Anda di halaman 1dari 5

Bank Perkreditan Rakyat (BPR)Merupakan Lembaga Keuangan Bank Yang Menerima

Simpanan Hanya Dalam Bentuk Deposito Berjangka, Tabungan, Dan/Atau Bentuk


Lainnya Yang Dipersamakan Dan Menyalurkan Dana Sebagai Usaha BPR. Dengan
Lokasi Yang Pada Umumnya Dekat Dengan Tempat Masyarakat Yang Membutuhkan.

Status BPR Ini Diberikan Kepada Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank
Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit
Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK),
Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Dan/Atau
Lembaga-Lembaga Lainnya Yang Dipersamakan Berdasarkan UU Perbankan Nomor
7 Tahun 1992 Dengan Memenuhi Suatu Persyaratan Tatacara Yang Ditetapkan
Dengan Suatu Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Tersebut Diberlakukan Karena Mengingat Bahwa Lembaga-Lembaga


Tersebut Sudah Berkembang Dari Lingkungan Masyarakat Indonesia, Serta Masih
Diperlukan Oleh Masyarakat, Maka Keberadaan Lembaga Dimaksud Diakui. Oleh
Sebab Itu, UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 Memberikan Suatu Kejelasan Status
Lembaga-Lembaga Yang Dimaksud. Untuk Menjamin Kesatuan Dan Keseragaman
Dalam Suatu Pembinaan Dan Pengawasan, Maka Persyratan Dan Tatacara Pemberian
Status Lembaga-Lembaga Yang Dimaksud Ditetapkan Dengan Peraturan Pemerintah.

Sejarah bank perkreditan rakyat dimulai pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19
dengan dibentuknya Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani, dan Bank Dagang Desa, dengan
tujuan membantu para petani, pegawai, dan buruh untuk melepaskan diri dari jerat pelepas
uang (rentenir) yang memberikan kredit dengan bunga tinggi. Pasca kemerdekaan Indonesia,
didirikan beberapa jenis lembaga keuangan kecil dan lembaga keuangan di pedesaan seperti
Bank Pasar, Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan mulai awal 1970an, Lembaga Dana
Kredit Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah. Pada tahun 1988, Pemerintah
mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988) melalui Keputusan Presiden RI
No.38 yang menjadi momentum awal pendirian BPR-BPR baru. Kebijakan tersebut
memberikan kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha “Bank Perkreditan Rakyat”
atau BPR. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.7 tentang Perbankan tahun 1992 (UU
No.7/1992 tentang Perbankan), BPR diberikan landasan hukum yang jelas sebagai salah satu
jenis bank selain Bank Umum.
Sesuai UU No.7/1992 tentang Perbankan, Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dapat menyesuaikan kegiatan usahanya
sebagai bank. Selain itu, dinyatakan juga bahwa lembaga-lembaga keuangan kecil seperti
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK,
LPK, BKPD, dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu dapat diberikan
status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah (PP).
Selanjutnya PP No.71/1992 memberikan jangka waktu sampai dengan 31 Oktober
1997 bagi lembaga-lembaga keuangan tersebut untuk memenuhi persyaratan menjadi BPR.
Sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, tidak seluruh lembaga keuangan tersebut dapat
dikukuhkan sebagai BPR karena tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
BPR yang didirikan sesudah PAKTO 1988 maupun Lembaga Keuangan yang
dikukuhkan menjadi BPR sesuai dengan PP No.71/1992, tunduk pada ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang Perbankan dan peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank. Khusus Badan Kredit Desa (BKD),
meskipun lembaga tersebut sesuai UU No.7/1992 tentang Perbankan, diberikan status sebagai
BPR, namun karena organisasi dan manajemennya relatif sederhana, lingkup usahanya sangat
kecil, serta operasionalnya tidak setiap hari, maka pengaturan dan pengawasan terhadap BKD
pun tidak dapat disamakan dengan BPR.
Dengan mempertimbangkan karakteristik yang spesifik, jumlah dan sebarannya serta
secara historis sebelum PAKTO 1988 pengawasan BKD dibawah kewenangan BRI maka
pengawasan BKD dilakukan oleh BRI untuk dan atas nama Bank Indonesia.
2.1.3 Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat Di Indonesia
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu jenis bank yang dikenal
melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah. BPR merupakan lembaga
perbankan resmi yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan yang berfungsi tidak hanya
sekedar menyalurkan kredit dalam bentuk kredit modal kerja, investasi maupun konsumsi
tetapi juga melakukan penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka,
tabungan dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
Sebagaimana halnya dengan Bank Umum, masyarakat yang menyimpan dana di BPR
juga dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), selama penempatan yang dilakukan
tersebut memenuhi kriteria yang telah ditentukan LPS. Sebagai perbandingan, dari bulan
Oktober 2012 hingga Maret 2013, jika LPS menjamin simpanan dalam rupiah pada Bank
Umum dengan tingkat bunga 5,5% maka untuk BPR, LPS menjamin hingga tingkat bunga
8%. Hal ini membuat deposito berjangka yang ditawarkan BPR memiliki tingkat bunga yang
lebih menarik dibanding Bank Umum. Berikut ini beberapa fakta menarik seputar
perkembangan BPR konvensional (non-syariah) di Indonesia berdasarkan data yang diolah
dari statistik perbankan yang diterbitkan Bank Indonesia hingga Maret 2013.
Hingga akhir Maret 2013, kredit yang disalurkan oleh BPR konvensional mencapai
52,6 triliun rupiah sementara dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk tabungan
dan deposito (dana pihak ketiga) mencapai sekitar 45,5 triliun rupiah. Rata-rata kredit yang
diberikan selama 6 bulan (Oktober 2012 hingga Maret 2013) sekitar 50,5 triliun rupiah
sedangkan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun rata-rata mencapai 44,6 triliun rupiah.
Hal ini menunjukkan bahwa, dalam kurun waktu 6 bulan terakhir (hingga Maret 2013), BPR
konvensional berhasil dengan baik menjalankan fungsi utama perbankan yaitu fungsi
intermediasi.
Tercatat ada sembilan provinsi di mana BPR konvensional berhasil menyalurkan
kredit rata-rata di atas 1 triliun rupiah selama 6 bulan terakhir (hingga Maret 2013) yakni:
Jawa Tengah (Rp. 11,39 triliun), Jawa Barat (Rp. 7,97 triliun), Jawa Timur (Rp. 5,92 triliun),
Bali (Rp. 4,77 triliun), Lampung (Rp. 4,31 triliun), Kep. Riau (Rp. 2,51 triliun), D.I.
Yogyakarta (Rp. 2,41 triliun), DKI Jaya (Rp. 1,06 triliun) dan Sumatera Barat (Rp. 1,05
triliun). Total penyaluran kredit di sembilan provinsi tersebut mencapai 82% dari total 50,5
triliun rupiah. Hal yang sama dalam hal penghimpunan dana di kesembilan provinsi tersebut
melalui BPR konvensional hingga akhir Maret 2013 yang mencapai 38 triliun rupiah dari
total sebesar 45,5 triliun rupiah. Ini membuktikan bahwa perputaran uang dan perekonomian
yang diharapkan merata ke seluruh pelosok Indonesia masih terkonsentrasi di Jawa, Bali,
Sumatera, dan sekitarnya.
Dari total 1.653 BPR konvensional di Indonesia yang tercatat pada statistik Bank
Indonesia, sebanyak 1.277 BPR berada di kesembilan provinsi tersebut di atas. Untuk soal
kemampuan BPR dalam penghimpunan dana maka Lampung dan Kep. Riau sepertinya
menjadi jagonya. Dengan jumlah hanya 26 BPR pada akhir Maret 2013, Lampung berhasil
menghimpun dana sebesar Rp. 3,29 triliun sementara Kep. Riau yang tercatat memiliki 40
BPR berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 2,74 triliun. Bandingkan dengan Jawa Tengah
dengan 259 BPR yang menghimpun dana Rp 10,69 triliun atau Jawa Timur dengan 331 BPR
yang menghimpun dana sebesar Rp 4,98 triliun.
Dari segi jumlah debitur pada akhir Maret 2013, maka Jawa tengah (816.778
rekening), Jawa Barat (746.516 rekening) dan Jawa Timur (666.656
rekening) mengakumulasi 68,85% total debitur BPR konvensional di Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa penyerapan kredit sangat tinggi di ketiga provinsi tersebut.
Kep. Riau menunjukkan kondisi yang berbeda dari delapan provinsi lainnya yang
tersebut di atas karena hingga akhir Maret 2013, penghimpunan dana melebihi penyaluran
kredit. Dengan jumlah deposito sebanyak 13.401 rekening pada akhir Maret 2013, dana yang
berhasil dihimpun dari instrumen ini mencapai Rp 2,35 triliun. Bandingkan dengan Jawa
Tengah yang memiliki 141.598 rekening deposito (33,37% dari total rekening deposito BPR
konvensional secara nasional) yang hanya berhasil menghimpun Rp. 6,02 triliun.
Rata-rata suku bunga kredit dalam mata uang rupiah Bank Umum dalam 6 bulan yang
berakhir pada Maret 2013 untuk kredit modal kerja sebesar 11,54%, kredit investasi sebesar
11,27% dan kredit konsumsi sebesar 13,43%. Sedangkan pada BPR: kredit modal kerja
sebesar 30,91%, kredit investasi sebesar 26,76% dan kredit konsumsi sebesar 25,97%.
Pada bulan Desember 2012 lalu, Bank Indonesia menerbitkan peraturan yang
mengatur tentang pemberian kredit atau pembiayaan oleh Bank Umum dan bantuan teknis
dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah. Disebutkan secara bertahap
hingga tahun 2018, Bank Umum wajib memberikan kredit atau pembiayaan UMKM paling
rendah 20% dari total kredit atau pembiayaan. Pembiayaan tersebut dapat dilakukan secara
langsung kepada UMKM atau tidak langsung melalui kerjasama pola executing, channeling
atau secara sindikasi. Pembiayaan tidak langsung dapat dilakukan antara lain melalui BPR.
Menyimak statistik perbankan BPR konvensional hingga Maret 2013 dan
keberhasilan BPR dalam melakukan fungsi intermediasi, masih terbuka luas kesempatan bagi
Bank Umum untuk melakukan channeling melalui BPR. Keuntungan yang diperoleh oleh
Bank Umum melalui cara tersebut antara lain adalah dapat mengandalkan BPR dalam
infrastruktur serta pengalamannya menilai resiko kredit debitur UMKM, yang selama ini
mungkin belum didalami oleh Bank Umum. Dalam jangka panjang dengan kebijakan yang
ditempuh Bank Indonesia tersebut, diharapkan dapat menekan suku bunga kredit BPR
konvensional karena semakin meningkatnya supply dan kemudahan akses dana dari Bank
Umum melalui penyaluran kredit langsung atau tidak langsung kepada UMKM tersebut.

Fungsi BPR

Selain lembaga keuangan yang menjalankan layanan perbankan seperi deposito berjangka, tabungan, dan
penyaluan dana BPR. Di sisi lain BPR juga memiliki fungsi sebagai berikut.
1. Menghimpun dana masyarakat baik dalam deposito berjangka, tabungan, atau dalam bentuk lainnya.

2. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit investasi, kredit perdagangan, dan kredit

modal kerja sebagai dana usaha BPR.

3. Memberikan kredit.

4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dalam bentuk deposito berjangka

dan lain-lain.
5. Menyalurkan dana sesuai dengan peraturan undang-undang

Adapula beberapa kegiatan BPR yang tidak diperbolehkan

1. Tidak diizinkan melakukan kegiatan usaha diluar peraturan undang-undang.

2. Tidak diperbolehkan menghimpun uang dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro.

3. Tidak boleh mengikuti jasa lalu lintas pembayaran, kliring.

4. Larangan mengikuti perdagangan valuta mata uang asing.


5. Larangan mengikuti kegiatan usaha di bidang asuransi.

Secara umum, produk dan layanan yang dimiliki oleh BPR antara lain.

Tabungan

Menurut Undang-undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Tabungan adalah


simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan /atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu

Deposito

Deposito atau yang sering juga disebut sebagai deposito berjangka, merupakan produk bank
sejenis jasa tabungan yang biasa ditawarkan kepada masyarakat. Dana dalam deposito
dijamin oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan persyaratan
tertentu

Kredit

Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha
untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka
waktu yang ditentukan. UU No. 10 tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit adalah
“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Jika seseorang menggunakan jasa kredit, maka ia akan dikenakan bunga tagihan

Anda mungkin juga menyukai