Anda di halaman 1dari 3

Tata Bangunan di Kota

Banda Aceh
Kamis, 27 November 2014 14:04
Oleh Surya Bermansyah
PASCATSUNAMI 2004, semua aspek kehidupan berlomba-lomba bangkit
bersama proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Tidak ketinggalan sisi
konstruksi bangunan dan perumahan di kota Banda Aceh, yang kala itu
termasuk wilayah dengan kerusakan paling parah akibat bencana tersebut.
Bangunan-bangunan yang design-nya tidak atau belum memenuhi syarat tetapi
telah dikerjakan dan dibangun, ternyata mendapat perhatian dari masyarakat
dan pemerintah kota. Bangunan-bangunan tersebut diperbaiki kekuatan
strukturnya, di antaranya diberikan pengaku tambahan (stiffener) struktur.
Beberapa bangunan juga diperbaiki kekuatan strukturnya dengan metode yang
berbeda-beda sesuai dengan tingkat kerusakannya.
Permasalahan yang timbul dalam masa pembangunan 10 tahun pascatsunami
ini adalah adanya lepas kontrol dari prinsip izin mendirikan bangunan (IMB).
Beberapa bangunan yang ber-IMB ternyata dibangun tidak sesuai izin yang
diberikan, seperti adanya perubahan ukuran struktur kolom dan balok yang
digunakan sudah tidak sesuai dengan gambar design baik itu disertai adanya
pengurangan jumlah tulangan atau tidak, ada juga perubahan-perubahan jumlah
dan fungsi kamar/ruang ataupun penambahan lantai bangunan diluar IMB,
sehingga kondisi bangunan gedung yang perlu dipertanyakan tingkat kelaikan
penggunaannya. Memang ada beberapa bangunan yang mendapat teguran.
Tapi pemilik biasanya terus membangun bila tidak adanya tindakan tegas dari
petugas penertiban pemkot. Permasalahan semakin pelik ketika bangunan telah
selesai dan digunakan oleh pemiliknya atau bahkan disewakan atau dijual
kepada pihak lain.
Seperti halnya pertokoan di Kota Banda Aceh yang ketika dibangun telah
mendapatkan izin yang sesuai. Pertokoan-pertokoan ini ada yang saat ini tetap
menjadi unit pertokoan, tapi tidak sedikit yang mengalami perombakan berubah
fungsi menjadi penginapan/hotel, rumah sakit, bahkan pergudangan.
Perombakan ini setidaknya melakukan perubahan pada posisi dan keberadaan
dinding bata yang pada perencanaannya dianggap berperan pada mendukung
kekuatan bangunan secara keseluruhan (misal satu blok toko). Kejadian seperti
ini bukan tidak mungkin terjadi juga pada bangunan-bangunan milik pemerintah
yang dibangun dengan APBN/APBA/APBK. Kondisi ini dapat dilihat dari
munculnya beberapa kegagalan konstruksi pada bangunan pemerintah ataupun
yang dibiayai pemerintah.
Destinasi wisata
Ada hal yang lebih menantang di masa mendatang. Kota Banda Aceh yang
menjadi destinasi utama wisata tsunami setiap tahunnya, sedang diuji
kepedulian dan perhatian akan bangunan-bangunan yang selamat
pascatsunami. Sebut saja Masjid Baiturrahim Uleelheue yang fenomenal itu,
serta beberapa bangunan hotel dan pertokoan di kawasan Peunayong,
Kampung Mulia, dan Kawasan Kantor Gubernur hingga Kecamatan Syiah Kuala.
Banyak bangunan pemerintah di bawah tanggung jawab Pemko Banda Aceh
ataupun Pemprov Aceh yang selamat pascagempa dan tsunami 2004 lalu, yang
hingga saat ini masih berdiri telah difungsikan kembali.
Dalam hal ini, sepertinya pemko dan/atau pemprov abai atas kewajibannya
melindungi keselamatan warga/masyarakat pengguna bangunan-bangunan
tersebut. Karena sampai saat ini mayoritas bangunan tersebut belum mendapat
perlakuan perawatan yang tepat pascagempa dan tsunami 2004. Kondisi ini
dapat dilihat pada kerusakan-kerusakan yang muncul pada kolom/tiang dan
dinding bangunan di lantai satu. Hampir semua bangunan mengalami keratakan
beton dan pecah-pecah pada beton kolom dan dinding batanya.
Oleh sebagian pengguna atau pemilik, kerusakan ini hanya ditambal dan dicat
kembali, tanpa memperbaiki kerusakan utama yang terjadi pada kolom atau
dinding tersebut, sehingga perbaikan yang telah dilakukan pada 2005/2006
kembali mengalami kerusakan pada tahun-tahun berikutnya. Perbaikan-
perbaikan yang sama akan terus berulang dan menjadi pekerjaan rutin
pengguna bangunan hingga tiba saatnya umur kolom tersebut sudah tidak dapat
diperbaiki lagi pada 5-10 tahun mendatang (20 tahun pascatsunami 2004).
Kerusakan-kerusakan tersebut terjadi akibat adanya keretakan struktur kolom
dan dinding saat menahan beban gempa dan gelombang tsunami 2004 lalu.
Selanjutnya air laut yang mengandung kadar garam tinggi saat itu merendam
sebagian kolom dan dinding. Perlahan-perlahan terjadi intrusi garam pada
keretakan struktur kolom dan dinding, selanjutnya garam-garam ini bereaksi
dengan udara menimbulkan korosi pada tulangan kolom dan pengapuran pada
dinding bata.
Kondisi ini ditandai dengan munculnya cairan kecoklatan pada retakan kolom
ataupun balok dan plat lantai bangunan. Pada dinding ditandai dengan
mengelupasnya plasteran yang disertai dengan butiran-butiran kapur yang
mengandung garam. Pada kondisi yang lebih parah, bata merah menjadi rapuh
dan luruh perlahan-lahan.
Perbaikan sederhana yang dilakukan pemilik/pengguna saat ini adalah dengan
menambal kerusakan-kerusakan tersebut dan mengecatnya. Seperti halnya
menutupi jerawat pada wajah dengan kosmetik yang tebal. Satu saat jerawat itu
tetap akan pecah dan merusak lapisan kosmetik di atasnya, demikianlah analogi
sederhananya.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Tata Bangunan di Kota Banda
Aceh, http://aceh.tribunnews.com/2014/11/27/tata-bangunan-di-kota-banda-aceh.

Editor: bakri

Anda mungkin juga menyukai