya hadir, jadi tidak ada yang
berubah dalam kasus ini. Mereka semua tertawa tergelak-gelak
mendengar hal itu.
Mereka mengadakan pertemuan di setiap rumah masing-
masing secara bergiliran, dua minggu sekali. Terkadang para suami
juga ikut mengobrol, begitu kata Carmen. Saat mendengarnya, aku
mencibir sehingga Carmen berhenti menanyakan apakah mungkin
aku tertarik dengan hal itu.
Carmen mendapat sesuatu dari hal itu. Di Mouflon, setidaknya
mereka berbicara secara terbuka mengenai bagaimana rasanya,
sebagai seorang perempuan, kehilangan payudara. Sesuatu yang
tidak berani ditanyakan Anne, Maud, ibunya, dan gadis-gadis di
Advertising Brokers.

Minggu lalu pertemuan Mouflon diadakan di rumah


kami. Saat aku pulang bersama Luna, mereka semua masih
ada di sana. Aku merasa malu saat memperkenalkan diri,
karena aku tahu terkadang mereka juga membicarakan
diriku.
“Kami memberi suami masing-masing nilai sampai
sepuluh siang ini,” Carmen memberitahuku pada malam
harinya. “Bagaimana mereka menghadapi kenyataan bahwa
istri mereka mengidap kanker, apakah mereka selalu
www.facebook.com/indonesiapustaka

menemani istri mereka ke rumah sakit, apakah mereka mau


membicarakannya, apakah mereka tetap bersikap baik
terlepas dari segala penderitaan?”
“Dan berapa nilai yang kau berikan untukku?”
“Delapan.”
“Delapan?” aku bertanya, terkejut.

237
RAY KLUUN

“Ya. Sekarang setelah mendengar semua kisah anggota


kelompok, aku menyadari bahwa kau tidak terlalu buruk.”
“Mungkin kita harus memberitahu Thomas dan Anne
tentang pertemuan ini,” aku menjawab.
“Tidak perlu,” kata Carmen. “Aku sudah memberitahu
mereka.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

238
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

For the ones who have a notion, a notion deep inside,


that it ain’t no sin to be glad you’re alive …
Bruce Springsteen, dari Badlands
(Darkness of the Edge of Town, 1978)

Sembilan Belas

Musim panas adalah sebuah pesta besar.


Frank setuju aku hanya perlu bekerja jika terjadi masalah-
masalah mendesak dan saat presentasi-presentasi penting.
Dengan begitu aku dapat menghabiskan banyak waktu
bersama Carmen.
Carmen dan aku melakukan apa pun yang kami inginkan.
Kami membeli tiket di pasar gelap untuk semua
pertandingan tim Belanda di Piala Eropa. Saat Kluivert
mencetak gol keempatnya pada babak perempat final
melawan Yugoslavia,* Carmen bersorak sorai bersama lima
puluh ribu orang lainnya.

Pertandingan merupakan orgasme yang


berlangsung selama satu setengah jam.
Carmen menganggapnya luar biasa!
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Akan menyenangkan jika aku meninggal tepat saat tim


Belanda memenangkan Piala Eropa, bukan? Dengan begitu
aku akan meninggal dengan tenang…” ia terkekeh. Tidak

* 6–1. Empat gol oleh Kluivert, dua oleh Overmars. 25 Juni 2000. Belanda: Van der Sar, Stam,
Reiziger, F. De Boer, Zenden, Van Bronckhorst, Davids, Cocu, Bergkamp, Kluivert, Overmars.

239
RAY KLUUN

terjadi seperti itu. Carmen bertahan jauh lebih lama daripada


tim sepakbola Belanda. Namun hal luar biasa tentang kanker
bahwa itu membuat semuanya menjadi relatif. Rekor dunia
untuk tendangan penalti yang gagal melawan Italia
menimbulkan efek buruk bagi otot senyum kami. Jika
mereka kalah, kau tidak benar-benar mati. Sekali lagi sepak-
bola hanyalah permainan.
Kami pergi berakhir pekan dan menginap di hotel-hotel
terbaik. Di Barcelona kami tinggal di Arts Hotel. Di lantai
paling atas, yang mengarah ke Barceloneta dan Laut Tengah.
Kami mengambil kamar suite terbesar dan bermain petak
umpet. Carmen nyaris memenangi semua permainan. Aku
hanya menemukan dirinya saat ia mulai tertawa karena aku
telah melewati lemari tempatnya bersembunyi untuk ketiga
kalinya.
Pada malam hari kami makan dengan penuh kegembira-
an. Aku nyaris melumuri diriku sendiri dengan krim saat
aku mencoba tapas di Cervezeria Catalunya di Avenue de
Mallorca.

Baru saja mencoba tapas yang fantastis.


Carmen pada dasarnya tidak memakan
apa pun, tapi ia masih menikmatinya.
Begitu pula aku.
Kanker sialan. Mencoba berjalan
pulang setelah menikmati tapas.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Carmen kelelahan setelah lima menit.


Harus menunggu berjam-jam sampai
sebuah taksi lewat. Carmen tersedu-
sedu dengan segenap hati. Aku ingin
meneleponmu nanti, Dewi—

240
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Di Irlandia kami memilih kastel paling mewah sebagai


tempat menginap dan makan. Carmen mempunyai sangat
sedikit energi sehingga kami hanya keluar dari mobil untuk
makan siang di sebuah pub atau menghabiskan malam di
kastel selanjutnya, tapi kami menjalani akhir pekan yang
menyenangkan. Kami membuat video untuk Luna, semua-
nya berkisar di antara humor-humor kekanakan Carmen &
Dan. Carmen melakukan bagaimana cara bersembunyi di
belakang seorang perempuan gemuk di lounge di Morrison
Hotel di Dublin. Danny menirukan Red Hot Chili Peppers
dengan topi mandi Castle Ballymore di kepalanya. Carmen
menirukan gerakan anjing laut dengan payudara protese di
hidungnya. Danny menirukan Ray Charles di Cliffs of
Moher. Carmen melakukan What’s Worse Quiz—Kuis Mana
yang Lebih Buruk (Mati terpanggang atau tenggelam? Tidak
pernah bisa duduk lagi, atau tidak pernah bisa berdiri lagi?
Tidak pernah makan atau tidak pernah orgasme? Tidak
pernah buang air kecil atau tidak pernah buang air besar?
Kanker atau AIDS?). Carmen & Danny melakukan konjugasi
Dannian dan Carmian (Kami menyelam di Drublin. Can &
Darmen. Bir buinness gau! Dasar bosah becar! Puacanya
cayah!)

Kami bersenang-senang, benar-benar


negara yang gila. Orang-orang di sini
mulai minum-minum sejak pukul
sepuluh pagi. Para perempuan di sini
www.facebook.com/indonesiapustaka

jelek, yang menurut Carmen merupakan


daya tarik terbesar Irlandia. X!

Saat kembali ke Amsterdam kami membawa perahu kami


menyusuri kanal-kanal setiap hari ketika cuacanya bagus.
Bersama orangtua, teman-teman, dan banyak botol rosé.

241
RAY KLUUN

Kami sering mampir di Amstel Hotel dan minum sampanye


di teras. Atau kami berkendara ke Ouderkerk dan kemudian
makan siang di Klein Paardeburg. Ketika kami melewati
pemakaman Zorgvlied, Carmen bilang bahwa ia ingin
dikuburkan di sana.

Glek. Baru saja melewati Zorgvlied.


Carmen bertanya apakah aku dapat
mencarikannya tempat yang bagus
untuk nanti. Aku tidak bisa.

Carmen mengundang sejumlah teman untuk meng-


habiskan akhir pekan bersama kami di sebuah kastel di Spa
di Belgian Ardennes. Ada dua puluh tiga tamu, hampir
sebuah antologi dari seluruh kehidupannya. Terkadang hujan
turun lebih deras di dalam daripada di luar.
Dan kami berburu rumah. Tadinya kami ingin tinggal di
Amstelveenseweg selama sekitar tiga tahun, dan kemudian,
dengan tumpukan uang yang kami dapatkan dari MIU dan
Advertising Brokers, mencari rumah yang lebih besar, tapi
organ hati yang termetastasis telah menggagalkan rencana-
rencana kami. Itu adalah dulu. Carmen belajar menerima-
nya, tapi sekarang ia berpikir betapa bagusnya bila ia
mengetahui di mana Luna dan aku akan tinggal setelah ini.
“Dan mungkin aku pun dapat tinggal di sana sebentar,
jika Taxotere ini berfungsi dengan baik,” ia berkata dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

penuh harap.
Aku berharap tidak, karena jika Carmen masih hidup
saat kami pindah ke rumah baru, itu artinya ia akan
meninggal di sana. Dan sejujurnya aku khawatir rumah baru
itu, seperti Amstelveenseweg sekarang ini, akan terinfeksi,
bagiku, dengan gambaran akan penyakit dan kematian. Aku

242
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

sungguh ingin melihat rumah baru itu sebagai sebuah simbol


awalan baru bagi Luna dan aku. Tapi aku tidak tega
mengungkapkannya kepada Carmen.
Namun, kami banyak membicarakan masa depan setelah
kematian Carmen. Selama berjam-jam. Di rumah, di pub,
di perahu kami, di teras. Kami membicarakan segala hal.

Daddy dan Mama juga membicarakan fakta bahwa


nantinya akan ada ibu baru untukmu. Mama pikir itu
adalah ide yang hebat. Bagi Daddy, tentu saja, tapi hal
itu juga akan baik untukmu jika ada seseorang yang
baik yang bisa kau ajak bicara, kau ajak tertawa,
berbuat keributan, dan melakukan segalanya bersama-
sama. Dan seandainya Mama tidak ada di sana
sekalipun, kamu akan selalu ada di dalam pikiran dan
hati Mama. Apa pun yang terjadi, kamu akan selalu
menjadi kesayangan Mama, bahkan saat Mama tidak
ada di sana untuk berbicara dan memelukmu—Mama
akan selalu mencintaimu, sama seperti Mama akan
selalu mencintai Daddy.

Semua percakapan itu telah membuat kami saling jatuh


cinta sekali lagi. Kami menikmati kebersamaan satu sama
lain, dan kami menikmati setiap hari yang masih kami miliki
bersama-sama. Dan & Carmen adalah raja dan ratu
kesenangan tanpa mahkota. Dan mereka hidup bahagia
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan singkat selamanya.

243
RAY KLUUN

Give me, give me, give me the power …


Suede, dari The Power (DogManStar, 1994)

Dua Puluh

Di tengah semua kegembiraan itu, Carmen berada dalam


keadaan yang benar-benar buruk. Efek samping Taxotere-
nya benar-benar menggemparkan. Carmen mengalami
menopause sekitar lima belas tahun lebih awal. Tiba-tiba
saja tubuhnya berkeringat pada malam hari, menstruasinya
berhenti, dan rambutnya mulai beruban. Tidak terlalu lama,
karena setelah tiga kali perawatan rambutnya mulai rontok
lagi. Wig-gatal dikeluarkan kembali dari kotaknya. Kali ini
alis mata dan bulu matanya juga ikut rontok. Ia mengenakan
bulu mata palsu selama beberapa hari, namun gagal karena
Taxotere membuat matanya berair terus-menerus. Ia
berkeliling sepanjang hari sambil menyeka matanya dengan
saputangan.
Efek samping lain adalah bahwa ujung-ujung semua
jemarinya ditutupi perban, karena kuku-kukunya ada yang
longgar atau malahan ada yang sudah lepas. Ujung jemarinya
www.facebook.com/indonesiapustaka

terasa ”seakan-akan jariku terjepit pintu”. Carmen menangis


pagi ini karena ia tidak dapat mengganti popok Luna lagi.
Jari-jarinya sudah tidak kuat lagi membuka ujung-ujung
lengket popok. Setelahnya, ia marah pada dirinya sendiri,
pada Procter & Gamble, pada kanker, dan padaku karena
aku memberitahunya dengan menjengkelkan bahwa ia selalu

244
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

dapat memintaku untuk melakukannya. “Tak bisakah kau


mengerti bahwa aku ingin melakukannya sendiri?” ia
berteriak kepadaku.
Masalah lain adalah batuk-batuk. Terutama pada malam
hari. Terkadang aku khawatir ia tidak akan berhenti batuk.
Tapi aku lebih khawatir ketika mengetahui bahwa itu artinya
kankernya sedang menyebar. Paru-paru adalah tempat
bersarang favorit bagi kanker payudara yang bermetastasis,
aku membacanya di sebuah pamflet. Si dokter menenangkan
pikiran kami: kemungkinan itu adalah radang selaput paru-
paru. “Radang selaput paru-paru, Dokter?” Kelihatannya,
kau sudah bisa menebaknya, itu adalah efek samping dari
Taxotere.
Dan Carmen tidak dapat melakukan apa pun tanpa
melibatkan bantuan dariku. Ia hampir tidak mempunyai
sisa tenaga. Efek penumpukan, begitu dr. Scheltema
menyebutnya. Tubuh memprotes kemo lebih dan lebih lagi.
Dan dapatkah kau menyalahkannya?
Namun, sejauh ini masalah terbesar adalah penyisipan
jarum dan slang kecil yang dilalui zat kimia ke tubuhnya
melalui pembuluh-pembuluh darah di tangannya. Jarum
dan slang itu telah menjadi simbol penderitaan kanker bagi
kami. Pembuluh darah Carmen tampaknya selalu terletak
jauh lebih dalam di kulitnya daripada kebanyakan orang.
Setiap kali rasanya lebih sulit dan lebih menyakitkan dan
mereka menghabiskan bermenit-menit untuk mencari
www.facebook.com/indonesiapustaka

pembuluhnya sebelum akhirnya slang itu masuk. Carmen


melihatnya sebagai gunung yang harus didaki, semakin dan
semakin tinggi setiap minggunya. Aku pergi bersamanya
dan hampir tidak dapat menahan air mata saat si dokter
menusuk tangan Carmen yang terisak-isak.
Tinggal dua kali lagi dan enam perawatan Taxotere yang

245
RAY KLUUN

pertama pun berakhir. Setelah itu ada tiga minggu bebas-


kemo, untuk memberikan kesempatan bagi tubuh Carmen
untuk pulih, dan kemudian keseluruhan pertunjukan sirkus
itu dimulai kembali. Enam kali lagi. Gagasan mengenai hal
itu membuatnya gila.
“Kalau saja ada sesuatu yang bisa kuminum daripada
membiarkan benda itu menusuk tubuhku,” ia berkata saat
kami menunggu bersama Scheltema, seperti yang kami
lakukan setiap minggu sebelum kemo-nya dimulai. “Aku
tidak akan terlalu keberatan.” Saat ia mengatakannya, ia
nyaris menangis lagi. Carmen berjuang menahan air mata-
nya.
“Ya,” sahut Scheltema singkat, “tapi tidak ada obat seperti
itu.”
Jadi aku mendukung Carmie-ku yang merengek ke
ruangan kemo pada sesi Taxotere-nya yang kelima.
Tinggal tujuh kali lagi.

Aku baru saja menangis di toilet setelah


Carmen disuntik. Ini mengerikan, Rose.
Aku akan meneleponmu nanti.
www.facebook.com/indonesiapustaka

246
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

What’s amazed me for years,


that I’ll never forget if I live to be hundred,
you’ve fooled me, you’ve diddled me …
Wim Sonneveld, dari Tearoom Tango
(An Evening with Wim Sonneveld, 1966)

Dua Puluh Satu

Rupanya ada pengobatan yang bisa kau minum.


Carmen mengetahui hal itu dari Toni. Menurut Toni,
sebuah uji tentang kemoterapi oral tengah dilakukan di
Rumah Sakit Antoni van Leeuwenhoek, tempat Carmen
menjalani terapi radiasi. Mereka telah melakukannya selama
berbulan-bulan. Aku tidak dapat memercayainya.
Carmen memintaku untuk menghubungi mereka. “Kau
lebih pandai berkata-kata daripada aku.”
Dokter di Rumah Sakit Antoni van Leeuwenhoek yang
kuhubungi mengonfirmasi perkataan Toni.
Mereka tidak dapat melakukan tindakan apa pun bagi
Mrs. van Diepen selama ia masih menjadi pasien seorang
dokter di Sint Lucas. Aku bilang aku mengerti, dan bahwa
www.facebook.com/indonesiapustaka

aku akan mengontak dr. Scheltema.


Aku menutup sambungan telepon. Carmen memandangi-
ku.
“Memang benar. Ada pengobatan yang bisa kau minum.”
Tangis Carmen pecah.
Aku merasakan dorongan untuk pergi ke rumah sakit

247
RAY KLUUN

sialan itu, memuntir lengan Scheltema, dan menusukkannya


ke meja dengan jarum yang ditusuk ke tangan Carmen setiap
minggu. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh.
Delapan. Sembilan. Sepuluh. Tarik napas dalam-dalam.
Kemudian aku menelepon Sint Lucas dan minta disambung-
kan dengan Scheltema. Ia sedang berlibur.
Dokter penggantinya bernama dr. Tasmiel. Aku men-
jelaskan kepadanya setenang mungkin bahwa intubasi
mingguan istriku sulit dijalani karena itu menyebabkan
masalah-masalah psikologis besar, bahwa dr. Scheltema
mengetahui hal ini, dan aku mengakhirinya dengan per-
mintaan sederhana untuk memberikan persetujuan formal
untuk memindahkan Mrs. van Diepen sebagai pasien ke
dokter yang menangani pengobatan kemo oral di Antoni
van Leeuwenhoek.
Dr. Tasmiel bilang ia tidak dapat membantuku. Ia
menjelaskan dirinya tidak dapat menyerahkan pasien rekan
sejawatnya semudah itu, dan berkata bahwa dr. Scheltema
akan kembali dalam satu setengah minggu lagi.
Aku mendidih karena marah, dan memberitahunya
bahwa, sampai hari ini, aku telah menjalani hidup dengan
ide naif bahwa para dokter meletakkan kualitas hidup pasien
penderita penyakit terminal* di atas segalanya, dan kualitas
hidup istriku nyaris bernilai nol karena setiap minggu,
berhari-hari sebelum terapi, ia berkeliling sambil menangis
karena alasan sederhana yaitu tidak sanggup lagi menahan
www.facebook.com/indonesiapustaka

slang di tubuhnya. Dan kemudian aku mengungkapkan


gerutuan lama—yang dalam hal ini tidak relevan—dengan
mengatakan bahwa aku juga mengharapkan sedikit
kerendahan hati dokter-dokter di sana karena istriku

* Istilah terminal digunakan untuk mengategorikan beberapa penyakit tak tersembuhkan


yang diperkirakan mengarah pada kematian, secara perlahan.

248
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

berakhir dalam kondisi seperti sekarang karena kesalahan


yang dibuat oleh salah satu rekan sejawatnya, dr. Wolters,
hampir dua tahun lalu.
Dr. Tasmiel, yang mulai kesal, mengatakan bahwa ia
tidak mengetahui apa pun tentang hal itu, dan bahwa
menurut pandangannya hal itu berada di luar konteks diskusi
ini, dan ia juga mempertimbangkan hal itu sangat tidak
pantas karena aku menggunakan nada seperti itu untuk
berbicara dengannya.
“Apa Anda sudah selesai?” aku bertanya.
“Ya.”
“Baiklah. Sekarang giliranku: aku tidak MAU lagi
berurusan dengan Anda.” Aku menambahkan bahwa ia
dapat menunggu sebuah faksimile emosional, dengan
tembusan kepada dr. Scheltema dan dokter di Antoni van
Leewenhoek, karena aku menganggap kesehatan istriku
lebih penting daripada hari libur sialan Scheltema.
Carmen bertanya apakah sebaiknya kami membatalkan
rencana tersebut. Jangan coba-coba berpikir mengenai hal
itu! Aku berang! Kami sungguh-sungguh telah dibodohi,
benar-benar diperlakukan secara tidak adil.
Sementara itu aku duduk di depan komputer. Aku
mengatakan di dalam faksimile-ku bahwa jika dibutuhkan
aku akan membawa kasus ini ke pers untuk memastikan
istriku mendapat tes, dan aku dengan tegas menuntut hak
untuk menggunakan segala cara atas persetujuanku. Aku
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak punya firasat sedikit pun apa itu, tapi kupikir hal itu
kedengaran mengancam.
Pada pagi hari setelah faksimile itu terkirim aku mendapat
telepon pada pukul sembilan tepat.
“Mr. van Diepen, aku dr. Rodenbach, direktur medis di
Antoni van Leeuwenhoek. Aku mendapat nomor Anda dari

249
RAY KLUUN

dr. Tasmiel di Rumah Sakit Sint Lucas.”


Dua jam kemudian kami sudah berada di kantornya.
Rodenbach adalah oasis. Seorang dokter yang membiarkan
pasien-pasiennya berbicara, dan mendengarkan mereka juga.
Ia memberitahu kami bahwa hasil dari tes oralnya masih
belum pasti, dan mencatat bahwa sampai saat ini terapi
Taxotere telah bekerja baik bagi Carmen. Rodenbach tidak
menyarankan Carmen ikut tes, dan menawarkan alternatif
agar kami tidak menjalani suntikan slang lagi. Sebuah port-
a-cath. Kedengarannya seperti toilet kimia bagiku, tapi
rupanya itu merupakan alat kecil berguna yang dipasang di
bawah pengaruh obat bius, di kulit dekat payudara, operasi
kecil. Taxotere-nya kemudian dimasukkan melalui lubang
permanen langsung ke pembuluh darah alih-alih melalui
jarum dan slang; prosesnya tidak menyakitkan dan bisa
langsung bekerja. Tidak ada tusuk-menusuk pembuluh
darah. Carmen mengatakan bahwa ia mengetahui alat ini
sejak enam bulan lalu melalui group-chat di internet. Ia
membahas hal itu dengan Scheltema sebanyak satu kali,
namun Scheltema sangat menyarankan agar Carmen tidak
melakukannya. Operasinya termasuk operasi besar, dan
lubangnya sering terblokir. Tidak sepadan dengan ke-
repotannya, menurut pandangan Scheltema.
“Yah—ehm—kedengarannya bagus bagi kami.”
Rodenbach berusaha sebaik mungkin tidak membiarkan
koleganya di Sint Lucas, Scheltema, kecewa. Scheltema yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

sama yang dulu pernah kutanyai apakah tidak lebih baik


kalau istriku dirawat di Rumah Sakit Antoni van
Leeuwenhoek, rumah sakit yang dikhususkan untuk
pengobatan kanker. Scheltema yang sama yang kemudian
benar-benar tersinggung karena sejak kehadiran internet
semua informasi mengenai kanker, semua perkembangan

250
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

baru, semua metode baru di semua rumah sakit di dunia


merupakan pengetahuan biasa bagi dokter-dokter di dunia
hanya dalam beberapa jam. Dan ia telah memberitahu kami
bahwa ia telah mendiskusikan pasien-pasiennya dengan
dokter-dokter dari rumah sakit tetangga, Antoni van
Leeuwenhoek, setiap dua minggu sekali.
Asumsi paling baik, Scheltema belum melakukan
pekerjaan rumahnya selama berbulan-bulan, dan yang
terburuk, ia tega berbohong kepada kami ketika Carmen,
terisak-isak, memohon atas apa pun di dunia ini untuk
menghindari jarum sialan tersebut.

***

Rodenbach berkata ia pikir port-a-cath lebih baik daripada


pengobatan oral, tapi pilihannya ada pada Carmen. Dan ia
menawarkan diri menjadi dokter yang merawat istriku.
Carmen memilih port-a-cath, memilih Rodenbach, dan
memilih Antoni van Leewenhoek. Aku dapat melihat istriku
senang, dan begitu pula diriku.

>> Rumah Sakit Antoni van Leeuwenhoek (AvL) memiliki


spesialisasi dalam perawatan kanker. Para dokter dan suster di AvL
memahami apa yang ada dalam kepala orang-orang yang memiliki
penyakit mengancam-kehidupan atau—seperti dalam kasus
Carmen—penyakit terminal.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sisi lain koinnya adalah setiap orang yang mondar-mandir di


sana mengetahui bahwa kau tidak pergi ke rumah sakit tersebut
karena baru memiliki bayi atau sedang pemulihan seusai bedah
usus buntu, tapi karena kanker. Aku bahkan mendapati diriku
menatap iba kepada orang-orang yang berjalan bergandengan
tangan menyusuri koridor, atau duduk dalam diam di sebelah mesin
kopi di lorong. Mereka baru saja mendengar bahwa kanker di tubuh

251
RAY KLUUN

ibunya telah menyebar, atau kakek mereka bisa meninggal sewaktu-


waktu, atau para dokter telah menyerah untuk merawat suami atau
istri. Malahan, AvL rasanya seperti distrik lampu-merah Amsterdam.
Jika kau melihat seseorang berjalan mondar-mandir di sana, kau
mengetahui secara tepat apa tujuan mereka.

Operasi untuk memasang port-a-cath benar-benar mudah


dilakukan, dan Carmen bersiul dengan riang saat ia men-
jalani kemonya yang tersisa.
Kami tidak pernah pergi ke Sint Lucas lagi. Suara
Scheltema muncul satu kali lagi di kotak suara kami, berkata
bahwa ia benar-benar berpikir betapa memalukan semua
berjalan seperti yang terjadi selama liburannya, dan ia
mengharapkan yang terbaik bagi kami. Aku menerima kata-
katanya dan meninggalkannya di sana. Begitu pula Carmen.
Kehidupannya memang tidak akan menjadi lebih lama,
tapi akan menjadi sedikit lebih menyenangkan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

252
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

And when I get that feeling, I want sexual healing…


Marvin Gaye, dari Sexual Healing (Midnight Love, 1982)

Dua Puluh Dua

Untuk membuat hidupku lebih menyenangkan juga, aku


kembali ke kebiasaan lamaku. Aku kecanduan Rose sekali
lagi.
Sehari setelah metastasis, kami duduk bersama di Coffee
Company di De Pijp, pada pagi setelah aku mengantarkan
Luna ke crèche. Dari sudut pandang monofobiaku, itu
termasuk tempat dan waktu yang aman, karena jauh dari
rumah Rose di Oud-West.

>> Coffee Company. Kau bisa mengajak orang berbincang-bincang


di sini, tapi hanya untuk orang yang ahli. Semakin tidak biasa kopi
yang kau pesan, semakin tinggi statusmu. Anggap dirimu sendiri
sebagai connoisseur atau juru cicip. Lupakan soal cappuccino dan
espresso. Bahkan saat pengetahuanmu soal kopi sebanyak
pengetahuan sapi soal memanjat tebing, pesanlah americano atau
ristretto. Dengan begitu kau akan dianggap, dan itulah intinya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Rose mendengarkan saat aku menumpahkan semua


frustrasi dan kesedihanku.
Setelah itu, sepanjang musim panas, di antara semua
liburan dan perjalanan naik perahu bersama Carmen, aku
sembunyi-sembunyi bertemu dengan Rose di pub-pub atau

253
RAY KLUUN

di bar roti lapis. Dengan sangat hati-hati kami menghindari


kafe-kafe di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, sehingga
kami tidak mengambil risiko dengan berakhir di tempat
tinggalnya dan melanggar Janjiku Kepada Carmen.
Aku pikir lebih baik untuk menjauh dari Rose sepenuhnya
selama empat bulan. Sejak aku mengenal Carmen, aku tidak
pernah bermonogami selama itu. Atau tepatnya, berzerogami,
karena aku hanya melakukannya satu kali dengan Carmen,
di Club Med. Sementara itu, Taxotere telah menyebabkan
dorongan seksnya merosot drastis. Jadi lenyap sudah
kehidupan seksualku, namun tidak begitu dengan rasa
bersalahku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, mono-
fobiaku menertawakan aku: Aku masih menjalani kehidupan
ganda, aku masih memiliki dua perempuan, diam-diam,
tetapi aku tidak dapat meniduri satu pun dari mereka.
Terkadang kemaluanku langsung mengeras karena gairah
saat Rose memelukku agak terlalu intim di pub. Lalu, saat
aku pulang, aku bermasturbasi di toilet atau di bawah
pancuran, dan berkhayal tentang dirinya.
Satu malam setelah salah satu drama-kemo di Sint Lucas,
segalanya berjalan dengan salah. Aku menelepon Rose, ia
ada di rumahnya, dan dalam seperempat jam aku sudah
tiba di tempatnya. Ia menghiburku. Penghiburan berubah
menjadi pelukan, dan pelukan berubah menjadi seks. Ia
memprotes, tapi tidak ada yang menghentikan kami. Kami
melakukannya di atas karpet. Hanya setelah satu menit
www.facebook.com/indonesiapustaka

berada di dalam dirinya, aku mencapai puncak. Kemudian


kami menangis bersama-sama.
Beberapa minggu setelahnya aku menjadi lebih
kecanduan Rose daripada sebelumnya. Setiap setengah jam
aku mendamba kebersamaanku dengannya. Jurnal harianku
mulai menderita penyakit manajemen waktu yang tidak

254
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

manusiawi. Carmen. Luna. Kunjungan rumah sakit. Melihat


rumah yang dipilihkan agen perumahan untuk kami.
Kantorku. Walaupun yang terakhir juga dijadikan alibi
supaya aku bisa melakukan kunjungan singkat ke tempat
Rose.
Namun, ada satu perbedaan dari hubungan gelap yang
kami lakukan tahun lalu. Minggu lalu saat kami bermain
cinta dengan hebat di ranjangnya, Rose tiba-tiba me-
ngatakannya.
“Aku mencintaimu, Danny.”
Gilanya, aku merasa tersanjung, alih-alih melihat hal
tersebut sebagai masalah. Awalnya aku tidak tahu apa
alasannya. Aku sudah melanggar Janjiku Kepada Carmen,
dan hal itu pastinya tidak akan membuat segalanya lebih
mudah.
Saat aku mengetahui alasan mengapa “Aku mencintaimu,
Danny” terasa menyenangkan, aku sendiri cukup kaget.
Pernyataan cinta Rose menyentuh egoku. Aku merasa seperti
seorang lelaki lagi, bukan teman. Itu merupakan kompensasi
atas cinta institusionalku di rumah.
Aku menyadari hal tersebut tidak akan membuatku
mendapatkan pujian. Namun ”cinta pada masa kanker”
memiliki aturan mainnya sendiri, kataku dalam hati. Rose
adalah satu-satunya orang yang kebersamaannya kunikmati,
satu-satunya orang yang dengannya aku merasa baik. Dan
sekarang ia juga mencintaiku.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Frank, De Bastille, alkohol, dan E sekalipun bukan


tandingan untuk itu.

255
RAY KLUUN

It’s my baby callin’, says I need you here…


Golden Earring, dari Radar Love (Moontan, 1973)

Dua Puluh Tiga

Awalnya kukira itu adalah khayalanku belaka, tetapi setelah


beberapa minggu tidak mungkin salah lagi. Perut Carmen
tampak semakin besar, walaupun ia tidak hamil dan makan
lebih sedikit daripada Luna.
Dr. Rodenbach mengonfirmasi kecurigaan kami.
Taxotere-nya berhenti bekerja. Ia berlama-lama menjelaskan
bahwa dirinya dapat melihat dari kadar di dalam darah
bahwa tumornya aktif lagi. Organ hatinya tidak berfungsi
dengan benar lagi, dan sedang melakukan sesuatu yang
mirip dengan berkeringat. Keringatnya disebut cairan asites,
dan seluruh bagian perut Carmen sekarang ikut terpengaruh,
karena keringat tersebut mengandung sel kanker ganas.
Rodenbach berkata ada satu pilihan lagi setelah sekarang
Taxotere-nya tidak berfungsi. Jenis terapi kemo lain, yang
disebut LV. L merupakan singkatan dari Leukovorin, dan V
untuk 5-FU. Hampir tanpa efek samping, dan dapat
www.facebook.com/indonesiapustaka

diterapkan secara mingguan melalui port-a-cath. Kami


berpandang-pandangan dan mengangkat bahu. Ayo kita
lakukan. Ayo kita uji keberuntungan kita. Terapi itu hanyalah
satu penundaan lain, Rodenbach memperingatkan. Dan
mudah-mudahan 5-FU-nya tidak terlambat, karena mereka
tidak dapat memulai terapi tersebut selama beberapa

256
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

minggu. Tubuh tidak dapat menahan dua jenis kemo yang


berbeda dalam satu waktu.
Tak lama kemudian perut Carmen mulai membengkak
seperti perempuan hamil. Semua pakaiannya hampir tidak
ada yang dapat dikenakan. Carmen bisa mengatasi ke-
ngeriannya, dan minggu ini ia pergi untuk membeli sebuah
baju dari Ruimschoots di A.J. Ernststraat. Baju hamil. Saat
Carmen dan aku berpapasan dengan mantan rekan sejawat
kami di BBDvW&R/Bernilvy, perempuan itu berkata: “Oh,
betapa menyenangkannya! Rupanya kau sedang mengandung
anak kedua!” Carmen mengangguk dengan antusias, “Ya!
Kami mengharapkannya laki-laki!”
Selain kejadian itu, tidak banyak yang bisa ditertawakan.
Dr. Rodenbach berkata mereka dapat menguras asites
tersebut, tetapi ia berniat melakukannya sejarang mungkin.
Semakin sering dikuras, semakin cepat cairan itu kembali.
Ia bertanya-tanya apakah Carmen dapat bertahan beberapa
hari lagi, sampai perawatan LV yang pertama. “Aku bisa
melakukan hal itu,” kata Carmen.

***

Pada malam menjelang terapi LV pertama, aku harus pergi.


Akhir-akhir ini aku jarang pergi ke MIU hingga aku
mengusulkan kepada Frank bahwa aku akan mengurusi
masalah-masalah mendesak dengan bekerja satu malam
www.facebook.com/indonesiapustaka

dalam seminggu. Dengan begitu, setelahnya aku dapat


mampir ke tempat Rose.
“Apakah kau bisa menahannya pagi ini, dengan perut
itu?” aku menanyakan Carmen sebelum pergi ke MIU.
“Yah—ya, aku akan baik-baik saja.”
Karena aku tahu istriku tidak hanya menderita kanker,

257
RAY KLUUN

tapi juga menderita overdosis pemikiran positif, aku tidak


memercayainya.
“Apa kau yakin?”
“Tentu saja. Bukan masalah.”
Aku hanya berada di stadion selama satu jam ketika
teleponku berdering.
“Aku tidak dapat menahannya, Dan,” Carmen terisak.
“Aku akan segera pulang.”
Frank ikut bersamaku. Kami bergegas ke mobil bersama-
sama. Kami sampai di rumah dalam waktu lima menit dan
aku berlari ke lantai atas. Aku dapat melihat dari wajah
Carmen bahwa rasa sakit itu tak tertahankan.
“Apakah kau sudah menelepon rumah sakit?” tanyaku.
“Belum—aku tidak berani.”
Dalam rentang waktu 2,34 detik aku telah memasukkan
nama—mencari—A—AvL… Memanggil.
“Selamat malam, Rumah Sakit Antoni van Leeuw—”
“Di sini Van Diepen. Dapatkah aku berbicara dengan
dokter yang sedang tugas jaga di unit dr. Rodenbach?”
Setelah aku menangkis pertanyaan dokter jaga mengenai
apakah istriku benar-benar tidak dapat menunggu sampai
besok pagi, yang kujawab dengan kalimat pendek dan jelas,
“Tidak, sekarang juga,” kami diizinkan untuk datang dan
perut Carmen dikuras.
Frank tinggal di rumah bersama Luna.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kami harus pergi ke lantai empat. Pada saat-saat terbaik-


nya, Antoni van Leeuwenhoek tidak dapat menyaingi
kenyamanan De Bastille, dan lampu pertunjukannya bukan
tandingan Hotel Arena, tetapi pada larut malam tempat itu
lebih membuat tertekan daripada biasanya.
Dokter yang akan menguras cairan dari perut Carmen

258
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

sudah menunggu kami di atas. Usianya pasti dua puluh


delapan tahun, tidak lebih dari dua puluh sembilan.
“Apakah Anda datang untuk pungtur asites?” ia bertanya.
Hebat, frase baru lagi yang kupelajari. Carmen mengangguk.
Si dokter dan aku membantu Carmen menaiki ranjang
beroda. Ia diberikan anestetik, dan slang kecil setebal
setengah sentimeter dimasukkan ke sisi perutnya. Di ujung
slang tersebut terdapat ember, yang perlahan terisi dengan
cairan kuning dari perut Carmen. Satu liter, dua liter, tiga
liter, empat setengah liter. Carmen miring pada satu sisi
seperti semangkok adonan panekuk dan tubuhnya ter-
guncang-guncang sesekali. Empat koma tujuh liter.
Carmen lega.
“Anda seperti tidak buang air kecil selama seminggu!”
Setelah perutnya kosong, Carmen dapat lagi berjalan
tertatih. Kami menyeret kaki tanpa bersuara menembus
koridor rumah sakit yang gelap dan sepi menuju pintu
keluar. Kami sampai di rumah pada pukul dua belas lewat
lima belas menit. Frank sedang duduk di sofa menonton
TV. Carmen dan aku hampir tidak mengatakan apa pun
selama di perjalanan.
“Ada yang mau minum?” aku bertanya.
“Segelas air putih,” kata Carmen dengan pelan.
“Aku akan meminum vodka,” kataku kepada Frank. “Dan
kau?”
“Bir saja.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku pergi dan duduk dan membiarkan malam melayang


melewatiku. Malam seperti ini adalah jenis malam yang
kutakuti sejak kali pertama Carmen mengidap kanker.
Terpaksa pergi ke rumah sakit pada malam hari dengan
keadaan panik. Malam ini langsung melesat ke posisi 2
dalam 5 Besar Trauma Kanker, tepat di bawah nomor 1

259
RAY KLUUN

yang sampai saat ini tak tergeser: mencukur rambut istriku.


Tangisku meledak. Carmen juga ikut menangis. Frank
menghampiri dan memeluk kami berdua.
“Seharusnya tadi pagi aku bilang bahwa aku tak sanggup
menahannya, bukan?” Carmen berkata, merasa bersalah.
“Ya,” tukasku.
“Tapi aku benci harus mengeluhkan perutku setiap
waktu …”
“Mengemudi ke rumah sakit dalam kepanikan buta di
tengah malam jauh lebih buruk.”
“Kau harus jujur, Carmen,” Frank menambahkan,
sebelum ia pergi. “Dengan begitu setidaknya Dan akan
mengetahui bahwa kau memang baik-baik saja saat kau
berkata demikian …”
Carmen mengangguk dengan canggung, memeluk Frank
dan mengantarkannya keluar.
Beberapa saat kemudian aku mendengar pekikan dari
dalam kamar mandi. “Lihat apa yang terjadi padaku!”
Carmen menangis, ketakutan.
Di atas selangkang paha sebelah kirinya terdapat benjolan
sebesar bola biliar. Aku juga ketakutan. Infeksi. Memangnya
apa yang bisa tumbuh dalam tiga jam dari ketiadaan menjadi
sebesar bola biliar? Aku berpura-pura tenang. Kami me-
nelepon dokter jaga di rumah sakit. Ia sama sekali tidak
mengetahui apa itu. Kami menghubungi Rodenbach.
Ia menyingkirkan penderitaan kami melalui telepon.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bukan hal yang serius. Bola-biliar itu hasil dari proses


pungtur, yang meninggalkan lubang di berbagai lapisan
dinding abdominal, dan cairan yang tersisa di perut kini
menetes ke bagian paling rendah perut tersebut karena
tarikan gaya gravitasi.
“Betapa kami tidak menyangkanya,” kata Carmen datar.

260
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Cairan tersebut akan menyebar di seluruh perut Carmen


lagi jika Carmen berbaring, dan keesokan paginya lubang-
lubang tersebut pada dasarnya akan tertutup.
Sebelum pagi tiba, aku menghubungi Rodenbach lagi,
karena suara kesakitan Carmen telah membangunkanku.
“Dokter, ini Van Diepen lagi!” aku berteriak, mulai
dilanda kepanikan lagi. “Istriku berbaring di sebelahku,
membungkuk kesakitan! Ia bilang rasanya seperti kontraksi,
tapi itu mustahil, bukan?”
Sekali lagi, Rodenbach tidak panik. Ia mengatakan bahwa
keadaan itu akan berakhir beberapa menit lagi. Itu adalah
fenomena yang biasa terjadi setelah pungtur asites. Organ-
organ di dalam perut sibuk kembali ke posisi asal masing-
masing.
“Perutku terasa bergejolak,” aku memberitahu Roden-
bach.
“Sebenarnya begitulah seharusnya Anda membayangkan-
nya,” ia berkata.
Aku meremas tangan Carmen erat-erat, menjepitnya
keras-keras, seperti yang tidak kulakukan saat persalinan
Luna. Segera saja kramnya berakhir. Rasanya cerah lagi.
Satu jam kemudian Luna bangun. Seolah-olah tidak terjadi
apa pun.
Tepat sebelum aku jatuh tertidur karena kelelahan aku
menyadari dengan shock apa yang telah kulupakan kemarin
malam. Hatiku berjungkir balik.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Oh, Tuhan. Sial. Oh, betapa bodohnya. Sialansialansial.


Rose masih menungguku.

261
RAY KLUUN

A great big mouth behind the fence,


A great big mouth behind the fence …
Sisi-F Ajax *

Dua Puluh Empat

Setelah laporan mendetail mengenai kunjungan rumah sakit


di waktu malam yang menghebohkan, dan permintaan maaf
sebanyak enam belas kali, Rose mulai tenang. Aku duduk
di meja sarapannya. Ia masih mengenakan gaun tidurnya.
Aku sudah mengantar Luna ke crèche dan melaju ke
apartemen Rose. Tanaman kecilku di Oud-West harus segera
diairi.
“Segalanya terasa semakin sulit, Dan—aku tidak pernah
dapat memastikan apakah kau akan membatalkan per-
temuan kita pada menit-menit terakhir. Aku selalu khawatir
ada yang tidak beres di rumah saat kau terlambat sepuluh
menit, selalu ketakutan kalau Carmen mengetahui semua
ini…”
“Apakah kau mau kita berpisah?” aku bertanya dengan
keras kepala.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Tidak.” Ia mendesah. “Tentu saja aku tidak ingin ber-


pisah.”
“Aku tidak mau kau merasa dimanfaatkan. Tidak se-
karang, dan tidak juga nanti, saat Carmen tidak—tidak ada

* Dikutip dari repertoar di Sisi-F stadion. Nada: When the Saints. Saat para suporter tim lawan
mengatakan sesuatu yang tidak adil mengenai Ajax atau pendukung Ajax.

262
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

di sana lagi. Karena aku sudah lebih dulu mengetahui bahwa


nantinya aku perlu menghabiskan waktu dengan hanya
memikirkan Luna dan aku.”
“Hentikan. Aku tahu itu. Tetapi aku tidak mau men-
dengarnya.”
“Kau harus mendengarnya.”
Aku tahu itu kedengarannya kejam, tapi aku mengatakan-
nya dengan sengaja. Bahkan jika itu adalah kejujuran yang
egois, kejujuran yang dirancang untuk meringankan ke-
gelisahanku bahwa aku mungkin hanya akan memanfaat-
kannya untuk melewati masa-masa ini.
Dan gawangnya benar-benar tidak terjaga. Aku tahu Rose
tidak akan meninggalkanku dalam kesusahan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

263
RAY KLUUN

I wouldn’t wanna take everything out on you,


Though I know I do every time I fall …
All Saints, dari Black Coffee (Saints and Sinners, 2000)

Dua Puluh Lima

Jika perawatan LV tidak segera dimulai, Carmen tidak akan


bertahan sampai Natal. Taxotere sialan itu, dengan segala
penderitaan yang ditimbulkannya, hanya akan memberi
kami waktu tambahan kurang dari enam bulan, ya Tuhan.
Organ hati Carmen sangat bengkak sehingga kau dapat
melihatnya seperti bola besar di bagian samping perutnya.
Organ hatinya nyaris tidak berfungsi sekarang, tapi malah
lebih banyak lagi mengeluarkan keringat. Sejak pungtur
asites yang pertama, Carmen harus mengosongkan perutnya
setiap minggu. Yang terakhir kali adalah rekor pribadi
terbaru: 7,1 liter. Aku tidak akan terkejut kalau ternyata itu
adalah lomba, rekor Belanda dan Eropa, walaupun Carmen
akan dikeluarkan dari keikutsertaannya karena tingginya
tingkat doping dalam darah.
Kembalinya semua organ ke tempat masing-masing
www.facebook.com/indonesiapustaka

setelah setiap pungtur membuat keseluruhan proses itu


menyiksa. Kadang-kadang ia berjalan berkeliling selama
berhari-hari sampai ia tidak dapat lagi menyembunyikan
penderitaannya dariku. Dan kemudian segalanya dimulai
kembali.
Bersamaan dengan keluarnya cairan tersebut, protein-

264
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

protein juga meninggalkan tubuhnya. Kondisinya benar-


benar merosot, dan Carmen tidak mempunyai banyak energi
setiap minggunya. Pada hari-hari ketika perutnya penuh,
dia tidak dapat berjalan sejauh seratus meter. Namun,
minggu lalu ia ingin pergi keluar untuk beberapa saat. Kami
membawa kursi roda yang kami dapatkan dari unit
perawatan-rumah dan pergi berjalan-jalan. Aku berbohong
kepada Carmen bahwa aku tidak berkeberatan mendorong-
nya. Kenyataannya aku berjuang sekuat tenaga untuk
menahan air mataku.

Mama pernah memberitahumu bahwa Mama tidak


dapat berjalan dengan baik lagi, dan itulah sebabnya
kita memiliki sebuah kursi roda. Kemudian kamu
bilang kamu akan menggendong Mama. Mama
merasa itu perbuatan yang sangat manis sekaligus
menyedihkan dalam waktu bersamaan sehingga
Mama menangis, dan sekarang saat Mama
menggambarkannya Mama menangis lagi. Terkadang
semua ini sangat, sangat berat. Beberapa saat lalu
kamu menghampiri Mama sendirian dan bertanya
apakah Mama masih sakit. Dan saat kamu ikut ke
rumah sakit minggu ini dan melihat dokternya,
kamu bertanya, “Apakah ia akan membuatmu
merasa baikan, Mama?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Carmen ingin melakukan segalanya, tapi ia tidak dapat


melakukan satu pun. Hari Minggu lalu ia mengambil alih
tugas jaga Luna, supaya aku bisa tidur. Pada pukul setengah
sembilan ia membangunkanku karena ia sudah muntah dua
kali.
Sekitar tengah hari ia perlahan-lahan mulai lagi. Jadi aku

265
RAY KLUUN

mengganti pakaian Luna pada pagi hari, memberinya bubur,


dan mengantarkannya ke crèche. Pada akhir pekan aku
mengantarkan Luna ke peternakan kambing di Amsterdamse
Bos pagi-pagi, atau ke taman bermain di Vondelpark.
Kadang-kadang kupikir betapa menyedihkannya bagi
Carmen bahwa aku tidak memberitahunya ke mana aku
dan Luna pergi.

Sebagian besar hari Mama tidak dapat beranjak dari


tempat tidur sampai sekitar pertengahan hari. Papa
bangun denganmu setiap hari dan melakukan semua
pekerjaan rumah. Kadang-kadang Mama membentak
Papa, karena Mama tidak dapat melakukan
pekerjaan itu sendirian. Orang-orang yang terdekat
denganmulah yang paling sering terkena dampak
buruknya, terlepas dari betapa tidak adilnya semua
itu. Namun Mama punya keyakinan bahwa Papa
dan Mama menjadi lebih kuat bersama-sama
daripada sebelumnya. Terlepas dari apa yang terjadi,
Papa masih mencoba untuk menikmati berbagai hal,
dan hal itu mengembalikan kekuatan Mama, jadi
kami masih tetap bersenang-senang kapan pun
Mama merasa sehat selama satu hari atau lebih.

Namun Carmen jarang merasa sehat. Titik terendahnya


muncul saat Carmen harus melewatkan pesta Natal Ayah
www.facebook.com/indonesiapustaka

di crèche. Ia berusaha beranjak dari tempat tidur, ia


berpakaian, tapi tidak berhasil. Ia terlalu sakit. Aku adalah
satu-satunya lelaki di crèche—tidak termasuk si Natal Ayah
(dan ia mengenakan gaun) serta dua perinya—di antara dua
belas ibu-ibu.
“Jika aku tidak dapat melakukan hal sesederhana itu,

266
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

tamat sudah riwayatku,” isak Carmen saat aku dan Luna


kembali.
Banjir mengalir di pipiku.*
Aku menyadari bahwa Carmen menduga akhirnya
semakin dekat. Ia pun mengerjakan rencana-rencana, niat-
niat, dan gagasan-gagasannya dengan langkah yang di-
percepat.
Ia memberitahu Maud, Anne, Thomas, dan Frank,
contohnya, bahwa mereka harus membuat satu cincin.
“Anggap cincin itu sebagai sebuah cincin peringatan.” Aku
sudah membuat satu cincin, yang nantinya akan meng-
gantikan cincin kawinku. Carmen memintanya diukir Untuk
cintaku. xxx Carmen. Saat kami mengambil cincin tersebut,
perempuan yang membuatnya bertanya apakah kami akan
segera menikah.
“Tidak, ini untuk peristiwa khusus lain,” Carmen berkata
dengan riang.
“Oh, kalau begitu aku tahu apa itu,” kata perempuan itu
dengan tatapan penuh makna ke perut Carmen. “Sungguh
gagasan yang sangat bagus, merayakan hal itu dengan sebuah
cincin!”
Dalam sebuah e-mail yang ditujukan kepada teman-
teman dan kenalan-kenalan, Carmen meminta mereka untuk
menuliskan sesuatu tentang dirinya kepada Luna. Surat-
surat datang membanjir. Kami membeli sebuah kotak besar
tempat kami menyimpan surat tersebut, sekaligus buku
www.facebook.com/indonesiapustaka

harian Carmen beserta foto-foto, dan—gagasan Frank—


dua video tentang teman-teman yang membicarakan
Carmen. Luna tidak akan memiliki ibu, tapi jika ia mau ia
dapat mencari tahu lebih banyak mengenai dirinya di-
bandingkan seorang anak yang masih memiliki ibu.

* Dikutip dari De kleine blonde dood oleh Boudewijn Büch (1985).

267
RAY KLUUN

***

Dalam sebuah map dari Yayasan Beyond the Rainbow yang


dilihatnya tergeletak di ruang-tunggu Antoni van
Leeuwenhoek, Carmen membaca tentang psikolog anak
yang memiliki spesialisasi dalam menangani kesedihan pada
anak-anak. Kami berakhir dengan menemui seorang
psikolog di Rapenburgerstraat. Tanpa Luna, karena kami
ingin berbicara secara bebas.
Ruang konsultasi si psikolog dipenuhi mainan. Ada
gambar hasil karya anak-anak di dinding. Salah satunya
menunjukkan gambar tanda salib besar dan sebuah boneka
bersayap. “My Mama,” begitu yang terbaca dari sebuah
tulisan tangan kekanak-kanakan. Aku berharap Carmen
tidak melihat gambar tersebut. Si psikolog menjelaskan apa
yang diingat anak-anak mengenai apa yang terjadi sebelum
ulang tahun mereka yang ketiga, apa yang mereka pahami
mengenai konsep kematian, dan apa dampaknya pada anak-
anak yang tumbuh besar hanya dengan orangtua tunggal.
Saat kami memberitahunya bahwa Carmen sedang melaku-
kan proyek suratnya untuk Luna, si psikolog pikir bahwa
itu adalah gagasan hebat. Kalau tidak, Luna tak akan
mengingat apa pun tentang Mama-nya. Carmen mendengar-
nya dan tak dapat menahan cucuran air matanya. Si psikolog
menunggu selama beberapa saat dan memberitahunya bahwa
anak pada usia sekitar tiga tahun dapat dipersiapkan dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

sebagaimana mestinya untuk menghadapi kematian salah


satu orangtuanya. “Jangan terlalu cepat melakukannya,” ia
berkata, “tapi jangan menyembunyikan fakta bahwa Mama
sedang sakit, dan tidak lama lagi ia tidak akan ada di
sekitarnya.”
Si psikolog memberi kami tips mengenai cara memberi

268
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

tahu Luna, dan memperingatkan kami mengenai sesuatu


yang disebutnya sebagai ”perilaku alienasi”. “Saat anak-
anak mendengar atau menyadari bahwa mereka akan ke-
hilangan seseorang yang mereka cintai, mereka terkadang
bertingkah kurang menyenangkan, atau bahkan menjengkel-
kan kepada orang itu. Ini merupakan reaksi naluriah untuk
melindungi diri mereka sendiri dari rasa sakit saat orang itu
tidak lagi bersamanya.”
Apa yang dikatakannya membuatku terperenyak, tapi
bukan dalam hubungannya dengan Luna. Aku menyadari
perilakuku sendiri. Keraguan apakah aku masih mencintai
Carmen, monofobiaku, yang diasumsikan sebagai bentuk
kemurungan yang semakin meningkat. Si bocah Danny
sedang mempertunjukkan perilaku alienasi.
Pada malam hari aku membacakan dongeng Katak dan
si Burung Kecil kepada Luna, sebuah buku yang diberikan
si psikolog anak. Burung itu terbaring telentang, dan
beberapa orang berpikir ia tertidur, yang lain menganggap
ia kelelahan.

Kelinci berlutut di samping si burung dan


mengamatinya dengan saksama.
“Ia mati,” katanya.
“Mati,” kata Katak, “apa itu?”
Kelinci menunjuk ke angkasa.
“Setiap orang mati,” katanya.
“Kita juga?” tanya Katak, terkejut.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kelinci tidak mengetahuinya secara pasti.


“Mungkin nanti saat kita sudah tua,” ia berkata.

Mereka menguburkan burung kecil itu, dan merasa


sangat sedih. Kemudian mereka pergi dan kembali bermain
dengan riang. Saat aku membacakannya keras-keras, Luna

269
RAY KLUUN

membelai tanganku dengan tangannya yang mungil. Ia


melihat bahwa aku kesulitan, dan merasa sedih untukku.
Dan aku merasa sedih untuknya, karena Luna tidak me-
ngetahui bahwa burung kecil itu adalah Mama.

***

Carmen memiliki cara tersendiri untuk menceritakannya.

Kita membeli dua ikan, yang Mama beri nama


Elvis dan Beavis. Menurutmu mereka sungguh
menyenangkan. Minggu lalu Elvis mendadak
mengambang di mangkuk ikan, terbujur kaku. Mama
tidak berpikir hal itu buruk, karena sekarang, untuk
pertama kalinya, kamu akan melihat dengan mata
kepala sendiri bahwa hewan-hewan dan orang-orang
mati. Kamu bertanya bagaimana mungkin ia tidak lagi
hidup, dan Mama memberitahumu bahwa ia mungkin
sakit parah, dan tidak dapat sembuh, seperti yang
terkadang terjadi pada orang-orang. Lalu mereka juga
mati. Aku memberitahumu bahwa Elvis mungkin akan
pergi ke surga ikan. Kamu pikir itu adalah hal yang
sangat normal. Kemudian Mama menyiram Elvis ke
dalam lubang toilet. Papa pulang pada malam harinya
dan kamu memberitahunya bahwa Elvis sudah mati
dan pergi ke surga ikan. “Dan tempat itu adanya di
toilet,” katamu. Sementara itu Beavis juga mati, dan
kita menyiramnya masuk ke dalam toilet pula, namun
www.facebook.com/indonesiapustaka

kamu tidak terlalu sedih, karena paling tidak ia akan


bersama teman kecilnya Elvis lagi. Nanti, setelah Mama
mati, Mama akan pergi ke surga manusia dan kamu
berkata kepada dirimu sendiri bahwa tempat itu ada di
antara awan. Jadi kamu akan mulai memahaminya,
walau sedikit.

270
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

Our own house, a place in the sun,


But I wish I was simply happy more often …
Rene Froger, dari Een Eigen huis (1989)

Dua Puluh Enam

Dewi, kami membeli sebuah rumah!


Di Oud-Zuid, Joh. Verhulststraat. Carmen
benar-benar bahagia. Hebat, bukan?

Oud-Zuid merupakan sebuah kawasan di Amsterdam yang


sungguh bergaya. Seikat anggur di penjual sayur mewah
harganya melebihi sewa satu bulan di kawasan normal kota
seperti Bos en Lommer. Kawasan tersebut sangat congkak
sehingga warung penjual makanan kecil sekalipun memiliki
nama Prancis, Le Sud.
Carmen sangat gembira. Ia menelepon dan mengirim e-
mail kepada setiap orang mengenai rumah itu. Anne dan
Thomas mampir dan melihat-lihat, dan aku merasa sedikit
malu. Rumah itu indah, tapi luar biasa besarnya. Empat
lantai, dan dua kali lebih besar daripada rumah yang kami
www.facebook.com/indonesiapustaka

tinggali sekarang. Dan nantinya tidak akan ada tiga orang


yang menempati rumah itu, hanya dua.
Hari Sabtu setelah kami menandatangani kontraknya,
kami pergi ke beberapa tempat perkakas rumah di KNSM
Island. Menurut Frank, di sana ada ruang pamer Poggen-
pohl, dan ia berkata kami juga harus melihat-lihat World of

271
RAY KLUUN

Wonders dan Pilat & Pilat. Namun setelah dua toko,


Carmen kelelahan. Perutnya mulai membengkak lagi. Dan
begitulah kami memiliki kotak besar berisi rumah, memiliki
cukup uang dan waktu untuk membungkusnya, tetapi tidak
memiliki energi untuk membeli apa pun untuk diletakkan
di dalamnya.
Sementara itu kami berkendara ke tempat Frank dan
memintanya untuk membantu. Ia dengan senang hati me-
lakukannya. Frank antusias mengerjakan proyek itu. Setiap
malam kami melihat-lihat contoh penutup lantai, kayu dan
pelapis, mengamati katalog-katalog perabot dan brosur-
brosur lampu. Kami kelihatan seperti pasangan yang menjadi
pemenang dalam Honeymoon Quiz.
Pada hari Minggu setelah kami mendapatkan kuncinya,
ibu Carmen datang untuk melihat-lihat. Aku tahu hal itu
akan segera terjadi, namun aku masih tetap terkejut saat itu
benar-benar terjadi. Setelah kami menunjukkan keseluruhan
rumah kepadanya, dan berdiri di lantai tiga di dalam kamar
yang akan menjadi kamar tidur Luna, ibu Carmen menutup
mulutnya dengan tangan. Bahunya mulai bergetar. Aku
menghampiri dan memeluknya di dalam kamar yang akan
menjadi kamar cucunya. Kami berdua tahu Carmen tidak
akan pernah memeluk Luna di sana seperti dirinya memeluk
putrinya dulu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

272
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

Shiny happy people …


REM, dari Shiny Happy People (Out of Time, 1991)

Dua Puluh Tujuh

Tiba-tiba saja terapi LV-nya berfungsi dan Carmen mulai


merasa lebih baik.
Pada pagi hari ia masih merasa agak mual, tapi pada
siang hari ia memiliki sedikit energi dan sering pergi keluar
rumah. Ia berbelanja sampai-sampai ia praktis menderita
hernia. Itu akan lebih baik bila kami tinggal di rumah baru
kami. Paling tidak di sana ada ruang pakaian yang dapat
memuat seluruh pakaian baru tersebut.
Rumah baru itu adalah keberhasilan besar. Aku mengurus
segalanya—bank, jasa pemindahan, notaris, dan penjualan
rumah lama kami. Carmen tidak perlu memikirkan apa pun
dan itu juga hal bagus, karena sejak dirinya berhenti bekerja
ingatannya bagaikan keju kambing.* Urusan itu mengambil
alih sebagian besar waktuku, tetapi aku menyukainya.
Kupikir itu karena ada hubungannya dengan masa depan.
Masa depan. Mmmm. Aku menunggu datangnya saat-saat
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu setiap hari.


Walaupun pekerjaan untuk rumah itu sendiri sebenarnya
dilakukan oleh orang-orang upahan.

* Frase dari Johan Cruyff: “Pertahanan mereka bagaikan keju kambing.”

273
RAY KLUUN

>> Pekerja upahan ini adalah duo dekorator termasyhur yang


terdiri atas Rick dan Ron. Aku sendiri tidak melakukan apa pun
terhadap rumah itu. Aku mengidap disleksia saat melakukan
pekerjaan-janggal, dan bersikeras menerapkan prinsip Johan Cruyff
bahwa kau harus meningkatkan kelebihanmu dan mengamuflase-
kan kelemahanmu. Aku memperbaiki kurangnya kemampuan
Lakukan-Sendiri-ku tanpa malu-malu. Rick sering meninggalkan
pesan seperti “Lihat, Dan, ini palu.” Aku memberitahu agar mereka
jangan sok dan menyuruh mereka melanjutkan tugas mereka
sendiri, dan bahwa aku telah mengawasi pekerjaan mereka selama
berminggu-minggu dengan webcam yang kupasang di mata Baby
Bunny, boneka Luna yang, bersama Maf si anjing peluk, sudah
mengawasi rumah baru itu secara nonstop. Keesokan harinya mata
Baby Bunny dicongkel.

Kecepatan pekerjaan mereka memberi kami sedikit alasan


untuk mengeluh. Mereka berpacu menyelesaikan satu kamar
demi satu kamar. Kamar Luna, seperti yang telah direncana-
kan, merupakan kamar pertama yang siap. Jika para pekerja
dan terapi LV terus bekerja seperti yang mereka lakukan
saat ini, sepertinya Carmen akan sempat tinggal di rumah
baru.
Orang-orang di sekitar kami sulit mengikuti semua itu.
Tak seorang pun mengatakan apa pun, namun kami me-
nyadari teman-teman mulai meragukan apakah semua ini
sedramatis seperti yang selalu kami katakan. Aku mendengar
lewat Maud dan Frank bahwa seseorang di sekitar meja
makan siang MIU berani bertaruh bahwa Carmen akan
www.facebook.com/indonesiapustaka

hidup sampai usia tujuh puluh tahun. Pada suatu titik aku
mendengar Thomas memberitahu Frank bahwa Carmen
kelihatan ”langsing dan cantik”. Pada sebuah pesta staf di
Advertising Brokers, Carmen ditanya kapan ia akan kembali
bekerja. Bukan apakah, tapi kapan.
Aku dapat memahami hal itu. Satu setengah tahun lalu

274
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

kami berkata bahwa Carmen mengidap sejenis kanker


dengan peluang untuk hidup yang rendah. Kami berkata
masa hidupnya tinggal satu tahun. Dan kemudian kami
memberitahu bahwa Carmen pasti akan meninggal, karena
kankernya menyebar. Pada awal Desember segalanya terlihat
sebagaimana adanya: Carmen semakin kelihatan sakit setiap
harinya. Dan sekarang kami sedang menjalani beberapa
bulan lagi, dan Carmen beredar di segala tempat! Kau dapat
melihat segalanya baik-baik saja. Kondisi Carmen kelihatan
sehat. Rambutnya sudah tumbuh, ia kelihatan menawan,
kau tidak bakal mengetahui bahwa dirinya memakai
payudara protese, ia sangat riang dan, baiklah, ia memang
kelihatan sedikit kurus dan ada perut yang terus membesar,
dan hal itu bukan hal yang bagus, tapi segalanya masih baik-
baik saja, kan?
Teman-teman, keluarga, rekan sekerja, dan kenalan-
kenalan hanya dapat membayangkan bahwa seseorang hidup
dengan penyakit yang mengancam jiwa selama rentang
waktu tertentu. Seseorang yang mengidap penyakit memati-
kan hanya memiliki dua pilihan: bertambah sehat atau
meninggal seiring perjalanan waktu, sesederhana itu, bukan?
Segalanya tidak sesederhana itu.
“Ada banyak pasien yang mengikuti terapi LV yang dapat
berjuang melawan kanker selama bertahun-tahun,” Roden-
bach memberitahu kami, “namun ada kemungkinan juga
bahwa perawatan tersebut tidak berfungsi minggu berikut-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya. Kami tidak tahu.”


Garis finis dari maraton telah dipindahkan lagi. Dan
kami tidak tahu jaraknya berapa kilometer. Kami terlempar
ke dalam ketidakpastian seperti yang kami jalani selama
seluruh tahun pertama, sejak semula kanker itu ditemukan.
Trims, Dok.

275
RAY KLUUN

Despite all my rage, I am still just a rat in a cage …


Smashing Pumpkins, dari Bullet with Butterfly Wings
(Melon Collie and the Infinite Sadness, 1995)

Dua Puluh Delapan

Sekarang begitu kondisinya membaik, Carmen secara


alamiah tidak dapat mengisi seluruh harinya dengan
berbelanja, walaupun ia telah berusaha sebaik mungkin. Ia
mulai memikirkan hal-hal lain lagi. Seperti pengakuanku
pada bulan Juni di Club Med. Awalnya ia menahan diri.
Kami hidup bahagia satu sama lain, dan ingin menikmati
hidup sampai batas waktu maksimal yang masih kami miliki
bersama-sama. Kemudian tubuhnya membuat kondisinya
merosot sangat drastis sehingga semua perhatian dan energi-
nya tercurahkan pada kelangsungan hidup fisik.
Namun sekarang asimilasi masa lalu monofobiaku
kembali menjadi agenda Carmen. Akhir-akhir ini ia lebih
sering dan sering lagi meneleponku sepanjang hari untuk
mengecek keberadaanku, dan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan lebih jauh mengenai apa yang kulakukan jika
aku keluar selama satu jam.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dan ia belum mengatakannya, tetapi aku dapat merasa-


kan bahwa Carmen ingin mendiskusikan Acara Jumat
Malam Danny. Pada titik ini! Aku mulai membersut sebelum
ia bahkan berani mengungkit-ungkit hal itu. Acara Jumat
Malam Danny. Sialan, apakah tidak ada lagi hal yang sakral
di dunia ini?

276
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Sekarang hari Jumat. Rencanaku adalah pergi keluar dan


makan bersama Ramon lalu pergi ke rumah Rose. Aku
mengenakan kemeja merah muda dan sepatu kulit ularku,
dan kemudian pergi ke ruang-duduk. Carmen berbaring di
sofa sambil menonton televisi. Dari matanya aku dapat
melihat bahwa kecurigaanku terbukti. Aku memasang wajah
paling bodoh, dan menciumnya.
“Sampai nanti malam, Cinta,” aku berkata semanis
mungkin.
“Sebenarnya, aku tidak mau kau pergi malam ini.”
“Sayang, kalau sesuatu terjadi, aku akan ada di rumah
dalam waktu lima belas menit. Aku akan membawa ponsel-
ku.”
“Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kau tetap tinggal
di rumah.”
“Maksudmu? Aku sudah berjanji akan menemui Ramon
dalam waktu sepuluh menit lagi. Aku sudah memberitahumu
sebelumnya! Aku sudah tak sabar menunggu saat aku bisa
sedikit bersenang-senang pada malam hari—hari ini adalah
satu-satunya relaksasiku selama seminggu.”
“Seharusnya kau sudah memikirkan hal itu sebelum pergi
dan meniduri perempuan-perempuan itu,” katanya dengan
dingin.
“Carm, ini menggelikan. Kita sudah membahas semua
itu di Club Med.”
“Ya, dan sekarang aku memandangnya secara berbeda.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Jika kau keluar, bagaimana mungkin aku bisa memastikan


kau tidak selingkuh lagi?”
Aku tidak tahu bagaimana, tapi dengan satu dan lain hal
aku juga berhasil bersikap galak. “Carm! Yang benar saja!
Aku menemanimu selama perawatan kemo, radiasi, aku
berseteru dengan para dokter untukmu, aku memanggil

277
RAY KLUUN

mereka dari tidur mereka karena dirimu, aku—aku—aku


melakukan segalanya untukmu!”
“Segala hal yang kau lakukan untukku tidak ada
hubungannya dengan itu. Itu adalah hal yang normal. Dalam
suka dan duka. Ingat kan, Daniel van Diepen?” bentaknya.
Sekarang aku benar-benar marah. Ia tidak bersungguh-
sungguh. Ia tidak boleh bersungguh-sungguh. Aku menunggu
beberapa saat untuk memberinya waktu agar ia menarik
ucapannya. Alih-alih ia menatapku dengan sikap menantang.
“Baiklah,” kataku dengan suara parau. Aku meraih
telepon, melemparkannya ke sofa lalu berkata, “Telepon
saja Anne atau Maud atau ibumu. Biar mereka saja yang
merawatmu, jika kau pikir semua hal yang kulakukan adalah
sesuatu yang normal. Aku akan menghabiskan malam ini di
hotel.”
Aku bangkit dan berderap pergi. Carmen melempar
telepon itu ke arahku. “Pergi saja, sana sembunyi lagi! Pergi
dan tiduri semua perempuan lain lagi,” ia memekik. “Pergi
sana sialan! Aku tidak membutuhkanmu!”
Aku tidak membutuhkanmu. Aku tidak membutuhkan-
mu. Setelah satu setengah tahun berkunjung ke rumah sakit,
menemui dokter-dokter, menangis hebat, kegelisahan dan
penderitaan, ia tidak membutuhkanku.
Dengan marah, aku mendorong pintu ke lorong sampai
terbuka. Aku tidak membutuhkanmu. Kalau begitu hadapi
kanker sialan itu sendirian, Carmen van Diepen. Aku sudah
www.facebook.com/indonesiapustaka

muak. Dengan marah aku memasang jaket dan, sambil


mengumpat, membuka pintu depan.
Dan aku berhenti.
Istriku mengidap kanker dan ia sekarat. Aku tidak dapat
pergi. Aku sungguh-sungguh tidak dapat pergi. Aku menutup
pintu depan dan melepaskan jaketku lagi. Aku memandang

278
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

diriku sendiri di cermin. Aku sungguh-sungguh tidak dapat


pergi. Dari ruang-duduk aku mendengar suara Carmen yang
pelan.
“Danny?”
Aku melangkah kembali ke ruang duduk. Carmen sudah
berdiri menuju pintu. “Maaf…” katanya dengan lirih.
“Maaf, Danny…”
Aku menatapnya dengan putus asa, menghampiri lalu
memeluknya. Ia bersandar kepadaku bagaikan boneka yang
lemas dan mulai menangis dengan hebat.

Ramon, aku tidak jadi pergi malam ini.


Akan kuceritakan nanti.
Dewi, ada masalah di rumah. Aku tidak bisa
datang. Kutelepon besok. Maaf.

Setelah satu jam menangis, menghibur dan berbaikan,


kami memutuskan untuk menelepon Frank dan memintanya
untuk mampir. Sedikit pengalihan. Ia tidak bisa datang.
“Aku sedang di Café Bep.”

>> Café Bep. Sebuah kafe perancang tempat orang-orang bahkan


harus berpikir keras tentang keranjang sampah untuk kertas. Bep
terletak di Nieuwezijds Voorburgwal, selama sepuluh tahun tempat
itu mendukung beberapa kafe hippy. Dimulai dengan Seymore
Likely dan Schuim (di tikungan di Spuistraat), kemudian muncul
Diep dan Bep. Setiap orang yang bekerja dalam bidang periklanan
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan hubungan masyarakat (semua asisten akuntan yang menawan,


gadis-gadis dari RTF, dan perempuan-perempuan dari informasi
lalu lintas) pergi ke sana pada waktu tertentu, jadi selama beberapa
waktu bahkan Ramon dan aku tidak dapat pergi jauh darinya.
Sampai kami terpaksa mengakui kami sungguh-sungguh berpikir
bahwa De Bastille lebih bagus, dan dari titik itu dan seterusnya,
hidup—ordnung muss sein!—berjalan dengan normal kembali.

279
RAY KLUUN

“Oh.”
“Ada apa?”
“Erm, tidak. Lupakan saja. Selamat bersenang-senang!”
“Akan kulakukan sebisaku!”
Aku menghubungi Maud. Aku sudah dapat mendengar-
nya. Ingar-bingar pub.
“Danny?” ia berteriak melalui ponselnya. “Aku tidak
begitu dapat mendengarmu. Aku sedang di De Pilsvogel
bersama Tasha.”
Aku menutup telepon dan mengirimkan SMS kepada
Maud bahwa tidak ada yang mendesak.
“Semua orang bersenang-senang di kota,” kataku dengan
kesal.
Carmen tidak berani menatapku.
“Itu bukan masalah, Cintaku. Haruskah aku meng-
hubungi Anne?”
“Yeah, yang benar saja.” Carmen tertawa. “Jika kita mem-
beritahunya apa yang kita pertengkarkan, secara personal
ia sendiri akan memastikan kita mempertengkarkannya
terus-terusan…”
Aku menelepon ibu Carmen. Ia merasakan ada yang
tidak beres, dan sebelum aku dapat mengutarakan per-
tanyannya, ia sendiri berkata akan mampir. Ia tiba dalam
waktu setengah jam. Kami membicarakan masalah ini, itu,
dan lain hal, namun bukan masalah yang kami hadapi malam
ini. Pada pukul sebelas tepat, Carmen pergi tidur, benar-
www.facebook.com/indonesiapustaka

benar kelelahan. Aku membuka satu botol lagi anggur merah


dan tetap tinggal di lantai bawah bersama ibu Carmen.
Saat keadaan di lantai atas hening, ia menanyakan apa
yang Carmen dan aku pertengkarkan.
“Bagaimana kau tahu kami bertengkar?” tanyaku,
terkejut.

280
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

“Para ibu bisa merasakannya,” katanya sambil tertawa.


Ia menatapku. “Carmen menceritakan perselingkuhanmu
beberapa saat lalu kepadaku.”
“Oh?” aku berkata, terperenyak.
“Jika kau putraku sendiri, aku akan menghajarmu.”
Aku tersenyum menyeringai, untuk menyelamatkan
mukaku.
“Kau tahu, Anakku,” kata ibu mertuaku, “aku terjaga di
tengah malam hanya untuk memikirkan kanker sialan itu
dan apa pengaruhnya terhadap dirimu. Aku hanya berharap
dirikulah yang menjalani kemoterapi dan amputasi payudara
dan semua penderitaan itu, alih-alih Carmen. Aku sungguh-
sungguh memahami jika kau kehilangan kendali sekali-
sekali.”
“Aku juga,” kataku pelan.
“Tapi menjadi tahanan rumah juga tidak akan berjalan
dengan baik. Aku akan mengatakannya kepada Carmen
besok. Dan aku dapat melihat betapa sulitnya ini semua
bagimu kadang-kadang. Dan kupikir kau sudah menangani
sejauh ini dengan baik.” Ia memelukku dengan erat dan
menghiburku. “Aku bangga memiliki menantu seperti
dirimu.”
Aku tenggelam dalam pelukan ibu mertuaku.
“Bukankah kau terkadang berharap semua ini berakhir?”
ia bertanya.
“Ya. Jika aku boleh jujur, ya.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku juga memahaminya, Anakku,” katanya dengan


lembut. “Aku sungguh memahaminya. Kau tidak perlu
malu.”
Ia mengecup keningku dan menghapus air matanya.
“Dan sekarang ambilkan aku kopi, dasar bocah badung!”

281
RAY KLUUN

Fuck you,
I won’t do what you tell me …
Rage Against the Machine, dari Killing in the Name of
(Rage Against the Machine, 1992)

Dua Puluh Sembilan

“Apa nama keluarga Ramon?” seru Carmen.


“Del Estrecho,” aku berseru balik.
“Del Estrecho—meja untuk dua orang, kalau memang
ada.”
Hening.
“Baiklah. Tidak, bukan apa-apa, aku hanya ingin mengecek.
Terima kasih.”
Ia menutup telepon.
“Apa kau sekarang memercayaiku?” Aku menghela napas,
tidak mendongak dari surat kabar yang sedang kubaca.
Ia mendesah dan mengangguk. “Sana pergi, kalau
begitu.”

Aku akan mampir ke tempatmu jam


setengah sebelas, Dewi. X!
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Apa?!? Berapa lama?” seru Ramon, mulutnya penuh


dengan saus tartar dari steik.
“Satu setengah tahun,” aku menjawab dengan tenang.
“Satu setengah tahun!” teriakannya membahana di Le
Garage.

282
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

>> Le Garage. Orang-orang paruh baya bersetelan datang kemari


bersama perempuan-perempuan yang sama menggiurkannya
dengan hidangan yang disajikan di Le Garage, hanya saja sudah
tidak segar dan mengandung lebih banyak warna, penyedap rasa,
dan bahan pengawet.

“Ya.”
“Jadi saat kita di Miami ia sudah menderita penyakit
itu?”
“Ya.”
“Mengapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”
“Karena ke mana pun aku pergi semuanya berhubungan
dengan Carmen. Aku selalu harus memberitahu orang-orang
bagaimana keadaannya. Dan aku tidak harus melakukannya
kepadamu. Bagiku kau adalah zona bebas kanker.”
“Sial, benar-benar…” Ia menatap ke kejauhan. “Ya
ampun—dari dulu memang aku merasa ada sesuatu yang
terjadi,” katanya tiba-tiba. Ia menatapku dengan, yang
baginya, ekspresi serius yang tidak biasa. “Aku hanya tidak
tahu apa itu. Kau sudah berubah banyak sepanjang tahun
lalu, Amigo. Kau mulai meminum pil sekali-sekali, tiba-tiba
kau memakai kemeja cantik itu, dan jaket kulit yang mahal
itu, rambutmu agak sedikit berantakan. Dan sekarang
penjelasannya terasa masuk akal. Kau berusaha meng-
asingkan dirimu dari segala masalah yang terjadi di rumah.”
Mulutku menganga. Ramon, yang kupikir hanya bisa
www.facebook.com/indonesiapustaka

kuajak bicara soal sepak bola dan meniduri-bercinta-


bersetubuh-berhubungan seks, memahamiku dalam dua
menit apa yang bahkan tidak ingin dimengerti oleh seorang
teman seperti Thomas.
“Minggu lalu, saat kau tidak bisa keluar, apakah ada
hubungannya dengan Carmen?” tanyanya, tampak per-

283
RAY KLUUN

hatian. Rasanya lucu hal itu keluar dari mulutnya.


“Tidak, hanya aku yang bermain-main.” Aku tertawa
menguatkan diri. “Pada saat itu Carmen mempraktikkan
toleransi nol. Ia mengecek segala hal yang kulakukan.”
“Ia benar, dengan babon gila seks sebagai suaminya,” ia
berkata, mengelap mulutnya setidak-tahu-malu mungkin
dengan lengan bajunya. “Jika ia mendapati bahwa dirimu
masih suka selingkuh saat ia sakit, aku sendiri yang akan
memenggal kepalamu, dasar begajul sialan. Camkan itu
baik-baik kepada dirimu, dan kepada teman-temanmu,*
Amigo. Baiklah, sekarang ayo kita pergi ke Bastille dan
melihat apakah di sana ada gadis-gadis seksi.”
Ia melambaikan tangan memanggil pelayan untuk me-
minta tagihan makan kami.
“Aku tidak ikut,” jawabku. “Aku ada janji kencan dengan
seorang gadis, dan seharusnya aku sudah ada di tempatnya
sekitar satu jam yang lalu.”

***

Jelas sekali tidak ada tempat untuk parkir di Eerste


Helmersstraat. Sial, sekarang sudah pukul setengah dua
belas. Mengapa sih aku membawa mobil? Hanya butuh tiga
perhentian naik trem dari Le Garage ke tempat tinggal Rose.

Aku sudah di jalan, Dewi! Jangan sedih!


www.facebook.com/indonesiapustaka

Setelah merutuk-rutuk saat berkeliling sejauh dua blok,


aku memarkir mobil di tempat yang dikhususkan untuk
orang cacat dengan aku telah memperhitungkan kemungkin-
an mobilku diderek di malam pada waktu-waktu ini adalah

* Dikutip dari Hans Teeuwen (dari Dat dan weer wel, 2001).

284
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

kurang dari lima puluh persen. Aku menghubunginya pada


pukul dua belas kurang lima belas menit.
“Hai,” aku berseru melalui pengeras suara di dekat bel.
Pengeras suara itu tidak menjawab. Saat aku berlari
menaiki tiga lantai menuju apartemennya, aku melihat Rose
cemberut seperti Louis van Gaal pada saat konferensi pers.
“Maaf. Aku sampai lupa waktu mengobrol dengan
Ramon.”
“Maaf?!” ia mendengus. “Ini adalah kali kedua dalam
satu minggu ketika aku terpaksa duduk dan menunggu
seperti seorang idiot. Sepanjang malam hari Jumat lalu, dan
sekarang selama satu setengah jam. Dan haruskah aku hanya
duduk dan berdiri dan berpura-pura mati menunggu
kedatangan tuanku. Aku muak dengan semua ini, Dan!”
Tidak, aku tidak siap menghadapi ini. Aku menatapnya
dalam-dalam. “Aku sudah dibentak-bentak tadi di rumah.
Aku tidak datang kemari untuk itu,” aku berkata dengan
dingin.
“Oh, itukah yang kau pikirkan?”
“Ya.”
“Well, kalau begitu, pergi sana ke neraka!” ia berteriak.
Dan aku pun pergi. Saat Carmen berteriak kepadaku,
aku tersadar di pintu depan rumahku bahwa aku tidak dapat
meninggalkannya, namun di pintu depan rumah Rose tidak
ada yang menghentikanku. Bukan salahku ia mencintaiku,
kan?
www.facebook.com/indonesiapustaka

285
RAY KLUUN

I drank last night and saw


That women never get what they deserve …
The Scene, dari Blauw (Blauw, 1990)

Tiga Puluh

Aku membanting pintu mobil dan menyusuri Eerste


Helmersstraat bagaikan orang gila menuju Constantijn
Huygen, dan kemudian menikung ke kiri ke Overtoom.
Selama beberapa saat aku bertanya-tanya apakah seharusnya
aku meminta maaf kepada Rose. Namun aku tidak dapat
memaksakan diri melakukannya. Alih-alih, aku mengirim
SMS kepada Ramon.

Apa kau ada di B?

Aku juga mengirimkannya kepada Maud. Aku ingin


menemuinya. Setidaknya ia tidak bersikap menyulitkan
seperti Rose. Dengan kecepatan penuh aku melaju di
sepanjang Stadhouderskade sambil mendengarkan De Dijk.
“Tiba-tiba saja kau merasa semua itu mungkin berjalan—
www.facebook.com/indonesiapustaka

ya, semuanya belum terlambat, kita bersama mayoritas,


mereka yang tidak menginginkan apa pun selain mandi
matahari.” Ramon mengirimkan SMS: Ya! Aku tersenyum
lebar-lebar—“Segalanya berhasil, kita baru di awal—kita
benar-benar baru di awal!”
De Dijk benar: Maud menjawab SMS-nya juga. Ia

286
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

bersama Tasha—mmmmm—di De Pilsvogel, mereka se-


harusnya pergi ke More, tapi mereka suka mampir ke
Bastille lebih dulu.
Setelah melaju mengitari Lijnbaansgracht, aku lebih
menyukai Bastille. Aku harus menahan diri untuk tidak
mengebut.
Ada seorang lelaki berdiri di bar dengan dua kancing
kemeja yang terbuka terlalu banyak, jadi ia dapat memamer-
kan dada berototnya yang menggelikan. Di lengannya ada
seorang gadis pirang yang dikaruniai payudara besar. Ia
memperkenalkan dirinya sebagai Debbie. Sementara Carmen
menyebut dirinya sendiri bekas-gadis-berambut-pirang-
dengan-payudara-besar, Debbie sebaliknya: ia dulunya tidak
memiliki rambut pirang dan payudara besar. Ramon tidak
membiarkan hal itu merusak kesenangannya.
“Perubahan rencana, Amigo?”
Aku mengangkat bahu. “Kau mau vodka juga?”
Tawa Ramon meledak saat ia memelukku dan meng-
akhirinya dengan tepukan keras di puncak kepalaku. Ia
menawarkan sebutir pil bulat kecil. Oh, mengapa tidak.
Aku mengangguk dan menenggaknya dengan seteguk vodka.
Pada saat bersamaan Maud dan Tasha menghampiri. Dengan
gembira mereka memelukku. Mereka berteriak-teriak
kegirangan. Ya Tuhan, kupikir akulah yang kebanyakan
minum malam ini.
“Danny, kau kelihatan sangat stres,” kata Maud. “Apa
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang telah terjadi?”


“Tidak, tidak ada apa pun. Vodka dan jeruk nipis untuk
kalian berdua?”
“Aku mau Breezer,” gumam Tasha, memelukku dengan
satu tangan. “Yang warnanya merah. Itu akan membuat
lidahmu terasa manis. Kau dapat mengeceknya nanti, kalau

287
RAY KLUUN

kau mau.”
Aku tertawa malu-malu.
“Jadi Rose tidak bakal ada di sini?” tanya Tasha dengan
santai saat aku menyerahkan Breezer-nya.
“Bagaimana kau bisa tahu soal Rose?” aku bertanya,
kebingungan, dan menatap ke arah Maud dengan marah.
Ia buru-buru menggelengkan kepala untuk menunjukkan
bahwa Tasha tidak mengetahui hal itu dari dirinya.
“Yah,” kata Tasha sambil mengangkat bahu, “mungkin
kau harus mematikan kotak pesanmu lebih sering saat kau
menjauh dari komputermu.”
Wajahku kelihatan seperti tomat. Maud meledak dalam
tawa. Oh, apa bedanya lagi? Sekarang aku di Bastille, Ramon
baru saja memberiku vodka dan jeruk nipis ketiga dalam
waktu setengah jam, pilnya mulai bekerja, Maud mengikuti
gerakan Tasha dan melingkarkan lengannya di sekeliling
pinggangku, dan aku akan pergi ke More dengan dua cewek
seksi itu, di Bastille sedang diputar lagu berjudul Just Blame
the Night*, dan itu sangat benar.

***

Saat kami berjalan menuju Club More, waktu sudah


menunjukkan pukul tiga. Yah, berjalan masuk tepatnya:
rasanya seperti aku masuk ke Kuip mengenakan syal Ajax—
seluruh tubuhku digeledah, sampai ke kemaluanku.
www.facebook.com/indonesiapustaka

>> Jika RoXy bisa disamakan dengan Marco van Basten-nya tempat
berhura-hura, More lebih mirip Tom Blanker.** Tempat itu tidak
berkembang seperti yang semula dijanjikan. Seharusnya More

* Robert Leroy (1996).


** Pada tahun tujuh puluhan ia disebut sebagai pemain paling berbakat di Ajax setelah Johan
Cruyff. Dan sejauh itulah langkahnya.

288
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

menjadi RoXy yang baru. Namun jika aku menginterpretasikan


pendapat Frank dengan tepat, More bahkan tidak pantas dijadikan
semir sepatu RoXy.

Aku memperhitungkan aku tidak akan pulang dalam


waktu satu jam. Aku baru saja melewati titik untuk kembali.
Pil ekstasi Ramon dan lidah Tasha benar-benar tidak dapat
ditolak. Setelah satu ciuman lain aku menatap Maud dengan
rasa bersalah. Ia tidak bereaksi seperti yang kuharapkan.
Aku dapat melihat dari pupil matanya bahwa ia juga
meminum salah satu tablet-E Ramon juga. Ia merengkuhku
dan mulai menciumiku pula. Kami bertiga berdiri sambil
menempelkan lidah di lantai dansa More. Tasha membisik-
kan sesuatu di telinga Maud. Maud menatap Tasha selama
beberapa saat lalu mengangguk.
“Mau ikut bersenang-senang, Dan?”

***

Seharusnya aku sudah bisa menebaknya. Jika kau selalu


pulang pada pukul setengah lima dan kemudian ada saat ini
di mana tidak ada tanda-tanda kemunculanmu pada pukul
setengah tujuh pagi, kau cenderung memancing reaksi.
Tring—tring—tring.
Aku memberi isyarat kepada Maud dan Tasha agar
mereka tidak bersuara.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Di mana kau sekarang, dasar bajingan?” kata Carmen,


menangis.
“Aku—aku dalam perjalanan pulang…”
“Sekarang jam enam kurang lima belas menit, demi
Tuhan, Dan,” ia berteriak-teriak dengan marah.
Jantungku melompat ke tenggorokanku. Maud duduk

289
RAY KLUUN

gemetaran di atas ranjang. Tasha, tidak bergerak, menyala-


kan sebatang rokok.
“Cerialah,” bisik Maud saat aku berjalan menuju pintu.
Tasha hanya mengedipkan mata.
Aku berlari menuju mobilku, yang diparkir tiga jalan
jauhnya di Ceintuurbaan. Dengan cepat aku mengecek untuk
melihat apakah tidak ada polisi di sekitar, lalu mengemudi
menyeberangi rel trem menuju Hobbemakade. Aku me-
ngeluarkan CD De Dijk dari dalam pemutar CD, dan
memasang live Bruce. Aku mengganti-ganti nomornya
sampai menemukan suara harmonika yang melengking dari
The Promised Land. Lampu lalu lintas di Roelof Hartstraat
berubah kuning saat aku masih sekitar lima puluh meter
jauhnya. Aku menekan pedal dan melaju melanggar lampu
merah. Adrenalinku mengalir deras ke seluruh tubuhku.
Aku memacu mobilku sambil mendengar lirik Springsteen
yang putus asa. “Terkadang aku merasa lemah”—aku sedikit
memijak rem saat sedikit menikung di pom Shell—“Aku
hanya ingin meledak”—dan menekan pedal gas dalam-dalam
saat menuju sebuah tikungan—“meledak dan mengobrak-
abrik seluruh penjuru kota ini”—membuat mobilku
menikung ke kiri. Dengan sekali sentakan pada setir aku
menghindari trotoar—“ambil pisaunya”—tapi kemudian
mobil Chevy ini mulai bergerak liar—“dan potong rasa sakit
ini dari hatiku”*—dan berputar, dan aku mendengar suara
benturan samar-samar, dan derakan, dan gemerencing kaca
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan mobil Chevynya menggelincir miring beberapa meter


di sepanjang jalan berbatu kerikil.
Kemudian segalanya tak bergerak. Keheningan yang
menulikan.
Tidak ada lagi kekacauan. Tidak ada lagi Dijk. Tidak ada

* Dari The Promised Land (Darkness on the Edge of Town).

290
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

lagi house music. Tidak ada lagi Springsteen. Aku meng-


gelantung miring di sisi sabuk pengamanku. Aku mati rasa
selama beberapa detik. Kemudian sekonyong-konyong
segalanya berkelebat di benakku. Aku masih hidup. Sakit?
Tidak ada yang sakit. Pergerakan. Ya. Kaca. Kaca di mana-
mana. Oh, sial, Carmen! Api? Keluar! Di tengah jalan.
Keluar dari sini! Dapatkah apinya membesar? Keluar! Panjat.
Cepat. Polisi. Mabuk. Sial. Oh, sial. Sial sial sial sial.
Aku mendorong pintu dari sisi penumpang dan memanjat
keluar mobil. Aku hampir terkejut saat melihat bagian bawah
mobil. Seolah-olah itu adalah hal paling normal di dunia,
mobil Chevy-ku menunjukkan bagian bawahnya pada pukul
enam kurang sembilan menit. Seakan-akan ia menyerah.
Aku melangkah menuju trotoar, dan berpegangan di
pagar jembatan. Dengan perlahan aku mulai menangkap
apa arti semua ini. Bencana nuklir baru saja terjadi. Mobilku.
Surat izin mengemudiku. Merupakan suatu keajaiban jika
mereka dapat menemukan darah di dalam alkoholku.* Aku
bisa berakhir di penjara. Aku bisa terbunuh. Luna… Oh,
dan Rose yang berpikir bahwa aku sudah di rumah. Dan ya
Tuhan, apa yang akan Carmen…
Aku meneleponnya. Ia tidak menjawab. Aku meninggal-
kan pesan untuk mengatakan bahwa aku kecelakaan mobil,
dan untungnya aku tidak terluka, namun itu berarti aku
tidak akan pulang sementara waktu.
Sebuah mobil polisi dengan sirene mendekat. Aku men-
www.facebook.com/indonesiapustaka

jejalkan permen mint ke dalam mulutku.

***

* Dikutip dengan lisensi puitis, dari Leo karya Ria Valk (1977).

291
RAY KLUUN

Di kantor polisi aku harus menyerahkan ponsel, dompet,


dan kunci-kunci, melepaskan ikat pinggangku dan membuka
tali sepatuku. Dan aku akan menunggu di dalam ruangan
ini. Sebuah pintu menutup di belakangku.
Ruangan itu adalah sel. Pintu, pintu baja hitam dengan
lubang kecil berjeruji di bagian atasnya. Aku beranjak dan
duduk di sebuah bangku yang terpasang kuat ke dinding.
Di rumah, istriku yang sebentar lagi akan meninggal
telah menungguku pulang sepanjang malam. Di Oud-West,
seorang perempuan yang membantuku melalui segalanya
selama berbulan-bulan mungkin telah terbaring bersimbah
air mata sepanjang malam. Dan di sinilah aku berada.
Rasanya seperti selamanya sebelum aku dikeluarkan dari
sel. Sesungguhnya hanya dua puluh menit. Setelah itu aku
membuat pernyataan dan diizinkan memanggil sebuah taksi
untuk mengantarku pulang. Saat itu jam tujuh kurang lima
belas menit.
Carmen berada di ruang duduk, di ranjang rawat-rumah
buatan Amsterdam. Dengan kepala botak dan gaun rumah
berwarna abu-abu, ia memberiku tatapan maut.
“Di mana kau saat aku meneleponmu?”
“Dengan seorang gadis.”
Plak.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, seorang perem-
puan menamparku.
Aku tidak dapat menyalahkannya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Dan seakan-akan semuanya tidak cukup buruk, kau


mengendarai mobil saat kau mabuk berat!” Dan kemudian
ia mengatakannya. “Kalau begini terus-terusan, Tuhan tahu,
Luna tidak hanya akan kehilangan ibunya, ia juga akan
kehilangan ayahnya!”

292
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

I’m like fucking King Midas,


Everything I touch turns to shit…
Dari The Sopranos (1999)*

Tiga Puluh Satu

Carmen tidak ada di sampingku saat aku terjaga. Aku me-


meriksa ponselku dan melihat sebuah SMS dari Ramon.
Untungnya belum dibuka oleh Carmen. Ia bertanya apakah
aku bersenang-senang dengan gadis-gadis itu. Apakah aku
melakukannya? Jelas aku melakukannya. Aku masih me-
nikmatinya. Aku bangkit, mandi dan turun ke lantai bawah.
Carmen duduk dengan lingkaran merah di sekeliling mata-
nya, memberi makan Luna.
“Sudah saatnya kau mengunjungi seorang psikolog.
Semua hal ini benar-benar tidak boleh terus berlanjut.”
Aku tidak mengatakan apa pun, Carmen pergi ke lantai
atas, dan seperti sesosok zombie aku menyuapi Luna satu
sendok terakhir buburnya.
Tak lama kemudian Carmen sudah turun. Dengan sebuah
tas besar di tangannya.
“Aku pergi.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ke mana?” tanyaku dengan lembut.


“Ke Thomas dan Anne.”
“Kapan kau akan kembali?”
“Aku belum tahu,” katanya dengan suara sedih, “aku

* Tony Soprano mengungkapkan hal itu kepada psikiaternya pada episode ke-12 (Isabella)
film seri The Sopranos.

293
RAY KLUUN

belum tahu, Danny.”


Aku berjalan menuju pintu depan sambil menggendong
Luna. Carmen mencium Luna, berkata, “Aku akan me-
neleponmu,” masuk ke dalam mobil Beetle-nya, dan melaju
pergi tanpa menengok lagi.
Luna mencium dan memelukku. Aku memberitahunya
bahwa diriku sudah berbuat nakal.
“Papa minum banyak bir dan mengemudi mobil dan
kemudian ia dan mobilnya jatuh.”
“Di mobil Chevy?”
“Ya…”
“Mama marah pada Papa, ya?”
“Ya…”
Kami berpelukan erat-erat. Dengan lembut aku me-
nyanyikan lagu kecil kami sendiri:
“Papa dan Luna hidup bahagia bersama-sama
Mereka adalah kawan baik, semua orang bisa
melihatnya
Papa dan Luna hidup bahagia bersama-sama
Mereka adalah kawan baik, semua orang bisa
melihatnya.”*

Aku menelepon Frank dan berkata bahwa aku akan sedikit


terlambat. Aku meraih sepeda dan mengantar Luna ke
crèche. Dari sini aku mengendarai sepedaku ke sebuah
bengkel, tempat Chevy-ku kemungkinan akan menghabiskan
waktu beberapa bulan ke depan. Lebih mudah untuk meng-
www.facebook.com/indonesiapustaka

hubungi layanan pelanggan Ajax daripada mencari suku


cadang bagi sebuah Chevrolet dalam waktu sebulan setelah
pemesanan. Dan omong-omong, aku tidak akan mendapat-
kan surat izin mengemudiku sampai aku disidang, paling

* Lirik: Danny. Nada: Lagu klub PSV. Komposernya tidak diketahui, dan hingga lama mungkin
tetap demikian.

294
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

cepat, jadi perbaikan itu tidak terlalu banyak berpengaruh.


Aku kaku ketakutan saat melihat kondisi mobilku. Sisi
pengemudinya kelihatan seperti digasak mobil lain di tanah
berumput di ArenA. “Saya takjub Anda bisa keluar dari
situ,” kata si montir, menggelengkan kepala. Petugas
asuransiku berdiri di sebelahnya, dan berkata bahwa per-
usahaan asuransi secara alamiah menolak untuk membayar
kerusakan yang diperkirakan sekitar dua puluh lima ribu
guilder, mengingat ada minuman keras yang terlibat. Ia
melakukan yang terbaik untuk membujuk perusahaan leasing
agar mempertahankanku sebagai pelanggan. Dan ia juga
mengatakan bahwa ia berpikir betapa bodohnya diriku. Aku
berkata aku sepakat dengannya. Si montir terkekeh.
Tasha cuti sakit. Namun Maud ada di sana. Aku bertanya
apakah ia mau bersenang-senang. Aku memberitahunya soal
kecelakaan dan soal Carmen. Wajah Maud benar-benar
berubah pucat. Kemudian ia pergi ke toilet dan tinggal di
sana selama beberapa saat.
Aku memberitahu Frank soal kecelakaan tersebut.
“Pasti Carmen mengamuk.”
“Ia pergi pagi ini.”
“Ya Tuhan, Danny…”
Ramon menelepon. Maud menceritakan kabar terbaru
kepadanya. Ia menelepon hanya untuk mencaci-maki diriku.
“Kalau saja aku tahu kau mengendarai mobilmu, aku sendiri
yang akan membuang kuncimu ke kanal, dasar haram jadah
tolol. Amigo, apa sih yang terjadi pada dirimu?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Beberapa saat kemudian aku mendapat e-mail dari Maud.

Dari : Maud@creativeandstrategicmarketingagencymiu.nl
Kepada : Dan@creativeandstrategicmarketingagencymiu.nl
Dikirim : Kamis, 22 Maret 2001 14.31
Subjek : Kemarin

295
RAY KLUUN

Seharusnya kita tidak melakukan apa pun yang kita lakukan kemarin,
aku menyadarinya pagi ini betapa kelewat batasnya perbuatan kita
akibat pil-pil dan minuman itu. Aku tidak berani menunjukkan
wajahku di hadapan Carmen lagi. Aku marah kepada Tasha,
kepadamu, dan kepada diriku sendiri. Dan aku khawatir mengenai
dirimu. Kau benar-benar butuh bantuan, Dan. Aku tidak
menyalahkanmu, tapi kau harus menemui seorang psikiater.
Kau tidak akan melalui semua ini sendirian.
Maud.
PS: Mungkin kau bisa mengajakku bersamamu. Kita mungkin akan
mendapat diskon kelompok ;)

Sedikit threesome cukup untuk menyakitimu.* Aku meng-


hapus e-mail tersebut sambil mendesah. Satu omelan lagi
tentang pergi menemui psikiater. Jangan katakan apa pun.
Memangnya apa yang akan kukatakan kepada mereka?
Bahwa aku mengalami kecelakaan mobil saat mengendarai
mobil dengan kecepatan lima kali melewati batas karena
aku mengemudi seperti seorang yang sungguh-sungguh tolol,
setelah istriku meneleponku saat aku meniduri pekerja
magang dan salah satu mantan pacarku—yang juga, secara
kebetulan, merupakan teman baik istriku—dan semuanya
terjadi karena pada malam sebelumnya aku bertengkar
dengan kekasih ekstrapernikahan—yang masih sering
kutiduri terlepas dari janji yang kubuat kepada istriku bahwa
aku tidak akan pernah berselingkuh lagi sampai ia meninggal
(ia mengidap kanker, sebenarnya, dan ia akan meninggal
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak lama lagi)—jadi apa yang harus kulakukan, Dokter?


Haruskah aku mengakui semua ini kepada Carmen, saat
kami membicarakannya?

* Dikutip dari Turks Fruit oleh Jan Wolkers (1973).

296
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

You’re no good, you’re no good, you’re no good, baby you’re


no good, I’m gonna say it again, you’re no good, you’re no
good, you’re no good, baby you’re no good …
Linda Ronstadt, dari You’re No Good (You’re No Good, 1974)

Tiga Puluh Dua

Setelah dua hari, empat jam, dan delapan belas menit,


Carmen menelepon.
Ia mengatakan bahwa ia akan pulang sore ini. Nada
suaranya masih kasar, tapi paling tidak ia menghubungi.
Aku membiarkannya membentakku tanpa aku membalas
mengatakan apa pun. Jika seseorang mencukurmu dengan
silet yang sanggup menggorok lehermu, kau cenderung tidak
akan terlalu banyak bergerak. Dan aku masih merasa sangat
malu sehingga aku hampir menunggu-nunggu sikap
bermusuhan Carmen. Dengan sengaja aku mengorbankan
harga diriku. Dan setelah setengah botol vodka tadi malam,
aku sanggup menangani cawan beracun yang disampaikan
lewat telepon.
Vodka itu dari Frank. Mendadak ia muncul di depan
www.facebook.com/indonesiapustaka

pintu rumahku. Di MIU kami tidak mengungkit-ungkit lebih


jauh kecelakaan itu. Tadi malam aku menceritakan segalanya
kepada Frank (walaupun aku menyensor nama-nama dan
aktivitas-aktivitas bersama Tasha serta Maud). Ia memelukku
dan aku mencurahkan segalanya. Setelah dua hari yang
memalukan di rumah, di kantor polisi, di bengkel, dan di

297
RAY KLUUN

kantor, aku terisak-isak di lengan Frank. Pada penghujung


malam aku merasa sedikit baikan.
Tidak pagi ini. Aku terbangun oleh suara rengekan Luna,
aku masih pusing karena mabuk dan aku benar-benar ter-
tekan. Membutuhkan segenap upaya agar aku bisa tersaruk-
saruk turun dari tempat tidur, memberi Luna makan,
mengganti pakaiannya, dan mengantarkannya ke crèche.
Kemudian aku menghubungi Maud dan memberitahunya
bahwa aku tidak akan masuk kerja hari ini, dan tenggelam
kembali ke ranjangku. Itu adalah permainan petak umpet
seperti yang dimainkan Luna—dengan tangan yang me-
nutupi matanya, berharap tidak seorang pun melihatnya.
Aku tidak bisa tertidur lagi dan sekarang, satu jam setelah
telepon dari Carmen, aku bahkan merasa semakin terpuruk.
Aku khawatir dengan apa yang terjadi pada sore ini. Aku
merasa seperti seorang bocah yang dikerjai oleh seluruh
murid lain di kelas dan yang terbangun dengan kesadaran
bahwa hal itu akan berulang lagi, segera ketika ia berjalan
menuju halaman bermain. Mungkin aku lebih baik
menghabiskan waktu selama dua hari menuliskan baris-
baris sebagai bentuk hukuman terhadap diri sendiri.

Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.

298
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.

299
RAY KLUUN

Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.

300
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.
Aku tidak boleh meniduri perempuan lain atau mengemudi lima kali melewati batas kecepatan.

Aku melirik jam radio dan melihat bahwa saat ini sudah
pukul setengah satu. Carmen akan tiba beberapa jam lagi.
Semakin dekat saat itu datang, semakin aku merasa tidak
sanggup menghadapinya. Aku ingin melakukan hal yang
benar, aku ingin mendampingi Carmie-ku, tapi aku benar-
benar telah mengacaukan segalanya sejauh yang ia ketahui.
Carmen tidak memahami hal paling awal mengenai diriku
lagi. Tak seorang pun paham. Maud marah kepadaku. Tak
lama lagi, Frank juga, karena aku menelepon untuk meminta
cuti sakit hari ini. Ramon menyebutku haram jadah. Dan
setelah dua hari menghibur Carmen, Thomas dan Anne
tidak akan memikirkan aku dalam cara yang menyenangkan,
begitu menurut dugaanku. Bahkan Rose pun mengamuk,
dan ia tidak mengetahui apa yang diketahui orang lain. Oh,
yeah, dan aku menganggap diriku orang brengsek juga. Aku
merasa bersalah, teler, sengsara, marah, gelisah, tertekan,
egois, lemah, jahat, dirugikan, tidak sopan, hipokrit, di-
remehkan, kewalahan, hancur, tidak bermoral, asosial,
disalahpahami, pengecut, penuh kepalsuan, dan tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

bahagia.
Singkatnya, segala sesuatunya tidak berjalan baik.
Aku menghela napas dalam-dalam dan berbalik di tempat
tidurku. Aku pergi ke toilet. Aku kembali ke tempat tidur.
Aku bangkit dari tempat tidur. Aku menatap ke luar jendela.
Aku kembali ke tempat tidur. Aku berbaring tertelentang.

301
RAY KLUUN

Aku berbaring menelungkup. Aku bangkit dari tempat tidur.


Aku mengambil satu gelas susu di dapur. Dan kembali ke
tempat tidur. Dua belas menit sebelum jam satu. Aku ber-
baring menyamping ke kiri. Aku menangis. Aku berbaring
menyamping ke kanan. Ke kiri. Ke kanan. Telentang. Aku
menelepon Rose.
Rose berang.
“Apa-apaan kau tidak meneleponku sebelumnya? Aku
menghabiskan dua malam terakhir dengan melolong dan
menunggu telepon atau SMS darimu!”
Aku memberitahunya bahwa aku pergi ke kota dan meng-
alami kecelakaan saat aku mabuk berat. Rose ketakutan.
“Apa!? Dasar idiot! Dan—apakah kau terluka?”
“Tidak…”
“Puji Tuhan,” ia mendesah. Rose adalah orang pertama
yang mengatakan sesuatu yang menyenangkan hari ini.
Drama sebenarnya dari insiden ini agak berkurang saat
kau meninggalkan bagian tentang Maud/Natasha dan sedikit
tentang Carmen yang meninggalkan rumah, aku menyadari-
nya.
“Carmen pergi dua hari yang lalu, Rose.”
“Apa!?”
“Ia berang karena kecelakaan dan minuman keras, dan
karena seharusnya aku sudah ada di rumah beberapa jam
sebelumnya…”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Kau benar-benar bajingan yang sulit dipercaya, Danny—


kau dapat bersikap sangat manis, tapi caramu memperlaku-
kan orang-orang belakangan ini sungguh bukanlah suatu
yang normal—Mengapa kau tidak pergi dan menemui
psikiater?”
“Kau jangan ikut-ikutan!? Tidak! Aku tidak akan

302
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

menemui psikiater!”
Rose terdiam sejenak.
Kemudian ia bertanya, “Apakah aku pernah menyebut-
nyebut Nora?”
“Tidak. Siapa itu?”
“Nora adalah perempuan yang memberikan nasihat
spiritual.”
“Bagus untuknya.”
“Ia mungkin dapat membantumu.”
“Aku tidak percaya Tuhan.”
“Memangnya aku menyebut-nyebut soal keyakinan?”
“Tidak, tapi apa gunanya nasihat mengenai spiritual kalau
begitu? Apakah aku harus menanyakannya jenis vodka mana
yang kupilih?”
“Tertawalah sesukamu, tapi aku akan tetap mengatakan-
nya.”
“Kalau begitu, baiklah.”
Rose mengabaikan kesinisanku.
“Kau mungkin menganggapnya payah, dan mungkin kau
memang tidak menyukai hal seperti ini, tapi Nora mem-
punyai bakat. Ia bukan penyembuh atau sesuatu seperti itu,
bukan seorang guru, bukan tipe orang seperti Saksi Yehuwa,
namun lebih mirip seperti, bagaimana aku menjelaskannya
ya, seseorang yang memiliki bakat secara spiritual dan
memanfaatkannya untuk membantu orang-orang. Memberi
www.facebook.com/indonesiapustaka

mereka jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting me-


ngenai kehidupan.”
“Bagaimana ia dapat mengetahui jawabannya, kalau
begitu?”
“Jawaban-jawaban itu datang melalui dirinya.”
“Dari siapa?”

303
RAY KLUUN

“Dari dunia roh.”


“Kau pasti tidak serius.” Aku berpura-pura cuek, namun
cara Rose mengatakannya membuatku tertarik. Aku tidak
tahu apa sebabnya.
“Kalau kau mau, aku bisa mengirimkan nomornya lewat
SMS kepadamu setelah ini.”
“Boleh saja,” kataku setidak acuh mungkin.
“Semoga beruntung sore ini—”

nora. 06-42518346. Hubungi ia sekarang—x.

Aku memandangi nomor di layar selama sesaat,


mengangkat bahu, dan menyimpannya di ponselku. Demi
alasan keselamatan aku menyimpannya di bawah nama kode
“SOS”. Aku tidak suka harus menjelaskan kepada Carmen
siapa Nora itu, bagaimana aku memperoleh nomornya, dan
fakta bahwa Nora bukan seseorang yang pernah kutiduri.
www.facebook.com/indonesiapustaka

304
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

If you had my shoes on,


What would you have done,
Go stand in my shoes …
De Dijk, dari Ga in mijn schoenen staan
(Muzikanten dansen niet, 2002)

Tiga Puluh Tiga

Aku mendengar pintu depan dibuka. Ia masuk, meletakkan


tasnya, menanggalkan jaketnya, dan berjalan lalu duduk di
meja dapur.
“Apa kau mau kopi?”
Ia menggelengkan kepala.
“Aku mau, kalau kau tidak keberatan.”
Aku merasakan matanya mengikutiku saat aku membuat
kopi untuk diriku sendiri.
“Frank meneleponku pagi ini,” Carmen berkata. “Ia
bilang kau benar-benar kacau, dan kau menelepon untuk
cuti sakit hari ini.”
“Emm—yeah…”
“Dengar, Dan. Aku merasa dikhianati olehmu. Dan Anne
www.facebook.com/indonesiapustaka

serta Thomas benar-benar sepakat.”


“Hei, aku tidak menyangkanya,” aku menggumam.
“Akan sangat menyenangkan kalau kau mau menghargai
teman-temanmu kadang-kadang. Anne membelamu. Ia
memberitahuku bahwa jika aku yang menjadi dirimu aku
mungkin telah mengeluarkan rasa frustrasiku juga. Aku

305
RAY KLUUN

mungkin telah membuat kita bangkrut dengan membeli


semua barang di P.C. Hooftstraat.* Dan sesuatu yang lain
telah terjadi.”
“Apa?”
“Toni telah meninggalkan suaminya. Lelaki yang tidak
pernah mau menemaninya selama perawatan kemo hanya
karena ia tidak dapat menanggungnya. Suami yang berhenti
diajaknya berbicara. Hal itu membuatku berpikir. Kita telah
melalui banyak hal bersama-sama, jadi kita bisa mengatasi
yang ini juga. Semuanya telah terjadi, dan kita harus
melanjutkan hidup.”
Aku mengangguk, sesenang anak-anak yang mendengar
ibunya berkata bahwa mereka akan menjadi teman lagi.
“Kemarilah, dasar bajingan,” Carmen berkata sambil
tersenyum dan menyapukan jemarinya ke rambutku.
“Memaafkan itu juga merupakan bagian dari cinta.”**
www.facebook.com/indonesiapustaka

* Jalan utama pusat perbelanjaan.


** DIkutip dari Wat is dan liefde oleh André Hazes (‘n Vriend, 1980).

306
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

However much money they spend, however much they urge,


I’d never think of leaving Mokum, you can laugh here,
It’s all good fun, I can’t imagine, where I’d rather be …
Danny de Munk, dari Mjjn stad (Danny de Munk, 1984)

Tiga Puluh Empat

Aku takut hal seperti ini bakal terjadi.


Minggu ini aku sudah tiga kali bertanya kepada Carmen
apakah lebih baik baginya menginap di rumah Anne pada
hari kami pindah rumah. Dengan begitu, aku bisa menyuruh
orang-orang dari jasa pemindahan untuk membawa semua
barang dari Amstelveenseweg ke Johannes Verhulststraat,
mempersiapkan kamar tidur dan ruang duduk, dan pada
malam hari Carmen akan dapat pindah ke rumah baru yang
sangat rapi. Ia tidak mau mendengarnya.
Para pemindah tiba dalam waktu seperempat jam, dan
Carmen luar biasa sakit. Bukan berarti aku mengharapkan
sebaliknya; tubuh Carmen hanya bisa berperilaku normal
sebelum tengah hari. Selama ia tertidur, atau terbujur tidak
bergerak, bukan masalah; namun segera setelah ia menyiksa
www.facebook.com/indonesiapustaka

diri sendiri, tubuhnya memprotes dalam cara efektif yang


tidak biasa melawan pembuangan energi sia-sia ini, dan
langsung memuntahkan apa pun yang dikonsumsinya selama
beberapa jam lalu. Ia sudah muntah di toilet tiga kali selama
satu jam terakhir.
Aku menunggu sampai para pemindah datang, memberi-

307
RAY KLUUN

tahukan bahwa kopinya sudah diseduh dan aku menawarkan


brandy applejack kalau mereka mau, dan aku hanya akan
membawa istriku dan ember muntahnya sendiri. Aku
membantu Carmen berpakaian, mengantarkannya ke mobil,
melesat kembali ke lantai atas, meraih bantal, selimut duvet,
dan sebuah ember dari kamar tidur, melempar segalanya ke
dalam Opal Astra dari Budget Rent-A-Car dan mengemudi
sehati-hati mungkin, menghindari tikungan tajam dan
gerakan tiba-tiba, menuju Johannes Verhulststraat. Di sana,
pertama-tama aku berlari ke lantai atas dengan duvet dan
bantal menuju kamar tidur, bersyukur kepada Tuhan dan
toko ranjang air yang mengirim barangnya tepat waktu,
bergegas kembali ke mobil dan kemudian kembali ke lantai
atas sambil menggendong Carmen dengan kecepatan lebih
rendah. Aku membantunya melepas pakaian dan mem-
baringkannya di ranjang air yang lembut. Di sanalah ia
terbaring: sepotong kehidupan, kurang dari lima puluh kilo,
pucat seperti orang mati, tersenyum melihat ranjang air
besar di dalam kamar tidur yang bahkan lebih besar, yang
hanya terisi ranjang dan ember muntah.
“Jadi sementara dirimu melanjutkan urusan pindah
rumah ini, aku hanya akan tidur di sini dengan nyaman di
rumah baru kita,” ia berkata sambil cekikikan.
Aku meledak dalam tawa. Oh, betapa aku akan me-
rindukan selera humornya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

308
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

How ugly you are close up …


Huub Hangop, dari How ugly you are close up
(The Very Worst of Huub Hangop, 1993)

Tiga Puluh Lima

Au pair [orang asing muda yang bekerja melakukan


pekerjaan rumah tangga bagi sebuah keluarga dan biasanya
dibayar dengan disediakan tempat tinggal serta kesempatan
untuk belajar bahasa. penerj.] kami telah tiba. Sesuai
permintaan, dari Republik Cek, naik bus.
Carmen dan aku menemukannya di situs web World
Wide Au Pair beberapa bulan lalu. Pada waktu itu kami
tidak menyangka Carmen akan benar-benar membutuhkan
au pair, namun karena kemo LV, itulah yang terjadi. Carmen
berkata bahwa ia senang telah menemukannya.
Hal lain yang disenangi Carmen adalah si au pair bahkan
lebih jelek daripada yang terlihat di fotonya. Demi Tuhan,
makhluk aneh macam apa yang kami bawa ke rumah kami!

>> Au pair kami kelihatan seperti campuran antara penyanyi di


www.facebook.com/indonesiapustaka

sebuah band rock gotik dan boneka Furby dengan bibir yang
ditindik. Namun Luna tergila-gila dengan Furby, jadi ia bahagia.
Begitu pula Carmen. Dengan riang ia mengirim e-mail kepada
semua teman perempuannya untuk memberitahu bahwa ia
sungguh-sungguh yakin bahwa aku tidak akan menyentuh si au
pair. Dan Rick, yang menambahkan sentuhan terakhir ke rumah itu,
mengirimiku SMS untuk meminta tambahan biaya bahaya, karena

309
RAY KLUUN

meningkatnya risiko jatuh ke lantai bawah gara-gara pertemuan


tidak terduga dengan au pair itu.

Tidak semuanya berjalan semulus itu. Pada akhirnya kami


butuh waktu menjelaskan kepada si au pair apa yang harus
diambil di pasar swalayan, dan apa sebutannya dalam bahasa
Belanda, dan menuliskannya untuknya, dan kemudian
menjelaskan semuanya dari awal lagi, aku bisa pergi ke toko
tersebut bolak-balik sebanyak tiga kali. Dan saat akhirnya
ia mengerti apa arti “setengah pon daging cincang”, ia
menolak untuk membelinya. Ia tidak sanggup melangkahkan
kakinya menuju bagian daging di Albert Heijn. Si au pair
seorang vegetarian, dan tidak mau membeli atau memasak
apa pun yang di atas penderitaan dan kematian si hewan.
Dan ia juga tidak mau naik sepeda. Tadinya kupikir ada
alasan keagamaan atau filosofis di balik hal itu, tapi saat
aku mendesaknya untuk mencobanya, aku sudah cukup
melihat. Sungguh mengerikan. Aku masih mengantar Luna
ke crèche sendiri.
Akhirnya, terlepas dari hambatan bahasa, kejelekan, dan
kecanggungan bawaan lahir, serta perbedaan pendapat
mengenai persiapan kuliner, hanya ada satu masalah lagi.
Kami menemukan dengan cepat bahwa si au pair bukan
orang yang menyenangkan. Setiap pertanyaan diikuti dengan
helaan napas tersinggung, seolah-olah aku baru saja me-
mintanya menelan tindikannya sendiri. Anak itu senelangsa
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kurt Cobain . (Aku bersimpati—maksudku, kalau kau meng-


habiskan masa remajamu di sekolah berdiri di pinggiran
sementara semua temanmu berpeluk-pelukan dengan para
pemuda tampan, itu tidak akan menjadikanmu seseorang
berwatak ceria).
Maka yang dilakukannya adalah—terlepas dari helaan

310
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

napas itu—menyetrika, mencuci, menyapu, dan menyedot


debu, dan aku memberinya tanggung jawab untuk meng-
gunakan mesin pencuci piring, mesin cuci, pengering
pakaian, dan kantong-kantong sampah, kalau tidak aku
akan kembali ke titik nol, membuang-buang hampir sebagian
besar waktu seperti yang tadinya kulakukan sebelum ia
datang, tapi dengan satu tambahan masalah di rumah.
Namun sejujurnya, kedatangan au pair itu telah mem-
buatku menjadi lebih fleksibel daripada sebelumnya. Pada
akhir pekan ia mengambil alih giliran jaga pagiku, dan pada
malam hari, saat Carmen berada dalam keadaan koma
setelah menenggak dua tablet tidur, ia berada di rumah
menjaga Luna. Dan kemudian aku dapat pergi ke toko larut
malam, menyelesaikan segala urusan di MIU, atau ber-
hubungan seks dengan Rose.
www.facebook.com/indonesiapustaka

311
RAY KLUUN

Always look on the bright side of life …


Monty Python, dari Always Look on the Bright Side of Life
(Life of Brian, 1979)

Tiga Puluh Enam

Keuntungan lain kehadiran au pair yang menyedihkan


adalah bahwa aku menjadi lebih bangga kepada Carmen
seiring berlalunya waktu. Jika dibandingkan dengannya,
Carmen terlihat jauh lebih menguntungkan.
Carmen tidak dapat menambah hari-hari ke dalam
kehidupannya, jadi ia menambahkan kehidupan ke hari-
harinya. Au pair kami tidak memahami apa kehidupan itu.
Ia tidak pernah menikmati melakukan apa pun. Tidak
pernah.
Pada hari-hari ketika ia merasa baikan, Carmen selalu
penuh dengan cinta akan kehidupan. Minggu ini, misalnya,
ia tak sabar menanti-nanti acara makan malam bersama
Anne dan Thomas malam ini. Aku tidak. Jadi bagiku tidak
terlalu buruk rasanya saat Carmen benar-benar merasa buruk
hari ini.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Namun ia tetap ingin pergi. Dalam kasus seperti inilah


aku akan bahagia memiliki istri yang memilih untuk tetap
tinggal di rumah saat ia tidak merasa sehat. Namun sejauh
yang kuketahui, Carmen akan tetap ingin pergi bahkan di
saat dirinya sudah mati dan dikuburkan.
Aku belum berbicara dengan Thomas sejak kecelakaan

312
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

mobil Chevy-ku. Saat aku keluar dari Opel Astra, aku


hampir tidak berani menatapnya. Carmen berjalan di depan-
ku menuju ruang duduk. Thomas menarikku ke pinggir.
“Jangan bicarakan apa pun soal karnaval itu, oke?” ia
berbisik dengan gugup.
Aku memandangnya sepolos mungkin.
“Sesuatu—hal yang kulakukan bersama Maud itu.” Ia
menyebut nama itu seolah-olah ia sedang membicarakan
kecoak, namun raut wajahnya mengkhianati fakta bahwa ia
masih menyimpan gambar malam itu di dalam kepalanya.
Seulas senyuman bahkan tampak di wajahnya. Aku membuat
gerakan dengan tanganku seolah-olah aku mengunci mulut
dan menelan kuncinya. Kilatan mata Thomas memperlihat-
kan kedip-kedip ke arahku. Jadi lihatlah, manfaat-manfaat
perselingkuhan disepelekan. Hal itu, sebagai contohnya,
membuatmu lebih toleran terhadap hal itu.
Anne dan Thomas telah melakukan segala yang mereka
bisa untuk membuat hal-hal berjalan menyenangkan bagi
kami. Carmen dan aku. Bukan dengan ucapan, bukan
dengan sentuhan, seperti Frank, tapi dengan cara mereka
sendiri. Dengan tidak mengungkit-ungkit kecelakaan dan
Opel Astra. Dengan sebotol vodka dan sebotol jus jeruk
nipis yang dibawakan Thomas secara khusus untukku.
Dengan kerja keras dapur, seperti yang dilakukan Anne
untuk kami hari ini. Ia ingin memanjakan kami malam ini,
katanya. Carmen tidak menyebut-nyebut fakta bahwa diri-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya muntah sepanjang hari, dan ia pun ikut makan bersama


kami.
Setelah hidangan pembuka ia pergi ke toilet. Keluar
sudah makanan pembukanya.
Setelah hidangan utama, ia pergi ke toilet dan memuntah-
kannya juga.

313
RAY KLUUN

Setelah hidangan penutup, ia pergi ke toilet dan me-


muntahkan makanan pencuci mulutnya.
“Terima kasih untuk malam ini, semuanya,” aku berkata.
Anne memberiku tiga ciuman dan satu kedipan. Thomas
menepuk bahuku keras-keras.
Carmen kelihatan pucat, tapi matanya berkilat.
“Terima kasih banyak, Sayang. Aku menikmati malam
ini.”
Thomas tiba-tiba memeluk Carmen, dan selama sesaat
kupikir ia tidak akan pernah melepaskannya.
Saat kami melaju pergi, aku melihat Thomas mendekap
Anne erat, dan menghapus air mata dengan satu tangannya
yang bebas.
www.facebook.com/indonesiapustaka

314
DAN & CARMEN dan DAN & ROSE

Dua ulang tahun dan satu pemakaman …

Tiga Puluh Tujuh

Anggota Mouflon yang pertama kali meninggal adalah Toni.


Carmen benar-benar kelabakan. Tiga minggu lalu, Toni
mendengar bahwa tidak ada gunanya melanjutkan terapi
kemonya. Dan sekarang ia meninggal.
Toni tidak pernah menemui mantan suaminya lagi sejak
perceraian mereka. Lelaki itu akan dapat melihat Toni sekali
lagi, di peti jenazahnya.
“Setidaknya mereka tidak akan bertengkar,” kata
Carmen, tersenyum lebar.
Ia bilang ia ingin pergi ke pemakaman. Saat aku
mendengar kapan tepatnya pemakaman Toni, aku panik.
Hari Selasa minggu depan. Hari ulang tahun Luna dan aku.
Hari ulang tahun kami yang ketiga secara berturut-turut
sejak adanya tanda-tanda kanker. Dan pastinya yang
terakhir. Dan Carmen malah ingin pergi ke upacara
pemakaman? Rasanya seperti pergi menonton prapertunjuk-
www.facebook.com/indonesiapustaka

an pemakamanmu sendiri.
“Apakah menurutmu itu mungkin—mungkin agak berat
untukmu?”
“Apakah kita tidak bisa merayakan ulang tahun kali ini
pada hari Minggu? Tak seorang pun akan datang di hari
Selasa. Dan acaranya hanya beberapa jam.”

315
RAY KLUUN

Aku mencoba untuk tidak menunjukkannya, namun


Carmen melihat bahwa aku tidak senang dengan hal itu.
“Kupikir aku bertindak tak adil kepada Toni jika tidak
hadir.”
“Tapi apakah akan adil bagi Luna dan aku?” Aku tak
dapat menahan diri, kata-kata itu terlontar begitu saja.

***

Pada hari Minggu rumah kami penuh. Teman-temanku,


keluarga, teman-teman kecil Luna dari crèche. Ibu Carmen
kelihatan terkejut saat ia masuk, aku menyadarinya. Sudah
tiga minggu berlalu sejak ia terakhir kali melihat putrinya.
Dengan perut yang membesar Carmen kelihatan seperti
perempuan hamil yang kekurangan makan. Kami berdiri
dan mengobrol di dapur. Luna masuk dengan bangga dalam
balutan gaun putri dan sayap malaikat barunya. Carmen
berjongkok untuk mengamatinya dengan saksama.
“Betapa cantiknya,” ia berkata dengan antusias kepada
Luna, kehilangan keseimbangannya dan terjatuh, sambil
membawa Luna bersamanya.
Luna ketakutan dan mulai menangis.
“Hati-hati!” aku membentak, terperanjat. “Kau tahu
tidak ada kekuatan lagi di kakimu sekarang, sialan, Carm!”
Carmen merasa dipermalukan dengan kejatuhannya
sendiri dan reaksiku, dan mulai menangis juga. Pesta itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

bukan merupakan awalan yang bagus.

***

“Apakah kalian akan bersenang-senang di hari Selasa pada


ulang tahunmu?” tanya Anne, menggigit kue ulang tahun
rasa jeruk.

316
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

“Carmen yang bersenang-senang. Ia pergi ke pemakaman


Toni, seorang perempuan dari grup diskusinya.”
“Pemakamannya diadakan pada hari Selasa?”
“Ya.”
Anne memberengut.

***

Pada malam hari setelah pesta, Carmen berkata ia tidak


akan pergi ke pemakaman pada hari Selasa. “Anne
membicarakannya. Aku akan meletakkan sebuket bunga
untuk Toni. Aku menyukainya. Kurasa Toni akan mengerti.”
“Aku yakin sekali Toni akan mengerti.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

317
RAY KLUUN

Happy birthday to you,


Happy birthday to you,
Happy birthday dear Danny and Luna,
Happy birthday to you …

Tiga Puluh Delapan

Dan Carmen pun ikut bernyanyi, sepenuhnya sadar bahwa,


sementara mungkin akan ada banyak kebahagiaan, ia tidak
akan melihatnya. Aku tahu dari segala yang dilakukannya
bahwa ia melakukan itu untuk menebus rencananya pergi
ke pemakaman Toni. Luna dan aku mendapatkan sarapan
di tempat tidur. Carmen membuatkannya untuk kami dan
meminta si au pair untuk membawakannya ke lantai atas.
Luna, berseri-seri, makan croissant dengan selai kacang dan
kue kelapa, aku juga makan satu dan beberapa roti, dan
Carmen dengan enggan menelan enam sendok penuh
Kellogg’s Fruit ‘n Fibre.
Tidak ada yang berjalan mudah hari ini. Segalanya
membuatku emosional. Saat Frank mengirimkan SMS untuk
mengucapkan bahwa ia bahagia karena memiliki teman
sepertiku, dan ia ingin tetap seperti itu selama bertahun-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tahun. Saat Anne mengirimkan SMS bahwa ia senang


Carmen dan aku merayakan ulang tahun bersama-sama
terlepas dari apa pun yang telah terjadi. Dan saat Carmen
menyerahkan rangkaian foto-foto telanjangnya yang
diperbesar, yang kuambil saat kali pertama kami bertemu.
Setelah sarapan aku melihat Carmen kelelahan dan

318
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

merasa tidak sehat.


“Kau harus berbaring selama satu atau dua jam,” aku
berkata.
“Apakah menurutmu itu bukan perbuatan antisosial?”
tanyanya ragu-ragu.
Aku menggelengkan kepala. “Berbaring dan tidurlah
sebentar. Aku mungkin akan pergi ke kota selama setengah
jam nanti. Aku mendapat token rekaman dari Maud pada
hari minggu.”
Aku bermain dengan mentari kecilku selama sekitar satu
jam dan kemudian meminta si au pair apakah ia mau
membuat panekuk bersama Luna. Kecerobohannya sekarang
semakin tampak jelas, jadi aku membuatnya bersumpah dari
hatinya untuk menjaga Luna agar tidak terjatuh dari
bangkunya di dekat bak cuci piring di dapur.
“Percayalah padaku,” ia berkata. Hmm. Sekarang aku
cukup mengenal au pair kami, dan aku benar-benar ngeri
saat ia mengatakan sesuatu seperti itu. Namun aku tak dapat
terus-terusan menghabiskan sepanjang hariku memastikan
perempuan gemuk itu tidak menyakiti putriku.
Aku berlari ke lantai atas sejenak. Carmen telah me-
letakkan sebuah ember di samping tempat tidurnya. Aku
melongok ke dalam dan melihat bahwa ember tersebut
berisi. Fruit ‘n Fibre yang berhasil ditelan Carmen pagi ini
keluar dengan sia-sia.
Aku mengayuh sepeda seperti orang gila menuju toko
www.facebook.com/indonesiapustaka

CD di Van Baerlestraat. Dalam kurang dari seperempat jam


aku telah menukar token rekaman itu dengan CD Coldplay,
dan hal itu menjadi alibiku.
Kemudian aku mengayuh sepeda ke rumah Rose. Ia
membungkus dirinya sendiri dengan pita merah seperti kado
Natal.

319
RAY KLUUN

What was that?


That was your life, mate.
Oh—that was quick—can I get another one?
Fawlty Towers (1976)*

Tiga Puluh Sembilan

Aku benar-benar kebosanan berada di ruang tunggu di luar


kantor Rodenbach. Aku telah selesai membaca majalah sepak
bola yang kutemukan di rak dekat pintu masuk. Aku mulai
membaca berkas Carmen. Perawat yang baru mengosongkan
perut Carmen menyerahkannya kepada kami, dengan per-
mintaan agar kami menyerahkannya kepada dr. Rodenbach.
Perut Carmen sudah dikuras sebanyak enam belas kali sejak
bulan November, aku membaca. Aku menjumlahkan angka-
angkanya.
“Apakah kau tahu berapa liter cairan itu yang telah
mereka keluarkan dari tubuhmu?”
“Tidak tahu.”
“Lebih dari tujuh puluh satu liter.”
“Hahaha—melebihi timbanganku sebelum mereka mulai
www.facebook.com/indonesiapustaka

melakukan pungtur-pungtur ini!”


Berat badan Carmen sekarang adalah 47 kilo. Kau dapat
melihatnya semakin kurus seiring dengan berlalunya hari.
Enam bulan lalu beratnya hampir tujuh puluh kilo. Karena

* John Cleese berfilosofi.

320
DAN & CARMEN serta DAN & ROSE

kekurangan lemak, ia kedinginan sepanjang waktu selama


beberapa minggu terakhir. Termostat di ruang duduk di-
pasang pada suhu dua puluh empat derajat sepanjang hari.
Suhu ranjang airnya lebih tinggi empat derajat daripada
suhu udara yang direkomendasikan. Untung saja kami me-
miliki ranjang air. Matras biasa akan terlalu keras. Sekarang
hanya tinggal kulit di antara tulang dan matras itu, tidak
ada lemak.
Kami tidak punya firasat baik dengan diskusi yang akan
kami ungkapkan kepada Rodenbach. Pungtur-pungtur, yang
biasanya dilakukan satu kali setiap dua minggu pada awal
perawatan LV, kini mulai dilakukan setiap beberapa hari
sekali. Dan rasanya semakin dan semakin tidak menyenang-
kan. Kelihatannya organ-organ Carmen berubah menjadi
bubur, dan rasanya sakit dan bertambah sakit setelah setiap
kali pungtur. Pungtur yang terakhir rasanya mengerikan.
Bahkan dengan suntikan morfin, Carmen muntah karena
kesakitan. Kupikir aku sudah mengalami trauma abadi
mengenai gambaran istriku dengan kepala yang berada di
atas baskom muntah, sementara satu slang dari perutnya
perlahan-lahan mengisi ember tersebut dengan berliter-liter
cairan kuning keruh.

***

“Silakan duduk,” kata Rodenback ramah.


www.facebook.com/indonesiapustaka

Kami telah menemuinya sebanyak enam kali sebenarnya,


sejak kami pindah ke Antoni van Leeuwenhoek. Ada
perasaan saling menghormati. Ia tahu kami tidak mengeluh
dan memprotes, seperti yang dilakukan pasiennya yang lain,
dan kami tahu ia tidak akan menipu dan memperdaya kami,
seperti yang umumnya dilakukan dokter-dokter kami

321
RAY KLUUN

terdahulu.
Rodenbach akan memberikan kami kepastian baru.
“Penanda tumornya aktif lagi. Terapi LV-nya telah ber-
henti berfungsi.”
“Dan—apa—dan apa artinya?” aku terbata-bata, meski-
pun aku tahu apa yang akan dikatakannya.
“Aku khawatir kita benar-benar akan terpaksa berhenti
berjuang sekarang.”
Maka begitulah. Akhir dari perjalanan.
Carmen ditinggalkan. Tiga minggu kemudian Toni
meninggal.
Carmen duduk sambil menatapku, dengan tangan
menutupi mulutnya. Aku memegang satu tangannya yang
lain dan membalas tatapannya.
“Apa sebaiknya kita pulang?” aku bertanya hati-hati.
Ia mengangguk.
Kami mengatur janji temu di kantor Rodenbach tiga
minggu sekali. Sedikit penuh harap, karena pada saat itu
Carmen mungkin tidak akan bersama kami lagi, dan peran
Rodenbach akan berakhir. Satu-satunya hal yang bisa
dilakukannya untuk Carmen adalah menandatangani surat-
surat yang menginstruksikan ahli obat untuk menyuplai
morfin, kytril, kodeina, prednison, dan temazepam.
Aku menstarter mobil dan memasang CD. De Dijk salah.
Masalah tidak berakhir dengan sendirinya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

322
www.facebook.com/indonesiapustaka

CARMEN
Bagian III

323
CARMEN
www.facebook.com/indonesiapustaka

324
RAY KLUUN
CARMEN

I’d tell all my friends but they’d never believe me


They’d think that I have finally lost it completely…
Radiohead, dari Subterranean Homesick Alien
(OK Computer, 1997)

Satu

Aku telah menghubungi Nora. Satu hari setelah kabar dari


Rodenbach.
Hanya Rose yang tahu. Aku tidak mengucapkan sepatah
kata pun mengenai hal itu di rumah. Carmen akan berpikir
aku tolol karena menolak mendiskusikan masalahku dengan
seorang psikolog, seperti yang telah disarankannya berkali-
kali, sementara aku senang mengobrol dengan seseorang
seperti Nora.
Bahkan aku pun tidak tahu apa tepatnya alasanku meng-
hubunginya. Kupikir itu ada kaitannya dengan kecelakaan
mobil. Fakta bahwa aku selamat tanpa ada banyak luka
goresan, sementara sepanjang sisi Chevy-nya hancur total,
setidaknya terlihat seajaib gol Marco pada saat melawan
Rusia pada 1988.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Frank dan Maud juga tidak tahu aku akan menemui


Nora hari ini. Aku menyuruh Tasha menuliskan di catatan
harian kantor bahwa aku izin setengah hari. Ia menatapku
dengan pandangan ganjil, berkedip, dan membuat gerakan
bersetubuh dengan kedua tangannya. Aku tidak bereaksi.
Kantor si penasihat spiritual terletak di sebuah rumah

325
RAY KLUUN

bertingkat gaya enam puluhan di Buitenveldert. Dengan


jantung berdebar-debar, aku membunyikan bel.
Nora adalah perempuan ramping berambut hitam yang
biasa-biasa saja. Ia mengarahkanku ke lantai atas menuju
ruangan konsultasinya, dan menawarkan teh kepadaku. Aku
menerima tawarannya. Ia keluar dari ruangan. Dengan cepat
aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Batu-batu bercat,
diatur sedemikian rupa menurut sesuatu seperti feng shui.
Batang-batang berasap yang menguarkan bau seperti sesuatu
yang kuingat saat liburan ke India. Musik yang kemungkinan
berada di puncak teratas tangga musik sepuluh besar
penduduk Himalaya. Selebaran-selebaran untuk lokakarya
“Menafsirkan Mimpi” yang akan ditampilkan Nora minggu
depan.
Pemandangan sebuah blok apartemen galeri dari ruang
konsultasi Nora tampak tidak selaras dengan keadaan di
sekitarnya. Mungkin saja kau berkata bahwa kau menyukai
apartemen-apartemen galeri, tapi setidaknya tempat-tempat
itu tidak bergaul dengan para peri dari negeri dongeng.
Pemandangan itu membuatku santai. Tempat itu mengingat-
kanku pada Breda-Noord.
Nora menyunggingkan senyum ramah kepadaku saat ia
kembali dengan membawa sebuah baki. Sepertinya ia mem-
bawa teh yang normal.
“Anda memang butuh datang kemari,” ia berkata.
Seketika aku merasakan déjà vu. Percakapanku dengan si
www.facebook.com/indonesiapustaka

psikoterapis, hampir dua tahun lalu! Di mana lagi aku ber-


akhir mengulangi semua ini? Monty Phyton, episode dua.
“Ayo kita mulai dari awal, ya?” ia berkata, saat ia melihat
ekspresiku yang menaruh curiga. Ia memberitahu bahwa
dari nama dan tanggal lahirku, yang kuberitahukan saat
menghubunginya, ia mendapat pesan-pesan untukku dari

326
CARMEN

dunia lain. Dan pesan-pesan itu berada di dalam sebuah


surat yang akan segera dibacakannya. Aku menahan diri
agar tidak mengatakan bahwa aku tak memercayai sepatah
kata pun soal omong kosong dongeng basi ini. Nora meng-
ambil surat itu dan mulai membaca.

Lelaki yang akan kau sampaikan surat ini memiliki


tingkat energi yang tinggi, tapi ia harus mengendali-
kan energi itu sepanjang masa ini. Ia harus membuat
pilihan sekarang. Semua hasrat mengarah pada
kekacauan, ia telah menyadarinya.
Penglihatan ini baik. Biarkan ini datang dan
terserap. Ini baik.
Banyak yang akan diminta darinya pada masa
mendatang. Sekarang ia tidak dapat lagi mengatur
peristiwa-peristiwa dengan cara sebaliknya. Ia harus
mempertunjukkan kewajibannya. Ia tidak dapat lagi
melarikan diri darinya.
Apa yang akan terjadi, akan terjadi. Ia dapat
melakukannya, bahkan di saat dirinya sendiri
berpikir bahwa ia tidak dapat melakukannya.
Beri tahu ia untuk memercayai intuisinya. Untuk
mengambil petunjuk dari energi hatinya. Itu akan
membantunya, itu akan memberinya kekuatan.
Ia dapat melakukannya. Beri tahu ia untuk
percaya diri. Banyak bantuan di sekitarnya dari
lingkungannya.
Dalam cinta…
www.facebook.com/indonesiapustaka

Jangan berani-berani mengucapkan apa pun. Omong


kosong belaka.
Dengan tenang Nora meletakkan surat itu dan menunggu
selama sesaat. “Apakah Anda mengenali sesuatu dari isi surat
itu?”

327
RAY KLUUN

“Hm, apa yang harus kukatakan? Hal itu bisa mengarah


kepada apa pun…”
“Apakah menurut Anda begitu?” ia tersenyum. “Dan
kekacauan yang digambarkan di surat itu?”
Oke, mungkin ada sesuatu di dalam surat itu.
“Hmph. Itu salah satu tipuan horoskop. Tidakkah setiap
orang mendapati diri mereka sendiri dalam situasi yang bisa
kau sebut sebagai kacau? Apakah kau pernah pergi ke IKEA
saat banting harga?”
Ia tertawa terbahak-bahak. “Menurutku maksud surat
itu adalah situasi yang lebih kacau daripada sekadar hal itu,
bukan begitu?”
Aku memutuskan untuk memberinya kesempatan.
“Beberapa saat lalu mobilku mengalami benturan yang
mungkin akan kau sebut sebagai kacau.”
“Kecelakaan?”
Aku mengangguk.
Ia mengangguk balik. “Apakah Anda tahu kita umat
manusia dilindungi oleh kekuatan yang tidak kita ketahui?”—
oh, Tuhan, mulai deh—“Kecelakaan itu merupakan tanda
perlindungan dirimu mulai habis.”*—Hm. Aku tidak yakin
aku senang mendengarnya. Maksudku, bahkan di saat kau
tidak memercayai Tuhan atau takdir atau apa pun yang
mengatur semua ini, mendengar bahwa perlindunganmu
habis rasanya masih sangat ekstrem.
“Tapi Anda kemari karena seseorang sakit parah, benar,
www.facebook.com/indonesiapustaka

kan?”—Kaget.
“Ehm—yeah. Istriku…”
“Siapa nama istri Anda?”
“Carmen.”

* Wrample dari The Bridge Across Forever, Richard Bach (1984).

328
CARMEN

“Carmen sudah siap untuk mati.”


Rasa dingin menjalari tulang belakangku—dr. Rodenbach
yang memberitahuku bahwa hidup Carmen tidak lama lagi
adalah satu hal, namun orang asing dalam rumah bertingkat
bergaya enam puluhan di Buitenveldert…
“Anda tidak perlu takut. Ia tidak takut. Ini bagus.”
Aku menelan ludah. Walaupun aku masih tidak memer-
cayai sepatah kata pun ucapannya, Nora telah menyentuh-
ku. “Aku merasa masih ada banyak hal yang harus kucerita-
kan kepadanya…” aku mendengar diriku sendiri berkata.
“Anda akan memiliki kesempatan untuk melakukan-
nya”—si Nora ini tidak benar-benar memiliki hubungan
dengan alam—er—lebih tinggi, kan?—“Yakinkan diri Anda
dan habiskan sebanyak mungkin waktu bersamanya dalam
waktu yang singkat itu”—yap, mulai lagi deh. Kupikir aku
dapat menyadari hal itu sendiri, sejauh yang kubisa untuk
menyadari hal-hal lain akhir-akhir ini. Begini saja, ayo kita
berikan kejutan kepadanya. Jenis-jenis esoteris ini tidak
begitu bagus untuk menghadapi hal macam itu…
“Aku sedang menjalani hubungan gelap selama lebih dari
satu tahun.” 1 – 0 untuk Danny! Hal itu kedengarannya
menantang. Jadi berakhir sudah…
Nora adalah personifikasi ketenangan. Ia memberi isyarat
agar aku melanjutkan. Selama sesaat aku tidak tahu harus
berkata apa. Atau apakah aku harus mengatakan apa pun.
Di dalam hatiku aku mengetahui alasanku datang kemari.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Katakan saja secara langsung dan tanyakan padanya.


“Carmen tidak mengetahuinya. Apakah aku harus mem-
beritahunya selama aku masih bisa?”
Nora menunggu sejenak. “Ia tahu. Ia sudah mengetahui-
nya sejak lama”—Apa?—“Jika ia bertanya, Anda harus
mengatakan yang sebenarnya”—brr—“tapi ia tidak akan

329
RAY KLUUN

menanyakannya”—kedengarannya oke juga, bagiku—“ia


selalu mengetahui seperti apa Anda sebenarnya. Lebih baik
daripada Anda mengenali diri Anda sendiri. Akhir-akhir ini
ia telah bisa menerimanya—Aku suka si Nora ini—“Siapa
nama perempuan yang memiliki hubungan gelap dengan
Anda?”
“Rose…”
“Bukan suatu kesia-siaan Anda menemui Rose sementara
Carmen sedang sakit,” ia berkata dengan suara pelan. “Itu
adalah kebutuhan.” Nah, kan! Benar, Nora sedang mencari
uang. Aku merasa bahwa ia mengatakan kebenaran. Semua
hal-hal sinis itu tidak akan membawamu ke mana pun pada
akhirnya.
“Apakah Carmen benar-benar bahagia bersamaku? Aku
tidak pernah bersikap setia kepadanya, dan aku termasuk
seseorang yang—hedonis.”
“Tanpa kemampuan Anda untuk memberikan cahaya
kehidupan, ia tidak akan mampu menanggung penyakitnya,”
tiba-tiba ia berkata dengan tajam. “Jangan merasa bersalah.
Ia sangat bahagia bersama Anda. Dan Anda tidak perlu malu
dengan kelemahan Anda”—Haruskah aku memberinya
nomor ponsel Thomas—“Carmen sudah siap sekarang, tapi
Anda belum siap”—kuharap tidak. “Jauh di dalam hatinya,
ia telah memaafkan Anda”—ia mengatakan hal itu dengan
sangat tegas—“namun Anda masih harus mendukungnya.
Kesampingkan segala hal lain, dan rawat ia dengan segenap
cinta yang Anda miliki di dalam diri Anda”—Aku sebagai
www.facebook.com/indonesiapustaka

Florence Nightingale? Aku benar-benar tidak bisa—“Biarkan


pekerjaan rumah dilakukan orang lain. Apakah itu mung-
kin?”
“Erm—kami mempunyai seorang au pair di rumah. Ia
menjaga putriku dan melakukan segala pekerjaan rumah
tangga. Jika aku memintanya dengan baik.”

330
CARMEN

“Bagus. Jangan khawatir, biarkan ia melakukan semua


pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan Carmen.
Dan siapa nama putri Anda?”
“Luna. Ia baru tiga tahun. Hari ulang tahunnya sama
denganku,” aku mengatakannya dengan begitu bangga
sampai-sampai wajahku merah padam.
“Hal itu menjelaskan segalanya. Anda dan putri Anda
memiliki ikatan yang lebih kuat daripada yang Anda
sangka”—Idih, kau mulai sentimental sekarang ini, Nora
sayang—“Saat istri Anda tidak lagi ada, Anda tidak ingin
au pair berada di sekitar Anda”—apakah ia mengenal au
pair-ku?—“Anda akan ingin merawat putri Anda sendiri-
an”—Lupakan saja. Siapa yang akan menjaga Luna saat
aku harus bekerja dan crèche-nya tutup? Atau—lebih
tepatnya—saat aku mau bersenang-senang?—“Anda akan
menjadi orang yang berbeda”—oh, cukup sudah, hentikan
sekarang juga!—“dan istri Anda akan mendukungmu dalam
hal itu. Bahkan di saat ia tidak ada di sana lagi”—sebagai
Carmen si Hantu Ramah, begitukah? Cobalah untuk
bersikap menyenangkan, dasar nenek sihir tua!
Nora melihat wajahku yang khawatir dan tertawa.
“Percayalah padaku kali ini,” ia berkata, “Carmen dan Anda
telah mengenal satu sama lain jauh lebih lama daripada
yang Anda sangka. Ia mencintaimu. Sangat”—mau tidak
mau aku merasa tersentuh, dan menelan gumpalan lain di
tenggorokanku—“kalian adalah pasangan jiwa. Selamanya.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Hening. Aku mengerjapkan mata.


“Apakah Carmen tahu Anda datang kemari?”
“Tidak. Ia terlalu bijaksana untuk sesuatu yang—samar
seperti ini.”
“Beri tahu ia. Itu akan baik bagi dirinya.”
“Aku tidak yakin…” aku berkata bimbang. “Ia mungkin

331
RAY KLUUN

akan menganggapnya menggelikan, dan kemudian ia akan


berang. Tampaknya kami sudah benar-benar memahami
satu sama lain, tapi akhir-akhir ini ia mulai semakin mudah
kesal dengan segala hal yang kulakukan.”
Nora menggelengkan kepala dengan tegas. “Aku akan
memberitahu Anda sekali lagi: Carmen sangat mencintai
Anda. Ia tidak ingin didukung oleh orang lain”—bum—
“Aku akan pulang ke rumah sekarang juga. Itu akan terjadi
lebih cepat dari yang Anda sangka”—BUM—“Pastikan Anda
hadir saat hal itu terjadi”—BUM—“Ia akan bersyukur
mengenai hal itu. Dan begitu pula dengan Anda. Sekarang
Anda memiliki kesempatan untuk mengembalikan kepada
istri Anda segala hal yang Anda terima darinya selama
bertahun-tahun itu …”

***

Saat aku berada di dalam mobil, kata-katanya bergemuruh


di dalam kepalaku: “Sekarang Anda memiliki kesempatan
untuk mengembalikan kepada istri Anda segala hal yang
Anda terima darinya selama bertahun-tahun itu …”
Aku menyesuaikan kaca spion dan menatap diriku
sendiri. Yang membuatku terkejut, aku melihat seulas
senyum lebar. Dan aku merasa sangat bahagia. “Sekarang
Anda memiliki kesempatan untuk mengembalikan kepada
istri Anda segala hal yang Anda terima darinya selama
bertahun-tahun itu …” Dengan energi yang akan membuat
www.facebook.com/indonesiapustaka

Edgar Davids* iri.


Terima kasih kepada Nora dan para pembisiknya, siapa
pun mereka.

* Koktail Molotov di antara para pemain bola.

332
CARMEN

I was unrecognizable to myself,


I saw my reflection in the mirror,
Didn’t know my own face,
I can feel myself fading away,
And my clothes don’t fit me no more …
Bruce Springsteen, dari Streets of Philadelphia
(musik dari film Philadelphia, 1993)

Dua

Aku menyalakan teleponku kembali dan melihat bahwa aku


mendapat satu pesan suara. Dari Carmen. Perlukah aku
meneleponnya? Aku bisa mendengar bahwa keadaannya
tidak baik.
“Danny, aku muntah terus-terusan,” ia berkata, terisak-
isak. “Aku sangat takut…”
“Aku akan segera ke sana.”
Empat menit dan lima puluh satu detik kemudian aku
mendaki dua tingkat menuju kamar di rumah kami. Carmen
duduk dengan kepala di atas ember, mencoba untuk muntah.
Aku menghampiri dan duduk di sebelahnya dan mem-
belai rambut pendek abu-abunya yang dicat merah.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku lega kau ada di sini,” ia berkata. Suaranya kedengar-


an bergema di ember, dengan kepalanya yang setengah
turun. “Aku sudah merasa mual sepanjang pagi. Tapi tidak
ada yang keluar lagi.”
Sekonyong-konyong ia muntah dan sedikit cairan keluar
dari mulutnya. Aku dapat melihat bahwa yang keluar adalah

333
RAY KLUUN

cairan empedu. Bukan makanan. Mustahil makanan yang


keluar karena Carmen tidak makan apa pun sedari tadi.
Dr. Bakker, dokter keluarga kami, yang tiba sekitar satu
jam kemudian, memberikan resep persiapan makanan cair,
dua kaleng primperan, dan satu kaleng kytril untuk me-
netralkan muntahnya. Saat Carmen tertidur, aku pergi ke
apotek di Cornelis Schuytstraat untuk menebus semuanya.
Dalam perjalanan ke sana aku menghubungi Rose. Ia
lega segalanya berjalan dengan baik bersama Nora. Aku
berkata Carmen tidak tampak terlalu sehat, dan kemungkin-
an aku tidak akan menemuinya lagi selama beberapa waktu.
Aku membatalkan kencan kami hari Jumat ini. Rose
menanggapinya dengan tenang. Ia berharap aku kuat, dan
berkata ia akan terus menyalakan lilin bagi Carmen, di
kotak kecil di ruang duduknya. Untuk perempuan yang
belum pernah ditemuinya, namun perempuan yang dikenal-
nya sangat baik sampai saat ini. Seolah-olah Rose telah
mengenal Carmen selama bertahun-tahun.
Ibu Carmen datang pada malam harinya.
Kami berempat pergi ke teras King Arthur. Ibu Carmen
memakai blus sutra tipis. Luna dan aku memakai kaus.
Matahari malam terasa menyenangkan. Bahkan udaranya
hangat.

>> Teras King Arthur berada di tengah-tengah daerah mewah kami,


tempat jalan Cornelis Schuystraat bertemu dengan jalan Johannes
www.facebook.com/indonesiapustaka

Verhuststraat. Para pelanggan lelaki lebih dari sekadar menjengkel-


kan (para pengacara dari kantor-kantor di De Lairessestraat dan
pengusaha Inggris yang menginap di Hilton yang berhasil
menjauhkan diri dari istri dan anak-anak mereka), dan kau tidak
datang kemari khusus mencari perempuan juga (fosil lokal). Namun
matahari bersinar lebih lama beberapa jam di sana daripada yang
terjadi di distrik seperti De Pijp atau Oud-West. Lingkungan tempat

334
CARMEN

tinggal kami terasa sangat angkuh bahkan jam-jam cahaya matahari


pun bisa diatur dengan benar.

Carmen duduk di kursi rodanya, terbungkus dalam jaket


tebal dan memakai kacamata gelap.
“Di sini agak dingin, bukan?” ia bertanya tepat setelah
minuman kami diantarkan.
“Kupikir juga begitu,” aku berbohong.
“Benar, rasanya tidak sehangat kelihatannya,” ibu
Carmen sepakat.
Lima menit kemudian kami sudah kembali ke rumah.
Matahari malam tidak dapat menghangatkan kulit dan
tulang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

335
RAY KLUUN

You’re packing a suitcase for a place none of us has been,


A place that has to be believed to be seen …
U2, dari Walk On (All that You Can’t Leave Behind, 2000)

Tiga

“Aku berharap segalanya cepat berakhir,” kata ibu Carmen


yang mulai menangis, dengan tangan menutupi matanya.
Aku memeluknya.
Seorang ibu yang akan kehilangan putrinya. Putrinya,
yang dilihatnya terbaring di tempat tidur, sangat menderita
akibat kemoterapinya. Putrinya yang, sambil meratap, me-
nunjukkan kepadanya tempat di mana tadinya payudaranya
berada, dan sekarang tidak ada apa pun selain sebaris bekas
jahitan seperti ritsleting. Putrinya, yang penderitaannya
diharapkannya segera berakhir. Mereka akan melampaui
sebuah aturan bahwa seorang ibu tidak seharusnya melihat
anak-anaknya menderita.
Ibu Carmen meraih tanganku dan mengecupku. “Kita
akan saling mendukung melewati semua ini, bukan?”
Aku mengangguk. Frank duduk dalam diam, mengamati
adegan tersebut. Segalanya sedang berjalan buruk, dan itulah
alasan keberadaan Frank di sini. Itu aturan keras dan cepat.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Anne juga di sini. Aku menyadari pelukan hangatnya mem-


buatku merasa baikan, seperti yang terasa dua tahun lalu
saat ia berdiri di tangga Amstelveenseweg bersama Thomas.
“Aku akan pergi melihat keadaan Carmen,” aku berkata
lalu pergi ke lantai atas.
Carmen baru saja bangun dari tidur siangnya. Ia melihat-

336
CARMEN

ku masuk ke kamar lalu tersenyum. “Hai, kasihku,” bisiknya.


“Bagaimana keadaanmu?” aku bertanya, dan duduk di
tempat tidurnya. Aku meremas tangannya erat-erat. Ya
Tuhan, tangannya begitu kurus.
“Aku tidak dapat melihat apa untungnya lebih lama lagi,
Dan—jika setiap hari berlalu seperti ini, aku berharap
semuanya segera berakhir…” Ia menatap tanganku, yang
sedang membelainya. Aku melihat bahwa ia ingin me-
ngatakan sesuatu, namun ia menahan diri.
“Ada apa?” aku bertanya. Aku sudah mengetahui apa
yang dimaksudkannya, namun aku mengunci mulutku. Aku
ingin ia sendiri yang mengungkapkannya.
“Aku ingin mengetahui apa aturannya jika aku—jika aku
ingin mengakhiri segalanya. Dan apa yang kau pikirkan
mengenai hal itu.”
“Maksudmu eutanasia?”
“Ya,” ia berkata, lega, senang bahwa aku berkata secara
langsung dan jujur.
“Haruskah aku menghubungi dr. Bakker dan menanya-
kan bagaimana prosedurnya?”
Ia mengangguk. Aku memeluknya. Ia merasa lebih rapuh
daripada bayi yang baru lahir.
“Aku akan meneleponnya. Ada hal lain yang kau ingin
kulakukan?”
“Aku mau beberapa orang datang kemari besok.”
“Tinggal minta saja. Siapa?”
“Thomas dan Anne. Maud. Frank.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Anne sudah di sini, Frank juga.”


“Bagus! Minta mereka ke sini sebentar.”
“Baiklah. Apa ada yang mau kau makan sementara ini?”
“Kurasa aku harus melakukannya, bukan?”
“Mulai hari ini kau tidak harus melakukan apa pun.”

337
RAY KLUUN

Just let me go my own way …


Ramses Shaffy, dari Let me (Dag en nacht, 1978)

Empat

Sejak Luna memahami apa artinya berpelukan, kami bertiga


berpelukan setiap pagi.
Aku meminta Frank, yang menginap di sini tadi malam,
seperti ibu Carmen, untuk mengambil foto kami sedang
berpelukan pagi ini. Aku memeluk seberkas sinar matahari
kecilku yang berseri-seri (3), tampak sehat, dan istriku yang
setipis tongkat namun masih berseri-seri (36). Carmen
mengenakan piama sutra, sementara Luna memakai yang
berwarna putih dengan kuping beruang. Keduanya ter-
senyum lebar. Aku melihat tangan Frank yang memegang
kamera gemetaran.
Kami sarapan bersama Frank dan ibu mertuaku di ranjang
Carmen. Pada saat makan siang Maud juga datang. Saat ia
masuk, ia langsung memeluk Carmen erat-erat dan mulai
menangis dengan hebat. Anne dan Thomas juga datang.
Bahkan au pair kami, atas inisiatifnya sendiri, bersarang
dengan nyaman di samping ranjang Carmen. Carmen
www.facebook.com/indonesiapustaka

menikmati keramaian itu. Ia sendiri tidak makan. Ia


kelihatannya kehilangan sedikit lagi berat badannya.
Menurutku beratnya sekitar empat puluh dua kilogram.
Sementara itu dr. Bakker muncul. Aku meneleponnya
kemarin, dan ia menjelaskan secara tepat bagaimana
prosedur eutanasia. Carmen harus menulis sebuah surat

338
CARMEN

yang menjelaskan situasinya hingga ia ingin melakukan


eutanasia. Ia harus menandatanganinya. Lalu Carmen
bercakap-cakap dengan dokter keluarga kami itu, dan
setelahnya dengan dokter lain yang independen. Dua dokter
telah menyepakati hal ini sebagai “sebuah situasi tanpa
harapan yang melibatkan penderitaan tidak berperike-
manusiaan”. Dan bahwa tidak ada paksaan atau tekanan
dari keluarga atau orang lain. Dari saat itu dan seterusnya,
Carmen sendiri yang dapat memutuskan kapan ia ingin
meninggal.
Paling tidak, jika semuanya berlangsung sesuai rencana.
Dokter kami menelepon untuk mengatakan bahwa sakit
punggungnya telah pulih, dan sangat penting baginya datang
hari ini untuk bercakap-cakap dengan Carmen. Aku me-
nyetujuinya.
Dengan terengah-engah, ia tiba di kamar tidur kami,
yang terletak di lantai dua rumah kami. Dr. Bakker mem-
beritahu Carmen kondisi punggungnya. Merasa prihatin,
Carmen bertanya apakah nyeri itu membuatnya tersiksa,
dan apakah tidak sebaiknya ia datang besok hari saja.
“Obat penahan rasa sakit tidak membantu,” Dr. Bakker
berkata. “Dan bagaimana dengan Anda? Apakah Anda
merasa tersiksa?”
“Semakin dan semakin tersiksa, benar—sejak kemarin
punggungku juga terasa nyeri.” Ucapan Carmen membuatku
terkejut. Ia belum menyinggung hal tersebut kepadaku.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dr. Bakker memeriksa lokasi nyeri yang ditunjuk oleh


Carmen.
“Menurut asumsiku kankernya menyebar lagi.”
“Yeah,” kata Carmen datar.
“Aku akan menuliskan resep pil morfin. Dan memberi-
tahuku bahwa Anda ingin meminum semuanya saat rasa

339
RAY KLUUN

sakitnya benar-benar tidak tertanggungkan?”


Carmen mengangguk. Si dokter memberitahunya bahwa
ia telah mengirim rekannya yang lain untuk mengurus aspek-
aspek hukum eutanasia.
“Baiklah,” kata Carmen.
Dokter kedua datang pada sore hari. Ia kelihatannya
tipe dokter yang agak formal. Aku bertanya apakah aku
harus meninggalkan kamar. Aku tidak tahu bagaimana
prosedur semua ini. Mungkin ini seperti dalam acara Mr.
dan Mrs., saat kau dilarang mendengarkan jenis jawaban
yang diutarakan istrimu, dan harus menunggu di sudut
dengan headphone terpasang.
Aku diizinkan untuk tinggal. Carmen berkata betapa
ingin dirinya membuat keputusan sendiri mengenai apakah
dan kapan ia akan mengakhiri penyakitnya. Seakan-akan ia
sedang mendiskusikan lamaran pekerjaan. Seakan-akan ia
sedang mempromosikan dirinya. Si dokter menandatangani
sebuah formulir, tanpa melontarkan terlalu banyak
pertanyaan. Carmen berterima kasih kepadanya. Aku
menyadari istriku bahagia. Seolah-olah ia baru saja diberi
kunci mobil baru.
“Kau benar-benar senang, ya?” aku bertanya, terkejut.
“Ya. Sekarang aku punya pilihan lagi. Aku dapat
memutuskan apa yang akan terjadi pada hidupku.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

340
CARMEN

What you don’t know you can feel it somehow …


U2, dari Beautiful Day (All that You Can’t Leave Behind, 2000)

Lima

Seperti ibu Carmen dan Frank, Maud telah memutuskan


untuk berkemah di rumah kami untuk memberikan
dukungan spiritual dan manajemen, selama sisa hidup
Carmen. Frank dan Maud akan tidur dalam satu kamar.
Carmen terkekeh mengenai hal itu saat Frank keluar dari
ruangan, dan mencoba membujuk Maud untuk memberinya
kesenangan malam ini. “Kau hanya perlu duduk di atas
tubuhnya saat ia tidur, dan kemudian mulailah berteriak:
dan sekarang kita akan bersetubuh, dasar mesum pemalas!”
Mereka meledak dalam tawa. Carmen sudah riang kembali
hari ini.
“Haruskah kita makan sama-sama malam ini?” ia
bertanya dengan penuh harapan.
”Apakah menurutmu aroma semua masakan panas itu
tidak akan membuatmu mual?”
“Pastinya, dan kemudian mungkin akan ada sesuatu yang
dimuntahkan.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Au pair kami yang memasak. Carmen tidak makan, dan


yang lain hampir tidak menyentuh makanan masing-masing.
Hidangan itu baunya seperti ember Carmen. Nasi dengan
sesuatu yang hijau dan kuning. Aku mengenali benda kuning
itu sebagai jagung manis, namun benda hijaunya bisa berarti
apa pun. Carmen mengamati kami makan, sesekali

341
RAY KLUUN

melemparkan pandangan kepada kami satu per satu dan ke


piring masing-masing, dan meledak dalam tawa yang lama
tertahan. Jadi au pair kami akhirnya berguna juga, sebagai
pelawak kebetulan di acara penantian akhir hidup Carmen.
Setelah makan aku menemani Carmen. Yang lain pergi
ke lantai bawah.
“Danny… Aku harus… aku butuh buang air besar.”
“Apakah aku harus keluar?”
Unit perawatan rumah membawa semacam kursi-buang-
air hari ini. Benda itu seperti kursi berkemah tapi dengan
dudukan kakus seperti yang biasa kau duduki. Di bawah
kursi kakus itu ada sebuah ember.
“Ehm… tunggu sebentar… aku tidak tahu apakah aku
bisa duduk tegak sendirian.”
Dengan sangat perlahan, Carmen berusaha bangkit dari
tempat tidur. Saat hampir berdiri, ia terjatuh kembali, dan
mulai menangis.
“Kakiku tidak ada tenaganya,” isaknya.
“Kemarilah,” aku berkata.
Aku meletakkan kursi-buang-air lebih dekat ke ranjang
dan mendukungnya di bawah bahunya. Ia memerosotkan
celana piamanya dan celana dalamnya sendirian. Aku
mendudukkannya dengan perlahan di atas kursi.
“Nah nah—Nenek sedang duduk,” katanya.
Ketika ia sudah selesai, ia bimbang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Apakah kau mau aku mengelap bokongmu?” aku


bertanya.
Ia mengangguk, dan hampir tidak dapat membuat dirinya
menatapku.
“Aku takut jatuh…”
“Berpeganganlah kepadaku. Setidaknya aku bisa

342
CARMEN

menyentuh bokongmu lagi, dan tak ada yang dapat kau-


lakukan untuk mengelaknya.” Aku berkata sambil mengedip-
kan mata.
Ia tertawa di sela-sela air matanya. Wajahnya berpaling
menghadapku, lengannya memeluk leherku. “Sahabatku
yang tersayang…” Carmen berbisik. Dengan satu tangan
aku memeluknya dengan erat di bawah lengannya, dan
dengan tangan lain aku mengelap bokongnya. Setelah itu
lututku mulai terasa lemas. Carmen melingkarkan lengannya
di sekitar leherku, hampir tidak berdiri di atas kakinya
sendiri. Dengan satu tangan yang bebas aku memasang
kembali celana piamanya dan mengencangkannya di atas
bokongnya.
“Apakah ada hal-hal yang tidak kau inginkan untuk
kulakukan saat kau sudah tidak ada lagi bersama kami?”
aku bertanya saat aku membaringkannya kembali ke tempat
tidur, kehabisan napas karena ketegangan.
“Tidak.”
“Apakah kau ingin aku menunggu selama beberapa waktu
sebelum aku berhubungan seks lagi?”
“Tidak,” ia tersenyum. “Lakukan saja apa yang ingin
kaulakukan. Walaupun aku berharap kau tidak melakukan-
nya dengan Sharon lagi. Aku menganggapnya simbol
ketidaksetiaanmu. Apakah ia orang pertama?”
“Tidak—yang pertama pastinya adalah salah satu
mantanku. Kurasa Merel. Atau Emma. Namun Sharon
www.facebook.com/indonesiapustaka

adalah orang pertama yang kau pergoki.”


Kami berdua tergelak.
“Yeah, tapi masih banyak yang lain untuk memulai
segalanya. Kau tunggu saja, mereka akan menjadi milikmu
seutuhnya. Kau bebas, kau punya usaha sendiri, sebuah
rumah yang cantik, dan putri yang manis. Kau tangkapan

343
RAY KLUUN

yang lumayan. Aku sudah memberitahu Anne, Frank, dan


ibuku agar tidak terkejut kalau kau memiliki istri baru lebih
cepat daripada yang mereka pikirkan. Memang begitulah
dirimu.”
“Oh?” aku berkata, agak kaget.
“Hei, itu bukan masalah. Aku berharap kau akan segera
bahagia lagi. Dengan seorang istri baru. Dan kau butuh
seseorang yang bisa tahan denganmu, dan tidak akan
membiarkan dirinya diatur-atur.”
“Ada yang lain?”
“Ia harus seksi setengah mati.”
Tawaku meledak lagi.
“Tapi kau harus melakukan sesuatu untuk mengatasi
hobimu berselingkuh, Danny.”
“Bermonogami…”
“Bukan, hampir tak ada seorang pun yang bisa
melakukannya sepanjang hidup. Kau jelas tidak bisa. Tapi
kau tidak boleh lagi membuat seseorang merasa bahwa
dirinya benar-benar idiot. Bahwa kau meniduri setengah
perempuan di Amsterdam dan Breda, dan hanya ia yang
tidak mengetahui hal itu. Pastikan tidak seorang pun tahu.”
“Seperti kau dengan Pim…”
“Tepat. Rahasiakan perselingkuhanmu. Menurutku
belum tentu semua orang mampu secara emosional melihat
perselingkuhan sebagai sesuatu yang tidak ada hubungannya
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan cinta. Andai aku dapat melakukannya—”


Aku menundukkan pandangan dengan perasaan bersalah.
Aku bimbang selama sesaat, tetapi kemudian memutuskan
untuk mengungkapkan pertanyaan yang selama ini mem-
bebaniku. Aku menanyakannya secara tidak langsung.
“Apakah masih ada hal yang kau ingin supaya aku

344
CARMEN

memberitahumu? Hal-hal yang tidak berani kau tanyakan?”


Ia tersenyum lagi. “Tidak. Kau tidak perlu merasa
bersalah. Aku tahu semua yang ingin kuketahui.”
“Benarkah?”
“Ya. Aku baik-baik saja.”
Aku merasakan diriku mengecil jika dibandingkan
perempuan ini. Aku tersenyum dan pergi ke toilet,
mengosongkan ember kotoran dan ember muntah, lalu
mencuci keduanya.
Saat aku kembali, Carmen mengamatiku meletakkan
ember kotoran itu kembali ke kursi-buang-air. “Kau sudah
melakukan banyak hal bagiku sejak aku sakit,” ia berkata,
merasa tersentuh, “dan sekarang di atas segalanya kau harus
mengurus kencing dan tahiku yang mengerikan …”
Aku memikirkan apa yang telah dikatakan Nora.
Sekarang Anda memiliki kesempatan untuk mengembalikan
kepada istri Anda segala hal yang Anda terima darinya selama
bertahun-tahun itu.
Aku ragu-ragu selama sekejap. “Kemarin aku menemui
seseorang yang tidak berani kukatakan kepadamu…”
“Benarkah? Beri tahu aku?” tanya Carmen penasaran.
Tersipu-sipu, aku memberitahunya soal Nora dan apa
yang telah dilakukannya untukku.
Carmen mendengarkan dengan penuh perhatian saat aku
membacakan keras-keras surat yang kudapat dari Nora.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku melihatnya merasa tersentuh.


“Menurutku baik sekali kau mau pergi ke sana, dan aku
sangat bahagia melihat hal itu berdampak baik untukmu.
Kupikir semua itu manis sekali …”
“Benarkah? Namun apakah kau percaya hal-hal seperti
itu?” tanyaku terkejut.

345
RAY KLUUN

“Aku tidak tahu apa yang kupercayai, tetapi apa yang


Nora katakan itu bukan omong kosong. Secara bertahap
aku semakin merasa bahwa semua ini bukanlah tanpa
makna. Aku merasa diriku sudah siap.”
“Apakah kau percaya bahwa entah bagaimana kita akan
bersama saat kau tidak ada di sini lagi?”
“Ya,” katanya dengan tegas. “Aku akan di sana untukmu
dan untuk Luna.”
“Aku juga memercayai hal itu,” aku berkata, “namun
terkadang kau mendengar bahwa orang-orang memercayai
Tuhan atau kehidupan setelah kematian hanya karena
mereka saat ini tidak memiliki kehidupan. Sebagai bentuk
perlindungan diri…”
“Tidak,” katanya dengan mantap, “ini melebihi hal itu.
Ini lebih kuat. Aku hanya merasa aku akan berada di sana.
Rasanya seperti kau mencintai seseorang. Kau tahu begitu
saja. Seperti yang kuketahui bahwa tahun lalu di Club Med
adalah omong kosong, saat kau pikir kau tidak mencintaiku
lagi. Rasanya seakan-akan aku selalu mencintaimu, bahkan
sebelum aku berjumpa denganmu …” Pada titik ini aku
sudah berbaring di sampingnya di tempat tidur.
“Meskipun aku egois?”
“Kau selalu memastikan bahwa dirimu senang,” ia
tertawa, “dan benar juga, hal itu tidak selalu menyenangkan
bagiku. Kau ingat tidak dua tahun lalu saat kau menyeretku
di sepanjang Vondelpark di Koninginnedag?” tanyanya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Aku melakukannya untuk diriku sendiri, pertama dan


paling utama,” aku tersenyum menyeringai.
“Itu bukan masalah. Itu adalah simbolis. Aku sering
memikirkan momen tersebut saat aku benar-benar lelah dan
tidak dapat melihat apa tujuan dari segalanya.”
“Dan jika kau telah mengetahui sebelumnya seperti apa

346
CARMEN

diriku dengan perempuan,” aku bertanya. “Apakah kau


masih mau menikahiku?”
Carmen menatapku, menyunggingkan senyuman yang
sangat kukenali, dengan bibir atas yang agak terangkat ke
satu sisi.
“Ya. Tentu saja.”
Kami berpegangan tangan erat-erat, dengan penuh hasrat,
tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Kami berbaring
seperti itu selama beberapa menit. Aku melihatnya
menutupkan mata. Tak lama kemudian Carmen tertidur.
Aku pergi ke lantai bawah, tempat Maud, Frank, dan
ibu Carmen sedang menyesap rosé. Aku berseri-seri,
menyunggingkan senyum lebar.
“Kau kelihatan bahagia,” kata Maud.
“Ya,” kataku cerah. “Rasanya fantastis.”

Hai, Dewi—aku lelah, aku emosional,


namun aku merasa berharga. Dan menjadi
Florence Nightingale. Baru saja
memberitahu Carmen soal Nora. Ia
senang. Aku juga. X.
www.facebook.com/indonesiapustaka

347
RAY KLUUN

The two of us here together,


This might be the moment …
Tröckener Kecks, dari Nu of nooit
(Eén op één miljoen, 1987)

Enam

Di pagi hari Luna berbaring di sampingku di tempat tidur.


Carmen berada di sisi lain, nyenyak. Aku berbisik kepada
Luna bahwa akan sangat menyenangkan kalau pergi ke
kamar tempat Frank dan Maud tidur. Ia melompat-lompat,
antusias dengan liar.
“Sssssssst!” aku membisikkan peringatan. “Mama masih
harus tidur!”
“Oh, yeah,” ia berkata dengan pelan, dengan tangan
menutupi mulutnya.
Aku pergi ke kamar yang ditempati Frank dan Maud.
Frank masih tidur. Maud membaca sambil rebahan, me-
ngenakan kaus panjang. Kelihatannya ia tidak mengalami
malam yang liar. Sayang sekali. Carmen akan senang. Maud
melambai ke arah Luna, yang melompat-lompat kegirangan
di atas badan Maud.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku pergi lagi ke lantai bawah, dan merayap ke tempat


tidur ke samping Carmen. Ia masih tidur. Aku menatapnya
penuh kasih sayang, dengan lembut meraih tangannya dan
memegangnya erat-erat, sepelan mungkin. Desahan napas-
nya kedengaran berat. Pelan-pelan, dengan jeda yang tidak
teratur. Apakah itu imajinasiku saja, ataukah memang benar

348
CARMEN

jedanya terasa semakin lama? Jika ia meninggal sekarang,


di dalam tidurnya, itu akan sangat menyenangkan. Carmen
kelihatan damai. Mendadak aku menyadari bahwa aku tidak
memiliki pengalaman dengan kematian. Apa yang terjadi?
Kapankah tubuhnya memutuskan untuk berhenti bernapas,
atau menghentikan detakan jantungnya? Apakah hal itu
terjadi dengan sangat lambat? Apakah kau melihat tanda-
tandanya? Apakah ada hal lain yang terjadi sebelumnya?
Dan apakah kau harus menelepon dokternya langsung, atau
hanya membiarkan kematian itu terjadi dengan sendirinya?
Aku tidak punya gagasan bagaimana etika kematian, atau
lebih tepatnya membiarkan seseorang meninggal. Aku hanya
harus memercayai perasaanku, dan perasaanku mengatakan
bahwa Carmen terlalu damai saat ini sehingga bisa saja ia
meninggal sejauh yang kukhawatirkan.
Desahan napasnya yang pelan berlangsung selama
sepuluh menit. Dan kemudian Carmen mulai bernapas
secara normal lagi. Seperti yang dilakukannya saat ia masih
hidup. Itu juga oke.
Ayo jalani satu hari yang menyenangkan lagi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

349
RAY KLUUN

I have become comfortably numb …


Pink Floyd, dari Comfortably Numb (The Wall, 1979)

Tujuh

Saat Carmen bangun aku bertanya apakah ia ingin makan


sesuatu.
“Ya. Setengah pil morfin.”
“Apa kau merasa sakit lagi?”
Ia mengangguk. “Sangat sakit. Punggungku.”
“Kalau begitu akan memberimu satu pil utuh.”
“Apakah kita boleh melakukannya?”
“Bagaimana lagi? Kau takut pil itu akan membunuhmu?”
Ia tertawa terbahak-bahak. “Semoga saja…”
Sekonyong-konyong wajahnya menegang. “Bukankah
sekarang saat yang tepat untuk memberitahu Luna bahwa
sebentar lagi aku akan tiada?”
“Aku sudah sedikit mempersiapkannya untuk itu tadi
pagi.”
“Dan apa yang dikatakannya?”
“Bahwa”—glek—“ia bilang ia tidak apa-apa asalkan itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

artinya kau tidak menderita lagi dan kau tidak perlu sakit.”
Bersama-sama kami menangisi cahaya mentari kami.
“Merasa lumayan baikan?” aku bertanya setelah beberapa
saat. Carmen mengangguk. “Mau kubacakan e-mail-e-
mailmu?” Ia mengangguk lagi. Seperti seorang bintang
sungguhan, ia menjawab surat-surat penggemarnya. Seperti

350
CARMEN

seorang sekretaris sungguhan, aku mengetikkan jawaban


yang didiktekan Carmen. Dalam semua balasannya ia
menjawab betapa bahagianya dirinya sekarang. “Kau juga
telah menulis penggalan-penggalan indah dalam diarimu
untuk Luna,” aku berkata. “Aku ingin membacakannya pada
saat pelayanan pengurusan jenazah di gereja.”
“Oh? Yang mana?”
Aku membawa diari Carmen yang dipersembahkan bagi
Luna, membuka halaman dengan pesan kuning Post-it yang
kutempelkan, dan mulai membaca.

Mama berharap Mama akan meninggalkan sesuatu di


belakang bersama orang-orang, dan mereka akan
memberitahukannya kepadamu nanti. Malahan Mama
pikir, dan bukan karena Mama sekarang sedang sakit,
bahwa jika kamu menginginkan sesuatu dalam hidup-
mu kamu harus mengejar dan melakukannya. Kamu
harus menikmati setiap hari, karena kamu tidak tahu
apa yang akan terjadi nanti. Sekarang hal itu mungkin
kedengaran sebagai klise mengerikan, namun itu
adalah satu-satunya cara yang bisa Mama pikirkan
untuk menggambarkannya.
Dulu saat mama masih menjadi au pair di London,
kami biasanya bersenang-senang di banyak pub dan
restoran. Mama ingat pada suatu titik Mama memiliki
satu pasang sepatu dengan lubang di solnya. Mama
tidak mempunyai uang untuk memperbaikinya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Setidaknya, jika ada pilihan antara sol baru di


sepatuku atau malam yang menyenangkan bersama
pasangan Mama, Mama akan memilih hal yang
terakhir. Mama berpikir di dalam hati: Mama akan
merasa lebih bahagia jika Mama berhura-hura dan
melakukan sesuatu yang menyenangkan bersama
orang lain daripada jika Mama tetap di rumah

351
RAY KLUUN

sendirian dengan sol sepatu baru.


Setelah itu Mama berkelana keliling dunia. Mama
mendengar banyak orang mengatakan bahwa mereka
berharap melakukan hal itu, namun tidak pernah
bergerak satu langkah pun melakukannya. Luna,
seringkali ada ratusan alasan untuk tidak melakukan
sesuatu, namun satu alasan saja untuk melakukannya
sudah cukup. Sangat menyedihkan bila kamu menye-
sali sesuatu yang belum pernah kamu lakukan, karena
pada akhirnya kamu hanya dapat belajar dari semua
hal yang kamu lakukan.

“Pesannya dalam sekali, jika aku mengatakannya sendiri,”


Carmen berkata, wajahnya merona.
Setelah itu aku menyelesaikan koper penuh suvenir
tentang Carmen yang kubuat untuk Luna. Aku membacakan
beberapa surat dari teman-teman, keluarga, dan rekan
sejawat yang menulis kepada putri kami.
Ramon menulis bahwa ia hanya pernah berjumpa dengan
Carmen satu atau dua kali, pada pesta-pesat di agen ketika
Papa dan dirinya bekerja pada satu waktu, jadi ia tidak
dapat mengungkapkan banyak hal mengenai karakter
Mama, namun ia memiliki kenangan kuat mengenai
Carmen. “Aku masih ingat bagaimana Papa-mu bangga
terhadap dirinya, saat ia memperkenalkan aku kepada
Mama-mu. Dan betapa aku cemburu kepada dirinya. Luna,
aku tidak akan berputar-putar, aku akan mengatakan tepat
www.facebook.com/indonesiapustaka

apa yang kurasakan: Mama-mu adalah perempuan yang


menawan. Aku akan memberitahu Papa-mu bahwa kamu
tidak akan membaca ini sampai kamu cukup dewasa. Mama-
mu memiliki sus—ehm, payudara yang membuat kepala
orang menoleh untuk melihatnya. Begitulah. Setidaknya
kau mengetahui hal itu. X, Ramon, amigo-nya Papa.”

352
CARMEN

Carmen tertawa terbahak-bahak. “Betapa baiknya ia mau


menuliskan hal itu…”
Aku membacakan surat-surat yang datang kemarin dan
hari ini. Saat aku membacakannya keras-keras, sekali-sekali
Carmen tertidur. Kadang-kadang ia sontak tersadar lagi.
“Danny, apakah kau sudah memperbesar foto pernikahan
kita?”
“Apa?”
“Foto pernikahan kita. Sangat besar. Di atas rak
perapian.”
“Ah, belum…”
“Aku khawatir begitu.” Carmen tersenyum. “Morfin ini
hebat.”
Hening.
“Apa yang kau katakan, Danny?”
“Tidak ada, Sayang—benar, tidak ada.”
Ia menghela napas. “Aku lelah—aku mau tidur dulu
sebentar, ya. Apakah kalian semua akan makan di sini lagi?”

Morfin itu masih membuat Carmen


berhalusinasi kadang-kadang, namun ia
masih menikmati segalanya. Aku bangga
kepadanya dan berbahagia untuknya. X.
www.facebook.com/indonesiapustaka

353
RAY KLUUN

Then we’ll drink for seven days,


then we’ll drink, such a thirst,
there’s enough for everyone,
so let’s drink together,
tap the barrel,
then we’ll drink together, such a thirst
then we’ll eat, for seven days, then we’ll eat …
Bots, dari Zeven dagen lang (Voor God en Vaderland, 1976)

Delapan

Para pemilik toko di Cornelis Schuytstraat menunjukkan


kesenangan atas pemberangkatan akhir Carmen. Rasanya
seperti pasukan layanan jasa boga. Van Nugteren, si penjual
sayur mewah, menyuplai pasokan besar tomat kering,
anggur, dan salad sayuran. Nan, pasar swalayan makanan,
nyaris tidak dapat memenuhi pesanan harian susu, pâté
merica, daging sapi panggang, dan steik saus tartar (dibeli
oleh si au pair, dengan memprotes), keju farmhouse, salad
telur, dan roti gulung untuk sarapan dan makan siang di
rumah Dan & Carmen & Luna & Maud & Frank & ibu
Carmen & Co. Apotek di Cornelis Schuytstraat berpikir
kami akan membuka apotek sendiri, atau tim bersepeda
www.facebook.com/indonesiapustaka

kami sendiri. Setiap hari seseorang datang untuk mengambil


resep baru bagi Ms. Carmen van Diepen. Mereka harus
memisahkan prednison, kytril, parasetamol dengan kodeina,
temazepam, primperan, minuman bervitamin, morfin, dan
batang kapas beraroma lemon, untuk membuat rasa muntah
di mulut Carmen agak lebih tertahankan. Pasteuning, toko

354
CARMEN

minuman keras berlisensi, bertanya sambil tertawa apakah


kami sedang menyelenggarakan pesta, saat aku menelepon
untuk memesan dua kotak rosé lagi. Kami menghabiskan
setidaknya empat botol pada malam hari. Dan itu belum
termasuk sore hari. Setiap kali aku turun ke lantai bawah,
ada orang-orang baru yang duduk di taman, ruang duduk,
dan dapur. Mereka semua menginginkan kudapan.*
Penantian suatu akhir hidup seperti itu jelas sangat bersifat
sosial, namun membutuhkan biaya yang cukup besar.
Sekarang aku mengerti dari mana frase “mahal setengah
mati“ berasal.
“Uang tidak membuatmu bahagia, namun kau bisa
bersenang-senang sesuka hati dengan uang yang kau miliki,”
kata Carmen. Ia menikmati fakta bahwa kami membuka
rumah kami. Setiap orang ingin melihat Carmen lagi sesering
mungkin. Tak ada yang mau melewatkan apa pun. Kelihatan-
nya agak mirip dengan acara seperti Pinkpop, Dance Valley,
Parade, Karnaval, atau Breda Jazz Festival. Memabukkan.
Kau hampir berharap acara penantian kematian seperti ini
berulang lagi setiap tahun.
Panggung penantian kematian ini sudah berlangsung
selama satu minggu sekarang, namun Carmen merasa luar
biasa. Malah lebih baik daripada yang dirasakannya pada
awal minggu. Morfin membuatnya melewati hari tanpa rasa
sakit. “Dan kau dapat melihat banyak hal, dengan semua
halusinasi itu,” ia memaparkan. Bahkan muntah pun tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengganggunya lagi. Ia terbiasa dengan hal itu sama seperti


membersitkan hidungnya.
“Jadi haruskah aku menunda racun dari apoteker selama
beberapa hari?” sang dokter bertanya.
“Ya. Sebut saja sebagai tambahan waktu,” aku berkata.

* Dikutip dari Wim Sonneveld, De Jongens (Conferences, 1970).

355
RAY KLUUN

“Atau waktu ekstra dengan kematian mendadak!”


Carmen menambahkan sambil tertawa.
Bakker menatap kami dengan pandangan agak ganjil,
namun ia sampai pada kesimpulan bahwa eutanasia dalam
kolam keriangan ini* mungkin sedikit menyenangkan.
Carmen bertanya apakah aku ingin menyiapkan daftar
pengunjung untuk beberapa hari ke depan. Terlepas dari
beberapa kunjungan berulang dari orangtua dan sahabat-
sahabat perempuannya, Carmen benar-benar ingin bertemu
dengan rekan-rekan sejawatnya di Advertising Brokers,
beberapa teman dari masa SMP, dan perempuan-perempuan
dari Mouflon. Aku menelepon setiap orang dan menerapkan
jadwal yang sangat ketat. Saat gadis-gadis dari Advertising
Brokers di lantai atas, aku mendengar ledakan tawa sekali-
sekali. Setelah satu setengah jam aku pergi ke lantai atas
untuk memberitahu mereka bahwa acara temu-sapa itu
sudah berakhir. Sang bintang harus beristirahat. Satu jam
kemudian perempuan-perempuan dari Mouflon berdiri di
pintu depan kami (mereka yang masih hidup), dan sore ini
pengurus pemakaman juga ikut mampir.
www.facebook.com/indonesiapustaka

* Dikutip dari Henk Elsink, Harm met de harp (1961).

356
CARMEN

I never say die and I never take myself too seriously …


Fun Lovin’ Criminals, dari The Fun Lovin’ Criminals
(Come Find Yourself, 1996)

Sembilan

Si pengurus pemakaman duduk di samping ranjang Carmen.


Istriku ingin mendiskusikan “pesta perpisahan”-nya, jadi
aku menemukan seorang pengurus pemakaman di Yellow
Pages dan memintanya untuk datang.
Kami menunjukkan rancangan dan teks untuk undangan-
nya.
“Coba lihat itu,” lelaki itu berkata dengan takjub, “Anda
sudah menyelesaikan rancangan untuk kartu-kartu
berduka.”
“Undangan,” Carmen mengoreksinya.
“Ehm—ya, benar. Undangan-undangan.”
Kami memberitahu lelaki itu bahwa kami ingin Carmen
dibaringkan di rumah. Dan kami ingin mengadakan misa di
Obrechtkerk, yang ada tepat di tikungan di dekat kami.
Jadi selama Luna dan aku tinggal di sini, kami akan selalu
teringat kepada Carmen oleh ”bel gereja Mama” setiap
www.facebook.com/indonesiapustaka

setengah jam. Kami menekankan bahwa kami sendiri, ber-


sama orangtua dan teman-teman, yang akan menyelenggara-
kan misa tersebut. Kami menunjukkan CD Carmen kepada
lelaki itu, yang sudah siap selama berbulan-bulan, dan
memberitahukan lagu-lagu mana yang ingin kami dengar
di gereja. Ia berkata ia akan mencari tahu apakah ada

357
RAY KLUUN

peralatan suara di gereja tersebut. Aku berkata bahwa hal


itu bukan masalah, kami akan menangani segalanya.
Kami katakan kepadanya bahwa Carmen ingin dikubur-
kan di Zorgvlied, dan kami ingin pergi ke De Miranda-
paviljoen untuk minum-minum setelahnya.
“Dan makan makanan ringan,” kata Carmen. “Brownies,
scone, wafel, bagel dengan salmon dan keju krim, serta es
krim Häagen-Dazs. Kacang Macadamia Brittle.”
“Kau tidak perlu menuliskan semuanya,” aku berkata
saat kulihat ia mengeluarkan pena. “Dua teman kami sudah
menyusun daftar menunya.”
Lelaki itu pun senang melihat kami mengurus segalanya.
“Mungkin aku dapat membantu Anda memilihkan peti
jenazahnya, atau jangan-jangan Anda juga sudah memilih-
nya?” ia bertanya dengan geli.
“Ayo kita lihat apa yang kau miliki,” kata Carmen.
Kami memilih peti jenazah sederhana berwarna putih.
“Gaun Replay biruku serasi dengan peti itu,” kata Carmen.
Ia menatapku. “Setidaknya jika kau berpikir kalau aku akan
terlihat cantik.”
Aku berkata kupikir itu akan sangat cocok dengannya.
Aku tidak dapat memaksa diriku mengucapkan kata
”cantik”.
“Dan mobil untuk pergi ke gereja?” tanya si pengurus
pemakaman.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Putih. Jangan terlalu mencolok.”


“Baiklah.”
“Sekarang—aku benar-benar tidak dapat berkata ‘sampai
bertemu kembali’, bukan?” tanya Carmen.
Lelaki itu tertawa malu, lalu pergi.
“Akan sangat lucu kalau ia menjawab ‘semoga ber-

358
CARMEN

untung’,” ujar Carmen, mengamati begitu si pengurus


pemakaman ke luar ruangan.

***

Malamnya kami makan di sekitar ranjang Carmen lagi.


Panci berisi makanan ternak hijau yang disajikan si au pair
untuk kami selama seminggu sudah mulai kehilangan daya
tariknya. Malam ini aku berkata kepada anggota kawanan
di rumahku bahwa aku tega membunuh untuk sebuah risol,
kentang goreng dengan selai kacang dan mayones, atau
kotak besar makanan China. Sebagian besar orang kelihatan-
nya sepakat. Jadi aku memberikan cuti-malam kepada si au
pair.
Maud dan Frank pergi ke rumah makan oriental lokal
dan kembali dengan membawa banyak makanan lezat yang
lengket. Sudah berhari-hari berlalu sejak kami tidak me-
makan apa pun selain yang warnanya hijau atau kuning. Babi
panggang dan ku lu yuk disantap dengan senang di kamar
tidur. Acara bersulang atas pesta tersebut, demikian Carmen
menyebutnya, dilakukan dengan dua karton yoghurt.
Dalam beberapa menit ia merasa mual. Carmen bersusah
payah agar tidak muntah, namun gagal. Ia mencolokkan
jari telunjuk ke tenggorokannya dan muntah, namun tak
ada yang keluar.
“Demi Tuhan, kenapa tidak ada yang keluar?” ia
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengumpat.
Tiba-tiba saja semua makanan keluar, termasuk sedikit
sarapan pagi Fruit ‘n Fibre. Seperti yang ada di film kartun.
Saat Carmen muntah, aku mencium puncak kepalanya. Aku
menyerahkan tisu kepadanya. Semua orang terdiam. Setelah
satu aliran muntah terakhir suaranya terdengar dari dalam

359
RAY KLUUN

ember: “Ya Tuhan, rasanya seperti di dalam kubur di sini!


Apakah ada seseorang yang mati atau sebagainya?”
Hening selama sesaat. Dan kemudian semua orang
tertawa terbahak-bahak.
www.facebook.com/indonesiapustaka

360
CARMEN

Though nothing will keep us together,


we could steal time, just for one day,
I, I will be king, and you, you will be queen,
we can be heroes, just for one day …
David Bowie, dari Heroes (Heroes, 1977)

Sepuluh

“Lalu aku akan memakai jaket Diesel baru itu di atas


gaunku,” kata Carmen, saat ia terbangun keesokan paginya.
“Tapi aku tidak begitu yakin sepatu mana yang akan
kukenakan. Mungkin sepatu Puma-ku.”
Aku tidak punya gagasan sepatu mana yang dimaksud-
kannya. Selama beberapa bulan belakangan ini ia pulang ke
rumah setiap minggu dengan semua jenis sepatu, bot, dan
pakaian baru.
“Bagaimana denganmu? Apakah kau akan membeli
sesuatu yang baru?”
“Yeah. Tapi aku belum yakin. Baru-baru ini aku melihat
berbagai macam setelan kuning pasir di toko, aku dapat
memakainya untuk ke kantor juga. Atau setelan krem
mengilat buatan Joop yang kulihat di P.C. Hooftstraat.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Namun aku hanya dapat menggunakannya ke acara pesta.”


“Beli yang itu,” kata Carmen dengan antusias. “Aku lebih
memilih kau mengasosiasikan diriku dengan pesta-pesta
daripada pergi bekerja, nantinya.”
Aku tertawa, merasa tersentuh, lalu memeluknya. Ia bau.
Carmen belum mandi selama seminggu.

361
RAY KLUUN

“Aku akan memanjakanmu. Kau akan mandi.”


“Danny, tidak, itu tidak akan berpengaruh…”
“Percaya saja kepadaku,” aku berkata dan pergi ke kamar
mandi. Aku mengisi bak dan menuangkan minyak mandi
kesukaannya. Aku mengambil handuk paling lembut yang
bisa kutemukan di lemari dan menyiapkan dua handuk
wajah, sepasang pakaian dalam, dan piama bersih. Agar
pantat tipisnya tidak terasa sakit, aku meletakkan tiga
handuk yang dilipat dua di dasar bak. Setelah itu aku
kembali lagi ke kamar tidur.
“Sekarang angkat bokongmu sebentar.” Aku melepaskan
celana piamanya dan merasa kaget. Tubuh Carmen kelihatan
semakin kurus selama beberapa hari terakhir. Bokongnya
rata, dan V kecil di atas celah pantatnya, yang selalu
kuanggap seksi, sudah tidak ada.
Aku melepaskan jaket piamanya dan tersentak mundur.
Kau dapat menghitung tulang rusuknya dengan mata
telanjangmu. Payudaranya yang tersisa berada dalam bra
cup D yang kosong. Carmen menggigil kedinginan. Cepat-
cepat aku menyampirkan gaun rumah di bahunya.
Kemudian aku menggendongnya ke kursi dorong dan
membawanya ke kamar mandi. Aku meletakkan kursi
dorong itu secara paralel dengan bak. Carmen ketakutan.
“Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh
terbenam.”
Aku melepaskan celana dungaree dan kaos kakiku,
www.facebook.com/indonesiapustaka

meletakkan satu kaki di dalam bak dan kaki yang lain di


sebelahnya. Saat aku memastikan tubuhku stabil, aku
mengangkat Carmen dan mengatakan bahwa ia hanya perlu
meletakkan satu kaki ke dalam bak, dan tidak perlu
bertumpu dengannya. Kemudian satu kaki lagi. Aku
menekuk lutut dan meminta Carmen untuk melakukannya

362
CARMEN

juga. Beberapa saat kemudian ia sudah berbaring di tengah-


tengah air hangat. Matanya dipenuhi air mata bahagia. Aku
mencelupkan handuk wajah di air hangat, menggosoknya
dengan sabun dan mulai membasuh Carmen.
“Oooohh—rasanya menakjubkan,” ia berkata, matanya
terpejam. Sangat lelah, hati luar biasa senang. Aku
membiarkan handuk wajah itu menggelincir di atas tubuh
kurusnya. Dari kaki aku bergerak ke tungkainya. Lewat
selangkangannya menuju ke perutnya. Aku mencuci satu
payudaranya yang keriput dan kemudian, menarik napas
dalam-dalam, bergerak ke payudara yang sebelah kanan.
Lalu, untuk pertama kalinya, aku menyentuh tempat yang
dulunya terdapat salah satu payudaranya. Handuk wajah
melewatinya seolah-olah itu adalah tempat paling normal
di dunia. Carmen membuka mata dan berkata dengan
lembut kepadaku, “Kemarilah…”
Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya. Ia mencium
bibirku.
“Aku mencintaimu,” bisiknya.
Setelah selesai memandikannya, aku mengeringkan tubuh
Carmen, melakukan hal yang sama berkebalikan. Di kamar
tidur, aku memakaikannya piama bersih. Dalam waktu dua
menit ia tertidur.
Di toilet aku mengetikkan SMS.

Aku benar-benar lelah, Rose. Aku senang


www.facebook.com/indonesiapustaka

sekali bila dapat berbicara denganmu


segera. X. ?

Ia langsung menelepon. Aku menceritakan kepadanya


apa yang baru saja kulakukan, dan menangis. Rose meng-
hiburku dan mengatakan bahwa minggu-minggu ini, setelah

363
RAY KLUUN

kejadian itu, akan terlihat seperti sebuah berkah bagi


kehidupanku. Dan bahwa Frank meneleponnya sore ini dan
memberikan laporan mendetail mengenai apa yang terjadi
di sini. Rose bilang ia bangga kepadaku.
Saat aku mengakhiri percakapan, aku pergi ke kamar
tidur dan mengecup Carmen-ku yang tertidur dengan
lembut di puncak kepalanya. Dengan senyum penuh ke-
bahagiaan, aku pun jatuh tertidur.
www.facebook.com/indonesiapustaka

364
CARMEN

Baby, is there no chance,


I can take you for a last dance …
The Troggs, dari With a Girl Like You
(With a Girl Like You, 1968)

Sebelas

“Dan?”
“Ya?” kataku mengantuk. Aku menyadari lampunya
menyala. Aku melihat jamnya. Jam satu lima belas menit
dini hari. Semua orang di rumah ini tertidur.
“Aku lapar—”
“Apa yang kau inginkan?”
“Ehm—poffertjes.”
“Tunggu sebentar, ya.”
Beberapa saat kemudian kami duduk di tempat tidur sam-
bil makan panekuk kecil menggembung pada tengah malam.
“Kupikir aku akan memakai sepatu Gucci bukannya
sepatu Puma.”
“Hm?”