Anda di halaman 1dari 7

1

RESUME
PERKEMBANGAN ILMU SOSIAL

OLEH :

NAMA: YOGA PUTRA PRADANA


NIM: 1502140288
KELAS: H
FAKULTAS KOMUNIKASI DAN BISNIS
PRODI: ILMU KOMUNIKASI

TELKOM UNIVERSITY

1
2

Sejarah Perkembangan Ilmu Sosial

Ilmu-ilmu sosial mencakup sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, geografi sosial,


politik bahkan sejarah. Istilah ilmu sosial tidak begitu saja dapat diterima di tengah-
tengah kalangan akedemisi, terutama di Inggris. Sciences Sosiale dan
Sozialwissenschaften adalah istilah-istilah yang lebih mengena, meski keduannya juga
membuat “menderita” karena diinterpretasikan terlalu luas maupun terlalu sempit
(Dahrendorf, 2000: 1000). Ironisnya, ilmu sosial yang dimaksud sering hanya untuk
mendefinisikan sosiologi, atau hanya teori sosial sintetis. Kenyataan seperti itu kita
dapat kita lihat pada tahun 1982, pemerintah Inggris menentang nama Sosial Science
Research Council yang dibiayai negara, mereka mengusulkan kajian-kajian sosial, dan
akhirnya dewan itu disebut Economic and Sosial Research Council (Dahrendorf, 2000:
1000).
Berjalannya waktu dan peristiwa sejarah, tidak banyak membantu dalam
mengusahakan diterimanya konsep itu. Ilmu-ilmu sosial tumbuh dari filsafat moral,
sebagaimana ilmu-ilmu alam tumbuh dari filsafat alam. Di kalangan filsuf moral
Sktlandia, kajian ekonomi politik selalu diikuti oleh kajian isu–isu sosial yang lebih luas,
meski tidak disebut sebagai ilmu sosial. Unggulnya positivisme pada awal abad ke-19,
terutama di Prancis, mengambil alih filsafat moral.
Menurut Auguste Comte, positivisme menekankan sisi factual dan bukan spekulatif,
manfaat dan bukan kesia-siaan, kepastian bukan keragu-raguan, ketepatan bukan
kekaburan, positif bukan negatif maupun kritis. Maka sejak abad ke-19, positivisme
merupakan ilmu dalam pengertian materialism. Kemudian Conte menyebut science
Sosial, dari Charles Fourier (1808), untuk mendeskripsikan keunggulan displin sintetis
dari bangunan ilmu. Pada saat yang sama, sedikit pun ia tidak ragu bahwa metode ilmu
sosial (yang juga disebut sebagai fisika sosial) sama sekali tidak berbeda dengan dari
ilmu-ilmu alam.
Ternyata penggunaan metode ilmu sosial yang digagas oleh Conte tersebut
mengaburkan gambaran metodologis tentang ilmu-ilmu sosial.
1. Apa yang kemudian dilanjutkan dan dilakukan oleh Emile Durkheim (1895) serta
Vilfredo Pareto (1916), kedua mempelopori tradisi seperti ini. Hanya saja,
bedanya secata khusus jika Durkheim terkesan oleh perlunya mempelajari fakta-
fakta sosial sementara Pareto menstimulasi pemikiran metaforis dan teori-teori
spesifik.
2. Usaha lainnya untuk meyakinkan ilmu sosial dikemukakan oleh Wilhelm Dilthey
(1911) dan Max Weber (1921) dengan pendekatan yang berbeda melalui
Verstehen, pendekatan empati, dan pemahaman tentang apa yang kita kenal
sebagai perspektif hermeneutic atau fenomenologis.
3. Usaha serupa pernah dilakukan oleh Karl Popper dalam bukunya yang
monumental The Logic of Scientific Discovery. Popper (1959) menegaskan
bahwa ada satu logika kemajuan melalalui falsifikasi, kita mengajukan hipotesis
(teori), dan kemajuan terjadi melalui penolakan hipotesis yang telah diterima

2
3

melalui riset, yaitu metode trial and error yang bersifat nomotetik, walaupun
sebenarnya teori ini pun dapan memperkering perkembangan ilmu sosial jika
nasihat Popper disalahkan interpretasikan sebagai nasihat praktis bagi para
akademisi dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Sebab jika kemajuan hypothetico-
deductive hanya demikian adanya maka 99% ilmu sosial tidak banyak berguna
(Dahrendorf, 2000: 1000). Hal itu dapat dipahami karena hukum yang objektif
dan berlaku universal perlu dipertanyakan atau didekonstruksi karena dalam
kajian ilmu sosial terikat dengan space and time.
4. Usaha Talcot Parsons pun begitu gigih dan ambisius karena ditujukan bagi
substansi teoretis dari ilmu sosial. Melalui berbagai analisi abstraknya, Parsons
berpendapat bahwa substansi ilmu sosial adalah satu, yaitu tindakan sosial
(Dahrendorf, 2000: 1000). Selain itu, inkarnasi dari tindakan sosial sekalipun
berasal dari model umum yang sama, yaitu system sosial. Sistem sosial memiliki
empat subsistem, yakni ekonomi, politik, budaya dan system integrative.

Dengan demikian, ekonomi, ilmu politik, kajian budaya, dan integrasi sosial
(sosiologi) merupakan displin yang berhubungan dan interdependen. Turunan dari
system sosial, yakni semua subsistem tersebut memerlukan analisis yang serupa.
Klaim Parsons hanya berdampak kecil pada perkembangan ilmu-ilmu sosial selain
sosiologi.

Pendapat ilmu tentang ilmu-ilmu sosial lainnya yang agak berbeda dikemukakan
oleh Immanuel Wallerstein, Professor sosiologi yang termuka dan Direktur Fernand
Braudel Pusat Studi Ekonomi, Sistem-Sistem Sejarah, dan Perdaban State
University of New York at Binghampton. Penulis buku Africa: The Politics (1971);
The Capitalist World Economy (1979); The Modern World System, 2 Volks (1980);
Historical Capitalism (1983); The Politics of the World Economy (1984), dan Open
the Sosial Science Report of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the
Sosial Science (1996). Begitu juga oleh Bung Hatta (Abdullah,2006: 9-26).

Pandangannya tentang ilmu-ilmu sosial, tidak sepesimis Ralf Dahrendof, namun ia


pun tetap kritis terhadap pandangan-pandangan yang menyeret ilmu sosial ke
nomotetis maupun ideografis. Dengan demikian, pendekatannya membuat dia tidak
jatuh ke salah kutub eksterm dari tarik ulur tersebut. Hal itu dapat diketahui dari
beberapa pernyataannya yang dikemukakan sebagai berikut.

1. Meskipun distingsi epistemologis antara ideosinkrasi dan nomotetik nanti akan


menghilang, tetapi makna kognitinya masih akan tetap Dan dia tidak
mengatakan bahwa sudah ada solusi yang memuaskan untuk keluar dari
dikotomi ideosinkratik-nomotetik tersebut.
2. Yang harus diupayakan adalah bagaimana caranya menerima secara serius
suatu pluralitas, berbagai pandangan dunia ke dalam ilmu sosial tanpa
kehilangan pendirian bahwa ada juga kemungkinan untuk mengetahui dan
mewujudkan kumpulan nilai-nilai yang boleh jadi kenyataannya memang sama,
atau menjadi sama, untuk semua humanitas. Dari pernyataan itu tampak jelas
bahwa Wallersteintidak sama sekali meninggalkan pendekatan nomotetik.

3
4

3. Kita sekarang tidak berada pada momen di mana struktur displin yang ada telah
dibongkar. Kita berada pada suatu titik di mana struktur-struktur yang sedang
bersaing mencoba memperjuangkan eksistensi mereka (Wallerstein dalam
Alexander Irwan, 1997: xxii-xxiii).

Dengan demikian, Wallerstein tidak memberikan usul tunggal untuk dianut sebagai
pendekatan nomotetik atau ideografik (ideosinkratik). Sebaliknya, ia menganjurkan
untuk semakin meningkatkan dialog antara kedua pendekatan tersebut. Sedangkan
ilmu-ilmu sosial, Wallerstein lebih menekankan pada suatu perilaku sosial yang
menekankan jauh melebihi kearifan secara turun-temurun dan merupakan hasil
deduksi dari padatnya pengalaman hidup manusia sepanjang zaman.

”Apa yang disebutnya sebagai ilmu sosial adalah salah satu pewaris yang jauh
melampaui kearifan itu. Dengan demikian, ilmu sosial adalah sebagai upaya untuk
mencari kebenaran-kebenaran yang yang jauh melampui kearifan yang telah ada
atau yang telah dideduksikan semacam itu. Ilmu sosial adalah usaha penjelajahan
dunia modern. Akarnya tertanam pada upaya yang mekar sejak zaman abad
keenambelas, serta merupakan bagian dan bidang konstruksi dunia modern.
Tujuannya untuk mengembangkan pengetahuan secular secara sistematis tentang
realitas yang hendak dibuktikan secara empiris” (Wallerstein, 1997:2).

Bagi Wallerstein yang terpenting adalah adanya persamaan dalam rumpun ilmu
sosial pada aspek akasiologis, yakni kearifan yang telah berlaku secara konsisten
sejak dahulu, untuk mengembangkan kepentingan pengentahuan manusia dan
dibuktikan secara empiris. Tidak peduli apakah itu bersifat nomotetis generalis,
maupun ideografis partikularistik, atau juga mungkin perpaduan di Antara keduanya,
namun sebaliknya ia lebih menganjurkan untuk semakin meningatkan dialog Antara
kedua pendekatan tersebut (Wallerstein 1997: 4). Pendapat serupa juga
dikemukakan jauh sebelumnya oleh Bung Hatta sebagai salah satu founding father
(Abdullah, 2006:6-26) bahwa ilmu sosial sebagaimana halnya dengan ilmu
pengetahan yang lain, adalah satu ragam di mana memiliki peran tiga wajah ilmu
sosial, sebagai critical discourse, sebagai academic enterprise, dan applied
science/knowledge.

Pertama, sebagai critical discourse (wacana kritis), artinya pada kajian ini
membahas tentang apa adanya yang keabsahannya tergantung pada kesetiaan
pada prasyarat system rasionalitas yang kritis dan pada konvensi akademis yang
berlaku. Keabsahan penelitian riset ditentukan oleh ketertarikan pada segala
keharusan akademis itu. Oleh karena itu, dalam wilayah ini percaturan teori dan
metode bisa terjadi begitu gencar, seperti halnya meneliti subject matter dengan
bebera[a pertanyaan mendasar dari apa, bagaimana dan mengapa.

Kedua, sebagai academic enterprise, memiliki pengertian “bagaimana mestinya”.


Dalam Bahasa Taufik Abdullah ilmu sosial tampil sebagai tetangga dekat dengan
ideology, sebagai sistematisasi strategis dari system nilai dan filsafat sebagai
pandangan hidup. Yang pada kenyataannya sarat dengan nilai. Pernyataan ini

4
5

sependapat dengan mazhab Frankfurt yang dipelopori Adorno dan kawan-


kawannya, mereka memosisikan bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat tidak bebas.

Ketiga, sebagai applied science, artinya bahwa dalam ilmu sosial itu diperlukan
untuk mendapatkan atau mencapai hal-hal yang praktis dan berguna entah untuk
mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan contohnya kemakmuran, kemiskinan. Jadi,
dalam hal ini sebagai ilmu terapan tujuannya tidak sekedar mencapai kepuasan
intelektual/akademis, melainkan aspek fungsionalitasnya yang bersifat normative,
seperti yang dilukiskan kekhawatiran konflik sosial di Indonesia yang ditulis Thung
Ju Lan (2006), maupun bahaya pembalakan hutan di Kalimantan yang dituliskan
Mukhtar Sarman (2006).

Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang disebut ilmu-ilmu (ilmu
sosial), namun semuanya mengarah kepada kepahaman yang sama bahwa ilmu
sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan
bersama. Jelas tidak dapat dihindari bahwa dalam perkembangannya kemudian
berbagai spesialisasi disiplin ilmu-ilmu sosial tumbuh meningkat, seperti ilmu
komunikasi, studi gender, ilmu perbandingan agama, dan sebagainya (Sairin,
2006:33). Selanjutnya, untuk beberapa disiplin yang sering dikategorikan tumpang
tindih seperti sejarah dan antropologi budaya sebagai ilmu humaniora dan ilmu
sosial, akan dibahas pada pembahasan masing-masing disiplin ilmu, dan begitu
juga untuk ilmu lainnya.

Bagi Wallerstein, yang tidak kalah pentingnya dalam sejarah ilmu sosial adalah
setelah yunani dan romawi kuno di mana proswes institusionalisasi abad ke-19
terdapat di lima lokasi utama aktiviras ilmu sosial, yakni Inggris, Perancis, Jerman,
Italia, dan Amerika Serikat. Sampai hari ini, sebagian karya-karya besar dari abad
ke-19 masih tetap kita baca, ditulis di salah satu dari kelima lokasi itu.

Displin ilmu sosial pertama yang mencapai eksistensi institusional otonom adalah
ilmu sejarah, walaupun banyak sejarawan secara antusias menolak label ilmu
sosial, dan beberapa di antaranya masih bersikukuh seperti itu (Wallerstein, 1997:
22). Menurut Wallerstein berbagai perselisihan antara para sejarawan dengan
displin-displin ilmu sosial lainnya merupakan perselisihan internal ilmuwan sosial.
Namun, ilmu sejarah memang suatu praktik yang sudah berlangsung lama, dan
terminologi sejarah itu sudah amat kuno.

Selanjutnya, antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya berbeda dalam


pendekatan ataupun perspektifnya. Jika sejarah banyak menggunakan perspektif
diakronik maka dalam ilmu-ilmu sosial menggunakan perspektif sinkronik. Menurut
Kartodirdjo (1992: 206-207), perbedaan pendekatan tersebut dapat diibaratkan pada
penampang batang kayu. Jika pendekatan diakronik, penampang bujur itu bersifat
vertikal, sedangkan pendekatan sinkronik dapat dianalogikan penampang lintang
bersifat horizontal. Artinya, dalam kajian sejarah meskipun tidak identik dengan
kronik, tetapi aspek kronologis waktu memegang peranan penting sehingga ibarat
garis vertical.

5
6

Sedangkan dalam ilmu-ilmu social berusaha melihat fenomena peristiwa-peristiwa


yang terjadi pada tempat dan waktu yang berbeda-beda itu kelihatannya sebagai
garis yang mendatar atau horizontal. Dengan analisis pendekatan sinkronik maka
dapat diungkap hubungan dan saling ketergantungan fungsi unsur-unsur sehingga
fenomena sebagai suatu kesatuan dapat ditandai dengan tepat (Kartodirdjo, 1992:
207; Sjamsuddin, 1996: 192).

Mengingat studi tentang realitas social pada akhir abad ke-19 menjadi semakin
terpisah-pisah, dengan pembagian kerja yang jelas maka geografi tampak
anakronitis dengan kecenderungan-kecenderungan yang generalis, sintesis, dan
nonanalistis. Sebagai konsekuensinya, di kalangan ilmuwan social sepanjang
periode ini tetap berada dalam posisi yang relative “miskin”, dari segi jumlah sarjana
dan prestisenya (Wallerstein, 1997:39).

6
7

DAFTAR PUSTAKA

1. Supardan, Dadang. 2013. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan


Struktural. Jakarta: Bumi Aksara 2013.
2. Adam, Barbara. 2000. Waktu dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
3. Wallerstein, Immanuel. 1997. Lintas Batas Ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh
Oscar. Yogyakarta: LkiS.

Anda mungkin juga menyukai