RESUME
PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL
OLEH :
TELKOM UNIVERSITY
1
2
2
3
melalui riset, yaitu metode trial and error yang bersifat nomotetik, walaupun
sebenarnya teori ini pun dapan memperkering perkembangan ilmu sosial jika
nasihat Popper disalahkan interpretasikan sebagai nasihat praktis bagi para
akademisi dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Sebab jika kemajuan hypothetico-
deductive hanya demikian adanya maka 99% ilmu sosial tidak banyak berguna
(Dahrendorf, 2000: 1000). Hal itu dapat dipahami karena hukum yang objektif
dan berlaku universal perlu dipertanyakan atau didekonstruksi karena dalam
kajian ilmu sosial terikat dengan space and time.
4. Usaha Talcot Parsons pun begitu gigih dan ambisius karena ditujukan bagi
substansi teoretis dari ilmu sosial. Melalui berbagai analisi abstraknya, Parsons
berpendapat bahwa substansi ilmu sosial adalah satu, yaitu tindakan sosial
(Dahrendorf, 2000: 1000). Selain itu, inkarnasi dari tindakan sosial sekalipun
berasal dari model umum yang sama, yaitu system sosial. Sistem sosial memiliki
empat subsistem, yakni ekonomi, politik, budaya dan system integrative.
Dengan demikian, ekonomi, ilmu politik, kajian budaya, dan integrasi sosial
(sosiologi) merupakan displin yang berhubungan dan interdependen. Turunan dari
system sosial, yakni semua subsistem tersebut memerlukan analisis yang serupa.
Klaim Parsons hanya berdampak kecil pada perkembangan ilmu-ilmu sosial selain
sosiologi.
Pendapat ilmu tentang ilmu-ilmu sosial lainnya yang agak berbeda dikemukakan
oleh Immanuel Wallerstein, Professor sosiologi yang termuka dan Direktur Fernand
Braudel Pusat Studi Ekonomi, Sistem-Sistem Sejarah, dan Perdaban State
University of New York at Binghampton. Penulis buku Africa: The Politics (1971);
The Capitalist World Economy (1979); The Modern World System, 2 Volks (1980);
Historical Capitalism (1983); The Politics of the World Economy (1984), dan Open
the Sosial Science Report of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the
Sosial Science (1996). Begitu juga oleh Bung Hatta (Abdullah,2006: 9-26).
3
4
3. Kita sekarang tidak berada pada momen di mana struktur displin yang ada telah
dibongkar. Kita berada pada suatu titik di mana struktur-struktur yang sedang
bersaing mencoba memperjuangkan eksistensi mereka (Wallerstein dalam
Alexander Irwan, 1997: xxii-xxiii).
Dengan demikian, Wallerstein tidak memberikan usul tunggal untuk dianut sebagai
pendekatan nomotetik atau ideografik (ideosinkratik). Sebaliknya, ia menganjurkan
untuk semakin meningkatkan dialog antara kedua pendekatan tersebut. Sedangkan
ilmu-ilmu sosial, Wallerstein lebih menekankan pada suatu perilaku sosial yang
menekankan jauh melebihi kearifan secara turun-temurun dan merupakan hasil
deduksi dari padatnya pengalaman hidup manusia sepanjang zaman.
”Apa yang disebutnya sebagai ilmu sosial adalah salah satu pewaris yang jauh
melampaui kearifan itu. Dengan demikian, ilmu sosial adalah sebagai upaya untuk
mencari kebenaran-kebenaran yang yang jauh melampui kearifan yang telah ada
atau yang telah dideduksikan semacam itu. Ilmu sosial adalah usaha penjelajahan
dunia modern. Akarnya tertanam pada upaya yang mekar sejak zaman abad
keenambelas, serta merupakan bagian dan bidang konstruksi dunia modern.
Tujuannya untuk mengembangkan pengetahuan secular secara sistematis tentang
realitas yang hendak dibuktikan secara empiris” (Wallerstein, 1997:2).
Bagi Wallerstein yang terpenting adalah adanya persamaan dalam rumpun ilmu
sosial pada aspek akasiologis, yakni kearifan yang telah berlaku secara konsisten
sejak dahulu, untuk mengembangkan kepentingan pengentahuan manusia dan
dibuktikan secara empiris. Tidak peduli apakah itu bersifat nomotetis generalis,
maupun ideografis partikularistik, atau juga mungkin perpaduan di Antara keduanya,
namun sebaliknya ia lebih menganjurkan untuk semakin meningatkan dialog Antara
kedua pendekatan tersebut (Wallerstein 1997: 4). Pendapat serupa juga
dikemukakan jauh sebelumnya oleh Bung Hatta sebagai salah satu founding father
(Abdullah, 2006:6-26) bahwa ilmu sosial sebagaimana halnya dengan ilmu
pengetahan yang lain, adalah satu ragam di mana memiliki peran tiga wajah ilmu
sosial, sebagai critical discourse, sebagai academic enterprise, dan applied
science/knowledge.
Pertama, sebagai critical discourse (wacana kritis), artinya pada kajian ini
membahas tentang apa adanya yang keabsahannya tergantung pada kesetiaan
pada prasyarat system rasionalitas yang kritis dan pada konvensi akademis yang
berlaku. Keabsahan penelitian riset ditentukan oleh ketertarikan pada segala
keharusan akademis itu. Oleh karena itu, dalam wilayah ini percaturan teori dan
metode bisa terjadi begitu gencar, seperti halnya meneliti subject matter dengan
bebera[a pertanyaan mendasar dari apa, bagaimana dan mengapa.
4
5
Ketiga, sebagai applied science, artinya bahwa dalam ilmu sosial itu diperlukan
untuk mendapatkan atau mencapai hal-hal yang praktis dan berguna entah untuk
mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan contohnya kemakmuran, kemiskinan. Jadi,
dalam hal ini sebagai ilmu terapan tujuannya tidak sekedar mencapai kepuasan
intelektual/akademis, melainkan aspek fungsionalitasnya yang bersifat normative,
seperti yang dilukiskan kekhawatiran konflik sosial di Indonesia yang ditulis Thung
Ju Lan (2006), maupun bahaya pembalakan hutan di Kalimantan yang dituliskan
Mukhtar Sarman (2006).
Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang disebut ilmu-ilmu (ilmu
sosial), namun semuanya mengarah kepada kepahaman yang sama bahwa ilmu
sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan
bersama. Jelas tidak dapat dihindari bahwa dalam perkembangannya kemudian
berbagai spesialisasi disiplin ilmu-ilmu sosial tumbuh meningkat, seperti ilmu
komunikasi, studi gender, ilmu perbandingan agama, dan sebagainya (Sairin,
2006:33). Selanjutnya, untuk beberapa disiplin yang sering dikategorikan tumpang
tindih seperti sejarah dan antropologi budaya sebagai ilmu humaniora dan ilmu
sosial, akan dibahas pada pembahasan masing-masing disiplin ilmu, dan begitu
juga untuk ilmu lainnya.
Bagi Wallerstein, yang tidak kalah pentingnya dalam sejarah ilmu sosial adalah
setelah yunani dan romawi kuno di mana proswes institusionalisasi abad ke-19
terdapat di lima lokasi utama aktiviras ilmu sosial, yakni Inggris, Perancis, Jerman,
Italia, dan Amerika Serikat. Sampai hari ini, sebagian karya-karya besar dari abad
ke-19 masih tetap kita baca, ditulis di salah satu dari kelima lokasi itu.
Displin ilmu sosial pertama yang mencapai eksistensi institusional otonom adalah
ilmu sejarah, walaupun banyak sejarawan secara antusias menolak label ilmu
sosial, dan beberapa di antaranya masih bersikukuh seperti itu (Wallerstein, 1997:
22). Menurut Wallerstein berbagai perselisihan antara para sejarawan dengan
displin-displin ilmu sosial lainnya merupakan perselisihan internal ilmuwan sosial.
Namun, ilmu sejarah memang suatu praktik yang sudah berlangsung lama, dan
terminologi sejarah itu sudah amat kuno.
5
6
Mengingat studi tentang realitas social pada akhir abad ke-19 menjadi semakin
terpisah-pisah, dengan pembagian kerja yang jelas maka geografi tampak
anakronitis dengan kecenderungan-kecenderungan yang generalis, sintesis, dan
nonanalistis. Sebagai konsekuensinya, di kalangan ilmuwan social sepanjang
periode ini tetap berada dalam posisi yang relative “miskin”, dari segi jumlah sarjana
dan prestisenya (Wallerstein, 1997:39).
6
7
DAFTAR PUSTAKA