Anda di halaman 1dari 13

LATAR BELAKANG

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa,


merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari
abad ke abad. Oleh karena itu, maka tidap bangsa di dunia ini memiliki adat
kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh
karena ketidak samaan itu dapat di katakan bahwa adat itu merupakan unsur yang
terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.
Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak
mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, yang
terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut
menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu
menjadi kekal serta tetap segar.

Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat,


menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus
disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan
dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.

Hukum adat juga mengatur terkait kewarisan dalam ruang lingkup hidup
masyarakatnya, di samping waris adat di Indonesia berlaku hukum-hukum waris
lainnya, yakni hukum waris islam dan hukum waris menurut hukum barat atau
Burgerlijk Wetboek.

Dari uraian tersebut penyusun mengangkat beberapa hal yang patut untuk
diperdalam keilmuannya yakni:

1. Apa itu Kewarisan Adat?


2. Bagaimana Pengaturan Kewarisan Adat di Indonesia?
2

PEMBAHASAN

Hukum Kewarisan Adat

Pengertian Hukum Waris Adat

Pada saat ini, masyarakat Indonesia mengenal adanya tiga sistem hukum
waris, yaitu sistem hukum waris adat, sistem hukum waris Islam dan sistem
hukum waris menurut KUH Perdata. Menurut Ter Haar, hukum waris adat
merupakan hukum yang bertalian dengan proses aturan-aturan penurunan dan
peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan. Adapun
Soepomo1 merumuskan hukum waris adat sebagai hukum yang menurut
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan
barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari suatu angkatan
manusia kepada turunannya.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris adat itu
meliputi keseluruhan asas, norma dan keputusan hukum yang bertalian dengan
proses penurunan serta pengalihan harta benda ( material ), harta cita ( non
material ) dari generasi satu kepada generasi berikutnya. Di samping itu hukum
waris adat tidak hanya mengatur pewarisan akibat kematian seseorang saja,
melainkan juga mengatur pewarisan sebagai akibat pengalihan harta kekayaan.
Kekayaan tersebut baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, baik yang
bernilai uang maupun yang tidak bernilai uang dari pewaris kepada ahli warisnya,
baik ketka masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.

Sebagai suatu proses maka peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat
dimulai ketika pemilik kekayaan itu masih hidup. Proses tersebut berjalan terus
sehingga masing-masing keturunannya menjadi keluargakeluarga yang berdiri
sendiri yang disebut mencar dan mentas ( Jawa ), yang pada saatnya nanti ia juga
akan memperoleh giliran untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi
berikutnya. Proses itu tidak menjadi terhambat karena meninggalnya orang tua,

1
3

meninggalnya bapak atau ibu tidak akan mempengaruhi proses penurunan dan
pengoperan harta benda dan harta bukan harta benda tersebut.

Di Bali proses meneruskan harta benda keluarga baru dimulai sejak kedua
orang tuanya meninggal dunia dan jenazah orang tuanya telah diabenkan.

Jadi sistem pewarisan di Bali itu baru terbuka selebar-lebarnya apabila


kedua orang tua telah meninggal dunia dan jenazah telah diabenkan. Pada saat
pewarisan terbuka maka harta peninggalan yang terpencar-pencar dikumpulkan
kembali kemudian dibagi-bagi.

Korn mengatakan dalam bukunya Panetje hukum pewarisan adalah bagian


yang paling sulit dari hukum adat di Bali. Hal ini karena perbedaan-perbedaan di
beberapa daerah dalam wilayah hukum Bali, baik mengenai banyaknya barang-
barang yang boleh diwarisan atau mengenai banyaknya bagian masing-masing
ahli waris, maupun mengenai putusanputusan pengadilan adat. Paswara Residen
Bali dan Lombok tahun 1900, mengenai pewarisan menentukan bahwa harta
warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan pewaris yang telah dipotong hutangnya,
termasuk juga hutang yang dibuat untuk ongkos menyelenggaraka pewaris.
Pembagian harta warisan dibagi antara ahli waris sama rata, sedangkan untuk
kepentingan biaya puri atau merajan dan kepentingan adat lainnya mereka
keluarkan sama rata juga. Pengadilan negeri sekarang cenderung memenuhi
apabila ada tuntutan yang demikian.

Sistem Hukum Waris Adat

Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikataakan bahwa sistem
hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, antara lain :

1. Sistem Keturunan
Dilihat dari segi garis keturuan maka perbedaan lingkungan hukum adat
itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. sistem patrilineal (kelompok garis ayah)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, contohnya: Gayo,
Alas, Batak, Nias, Lampung, Seram, Nusa Tenggara.
4

b. Sistem Matrilineal (kelompok garis ibu)


Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan
wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam
pewarisan. Contohnya, Minangkabau dan Enggano.
c. Sistem Parental atau bilateral (kelompok garis ibu dan bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua (ibu dan bapak) dimana
kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan dalam pewarisan.
Contohnya: Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu.
2. Sistem kolektif
Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalihan harta
warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbaik dan tiap ahli waris hanya
mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta
tersebut. Contohnya seperti di Minangkabau, Ambon, dan Minahasa.
3. Sistem Mayorat
Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang
tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak
tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (contohnya di Bali, Lampung,
Teluk Yos Sudarso), atau perempuan tertua (di Sumendo, Sumatera
Selatan), anak laki-laki termuda (di masyarakat Batak) atau perempuan
termuda atau anak laki-laki saja.
4. Sistem individual
Menurut sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki
harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya, sistem
ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem parental.

Azas mayorat dalam pewarisan anak sulung ini dapat menjadi lemah,
apabila di antara anak lelaki yang lebih muda menuntur agar harta warisan orang
tua dibagi guna modal kehidupan keluarganya. Di Bali keadaan ini sudah mulai
berkembang, bahwa sistem mayorat melemah karena anak sulung tidak lagi
menetap menunggu rumah tua, melainkan telah pula mengikuti perkembangan
zaman hidup di kota.

Ketiga sistem pewarisan tersebut masing-masing tidak langsung menunjuk


pada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu tempat sistem pewarisan itu
berlaku. Sistem tersebut dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan
5

masyarakat, bahkan dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat ditemui lebih
dari satu sistem pewarisan.

Harta Waris Adat

Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh
pewaris kepada warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi.
Harta waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian,
harta pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.

1. Harta asal

Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris sebelum
perkawinan yang dibawa kedalam perkawinan, baik harta itu berupa harta
peninggalan maupun harta bawaan. Harta peninggalan dapat dibedakan harta
peninggalan yang tetap tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi,
demikian juga harta bawaan ada harta bawaan di isteri dan harta bawaan suami.

Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi dan harta
peninggalan yang dapat dibagi. Dalam pewarisan yang banyak membawa
persoalan adalah harta peninggalan yang tak terbagi, karena terhadap harta ini ada
seolah-olah waris kehilangang haknya untuk memiliki secara perseorangan atau
menguasai secara penuh.Suatu harta peninggalan tidak terbagi dalam hukum adat
kita disebabkan karena sifat dan kedudukan dari harta itu. Dalam masyarakat
bilateral di Jawa, harta peninggalan dapat menjadi harta peninggalan yang tak
terbagi bilamana misalnya seorang janda atau anak-anaknya yang belum dewasa
harus mendapat nafkahnya daripadanya dan pemberian nafkah ini tidak akan
terjamin bila diadakan pembagian.

Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah gadang, sawah


atau peladangan. Dalam masyarakat matrilinial ini harta pusaka adalah kepunyaan
kaum dimana ibu sebagai pusat pengusaannya. Harta peninggalan ini tidak
mungkin dimiliki secara perseorangan melainkan secara bersama memilikinya
6

bagi para anggota kerabat dari pihak ibu tersebut. Terhadap harta kerabat di
Minangkabau atau di Hitu Ambon penguasaannya dipimpin oleh mamak kepala
waris di Minangkabau, kepala dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta
peninggalan tak terbagi karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya
untuk diurus seperti dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta
peninggalan dikuasai oleh anak laki-laki yang tertua yang menggantikan
kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara saudara-saudaranya, atau
di Semendo yang menganut sistim matrilinial harta peninggalan hanya dikuasai
dan diurus, tidak dapat dipindah tangankan, pada umumnya banyak harta
peninggalan tetap tinggal tidak dibagi-bagi dan disediakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan materiil keluarga yang ditinggalkan”. ( R,Soepomo, 1980 :
hlm.81).

Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya terdapat


pada masyarakat patrilinial di Batak, dan masyarakat bilateral di Jawa, dan tidak
menutup kemungkinan di daerah-daerah yang harta peninggalan tersebut di atas
karena pergeseran zaman dan merenggangnya sistim kekerabatan harta tersebut
dibagi, namun pada prinsipya tidak dapat dibagi. Demikian juga di Semende yang
menjadi harta yang tak terbagi atau tetap terbagi-bagi hanya harta tunggu tubang
saja, sedangkan harta diluar harta tubang dapat dibagi. Harta yang dapat dibagi
biasanya merupakan harta pencaharian atau harta bawaan.

Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri sebelum
perkawinan. Oleh sebab itu dibagi antara harta bawaan suami dan harta bawaan
isteri. Harta bawaan itu ada yang terikat dengan kerabat dan ada yang tidak terikat
dengan kerabat. Harta bawaan yang terikat dengan kerabat seperti harta pihak
suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke tempat kediaman isterinya
(matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di Minangkabaum harta yang diberikan
kepada anak perempuan selagi masih gadis di Batak yang dibawa menetap di
tempat kediaman suaminya (patrilokal) yang dinamakan tano atau saba bangunan.
Harta bawaan yang tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu hasil pencaharian
si suami selagi masih bujang (harta pembujangan, Sumatera Selatan), harta
7

penantian bagi si isteri semasa gadis atau guna kaya di Bali baik harta perempuan
ataupun harta laki-laki.

Kedua harta ini dalam masyarakat kita mempunyai kedudukan yang berbeda
sesuai dengan bentuk masyarakat itu.

2. Harta pemberian

Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena


pemberian, baik pemberian dari suami bagi si isteri, pemberian dari orang tua,
pemberian kerabat, pemberian orang lain, hadiah-hadiah perkawinan atau karena
hibah wasiat. Harta pemberian dibedakan dengan harta asal, sebab harta asal telah
ada sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian ada setelah perkawinan.
Harta pemberian orang tua, dalam beberapa masyarakat terikat dengan kerabat,
seperti harta pemberian si bapak kepada anak perempuannya sewaktu gadis ini
Batak atau selagi anak tersebut dalam perkawinan (saba bangunan, pauseang,
indahan arian), bila si isteri ini meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta
ini akan kembali pada kerabatnya.

Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja.

Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak suami-isteri,
sama halnya dengan pemberian kerabat hanya saja motif pemberiannya berbeda.
Pemberian kerabat biasanya didasarkan rasa kasihan, welas asih atau tolong-
menolong, sedangkan pemberian orang lain karena rasa persahabatan dan
sebagainya.

3. Harta pencaharian

Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri, suami


saja atau isteri saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-isteri atau salah
satu pihak. Secara umum harta yang diperoleh dalam perkawinan adalah harta
bersama suami-isteri, tetapi dalam beberapa masyarakat ada harta pencaharian
suami saja, atau harta pencaharian si isteri saja disebabkan bentuk perkawinan dan
sistim kekerabatannya.
8

Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa gono-gini,


di Kalimantan harta perpantanganm di Bugis dan Makasar dikenal cakkara. Harta
bersama dapat bertambah karena harta bawaan, harta pemberian, dan harta lain
yang diperuntukkan untuk keluarga yang diberikan tersebut.

Ahli Waris dalam Hukum Waris Adat

Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan merupakan


golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya
merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga
tidak mejadi ahli waris, apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak.
Jadi dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari
si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup.

Iman Sudiyat2 memberikan pendapat bahwa pada umumnya yang menjadi


ahli waris ialah para warga yang paling karib dalam generasi berikutnya, ialah
anak-anak yang dibesarkan di dalam keluarga / brayat si pewaris, yang pertama-
tama mewaris ialah anak-anak kandung. Jadi ahli waris utama dalam hukum adat
adalah anak kandung dan dasar mewaris dalam hukum adat adalah hubungan
darah. Apabila pewaris tidak mempunyai anak kandung maka anak angkat berhak
atas warisan sebagai anak, bukan sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil
anak telah menghapuskan sebagai orang asing dan menjadikannya anak, maka
anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak.

Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris


mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki tersebut, demikian
seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap segala
sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat.

2
9

KESIMPULAN

Hukum waris adat merupakan hukum yang bertalian dengan proses

aturan-aturan penurunan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari

turunan ke turunan. Merumuskan hukum waris adat sebagai hukum yang menurut
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-
barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari suatu angkatan

manusia kepada turunannya.


10

Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.


Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau
setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta waris adalah harta yang
ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat
dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam empat
bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban
yang diwariskan.

Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam


hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang
menjadi ahli waris hanya anak laki-laki. Dalam sistem matrilinial semua anak-
anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri baik untuk harta pusaka
tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang
laki-laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta
pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-
laki.

Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas


tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki
maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta
peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan
mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Berikut perbandingan tiga sistem
kewarisan :

a. Sistem Pewarisan Individual.


Suatu sistem pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan
pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing. Sistem pewarisan ini contohnya pada
masyarakat parental di Jawa.
b. Sistem Pewarisan Kolektif.
11

Pada sistem ini harta warisan diteruskan dan dialihkan


pemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya sebagai satu kesatuan
yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya. Setiap ahli waris
berhak untuk mengusahakan, menggunakan dan mendapatkan hasil dari
harta warisan itu. Sistem pewarisan kolektif ini contohnya pada
masyarakat matrilineal di Mingangkabau.
c. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem mayorat ini sebenarnya juga sistem pewarisan kolektif,
hanya saja penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak
terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai
pemimpin rumah tangga. Sistem pewarisan mayorat contohnya di Pulau
Bali, dimana anak laki-laki tertua mempunyai hak mayorat tetapi dengan
kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka.

N Sistem Ciri-ciri Kelebihan Kekurangan


o. Kewarisan
Harta Para waris Pecahnya harta
1. Individual peninggalan itu dapat bebas warisan dan
dibagi-bagikan mengusai dan meregangnya
kepemilik-annya memiliki harta tali
kepada para warisan kekerabatan.
waris bagiannya
tanpa
dipengaruhi
anggota-
anggota
12

keluarga yang
lain
Harta Dapat terlihat menimbulkan
2. Kolektif peninggalan apabila fungsi cara berpikir
diteruskan dan harta kekayaan yang terlalu
dialih-kan itu sempit, kurang
kepemilikan-nya diperuntukkan terbuka karena
dari pewaris bagi selalu
kepada ahli waris kelangsungan terpancang
sebagai kesatuan harta anggota pada
yang tidak keluarga kepentingan
terbagi - bagi tersebut. keluarga saja
penguasaannya
dan
pemilikannya.
Harta Terletak pada Tampak
3. Mayorat peninggalan kepemimpinan apabila anak
diwarisi anak tertua tertua ini
keseluruhan-nya yang ternyata tidak
atau sebagian mengganti-kan mampu
besar (sejumlah kedudukan mengurus
harta pokok dari orang tuanya harta kekayaan
suatu keluarga) yang telah orang tuanya
oleh seorang meninggal itu
anak saja. untuk
mengurus harta.
13

DAFTAR PUSTAKA

Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan R. Surbakti


Presponoto, Let. N.

Voricin Vahveve, Bandung, 1990.

Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. Bandung: Alumni, 1983

Anda mungkin juga menyukai